• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAHAN KIMIA OBAT PADA OBAT TRADISIONAL INDONESIA. Siti Rofida ABSTRAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAHAN KIMIA OBAT PADA OBAT TRADISIONAL INDONESIA. Siti Rofida ABSTRAK"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

BAHAN KIMIA OBAT PADA OBAT TRADISIONAL INDONESIA Siti Rofida

ABSTRAK

Jamu merupakan obat asli Indonesia yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman empiris. Berdasarkan jenis klaim penggunaannya, obat tradisional di Indonesia dikelompokkan menjadi 3 yaitu Jamu, Obat Herbal Terstandar, dan Fitofarmaka. Obat tradisional yang beredar di Indonesia harus memenuhi persayaratan aman, berkhasiat dan berkualitas.

Meskipun sudah ada larangan dari pemerintah terkait dengan penambahan bahan kimia obat pada sediaan obat tradisional, namun pada kenyataannya masih banyak ditemukan pelanggaran tersebut. Dari hasil penelitian pada tahun 2012, menunjukkan masih terdapat produk jamu yang memiliki nomer registrasi mengandung bahan kimia obat sildenafil sitrat, sibutramin hidroklorida, parasetamol dan metampiron.

Sehingga sangat diperlukan peran pemerintah sebagai pemegang regulasi untuk bertindak tegas kepada para produsen obat tradisional. Selain itu juga peran Apoteker untuk dapat memberikan informasi yang tepat terkait dengan penggunaan, efek samping dan interaksi yang mungkin muncul akibat dari penggunaan obat tradisional.

Kata kunci: Obat tradisional, Bahan kimia obat. Pendahuluan

Pengobatan tradisional merupakan pengetahuan, ketrampilan dan praktek berdasarkan teori, keyakinan dan pengalaman dari suku dan budaya yang berbeda, yang digunakan untuk pemeliharaan, pencegahan, dan pengobatan penyakit. Penggunaaan obat tradisional hanyalah perpedoman pada pengetahuan empiris oleh nenek moyang dan diturunkan dari generasi ke generasi. Data ilmiah khasiat, toksisitas dan kontrol kualitas dari obat tradisional masih sangat sedikit (WHO, 2011). Penggunaan obat tradisional telah berkembang secara global dan menjadi popular baik di negara berkembang maupun negara maju. Pada negara berkembang dan beberapa negara di Asia, sebagian besar penduduk terutama didaerah pedesaan, obat tradisional digunakan untuk perawatan kesehatan primer. Menurut data WHO bahwa 65 % warga negara India dan 60-90% warga di Afrika menggunakan obat tradisional sebagai pengobatan lini pertama. Demikian pula pada negara maju, penggunaan obat tradisional meningkat tajam. Di Amerika Serikat pada rentang tahun 1991-1998 terjadi peningkatan sebesar 34%. Sehingga pada tahun 2000, pasar dunia untuk obat tradisional termasuk bahan baku mencapai 43 miliar dolar Amerika Serikat (WHO, 2011).

Indonesia memiliki kekayaan berupa sumber daya hayati serta memiliki banyak suku dan budaya yang berbeda-beda. Dimana masing-masing suku mengembangkan obat tradisional yang berbeda-beda. Jamu berasal dari bahasa Jawa Kuno Jampi atau Usada yang berarti penyembuhan dengan menggunakan ramuan, do’a dan ajian. Bukti pemakaian jamu pada masa lalu dapat dilihat lewat peninggalan sejarah berupa tulisan pada daun lontar, prasasti dan relief candi (Heinrich et al, 2010). Guna mendukung pengembangan dan peningkatan obat tradisional yang bermutu, aman, berkhasiat dan teruji secara ilmiah, serta dalam rangka mengantisipasi perubahan dan tantangan strategis, maka Menteri Kesehatan Republik Indonesia mengeluarkan surat keputusan tentang Kebijakan Obat Tradisional

(2)

Nasional. Sehingga obat tradisional dapat dimanfaatkan secara luas untuk swamedikasi maupun dalam pelayanan kesehatan formal (BPOM,2007).

Berdasarkan keputusan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tentang Ketentuan Pokok Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia, Obat tradisional dikelompokkan menjadi 3 yaitu Jamu, Obat Herbal Terstandar, dan Fitofarmaka. Jamu adalah bahan atau ramuan bahan yang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut, yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Obat herbal terstandar adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan bahan bakunya telah di standarisasi. Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik, bahan baku dan produk jadinya telah di standarisasi (BPOM, 2004). Pemerintah saat ini juga sedang menggalakkan saintifikasi jamu yang bertujuan untuk meningkatkan jenis klaim penggunaan dari jamu.

Menurut WHO (2011), bahan baku produk obat bahan alam dapat berupa bagian tanaman, yaitu daun, bunga, buah, biji, batang, akar atau seluruh bagian tanaman yang belum mengalami proses ataupun telah mengalami proses pengolahan sederhana. Selain itu juga dapat berupa ekstrak atau fraksi dari hasil proses ekstraksi, pemekatan, dan pemisahan. Kontrol kualitas suatu produk bahan alam, dimulai dari bahan baku tanaman. Pada umumnya tanaman, konstituen yang bertanggungjawab menghasilkan aktivitas terapetik melibatkan multikomponen serta memiliki keberagaman kandungan komponen. Keberagaman komponen yang terdapat pada tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti asal tanaman, cara tumbuh, cara panen, cara pengeringan dan kondisi penyimpanan. Selain itu proses ekstraksi, kontaminasi mikroorganisme, cemaran logam berat dan pestisida juga mempengaruhi terhadap kualitas bahan baku tanaman. Sehingga untuk menjamin kebenaran dan keajegan produk bahan alam perlu dilakukan standarisasi (Bauer, 1998; Busse, 2000; Yadav&Dixit, 2008). Kualitas dan keamanan dari produk obat bahan alam, ditentukan oleh susunan dan konsentrasi dari konstituen yang terdapat dalam sediaan. Jika komponen aktif belum diketahui atau melibatkan multikomponen maka untuk tujuan analitik dan standarisasi dapat digunakan senyawa yang telah diketahui aktivitas terapetik atau menggunakan marker. Marker merupakan komponen yang bersifat karakteristik dalam tanaman dan terdapat dalam jumlah yang memungkinkan untuk dilakukan analisis secara kualitatif dan kuantitatif (Bauer, 1998; Busse, 2000; WHO, 2005; Bandaranayake, 2006).

Dengan perkembangan penggunaan obat tradisional diseluruh dunia yang cukup pesat, serta minimnya informasi tentang toksisitas dan interaksi serta toksisitas dari obat tradisional, maka perlu ada jaminan keamanan, kemanjuran dan kontrol kualitas dari obat tradisional. Sehingga diperlukan sistem pengawasan yang komprehensip, mulai dari bahan baku sampai produk obat tradisional tersebut beredar dimasyarakat (WHO,2005). Pada tahun 2005, Badan Pengawas Obat dan Makanan mengeluarkan peraturan tentang persyaratan teknis cara pembuatan obat tradisional yang baik dan telah di revisi pada tahun 2011. CPOTB (Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik) merupakan bagian dari jaminan mutu yang memastikan produk obat tradisional dibuat dan dikendalikan secara konsisten untuk mencapai standar mutu yang sesuai dengan tujuan penggunaan dan dipersyaratkan dalam izin edar serta spesifikasi produk (BPOM,2011). Selain itu pemerintah juga membuat regulasi terkait syarat produsen obat tradisional. Hal ini bertujuan untuk memberikan iklim usaha yang kondusif bagi produsen obat tradisional. Berdasarkan kewenangannya untuk memproduksi obat tradisional, industri obat tradisional dikelompokkan menjadi 6, yaitu: Industri Obat tradisional, Industri Ekstrak Bahan Alam, Usaha Kecil Obat Tradisional, Usaha Mikro Obat Tradisional, Usaha Jamu Racikan dan Usaha Jamu Gendong (Permenkes,2012). Guna melindungi masyarakat dari peredaran obat tradisional yang tidak memenuhi persyaratan keamanan,

(3)

khasiat dan mutu, pemerintah mengeluarkan permenkes nomer 7 tahun 2012, tentang produk obat tradisional yang beredar di wilayah Indonesia wajib, memiliki izin edar dan harus memenuhi kriteria yaitu menggunakan bahan yang memenuhi persyaratan keamanan dan mutu, dibuat dengan menerapkan CPOTB, memenuhi persyaratan Farmakope Herbal Indonesia, berkhasiat secara empiris, turun temurun, dan/atau secara ilmiah, penandaan berisi informasi yang objektif, lengkap dan tidak menyesatkan. Obat tradisional tidak diperbolehkan mengandung bahan kimia obat yang merupakan hasil isolasi atau sintetik berkhasiat obat. Hal ini disebabkan karena terjadi interaksi antara komponen senyawa yang terdapat pada obat tradisional dengan obat sintetik. Beberapa tanaman yang telah teridentifikasi memiliki interaksi dengan obat sintetik adalah Allium sativum, Ginkgo biloba dengan obat-obat antipaltelet seperti aspirin, warfarin dan ibuprofen.

Bahan Kimia Obat di Obat Tradisional

Penambahan bahan kimia obat merupakan salah satu kasus penyimpangan yang masih sering terjadi dalam proses pembuatan dan peredaran obat tradisional. Obat tradisional yang sering terdapat bahan kimia obat adalah obat tradisional yang diindikasikan untuk afrodisiak, penghilang rasa sakit dan rematik (BPOM,2013). Hasil penelitian Sari, 2012 melaporkan bahwa terdapat 9 sampel jamu positif mengandung sildenafil sitrat. Sampel yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 27 buah jamu yang memiliki nomer registrasi dan dibeli dari 21 toko jamu yang berada di kecamatan Klojen di kota Malang. Pada kemasan disebutkan bahwa jamu tersebut digunakan untuk jamu kuat lelaki. Metode analisis yang digunakan yaitu Kromatografi Lapis Tipis-Densitometri. Hasil analisis menunjukkan pada 9 sampel memberikan noda dengan nilai rf dan pola spektra yang sama dengan standar sildenafil sitrat.

Hasil Penelitian Fauziah, 2012 terhadap sampel jamu pelangsing, diperoleh hasil yaitu terdapat 2 sampel jamu mengandung sibutramin hidroklorida; Sampel dibeli dari 21 toko jamu yang terdapat di Kecamatan Klojen, Kota Malang. Jumlah sampel yang diteliti sebanyak 22 jamu yang memeiliki nomer registrasi dan digunakan sebagai jamu pelangsing. Metode analisis yang digunakan yaitu Kromatografi Lapis Tipis-Densitometri. Hasil analisis menunjukkan pada 2 sampel memberikan noda dengan nilai rf dan pola spektra yang sama dengan standar sibutramin hidroklorida.

Abdullah, 2012 melaporkan bahwa terdapat 6 sampel jamu mengandung parsetamol dan 2 sampel jamu mengandung parasetamol dan metampiron pada produk jamu yang bereedar di 21 toko jamu di Kecamatan Klojen Kota Malang. Sampel yang digunakan sebanyak 21 sampel jamu yang memiliki nomer registrasi dengan indikasi untuk pegel linu. Metode analisis yang digunakan yaitu Kromatografi Lapis Tipis-Densitometri. Hasil analisis menunjukkan pada 6 sampel memberikan noda dengan nilai rf dan pola spektra yang sama dengan standar parasetamol. Pada 2 sampel jamu memberikan noda dengan nilai rf dan pola spektra yang sama dengan standar parasetamol dan metampiron.

Bahaya Bahan Kimia Obat

Obat Sildenafil sitrat merupakan obat yang digunakan untuk mengatasi disfungsi seksual. Pada awal penemuannya, obat tersebut merupakan obat hipertensi dan angina pectoris. Efek samping yang muncul dari penggunaan sildenafil sitrat yaitu sakit kepala, gangguan pencernaan, gangguan penglihatan, dyspepsia, rhinitis, infark miokard, nyeri dada, palpitasi dan kematian. Obat ini termasuk dalam kategori obat keras, sehingga penggunaan obat ini harus dengan resep dokter (Depkes RI, 2000; Anonim 2011).

Sibutramin hidroklorida merupakan obat yang digunakan dalam terapi tambahan pada program penurunan berat badan. Penggunaan obat ini digunakan, jika upaya diet, olahraga, dan perubahan gaya hidup tidak berhasil. Efek samping yang muncul yaitu peningkatan denyut jantung, palpitasi (jantung

(4)

berdebar), peningkatan tekanan darah, sakit kepala, kegelisahan, kehilangan nafsu makan, konstipasi, mulut kering, gangguan alat perasa, vasodilatsi, insomnia, dan pusing (Asri, 2006)

Paracetamol dan Metampiron merupakan obat yang digunakan untuk menghilangkan nyeri ringan sampai sedang. Penggunaan pasetamol dalam jangka panjang dapat menyebabkan gangguan kerusakn hati. Efek samping yang muncul pada penggunaan metampiron menyebabkan gangguan saluran cerna seperti mual, perdarahan lambung, gangguan sistem syaraf, penghambat pembnetukan sel darah, dan gangguan ginjal (Depkes RI, 2000; Anonim, 2011).

Kesimpulan

Kemajuan teknologi menyebabkan perubahan yang cepat pada industri obat tradisional. Dengan menggunakan teknologi modern, industri-industri tersebut kini mampu memproduksi dalam skala yang sangat besar. Kemajuan teknologi transportasi maka produk-produk tersebut dalam waktu yang singkat dapat menyebar ke berbagai negara dengan jaringan distribusi yang sangat luas dan mampu menjangkau seluruh strata masyarakat. Konsumsi masyarakat terhadap produk obat tradisional cenderung terus meningkat, sementara pengetahuan masyarakat masih belum memadai untuk dapat memilih dan menggunakan produk secara tepat, benar dan aman. Pada sisi lain, iklan dan promosi secara gencar mendorong konsumen untuk mengkonsumsi produk obat tradisonal. Hal tersebut dapat meningkatkan resiko pada kesehatan dan keselamatan konsumen. Apabila terjadi produk sub standar, rusak atau terkontaminasi oleh bahan berbahaya maka risiko yang terjadi akan berskala besar dan luas serta berlangsung secara amat cepat. Sehingga diperlukan peran profesi apoteker untuk dapat memberikan informasi yang tepat terkait dengan penggunaan, efek samping dan interaksi yang mungkin muncul akibat dari penggunaan obat tradisional.

Dari hasil temuan adanya bahan kimia obat pada obat tradisional, maka diharapkan pemerintah dapat bertidak tegas terhadap produsen obat tradisonal yang melakukan pelanggaran. Selain dapat membahayakan kesehatan masyarakat, hal tersebut dapat merusak citra jamu yang merupakan tradisi dan warisan dari nenek moyang. Sehingga masyarakat mendapat perlindungan dari produk obat tradisional yang beredar di Indonesia.

Daftar Pustaka

1. Anonim, 2011, Waspadai Efek Samping Obat Kimia Dalam Jamu. http://www.ikatanapotekerindonesia.net/pharmacy-news/34-pharmacy-news/1392-waspadai-efek-samping-obat-kimia-dalam-jamu.html. diakses pada tanggal 7 Februari 2014

2. Abdullah,S., 2012. Uji Identifiksai Bahan Kimia Obat dalam Jamu Pegel Linu yang Beredar di Kecamatan Klojen dengan Metode KLT-Denstimetri. Skripsi.

3. Asri, E.K., 2006. Sibutramin. InfoPOM. 7:4, hal 1-3.

4. Bandaranayake, W.M., 2006. Quality Control, Screening, Toxicity and Regulation of Herbal Drugs. In: Ahmad, I., Aqil, F., Owais, M. (Eds). Modern Phytomedicine Turning Medicinal Plant into Drugs. Weinheim: Wiley-VCH VerlagGmbH&Co. KGaA.

5. Bauer,R., 1998. Quality Criteria and Standardization of Phytopharmaceuticals: Can Acceptable Drug Standards Be Achieved?. Drug Information Journal, 32:101-110.

6. BPOM 2013, Hasil Pengawasan Obat Tradisional mengandung Bahan Kimia Obat.

(5)

7. BPOM, 2004. Ketentuan Pokok Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia. Jakarta.

8. BPOM, 2005. Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka. Jakarta.

9. BPOM, 2011. Persyaratan Teknis Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik. Jakarta.

10. Busse,W., 2000. The Significance of Quality for Efficacy and Safety of Herbal Medicinal Products.Drug Information Journal, 34: 15-23.

11. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000. Informatorium Obat Nasional Indonesia, Jakarta. 12. Fauziah, D.R., 2012. Uji Identifiksai Bahan Kimia Obat Sibutramin HCl dalam Jamu Pelangsing

Menggunakan KLT-Denstimetri di Kecamatan Klojen Kota Malang. Skripsi.

13. Heinrich,M., Barnes,J., Gibbons,S., Williamson,E.M., 2010, Fundamentals of Pharmacognosy and Phytotheraphy, Oxford: Elsevier Limited.

14. Keputusn Menteri Kesehatan, 2007. Kebijakan Obat Tradisional Nasional. Jakarta. 15. Peraturan Menteri Kesehatan, 2012. Industri dan Usaha Obat Tradisional. Jakarta. 16. Peraturan Menteri Kesehatan, 2012. Registrasi Obat Tradisional. Jakarta.

17. Sari, A.K., 2012. Analisis Kualitatif Bahan Kimia Obat dalam Sediaan Jamu Kuat Pria dengan Metode KLT-Densitometri yang beredar di Kecamatan Klojen Kota Malang, Skripsi.

18. World Health Organization, 2005. Good Manufacturing Practices: Updates Supplementary Guidelines for The Manufacture of Herbal Medicinal Products. Geneva.

19. World Health Organization, 2011, Traditional, Complementary and Herbal Medicine. http://apps.who.int/medicinedocs/en/d/Jh2996e/6.2.html. diakses pada tanggal 30 Juli 2011.

20. Yadav, N.P., Dixit, V.K., 2008. Recent approaches in herbal drug standardization. International Journal of Integrative Biology, 3(2):195-203.

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini diperburuk dengan sistem rotasi yang dilakukan oleh pihak manajemen yang bertujuan agar operator dapat melakukan semua aktivitas kerja (multy skill) yang ada

a) Untuk mengkoordinasikan dan mengkorelasikan usaha manusia dalam struktur organisasi. Hanya bila usaha dari semua divisi telah dijadwalkan dan dikoordinasikan secara layak,

Server menunggu data inisialisasi dari pembaca RFID, saat server menerima data, dilakukan pencatatan ID pembaca dan pengubahan status pembaca tersebut menjadi aktif,

Berdasarkan hasil penelitian dan hasil analisis data, mengenai hubungan kekuatan otot lengan dan kekuatan otot punggung terhadap kemampuan bantingan bahu pada Atlet gulat putra

lontar Borassus flabellifer sebagai flora identitas Provinsi Sulawesi Selatan adalah spesies yang diintroduksi masuk ke Sulawesi, yang berarti bahwa secara ekologi spesies

Perangkat yang digunakan untuk melakukan serangan DoS pada tugas akhir ini hanya dapat melakukan serangan sampai dengan 200 message, dan jika count yang digunakan adalah 250

Wilayah yang diarahkan untuk pengembangan industri kecil berbasis komoditas unggulan pertanian terdiri atas 10 desa sebagai desa industri dan 6 kawasan industri yang

(5) Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau oleh lembaga sertifikasi mandiri yang dibentuk oleh