BAB II
KAJIAN PUSTAKA DANRERANGKA PEMIKIRAN
A. Kajian Pustaka
1. Kajian Terhadap Teori
Sebelum menjelaskan kajian terhadap tekanan eksternal dan komitmen manajemen, kiranya peneliti perlu menjelaskan teori yang melatarbelakangi keduanya dengan teori institusional dan isomorfisme institusional.
a. Teory Institusional (Institutional Theory)
Teori institusional (Institutional Theory) atau teori kelembagaan menurut Ferry Roen (2011) adalah terbentuknya organisasi oleh karena
tekanan lingkungan institusional yang menyebabkan terjadinya institusionalisasi. (Zukler, 1987) dalam Donaldson (1995), menyatakan bahwa ide atau gagasan pada lingkungan institusional yang membentuk bahasa dan simbol yang menjelaskan keberadaan organisasi dan diterima (taken for granted) sebagai norma-norma dalam konsep organisasi.
Sedangkan menurut Sri Rejeki (2012), ide pokok teori institusional adalah bahwa organisasi dibentuk oleh lingkungan institusional yang mengitarinya. Pengamatan terhadap organisasi harus dilihat sebagai totalitas simbol, bahasa, ataupun ritual-ritual yang melingkupinya. Oleh sebab itu institusionalisme menolak anggapan bahwa organisasi dan
kontek institusionalnya yang lebih besar bisa dipahami dengan
melakukan agregasi atas pengamatan terhadap perilaku
individu (skelley, 2000). Skelley mengatakan bahwa bagi seorang institusionalis keseluruhan (the whole) adalah lebih besar dari pada
jumlah individu (human parts).
Pada dasarnya pemikiran teori institusional adalah terletak pada pemikiran untuk bertahan hidup, dimanapada suatu organisasi pemerintah harus dapat meyakinkan masyarakat bahwa organisasi tersebut merupakan entitas yang sah (legitimate) dan layak untuk
didukung (Meyer dan Rowan, 1977). Scott (2008) dalam Villadsen (2011) menjelaskan teori institusional berfungsi untuk memberikan penjelasan atas tindakan dan pengambilan keputusan pada suatu organisasi.
Teori institusional muncul menjadi terkenal yang memberikan penjelas yang kuat dan populer, baik dalam tindakan individu maupun organisasi yang disebabkan olehfaktor eksogen (Dacin, 1997; Dacin et al., 2002), faktor eksternal (Frumkin dan Galaskiewicz, 2004) faktor
sosial (Scott, 2004), faktor ekspektasi masyarakat (Ashworth et al.,
2009), dan faktor lingkungan (Jun dan Weare, 2010).
Dalam teori institusional menggambarkan bahwa organisasi yang mengutamakan legitimasi lebih cenderung berusaha dalam penyesuaian diri untuk harapan eksternal atau harapan sosial pada setiap organisasi
berada (DiMaggio dan Powell 1983; Frumkin dan Galaskiewicz, 2004; Ashworth et al., 2009), dimana penyesuaian tersebut menimbulkan
kecenderungan organisasi untuk memisahkan kegiatan internal (Cavalluzzo dan Ittner, 2004) dan berfokus pada sistem yang bersifat simbolik pada pihak eksternal (Meyer dan Rowan, 1977).
Teori institusional memberikan kontribusi sebagai dalil-dalil bahwa beberapa unsur struktur internal organisasi dimunculkan oleh lingkungan institusional, khususnya oleh negara yang memaksakan adanya pemenuhan atau penyesuaian (Di Maggio dan Powell (1983), Tolbert dan Zuckler (1983), dalam Donaldson, 1995).
Selznick (1948) menyatakan bahwa individu-individu menciptakan komitmen lainnya terhadap organisasi agar dapat tercapai pengambilan keputusan rasional. Organisasi melakukan tawar-menawar dengan lingkungan dalam hal mencapai tujuan penting atau kemungkinan-kemungkinan masa mendatang. Akhirnya adaptasi struktur organisasi didasari oleh tindakan individu dan tekanan lingkungan. Oleh karenanya peran institusional yang krusial pada organisasi sebagai bagian dari proses-proses organisasi tidak boleh diabaikan.
Maka organisasi publik seperti pemerintah daerah, apabila ingin mendapatkan legitimasi dari masyarakat biasanya cenderung beradaptasi dan berupaya memiliki kesamaan dengan lingkungan di sekitar
organisasi. Situasi tersebut dikenal dengan istilah isomorfisme (isomorphism) (DiMaggio dan Powell, 1983).
b. Isomorfisme Institusional (Institutional Isomorphism)
Konsep ini bermula dari Amos Hawley, seorang antropologist yang menemukan bahwa unit-unit yang berada dalam satu lingkungan yang sama, akan sama pula bentuk keorganisasiannya. Konsep isomorfis lahir, karena tiap unit dalam satu unit sosial, akan menuju pada cara bertahan hidup yang paling tepat dan baik (best adapted to survival).
Menurut Ridha dan Basuki (2012) yang mengutip pernyataan Hawley (1968) dalam DiMaggio dan Powell (1983) bahwa isomorfisme (isomorphism) adalah proses yang mendorong satu unit dalam suatu
populasi untuk menyerupai unit yang lain dalam menghadapi kondisi lingkungan yang sama. Penelitian terbaru telah menekankan bagaimana organisasi publik menjadi subjek tekanan institusional yang mendalam sehingga menyebabkan pada umumnya organisasi publik menjadi lebih mirip (Ashworth et al., 2009). Dan dalam teori institusional organisasi
juga memprediksi bahwa organisasi akan menjadi lebih serupa karena tekanan institusional, baik dikarenakan adanya koersif maupaun disebabkan faktor normatif (DiMaggio dan Powell, 1983).
Secara lebih rinci DiMaggio dan Powell (1983) menjelaskan bahwa teori isomorfisme yaitu konsep proses menjadi sama bentuk; iso = sama, morp = bentuk. Maka isomorfisme diartikan sebagai “constraining
process” yang memaksa satu unit di dalam populasi untuk memiliki
wujud atau sifat yang sama dengan unit lain yang menghadapi lingkungan yang sama.
Isomorfisme ada tiga bentuk, yaitu isomorfisme Coersif, normatif dan mimetic. Isomorfisme coercive adalah proses dimana organisasi mengadopsi fitur (sifat) tertentu karena paksaan (tekanan) dari negara, organisasi lain, atau masyarakat. Bentuk tekanan misalnya: regulasi atau kontrak. Paksaan yang muncul tidak selalu formal dan paksaan yang dilakukan bisa menimbulkan ketaatan yang sesungguhnya atau yang semu (sekedar supaya kelihatan patuh).
Sedangkan isomorfisme normatif berkaitan dengan paksaan untuk menjadi sama yang muncul dari profesi. Misalnya, kelompok profesi mendefinisikan profesi mereka secara kognitif dan memberikan legitimasi dan otonomi profesi mereka. Contohnya adalah training dan sertifikasi untuk para anggota profesi.
Dan isomorfisme mimetic terjadi karena peniruan. Ini terjadi saat terjadi ketidakpastian mengenai cara memproses sesuatu atau beroperasi. Dalam situasi ini sebuah organisasi mungkin melakukan proses pembelajaran dengan meniru perusahaan lain dengan cara studi banding atau memakai jasa konsultan. Pendekatan ini mirip pandangan fungsionalis, namun DiMaggio dan Powell dalam rangka menjaga jarak dengan kelompok fungsionalis berargumentasi bahwa proses peniruan
lebih kepada mencari legitimasi. Artinya, yang dikejar bukan efisiensi teknik tapi aspek ideologi.
c. Tekanan Eksternal
Penjelasan yang panjang lebar terkait kedua teori di atas, yaitu teori institusional dan isomorfisme institusional kiranya dapat mengantarkan terhadap kajian mengenai tekanan eksternal.
Tekanan eksternal menurut Ferry Roen (2011) yang mengutip pendapat Meyer dan Scott (1983) dalam Donaldson (1995), yang terdiri dari berbagai kekuatan sosial, dapat menekan organisasi pemerintah guna melengkapi dan menyelaraskan sebuah struktur, organisasi harus melakukan kompromi dan memelihara struktur operasional secara terpisah, karena struktur organisasi tidak ditentukan oleh situasi lingkungan tugas, tetapi lebih dipengaruhi oleh situasi masyarakat secara umum dimana bentuk sebuah organisasi ditentukan oleh legitimasi, efektifitas dan rasionalitas pada masyarakat.
Dan tekanan eksternal ini sangat berhubungan dengan teori isomorfisme koersif.Menurut Ridha dan Basuki (2012) isomorfisme koersif selalu terkait dengan segala hal yang terhubung dengan lingkungan di sekitar organisasi. Isomorfisme koersif (coercive isomorphism) merupakan hasil dari tekanan formal dan informal yang
diberikan pada organisasi oleh organisasi lain dimana organisasi tergantung dengan harapan budaya masyarakat di mana organisasi
menjalankan fungsinya (DiMaggio dan Powell, 1983). DiMaggio dan Powell (1983) juga menyatakan bahwa isomorfisme koersif berasal dari pengaruh politik dan kebutuhan untuk legitimasi.
Kekuatan koersif adalah tekanan eksternal yang diberikan oleh pemerintah, peraturan, atau lembaga lain untuk mengadopsi struktur atau sistem (Ashworth, 2009). Adanya peraturan ditujukan untuk mengatur praktik yang ada agar menjadi lebih baik. Di sisi lain, kekuatan koersif dari suatu peraturan dapat menyebabkan adanya kecenderungan organisasi untuk memperoleh atau memperbaiki legitimasi (legitimate coercion) (scott, 1987), sehingga hanya menekankan aspek-aspek positif
(Hess, 2007) agar organisasi terlihat baik oleh pihak-pihak di luar organisasi. Perubahan organisasi yang didasari kekuatan koersif akan menyebabkan organisasi lebih mempertimbangkan pengaruh politik dari pada teknis (Ashworth, 2009). Perubahan organisasi yang lebih dipengaruhi politik akan mengakibatkan praktik-praktik yang terjadi dalam organisasi, khususnya terkait penerapan transparansi pelaporan keuangan akan hanya bersifat formalitas yang ditujukan untuk memperoleh legitimasi.
Menurut Sri Rejeki (2012) Mekanisme isomorpisme coercive merujuk pada proses dimana organisasi mengadopsi fitur (sifat) tertentu karena paksaan (tekanan) dari negara, organisasi lain, atau masyarakat. Bentuk tekanan misalnya: regulasi atau kontrak. Paksaan yang muncul tidak selalu formal dan paksaan yang dilakukan bisa menimbulkan
ketaatan yang sesungguhnya atau yang semu (sekedar supaya kelihatan patuh).
d. Komitmen Manajemen
Setelah memahami kajian terhadap tekanan eksternal, maka dalam proses penerapan transparansi pelaporan keuangan pemerintah daerah juga membutuhkan adanya komitmen manajemen.
Komitmen manajemen didefinisikan oleh Hendry (2010), Robbins dan Judge (2007) sebagai suatu keadaan dimana seorang individu memihak organisasi serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi. Sedangkan Mathis dan Jackson (dalam Sopiah, 155) mendefinisikan komitmen organisasional sebagai derajat dimana karyawan percaya dan mau menerima tujuan-tujuan organisasi dan akan tetap tinggal atau tidak akan meninggalkan organisasinya.
Richard M. Steers (Sri Kuntjoro, 2002) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai rasa identifikasi (kepercayaan terhadap nilai-nilai organisasi), keterlibatan (kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi kepentingan organisasi) dan loyalitas (keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi yang bersangkutan) yang dinyatakan oleh seorang pegawai terhadap organisasinya. Steers berpendapat bahwa komitmen organisasi merupakan kondisi dimana pegawai sangat tertarik terhadap tujuan, nilai-nilai, dan sasaran organisasinya. Komitmen terhadap
organisasi artinya lebih dari sekedar keanggotaan formal, karena meliputi sikap menyukai organisasi dan kesediaan untuk mengusahakan tingkat upaya yang tinggi bagi kepentingan organisasi demi pencapaian tujuan.
Komitmen terhadap organisasi artinya lebih dari sekedar keanggotaan formal, karena meliputi sikap menyukai organisasi dan kesediaan untuk mengusahakan tingkat upaya yang tinggi bagi kepentingan organisasi demi pencapaian tujuan. Berdasarkan definisi ini, dalam komitmen organisasi tercakup unsur loyalitas terhadap organisasi, keterlibatan dalam pekerjaan, dan identifikasi terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi.
Menurut Ridha dan Basuki (2012), Dimaggio and Powell (1983)
menyatakan bahwa isomorfisme normatif terkait dengan
profesionalisme.Perubahan institusional dapat berdampak pada masalah karakter dan integritas organisasi (Dacin et al, 2002).Paine (1994)
menyatakan bahwa strategi integritas merupakan sesuatu yang lebih luas, lebih dalam, dan lebih menuntut daripada inisiatif kepatuhan atas hukum. Kepatuhan atas hukum dan peraturan akan terwujud bila diikuti oleh komitmen manajemen yang kuat. Institusionalisasi sebagai proses dalam organisasi untuk menetapkan suatu karakter ditentukan oleh komitmen organisasi dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip (Selznick, 1992 dalam Dacin, 2002). Transparansi merupakan salah satu nilai atau prinsip (PP
No. 58/2005, Penjelasan Pasal 4 ayat 1) yang harus dipegang oleh organisasi dalam pengelolaan keuangannya.
e. Transparansi Pelaporan Keuangan
Menurut Ridha dan Basuki (2012) Stiglitz (1999) menyatakan bahwa transparansi dan akuntabilitas merupakan hak asasi setiap manusia. Transparansi secara luas berarti melakukan tugas dengan cara membuat keputusan, peraturan dan informasi lain yang tampak dari luar (Hood, 2010). Hood (2007) menyatakan bahwa transparansi sebagai sebuah konsep mencakup transparansi peristiwa atau kejadian (informasi yang terbuka tentang input, output, dan outcome), transparansi proses
(informasi yang terbuka tentang transformasi yang berlangsung antara input, output, dan outcome), transparansi real-time (informasi yang dirilis
segera), atau transparansi retrospektif (informasi tersedia berlaku surut).Rawlins (2006) memberikan tambahan pada definisi yang diberikan oleh Heise (1985) dalam Rawlins (2008).
Definisi transparansi secara operasional adalah sebagai berikut:
Transparansi adalah upaya yang secara sengaja menyediakan semua informasi yang mampu dirilis secara legal baik positif maupun negatif secara akurat, tepat waktu, seimbang, dan tegas, dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan penalaran publik dan mempertahankan tanggung jawab organisasi atas tindakan, kebijakan, dan praktiknya.
Menurut M. Saifrizal transparansi merupakan suatu kebebasan untuk mengakses aktivitas politik dan ekonomi pemerintah dan keputusan-keputusannya. Transparansi memungkin semua stakeholders
dapat melihat struktur dan fungsi pemerintahan, tujuan dari kebijakan dan proyeksi fiskalnya, serta laporan (pertanggungjawaban) periode yang lalu.
Transparansi, akuntabilitas dan keadilan merupakan atribut yang terpisah. Akan tetapi, dua istilah yang pertama adalah tidak independen, sebab pelaksanaan akuntabilitas memerlukan transparansi (Shende dan Bennett, 2004). Sementara itu, Mohamad dkk. (2004) menyatakan bahwa esensi dari demokrasi adalah akuntabilitas, sedangkan esensi dari akuntabilitas adalah keterbukaan (transparansi). Mohamad dkk. (2004) berpendapat bahwa akuntabilitas muncul sebagai jawaban terhadap
permasalahan information asymmetry. Teori asimetri informasi
beranggapan bahwa banyak terjadi kesenjangan informasi antara pihak manajemen yang mempunyai akses langsung terhadap informasi dengan pihak konstituen atau masyarakat yang berada di luar manajemen.Scott (1997) menjelaskan bahwa kelanggengan suatu organisasi ditentukan oleh kemampuan untuk menciptakan informasi yang terbuka, seimbangan dan merata bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders).
Penerapan transparansi di organisasi sektor publik diharapkan dapat mengurangi asimetri informasi antara pihak internal (manajemen) dan pihak eksternal (masyarakat). Silver (2005) mengatakan bahwa para pemangku kepentingan (stakeholders) menuntut organisasi untuk lebih
transparan. Selanjutnya, Silver (2005) mendefinisikan transparansi sebagai suatu kejujuran dan ketepatan yang tidak hanya dalam jumlah yang disampaikan atau dirilis oleh organisasi, tapi juga bagaimana organisasi menjalankan operasionalnya.
Transparansi dalam praktiknya juga membutuhkan kepercayaan (Rawlins, 2008). Organisasi yang mengedepankan adanya transparansi publik akan menjadi rentan akan kritik dari para pemangku kepentingan, karena para pemangku kepentingan dapat melihat potret mengenai gambaran organisasi secara terbuka. Meyer dan Rowan (1977) mengidentifikasi bahwa organisasi akan mendapatkan legitimasi, stabilitas, dan sumber daya apabila sesuai dengan apa yang menjadi harapan masyarakat. Organisasi publik akan menghadapi risiko transparansi, dimana organisasi tidak dapat memastikan apa yang menjadi harapan pemangku kepentingan dan bagaimana pemangku kepentingan akan menggunakan informasi yang disampaikan atau dirilis oleh organisasi publik.
2. Kajian Riset Terdahulu
Tabel II.A: Kajian judul yang sama di Provinsi D.I. Yogyakarta dan Kabupaten Rokan Hilir
No Judul Penulis/
Penyusun Tempat Tahun Hasil Penelitian
1 Pengaruh Tekanan Eksternal, Ketidakpastian Lingkungan dan Komitmen Manajemen terhadap Penerapan Transparansi Pelaporan Keuangan Dr. M. Arsyadi Ridha, Hardo Basuki Pemerintah Provinsi Yogyakart a
2012 1.Tekanan ekseternal dan
komitmen manajemen berpengaruh dan signi-fikan terhadap pene-rapan transparansi pela-poran keuangan.
2.Hal ini menunjukkan bahwa untuk mening-katkan dan memper-baiki penerapan trans-paransi pelaporan keu-angan di organisasi yang ada di lingkungan pemerintah daerah da-patmempertimbangkan dan memformulasikan faktor-faktor tersebut dengan baik. Pengaruh Tekanan Eksternal, Ketidakpastian Lingkungan dan Komitmen Manajemen Terhadap Penerapan Transparansi Keuangan Johannes Sihaloho dan Raja Adri Satriawan Surya Supriono Kabupaten Rokan Hilir 2013 1.Pada pengujian tekanan eksternal mendapatkan hasil bahwa tekanan eksternal berpengaruh terhadap penerapan transparansi pelaporan keuangan, hasil ini menunjukan tekanan eksternal dapat membantu penerapan transparansi pelaporan keuangan di lingkungan SKPD Kabupaten Rokan Hilir.
2.Pada pengujian keti-dakpastian lingkungan
mendapatkan hasil
bahwa ketidakpastian lingkungan tidak
ber-pengaruh terhadap
penerapan transparansi pelaporan keuangan, hasil ini menunjukan
ketidakpastian
ling-kungan tidak berpe-ngaruh dan tidak dapat
membantu terhadap
penerapan transparansi pelaporan keuangan di lingkungan SKPD Ka-bapaten Rokan Hilir.
3.Pada pengujian
ko-mitmen manajemen
mendapatkan hasil
bahwa komitmen ma-najemen berpengaruh
terhadap penerapan
transparansi pelaporan keuangan, hasil ini menunjukan komitmen manajemen dapat membantu penerapan transparansi pelaporan keuangan di lingkung-an SKPD Kabupaten Rokan Hilir.
Sumber: Jurnal Simposium Nasional 2012 disusun oleh M. Arsyadi Ridho dan Hardo Basuki, dan Jurnal yang disusun tahun 2013 oleh Johannes Sihaloho dan Raja Adri Satriawan Surya Supriono
B. Rerangka Pemikiran
Dari kajian pustaka yang dibahas secara panjang lebar, kiranya dapat memudahkan peneliti dalam mengeksplorasi gamabaran mengenai tekanan
eksternal, komitmen manajemen dan optimalisasi transparansi pelaporan keuanagan pada Pemerintah Kota Serang, maka peneliti akan memfokuskan penelitian ini dengan menggunakan rerangka pemikiran sebagai berikut:
Menggali gambaran umum terkait dengan tekanan eksternal, komitmen manajemen dan optimalisasi penerapan transparansi pelaporan keuangan pada Pemerintah Kota Serang, sehingga analisis pekerjaan dan aktivitas yang terkait dengan ketiga unsur tersebut dapat dijadikan bahan untuk penelitian berikutnya dalam upaya optimalisasi penerapan transparansi pelaporan keuangan sesuai peraturan yang berlaku dan memenuhi harapan publik.
Sebagai ulasan teoritis, tekanan eksternal adalah kekuatan yang menekan organisasi (baca: pemerintah daerah) yang berasal dari luar organisasi, seperti pemerintah pusat, regulasi, masyarakat (non government organization), dan
lain-lain. Hubungan teori tekanan eksternal dengan teori institusional dan isomorfisme institusional adalah peran lingkungan di sekitar organisasi pemerintah daerah sangat signifikan terhadap bentuk kebijakannya, sehingga organisasi pemerintah daerah berupaya kuat untuk memenuhi atau sekedar meniru tekanan yang datang dari luar organisasi pemerintah daerah.
Sedangkan komitmen manajemen adalah unsur yang dapat menciptakan sebuah kebijakan organisasi pemerintah daerah. Komitmen manajemen merupakan keinginan atau niat baik (good will) internal organisasi pemerintah
daerah dalam mengupayakan dan memelihara kinerja yang baik. Dan hubungan antara teori isomorfisme institusional dengan komitmen manajemen adalah
organisasi pemerintah daerah meniru atau beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya sehingga organisasi pemerintah daerah yang terdiri dari SKPD-SKPD mau merubah dirinya dan membuat komitmen yang lebih baik dengan mempertimbangkan keinginan masyarakat atau lingkungan di sekitarnya. Komitmen manajemen dapat berupa regulasi internal yang disepakati bersama atau dibuat secara sepihak oleh atasan terhadap bawahan sehingga kinerja seluruh komponen internal organisasi dapat berjalan di atas rel yang telah menjadi komitmen internal organisasi.
Optimalisasi penerapan tramsparansi pelaporan keuangan dalam sebuah pemerintahan menjadi kajian yang menarik berikutnya untuk peneliti analisis. Kondisi Pemerintah Kota Serang yang baru seumur jagung dan sekaligus sebagai jantungnya kota di Provinsi Banten sangat strategis untuk dikaji lebih mendalam terkait dengan penerapan transparansi pelaporan keuangannya. Dalam kajian pustaka sebelumnya disebutkan bahwa transparansi keuangan pemerintah daerah adalah hak semua warganya, oleh karena itu optimalisasi penerapan transparansi pelaporan keuangan pada Pemerintah Kota Serang menjadi sebuah keharusan.
Kalau dalam kedua penelitian sebelumnya senantiasa menyertakan variabel “ketidakpastian lingkungan” selain tekanan eksternal dan komitmen manajemen yang dimasukkan dalam unsur judul penelitian, maka dalam penelitian ini peneliti tidak memasukan variable apapun, karena penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yang hanya menggambarkan serta menjelaskan tekanan eksternal dan komitmen manajemen dalam mengoptimalkan penerapan transparansi pelaporan keuangan pada Pemerintah Kota Serang.