• Tidak ada hasil yang ditemukan

Di Sidoarjo tepatnya di Desa Balongdowo Kecamatan Candi ada tradisi masyarakat yang dilakukan setiap bulan Ruwah pada saat bulan purnama.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Di Sidoarjo tepatnya di Desa Balongdowo Kecamatan Candi ada tradisi masyarakat yang dilakukan setiap bulan Ruwah pada saat bulan purnama."

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Nyadran

Di Jawa, pada bulan Ruwah ( kalender Jawa ) ada tradisi yang dinamakan Ruwatan. Bentuk – bentuk Ruwatan ini dapat berupa bersih Desa ,Ruwah desa atau lainnya.

Di Sidoarjo tepatnya di Desa Balongdowo Kecamatan Candi ada tradisi masyarakat yang dilakukan setiap bulan Ruwah pada saat bulan purnama.

Tradisi tersebut dinamakan Nyadran, Nyadran ini merupakan adat bagi para nelayan kupang desa Balongdowo sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Bentuk kegiatan Nyadran berupa pesta peragaan cara mengambil kupang di tengah laut selat Madura.

Nyadran di Sidoarjo mempunyai ciri khas tersendiri. Kegiatan Nyadran dilakukan oleh masyarakat Balongdowo yang mata pencaharian sebagai nelayan kupang, pada siang harinya sangat disibukkan dengan kegiatan persiapan pesta upacara meski puncak acaranya pada tengah malam.

Kegiatan ini dilakukan pada dini hari sekitar pukul 1 pagi. Orang- orang berkumpul untuk melakukan keliling. Perjalanan dimulai dari Balongdowo Kec, Candi menempuh jarak 12 Km. Menuju dusun Kepetingan Ds. Sawohan Kec. Buduran. Perjalanan ini melewati sungai desa Balongdowo, Klurak kali pecabean, Kedung peluk dan Kepetingan ( Sawohan ).

Ketika iring-iringan perahu sampai di muara kali Pecabean perahu yang ditumpangi anak balita membuang seekor ayam. Konon menurut cerita dahulu ada orang yang mengikuti acara Nyadran dengan membawa anak kecil dan anak kecil tersebut kesurupan. Oleh karena itu untuk menghindari hal tersebut masyarakat Balongdowo percaya bahwa dengan membuang seekor ayam yang masih hidup ke kali Pecabean maka anak kecil yang mengikuti nyadran akan terhindar dari kesurupan/ malapetaka.

Sekitar pukul. 04.30 WIB. Peserta iring-iringan perahu tiba di dusun Kepetingan Ds. Sawohan . Rombongan peserta nyadran langsung menuju makam dewi Sekardadu untuk mengadakan makan bersama. Sambil menunggu fajar tiba, peserta nyadran tersebut berziarah, bersedekah, dan berdoa di makam tersebut agar berkah terus mengalir. Menurut cerita rakyat Balongdowo

(2)

Dewi sekardadu adalah putri dari Raja Blambangan yang bernama Minak Sembuyu yang pada waktu meninggalnya dikelilingi “ ikan kepiting “ itulah sebab mengapa dusun tersebut

dinamakan Kepetingan. Tetapi orang-orang sering menyebut Dusun Ketingan.

Setelah dari makam Dewi Sekardadu, sekitar pukul 07.00WIB. Perahu-perahu itu menuju selat Madura yang berjarak sekitar 3 Km. Sekitar pukul 10.00 WIB. iring-iringan perahu tersebut mulai meninggalkan selat Madura. Kemudian mereka kembali ke Ds Balongdowo. Sepanjang Perjalan pulang ternyata banyak masyarakat berjajar di tepi sungai menyambut iring-iringan perahu tiba. Mereka minta berkat/makanan yang dibawa oleh peserta nyadran dengan harapan agar mendapat berkah.

Ada satu proses dari pesta nyadran ini yaitu “ Melarung tumpeng “ Proses ini dilakukan di muara /Clangap ( pertemuan antara sungai Balongdowo, sungai Candi, dan sungai Sidoarjo ). Proses ini diadakan bila ada pesta Nyadran atau nelayan kupang yang mempunyai nadzar /kaul.

Kebudayaan Nyadran

REP | 12 December 2013 | 10:46 Dibaca: 363 Komentar: 2 2 A.Latar Belakang Masalah

Dalam perkembangan zaman yang semakin modern, upacara tradisional sebagai wahana budaya leluhur bisa dikatakan masih memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Upacara tradisional yang memiliki makna filosofis sampai sekarang masih dipatuhi oleh masyarakat pendukungnya. Masyarakat tersebut bahkan takut jika tidak melaksanakan upacara tradisional akan mengalami hal-hal yang tidak diinginkan.

Dalam sejarah perkembangan kebudayaan masyarakat Jawa mengalami akulturasi dengan berbagai bentuk kultur yang ada. Oleh karena itu, corak dan bentuknya diwarnai oleh berbagai unsur budaya yang bermacam-macam. Setiap masyarakat memiliki kebudayaan yang berbeda. Hal ini dikarenakan oleh kondisi sosial budaya masyarakat antara yang satu dengan yang lain berbeda. Kebudayaan sebagai cara berpikir dan cara merasa yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan kelompok manusia yang membentuk kesatuan sosial dalam ruang dan waktu. Salah satu budaya yang menonjol adalah adat istiadat atau tradisi kejawen.Kebudayaan selalu

(3)

menyajikan sesuatu yang khas dan unik, karena pada umumnya diartikan sebagai proses atau hasil karya, cipta, rasa, dan karsa manusia dalam menjawab tantangan kehidupan yang berasal dari alam sekitarnya.

Upacara tradisional yang dilaksanakan pada umumnya masih mempunyai hubungan dengan kepercayaan akanadanya kekuatan diluar manusia. Adapun yang dimaksud dengan kekuatan di luar manusia yaitu Tuhan Yang Maha Esa, dapat juga diartikan sebagai kekuatan supranatural seperti roh nenek moyang pendiri desa, dan bisa juga roh leluhur yang dianggap masih memberikan perlindungan padanya dan keturunannya. Mereka percaya bahwa tidak semua usaha manusia dapat berjalan lancar, terkadang menemui tantangan dan hambatan yang sulit dipecahkan. Hal tersebut disebabkan oleh keterbatasan akal dan sistem pengetahuan manusia, sehingga masalah-masalah yang tidak dapat dipecahkan dengan akal mulai dipecahkan secara religi.

Pada dasarnya masyarakat Jawa merupakan suatu kesatuan masyarakat yang diikat oleh norma-norma hidup karena sejarah, tradisi maupun agama. Ada keyakinan pada masyarakat Jawa bahwa suatu tindakan atau tingkah laku merupakan cara berpikir seorang individu yang sering dikaitkan dengan adanya kepercayaan atau keyakinan terhadap kekuatan gaib yang ada di alam semesta. Kekuatan alam semesta dianggap ada di atas segalanya. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam masyarakat Jawa kekuatan manusia dianggab lemah bila dihadapkan dengan alam semesta. Pandangan hidup orang Jawa terbentuk dari alam pikiran Jawa tradisional, kepercayaan Hindu, dan ajaran Islam. Budaya dapat diartikan sebagai keseluruhan warisan sosial yang dipandang sebagai hasil karya yang tersusun menurut tata tertib teratur, biasanya terdiri dari pada kebendaan, kemahiran teknik, pikiran dan gagasan, kebiasaan, nilai-nilai tertentu, dan sebagainya.Wujud kebudayaan selain sebagai kompleksitas ide, gagasan, nilai dan norma maupun sebagai peraturan, juga mencerminkan pola tingkah laku manusia dalam masyarakat. Pola tingkah laku ini terjadi karena ekspresi atau manifestasi hasil proses belajar. Ekspresi ini juga terwujud dalam hasil karyanya sebagai buah budi dayanya. Wujud tingkah laku tersebut dapat juga berbentuk lambang tertentu, misalnya upacara keagamaan yang merupakan manifestasi tingkah laku religius.

(4)

Apresiasi budaya sering kali dihubungkan dengan cara hidup, adat istiadat suatu masyarakat yang mendukung kebudayaan tersebut. Misalnya upacara adat tradisional yang pada umumnya ditimbulkan adanya keyakinan atau doktrin yang juga merupakan perwujudan dari religi. Semua akivitas manusia yang berhubungan dengan religi dan didasarkan pada suatu getaran jiwa biasanya disebut emosi keagaman (religious emotion),emosi keagamaan mendorong manusia melakukan tindakan religi. Dalam kepercayaan religi animisme, makam adalah tempat suci yang digunakan sebagai sarana berkomunikasi spiritual nenek moyang dengan roh para leluhur atau dengan Tuhan. Pada masa sekarang, kepercayaan tersebut belum luntur. Salah satu tradisi yang melekat pada jiwa masyarakat, khususnya masyarakat jawa adalah Tradisi Nyadran. Secara filosofis Nyadran adalah ritual simbolik yang sarat dengan makna. Menurut adat kejawen sadranan berarti berziarah Kubur atau pergi ke makam nenek moyang dengan membawa menyan, bunga dan air doa. Sadran berarti kembali atau menziarahi makam atau tempat yang dianggap sebagai cikal bakal suatu desa, biasanya masyarakat menamakan tempat tersebut dengan sebutan punden yaitu makam cikal bakal desa setempat. Sebelum berziarah kubur biasanya masyarakat terlebih dahulu membersihkan makam secara bersama-sama.

Bersih kubur yang dikenal dengan nama sadranan atau besik merupakan salah satu bentuk alkuturasi Islam dengan kebudayaan Jawa. Tradisi sadranan merupakan tradisi yang sudah dikenal oleh semua masyarakat terutama masyarakat Jawa, karena sadranan dilakukan di berbagai daerah tak terkecuali di Desa Margoyoso, kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Sebelum Islam datang kepercayaan Animisme dan Dinamisme serta agama Hindu dan Budha telah lebih dahulu berkembang di Indonesia khususnya pulau Jawa. Islam diterima di masyarakat Jawa dengan mudah dan damai, karena para da`i memiliki sikap toleransi yang tinggi terhadap kebudayaan Jawa. Islam tidak perlu mengubah struktur budaya dan kepercayaan yang telah ada, melainkan tinggal melestarikannya dengan siraman Islam. Keadaan demikian memberikan dampak pada pandangan yang tidak mempersoalkan suatu agama itu benar atau salah, suka memadukan unsur-unsur dari berbagai agama yang pada dasarnya berbeda bahkan berlawanan.

Pandangan hidup orang jawa merupakan perwujudan dari kepercayaan terhadap adi kodrati (Allah), selain itu masyarakat Jawa juga menghormati nenek moyang yang sudah meninggal.

(5)

Sikap hormat tersebut diungkapkan dengan cara mengunjungi makam nenek moyang untuk minta berkah dan berdoa agar mendapat kemudahan dalam menjalani lingkaran hidup. Mengunjungi makam biasanya dilakukan sebelum mengadakan salah satu upacara lingkaran hidup dalam keluarga atau upacara yang berhubungan dengan hari besar Islam. Dalam masyarakat Jawa mengunjungi makam yang penting ketika Nyadran. Pada waktu nyadran makam-makam dibersihkan dan ditaburi bunga (nyekar) yang kemudian dibacakan doa sambil membakar dupa. Masyarakat mengadakan tradisi Nyadran pada umumnya ketika menjelang puasa, tepatnya sehari sebelum puasa Ramadhan. Selain disebut dengan tradisi Nyadran, ada sebagian masyarakat menyebutnya dengan sebutan ruwahan.

B.Rumusan Masalah

1. Bagaimana bentuk upacara nyadran di Desa Margoyoso.

2. Mengetahui apa itu nyadran dan sejauh mana masyarakat menghayati nilai yang terkandung dari suatu tradisi kebudayaan nenek moyang.

3. Apa fungsi Tradisi Nyadran bagi masyarakat dan mengapa tradisi Nyadran tetap bertahan.

BAB II

POKOK PEMBAHASAN A.Sejarah Nyadran

Lantas kapan sebenarnya tradisi nyadran bagi orang Jawa itu dilakukan? Hampir tak ada yang tahu persis. Namun dalam ajaran Islam, bulan Sya’ban yang datang menjelang Ramadhan merupakan bulan pelaporan atas amal perbuatan manusia.

Maka, di sejumlah tempat diadakan sadranan yang maknanya adalah melaporkan segala daya dan upaya yang telah dilakukan selama setahun, untuk nantinya manusia berintrospeksi. Dalam masyarakat jawa, tradisi atau ritual nyadran sendiri sudah ada pada masa Hindu-Buda, jauh sebelum agama Islam masuk.

Saat itu, nyadran dimaknai sebagai sebuah ritual yang berupa penghormatan kepada arwah nenek moyang dan memanjatkan doa keselamatan. Saat agama Islam masuk ke Jawa pada sekitar

(6)

abad ke-13, ritual semacam nyadran dalam tradisi Hindu-Buda lambat laun terakulturasi dengan nilai-nilai Islam.

Akulturasi ini makin kuat ketika Walisongo menjalankan dakwah ajaran Islam di Jawa mulai abad ke-15. Pribumisasi ajaran Islam membuahkan sejumlah perpaduan ritual, salah satunya budaya nyadran. Oleh karena itu, nyadran bisa jadi merupakan “modifikasi’ para wali ketika memperkenalkan agama Islam di tanah Jawa.

Langkah itu ditempuh para wali, karena untuk melakukan persuasi yang efektif terhadap orang Jawa, agar mau mengenali dan masuk Islam. Nyadran pun menjadi media siar agama Islam. Selain ritual nyadran, salah satu kompromi atau akulturasi budaya Jawa dalam islam berupa penempatan nisan di atas jenazah yang dikuburkan.

Batu nisan tersebut sebagai penanda keberadaan si jenazah, agar kelak anak-cucunya dan segenap keturunannya bisa mendatangi untuk ziarah, mendoakan sang arwah, sewaktu-waktu. Bagi sebagian besar masyarakat pedesaan di Jawa, mudik terdiri atas dua arus. Arus besar pertama terjadi dalam rangka menyongsong lebaran, atau Idul Fitri.

Sedangkan arus kedua terjadi pada saat ruwahan menjelang bulan puasa. Namun para perantau kerap memposisikan nyadran lebih tinggi dibanding Hari Raya idul Fitri. Setidaknya, para akan lebih memilih mudik pada saat ruwahan, dibanding pada lebaran.

Apalagi ketika kemudian tradisi mudik lebaran juga berarti masa perjuangan penuh risiko, seperti transportasi yang semakin mahal, jalanan macet dan seterusnya. Pada saat mudik nyadran, biasanya pula orang-orang Jawa di perantauan akan berusaha mengalokasikan anggaran untuk perbaikan batu nisan atau kompleks makam keluarga, makam para leluhur yang dihormati. B.Upacara Nyadran

Nyadran di Desa Margoyoso biasa dilaksanakan bertepatan dengan tanggal 20 Sya’ban setiap tahunnya. Sebagaimana adat kebiasaan yang telah berlangsung, acara diadakan di dalam area makam. Mulai terbit fajar telah datang merayap, para peziarah dengan bawaan bakul dan tenong (rantang) yang berisi daharan sak ubo rampe-nya. Nasi, sayur, ayam ingkung, bakmi, sayur kentang atau krecek merupakan menu yang telah dipersiapkan sejak jago kluruk pertama

(7)

terdengar dini hari. Kebanyakan diantara para hadirin terdiri atas kaum laki-laki. Beberapa kaum ibu memang datang, namun bisa dihitung dengan jari. Adapun anak-anak, baik laki maupun perempuan ada yang sengaja diajak orang tuanya untuk memperkenalkan tradisi leluhur. Tidak kurang dari seratusan orang memadati sepanjang jalan makam. Setelah dirasa segenap warga hadir, acara inti diawali dengan tahlilan bersama yang dipimpin oleh orang yang dituakan / sesepuh kampung.

Selepas pembacaan tahlil, acara dilanjutkan dengan kembul bujono dengan alas daun pisang utuh yang telah disediakan di tengah kalangan. Nasi putih segera dicecer di tepian daun pisang. Ayam ingkung segera dicuwel, satu per satu dibagi rata. Sayur krecek dan bakmi segera tertebar menyelimuti nasi putih. Kemudian hadirinpun dipersilakan makan bersama. Makan dengan cara demikian merupakan perwujudan semangat kebersamaan, rasa gotong royong dan keguyuban diantara sesama warga. Inilah harta karun paling berharga yang diwariskan para pendahulu bangsa kepada anak cucunya. Mangan ora mangan sing penting kumpul.

C.Makna yang terkandung dari Upacara Nyadran

Tradisi yang hingga saat ini masih berlangsung di masyarakat pedesaan itu mempunyai makna simbolis, hubungan diri orang Jawa dengan para leluhur, dengan sesama, dan tentu saja dengan Tuhan. Tradisi nyadran intinya berupa ziarah kubur pada bulan Syaban (Arab), atau Ruwah dalam kalender Jawa, menjadi semacam kewajiban bagi orang Jawa. Ziarah dengan membersihkan makam leluhur, memanjatkan doa permohonan ampun, dan tabur bunga tersebut adalah simbol bakti dan ungkapan penghormatan serta terima kasih seseorang terhadap para leluhurnya.

Makna yang terkandung dalam persiapan puasa di bulan Ramadan adalah agar orang mendapatkan berkah dan ibadahnya diterima Allah. Lewat ritual nyadran, masyarakat Jawa melakukan penyucian diri. Mereka mengunjungi makam leluhur, membersihkan batu-batu nisan dari rumput liar dan ilalang, dan melakukan kendurian. Meski bentuk kegiatan sama, namun makna nyadran sangat berbeda dengan ziarah kubur. Perbedaan itu, antara lain karena waktu pelaksanaan ritual nyadran telah ditentukan secara sepihak oleh pihak yang memiliki otoritas di

(8)

daerah tersebut. Di hampir semua desa, pihak yang berwenang menentukan waktu nyadran adalah juru kunci, tetua desa, atau sosok yang paling dituakan dalam masyarakat.

Berbeda dengan ziarah kubur, ritual nyadran dilakukan secara kolektif, melibatkan seluruh warga desa. Ritual nyadran ini biasanya dilakukan di dua pusat bangunan desa, yaitu makam dan masjid. Setelah melakukan bersih makam, acara beralih pada kenduri yang biasanya digelar di masjid atau makam desa. Sebagaimana kenduri pada umumnya, agendanya adalah berdoa dan makan nasi berkatan, yaitu berupa nasi tumpeng dengan lauk ingkung ayam, urapan, buah-buahan, serta jajan. Di beberapa desa yang tradisi nyadran-nya masih kuat, masyarakat meletakkan aneka sesaji dalam sebuah tenong, yaitu nampan bulat yang terbuat dari anyaman bambu, dengan alas daun pisang atau daun jati. Satu tenong dikepung beberapa orang sekaligus. Ketika acara doa atau tahlilan selesai, maka mereka akan makan beramai-ramai.

Makna simbolis dari ritual nyadran atau ruwahan itu sangat jelas, bahwa saat memasuki bulan Ramadhan atau puasa, mereka harus benar-benar bersih, yang antara lain diupayakan dengan cara harus berbuat baik terhadap sesama, juga lingkungan sosialnya. Melalui rangkaian tradisi nyadran itulah orang Jawa merasa lengkap dan siap untuk memasuki ramadhan, bulan suci yang penuh berkah itu. Sebab, bagi orang Jawa, nyadran juga berarti sebuah upaya untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, memperbaiki hubungan baik dengan masyarakat dan lingkungan, serta menunjukkan bakti kepada para leluhur mereka.

D. Tradisi Nyadran yang masih terjaga

Meski penduduk desa ini telah mengenal peradaban kota dan dunia modern, tetapi mereka tetap menjaga eksistensi budaya yang ada. Salah satu buktinya adalah Nyadran. Nyadran adalah sebuah perayaan yang dilakukan oleh penduduk, biasanya di desa, setiap menjelang bulan ramadhan, tetapi kadang ada pula yang dilakukan di bulan lain. Jadi, upacara adat ini sangat berkaitan dengan warisan budaya Islam.

Pada hari-H sebagian penduduk desa yang berada di kota besar pulang kampung untuk mendoakan arwah leluhur mereka. Pada pukul 7 pagi, semua warga desa berbondong-bondong datang ke lapangan, atau area lain yang terletak di sebelah makam. Bahkan tetangga desa pun ikut datang ke sana. Mereka datang dengan membawa berbagai makanan, yang biasanya disertai

(9)

ingkung, masakan ayam goreng yang masih utuh belum dipotong-potong. Setelah semua warga berkumpul, baik tua maupun muda, laki maupun perempuan, acara yang dipimpin bapak bayan, istilah bagi kepala dusun, dimulai. Upacara dilanjutkan dengan pidato bapak lurah, lalu tahlil dimulai dengan dipimpin bapak kaum atau sering disebut pemuka agama di desa. Tujuan dari tahlil ini adalah untuk mendoakan arwah leluhur yang telah meninggal mendahului mereka. Setelah itu mereka beramai-ramai menyantap makanan mereka. Tak lupa mereka saling berbagi makanan satu sama lain.

E.Kontroversi

Apa yang menjadi latar belakang munculnya pro dan kontra mengenai nyadran di Desa Margoyoso dan kalangan mana yang terlibat kontroversi. Akar dari kontroversi itu sebenarnya berawal dari campurnya unsur animisme, hindu, dan Islam dalam ritual inti nyadran dan kemudian melebar ke rangkaian-rangkaian acara untuk memeriahkan upacara itu. Kalangan muslim modernis (Muhammadiyah) menolak digelarnya upacara nyadran dan perayaan-perayaan yang menyertainya, sedangkan kalangan muslim tradisionalis (NU) mendukung.

Bagi mereka yang kontra, nyadran dianggap sebagai pesta hura-hura yang mengambur-hamburkan uang karena dimeriahkan dengan berbagai pertunjukan yang sering tidak ada hubunganya dengan pesan dari ritual nyadran itu sendiri sebagai syukuran. Rasa syukur boleh diungkapkan dengan berbagai cara. Bahkan nyadran bisa menjadi syiar Islam seperti yang dilakukan oleh Walisongo dahulu. Menurut sudut pandang NU, jika nyadran dihukumi haram, maka sudah dari dulu dilarang oleh para penyebar Islam di Jawa.

Kontroversi yang muncul adalah berakar dari masalah dasar kenyakinan keagamaaan (akidah). Pihak yang menentang (kalangan Muhammadiyah) mempunyai alasan mereka sendiri menolak tradisi nyadran. Mereka berhujah bahwa tradisi leluhur itu mengandung bid’ah dan syirik sehingga mengancam iman Islam. Pihak yang memperkenankan (NU) justru melihat tradisi nyadran sebagai alat syiar Islam., pro dan kontra tentang masalah ini hanyalah perbedaan dalam sudut pandang dalam melihat kebudayaan lokal, selain tendensi ekonomi yang ada dibelakangnya.

(10)

Tradisi Nyadran masyarakat Jawa

Bagi masyarakat Jawa, kegiatan tahunan yang bernama nyadran atau sadranan merupakan ungkapan refleksi sosial-keagamaan. Hal ini dilakukan dalam rangka menziarahi makam para leluhur. Ritus ini dipahami sebagai bentuk pelestarian warisan tradisi dan budaya para nenek moyang. Nyadran dalam tradisi Jawa biasanya dilakukan pada bulan tertentu, seperti menjelang

bulan Ramadhan, yaitu Sya'ban atau Ruwah.

Nyadran dengan ziarah kubur merupakan dua ekspresi kultural keagamaan yang memiliki kesamaan dalam ritus dan objeknya. Perbedaannya hanya terletak pada pelaksanaannya, di mana nyadran biasanya ditentukan waktunya oleh pihak yang memiliki otoritas di daerah, dan

pelaksanaannya dilakukan secara kolektif.

Tradisi nyadran merupakan simbol adanya hubungan dengan para leluhur, sesama, dan Yang Mahakuasa atas segalanya. Nyadran merupakan sebuah pola ritual yang mencampurkan budaya lokal dan nilai-nilai Islam, sehingga sangat tampak adanya lokalitas yang masih kental islami. Budaya masyarakat yang sudah melekat erat menjadikan masyarakat Jawa sangat menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dari kebudayaan itu. Dengan demikian tidak mengherankan kalau pelaksanaan nyadran masih kental dengan budaya Hindhu-Buddha dan animisme yang

diakulturasikan dengan nilai-nilai Islam oleh Wali Songo.

Secara sosio-kultural, implementasi dari ritus nyadran tidak hanya sebatas membersihkan makam-makam leluhur, selamatan (kenduri), membuat kue apem, kolak, dan ketan sebagai unsur sesaji sekaligus landasan ritual doa. Nyadran juga menjadi ajang silaturahmi keluarga dan sekaligus menjadi transformasi sosial, budaya, dan keagamaan. Prosesi ritual nyadran biasanya dimulai dengan membuat kue apem, ketan, dan kolak. Adonan tiga jenis makanan dimasukkan ke dalam takir, yaitu tempat makanan terbuat dari daun pisang, di kanan kiri ditusuki lidi (biting). Kue-kue tersebut selain dipakai munjung/ater-ater (dibagi-bagikan) kepada sanak saudara yang lebih tua, juga menjadi ubarampe (pelengkap) kenduri. Tetangga dekat juga mendapatkan bagian dari kue-kue tadi. Hal itu dilakukan sebagai ungkapan

solidaritas dan ungkapan kesalehan sosial kepada sesama.

Selesai melakukan pembersihan makam, masyarakat kampung menggelar kenduri yang berlokasi di sepanjang jalan menuju makam atau lahan kosong yang ada di sekitar makam leluhur (keluarga). Kenduri dimulai setelah ada bunyi kentongan yang ditabuh dengan kode dara muluk (berkepanjangan). Lalu seluruh keluarga dan anak-anak kecil serta remaja hadir dalam acara

kenduri itu.

Tiap keluarga biasanya akan membawa makanan sekadarnya, beragam jenis, lalu duduk bersama dalam keadaan bersila. Kemudian, kebayan desa membuka acara, isinya bermaksud untuk mengucapkan rasa syukur dan terima kasih kepada warga yang sudah bersedia menyediakan makanan, ambengan, dan lain-lain termasuk waktunya. Setelah itu, Mbah Kaum (ulama lokal) yang sudah dipilih menjadi rois, maju untuk memimpin doa yang isinya memohon maaf dan

(11)

ampunan atau dosa para leluhur atau pribadi mereka kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Doanya menggunakan tata cara agama Islam, warga dan anak-anak mengamini. Suasana ceria anak-anak tergambar dengan semangat melafalkan amin sambil berteriak. Selesai berdoa, semua

yang hadir mencicipi makanan yang digelar.

Pada saat itu ada yang tukar-menukar kue, ada yang asyik ngobrol dengan kanan-kiri, maklum beberapa warga pulang dari perantauan hadir dalam kenduri. Biasanya Mbah Kaum diberi uang wajib dan makanan secukupnya, sedangkan yang tak hadir atau si miskin diberi gandhulan, nasi, kue yang dikemas khusus kemudian diantar ke rumah yang sudah disepakati diberi gandhulan. Dari tata cara tersebut, jelas nyadran tidak sekadar ziarah ke makam leluhur, tetapi juga ada nilai-nilai sosial budaya, seperti budaya gotongroyong, guyub, pengorbanan, ekonomi. Bahkan, seusai nyadran ada warga yang mengajak saudara di desa ikut merantau dan bekerja di kota-kota besar.

Di sini ada hubungan kekerabatan, kebersamaan, kasih sayang di antara warga atau anggota trah. Di samping itu, semakin jelas adanya nilai transformasi budaya dan tradisi dari yang tua kepada

yang muda.

Mengenai pola keberagamaan yang ada di Jawa, C Geertz (1981) melalui penelitiannya di Mojokerto menghasilkan sebuah konsep keberagamaan masyarakat yang bersifat abangan, santri, dan priayi. Ketiganya merupakan akumulasi dari hasil akulturasi budaya lokal masyarakat, Hidhu-Buddha dengan nilai-nilai Islam. Pola interaksi antara budaya lokal dan nilai Islam

menjadikan Islam warna-warni.

Nyadran merupakan ekspresi dan ungkapan kesalehan sosial masyarakat di mana rasa gotong- royong, solidaritas, dan kebersamaan menjadi pola utama dari tradisi ini. Ungkapan ini pada akhirnya akan menghasilkan sebuah tata hubungan vertikal-horizontal yang lebih intim. Dalam konteks ini, maka nyadran akan dapat meningkatkan pola hubungan dengan Tuhan dan masyarakat (sosial), sehingga akhirnya akan meningkatkan pengembangan kebudayaan dan

tradisi yang sudah berkembang menjadi lebih lestari.

Dalam konteks sosial dan budaya, nyadran dapat dijadikan sebagai wahana dan medium perekat sosial, sarana membangun jati diri bangsa, rasa kebangsaan dan nasionalisme (Gatot Marsono). Dalam prosesi ritual atau tradisi nyadran kita akan berkumpul bersama tanpa ada sekat-sekat dalam kelas sosial dan status sosial, tanpa ada perbedaan agama dan keyakinan, golongan

ataupun partai.

Nyadran menjadi ajang untuk berbaur dengan masyarakat, saling mengasihi, saling menyayangi satu sama lain. Nuansa kedamaian, humanitas dan familiar sangat kental terasa. Apabila nyadran ditingkatkan kualitas jalinan sosialnya, rasanya Indonesia ini menjadi benar-benar rukun,

ayom-ayem, dan tenteram.

Nyadran dalam konteks Indonesia saat ini telah menjelma sebagai refleksi, wisata rohani kelompok masyarakat di tengah kesibukan sehari-hari. Masyarakat, yang disibukkan dengan

(12)

aktivitas kerja yang banyak menyedot tenaga sekaligus (terkadang) sampai mengabaikan religiusitas, melalui nyadran, seakan tersentak kesadaran hati nuraninya untuk kembali bersentuhan dan bercengkrama dengan nilai-nilai agama: Tuhan.

http://de-kill.blogspot.com/2009/04/tradisi-nyadran-masyarakat-jawa.html

Selasa, 17 Desember 2013

Tradisi Nyadran dalam Masyarakat Jawa di Dusun Srikuwe, Ambartawang, Mungkid, Magelang

Sebelum kedatangan Islam di Indonesia, khususnya di Jawa, agama Hindu-Buddha telah lebih dahulu masuk ke Indonesia. Agama tersebut telah dianut dan mengakar dalam kehidupan masyarakat. Begitu juga dengan kebudayaan yang dibawanya. Begitu agama Islam masuk agama Hindu dan Buddha tidak begitu saja ditinggalkan oleh penganutnya.

Akulturasi Hindu-Islam terjadi ketika masyarakat menerapkan unsur-unsur Hindu kedalam tata cara agama Islam. Ketika mereka telah masuk Islam, kebudayaan lama tetap digunakan dan menggantinya dengan unsur-unsur Islam. Akulturasi ini membentuk suatu kebudayaan baru, yakni Islam Jawa dengan berkarakteristik Hindu-Islam. Salah satu bentuk akulturasi Hindu-Islam tersebut adalah Nyadran.

Nyadran adalah suatu tradisi turun-temurun dalam masyarakat Jawa. Tradisi ini dilaksanakan kurang lebih satu minggu menjelang datangnya bulan suci Ramadhan. Nyadran berasal dari kata Sraddha yang berarti mengunjungi makam leluhur untuk membersihkan makam, menabur bunga dan mengabari datangnya bulan ramadhan.

Menurut narasumber, yaitu penduduk desa Srikuwe setempat tradisi nyadran sudah turun-temurun dalam masyarakat. Tidak diketahui pasti bagaimana awalnya tradisi ini dijalankan. Mereka hanya menjalankannya sesuai amanat orang tua dan leluhur mereka. Di desa tersebut, Nyadran dilaksanakan kurang lebih satu minggu sebelum bulan Ramadhan datang. Pertama-tama, para warga bersama-sama berangkat menuju makam keluarga dan saudaranya yang terletak tak jauh dari tempat tinggal. Disana, mereka membacakan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Seperti surat-surat pendek, contohnya Surat Al Fatihah, surat Al Ikhlas, dan surat pendek lain. Tapi, sebagai keharusan adalah surat Yasiin. Mereka juga membersihkan makam leluhur mereka, dan menabur bunga di atas makamnya.

(13)

Setelah selesai para warga kemudian berkumpul di masjid atau mushola desa dengan membawa makanan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Makanan tersebut kemudian dikumpulkan di tengah-tengah warga yang duduk melingkar. Imam masjid atau mushola memimpin ritual ini. Imam kemudian membacakan doa-doa, baik untuk keluarganya yang sudah meninggal atau untuk keluarga yang masih hidup. Setelah selesai membaca doa, para warga dipersilahkan untuk saling bertukar makanan.

Nyadran sudah ada sejak jaman Hindu Buddha yang disebut dengan Upacara Srada. Dahulu, mereka melakukan ritual ini untuk menghormati arwah nenek moyang mereka dan memanjatkan doa keselamatan. Begitu Islam masuk, tradisi tersebut dipadukan dengan tradisi Islam. Doa-doa dalam agama Hindu diganti dengan doa-doa dalam agama Islam. Tujuannya pun juga diganti. Dalam Islam, tujuan dari ritual Nyadran adalah untuk mendoakan ahli kubur. Juga sebagai renungan bagi mereka yang masih hidup bahwa segala yang hidup pasti akan menemui ajalnya juga. Sehingga mereka akan taat menjalankan ibadah Islam sesuai ketentuannya.

Tradisi bertukar makanan dalam Nyadran tujuannya adalah untuk saling berbagi antar warga dalam menjaga kerukunan sesama. Sebagai wujud rasa syukur mereka terhadap Allah SWT karena telah memberikan rejeki dan memberi hidup sampai saat ini dan masih diberi kesempatan untuk bertemu kembali dengan bulan suci Ramadhan.

Dalam kitab Negarakretagama, tradisi Nyadran/Srada dilaksanakan pada masa kerajaan Majapahit. Srada dilaksanakan oleh Raja Hayam Wuruk untuk memperingati kematian Rajapatni. Upacara ini dilaksanakan pada bulan Badra tahun Jawa 1284 atau 1362 M. Nyadran juga disinggung dalam kitab Pararaton meskipun hanya sekilas.

Dalam tradisi Jawa asli, Srada hanya dilaksanakan satu kali untuk satu orang setelah kematiannya mencapai 12 tahun hitungan Jawa. Rajapatni yang dimaksud adalah Putri Gayatri, putri bungsu Raja Kertarajasa yang mangkat pada 1350 M. Upacara Srada dilaksanakan selama tujuh hari berturut-turut. Persiapannya pun memakan waktu berhari-hari. Seluruh istana diberi perhiasan yang indah. Upacara Srada dihadiri seluruh petinggi kerajaan dengan membawa persembahan sesuai jabatannya. Upacara ini dipimpin oleh seorang pendeta dan dibantu oleh seorang Mpu. Semua sajian yang ada habis dibagi kepada semua yang hadir. Setelah upacara Srada selesai maka diadakan perbaikan terhadap makam Rajapatni.

Jika ditelaah, Upacara Srada tersebut hampir mirip dengan tradisi Nyadran pada jaman sekarang. Meskipun pelaksanaannya lebih sederhana. Pemberian makanan, sedekah, melingkari

(14)

makanan yang serba enak dan mengirim doa untuk mereka yang sudah meninggal memiliki makna yang sama dengan Upacara Srada.

Sumber:

http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/oresenting/2283526-tradisi-nyadran-dan-aplikasinya-dalam/#ixzz2GFMjQzm6.

http://kabarsoloraya.com/2009/08/20/nyadran-tradisi-bersih-diri-menuju-bulan-suci/.

Muhammad Solikhin. 2010. Misteri Bulan Suro Perspektif Islam Jawa. Yogyakarta : Penerbit Narasi. Warga setempat, Dusun Srikuwe, Ambartawang, Mungkid, Magelang.

kebudayaan nyadran

BAB I

PENDAHULUAN 1.2 latar belakang masalah

Kebudayaan merupakan elemen yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Di satu sisi, manusia mencipta budaya, namun di sisi lain, manusia merupakan produk dari budaya tempat dia hidup. Hubungan saling pengaruh ini merupakan salah satu bukti bahwa manusia tidak mungkin hidup tanpa budaya, betapapun primitifnya. Kehidupan berbudaya merupakan ciri khas manusia dan akan terus

(15)

hidup melintasi alur zaman. Sebagai warisan nenek moyang, kebudayaan membentuk kebiasaan hidup sehari-hari yang diwariskan turun-temurun. Ia tumbuh dan berkembang dalam kehidupan manusia dan hampir selalu mengalami proses penciptaan kembali.

Di Indonesia ada baragam kebudayaan, salah satunya adalah upacara nyadran. Nyadran menjadi rutinitas sebagian besar masyarakat Jawa setiap tahun pada bulan dan hari yang telah ditentukan. Upacara ini merupakan penghormatan kepada leluhur dan bisa juga menjadi bentuk syukuran massal. 1.3. Rumusan masalah

(1) bagaimana bentuk upacara nyadran di Desa balong dowo

(2) mengapa tradisi rakyat yang telah dipraktikkan sejak dulu kala itu menimbulkan kontroversi. 1.4.Tujuan

(1) mengetahui apa itu nyadran dan sejauh mana masyarakat menghayati nilai yang terkandung dari suatu tradisi kebudayaan nenek moyang.

(2) mengetahui bagaimana pandangan dari dua kalangan keagamaan (Muhammadiyah dan NU) di Desa balong dowo dalam menyikapi pesta nyadran.

BAB II

POKOK PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Nyadran

Lantas kapan sebenarnya tradisi nyadran bagi orang Jawa itu dilakukan? Hampir tak ada yang tahu persis. Namun dalam ajaran Islam, bulan Sya’ban yang datang menjelang Ramadhan merupakan bulan pelaporan atas amal perbuatan manusia.

Maka, di sejumlah tempat diadakan sadranan yang maknanya adalah melaporkan segala daya dan upaya yang telah dilakukan selama setahun, untuk nantinya manusia berintrospeksi. Dalam

(16)

masyarakat jawa, tradisi atau ritual nyadran sendiri sudah ada pada masa Hindu-Buda, jauh sebelum agama Islam masuk.

Saat itu, nyadran dimaknai sebagai sebuah ritual yang berupa penghormatan kepada arwah nenek moyang dan memanjatkan doa keselamatan. Saat agama Islam masuk ke Jawa pada sekitar abad ke-13, ritual semacam nyadran dalam tradisi Hindu-Buda lambat laun terakulturasi dengan nilai-nilai Islam.

Akulturasi ini makin kuat ketika Walisongo menjalankan dakwah ajaran Islam di Jawa mulai abad ke-15. Pribumisasi ajaran Islam membuahkan sejumlah perpaduan ritual, salah satunya budaya nyadran. Oleh karena itu, nyadran bisa jadi merupakan “modifikasi’ para wali ketika memperkenalkan agama Islam di tanah Jawa.

Langkah itu ditempuh para wali, karena untuk melakukan persuasi yang efektif terhadap orang Jawa, agar mau mengenali dan masuk Islam. Nyadran pun menjadi media siar agama Islam. Selain ritual nyadran, salah satu kompromi atau akulturasi budaya Jawa dalam islam berupa penempatan nisan di atas jenazah yang dikuburkan.

Batu nisan tersebut sebagai penanda keberadaan si jenazah, agar kelak anak-cucunya dan segenap keturunannya bisa mendatangi untuk ziarah, mendoakan sang arwah, sewaktu-waktu. Bagi sebagian besar masyarakat pedesaan di Jawa, mudik terdiri atas dua arus. Arus besar pertama terjadi dalam rangka menyongsong lebaran, atau Idul Fitri.

Sedangkan arus kedua terjadi pada saat ruwahan menjelang bulan puasa. Namun para perantau kerap memposisikan nyadran lebih tinggi dibanding Hari Raya idul Fitri. Setidaknya, para akan lebih memilih mudik pada saat ruwahan, dibanding pada lebaran.

Apalagi ketika kemudian tradisi mudik lebaran juga berarti masa perjuangan penuh risiko, seperti transportasi yang semakin mahal, jalanan macet dan seterusnya. Pada saat mudik nyadran, biasanya pula orang-orang Jawa di perantauan akan berusaha mengalokasikan anggaran untuk perbaikan batu nisan atau kompleks makam keluarga, makam para leluhur yang dihormati.

(17)

2.2 Upacara nyadran

Dalam tradisi nyadran, syukuran yang dilengkapi dengan doa dan mantra adalah merupakan ritual inti. Ini dilakukan sebagai timbal balik mereka atas rejeki yang mereka peroleh selama ini dan harapan atas rejeki yang akan datang. Acara ritual dilaksanakan pada hari terakhir perayaan pesta laut . Mereka bersama-sama menuju ke laut untuk melaksanakan acara ritual tahunan itu. Sebagian besar dari mereka adalah para nelayan setempat. Seluruh prosesi acara sudah terjadwal dengan rapi oleh panitia penyelenggara. Warga masyarakat yang ingin memeriahkan upacara menaiki ratusan perahu yang telah disediakan.

Setelah mereka sampai dilaut, mereka memulai acara tersebut. Diawali dengan doa sebagai washilah , mereka pun melarung’ kepala sapi beserta sesaji yang telah dipersiapkan ke laut. Prosesi pelarungan diakhiri dengan do’a penutup yang intinya adalah harapan agar semua warga memperoleh keberkahan dan rejeki di hari yang akan datang. Semua itu atas dasar rasa terima kasih mereka kepada Tuhan. Bagi penulis, ungkapan rasa syukur itu bukan hanya kepada Tuhan, melainkan kepada alam dan penunggu laut. Ini tampak jelas dari doa yang dipanjatkan dengan Bahasa Arab, Jawa dan pemberian sesaji. Menurut para nelayan, dengan upacara nyadran mereka yakin akan mendapatkan keselamatan saat mencari nafkah di laut.

Banyak nilai yang terkandung dalam ritual inti nyadran, selain apa yang telah disinggung di muka. Pertama, hadirnya tokoh desa, ulama, juru kunci , para pedagang, nelayan, calon-calon legislatif, dan pejabat pemerintahan setempat menjadi tanda bahwa nyadran merupakan sarana harmonisasi. Artinya, sebuah tradisi yang bukan hanya mendamaikan antara kehidupan jasmani dan rohani, antara dunia manusia dan dunia roh, melainkan menjadi penyelaras kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan agama tingkat lokal. Semua menyatu dalam sebuah upacara dengan damai.

Bagi para calon legilatif, nyadran bisa digunakan sebagai kampanye untuk maju dalam pemilihan legislatif . Bagi pejabat pemerintahan, nyadran dapat menjadi alat untuk menebar citra dihadapan rakyat. Bagi para pedagang, nyadran merupakan ajang mengais rejeki tahunan. Bagi kebanyakan warga desa, nyadran merupakan acara hiburan sebab mereka bisa menikmati berbagai macam seni pertunjukan, seperti wayang kulit, wayang golek, kethoprak, barongan, layar tancap, dan karnaval; festival-festival, seperti festival musik remaja, dan drum band; lomba-lomba seperti lomba dayung

(18)

perahu, bola volley, sepak bola, dan sayembara-sayembara; dan lain sebagainya. Lebih jauh lagi, nyadran di Desa balong dowo menjadi alat promosi wisata di sidoarjo.

23. Kontroversi

apa yang menjadi latar belakang munculnya pro dan kontra mengenai nyadran di Desa balong dowo dan kalangan mana yang terlibat kontroversi. Dari wawancara, penulis berhasil mendapatkan benang merahnya. Akar dari kontroversi itu sebenarnya berawal dari campurnya unsur animisme, hindu, dan Islam dalam ritual inti nyadran dan kemudian melebar ke rangkaian-rangkaian acara yang digelar selama seminggu untuk memeriahkan upacara itu. Kalangan muslim modernis (Muhammadiyah) menolak digelarnya upacara nyadran dan perayaan-perayaan yang menyertainya, sedangkan kalangan muslim tradisionalis (NU) mendukung.

Bagi mereka yang kontra, nyadran dianggap sebagai pesta hura-hura yang mengambur-hamburkan uang karena dimeriahkan dengan berbagai pertunjukan yang sering tidak ada hubunganya dengan pesan dari ritual nyadran itu sendiri sebagai syukuran. Acara-acara yang seringkali digelar hingga larut malam pun mengundang tanggapan negatif, sebab mereka dianggap memancing kegiatan asusila (seks bebas dan mabuk-mabukan), kriminalitas (pencopetan dan pencurian), dan kekerasan (perkelahian atau tawuran). Para pemuda Muhammadiyah khususnya memperdebatkan pesta laut itu. Bahkan pernah beberapa kali terlontar himbauan supaya tradisi nyadran dihapuskan. Akan tetapi, para nelayan khususnya tidak menghiraukan larangan yang sifatnya internal itu. Bagi mereka, upacara nyadran merupakan bentuk kebudayaan warisan nenek moyang tidak mudah begitu saja dilarang. Para nelayan menganggap acara nyadran merupakan ritual wajib yang harus dilakukan. dalam pelaksanaan nyadran sebagian dari nelayan mengatakan bahwa acara tersebut adalah sumber dari kelancaran rezeki dalam mencari nafkah di laut lepas. Kalangan nelayan jelas sangat meyakininya karena bagi mereka, ada alasan dan tujuan tertentu yang bernuasa spiritual seperti ritual-ritual keagamaan lain.

Pesta laut memberi kemafaatan secara materi maupun rohani. Dengan digelar upacara nyadran, para pedagang mendapatkan rejeki dan penikmat seni pertunjukan memperoleh hiburan yang ditawarkan dari festival-festival yang dilakukan selama seminggu sebelum inti ritual nyadran dilaksanakan. Namun pihak yang menentang menyatakan bahwa dampak buruk (mudharat) yang ditimbulkan adalah lebih besar dari kemanfaatannya (mashalahat) sebab penuh takhayul, bid’ah’

dan syirik’.

(19)

sebagian kalangan masyarakat di Desa balong dowo yang tidak menyukai acara tersebut. Jika kalangan muslim modernis (Muhammadiyah) tegas menolak tradisi itu, lain halnya dengan kalangan muslim tradisionalis (NU). NU tidak melarang nyadran karena, seperti yang telah disinggung di muka, tradisi warisan leluhur ini merupakan tanda syukur terhadap Tuhan gaya nelayan.

Rasa syukur boleh diungkapkan dengan berbagai cara. Bahkan nyadran bisa menjadi syiar Islam seperti yang dilakukan oleh Walisongo dahulu. Menurut sudut pandang NU, jika nyadran dihukumi haram, maka sudah dari dulu dilarang oleh para penyebar Islam di Jawa. terlepas dari sudut pandang keagamaan, sikap kompromis NU balong dowo berkaitan erat dengan alasan yang pada dasarnya bersifat ekonomis. Hampir semua nelayan Desa Gempol Sewu ternyata adalah warga NU, sehingga wajar bila mereka mengambil sikap pro dengan tradisi rakyat itu.

BAB III

KESIMPULAN DAN sARAN

Setelah mengamati secara menyeluruh tentang tradisi nyadran di Desa balong dowo dapat disimpulkan bahwa pesta laut yang menjadi rutinitas tahunan warga masyarakat pesisir itu merupakan tradisi yang kompleks. Dari sudut pandang agama, unsur animisme, Hindu, dan Islam menyatu

didalamnya. Ini membuktikan bahwa ritual inti nyadran telah mengalami perkembangan yang evolutif sejak Jaman pra Hindu-Buddha hingga jaman Islam. Selain berfungsi secara spiritual (agama), nyadran ternyata memiliki fungsi sosial, politik, dan ekonomi. Bukan hanya sebagai ritual keagamaan, melainkan juga sebagai pembangun harmoni dalam masyarakat, alat untuk kegiatan politik praktis, dan

kesempatan melakukan aktivitas dagang.

Kontroversi yang muncul adalah berakar dari masalah dasar kenyakinan keagamaaan (akidah). Pihak yang menentang (kalangan Muhammadiyah) mempunyai alasan mereka sendiri menolak tradisi nyadran. Mereka berhujah bahwa tradisi leluhur itu mengandung bid’ah dan syirik sehingga mengancam iman Islam. Pihak yang memperkenankan (NU) justru melihat tradisi nyadran sebagai alat syiar Islam., pro dan kontra tentang masalah ini hanyalah perbedaan dalam sudut pandang dalam melihat kebudayaan lokal, selain tendensi ekonomi yang ada dibelakangnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mukti, Metode Memahami Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1991

(20)

http://1.bp.blogspot.com/-XwsEYssfc3Q/TwoGMSuXqmI/AAAAAAAAAM8/WrK3e1Ac-Hc/s1600/nyadran.JPG

Referensi

Dokumen terkait

23 Dalam buku ini menjelaskan berbagai ritual dan tradisi Islam yang biasa dilakukan oleh masyarakat Jawa, juga menjelaskan tentang.. berbagai simbol yang digunakan

Penelitian tentang ” Tradisi dan Perubahan Sosial dalam Kehidupan Masyarakat Pedesaan (Perubahan Tradisi Rewang di Desa Banjarsari Wetan Kabupaten Banyumas ).”

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang munculnya tradisi makan bubur pedas pada masyarakat Melayu, makna bubur pedas hanya dimakan dibulan

Dalam budaya Jawa khususnya pada masyarakat pedesaan masih sangat besar rasa penghormatan kepada pejabat, budaya–budaya feodal masih berlangsung dikalangan masyarakat.

Makna unsur-unsur kelisanan yang terdapat pada tradisi kangkilo terbagi atas tiga yaitu: (1) makna material yang digunakan dalam pelaksanaan tradisi kangkilo yaitu makna

Perlengkapan yang digunakan dalam tradisi Tedhak Siti mempunyai arti dan makna yang sangat berarti bagi kehidupan masyarakat, dalam suatu upacara Tedhak Siti

Secara historis, tradisi sedekah laut merupakan suatu wujud atau ekspresi religiusitas para leluhur masyarakat nelayan Kangkung dalam mempercayai adanya kekuatan

Hasil wawancara dengan Tahting tokoh masyarakat Sawaru 3 Air Putih Air putih memiliki makna kejernihan, yaitu menjernihkan kehidupan dari orang yang melakukan tradisi Massuro