• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN. suatu bentuk kesadaran yang diikuti dengan kegiatan gotong royong untuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN. suatu bentuk kesadaran yang diikuti dengan kegiatan gotong royong untuk"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Skripsi ini menganalisis tentang peran modal sosial dalam upaya pemberantasan wabah demam berdarah di Kelurahan Siaga Sorosutan, Umbulharjo. Artinya sejauh mana kontribusi/peran modal sosial dalam upaya pemberantasan penyakit menular demam berdarah di Kelurahan Siaga Sorosutan, Kecamatan Umbulharjo. Tema skripsi ini penting dilihat dari segi teoritis maupun empiris. Secara teoritis, bahwa modal sosial melalui jaringan sosial dan komunitas berdampak pada kualitas perlindungan kesehatan.1 Selain itu, dengan diterapkannya kebijakan

kelurahan siaga yang berbasis modal sosial akan meningkatkan dan mengokohkan partisipasi masyarakat yang semula hanya berdasarkan mobilitas semata menjadi suatu bentuk kesadaran yang diikuti dengan kegiatan gotong royong untuk meningkatkan derajat kesehatan bersama. Mengingat di daerah yang memang tergolong endemik tidak dapat hanya mengandalkan instruksi dari pemerintah saja, akan tetapi harus diikuti oleh gerakan kesadaran masyarakat yang bersangkutan.

Kemudian, secara empiris tema ini sangat penting untuk dikaji lebih mendalam, hal ini mengingat tingginya angka kasus demam berdarah yang semakin

1 Hawe P,Shiell A. Social Capital and Health Promotion. In:Sidell M, Jones L,Katz J, Peberdy A,

Douglas J, editors. Debates and Dilemmas In Promoting Health. 2nd ed. The Open University. Palgrave Mac Millan:2000. Hal.40

(2)

2

mengkhawatirkan. Di Asia Tenggara, DBD pertama kali muncul di Manila pada tahun 1953 yang selanjutnya meluas ke berbagai negara lainnya. Sedangkan, di Indonesia, DBD pertama kali ditemukan di Surabaya pada tahun 1968, kemudian di DKI Jakarta dan berturut-turut dilaporkan di Bandung dan Yogyakarta (1972). Awalnya penyakit DBD ini hanya terjadi di daerah perkotaan, namun seiring meningkatnya mobilitas penduduk penyakit DBD ini pun mulai menyerang daerah pedesaan juga sejak tahun 1975.2 Jumlah kasusnya semakin tahun semakin

memperihatinkan bahkan di beberapa kasus telah ditetapkan menjadi kejadian luar biasa (KLB). Di Indonesia, KLB terbesar pernah tercatat pada tahun 1998 dilaporkan dari 16 propinsi. Pada tahun 2004, KLB DBD di Indonesia telah menyerang 39.938 jiwa dengan angka kematian 1,3%. Meskipun dibandingkan dengan KLB pada tahun 1968 angka kematiannya telah menurun, namun angka kematian tersebut masih terlalu tinggi jika dibandingkan dengan Singapura (0,1%), India (0,2%), Vietnam (0,3%), Thailand (0,3%), Malaysia (0,9%), dan Filipina (1%).3

Sementara itu, seperti beberapa daerah lainnya, Kota Yogyakarta juga hingga saat ini belum dapat terbebas dari permasalahan wabah penyakit demam berdarah. Hal ini dapat dilihat melalui rekaman jumlah kasus demam berdarah setiap tahunnya di Kota Yogyakarta yang masih relatif tinggi. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta bahwa pada tahun 2010 jumlah kasus demam berdarah di

2 Anies, 2006.Manajemen Berbasis Lingkungan Solusi Mencegah dan Menanggulangi Penyakit

Menular. Jakarta:PT Elex Media Komputindo. Halaman:52

3 Bappenas. 2006. Laporan Akhir Kajian Kebijakan Penanggulangan (Wabah) Penyakit Penular Studi

(3)

3

Kota Yogyakarta sebanyak 1.517 kasus dengan 6 kematian, Kemudian 2011 dengan 460 kasus, 374 kasus di tahun 2012, 908 kasus pada tahun 2013 dengan 4 kematian dan 418 kasus di tahun 2014 dengan 3 kematian. Pada tahun 2014 terdapat lima kecamatan dengan kasus demam berdarah tertinggi yaitu:Kecamatan Umbulharjo, Kecamatan Gondokusuman, Kecamatan Mantrijeron, Kecamatan Mergangsan dan Kecamatan Tegalrejo (Kedaulatan Rakyat, 2015). Beberapa faktor yang mempengaruhi penyebaran penyakit DBD yaitu:urbanisasi yang cepat, perkembangan pembangunan di daerah pedesaan, kurangnya persediaan air bersih, mudahnya transportasi yang menyebabkan meningkatnya tingkat mobilitas masyarakat, adanya pemanasan global yang dapat mempengaruhi bionomik vektor Aedes aegypti serta pola perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) masyarakat yang masih minim.

Sebenarnya, upaya penyelenggaraan pelayanan kesehatan telah sejak lama dilakukan oleh pemerintah. Pada tahun 1970-1980 an pemerintah menggalang peran aktif masyarakat melalui gerakan Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD). Akan tetapi, setelah tahun 1998 gerakan dibidang kesehatan tersebut tidak lagi dilakukan. Kemudian pada tahun 2006 Departemen Kesehatan RI melakukan suatu terobosan dengan mengeluarkan kebijakan desa/kelurahan siaga. Dimana desa siaga merupakan suatu kondisi masyarakat desa yang memiliki kesiapan sumber daya dan kemampuan serta kemauan untuk mencegah dan mengatasi kesehatan, bencana dan kegawatdaruratan secara mandiri. Konsep desa/kelurahan siaga adalah membangun suatu sistem di desa/kelurahan yang bertanggung jawab memelihara

(4)

4

kesehatan itu sendiri, di bawah bimbingan dan interaksi dengan seorang bidan dan dua kader desa/kelurahan. Selain itu juga, berbagai pengurus desa untuk mendorong peran serta masyarakat dalam program kesehatan seperti imunisasi dan posyandu.

Sebelumnya pembentukan desa/kelurahan siaga berkaitan dengan adanya desentralisasi kewenangan pengelolaan kebijakan pembangunan atau yang lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah, disokong dengan adanya regulasi pemerintahan dalam bentuk UU No. 22 dan 25 tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan UU No. 32 dan 33 tahun 2005 telah mengamanatkan pembagian kewenangan dalam pemerintahan di daerah. Reformasi pemerintahan tersebut memberikan dampak yang signifikan terhadap penyelenggaraan program dan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh pemerintah dan swasta. Pemerintah Kabupaten/Kota/Propinsi diberikan kewenangan untuk mengembangkan diri berdasarkan masalah kesehatan masyarakat di wilayah masing-masing tentunya disesuaikan dengan kemampuan sumber daya manusia (SDM) dan sumber dana daerah. Sementara itu, melalui UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah ini juga mengatur tentang kewenangan desa. Hal ini dipertegas dengan Peraturan Pemerintah No. 72/2005 tentang Desa. Dengan adanya peraturan mengenai otonomi desa tersebut, maka desa memiliki kewenangan untuk mengatur secara penuh urusan rumah tangganya sendiri sesuai dengan kondisi adat dan budaya setempat.

Disisi lain, menurut Destifiani,Innesa dkk (2010:124) inti dari otonomi sejatinya adalah adanya transfer kewenangan dari tingkatan pemerintahan, maka

(5)

5

konsekuensinya adalah otonomi. Sedangkan otonomi pada dasarnya adalah hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Sehingga terjadi transfer kewenangan antar tingkatan pemerintahan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 72/2005 tentang Desa, menyebutkan bahwa urusan pemerintah yang menjadi kewenangan desa mencakup:a.) urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa, b.) urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten atau kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa, c.) tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota, d.) Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa. Terkait dengan urusan penyelenggaraan pelyanan kesehatan, dalam hal ini pemberantasan dan pengurangan risiko wabah DBD termasuk kewenangan desa berupa tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Dimana tugas pembantuan yang ada di desa tidak dapat lepas dari urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa. Sedangkan dalam hal pembiayaannya, pelaksanaan tugas pembantuan disokong juga oleh pembiayaan dari tingkatan pemerintah yang ada di atasnya.

Selain itu, mengacu pada Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025 bahwa pembangunan sumber daya manusia diarahkan untuk terwujudnya manusia Indonesia yang sehat, cerdas, produktif dan masyarakat yang semakin sejahtera, (Bappenas 2005) pemerintah dalam sejarahnya telah banyak

(6)

6

menghasilkan produk kebijakan di bidang kesehatan. Namun demikian, tampaknya hal tersebut masih perlu kerja keras. Hal ini terkait dengan kasus merebaknya wabah penyakit demam berdarah hingga saat ini yang masih menjadi salah satu masalah yang belum terselesaikan dan terjadi disetiap periode. Seperti yang telah diketahui bahwa penyakit demam berdarah merupakan jenis penyakit yang memang tumbuh subur di daerah tropis dan sub tropis seperti Indonesia yang berulangkali menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) dan menyebabkan kematian tingkat tinggi. Penyakit yang disebabkan oleh nyamuk Aedes aegypti ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti lingkungan domestik ataupun iklim, demografi, kondisi sosial ekonomi dan pola perilaku masyarakat.

Berdasarkan UU No. 36/2009 tentang kesehatan mengamanatkan bahwa: pembangunan kesehatan harus ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Setiap orang berhak atas kesehatan dan setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan. Namun demikian, setiap orang juga tidak dapat luput dari kewajiban-kewajiban di bidang kesehatan. Implikasinya adalah pemerintah memiliki sejumlah tanggung jawab dalam upaya penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang merata dan terjangkau oleh semua lapisan masyarakat serta memberdayakan dan mendorong peran aktif masyarakat dalam segala bentuk upaya kesehatan. Dengan kata lain, kebijakan terkait penanggulangan

(7)

7

wabah penyakit menular secara umum diarahkan pada terdorongnya partisipasi masyarakat secara aktif. Konsep partisipasi masyarakat dalam meningkatkan derajat kesehatan, mencoba diterapkan dengan dihadirkannya kebijakan desa/kelurahan siaga. Dimana seperti telah disinggung sebelumnya, bahwa urusan kesehatan yang awalnya menjadi urusan pusat atau sentralistik telah menjadi urusan daerah, dengan kata lain telah di desentralisasikan kepada daerah-daerah. Desa/kelurahan siaga merupakan desa/kelurahan yang penduduknya memiliki kesiapan sumberdaya dan kemampuan serta kemauan untuk mencegah dan mengatasi masalah-masalah kesehatan, bencana, dan kegawatdaruratan kesehatan secara mandiri.4 Dapat

dikatakan bahwa desa/kelurahan siaga sebagai simpul dari kegiatan-kegiatan pelayanan kesehatan untuk masyarakat, seperti promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat, kesehatan ibu anak, program gizi, pengendalian dan pencegahan penyakit menular langsung, program DBD dan lain sebagainya Dengan demikian, menurut Kusuma (2013:128) kebijakan desa siaga dengan memandirikan masyarakat dalam upaya pemeliharaan kesehatan diharapkan dapat membantu menurunkan AKI dan AKB.

Sejalan dengan kebijakan desa siaga tersebut, pada tahun 2009 pemerintah Kota Yogyakarta juga telah mencetuskan desa siaga di beberapa kecamatan salah satunya yaitu Kecamatan Umbulharjo. Lebih lanjut desa siaga ini melaksanakan

4 Ayuningtyas D, Asri J. Analisis Kesiapan Pos Kesehatan Desa Siaga di Kabupaten Kepulauan

Mentawai, Propinsi Sumatera Barat Tahun 2008. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan.

(8)

8

beberapa kegiatan diantaranya surveilans berbasis masyarakat, penggalangan dana sehat, kegawatdaruratan serta kegiatan pola hidup bersih dan sehat. Selain itu, desa siaga tersebut juga dibina dalam hal kemandirian masyarakat dalam pembiayaan kesehatan melalui penggalangan dana sehat wilayah dan subsidi pemerintah.5

Sementara itu, pendekatan yang komprehensif terhadap permasalahan wabah penyakit demam berdarah, tidak hanya sebatas pada aspek lingkungan fisik, biotik dan sosial masyarakat, tetapi yang tidak kalah penting yaitu perlunya menggali dan mengoptimalkan potensi masyarakat dalam hal ini modal sosial agar dapat berkontributif atau mendukung keberhasilan pelaksanaan desa/kelurahan siaga dan upaya pemberantasan penyakit menular demam berdarah.

Hingga tahun 2009 tercatat 42.295 desa dan kelurahan siaga (56,1%) dari 75.410 desa dan kelurahan yang ada di Indonesia.(BPS,2009). Akan tetapi, banyak dari sekian desa/kelurahan tersebut yang hingga saat ini belum berhasil menciptakan desa atau kelurahan siaga yang sesungguhnya. Hal ini karena, upaya penyelenggaraan pelayanan kesehatan masyarakat dengan melibatkan masyarakat secara aktif memerlukan proses yang cukup lama. Di sisi lain, seiring pemberlakuan kebijakan desa siaga tersebut, juga memunculkan beberapa masalah pemberdayaan masyarakat khususnya di bidang kesehatan.6 Pertama, paradigma sehat sebagai paradigma

5 Kompas 6 Agustus 2008. Yogyakarta Rintis Desa Siaga Kesehatan dan Bencana.(online) diakses

darihttp://health.kompas.com/read/2008/08/06/16441590/Yogyakarta.Rintis.Desa.Siaga.Keseha tan.Dan.Bencana tanggal 8 Februari 2014

6 Sulaeman, Endang Sutisna dkk. 2012. Model Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan Studi

Program Desa Siaga. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol.7 No.2 November 2012.

(9)

9

pembangunan kesehatan telah dirumuskan, namun belum dipahami dan diaplikasikan semua pihak. Kedua, UU RI No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah menetapkan daerah (kabupaten/kota) memegang kewenanangan penuh dalam bidang kesehatan, namun demikian kewenangan tersebut belum berjalan optimal. Ketiga, revitalisasi puskesmas dan posyandu hanya diartikan dengan pemenuhan fasilitas sarana. Keempat, dinas kesehatan kabupaten/kota lebih banyak melakukan tugas-tugas administratif. Kelima, keterlibatan masyarakat bersifat semu yang lebih berkonotasi kepatuhan daripada partisipasi dan bukan pemberdayaan masyarakat. Selain itu, permasalahan yang kemudian muncul yaitu adanya anggapan bahwa kebijakan desa siaga yang selama ini telah diterapkan hanya menciptakan partisipasi yang semu terhadap masyarakat. Dengan kata lain, masyarakat tidak benar-benar berpartisipasi secara sadar dan hanya berupa mobilisasi. Sedangkan, jika melihat tujuan dibentuknya kebijakan desa/kelurahan siaga adalah menyiapkan sebuah desa/kelurahan yang tahan akan adanya gangguan kesehatan maupun bencana. Oleh karenanya, dalam penerapan desa/kelurahan siaga ini diperlukan partisipasi masyarakat yang lebih nyata.

Masyarakat sebagai subjek utama yang menentukan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan serta evaluasi mengenai strategi-strategi terkait penanggulangan wabah penyakit menular tentunya di bawah instruksi pemerintah daerah. Oleh karenanya, sangat diperlukan peran serta masyarakat secara aktif dalam rangka mencapai tujuan kebijakan desa/kelurahan siaga tersebut. Dewasa

(10)

10

ini, telah banyak didengungkan mengenai modal sosial yang ada di tataran masyarakat. Jika modal sosial tersebut dapat dioptimalkan khususnya dalam mengimplementasikan kebijakan desa/kelurahan siaga tersebut, maka hasilnya akan lebih memuaskan. Implementasi desa siaga berbasis modal sosial ini sangat berperan dalam keberhasilan pemberantasan wabah demam berdarah. Hal ini dapat terlihat bahwa berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, terjadi penurunan angka kasus demam berdarah di Kelurahan Siaga Sorosutan dari jumlah kasus semula sebanyak 61 kasus di tahun 2013 menjadi 16 kasus pada tahun 2014.

Gambar 1.1.

Diagram Jumlah Penderita Demam Berdarah per Kelurahan di Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta

(11)

11

Berdasarkan diagram di atas, terkait jumlah kasus demam berdarah di Kota Yogyakarta, dapat diketahui bahwa kasus demam berdarah tertinggi terjadi di Kelurahan Sorosutan. Namun demikian, Kelurahan Sorosutan berhasil menurunkan angka kasus demam berdarah secara signifikan yaitu dari semula 61 kasus menjadi 16 kasus pada tahun 2014. Perlu diketahui, bahwa selama ini pada tingkat Kota Yogyakarta belum ada payung hukum berupa kebijakan/peraturan walikota yang secara langsung mengatur mengenai pembinaan Kelurahan Siaga. Selama ini, pemerintah kota dan masyarakat hanya mengacu pada peraturan gubernur. Oleh karena permasalahan ini sangat mendesak untuk ditangani, maka diperlukan kesadaran dari masyarakat secara aktif untuk melakukan penanganan dan pemberantasan wabah demam berdarah yang secara periode terus terjadi. Keberhasilan menurunkan angka kasus demam berdarah di Kelurahan Sorosutan merupakan kontribusi dari modal sosial yang terdapat di kelurahan tersebut, selain sumber pembiayaan juga dibantu oleh pemerintah kota setempat. Dimana modal sosial yang mengikat berperan memperkuat pemberdayaan masyarakat dalam kelurahan siaga Sorosutan dalam upaya pemberantasan dan pengurangan risiko wabah DBD. Namun demikian, yang perlu digarisbawahi adalah kontribusi dari modal sosial yang ada di masyarakat ternyata mampu membarikan dampak yang signifikan terhadap penurunan angka kasus demam berdarah. Dengan kata lain, modal sosial masyarakat membentuk pelaksanaan kelurahan siaga yang baik. Oleh karenanya, sangat perlu mengkaji mengenai pentingnya peran dan kontribusi modal sosial dalam upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat.

(12)

Referensi

Dokumen terkait

 Perkiraan waktu, untuk kegiatan-kegiatan ini kemudian ditentukan dan diagram jaringan kerja (network) yang dinyatakan dengan gambar anak panah (arrow)..  Keseluruhan diagram

Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan dan hasil pengujian pengaruh yang telah diuraikan tentang pengaruh pola komunikasi antar suku terhadap pembentukan sikap

Untuk mencapai perbaikan terus menerus, bagian pembelian perusahaan tersebut bekerja sama dengan erat bersama para pemasok.. Selain untuk memberikan umpan balik tentang mutu

Bukti T-1 : Fotokopi Berita Acara Rekapitulasi Penghitungan Suara Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Belu (Model DA-KWK) dan Catatan

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dimana dalam pengukuran variabel untuk uji teorinya memakai angka dan analisis data dengan prosedur statistik

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Banik dan Ghosh (2008) menunjukkan bahwa pertumbuhan bakteri Bacillus sp dan Streptomyces sp lebih tinggi sehingga

Tugas Akhir penciptaan karya seni dengan judul “Dunia Anak Sebagai Tema Penciptaan Lukisan” merupakan syarat kelulusan bagi mahasiswa untuk memperoleh gelar S- I

Strategi Samudra Biru QB House adalah pergeseran dalam industry pangkas rambut di Asia yang dulunya industry yang emosional menjadi industry yang sangat fungsional.. Di Jepang, waktu