• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

Pecut kuda tumbuh liar di tepi jalan, tanah lapang dan tempat- tempat terlantar lainnya. Tanaman yang berasal dari Amerika ini dapat ditemukan di daerah cerah, sedang, terlindung dari sinar matahari dan pada ketinggian 1- 1500 m dpl. Pecut kuda merupakan terna tahunan, tumbuh tegak, tinggi ± 50 cm, tumbuh liar disisi jalan daerah pinggir kota, tanah kosong yang tidak terawat. Daun letak berhadapan, bentuk bulat telur, tepi bergerigi, tidak berambut. Bunga duduk tanpa tangkai pada bulir - bulir yang berbentuk pecut, panjang 4 - 20 cm. bunga mekar tidak berbarengan, kecil - kecil warna ungu, putih (Dalimartha, 2000).

2.1.1 Sistematika tumbuhan

Kedudukan kategori taksa untuk jenis pecut kuda di dalam sistematika tumbuhan adalah sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Class : Dicotyledoneae Ordo : Lamiales Famili : Verbenaceae Genus : Stachytarpheta

(2)

2.1.2 Nama lokal

Jawa : jarong (Sunda), biron, karomenal, sekar laru, ngadirenggo (jawa) (Dalimartha, 2000).

2.1.3 Nama asing

Yu long Bian (Cina), Snakeweed (Inggris) (Dalimartha, 2000). 2.1.4 Kandungan kimia

Pecut kuda mengandung glikosida, flavonoid dan alkaloid (Dalimartha, 2000).

2.1.5 Khasiat tumbuhan

Herba pecut kuda (Stachytarpheta jamaicensis (L.) Vahl) digunakan sebagai obat infeksi dan batu saluran kencing, rematik, sakit tenggorokan, pembersih darah, haid tidak teratur, keputihan, hepatitis A. Bunga dan tangkainya untuk pengobatan radang hati sedangkan akarnya untuk pengobatan keputihan (Dalimartha, 2000).

2.2 Metode Ekstraksi

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan (Depkes, 2000). Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, diluar pengaruh cahaya matahari langsung (BPOM, 2012).

Ekstraksi (dalam istilah farmasi) yaitu proses pemisahan bagian senyawa aktif yang berkhasiat sebagai obat dari jaringan tanaman atau hewan dengan menggunakan pelarut tertentu, sesuai prosedur standart yang akan menghasilkan

(3)

ekstrak (Depkes, 1979). Zat aktif yang terdapat dalam simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain (Ditjen POM, 2000). Tujuan utama ekstraksi adalah untuk mendapatkan atau memisahkan sebanyak mungkin zat-zat yang memiliki khasiat pengobatan (Syamsuni, 2006).

Metode ekstraksi yang umum digunakan antara lain yaitu: a. Maserasi

Maserasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan, sedangkan remaserasi merupakan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya (Ditjen POM, 2000).

b. Perkolasi

Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Serbuk simplisia yang akan diperkolasi tidak langsung dimasukkan kedalam bejana perkolator, tetapi dibasahi atau dimaserasi terlebih dahulu dengan cairan penyari sekurang-kurangnya selama 3 jam (Ditjen POM, 2000).

c. Refluks

Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan alat pada temperatur titik didihnya dalam waktu tertentu dimana pelarut akan terkondensasi menuju pendingin dan kembali ke labu (Ditjen POM, 2000).

d. Sokletasi

Sokletasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut yang selalu baru, dilakukan dengan menggunakan alat soklet dimana pelarut akan

(4)

terkondensasi dari labu menuju pendingin, kemudian jatuh membasahi sampel (Ditjen POM, 2000).

e. Digesti

Digesti adalah proses penyarian dengan pengadukan kontinu pada temperatur lebih tinggi dari temperatur kamar, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50°C (Ditjen POM, 2000).

f. Infundasi

Infundasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90°C selama 15 menit (Ditjen POM, 2000).

g. Dekoktasi

Dekoktasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90°C selama 30 menit (Ditjen POM, 2000).

2.3 Toksisitas

Toksisitas adalah potensi bahan kimia untuk meracuni tubuh orang yang terpapar. Toksisitas adalah kemampuan suatu zat asing dalam menimbulkan kerusakan pada organisme baik saat digunakan atau saat berada dalam lingkungan (Priyanto, 2009).

Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu senyawa pada sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis-respon dari sediaan uji. Data yang diperoleh dapat digunakan untuk memberi informasi mengenai derajat bahaya sediaan uji tersebut bila terjadi pemaparan pada manusia sehingga dapat ditentukan dosis penggunaan dan keamanannya (OECD, 2001). Melakukan uji toksisitas untuk memperoleh informasi yang dapat digunakan untuk mengevaluasi resiko akibat pajanan bahan kimia yang terjadi (Klassen, 2012).

(5)

Penelitian toksisitas konvensional pada hewan coba sering mengungkapkan serangkaian efek akibat pajanan toksikan dalam berbagai dosis untuk berbagai masa pajanan. Penelitian toksikologi biasanya dibagi menjadi tiga kategori (Lu, 1995):

a. Uji toksisitas akut dilakukan dengan memberikan bahan kimia yang sedang diuji sebanyak satu kali dalam jangka waktu 24 jam.

b. Uji toksisitas jangka pendek (dikenal dengan subkronik) dilakukan dengan memberikan bahan kimia berulang-ulang, biasanya setiap hari, selama jangka waktu kurang lebih tiga bulan untuk tikus dan satu atau dua tahun untuk anjing.

c. Uji toksisitas jangka panjang dilakukan dengan memberikan bahan kimia berulang-ulang selama masa hidup hewan coba atau sekurang-kurangnya sebagian besar dari masa hidupnya, misalnya 18 bulan untuk mencit, 24 bulan untuk tikus, dan 7-10 tahun untuk anjing dan monyet.

2.3.1 Uji toksisitas akut

Uji toksisitas akut adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang muncul dalam waktu singkat setelah pemberian sediaan uji secara oral dalam dosis tunggal yang diberikan dalam waktu 24 jam sebanyak satu kali pemberian (Lu, 1995). Tujuan dilakukannya uji toksisitas akut adalah untuk menentukan LD50 (potensi ketoksikan) akut dari suatu senyawa (Priyanto, 2009). Semakin

kecil harga LD50 maka semakin besar potensi ketoksikannya (OECD, 2001).

Prinsip uji toksisitas akut oral yaitu, sediaan uji dalam beberapa tingkat dosis yang diberikan pada beberapa kelompok hewan uji dengan satu dosis per

(6)

kelompok, kemudian dilakukan pengamatan terhadap adanya efek toksik dan kematian (OECD, 2001).

2.3.2 Uji Toksisitas Subkronik

Uji toksisitas subkronik merupakan suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan dosis berulang yang diberikan secara oral pada hewan uji (OECD, 2008).

Tujuan toksisitas subkronik oral adalah untuk memperoleh informasi adanya efek toksik zat yang tidak terdeteksi pada uji toksisitas akut, informasi kemungkinan adanya efek toksik setelah pemaparan sediaan uji secara berulang dalam jangka waktu tertentu, informasi dosis yang tidak menimbulkan efek toksik dan mempelajari adanya efek kumulatif dan efek reversibilitas zat tersebut (OECD, 2008). Serta bertujuan untuk menentukan organ sasaran (organ yang rentan) (Priyanto, 2009).

Prinsip uji toksisitas subkronik oral adalah sediaan uji dalam beberapa tingkat dosis diberikan setiap hari pada beberapa kelompok hewan uji dengan satu dosis per kelompok selama 28 atau 90 hari. Selama pemberian sediaan uji, hewan harus diamati setiap hari untuk menentukan adanya toksisitas. Selama waktu dan pada akhir periode pemberian sediaan uji, hewan yang mati dan masih hidup diotopsi selanjutnya dilakukan pengamatan secara makropatologi pada setiap organ dan jaringan. Selain itu juga dilakukan pemeriksaan hematologi, biokimia klinis dan histopatologi (OECD, 2008).

2.3.3 Uji Toksisitas Kronik

Uji toksisitas kronis dilakukan dengan memberikan senyawa uji berulang-ulang selama masa hidup hewan uji atau sebagian besar masa hidupnya (Priyanto,

(7)

2009). Prinsip toksisitas kronik oral pada umumnya sama dengan uji toksisitas subkronik, hanya sediaan uji yang diberikan lebih lama tidak kurang dari 12 bulan. Pengamatan juga dilakukan secara lengkap seperti gejala toksik, monitoring berat badan dan konsumsi makanan, pemeriksaan hematologi, biokimia klinis, makropatologi, penimbangan organ dan histopatologi (OECD, 2008).

2.4 Hati

Salah satu organ yang sering menderita karena adanya zat-zat toksik adalah hati. Bahan kimia kebanyakan mengalami metabolisme dalam hati dan oleh karenanya banyak bahan kimia yang berpotensi merusak sel-sel hati. Bahan kimia yang dapat mempengaruhi hati disebut hepatotoksik (Wisaksono, 2002).

2.4.1 Anatomi Hati

Hati merupakan organ tubuh terbesar kedua di dalam tubuh, dengan berat rata-rata sekitar 1,5 kg. Organ ini terletak dalam rongga perut sebelah kanan di bawah diafragma (Junqueira and Carneiro, 2007). Hati terbagi dalam dua belahan utama kanan dan kiri yang dipisahkan oleh fisura longitudinal (Irianto, 2004). Warnanya dalam keadaan segar merah kecoklatan, warna tersebut terutama disebabkan oleh adanya darah yang amat banyak (Lee, et al., 1997).

Hati tersusun oleh beberapa tipe sel, yaitu: a. Hepatosit

Sel-sel ini merupakan 70% dari di hati dan 90% dari berat hati total. Hepatosit tersusun dalam unit-unit fungsional yang disebut asinus atau lobulus. Setiap lobulus memiliki sebuah vena sentral (vena terminalis) dan traktus portal yang terletak di perifer.

(8)

b. Sel duktus biliaris

Sel-sel duktus biliaris membentuk duktus dalam traktus portal lobulus hepar. Duktus dari lobulus-lobulus yang berdekatan menyatu berjalan menuju hilus hepar, dengan ukuran dan garis tengahnya secara bertahap membesar.

c. Sel Vaskular

Hati memiliki pendarahan ganda. Organ ini menerima darah melalui arteri hepatika dan vena porta. Arteri hepatika dan vena porta masuk ke hepar di porta hepatis lalu bercabang menjadi pembuluh yang lebih halus berjalan sejajar sampai mencapai vena sentralis.

d. Sinusoid

Sinusoid hepar adalah saluran darah yang melebar dan berliku-liku, sinusoid hepar dipisahkan dari hepatosit di bawahnya oleh spatium perisinusoideum (disse) subendoteial. Akibatnya, zat makanan yang mengalir di dalam sinusoid memiliki akses langsung melalui dinding endoteial yang tidak utuh dengan hepatosit. Struktur dan jalur sinusoid yang berliku di hepar memungkinkan pertukaran zat yang efisien antara hepatosit dan darah. Selain endotel, sinusoid hepar juga mengandung makrofag, yang disebut sel kuppffer (macrophagocytus stellatus), terletak di sepanjang sinusoid.

e. Kandung empedu

Kandung empedu adalah organ kecil berongga yang melekat pada permukaan bawah hepar. Empedu diproduksi oleh hepatosit dan kemudian mengalir melalui kanalikuli dan disimpan di dalam kandung empedu (Eroschenko, 2004).

(9)

2.4.2 Fisiologi Hati

Organ hati terlibat dalam metabolisme zat makanan serta sebagian besar obat dan toksikan (Lu, 1994).

Fungsi hati adalah sebagai berikut (Setiadi, 2007):

1. Mengubah zat makanan yang diabsorpsi dan yang di simpan di suatu tempat dalam tubuh, dikeluarkan sesuai dengan pemakaiannya dalam jaringan. 2. Mengubah zat buangan dan bahan racun untuk diekskresi dalam empedu dan

urin.

3. Menghasilkan enzim glikogenik glukosa menjadi glikogen.

4. Sekresi empedu, garam empedu di buat di hati, dibentuk dalam sistem retikuloendotelium, dialirkan ke empedu.

5. Pembentukan ureum, hati menerima asam amino diubah menjadi ureum, dikeluarkan dari darah oleh ginjal dalam bentuk urin.

6. Menyiapkan lemak untuk pemecahan terakhir asam karbonat dan air.

Semua darah yang didistribusikan ke saluran pencernaan kembali ke jantung melalu sistem portal hati untuk menjalani beberapa proses. Dengan demikian semua zat yang ada dalam darah akan melewati hati dan beberapa zat dapat menyebabkan kerusakan (Priyanto, 2009).

2.4.3 Histologi Hati

Hati terdiri atas unit-unit heksagonal yaitu lobulus hati. Di bagian tengah setiap lobulus hati terdapat sebuah vena sentralis yang dikelilingi secara radial oleh sel-sel hati (hepatosit) (Junqueira dan Corneiro, 2007).

Hepatosit (sel parenkim hati) merupakan sebagian besar organ hati. Hepatosit bertanggung jawab terhadap peran sentral hati dalam metabolisme. Sel

(10)

– sel ini terletak diantara sinusoid yang terisi darah dan saluran empedu. Sel Kupffer melapisi sinusoid hati dan merupakan bagian penting dari sistem retikuloendotelial tubuh (Lu, 1994).

Darah dipasok melalui vena porta dan arteri hati dan disalurkan melalui vena sentral dan kemudian vena hati ke vena kava (Lu, 1994). Sebanyak 80% dari aliran darahnya berasal dari vena porta yang mengangkut darah rendah oksigen. Sisanya (20%) berasal dari arteri hepatika yang memasok darah kaya oksigen. Darah meninggalkan hati melalui vena hepatika yang mengalir menuju vena kava inferior (Underwood, 1994).

2.4.4 Jenis kerusakan hati

Toksikan dapat menyebabkan berbagai jenis efek toksik pada berbagai organel dalam sel hati, mengakibatkan berbagai jenis kerusakan hati, seperti berikut (Lu, 1994):

1. Perlemakan Hati (Steatosis)

Perlemakan hati adalah hati yang mengandung berat lipid lebih dari 5%. 2. Nekrosis Hati

Nekrosis hati adalah kematian hepatosit. Inti sel yang mati dapat terlihat lebih kecil dan menjadi lebih padat (kariopiknosis), hancur bersegmen-segmen (karioreksis) dan kemudian inti sel menghilang (kariolisis). Nekrosis dapat bersifat fokal (sentral, pertengahan, perifer) atau masif.

3. Kolestatis

Jenis kerusakan hati ini bisanya bersifat akut dan jarang ditemukan dibandingkan dengan perlemakan hati dan nekrosis.

(11)

4. Sirosis

Sirosis ditandai oleh adanya septa kolagen yang tersebar di sebagian besar hati.

5. Hepatitis yang Mirip Hepatitis Virus

Berbagai macam obat mengakibatkan suatu sindroma klinis yang tidak dapat dibedakan dari hepatitis virus. Pada umumnya, obat itu mempunyai ciri-ciri berikut:

a. Kerusakan hati semacam itu tidak dapat diperlihatkan pada hewan. b. Tampaknya beberapa efek pada manusia tidak berkaitan dengan dosis. c. Masa laten sangat beragam.

d. Toksisitas hanya muncul pada beberapa individu yang rentan. e. Gambaran histologi lebih beragam.

f. Biasanya pasien memperlihatkan tanda-tanda hipersensivitas lain dan kadang-kadang bereaksi terhadap suatu dosis tantangan.

g. Demam, ruam dan eosinofilia sering ditemukan. 6. Karsinogenesis

Karsinoma hepatoseluler dan kolangiokarsinoma adalah jenis neoplasma ganas yang paling umum pada hati. Jenis karsinoma lainnya antara lain angiosarkoma, karsinoma kelenjar, karsinoma trabekular dan karsinoma sel hati yang tidak berdiferensiasi.

2.5 SGPT (Serum Glutamic Pyruvic Transaminase)

Tes fungsi hati yang umum untuk mengetahui adanya gangguan dalam organ hati adalah SGPT (Serum Glutamic Pyruvic Transaminase) atau ALT (Alanine Aminotransferase) (Wibowo, dkk., 2005).

(12)

SGPT merupakan enzim transminase yang dibuat dalam sel hati (hepatosit), jadi lebih spesifik untuk penyakit hati dibandingkan dengan enzim lain. SGPT sering dijumpai dalam hati, sedangkan SGOT terdapat lebih banyak di jantung, otot rangka, otak dan ginjal dibandingkan di hati (Sagita, dkk., 2012). SGPT memberikan hasil yang lebih spesifik dari pada SGOT (Sherlock, 1981; Bauer, 1982; Murray, et al., 1995). Kadarnya dalam serum meningkat terutama pada kerusakan dalam hati dibandingkan dengan SGOT (Hadi, 1995).

Kerusakan pada sel hati yang sedang berlangsung dapat diketahui dengan mengukur parameter fungsi hati berupa zat dalam peredaran darah yang dibentuk oleh sel hati yang rusak atau mengalami nekrosis. Pemeriksaan enzim seringkali menjadi satu-satunya petunjuk adanya penyakit hati yang dini atau setempat (Widman, 1995).

Hepatosit apabila mengalami cedera enzim yang secara normal tersebut berada di dalam sel yaitu sitoplasma akan masuk ke dalam aliran darah (Sacher dan Richard, 2004). SGPT darah mencit normal adalah 17–77 IU/L (Research Animal Resources, 2009).

2.6 SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase)

SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) atau Aspartate aminotransferase (AST) merupakan sebuah enzim yang biasanya terletak di dalam sel-sel hati. SGOT dilepaskan ke dalam darah ketika hati atau jantung rusak. Tingkat SGOT dalam darah signifikan dengan tingginya kerusakan hati atau dengan kerusakan jantung (misalnya serangan jantung). Beberapa obat juga dapat meningkatkan kadar SGOT. Enzim ini dalam jumlah yang kecil dijumpai pada otot jantung, ginjal dan otot rangka (Krysanti, 2014).

Referensi

Dokumen terkait

Pada hari ini Kamis tanggal lima bulan Agustus tahun dua ribu sepuluh pukul 09.30 sampai dengan 11.59 WIB, telah dilakukan kegiatan penjelasan pekerjaan (aanwijzing) atas

1) Fotokopi ijazah S-1/D-IV, fotokopi ijazah dan transkrip nilai S-2 dan/atau S-3 yang telah dilegalisasi (kecuali Ijazah S-3 by research ). Ijazah dari perguruan

Melakukan observasi terhadap kemampuan siswa dalam membaca nyaring, keaktifan siswa bertanya, dan untuk mengetahui proses pembelajaran, baik yang terjadi pada

perakaran kuat,batang kokoh, warna bijicerah dan hasil rendemen tinggi.. Sumber : Kementerian Pertanian Badan Penyuluhan dan Perkembangan

[r]

ASD usia 2 tahun 9 bulan didapatkan kejang disertai demam tinggi berlangsung kurang lebih selama 5 menit, tangan, kaki, dan tubuh kaku, mata melirik ke atas, mulut seperti

4.1 The Multi-site or Group COC certificate shall be administered by a Central Office, which shall be, or act on behalf of, The Organization holding the certificate. 4.2

• Surat Keterangan Pendamping Ijazah (SKPI) atau Diploma Supplement adalah surat pernyataan resmi yang dikeluarkan oleh Perguruan Tinggi, berisi informasi tentang pencapaian