• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINDAKAN SOSIAL MASYARAKAT DALAM KEGIATAN PENERTIBAN PENDAKIAN GUNUNG PENANGGUNGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINDAKAN SOSIAL MASYARAKAT DALAM KEGIATAN PENERTIBAN PENDAKIAN GUNUNG PENANGGUNGAN"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

1

TINDAKAN SOSIAL MASYARAKAT DALAM KEGIATAN PENERTIBAN PENDAKIAN GUNUNG PENANGGUNGAN

Nisya’ Tri Yolanda NIM. 071211431004 Mahasiswa Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Airlangga

Abstrak

Banyaknya wisatawan yang melakukan pendakian di Gunung Penanggungan membawa perubahan sikap sosial masyarakat di sekitar Gunung Penanggungan yang diwujudkan dengan dilakukannya kegiatan penertiban pendakian. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan tindakan sosial masyarakat di sekitar Gunung Penanggungan dalam penertiban pendakian Gunung Penanggungan Jalur Pendakian Tamiajeng, yakni apa tindakan sosial yang dilakukan dan bagaimana tindakan sosial tersebut dilakukan oleh masyarakat di sekitar Gunung Penanggungan serta mengapa masyarakat pelaku penertiban pendakian ini merasa perlu untuk melakukan tindakan sosial tersebut.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara mendalam terhadap masyarakat pelaku penertiban pendakian yang dipilih secara purposif. Teori yang digunakan dalam menganalisis data yang didapatkan yakni teori tindakan sosial oleh Max Weber.

Hasil dari temuan data mengungkapkan bahwa tindakan sosial yang dilakukan masyarakat dalam kegiatan penertiban pendakian antara lain melakukan pendataan pendaki, memberikan himbauan terkait kelestarian alam dan keamanan situs-situs bersejarah dan memberikan pertolongan kepada pendaki. Dalam melakukan tindakan tersebut, masyarakat bekerjasama dengan Perum Perhutani dengan sistem pembagian hasil. Terkait pembiayaan klaim medis pendaki, masyarakat bekerjasama dengan pihak asuransi. Masyarakat juga memenuhi pungutan-pungutan liar oleh oknum dari institusi pemerintah. Masyarakat pelaku penertiban pendakian juga mendapatkan upah untuk setiap kali bertugas. Untuk itu masyarakat menetapkan tarif masuk pendakian. Tindakan sosial tersebut dilakukan untuk mempertahankan eksistensi Gunung Penanggungan sebagai obyek wisata pendakian favorit. Masyarakat di sekitar Gunung Penanggungan menggantungkan diri pada upah yang didapat dari kegiatan penertiban pendakian yang dilakukannya.

Kata Kunci: tindakan sosial, penertiban pendakian

Pendahuluan

Kabupaten Mojokerto merupakan salah satu daerah wisata yang menarik untuk dikunjungi di Indonesia.

Kabupaten ini memiliki potensi yang sangat besar dalam hal wisata cagar budaya dan wisata alam. Situs cagar budaya sebagaimana yang dijelaskan oleh

(2)

2 Fitrianto (2011) banyak diketemukan di Kabupaten Mojokerto ini. Di Kecamatan Trowulan misalnya, di sana banyak diketemukan peninggalan-peninggalan kerajaan Majapahit. Menurutnya ada beberapa prasasti yang saat ini menjadi destinasi wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Prasasti Kudadu, Prasasti Wingun Pitu, Prasasti Canggu, Prasasti Alasantan dan prasasti-prasasti lainnya menjadi bukti akan kemolekan wisata cagar budaya Kabupaten Mojokerto. Selain Prasasti, ada juga candi-candi sebagai peninggalan Kerajaan Majapahit, yakni Candi Bajang Ratu, Candi Tikus, Candi Brahu, Candi Kedaton, dan candi-candi lainnya.

Selain wisata cagar budaya, Kabupaten Mojokerto juga memiliki objek wisata alam yang menarik. Wisata alam ini terletak pada dua di antara 18 kecamatan yang berada di wilayah adminstratif Kabupaten Mojokerto yang merupakan wilayah dataran tinggi. Dua kecamatan ini yaitu Kecamatan Pacet

dengan ketinggian 570 meter di atas permukaan laut dan Kecamatan Trawas dengan ketinggian 800 meter di atas permukaan laut (Pemkab Mojokerto, dalam Fitrianto 2011: 25).

Kecamatan Trawas sebagai salah satu di antara dua kecamatan yang memiliki panorama alam yang indah, mempunyai destinasi wisata yang tidak kalah menarik dengan wisata-wisata alam lain di Kabupaten Mojokerto. Wisata alam tersebut adalah wisata pendakian Gunung Penanggungan. Gunung Penanggungan itu sendiri merupakan salah satu gunung berapi aktif yang menjadi tujuan wisata alam di Kabupaten Mojokerto. Gunung ini memiliki ketinggian 1.652 meter di atas permukaan laut. Dari laporan Jawa Pos (2015) disebutkan bahwa lebih dari 1.000 wisatawan melakukan pendakian di Gunung Penanggungan setiap bulannya. Bahkan pada hari Jumat dan Sabtu, jumlah pendaki bisa mencapai angka rata-rata 300 orang.

(3)

3 Gunung Penanggungan sebagai objek wisata pendakian memiliki empat jalur yakni Jalur Betro Desa Wonosuyo Kecamatan Gempol Kabupaten Pasuruan, Jalur Jalatunda Desa Seloliman Kecamatan Trawas Kabupaten Mojokerto, Jalur Ngoro di Desa Ngoro Kecamatan Ngoro Kabupaten Mojokerto, dan yang terakhir Jalur Tamiajeng di Desa Tamiajeng Kecamatan Trawas Kabupaten Mojokerto. Jalur Tamiajeng disebut sebagai jalur pendakian Gunung Penanggungan yang paling favorit bagi para pendaki (Info Pendaki, 2015). Jalur inilah yang menjadi jalur pendakian Gunung Penanggungan paling ramai daripada jalur-jalur yang lain.

Jalur Tamiajeng sebagai jalur teramai, sempat menjadi bahan perbincangan hangat di kalangan pendaki gunung. Perbincangan ini terkait wacana pembangunan tangga beton oleh Pemerintah Kabupaten Mojokerto. Bupati Mojokerto, Mustofa Kamal Pasa mengatakan bahwa pembangunan tangga

beton ini merupakan salah satu upaya Pemerintah Kabupaten Mojokerto dalam mengembangkan potensi wisata alam di Gunung Penanggungan. Namun, wacana tersebut mendapatkan penolakan baik dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur maupun dari kalangan pendaki. Mustofa Kamal Pasa mengatakan, “Apa dasar mereka menolak, belum tahu tujuannya kok sudah menolak. Kami ingin membenahi, bukan merusak, kami hanya membuatkan jalan supaya para pendaki tidak lewat jalannya air.” (Maja Mojokerto, 2015). Sementara itu Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah menetapkan Gunung Penanggungan sebagai Kawasan Cagar Budaya Peringkat Provinsi. Penetapan ini tercantum dalam Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 188/18/KPTS/013/2015 tanggal 14 Januari 2015 (Tempo, 2015). Kemudian para pendaki yang tergabung dalam komunitas “Save Pawitra” melakukan aksi penolakan berupa pembuatan petisi

(4)

4 dan penggalangan tanda tangan. Pembuatan petisi dan penggalangan tanda tangan dilakukan pada sebuah spanduk sebesar 2x6 meter yang bertuliskan “Save Pawitra Jangan Biarkan Tanah Leluhur Kita Direbut”. Aksi tersebut dilakukan di depan Pos Pendakian Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Sumber Lestari, Desa Tamiajeng Kecamatan Trawas Kabupaten Mojokerto (Detik, 2015).

Komunitas “Save Pawitra” pada dasarnya merupakan kepanjangan tangan dari Unit Penertiban Pendakian milik LMDH Sumber Lestari yang mengelola Jalur Tamiajeng Gunung Penanggungan. Penggerak Komunitas “Save Pawitra” merupakan pengurus dan anggota Unit Penertiban Pendakian milik LMDH Sumber Lestari itu sendiri. Aksi penolakan dilakukan karena pembangunan tangga beton diperkirakan akan berpengaruh terhadap kegiatan pengelolaan jalur pendakian dan perlindungan ekosistem hutan oleh Unit

Penertiban Pendakian LMDH Sumber Lestari.

Adanya Unit Penertiban Pendakian LMDH Sumber Lestari merupakan salah satu bukti bahwa banyaknya wisatawan yang melakukan pendakian di Gunung Penanggungan membawa perubahan pada sikap sosial masyarakat, sehingga masyarakat di sekitar Jalur Tamiajeng pada prosesnya memiliki inisiatif untuk membentuk sebuah lembaga yang bergerak di bidang perlindungan ekosistem hutan. Inisiatif ini diawali dengan dibentuknya LMDH Sumber Lestari oleh Perum Perhutani. LMDH Sumber Lestari merupakan perwujudan dari kerjasama Perhutani dengan masyarakat di sekitar Gunung Penanggungan untuk menanami hutan Gunung Penanggungan kembali setelah pembalakan liar yang terjadi pada kisaran tahun 2000.

Namun, aktivitas LMDH Sumber Lestari pada saat itu hanya sebatas untuk reboisasi hutan, sementara jumlah

(5)

5 wisatawan yang melakukan pendakian semakin banyak. Sehingga, pemuda di sekitar Gunung Penanggungan membentuk sebuah komunitas yang bergerak di bidang penjagaan kelestarian hutan sekaligus penertiban pendakian, yakni Kompas (Komunitas Pemuda Trawas) pada 9 September 2003. Selang beberapa tahun, Reksa Wana berdiri untuk menggantikan Kompas yakni sejak tahun 2011. Setelah itu, Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Sumber Lestari melanjutkan kegiatan pelestarian ekosistem hutan dan penertiban pendakian dengan membentuk satu unit baru yakni Unit Penertiban Pendakian pada 1 November 2014 sebagai pengganti Reksa Wana. Aktivitas penertiban pendakian ini juga dilakukan oleh warung-warung di sekitar Gunung Penanggngan terkait penitipan kendaraan pendaki. Sejak Reksa Wana ada, Karang Taruna Desa Tamiajeng, Kecamatan Trawas Kabupaten Mojokerto juga membuka jasa parkir kendaraan.

Kepedulian masyarakat di sekitar Gunung Penanggungan yang diwujudkan dalam pendirian tersebut mencakup keprihatinannya terhadap jumlah pendaki Gunung Penanggungan yang semakin meningkat dari waktu ke waktu. Peningkatan jumlah pendaki ini menjadi kekhawatiran tersendiri bagi masyarakat di sekitar Gunung Penanggungan, pertama-tama mengenai pemahaman pendaki gunung akan pentingnya menjaga kelestarian alam dan perlindungan cagar budaya di Gunung Penanggungan mengingat bahwa Gunung Penanggungan telah ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya Peringkat Provinsi.

Peningkatan jumlah pendaki juga menjadi kekhawatiran tersendiri bagi masyarakat di sekitar Gunung Penanggungan khususnya mengenai perbekalan dan kemampuan wisatawan dalam pendakian gunung. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Sumatera Barat (1991/1992: 79) dalam buku yang

(6)

6 berjudul Dampak Pengembangan Pariwisata terhadap Kehidupan Budaya Daerah Sumatera Barat mengatakan, “Pada umumnya masyarakat memperlakukan wisatawan sebagai tamu, yang berarti mereka juga merasa mempunyai tanggungjawab pada ketertiban dan keamanan, dimana tamunya tersebut datang dan menginap.” Dalam konteks ini peningkatan jumlah pendaki Gunung Penanggungan membuat masyarakat di sekitar Gunung Penanggungan juga menjalani peran sebagai ranger gunung yakni sebagai orang yang melakukan pertolongan pertama bagi pendaki yang mengalami kekurangan bekal dan cedera. Untuk itu masyarakat di sekitar Gunung Penanggungan memberlakukan tarif untuk mendaki gunung sebesar Rp 8.000,00 bagi setiap pendaki dengan jaminan asuransi (Koran Sindo, 2015). Implementasi jaminan asuransi ini salah satunya dapat dilihat dari pemaparan Kepala Sie Penanggulangan Bencana

Palang Merah Indonesia (PMI) Kabupaten Mojokerto, Didik Soedarsono, mengenai peristiwa kecelakaan pendakian di Gunung Penanggungan yang terjadi pada 12 April 2015. Didik Soedarsono (2015) dalam akun Facebook-nya menjelaskan bahwa Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Sumber Lestari bersama Badan SAR (National Search and Rescure Agency) Nasional Kantor SAR Surabaya segera melakukan evakuasi korban segera setelah mendapatkan kabar dari adanya pendaki yang membutuhkan pertolongan. Penarikan iuran kepada pedagang kaki lima di Pasar Setonongulon Surabaya dan pemberlakuan tarif pendakian di Gunung Penanggungan merupakan bentuk-bentuk tindakan sosial yang dilakukan seiring dengan fenomena sosial yang terjadi di lingkungannya. Tingginya jumlah pedagang kaki lima di Pasar Setonongulon Surabaya berpengaruh terhadap sikap sosial paguyuban pedagang kaki lima di Pasar

(7)

7 Setonongulon Surabaya. Begitu pula tingginya jumlah wisatawan yang melakukan pendakian di Gunung Penanggungan membawa perubahan pada sikap sosial masyarakat di sekitar Jalur Tamiajeng yang merupakan jalur pendakian paling favorit bagi para pendaki. Tindakan sosial tidak serta merta dilakukan oleh masyarakat tanpa adanya suatu fenomena sosial yang mengirinya, sebagaimana yang dikatakan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Sumatera Barat (1991/1992: 81) pada Buku Dampak Pengembangan Pariwisata terhadap Kehidupan Budaya Daerah Sumatera Barat, “Tampaknya pengaruh turis pada anak muda seperti guide atau pemandu wisata, baik yang profesional ataupun tidak, sedikit banyaknya membawa perubahan dalam sikap sosialnya. Mereka cenderung bersifat bisnis, yang setiap tindakan sosialnya berharap mendapatkan imbalan jasa.”

Dari beberapa pemaparan di atas, maka permasalahan yang menjadi menarik untuk dikaji dalam penelitian ini adalah mengenai tindakan sosial masyarakat di sekitar Gunung Penanggungan yang bekerjasama dengan Perhutani dalam melakukan kegiatan penertiban pendakian Gunung Penanggungan.

Sebelum adanya Kompas, wisatawan dapat melakukan pendakian di Gunung Penanggungan secara cuma-cuma. Gunung Penanggungan merupakan tempat favorit bagi para pendaki gunung hal ini dibuktikan dengan laporan Jawa Pos bahwa lebih dari 1.000 wisatawan melakukan pendakian di Gunung Penanggungan setiap bulannya. Bahkan pada hari Jumat dan Sabtu, jumlah pendaki bisa mencapai angka rata-rata 300 orang. Hal ini dihitung dari jumlah pendaki yang melewati Jalur Tamiajeng. Sebagaimana diketahui bahwa Gunung Penanggungan sebagai tempat wisata pendakian memiliki empat jalur

(8)

8 pendakian yakni Jalur Betro, Jalur Jalatunda, Jalur Ngoro dan Jalur Tamiajeng. Banyaknya pendaki Gunung Penanggungan menjadi pusat perhatian bagi masyarakat di sekitar Gunung Penanggungan. Perhatian ini menyangkut kelestarian cagar budaya, lingkungan alam serta keselamatan wisatawan khususnya wisatawan yang melakukan pendakian. Untuk itu, masyarakat di sekitar Gunung Penanggungan menetapkan tarif sebesar Rp 8.000,001 untuk setiap wisatawan yang akan melakukan pendakian. Biaya tersebut di antaranya termasuk asuransi pendakian. Dalam hal ini alam dapat sekaligus menjadi aset penting bagi masyarakat di sekitar Gunung Penanggungan.

Tindakan sosial masyarakat di sekitar Gunung Penanggungan dalam melakukan kegiatan penertiban pendakian Gunung Penanggungan ini menjadi penting untuk dikaji, karena

1

Tarif yang diberlakukan oleh Unit Penertiban Pendakian LMDH Sumber Lestari pada 2014 hingga awal 2016

masyarakat mengalami perubahan dari waktu ke waktu, sehingga tindakan sosial dalam dalam penertiban pendakian akan menyesuaikan dengan kondisi masyarakat di sekitarnya.

Sebagaimana uraian dalam tersebut, fokus penelitian dalam penelitian ini yaitu apa tindakan sosial yang dilakukan dan bagaimana tindakan sosial tersebut dilakukan oleh masyarakat di sekitar Gunung Penanggungan serta mengapa masyarakat pelaku penertiban pendakian ini merasa perlu untuk melakukan tindakan sosial itu.

Pembahasan

Bab ini menjelaskan tentang analisis tindakan sosial masyarakat di sekitar Gunung Penanggungan dalam melakukan penertiban pendakian Gunung Penanggungan Jalur Pendakian Tamiajeng dengan menggunakan teori tindakan sosial oleh Max Weber sebagai pisau analisis. Tindakan sosial oleh Max Weber menjelaskan bahwa dalam setiap tindakan sosial yang dilakukan oleh

(9)

9 manusia mengandung makna subyektif. Makna subyektif yang dikandung di dalam diri seseorang dapat hanya bersifat membatin sepenuhnya dalam artian tidak memicu atau belum memicu dilakukannya suatu tindakan, atau sebaliknya dapat memicu dilakukakannya tindakan nyata.

Pertama, keberadaan Gunung Penanggungan sangat berarti bagi masyarakat di sekitarnya. Sebelum diadakannya penertiban pendakian, masyarakat di sekitar Gunung Penanggungan sudah merasa resah mengenai Gunung Penanggungan yang menjadi gunung sampah. Ketika itu, terdapat banyak sampah di Gunung Penanggungan di mana melimpahnya sampah ini sampai membuat masyarakat merasa risih dengan banyaknya lalat di pemukiman sekitar Gunung Penanggungan. Kondisi ini membuat masyarakat yang bersangkutan merasa harus membersihkan sampah di Gunung Penanggungan.

Kedua, Gunung Penanggungan sangat menarik bagi wisatawan untuk didaki khususnya pendakian melewati Jalur Pendakian Tamiajeng. Masyarakat di sekitar Gunung Penanggungan merasa bahwa pendakian oleh para wisatawan ini dikhawatirkan dapat memberikan dampak buruk bagi Gunung Penanggungan dalam artian pembersihan sampah yang selama ini dilakukan masyarakat di sekitar Gunung Penanggungan tidak akan memberikan dampak baik yang diinginkan apabila Gunung Penanggungan seringkali didatangi wisatawan pendaki. Masyarakat di sekitar Gunung Penanggungan menganggap bahwa adanya aktivitas wisata pendakian dapat memenuhi Gunung Penanggungan dengan sampah-sampah lagi. Selain itu, juga terdapat situs-situs bersejarah di Gunung Penanggungan yang perlu dilindungi keberadaannya juga dapat terancam keberadaannya. Terdapat situs-situs bersejarah di sebelah kanan dan kiri Jalur

(10)

10 Pendakian Tamiajeng yang belum tertata rapi. Masyarakat di sekitar Gunung Penanggungan mengungkapkan bahwa pendaki kerapkali mengambil situs-situs bersejarah itu dan tidak mengembalikannya di tempat yang semestinya.

Kekhawatiran mengenai kebersihan Gunung Penanggungan dan keamaan situs-situs bersejarah ini mendorong masyarakat di sekitar Gunung Penanggungan untuk mendirikan komunitas yang bergerak di bidang penanganan konservasi hutan dan keamanan situs-situs bersejarah. Oleh karena itu, para pemuda Kecamatan Trawas, salah satu kecamatan yang memangku Gunung Penanggungan, yang merasa turut berkewajiban dalam pelestarian ekosistem Gunung Penanggungan, pada 2003 mendirikan sebuah komunitas yang bergerak di bidang konservasi hutan dan pengamanan situs-situs bersejarah. Komunitas ini diberi nama Kompas (Komunitas Pemuda

Trawas). Dibentuknya komunitas ini merupakan perwujudan dari pemaknaan masyarakat di sekitar Gunung Penanggungan mengenai hubungan aktivitas pendakian dengan kondisi alam Gunung Penanggungan. Makna subyektif ini diwujudkan dalam tindakan nyata yang diawali dengan pendirian sebuah komunitas yang bergerak di bidang tersebut.

Max Weber menjelaskan bahwa tindakan yang dilakukan manusia dapat berupa tindakan yang sengaja diulang. Tindakan ini dilakukan dengan memperhatikan orang lain dan diarahkan kepada orang lain. Sebagaimana yang diungkapkan Max Weber, tindakan penertiban pendakian Gunung Penanggungan oleh masyarakat di sekitar Gunung Penanggnugan dilakukan secara berulang.

Setiap hari libur, para pemuda yang tergabung dalam Kompas berada di pos penertiban pendakian yang didirikannya di kaki Gunung

(11)

11 Penanggungan. pemuda penggerak Kompas hanya melakukan penertiban pendakian setiap hari libur karena kegiatan pendakian ketika itu ramai dikunjungi pendaki pada hari libur saja. Mereka melakukan pendataan pendaki dan memberikan pengarahan mengenai pendakian serta memberinya kantung kresek untuk membungkus sampah agar pendaki tidak membuang sampahnya di sembarang tempat, melainkan membawa sampahnya turun serta ketika menuruni gunung. Pendaki yang menyerahkan sampahnya ketika turun mendapatkan stiker yang mengenai pentingnya menjaga kelestarian alam. Tindakan penertiban pendakian juga dilakukan secara berulang oleh Reksa Wana dan Unit Penertiban Pendakian LMDH Sumber Lestari.

Reksa Wana merupakan wujud kembalinya pemuda di sekitar Gunung Penanggungan untuk melakukan pelestarian alam, pengamanan situs-situs bersejarah dan penertiban pendakian

setelah Kompas tidak lagi melakukannya. Dapat dikatakan bahwa Reksa Wana merupakan nama baru bagi Kompas yang berhenti melakukan penertiban pendakian. Reksa Wana berisikan pendiri Kompas. Para pemuda ini mendirikan Reksa Wana untuk mengisi kekosongan tempat terkait penertiban pendakian. Para pemuda dalam Reksa Wana juga merasakan pentingnya dilakukan penertiban pendakian sehubungan dengan kelestarian alam dan situs-situs bersejarah di tubuh Gunung Penanggungan. Para pemuda dalam Reksa Wana selalu berada di pos penertiban pendakian yang didirikannya selama 24 jam setiap hari. Hal ini dilakukan secara bergantian. Mereka melakukan pendataan dan memberikan arahan pada wisatawan yang akan melakukan pendakian. Arahan yang diberikan pada pendaki ini terkait pentingnya menjaga kelestarian alam dan keberadaan situs-situs bersejarah, membawa turun serta sampah-sampah

(12)

12 serta terkait keamanan pribadi sang pendaki. Selain itu para pemuda dalam Reksa Wana juga melakukan patroli gunung secara rutin dan memberikan pertolongan pertama pada pendaki yang sakit, mengalami cedera atau kehabisan bekal ketika melakukan pendakian.

Sedangkan Unit Penertiban Pendakian LMDH Sumber Lestari merupakan unit baru yang dibentuk oleh LMDH Sumber Lestari yang pada awal pendiriannya hanya berkegiatan sebagai pesanggem Gunung Penanggungan. Unit ini dibentuk untuk mengisi kekosongan peran dalam kegiatan penertiban pendakian yang tidak lagi dilakukan oleh Kompas dan Reksa Wana. Baik Kompas, Reksa Wana maupun Unit Penertiban Pendakian LMDH Sumber Lestari bekerjasama dengan Perum Perhutani selaku yang menaungi Gunung Penanggungan juga dengan pihak asuransi untuk membantunya mengatasi pengaturan keuangan terkait kebutuhan medis pendaki. Unit Penertiban

Pendakian LMDH Sumber Lestari melakukan kegiatan yang sama sebagaimana Kompas dan Reksa Wana terdahulu. Kesamaan kegiatan yang dilakukan ketiga kelompok ini menggambarkan bahwa tindakan sosial manusia dapat dilakukan secara berulang. Tindakan sosial tersebut dihayati oleh orang lain dan dilakukan secara berulang pula oleh manusia orang lain itu.

Pendirian Kompas, Reksa Wana dan Unit Penertiban Pendakian LMDH Sumber Lestari dan kegiatan yang dilakukannya merupakan tindakan dilakukan berdasarkan hasil dari memperhatikan perilaku pendaki. Hal ini digunakan sebagai dasar dalam melakukan tindakan penertiban pendakian. Kebijakan penertiban pendakian merupakan reaksi dari perilaku pendaki itu sendiri. Kebijakan ini diwujudkan dalam praktek-praktek penertiban pendakian yang diarahkan kepada pendaki. Tindakan ini didorong oleh rasionalitas instrumental pelaku

(13)

13 penertiban pendakian di mana dalam menjalankan kegiatan penertiban pendakian, pelaku penertiban pendakian melakukan penyesuaian antara tujuan dari penertiban pendakian dengan kebijakan serta praktek dalam mencapai tujuan penertiban pendakian itu.

Penertiban pendakian merupakan kegiatan usaha pemanfaatan jasa lingkungan lahan di mana Perum Perhutani harus mendapatkan sebagian dari hasil penertiban pendakian. Jumlah pendaki yang semakin banyak juga merepotkan masyarakat pelaku penertiban pendakian, terutama terkait kebutuhan medis pendaki yang mengalami kecelakaan pendakian. Masyarakat pelaku penertiban pendakian memang harus memasang tarif karena mereka juga harus membayarkan sejumlah uang kepada instansi yang bekerjasama dengan dirinya seperti Perum Perhutani dan pihak asuransi serta membayar pungutan-pungutan liar dari oknum-oknum institusi pemerintahan.

Kompas melakukannya tanpa meminta pendaki untuk memberikan imbalan dana. Sebaliknya, pendaki membayar sejumlah uang pada Kompas dengan sukarela. Namun ketika kegiatan penertiban pendakian dilakukan Reksa Wana, setiap pendaki dikenakan biaya Rp 6.000,- ketika akan melakukan pendakian. Tarif ini semakin naik menjadi Rp 8.000,- kemudian menjadi Rp 10.000,- ketika penertiban pendakian dilakukan oleh Unit Penertiban Pendakian LMDH Sumber Lestari. Penetapan tarif ini merupakan tindakan yang didasari oleh rasionalitas ekonomis, di mana nilai mata uang semakin turun dan harga barang dan jasa semakin tinggi. Selain itu, jumlah penghasilan yang ditargetkan Perum Perhutani (sebagai institusi pemerintahan yang menaungi Gunung Penanggungan) juga semakin naik. Pada saat yang sama pelaku penertiban pendakian juga merasa harus memiliki dana sosial yang akan diberikan kepada masyarakat di sekitar

(14)

14 Gunung Penanggungan yang membutuhkan bantuan, seperti keluarga yang anggota keluarganya terkena musibah, anak yatim piatu. Pelaku penertiban pendakian juga merasa harus memberikan sumbangan untuk pembangunan tempat ibadah, pembangunan sekolah dan fasilitas umum lainnya.

Sementara itu, masyarakat pelaku penertiban pendakian memiliki bentuk legalitas dan manajemen keuangan yang berbeda antara Kompas, Reksa Wana dan Unit Penertiban Pendakian LMDH Sumber Lestari. Kompas dan Reksa Wana membuat perjanjian kerjasama dengan Perum Perhutani yang mengandung legalitas keberadaannya di kaki Gunung Penanggungan beserta prosentase pembagian hasil. Oleh karena itu, laporan keuangan yang disusun Kompas dan Reksa Wana dibuat dengan detail dan dilaporkan ke seluruh anggota juga pihak-pihak terkait yang bekerjasama dengan dirinya. Sedangkan

Unit Penertiban Pendakian LMDH Sumber Lestari perjanjian kerjasamanya dengan Perum Perhutani hanya bersifat lisan termasuk menyangkut pembagian hasil dengan Perum Perhutani. Legalitasnya hanya berupa surat terbuka yang dikeluarkan sendiri oleh Unit Penertiban Pendakian LMDH Sumber Lestari yang melegalkan keberadaannya di kaki Gunung Penanggungan dengan ditandatangani Unit Penertiban Pendakian LMDH Sumber Lestari, Perum Perhutani dan Muspika.

Sejak pendirian Kompas yakni 2003, Kompas diwajibkan untuk menyetorkan sejumlah uang pada Perum Perhutani secara rutin. Hal ini dirasakan sangat memberatkan bagi para pemuda dalam Kompas, terutama ketika Perum Perhutani semakin menaikkan nilai minimum setoran sementara pemasukan Kompas tidak sebanding dengan itu. Dengan demikian, Kompas menghentikan aktivitas penertiban pendakian pada 2009. Sebagaimana

(15)

15 dalam Kompas, para pemuda dalam Reksa Wana bekerjasama dengan Perum Perhutani dan wajib menyetorkan sejumlah uang pada Perum Perhutani sejak pendiriannya pada 2011. Penetapan nilai minimal setoran oleh Perhutani yang semakin tinggi memberatkan para pemuda dalam Reksa Wana. Sehingga pada 2013 Reksa Wana tidak lagi melakukan kegiatan penertiban pendakian. Kenaikan permintaan uang hasil penertiban pendakian dilakukan secara lisan tanpa memperbarui perjanjian kerjasama. Ketika Unit Penertiban Pendakian LMDH Sumber Lestari berdiri, masyarakat pelaku penertiban pendakian yang merupakan penggerak Kompas dan Reksa Wana direkrut untuk membantu masa transisi LMDH Sumber Lestari.

Masyarakat pelaku penertiban pendakian selalu mengenakan almamater petugas penertiban pendakian. Almamater ini digunakan sebagai alat untuk mendapatkan perhatian dari

pendaki. Apabila pelaku penertiban pendakian tidak mengenakan almamater ketika melakukan penertiban pendakian, pendaki akan cenderung mengabaikan arahan bahkan cenderung melawan. Padahal, mendapatkan perhatian dari pendaki merupakan hal yang sangat penting karena berkaitan dengan kewaspadaan dan keamanan pendaki ketika melakukan pendakian.

Dalam kegiatan penertiban pendakian, masyarakat pelaku penertiban pendakian memiliki nilai-nilai tertentu yang diperjuangkan, yang berbeda satu dengan yang lain. Seperti masyarakat yang memilih untuk menjadi pelaku penertiban pendakian, pelaku penertiban pendakian yang memilih berhenti melakukan penertiban pendakian dan memilih untuk berfokus pada kegiatan konservasi alam lain juga pelaku penertiban pendakian yang bertahan dalam kegiatan penertiban pendakian. Dinamika yang terjadi dalam kepengurusan kegiatan penertiban

(16)

16 pendakian menggambarkan interaksi sosial di antara pelaku penertiban pendakian dengan keyakinan yang berbeda mengenai nilai yang diperjuangkan oleh masing-masing pelaku.

Banyak konflik yang terjadi dalam kegiatan penertiban pendakian. Konflik ini bisa terjadi di dalam kelompok pelaku penertiban pendakian, dengan pedagang, dengan karang taruna bahkan dengan perum perhutani, pihak pemerintah desa, kecamatan, polsek maupun koramil. Konflik ini kebanyakan dipicu oleh uang mengingat kegiatan penertiban pendakian ini menghasilkan banyak uang. Pedagang berselisih dengan karang taruna terkait jasa penitipan kendaraan. Kelompok pelaku penertiban pendakian berselisih dengan perum perhutani, pihak pemerintah desa, kecamatan, polsek dan koramil terkait pungutan-pungutan liar yang dilakukan oleh oknum-oknum di dalamnya. Antar pelaku penertiban pendakian berselisih

tentang transparansi pengelolaan keuangan dan orientasi utama kelompok penertiban pendakian.

Perselisihan mengenai orientasi kelompok penertiban pendakian menjadi poin yang paling rentan yang membuat pelaku penertiban pendakian berhenti atau bertahan melakukan penertiban pendakian. Pelaku penertiban pendakian yang merasa kelompoknya hanya berorientasi pada pencarian keuntungan akan berhenti melakukan penertiban pendakian karena merasa nilai-nilai yang ia perjuangkan tidak mendapatkan dukungan dari kelompoknya. Ada pula yang memilih bertahan karena telah menggantungkan pemenuhan kebutuhan hidupnya melalui upah yang diperoleh dari penertiban pendakian.

Penutup

Tindakan sosial yang dilakukan masyarakat di sekitar Gunung Penanggungan dalam kegiatan penertiban pendakian antara lain melakukan pendataan pendaki, memberikan

(17)

17 himbauan mengenai pentingnya menjaga kelestarian alam dan keamanan situs-situs bersejarah dan memberikan pertolongan kepada pendaki yang mengalami cedera, hipotermia dan kehabisan bekal.

Dalam melakukan penertiban pendakian ini, masyarakat pelaku penertiban pendakian bekerjasama dengan Perum Perhutani selaku institusi pemerintah yang menaungi Gunung Penanggungan dengan sistem pembagian hasil. Terkait pembiayaan pertolongan medis bagi pendaki, pelaku penertiban pendakian bekerjasama dengan pihak asuransi. Selain itu, masyarakat pelaku penertiban pendakian juga memenuhi pungutan-pungutan liar dari para oknum instansi pemerintahan yang datang kepadanya. Para pelaku penertiban pendakian juga mendapatkan upah setiap kali bertugas. Untuk itu, setiap wisatawan

yang akan melakukan pendakian diharuskan membayarkan sejumlah uang.

Hal tersebut dilakukan untuk mempertahankan eksistensi Gunung Penanggungan sebagai destinasi wisata pendakian favorit dan mempertahankan kegiatan penertiban pendakian sebagai lahan penghasil uang. Dalam hal ini pelaku penertiban pendakian Gunung Penanggungan menggantungkan diri pada upah yang didapat dari kegiatan penertiban pendakian yang dilakukannya. Pendakian merupakan kegiatan yang erat kaitannya dengan terganggunya kelestarian alam serta situs-situs bersejarah yang ada di Gunung Penanggungan. Untuk itu diperlukan kerjasama yang baik antara pendaki, pelaku penertiban pendakian dan institusi pemerintah yang menaungi Gunung Penanggungan dalam menjaga kelestarian tubuh Gunung Penanggungan

Daftar Pustaka Buku:

Giddens, Anthony et al. 2004. Sosiologi Sejarah dan Pemikirannya (Terjemahan Ninik Rochani Sjams). Yogyakarta: Kreasi Wacana

(18)

18

Izarwisma. 1991/1992. Dampak Pengembangan Pariwisata terhadap Kehidupan Daerah Sumatera Barat. Padang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Invetarisasi dan Pembinaan Nilai Budaya Sumatera Barat

Kuswarno, Engkus. 2009. Metode Penelitian Komunikasi Fenemenologi Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitiannya. Bandung: Widya Padjadjaran

Moeleong, Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Neuman, W. Lawrence. 2013. Metode Penelitian Sosial: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif (Terjemahan Edina T. Sofia). Jakarta: Indeks

Ritzer, G dan Goodman Douglas J. 2005. Teori Sosiologi Modern. (Terjemahan Alimandan). Jakarta: Prenada Media

Satori, D dan Aan Komariah. 2011. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta Tugas Akhir dan Skripsi:

Ardi, Rakhman. 2005. Praktik Premanisme di Lingkungan Pasar Studi Etnografi Kalangan Pedagang Kaki Lima di Pasar Setonongulon Surabaya

Fitrianto, Moch Koko. 2011. Peranan Masyarakat dalam Optimalisasi Trowulan sebagai Destinasi Wisata di Mojokerto Studi Deskriptif tentang Peranan Masyarakat dalam Optimalisasi Situs Cagar Budaya sebagai Daya Tarik Wisata di Desa Trowulan Kabupaten Mojokerto

Peotri, Anggy. 2013. Makna Mengajar (Studi Fenomenologi pada Pengajar Dalam Komunitas Save Street Child Surabaya)

Sumber Online:

Budianto, Enggran. 2015. Pecinta Alam Tolak Rencana Pembangungan Jalan ke Gunung Penanggungan.

http:/m.detik.com/news/read/2015/01/25/184157/2813336/475/pecinta-alam-tolak-rencana-pembangunan-ke-gunung-penanggungan. www.detik.com (diakses 31 Januari 2015, 20.07 WIB)

Didik Soedarsono. 2015.

https://www.facebook.com/photo.php?fbid=963607833651004&set=a.1670876799 69694.40048.100000053896760&type=1. www.facebook.com/ntdpmimr (diakses 16 April 2015, 17.33 WIB)

Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Mojokerto. Satuan Kawasan Wisata. http://disporabudpar.mojokertokab.go.id/pariwisata_2_satuan-kawasan-wisata.aspx. www.disporabudpar.mojokertokab.go.id (diakses 16 April 2015, 14.48 WIB)

Jawa Pos. 2015. Pecinta Alam Tolak Tangga Beton Penanggungan Pemkab Anggarkan Rp

7 M, April Nanti Mulai Digarap.

http:/www.jawapos.com/baca/artikel/12073/pecinta-alam-tolak-tangga-beton-penanggungan. www.jawapos.com. (diakses 16 April 2015, 13.51 WIB)

Julan, Tritus. 2015. Tangga Beton Hilangkan Sensasi Mendaki. http:/www.koran-sindo.com/read/955038/151/tangga-beton-hilangkan-sensasi-mendaki-1422072586. www.koran-sindo.com. (diakses 16 April 2015, 13.38 WIB)

Info Pendaki. 2015. Jalur Pendakian Gunung Penanggungan via Tamiajeng. http://infopendaki.com/jalur-pendakian-gunung-penanggungan-via-tamiajeng/. www.infopendaki.com (diakses 15 April 2015, 16.12 WIB)

Ishomuddin. 2015. Pemerintah Jawa Timur Tolak Jalan Paving Gunung Penanggungan.

(19)

http://www.tempo.co/read/news/2015/02/26/078645446/Pemerintah-Jawa-Timur-19

Tolak-Jalan-Paving-Gunung-Penanggungan. www.tempo.co. (diakses 16 April 2015)

Maja Mojokerto. 2015. Bupati Bantah Akan Rusak Ekosistem Gunung Penanggungan. http:/majamojokerto.com/headline/3668/Bupati-Bantah-Akan-Rusak-Ekosistem-Gunung Penanggungan. www.majamojokerto.com (diakses 31 Januari 2015, 21.00 WIB)

P., Misti. 2015. Bupati Mojokerto: Gerakan Save Pawitra Tidak Beralasan. http://m/beritajatim/politik_pemerintahan/229889/bupati_mojokerto:_gerakan_save _pawitra_tak_beralasan.html. www.beritajatim.com (diakses 31 Januari 2015, 22.36 WIB)

P., Misti. 2015. Pembangunan Jalan Wisata ke Gunung Penanggungan Ancam Situs

Cagar Budaya.

http:/m.beritajatim.com/politik_pemerintahan/230035/pembangunan_jalan_wisata_ ke_gunung_penanggungan_ancam_situs_cagar_budaya.html.

www.beritajatim.com (diakses 31 Januari 2015, 21.50 WIB)

P., Misti. 2015. Pendaki se-Jatim Tolak Jalan Wisata Gunung Penanggungan.

http:/m.beritajatim.com/politik_pemerintahan/229612/pendaki_se-jatim_tolak_jalan_wisata_gunung_penanggungan.html#,VKnUAMXgHa8. www.beritajatim.com (diakses 31 Januari 2015, 20.45 WIB)

Referensi

Dokumen terkait

Pengunjung dengan kategori jarak, dimana pengunjung yang datang berasal dari luar daerah Bandar Lampung memberikan nilai ekonomi jasa wisata secara nyata lebih tinggi dari

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Subsektor perikanan (Juta Rupiah). 239.013

Persamaan kalibrasi dan uji validasi untuk penentuan KPT buah sawo dibangun dengan menggunakan metode Partial Least Squares (PLS) regression untuk tiga jenis

Dari Tabel 4.4 dan Gambar 4.2 dapat dilihat nilai kekerasan permukaan benda kerja menggunakan media arang sekam padi dengan waktu penahanan carburizing selama 1 jam

Oleh karena itu faktor-faktor yang mempengaruhi kesulitan belajar adalah faktor variasi mengajar guru dan faktor keaktifan siswa dalam pembelajaran dikelas, hal tersebut

[r]

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis strategi, faktor-faktor yang menjadi penghambat serta pendukung, dan upaya yang dilakukan Pemerintah