DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DEPAN………..i
HALAMAN SAMPUL DALAM ………...ii
HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM ………...iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ……….iv
HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ………...v
KATA PENGANTAR ………...vi
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ………...x
DAFTAR ISI………...xi
ABSTRAK ………...xiv
ABSTRACT ………...xv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah………1
1.2 Rumusan Masalah………...6
1.3 Ruang Lingkup Masalah………6
1.4 Orisinalitas Penelitian ………...7 1.5 Tujuan Penelitian………...9 1.5.1 Tujuan Umum………9 1.5.2 Tujuan Khusus………...9 1.6 Manfaat Penelitian………...10 1.6.1 Manfaat Teoritis………...10 1.6.2 Manfaat Praktis………10 1.7 Landasan Teoritis……….10
1.7.1 Teori Negara Hukum………...10
1.7.2 Kewenangan………13
1.7.3 Teori Penegakan Hukum……….14
1.8.1 Jenis Penelitian………17
1.8.2 Jenis Pendekatan………..18
1.8.3 Sumber Data………18
1.8.4 Teknik Pengumpulan Data………..20
1.8.5 Teknik Analisis……….…...20
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMERINTAH DAERAH, PENEGAKAN HUKUM, DAN PENGEMIS 2.1 Pengertian Tentang Pemerintah Daerah………22
2.1.1 Peraturan Daerah………....27
2.2 Pengertian Penegakan Hukum………..30
2.3 Pengertian Tentang Pengemis………...33
2.3.1 Penyebab Kemiskinan………35
BAB III PENEGAKAN HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH PEMERINTAH KABUPATEN KLUNGKUNG DALAM MENANGGULANGI ADANYA PENGEMIS 3.1 Dasar Hukum Pengendalian Pengemis……….38
3.2 Aparat Yang Berwenang Dalam Menanggulangi Adanya Pengemis………..44
3.2.1 Pelanggaran Terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Ketertiban Umum……….46
3.2.2 Tindakan Yang Dilakukan Pemerintah Kabupaten Klungkung Terkait Adanya Pengemis Di Kabupaten Klungkung…………...52
BAB IV FAKTOR PENGHAMBAT PEMERINTAH KABUPATEN KLUNGKUNG DALAM MENANGGULANGI PENGEMIS BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN
KLUNGKUNG NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG
KETERTIBAN UMUM
4.1 Hambatan Yang Dihadapi Pemerintah Kabupaten Klungkung Dalam Menanggulangi Adanya Pengemis………..55 4.2 Upaya Yang Dilakukan Pemerintah Kabupaten Klungkung Untuk
Mengatasi Hambatan-Hambatan Yang Dihadapi Dalam Menanggulangi Pengemis………..58 BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan……….64 5.2 Saran………...65 DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RESPONDEN LAMPIRAN-LAMPIRAN RINGKASAN SKRIPSI
ABSTRAK
Pengemis merupakan orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan cara meminta-minta di tempat umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Faktor seperti kemiskinan, pendidikan, terbatasnya keterampilan, terbatasnya fisik/kesehatan, pengaruh pola pikir atau budaya, urbanisasi dan kurangnya lapangan pekerjaan pada akhirnya membuat mereka mengemis. Kebanyakan masyarakat menilai mengemis merupakan hal yang sudah biasa yang dapat dijumpai dalam kegiatan mereka sehari-hari, contohnya seperti yang terjadi di pasar malam senggol Kabupaten Klungkung. Dimana masih dapat di jumpai beberapa pengemis yang melakukan kegiatan mengemis. Keberadaan pengemis di pasar senggol Kabupaten Klungkung tersebut jelas telah menggangu ketertiban umum dan telah melanggar Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Ketertiban Umum. Penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui bagaimana peranan Pemerintah Kabupaten Kungkung dalam menerapkan Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Ketertiban Umum dan apakah yang menjadi hambatan-hambatan dalam penerapan Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Ketertiban Umum terkait keberadaan pengemis.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah metode penelitian yang bersifat empiris dengan mengkaji permasalahan dengan metode pendekatan perundang-undangan dan pendekatan fakta berdasarkan data yang diperoleh langsung dari masyarakat sebagai sumber pertama dengan melalui penelitian lapangan, yang dilakukan baik melalui pengamatan, wawancara, maupun penyebaran kuisioner.
Adapun hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah peran Pemerintah Kabupaten Klungkung dalam upaya menanggulangi pengemis berdasarkan Peraturan Daerah Kabuaten Klungkung Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Ketertiban Umum belum dilaksanakan secara maksimal karena kurang adanya upaya rehabilitasi dan sanksi yang tegas sehingga tidak menimbulkan efek jera terhadap pengemis tersebut. Terdapat pula hambatan yang dihadapi oleh Pemerintah Kabupaten Klungkung adalah peraturan yang perlu diperbaharui, adanya sikap iba terhadap pegemis, kurangnya sosialisasi, dan kesadaran masyarakat terkait peraturan yang beraku. Saran yang dapat diberikan adalah perlunya peraturan yang di perbaharui dan kesadaran hukum yang lebih dari pemerintah dan masyarakat dalam hal menanggulangi pengemis.
ABSTRACT
Beggars are people who earn income by begging in public places in various ways and some reasons to expect mercy from others. The factors such as poverty, education, limited skills, limited physical / health, influence of mindset or culture, urbanization and lack of jobs in the end make them scrounge. Most people judge begging is a familiar thing which can be found in their daily activities, such as happened in the night market named Senggol Klungkung in Klungkung regency. Where there are still several beggars who do scrounge activities. The existence of beggars in the Senggol Klungkung clearly has disturbed public order and had violated Klungkung District Regulation No. 2 of 2014 On Public Order. This research is important to know how the role of local government in implementing shackle Klungkung District Regulation No. 2 of 2014 On Public Order and what are the obstacles to the implementation of Klungkung District Regulation No. 2 of 2014 On Public Order related to the existence of beggars.
The method used in this thesis research is a research method empirically by studying the problems with the approach of legislation and approach to the facts based on obtained data directly from the community as the source of the first through field research, conducted either through the observation, interviews, and distribution of questionnaires.
The results obtained in this study is the role of the Government of Klungkung in an effort to tackle beggars based on Regional Regulation of Klungkung Regency No. 2 in 2014 About the Public Order has not been implemented to its full potential because of a lack of rehabilitation efforts and sanctions so there is no deterrent effect against these beggars. There are also some problems faced by the Government of Klungkung,the problems are, rules that need to be updated, there’s still a compassion toward the beggar, lack of socialization, and public awareness related to the regulations.The advice that can be given is the need for the updated regulations and greater legal awareness of governments and society in terms of tackling beggars. Keywords: Role of Government, Beggars, Public Order
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia merupakan negara kesatuan yang berbentuk Republik. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Walaupun demikian, terdapat pembagian kekuasaan (kewenangan) antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pada konsep negara kesatuan semua wewenang milik pemerintah pusat, tetapi pemerintah pusat tidak dapat melaksanakan seluruh kewenangannya, kemudian sebagian wewenangnya tersebut diserahkan pada daerah. Hal ini disebut desentralisasi karena terdapat pelimpahan wewenang dari pemeritah pusat kepada pemerintah daerah, maka terbentuklah hierarki kekuasaan.
Pembagian kekuasaan merupakan salah satu dasar atau landasan untuk mengkaji tentang pola hubungan kewenangan antara DPRD dengan Kepala Daerah, karena hubungan tersebut merupakan salah satu deskripsi adanya pembagian kekuasaan (kewenangan) dalam Negara, baik antara Pemerintahan Pusat dengan Pemerintah Daerah maupun antara organ-organ pemerintahan yang ada di daerah. Untuk memperkuat kajian-kajian dalam perspektif teori pembagian Daerah bersentuhan langsung dengan prinsip-prinsip demokrasi.1
1 Juanda, 2008, Hukum Pemerintahan Daerah : Pasang Surut Hubungan Kewenangan
Hal ini sesuai dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 18 ayat (1) dinyatakan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia di bagi atas daerah-daerah provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintah daerah, yang diatur dengan undang-undang”.Dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 18 ini menjelaskan bahwa negara kesatuan Indonesia itu terbagi kewenangan pemerintahnya atas daerah-daerah, dimana setiap pemerintahan daerah bebas mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya menurut asas otonomi daerah dan tugas pembantuan, secara eksplisip tercermin bahwa negara kesatuan tidaklah sentralistik.
Penyelenggaraan pemerintah daerah disesuaikan dengan amanat UUD Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan di dalam masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan mempehatikan prinsip demokratis, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut ketentuan Undang-Undang Dasar 1945, menetapkan tujuan perjuangan bangsa kita ialah terwujudnya masyarakat adil dan makmur atau kesejahteraan umum, dan langkah utama untuk mencapai tujuan tersebut adalah pelaksanaan keadilan sosial. Keadilan sosial mewajibkan masyarakat termasuk
Negara demi terwtujudnya kesejahteraan untuk membagi beban dan manfaat kepada para warga negara secara proporsional, sambil membantu anggota masyarakat secara proporsional, membantu masyarakat yang lemah dan di lain pihak untuk memberikan kepada masyarakat termasuk Negara apa yang menjadi haknya.
Kesejahteraan atau sejahtera dapat memiliki tiga arti antara lain:
1. Dalam istilah umum, sejahtera menunjuk ke keadaan yang baik kondisi manusia dimana orang-orangnya dalam keadaan makmur begitu juga keadaan sehat dan damai.
2. Dalam ekonomi, sejahtera dihubungkan dengan keuntungan benda. Sejahtera memiliki arti khusus resmi atau teknikal (ekonomi kesejahteraan), seperti dalam istilah fungsi kesejahteraan sosial.
3. Dalam kebijakan sosial, kesejahteraan sosial menunjuk ke jangkauan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Ini adalah istilah yang digunakan dalam ide negara sejahtera.
Tujuan memajukan kesejahteraan umum sebagai amanah jika kita telaah lebih mendalam yaitu pada Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada alinea IV yang menjelaskan antara lain:
“…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh rakyat Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia…”
Ketentuan tersebut menunjukkan keaktifan Pemerintah kita dalam memberikan hukum warga Negara sesuai dengan hak-hak mereka, guna mengembangkan dan meningkatkan kesejahteraan sosialnya, sebagaimana dijamin secara pasti oleh Konstitusi Negara di bawah Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 27 ayat (2) menyebutkan : “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Dalam Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa : “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Ini menunjukkan betapa tinggi hasrat dan martabat bangsa Indonesia untuk memajukan bangsa, demi mewujudkan kesejahteraan rakyat yang merata di seluruh wilayah dan lapisan masyarakat Indonesia.
Bali merupakan salah satu pulau yang berada di Indonesia, dimana laju pertumbuhan penduduknya berkembang sangat pesat, baik dari kelahiran maupun penduduk pendatang serta kemampuan perekonomian masyarakat saat ini semakin meningkat. Dilihat dari segi pariwisata di Bali saat ini sangatlah berkembang begitu cepat. Namun dengan pertumbuhan pariwisata di Bali yang sangat pesat, Bali dan masyarakatnya tidak terlepas dari masalah kemiskinan baik di kota maupun di desa, terbukti masih banyak adanya aktivitas mengemis yang salah satu contohnya dapat dilihat di sekitaran Kota Klungkung.
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1980 Tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis, pada Pasal 2 diatur bahwa “Penanggulangan gelandangan dan pengemisan yang meliputi usaha-usaha preventif, represif, rehabilitatif bertujuan
agar tidak terjadi pergelandangan dan pengemisan, serta mencegah meluasnya pengaruh akibat pergelandangan dan pengemisan di dalam masyarakat, dan memasyarakatkan kembali gelandangan dan pengemis menjadi anggota masyarakat yang menghayati harga diri, serta memungkinkan pengembangan para gelandangan dan pengemis untuk memiliki kembali kemampuan guna mencapai taraf hidup, kehidupan, dan penghidupan yang layak sesuai dengan harkat martabat manusia”.
Dalam menanggulangi permasalahan pengemis, Pemerintah Kabupaten Klungkung membentuk suatu peraturan yaitu Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Ketertiban Umum pada Pasal 28 ayat (1) yang diatur bahwa “Setiap orang dilarang mengemis dan/atau mengamen di jalan, persimpangan lampu lalu lintas (alat pemberi isarat lalu lintas), di dalam angkutan umum, area perkantoran dan tempat umum lainnya”.
Dengan adanya Peraturan Daerah tersebut seharusnya dapat memberdayakan pengemis sehingga mereka tidak kembali melalukan kegiatan mengemis di Kabupaten Klungkung. Namun pada kenyataannya, masih ada keberadaan pengemis di Kabupaten Klungkung . Berdasarkan rekapitulasi data pengemis yang diperoleh dari Dinas Sosial dan Ketenagakerjaan Kabupaten Klungkung dari tahun 2015 sampai dengan tahun 2016 berjumlah 26 orang. Mereka dapat ditemui di kawasan pasar malam Kabupaten Klungkung, yang dengan sengaja menjadikan mengemis sebagai profesi. Penyebab dari adanya pengemis adalah jumlah pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi dengan lapangan pekerjaan
yang memadai. Akibatnya, untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka bekerja apa saja asalkan mendapatkan uang termasuk mengemis. Keberadaan pengemis di perkotaan sangat meresahkan masyarakat karena mereka merusak keindahan kota.
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis meneliti dan mendalami masalah ini yang hasilnya di tuangkan dalam sebuah penelitian yang berjudul
“PERANAN PEMERINTAH KABUPATEN KLUNGKUNG DALAM
MENANGGULANGI PENGEMIS BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG KETERTIBAN UMUM”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, adapun beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini antara lain:
1. Bagaimanakah penegakan hukum yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Klungkung dalam menanggulangi adanya pengemis?
2. Apakah faktor penghambat Pemerintah Kabupaten Klungkung dalam menanggulangi pengemis berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Ketertiban Umum?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Maksud dan tujuan dari ruang lingkup masalah dalam penulisan ini adalah untuk membatasi obyek pembahasan guna mencegah meluasnya materi yang akan di bahas. Kajian pokok dari skripsi ini mengenai peran Pemerintah Kabupaten Klungkung dalam mengatasi pengemis berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung Nomor 2 Tahun 2014 Tentag Ketertiban Umum. Dengan ruang lingkup penelitian dapat menunjukkan secara pasti variable-variabel mana yang akan diteliti dan mana yang tidak.
1.4 Orisinalitas Penelitian
Terkait dengan orisinalitas dari penelitian ilmial ini, penulis akan memperlihatkan skripsi terdahulu sebagai perbandingan yang pembahasannya berkaitan dengan Peranan Pemerintah Kabupaten Klungkung dalam menanggulangi Pengemis Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Ketertiban Umum , berdasarkan pengamatan penulis dari sumber media seperti internet. Sebagai perbandingan yang menunjukkan orisinalitas penelitian ini, maka penulis mencantumkan penelitian sebelumnya sebagai berikut:
No. Judul Penelitian Penulis Rumusan Masalah
1. Pemberdayaan Gelandangan Dan Pengemis Di Kabupaten Sidoarjo (Studi Kasus di
Andre Pane Sixwanda, Skripsi Bagian Ilmu 1. Bagaimana Pemberdayaan Bagi Gelandangan dan Pengemis di
UPDT Liponsos Sidokare) Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur 2013 Kabupaten Sidoarjo? (Studi Kasus di UPTD Liponsos Sidokare)
2. Penanganan Gelandangan dan Pengemis Dalam
Prespektif Siyasah (Studi Pasal 24 Perda DIY No 1 Tahun 2014) Norika Priyantoro, Skripsi Bagian Ilmu Hukum Islam, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta 2015 1. Bagaimana Pandangan Siyasah dusturiyah terhadap Pasal 24 Perda DIY No. 1 Tahun 2014 Tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis?
Bila dilakukan perbandingan dengan penelitian tersebut, yang dimana penelitisn pertama membahas tentang Pemberdayaan Gelandangan Dan Pengemis Di Kabupaten Sidoarjo (Studi Kasus di UPDT Liponsos Sidokare). Kemudian, penelitian kedua membahas tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis Dalam Prespektif Siyasah (Studi Pasal 24 Perda DIY No 1 Tahun 2014). Sedangkan, pada penelitian ini membahas tentang Peranan Pemerintah Kabupaten Klungkung Dalam Menanggulangi Pengemis Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Ketertiban Umum.
1.5 Tujuan Penelitian
Penelitian merupakan suatu usaha yang sistematis untuk menemukan jawaban ilmial dari berbagai data dan informasi yang di kumpulkan, dirangkai, dan dianalisa yang kedepannya digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan digunakan sebagai pemecahan masalah-masalah yang dihadapi.
1.5.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah sebagi berikut:
1. Untuk kepentingan perkembangan ilmu Hukum terutama dalam hukum Pemerintahan Daerah.
2. Untuk memberikan masukan dan bahan pertimbangan bagi semua pihak dalam mengatasi masalah hukum khususnya hukum pemerintahan daerah.
1.5.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus yang ingin dicapai adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui peranan Pemerintah Kabupaten Klungkung dalam menanggulangi adanya pengemis di Kabupaten Klungkung.
2. Untuk mengetahui faktor apa saja yang menjadi penghambat dalam menanggulangi adanya pengemis di Kabupaten Klungkung.
1.6 Manfaat Penelitian 1.6.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan agar dapat memberi manfaat positif bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya dibidang upaya pemerintah dalam penanggulangan dan pemberdayaan pengemis.
1.6.2 Manfaat Praktis
1. Bagi penulis penelitian ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan hukum berkaitan dengan upaya pemerintah dalam penanggulangan dan pemberdayaan pengemis.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan untuk mengambil kepitisan berkaitan dengan pengendalian dan pemberdayaan pengemis khususnya di Kota Klungkung.
1.7 Landasan Teoritis
Untuk membahas penulisan skripsi ini pada landasan teoritis penulis membagi menjadi 4 konsep diantaranya:
1.7.1 Teori Negara Hukum
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 1 ayat ( 3 ) menyebutkan bahwa “ Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Negara Hukum dimaksud adalah negara yang menegakkan supermasi hukum untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dan tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan.2 Konsep negara hukum yang secara historis tumbuh dan berkembang pada dunia dan mengalami modifikasi di Indonesia untuk disesuaikan dengan cita hukum dan cita Negara Indonesia berdasarkan Pancasila, sehingga disebut dengan istilah (rechtstaat) berdasarkan Pancasila. Dalam hal ini dianut suatu ajaran kedaulatan hukum yang menempatkan hukum pada kedudukan tertinggi.3 Selanjutnya bahwa negara merupakan tertib hukum. Tertib hukum yang timbul karena diciptakannya peraturan-peraturan hukum, yang menentukan bagimana orang di dalam masyarakat atau negara itu harus bertanggung jawab terhadap perbuatan-perbuatannya. Jadi negara itu adalah suatu tertib hukum yang memaksa.
2 Yusril Ihza Mahendra. 1996, Dinamika Tata Negara Indonesia, Gema Insani Press,
Jakarta, h.96.
3
Suatu Negara dapat dilakukan negara hukum apabila telah memenuhi unsur-unsur sebagaimana dikemukakkan oleh Fredrich Julius Stahl:
1. Adanya pengakuan akan hak-hak dasar manusia (HAM); 2. Adanya pembagian kekuasaan;
3. Pemerintah berdasarkan peraturan/hukum;
4. Adanya peradilan administrasi/Tata Usaha Negara.4
Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan Pancasila, dimana unsur-unsur di atas terpenuhi seperti yang termuat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, alenia pertama yang menyatakan bahwa kemerdekaan merupakan hak segala bangsa, pernyataan tersebut merupakan afirmasi dari Hak dasar untuk untuk menentukan nasib sendiri.5 Dalam alenia kedua pembukaan menyebutkan Indonesia sebagai negara yang “adil” dan “makmur”. Kekuasaan hendaknya dijalankan dengan adil, artinya negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang terhadapt rakyatnya.6 Dalam alenia ketiga tercantum hasrat Indonesia untuk berkehidupan berkebagsaan
4 Oemar Sono Aji, 1966, Prasara dalam Indonesia Negara Hukum, Simposium UI, Jakarta,
h.24.
5 Perserikatan Bangsa-Bangsa, 1966, International Covenant on Civil and Political Right,
Pasal 1
6
yang bebas, yang menekankan HAM kolektif yang dimiliki sebuah bangsa,7 serta alenia keempat mencantumkan hak social,politik, dan pendidikan.8
Pengakuan HAM tersebut merupakan buki bahwa Indonesia tidak hanya secara deklaratif menyatakan sebagai negara hukum namum juga secara praktis, yang dalam hal ini Indonesia menganut negara hukum dalam arti materiil atau yang dikenal dengan sebutan Negara Kesejahteraan (Walfare State).9 Kaitanya pandangan tersebut dengan skripsi ini adalah pembagian kewenangan pemerintah Kabupaten Klungkung yang berdasarkan peraturan daerahnya mengatasi dan memberdayakan pengemis, di mana hal ini sesuai dengan HAM untuk mendapatkan kehidupan yang layak.
1.7.2 Kewenangan
Kewenangan adalah kekuasaan yang mendapatkan keabsahan atau legitimasi, Tindakan Pemerintahan dan/atau pejabat umum harus bertumpu pada kewenangan yang sah. Setiap perbuatan pemerintah harus bertumpu pada suatu kewenangan yang sah, seorang pejabat ataupun lembaga tidak dapat melaksanakan suatu perbuatan pemerintah. Oleh karena itu, kewenangan yang sah merupakan atribut bagi setiap pejabat ataupun lembaga manapun. Wewenang (bevoegheid)
7
Ibid, h. 97.
8 Azhary, 1995, Negara Hukum Indonesia, UI press, Jakarta, hal. 88. 9
dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht). Jadi dalam konsep hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan.10
Indroharto mengemukakkan bahwa wewenang diperoleh secara atribusi, delegasi, dan mandate, yang masing-masing dijelaskan bahwa wewenang yang diperoleh secara atribusi, yaitu pemberian wewenang pemerintah yang baru oleh suatu ketentuan dalam perUndang-Undangan. Jadi, disini dilahirkan suatu wewenang pemerintah yang baru. Pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang. Pada mandate tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara satu kepada yang lain.11
1.7.3 Teori Penegakan Hukum
Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum (law enforcement) menghendaki lima faktor, yaitu :
10 Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Yuridika, Nomor 5&6 Tahun XII, September-
Desember, 1997, h.1.
11
Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta, Pustaka Harapan, h.68.
1) Faktor hukumnya sendiri, terkait peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah.
2) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
3) Faktor sarana atau fasilitas, pendukung penegakan hukum.
4) Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.12
Sedangkan menurut Satjipto Raharjo pengamatan berlakunya hukum secara lengkap ternyata melibatkan sebagai unsur sebagai berikut:
1) Peraturan sendiri;
2) Warga negara sebagai sasaran pengaturan; 3) Aktifitas birokrasi pelaksana;
4) Kerangka sosial-politik-ekonomi-budaya yang ada turut menentukan bagaimana setiap unsur dalam hukum tersebut di atas menjalangkan apa yang menjadi bagiannya.13
12 Soerjono Soekanto, 2012, Faktor-Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum, Cet,
XI. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.8.
Berdasarkan kedua pendapat sarjana mengenai faktor penegakan hukum maka penulis dalam penulisan skripsi ini menggunakan ilmu faktor dari Soerjono Soekanto sebagai faktor-faktor untuk meninjau bagaimana penanggulangan pengemis di Kabupaten Klungkung.
Penegakan hukum (law enforcement), merupakan suatu istilah yang memiliki keragaman dalam definisi. Menurut Satjipto Raharjo, penegakan hukum diartikan sebagai suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum, yaitu pikiran-pikiran dari badan-badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dan di tetapkan dalam peraturan-peraturan hukum yang kemudian menjadi kenyataan.14
Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu mempunyai arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bawha suatu aturan hukum berjalan sebagaimana mestinya.
Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, menegakkan hukum itu mencakup pula nilai-nilai
14 Satjipto Raharjo, 2003, Merintis Visi Program Dokter Hukum UNDIP, Universitas
keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan ysng hidup dalam masyarakat. Tetapi dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantahkan dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.
Menurut Al. Wisnubroto terdapat beberapa faktor internal yang mempengaruhi aparat penegak hukum dalam mengambil keputusan yang salah sehingga tidak dapat tercipta penegakan hukum yang baik dan benar.
Adapun beberapa faktor tersebut adalah: 1. Faktor Subjektif.
a. Sikap prilaku apriori. b. Sikap perilaku emosional. c. Sikap arrogance power. d. Moral.
2. Faktor Objektif.
b. Profesionalisme.15
Penegakan hukum adalah suatu rangkaian kegiatan dalam rangka usaha pelaksana ketentuan-ketentuan hukum baik yang bersifat penindakan maupun pencegahan yang mencakup seluruh kegiatan baik teknis maupun administratif yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum sehingga dapat melahirkan suasana aman, damai dan tertib untuk mendapatkan kepastian hukum dalam masyarakat, dalam rangka menciptakan kondisi agar pembangunan disegala sektor itu dapat dilaksanakan oleh pemerintah.
1.8 Metode Penelitian
Sebagaimana yang telah diketahui dalam suatu karya ilmiah, metode penelitian sangat penting karena metode penelitian ini nantinya akan menjadi arah dan petunjuk bagi suatu penelitian.
1.8.1 Jenis Penelitian
Dalam penelitian karya ilmiah ini penulis menggunakan metode hukum empiris. dengan menggunakan metode pendekatan perundang-undangan dan pendekatan fakta berdasarkan data yang diperoleh langsung dari masyarakat sebagai sumber pertama dengan melalui penelitian lapangan, yang dilakukan baik melalui
15 Al Wisnubroto, 1997, Hakim dan Peradilan di Indonesia Dalam Beberapa aspek Kajian,
pengamatan, wawancara, ataupun penyebaran kuisioner16. Dalam penelitian hukum empiris, hukum dikonsepkan sebagai suatu gejala empiris yang dapat diamati di dalam kehidupan nyata. Dalam konteks ini hukum tidak semata-mata dikonsepkan sebagai suatu gejala normatife yang otonom, sebagai ius constituendum (law as what it is in the book), akan tetapi secara empiris sebagai ius operatum (law as what it is in society).
1.8.2 Jenis Pendekatan
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka metode pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach) yang dimana pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan yang bersangkut paut dengan permasalahan atau isu hukum yang sedang dihadapi. Selain itu juga digunakan Pendekatan Fakta (The Fact Approach), yaitu pendekatan masalah yang didasarkan pada fakta-fakta yang terjadi di lapangan yang ada kaitannya dengan permasalahan yang akan dibahas berdasarkan karakteristik ilmiah dari individu ataupun kelompok untuk dapat memahami dan mengungkap sesuatu di balik fenomena. Dengan demikian tidak hanya sebatas mempelajari ketentuan-ketentuan dalam peraturan hukum,tetapi juga melihat bagaimana fakta-fakta yang terjadi dalam masyarakat.
16
1.8.3 Sumber Data
Dalam metode penelitian ini, untuk mendapatkan data yang lengkap penulis menggunakan:
1. Data Primer, yaitu sejumlah keterangan atau fakta yang diperoleh langsung melalui penelitian lapangan atau berasal dari sumber yang pertama. Adapun data primer yang digunakan dalam penulisan skripsi ini berupa observasi dan wawancara.
2. Data Sekunder, yaitu berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.17 Adapun bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor. 4967); c. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
d. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia
17 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Kencana Prenada Media Grup,
Tahun 2012 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Inodesia Nomor 5294);
e. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1980 Tentang Penanggulangan Gelandangan Dan Pengemis.
f. Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung No 2 Tahun 2014 Tentang Ketertiban Umum.
1.8.4 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, Penulis menggunakan teknik pengumpulan bahan , meliputi :
1. Studi Lapangan
Yaitu teknik pengumpulan data dengan cara terjun langsung ke objek yang akan di teliti untuk melakukan pengamatan secara langsung, yang bertujuan memperoleh data-data. Dalam studi lapangan ini penulis dapat mengumpulkan data dengan dua cara yaitu:
a. Observasi yaitu teknik pengumpulan data dengan cara melihat atau mengamati objek yang akan di teliti dan melakukan pencatatan terhadap gejala-gejala yang timbul secara sistematis, sehingga dapat memberi gambaran mengenai objek penelitian.
b. Wawancara yaitu dengan cara mengajukan pertanyaan secara langsung kepada responden terkait masalah yang akan diteliti.
2. Studi Dokumen
Yaitu teknik melengkapi data-data yang telah tersedia dalam bentuk berkas-berkas, dokumen resmi, informasi, buku, internet,dan meia cetak yang ada hubungannya dengan masalah dalam penulisan skripsi ini.
1.8.5 Teknik Analisis
Teknik analisis data dalam penelitian merupakan hal yang penting untuk menguraikan dan memecahkan masalah yang di teliti berdasarkan pada data-data yang sudah di kumpulkan. Di tahapan ini, semua data yang telah terkumpul baik dari studi dokumen maupun studi penelitian secara wawancara dan observasi akan diolah serta akan dianalisis secara deskriktif kualitatif yaitu dengan menghubungkan antara data yang ada yang berkaitan dengan pembahasan dan selanjutnya disajikan secara deskriptif analisis. Yang dengan kata lain, artinya bahwa data yang telah rampung akan dipaparkan disertai analisis sesuai dengan teori yang terdapat pada buku literature serta peraturan perundang-undangan yang berlaku, untuk nantinya didapatkan kesimpulan sebagai akhir dari penulisan penelitian ini.