• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab II Tinjauan Pustaka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab II Tinjauan Pustaka"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Bab II Tinjauan Pustaka

2.1.. Terminologi Mangrove

Istilah mangrove tidak mengacu kepada jenis spesies tertentu di dalam taksonomi tumbuhan. Mangrove adalah istilah untuk menyebutkan semua spesies tanaman tropis dan juga semak yang memiliki sifat halophytic (toleransi terhadap salinitas).

Mangrove merupakan jenis vegetasi yang meliputi pohon, semak, bunga dan nipah (Darmawan dan Dirhansyah. 1999). Tidak semua vegetasi mangrove tersebut memiliki kaitan (dalam sistem taksonomi), namun semuanya memiliki kesamaan yaitu hidup dalam lingkungan yang relatif basah, lingkungan yang memiliki kadar garam (saline habitat), dan mendapat pengaruh dari pasang surut. Selain itu mangrove pada dasarnya adalah spesies tropis yang tidak akan berkembang baik pada lingkungan dengan temperatur kurang dari 190 C dan lebih dari 420 C. Dalam kondisi normal, mangrove tidak dapat bertoleransi dengan baik pada lingkungan yang memiliki fluktuasi temperatur lebih dari 100 C.

Vegetasi mangrove terdiri dari 12 famili dan lebih dari 50 spesies. Dapat dijumpai di daerah tropis dan daerah sub tropis, terutama di estuaria dan sepanjang garis pantai,. Vegetasi mangrove mendominasi hampir 75% vegetasi di sepanjang pantai tropis, terutama antara 25 derajat lintang utara dan 25 derajat lintang selatan (http://www.nhmi.org/mangroves/index.htm (mangroves))

Vegetasi mangrove umumnya mampu beradaptasi terhadap kondisi anaerobik, baik di perairan tawar (payau) maupun di perairan asin. Selain itu vegetasi mangrove juga memiliki kemampuan beradaptasi secara fisiologis terhadap lumpur dan garam, yaitu dengan membentuk akar gantung yang berada di atas permukaan air atau lumpur. Sehingga memungkinkan bagi vegetasi mangrove untuk tetap dapat mengabsorbsi oksigen.

(2)

Vegetasi mangrove umumnya hidup secara berkelompok (komunitas) dan berperan penting dalam menjaga lingkungan estuaria dan pantai. Komunitas mangrove ini menjadi habitat bagi beberapa jenis fauna yang hidup di daerah estuaria dan daerah pantai.Oleh karena itu mangrove menjadi komponen utama dalam ekosistem pantai dan estuaria, baik di daerah tropis maupun daerah sub tropis.

Dalam komunitas mangrove terdapat sejumlah flora dan fauna yang hidup bersama. Diantara organisme tersebut ada yang berada dalam komunitas mangrove untuk sepanjang hidupnya, dan ada pula yang hidup dalam komunitas mangrove hanya pada sebagian dari siklus hidupnya. Namun demikian keberadaan bermacam-macam organisme tersebut telah menjadikan komunitas mangrove sebagai sumberdaya yang penting, terutama bagi manusia.

Komunitas mangrove lebih dikenal masyarakat sebagai hutan mangrove. Ada 2 konsep yang berbeda dalam mengklasifikasikan hutan mangrove (McGill. 1958 dalam Darmawan dan Dirhansyah 1999), yaitu :

1. Hutan mangrove merupakan suatu komunitas vegetasi yang terdiri dari beberapa famili namun masih memiliki kesamaan sifat dan struktur fisiologi untuk beradaptasi pada habitat yang sama.

2. Hutan mangrove merupakan suatu komunitas vegetasi yang kompleks yang umumnya terdapat di wilayah pantai daerah tropis. Komunitas ini pada umumnya memiliki zona-zona yang ditandai dengan jenis vegetasi tertentu. Spesies utama yang dominan dalam komunitas ini adalah dari famili Rhizoporaceae yang tumbuh di zona intertidal.

2.2. Ekosistem Mangrove dan Faktor Abiotik Lingkungan

Ekosistem mangrove adalah suatu ekosistem yang kompleks dan dinamik. Namun demikian ekosistem mangrove juga sangat rawan terhadap kerusakan. Keberadaan dan kelestarian ekosistem mangrove sangat berkaitan dengan faktor lingkungan, baik faktor biotik maupun faktor abiotik lingkungan. Beberapa faktor abiotik

(3)

1. Faktor Iklim

Faktor iklim adalah faktor yang sangat penting bagi pertumbuhan alami serta suksesi mangrove. Termasuk dalam faktor iklim yang utama adalah : temperatur udara, curah hujan dan angin.

Temperatur udara menentukan distribusi geografis spesies mangrove. Perbedaan spesies mangrove antara satu tempat dan tempat lainnya, diantaranya dipengaruhi oleh temperatur udara. Secara umum, temperatur udara optimum bagi ekosistem mangrove adalah antara 200 C sampai 350 C.

Kondisi curah hujan menentukan distribusi mangrove pada tidal zone. Air hujan mampu melepaskan partikel garam dari tanah secara efektif. Pada saat terjadi pasang, air asin akan menggenangi permukaan tanah. Selanjutnya air akan mengalami evaporasi dan meninggalkan partikel-partikel garam di permukaan tanah, membentuk lapisan garam yang tipis di permukaan tanah. Lapisan garam ini akan mengurangi proses regenerasi dan pertumbuhan mangrove. Semakin sering air hujan menyiram lapisan garam ini, maka partikel-partikel garam akan terlepas dari permukaan tanah sehingga menjadi lebih cocok untuk pertumbuhan mangrove.

Angin dapat menyebabkan kerusakan ekosistem mangrove. Angin yang bertiup membawa udara kering dan dingin dapat menyebabkan kematian pada tumbuhan mangrove. Selain itu angin yang kencang (badai) dapat bersifat destruktif bagi ekosistem mangrove.

2. Faktor Tanah

Faktor tanah juga dapat mempengaruhi distribusi mangrove. Struktur dan sifat-sifat tanah sangat berperan dalam hal ini. Umumnya mangrove dapat tumbuh pada daerah berlumpur yang mengandung campuran silt, clay dan pasir. Selain itu keasaman dan salinitas tanah juga mempengaruhi pertumbuhan mangrove.

(4)

3. Pasang Surut

Fluktuasi pasang surut merupakan faktor yang menentukan bagi ekosistem mangrove. Sebagian besar mangrove akan tumbuh dengan baik pada zona antara Mean High Water Spring Tide (MHWST) dan Mean Sea Level (MSL).

Sedangkan Walsh (1974) dalam Darmawan dan Dirhansyah (1999) menyatakan bahwa terdapat 5 faktor penting yang dapat menunjang perkembangan ekosistem mangrove, yaitu :

- temperatur tropis

- sedimen alluvial yang berbutir halus

- pantai yang bebas dari pengaruh gelombang besar - perairan asin

- fluktuasi pasang surut yang relatif tinggi

Kelima faktor tersebut dapat mempengaruhi keberadaan populasi tumbuhan mangrove, komposisi dan zonasi spesies mangrove, serta struktur dan karakteristik ekosistem mangrove.

2.3. Mangrove Delta Mahakam

2.3.1. Vegetasi Mangrove di Delta Mahakam

Delta Mahakam adalah sebuah delta yang terbentuk dari hasil sedimentasi sungai Mahakam, sungai terpanjang di propinsi Kalimantan Timur. Sungai Mahakam ini bermuara di tepi barat Selat Makassar. Proses sedimentasi Sungai Mahakam ini telah berlangsung selama ribuan tahun dan membentuk delta yang luas keseluruhannya sekitar 5000 km2 (Darmawan dan Dirhansyah 1999). Delta Mahakam merupakan tipikal delta dunia yang dikenal dengan istilah delta kaki burung. Tipe delta ini terbentuk karena adanya endapan sedimen dalam jumlah besar yang dibawa oleh Sungai Mahakam dan juga dipengaruhi oleh pasang surut yang berasal dari Selat Makassar (Ambarwulan dkk. 2003). Gambar 2.1 berikut ini menunjukkan foto sebagian wilayah Delta Mahkam yang diambil dari pesawat udara.

(5)

Gambar 2.1. Foto udara wilayah Delta Mahakam. (a). Ekosistem hutan mangrove yang menutupi daratan delta. (b). Sebagian hutan mangrove di mulut Sungai Mahakam yang telah berubah menjadi tempat hunian dan areal tambak.

(Sumber : TOTAL E&P Indonesie The Oil Industry)

Di bagian inland Delta Mahakam terdapat berbagai jenis vegetasi. Husein (2006) membagi vegetasi yang ada di Delta Mahakam ke dalam 4 zona vegetasi, yaitu: vegetasi hutan tanaman keras tropis dataran rendah, vegetasi hutan campuran tanaman keras dan palma dataran rendah, vegetasi hutan rawa nipah, dan vegetasi hutan bakau. Vegetasi hutan rawa nipah dan vegetasi hutan bakau ini karena penyebarannya sangat dipengaruhi oleh keberadaan air laut maka disebut juga sebagai hutan mangrove. Luas hutan mangrove ini mencakup sekitar 60% dari luas dataran delta (Husein, 2006). Sedangkan menurut Darmawan dan Dirhansyah (1999), vegetasi yang ada di delta Mahakam didominasi oleh Nypa fruticans (nipah) di bagian tengah (mid land), serta di bagian luar (outer) terdapat Avicennia sp dan Sonneratia sp. Zona vegetasi di Delta Mahakam ini dapat dilihat seperti dalam Gambar 2.2.

Seperti halnya vegetasi alami daerah Kalimantan, pada dataran rendah delta juga dijumpai adanya vegetasi hutan hujan tropis dataran rendah. Namun demikian vegetasi pada daerah delta tetap didominasi oleh vegetasi mangrove. Pada daerah transisi antara pesisir dan dataran rendah, dijumpai daerah pertanian, semak belukar dan hutan sekunder (Bremen et al., 1990 dalam Ambarwulan dkk.,2003).

(6)

Gambar 2.2. Zona vegetasi di Delta Mahakam (Sumber : Husein, 2006)

2.3.2. Manfaat Hutan Mangrove di Delta Mahakam

Sistem perakaran tumbuhan mangrove yang kuat sebenarnya mampu menahan hempasan ombak dan mencegah terjadinya abrasi pantai. Oleh karena itu ekosistem mangrove juga biasa disebut sebagai zona penyangga (buffer zone). Selain itu sistem perakaran mangrove juga dapat berfungsi sebagai sediment trap yang akan menahan dan mengendapkan sedimen terutama pada zona intertidal, sehingga kondisi sedimen akan lebih stabil. Mangrove jenis Avicennia dan Sonneratia adalah jenis mangrove yang sangat baik sebagai sediment trap karena memiliki sistem perakaran pneumatophore yang mudah tumbuh serta sistem perakaran bawah tanah yang sangat kuat dan memiliki kemampuan menahan sedimen secara kuat pula.

Hutan tropis dataran rendah Hutan campuran tanaman keras dan palma Hutan rawa Nipah

(7)

Ekosistem mangrove Delta Mahakam juga merupakan habitat bagi bermacam-macam biota laut. Biota laut tersebut bernilai ekonomis dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Masyarakat sudah lama memanfaatkan ekosistem mangrove sebagai areal tangkapan ikan, kepiting dan juga udang. Kekayaan ekosistem mangrove Delta Mahakam sebenarnya sangat didukung oleh lokasi delta tersebut yang berhadapan langsung dengan Selat Makassar. Arus laut dari Selat Makassar ini kaya akan nutrien dan akan terbawa hingga ke Delta Mahakam. Hal ini menjadikan perairan di Delta Mahakam sebagai perairan yang subur dan banyak biota laut yang berkumpul. Selain itu keberadaan ekosistem mangrove yang berfungsi sebagai spawning ground (tempat memijah), feeding ground (tempat mencari makan) dan nursery ground (tempat pengasuhan), menjadikan perairan Delta Mahakam semakin kaya akan biota laut.

2.3.3. Kerusakan Mangrove di Delta Mahakam

Ekosistem mangrove yang berada di Delta Mahakam saat ini telah mengalami degradasi. Luas hutan mangrove di Delta Mahakam yang semula diperkirakan mencapai 1000 km2 saat ini hanya tersisa kurang lebih 20% (Creocean, 2004). Sekitar 80% lainnya telah musnah dibabat. Kawasan yang memiliki arti penting tersebut telah digantikan oleh ribuan hektar tambak udang, terutama semenjak terjadinya krisis moneter pada tahun 1997.

Dutriex (2001) dalam Budhiman (2004) juga menyatakan bahwa sejak awal tahun 1990-an mulai berkembang tambak udang di kawasan Delta Mahakam. Pada mulanya hanya di sekitar pemukiman penduduk namun akhirnya menyebar ke seluruh daratan delta. Akibatnya potensi area hutan mangrove yang telah mengalami pembabatan (deforested) diperkirakan seluas 85000 hektar, atau mencakup 80% dari daratan delta.

Pembukaan tambak udang tersebut dipicu oleh harga udang yang melejit pada waktu itu. Namun hal tersebut hanya berlangsung sekitar 5 tahun. Sebagian besar keuntungan dari tambak udang tersebut hanya dinikmati oleh investor. Saat ini penduduk setempat menghadapi lingkungan yang telah mengalami degradasi.

(8)

Tambak udang tidak lagi memberikan hasil memuaskan karena banyak udang yang mati akibat penyakit serta kualitas air yang sudah sangat menurun. Selain itu banyak terjadi erosi pantai dan sungai, serta potensi perikanan di kawasan mangrove Delta Mahakam yang sudah sangat merosot.

Gambar 2.3 berikut ini menunjukkan tingkat pembukaan tambak tradisional di Delta Mahakam sejak tahun 1992 sampai tahun 1998.

Gambar 2.3. Citra satelit SPOT sebagian wilayah Delta Mahakam. Warna merah mengindikasikan tutupan vegetasi, termasuk vegetasi hutan mangrove. (a). Tahun 1992, tambak udang hanya meliputi sekitar 4% dari luas vegetasi hutan mangrove. (b). Tahun 1998, pembukaan tambak udang telah merusak sekitar 41% dari luas vegetasi hutan mangrove. (c). Inset dari daerah dalam kotak putih dari gambar (b), menunjukkan pola pembukaan tambak udang di wilayah delta Mahakam.

(Sumber : Husein, 2006)

Sedangkan Gambar 2.4 menunjukkan grafik persentase perubahan tutupan lahan yang terjadi di Delta Mahakam sejak tahun 1990 sampai tahun 2000.

(9)

Gambar 2.4. Perubahan lahan di wilayah Delta Mahakam sebagai dampak krisis moneter. Perubahan paling besar terjadi pada hutan Nipah yang berubah menjadi areal pertambakan.

(Sumber : Husein, 2006)

Hussin et al (1999) menyatakan bahwa penyebab berkurangnya hutan mangrove di Delta Mahakam adalah:

1. Penebangan hutan mangrove untuk lahan pertanian dan perkebunan (agriculture and orchards)

2. Penebangan hutan mangrove untuk jalur jaringan pipa minyak (pipeline networks)

3. Penebangan hutan mangrove untuk lahan tambak udang (shrimp ponds)

Husein (2006) menyatakan bahwa pembabatan hutan mangrove di Delta Mahakam membawa pengaruh terhadap penurunan daya dukung lingkungan pesisir. Ada tiga dampak negatif yaitu: peningkatan laju abrasi pantai, intrusi air laut serta penurunan potensi perikanan.

(10)

Semenjak tahun 1996, laju abrasi pantai di Delta Mahakam diperkirakan mencapai 1,4 km2 per tahun. Sedangkan pada tahun-tahun sebelumnya abrasi pantai hanya 0,13 km2 per tahun (Levang, 2002). Hal ini menunjukkan bahwa akibat kerusakan hutan mangrove, laju abrasi pantai di Delta Mahakam meningkat sekitar 10 kali lipat.

Husein (2006) juga menyatakan bahwa intrusi air laut telah masuk hingga puluhan kilometer ke dalam daerah aliran sungai (DAS) Mahakam, terutama pada musim kemarau. Mengakibatkan air sumur penduduk di bagian hilir terasa payau, serta diduga menjadi penyebab berkurangnya beberapa jenis ikan air tawar di DAS Mahakam.

Rusaknya hutan mangrove juga mengakibatkan hilangnya spawning ground, feeding ground dan nursery ground bagi beberapa jenis biota laut, terutama ikan. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan produksi perikanan di perairan Delta Mahakam dan sekitarnya (Husein, 2006).

Selain akibat aktifitas manusia, kerusakan hutan mangrove di Delta Mahakam juga disebabkan oleh proses alami. Menurut Husein (2006), secara alamiah delta Mahakam menghadapi naiknya muka air laut (mean sea level), yang menyebabkan pengaruh energi dari laut semakin kuat. Hal ini dapat mengakibatkan laju abrasi pantai yang semakin meningkat. Kenaikan muka air laut ini disebabkan oleh dua faktor yaitu :

1. Akibat pengaruh pemanasan global 2. Akibat penurunan muka tanah.

Semenjak awal abad ke 20 diperkirakan akan terjadi kenaikan muka air laut di kawasan Delta Mahakam sebesar 3 mm per tahun akibat pemanasan global, sedangkan pada tahun –tahun sebelumnya kenaikan muka air laut di kawasan tersebut hanya sebesar 0,8 mm per tahun (Tjia, 1996). Sedangkan Sutrisno dkk (2004) menyatakan bahwa dari hasil pemodelan, kenaikan muka air laut di

(11)

normalnya adalah 4,5 mm per tahun. Sehingga sampai tahun 2014 diperkirakan akan terjadi pengurangan garis pantai rata-rata antara 0,18 m – 4,16 m per tahun.

Secara geologis, kawasan Delta Mahakam juga secara terus-menerus mengalami penurunan permukaan daratan (land subsidence) dengan kecepatan sekitar 0,5 mm per tahun (Roberts and Sydow, 2003). Hal ini antara lain disebabkan oleh struktur tanah di kawasan Delta Mahakam yang sekitar 80 % volumenya adalah berupa lumpur yang mudah terpadatkan. Roberts and Sydow (2003) juga menyatakan bahwa kawasan Delta Mahakam terletak pada kawasan tektonik aktif dimana kerak bumi masih mengalami pergerakan secara vertikal. Dari hasil analisa geomorfologi dan sedimentologi menunjukkan bahwa proses penurunan muka tanah tersebut diperkirakan sekitar 2,7 mm per tahun (Husein, 2000)

2.4. Pengamatan Hutan Mangrove dengan Remote Sensing

Pengamatan terhadap hutan mangrove yang telah mengalami degradasi, seperti di wilayah Delta Mahakam, memerlukan informasi yang memadai tentang hutan mangrove itu sendiri. Informasi tersebut haruslah cukup lengkap sehingga dapat digunakan dalam penentuan tingkat kerusakan hutan mangrove. Selain itu informasi tersebut juga dapat mendukung dalam melakukan monitoring terhadap keadaan hutan mangrove yang masih tersisa, serta menentukan kebijakan untuk menjamin kelestarian hutan mangrove.

Dalam hal ini informasi spasial tentang hutan mangrove menjadi sangat penting. Diperlukan survey lapangan untuk mendapatkan data-data yang cukup memadai. Namun di kawasan hutan mangrove, usaha untuk mendapatkan data dengan cara tersebut sangat sulit dilakukan, membutuhkan banyak waktu serta biaya yang mahal. Oleh karena itu remote sensing dapat menjadi alternatif untuk mendapatkan data-data spasial hutan mangrove. Dalam hal ini citra satelit mampu memberikan informasi spasial yang lebih rinci baik dari segi kekayaan informasi obyeknya maupun dari segi kerincian geometris setiap obyek yang diukur (Subagio, 2004).

(12)

Teknologi remote sensing ini biasanya memberikan kontribusi dalam bentuk interpretasi citra dari suatu daerah. Dari interpretasi citra tersebut dapat ditentukan karakter permukaan baik di daratan maupun perairan. Karakteristik permukaan daratan biasanya berbentuk tutupan lahan. Menurut Wilson (2004) dalam Mulyana dan Subagio (2005), tutupan lahan merupakan parameter biofisik yang menentukan fungsi dari suatu ekosistem. Dengan mengetahui tutupan lahan ini maka analisa dan evaluasi lebih lanjut dapat dilakukan.

Pada saat ini, aplikasi remote sensing dalam monitoring ekosistem mangrove sudah banyak dilakukan. Banyak sekali data satelit yang tersedia yang dapat digunakan untuk mengkaji ekosistem mangrove, terutama untuk pemetaan dan klasifikasi mangrove. Bahkan pada saat ini teknologi remote sensing sudah berkembang hingga resolusi sangat tinggi (hyperspectral), yang dapat diaplikasikan untuk klasifikasi mangrove hingga tingkat spesies.

Untuk mengetahui total area mangrove dengan remote sensing diperlukan suatu klasifikasi obyek yang terdapat dalam citra satelit. Proses ekstraksi data citra satelit untuk klasifikasi obyek ini pada dasarnya hampir sama antara citra satelit resolusi menengah (misal: Landsat, SPOT, ASTER) dengan citra satelit resolusi tinggi (misal: IKONOS dan Quickbird). Dalam klasifikasi obyek dengan pendekatan statistik ini terdapat beberapa algoritma. Algoritma yang biasa digunakan dalam klasifikasi obyek dengan remote sensing misalnya adalah minimun distance, box classifier, linear likelihood, maximum likelihood.

Tingkat akurasi dari hasil klasifikasi ini sangat penting. Akurasi hasil klasifikasi ini biasanya ditentukan oleh ketepatan training area, sehingga pengalaman seseorang dalam training area ini akan sangat mempengaruhi hasil klasifikasi. Selain itu pemilihan algoritma dalam klasifikasi serta pengalaman analisa dengan algoritma tersebut juga dapat berpengaruh terhadap akurasi hasil klasifikasi citra.

(13)

2.5. Total Suspended Matter dan Remote Sensing

Secara umum, total suspended matter (TSM) didefinisikan sebagai semua partikel anorganik, phytoplankton dan detritus yang memiliki ukuran 0,45 μm-150 μm yang terdapat dalam kolom perairan (Abu Daya. 2004). Partikel melayang (suspended matter) tersebut dapat digolongkan sebagai bahan pencemar (pollutant) yang terdapat pada suatu perairan. Kandungan TSM dalam perairan dapat menentukan tingkat kualitas air pada perairan tersebut

Kandungan TSM dalam suatu perairan dapat diukur secara baik dengan menggunakan metode optik. Namun demikian tidak mudah untuk mengkonversi secara akurat hasil pengukuran tersebut kedalam satuan berat atau volume. Beberapa peneliti telah menjelaskan kaitan antara suspended matter dengan nilai reflektansi. Ritchie et al (1996) dalam Abu Daya (2004) menyatakan bahwa suspended matter telah meningkatkan nilai radiansi dari suatu permukaan air, terutama dalam kisaran gelombang elektromagnet visible sampai near infrared. Selanjutnya dari hasil pengukuran laboratorium menunjukkan bahwa nilai radiansi permukaan air dipengaruhi oleh tipe sedimen, tekstur sedimen, warna sedimen, sudut sensor dan sudut datang matahari, serta kedalaman air (Ritchie and Schiebe,1998 dalam Abu Daya, 2004)

Pemetaan TSM suatu perairan dengan remote sensing dapat dilakukan dengan pendekatan statistik yang sederhana. Cara ini telah banyak dilakukan oleh banyak peneliti. Konsep dalam pendekatan statistik ini adalah menentukan hubungan antara konsentrasi TSM hasil pengukuran lapangan dengan digital number (DN) tiap band dari citra satelit. Hasilnya dibandingkan dengan menggunakan linear regression. Untuk menghasilkan statistik algoritma yang sesuai, konsentrasi TSM harus berasal dari pengukuran lapangan yang diambil pada waktu yang sama dengan tanggal akuisisi citra.

Setiap perairan memerlukan algoritma yang spesifik untuk memetakan TSM, karena perbedaan lokasi dan waktu akan berdampak pada perbedaan kondisi perairan dan sifat-sifat optik. Perbedaan tersebut bisa disebabkan oleh beberapa

(14)

faktor seperti fluktuasi pasang surut, gelombang, angin, aliran sungai, kandungan sedimen dan jenis phytoplankton (Abu Daya. 2004). Algoritma yang dibangun untuk suatu daerah tertentu tidak akan akurat bila diaplikasikan untuk daerah yang lain.

Masalah utama berkaitan dengan penentuan konsentrasi TSM berdasarkan citra satelit adalah kesulitan dalam menentukan ground check yang benar-benar sesuai. Sangat sulit untuk menyesuaikan antara waktu pengukuran lapangan dengan waktu pada saat satelit melintas. Selain itu faktor manusia dan faktor fisik juga berpengaruh terhadap hasil pemetaan konsentrasi TSM berdasarkan citra satelit. Faktor yang disebabkan manusia misal: pengukuran lapangan pada waktu dan tempat yang tidak sesuai, peralatan yang tidak dikalibrasi, serta kesalahan dalam analisa sampel air. Sedangkan faktor fisik misal: variasi dari dinamika perairan dalam ruang dan waktu, serta kondisi meteorologi yang berbeda.

Gambar

Gambar  2.1.   Foto udara wilayah Delta Mahakam. (a). Ekosistem hutan  mangrove yang menutupi daratan delta
Gambar 2.2.  Zona vegetasi di Delta Mahakam     (Sumber : Husein, 2006)
Gambar 2.3 berikut ini menunjukkan tingkat pembukaan tambak tradisional di  Delta Mahakam sejak tahun 1992 sampai tahun 1998
Gambar 2.4.  Perubahan  lahan  di  wilayah Delta Mahakam sebagai dampak krisis  moneter

Referensi

Dokumen terkait

Media berasal dari bahasa latin yang merupakan bentuk jamak dari “Medium” yang secara harfiah berarti “Perantara” atau “Pengantar” yaitu perantara atau pengantar sumber

Dengan senantiasa mengucap puji syukur ke hadirat Allah SWT atas limpahan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-Nya kepada kita semua, sehingga pada kesempatan ini peneliti

Pusat Kreatif dan Produktif (PKP)/Rumah Inovatif INCAKAP adalah sebuah tempat/ruangan dimana masyarakat dapat melakukan komunikasi dan mengakses informasi melalui sarana TIK

Proklamasi, Jakarta Pusat; menerima gelar Doktor Honoris Causa dari American Christian College; menyelesaikan studi Doktoral dan meraih gelar Doktor Teologi dari STT Baptis

Dari absennya kategori gramatikal kala (tense) dalam bahasa Indonesia, dapa diasumsikan bahwa orang Indonesia tidak menganggap waktu sebagai persoalan yang sangat serius

Identifikasi senyawa metabolit sekunder adalah proses mengidentifikasi senyawa yang terkandung dalam daun tebu, meliputi uji golongan senyawa metabolit secara

penggunaannya salah dalam skripsi mahasiswa Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo, 2) mendeskripsikan jenis kesalahan pemakaian kata penghubung dalam skripsi

Segala Puji Syukur penulis dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat serta pertolonganNya yang berlimpah sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian