9 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN
HIPOTESIS
Family Firms
Keterlibatan keluarga dalam bisnis perusahaan merupakan perbedaan utama antara perusahaan keluarga dan perusahaan non keluarga. Ensley dan Pearson (2005) menyimpulkan bahwa keterlibatan anggota keluarga dalam tim manajemen perusahaan dapat meningkatkan kepercayaan dan kemampuan, rasa memiliki dalam tim, serta arah strategik perusahaan dan mengurangi konflik yang terjadi. Villalonga dan Amit (2009) mendefinisikan perusahaan keluarga (Family Firms) sebagai suatu bentuk perusahaan dengan kepemilikan dan manajemen yang dikelola dan dikontrol oleh pendiri atau anggota keluarganya baik yang tergolong keluarga inti maupun perluasannya (baik yang memiliki hubungan darah atau ikatan perkawinan). Jorissen, et al. (2002) dalam
penelitiannya mengklasifikasikan perusahaan
merupakan perusahaan keluarga ketika keluarga memiliki mayoritas saham.
Keluarga merupakan suatu kelas khusus dari
large shareholding yang memiliki struktur insentif yang
10
motif yang kuat untuk menetapkan keputusan keuangan penting (Anderson, et al., 2003). Theories of
The Firms menyatakan dua karakteristik utama yang
membedakan perusahaan keluarga dan perusahaan non keluarga dalam membuat keputusan. Pertama, perusahaan yang dikendalikan oleh keluarga memiliki keinginan kuat untuk mempertahankan kontrol yang memungkinkan keluarga menikmati manfaat pribadi. Kedua, terkait dengan kesejahteraan investor dan risiko sumber daya manusia, dalam hal ini perusahaan keluarga cenderung lebih risk averse dibandingkan
perusahaan non keluarga. Dengan demikian,
perusahaan yang dikendalikan keluarga dapat
memaksimalkan nilai perusahaan dan kepentingan pribadi.
Perbedaan struktur kepemilikan dapat
menyebabkan kinerja perusahaan keluarga berpotensi menimbulkan keuntungan dan kerugian (Anderson dan Reeb, 2003a). Struktur kepemilikan merupakan faktor paling penting untuk menentukan sifat dari agency
problem. Dua aspek kunci dari struktur kepemilikan
perusahaan adalah konsentrasi dan komposisi
(Capulong et al., 2000). Tingkat konsentrasi
kepemilikan dalam suatu perusahaan menentukan distribusi kekuasaan antara manajer dan pemegang
11
pemegang saham cenderung lemah sehingga mereka memiliki insentif yang rendah untuk memantau manajer karena masalah free rider (pemegang saham tersebar tidak tertarik dalam memonitor karena mereka hanya memiliki sebagian kecil saham dan akan
menanggung semua biaya monitor sehingga
keuntungan yang mereka terima berkurang).
Akibatnya, kontrol yang efektif berakhir di tangan manajemen. Di sisi lain, ketika kondisi kepemilikan terkonsentrasi, pemegang saham dapat memainkan peran penting dalam mengawasi manajemen. Aspek kunci kedua adalah komposisi, yang terkait dengan peningkatan pengendalian pemegang saham. Seorang pemegang saham dapat menjadi individu, keluarga atau kelompok keluarga, bank, perusahaan asuransi, dan sebagainya. Keluarga akan lebih tertarik pada manfaat kontrol dan going concern perusahaan, sedangkan pemegang saham cenderung tertarik pada keuntungan saja. Dengan demikian, setiap jenis large shareholdings
memiliki insentif dan motivasi yang berbeda
(Holderness dan Sheehan, 1988).
Pengaruh keluarga memberikan keuntungan yang kompetitif bagi perusahaan. Pertama, perusahaan keluarga lebih fokus pada going concern perusahaan dari pada sekedar nilai pasar saham sedangkan perusahaan non keluarga lebih fokus pada peningkatan
12
kinerja perusahaan Kedua, perusahaan keluarga memiliki insentif dan kontrol yang kuat untuk memantau manajer agar dapat mengurangi masalah
free rider sehingga dapat mengurangi konflik keagenan
dan memaksimalkan nilai perusahaan. Hal ini konsisten dengan argumen Gorton dan Kahl (1999) bahwa keluarga adalah monitor yang lebih baik dari jenis large shareholding lainnya (pemerintah, pemegang saham institusional, bank). Mereka menyatakan keluarga berurusan dengan uang mereka sendiri dalam perusahaan yang mereka kendalikan sehingga mereka bisa memonitor para manajer. Ketiga, perusahaan keluarga memiliki informasi yang lebih baik mengenai
kondisi perusahaan, sehingga dapat membuat
keputusan investasi atau lainnya dengan lebih baik dari pada perusahaan non keluarga. Keempat, keluarga
memiliki reputasi (adanya kepercayaan dari
stakeholder) sehingga perusahaan menjadi lebih efisien.
Dengan demikian perusahaan yang dikendalikan
keluarga memiliki struktur insentif yang
mengakibatkan biaya agensi lebih rendah.
Disisi lain, pengaruh kepemilikan keluarga berpotensi menyebabkan pihak keluarga menggunakan insentif dan kekuasaannya untuk menguntungkan pihak keluarga dengan mengorbankan para stakeholder (adanya agency problem) sehingga menyebabkan
13
menurunnya kinerja perusahaan (Shleifer dan Vishny,
1997; Anderson dan Reeb, 2003a). Pertama,
perusahaan yang dikendalikan keluarga lebih
mengutamakan pertumbuhan dan going concern perusahaan. Kedua, keluarga sebagai pemegang saham mayoritas selalu memastikan bahwa manajemen perusahaan harus berasal dari pihak keluarga atau manajer profesional yang dapat memenuhi kebutuhan pemilik. Ketiga, keluarga mampu mengambil alih kekayaan dari perusahaan melalui kompensasi yang berlebihan seperti pada rencana rekapitalisasi yang dilakukan Ford Motor meningkatkan hak suara keluarga tanpa memberikan kompensasi kepada pemegang saham lainnya (Schack dalam Anderson dan Reeb 2003a), RPT (Cheung, et al., 2004), dan special
dividends. DeAngelo dan DeAngelo (1985) menyatakan
bahwa keinginan keluarga untuk special dividends dapat berdampak pada penurunan kinerja perusahaan.
Perusahaan harus melakukan ekspansi modal
perusahaan dikarenakan dana yang tersedia berkurang akibat adanya special dividends.
Selanjutnya, studi yang dilakukan oleh Gomez-Mejia et al. (2001) dan Schulze, et al. (2001) menyatakan bahwa bisnis keluarga sebenarnya menanggung biaya agen yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan non-keluarga, hal ini dikarenakan
14
keluarga tidak mau memecat anggota keluarga yang
tidak potensial yang menyebabkan adanya
entrenchment. Mereka juga berpendapat bahwa
masalah keagenan di perusahaan keluarga lebih sulit untuk dikelola karena self-control dan masalah lain
yang disebabkan oleh altruisme. Altruisme
memungkinkan keluarga untuk mengorbankan
konsumsi mereka untuk kesejahteraan keturunan mereka. Dengan demikian peran keluarga dalam memilih manajer dan direktur dari pihak keluarga membuat pihak ketiga sulit untuk mendapatkan kontrolnya sehingga pihak ketiga kurang tertarik dan mengakibatkan penurunan nilai perusahaan.
Morck et al. (1999) dalam penelitiannya di Kanada
juga menyatakan bahwa kepemilikan keluarga
mengarah pada kinerja keuangan yang buruk. Kendali keluarga oleh ahli waris menyebabkan pertumbuhan lebih lambat karena inefisiensi yang disebabkan oleh
entrenchment, hambatan tinggi terhadap kontrol di luar
dan investasi yang rendah. Faccio, et al. (2001) melaporkan bahwa kepemilikan keluarga di Asia Timur
menimbulkan adanya agency conflict sehingga
menghambat kinerja perusahaan. Banyak perusahaan keluarga menggunakan struktur kontrol piramida yang memungkinkan keluarga untuk mengontrol banyak perusahaan tanpa terlalu banyak investasi dari
15
kekayaan mereka sendiri dalam perusahaan (fenomena konglomerasi). Claessens et al. (2002) juga menyelidiki peran struktur piramida di perusahaan Asia Timur. Mereka menemukan bahwa nilai perusahaan jatuh ketika hak kontrol dari pemegang saham keluarga melebihi arus kas kepemilikan sehingga menyebabkan adanya entrenchment. Lins (2003) juga menemukan bahwa pengaruh dari struktur piramida itu lemah di negara-negara dengan perlindungan hukum yang lebih baik. Hal ini juga konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Lemmon dan Lins (2003). Mereka
menemukan bahwa kepemilikan keluarga di
kebanyakan perusahaan di Asia Timur menurunkan kinerja perusahaan.
Berdasarkan beberapa penelitian, kinerja
perusahaan keluarga di Amerika Serikat lebih baik daripada perusahaan keluarga di Asia. Hal ini dikarenakan benefit perusahaan keluarga di AS lebih besar daripada cost-nya (McConaughy, et al., 1998; Gorton dan Kahl, 1999; Anderson dan Reeb, 2003a; Villalonga dan Amit., 2006) dan AS merupakan negara yang memiliki perlindungan hukum yang sangat kuat (Burkart, Panunzi, dan Shleifer, 2003) sehingga mencegah perusahaan keluarga untuk melakukan tindakan yang dapat merugikan para stakeholder,
16
perusahaan keluarga di Asia, cost-nya lebih besar dari
benefit (Faccio, et al., 2001; Claessens, et al., 2002;
Lemmon dan Lins, 2003). Hal ini dikarenakan, Asia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki perlindungan hukum yang lemah (La Porta, et al., 1999; Lins, 2003) sehingga perusahaan keluarga
cenderung melakukan tindakan-tindakan yang
merugikan para stakeholder dan minority shareholder (Morck et al., 1999; Gomez-Mejia et al., 2001; Schulze, et al., 2001). Dengan demikian, kinerja perusahaan keluarga di Asia mengalami penurunan.
Struktur kontrol di Asia menciptakan masalah insentif yang sama pada perusahaan keluarga di Indonesia sebagai salah satu negara berkembang. Keluarga biasanya menggunakan benefit pemegang saham minoritas untuk hal-hal yang mereka inginkan dan mengurangi nilai perusahaan. La Porta, et al.
(1999) menemukan bahwa Indonesia memiliki
konsentrasi kepemilikan tertinggi dan tingkat
perlindungan hukum atas pemegang saham minoritas yang rendah. Claessens, et al. (1999a) juga menemukan bahwa sebanyak 67,1% perusahaan perusahaan- perusahaan di Indonesia dikendalikan oleh keluarga dan hanya 0,6% saja yang secara langsung memiliki kepemilikan yang tersebar. Selain itu, Indonesia menunjukkan struktur kepemilikan piramid yang
17
terbesar yaitu 66.9% dan sekitar 4/5 perusahaaan memiliki manajer yang merupakan anggota pemegang saham mayoritas.
Related Party Transaction
Dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No.7 (IAI,2007), Related Party adalah pihak-pihak yang dianggap memiliki hubungan istimewa bila satu pihak mempunyai kemampuan untuk mengendalikan pihak lain atau mempunyai pengaruh signifikan atas pihak lain dalam mengambil keputusan keuangan dan operasional. Sedangkan Related Party Transaction merupakan suatu pengalihan sumber daya atau kewajiban antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, tanpa menghiraukan apakah suatu harga diperhitungkan. Hubungan istimewa dengan suatu pihak dapat mempunyai dampak atas posisi keuangan dan hasil usaha perusahaan pelapor. Transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa juga dapat dilakukan dengan harga yang berbeda dibanding dengan transaksi serupa yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa.
Berikut merupakan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa menurut PSAK No. 7 :
18
a) Perusahaan yang melalui satu atau lebih perantara (intermediaries), mengendalikan atau dikendalikan oleh, atau berada di bawah pengendalian bersama, dengan perusahaan pelapor (termasuk holding
companies, subsidiaries, dan fellow subsidiaries).
b) Perusahaan asosiasi, yang merupakan suatu perusahaan yang investornya mempunyai pengaruh yang signifikan dan bukan merupakan anak perusahaan maupun joint venture dari investornya (PSAK No. 40, IAI, 2007).
c) Perorangan yang memiliki, baik secara langsung maupun tidak langsung, suatu kepentingan hak suara di perusahaan pelapor yang berpengaruh secara signifikan, dan anggota keluarga dekat dari perorangan tersebut (yang dimaksud dengan anggota keluarga dekat adalah mereka yang dapat
diharapkan memengaruhi atau dipengaruhi
perorangan tersebut dalam transaksinya dengan perusahaan pelapor).
d) Karyawan kunci, yaitu orang-orang yang mempunyai
wewenang dan tanggung jawab untuk
merencanakan, memimpin, dan mengendalikan kegiatan perusahaan pelapor yang meliputi anggota dewan komisaris, direksi, dan manajer dari
19
perusahaan serta anggota keluarga dekat orang-orang tersebut.
e) Perusahaan dimana kepentingan substansial dalam hak suara dimiliki baik secara langsung maupun tidak langsung, oleh setiap orang yang diuraikan dalam poin (c) atau (d), atau setiap orang tersebut mempunyai pengaruh signifikan atas perusahaan tersebut. Ini mencakup perusahaan-perusahaan yang dimiliki anggota dewan komisaris, direksi, atau
pemegang saham utama dari
perusahaan-perusahaan yang mempunyai anggota manajemen kunci yang sama dengan perusahaan pelapor.
Jenis RPT dalam PSAK No. 7 adalah pembelian atau penjualan barang, pembelian atau penjualan properti dan aset lain, pemberian atau penerimaan jasa, pengalihan riset dan pengembangan, pendanaan (termasuk pemberian pinjaman dan penyetoran modal baik secara tunai maupun dalam bentuk natura), garansi dan penjaminan (collateral) dan kontrak manajemen.
Tiga karakteristik menurut Kohlbeck dan Mayhew (2004) yang memotivasi dewan direksi untuk memulai RPT. Pertama, RPT merupakan bagian dari perjanjian kompensasi manajemen atau dewan direksi. Misalnya, perusahaan yang terikat dalam RPT dapat menyediakan
20
kompensasi kas yang lebih rendah untuk menunjukkan keuntungan apabila bergabung (Murphy dalam
Kohlbeck dan Mayhew,2004). Kedua, tingkat
kompensasi stock option yang lebih tinggi dapat memunculkan keinginan untuk melakukan RPT. Ketiga, kepemilikan perusahaan dapat menciptakan insentif dan kesempatan untuk memulai RPT. Loon et al. (2009) juga menyatakan bahwa dengan adanya RPT, pertama Related Party akan terhindar dari hambatan atau keterlambatan yang biasa terjadi dengan pihak ketiga. Kedua, RPT memberikan kemudahan dalam bertransaksi, seperti pihak-pihak yang berhubungan dapat berbagi informasi dan pengetahuan yang relevan
bagi perkembangan perusahaan. Ketiga, RPT
memudahkan perusahaan dalam memperoleh pinjaman yang dapat digunakan untuk investasi.
Terdapat dua hipotesis yang bertolak belakang mengenai RPT (Gordon, et al., 2004). Hipotesis pertama, RPT merupakan transaksi yang dapat menciptakan sebuah nilai yaitu pertimbangan dalam perolehan efisiensi (efficient transaction) sebagaimana yang menjadi keinginan perusahaan. Khanna dan Palepu (1997;1999) menyatakan bahwa RPT akan membantu perusahaan untuk beroperasi lebih efisien dengan meminimalkan biaya transaksi melalui hubungan bisnis yang kuat terutama di negara yang sedang
21
berkembang. Sebuah perusahaan dapat menerima bantuan keuangan melalui pasar keuangan internal mereka, kelompok bisnis dapat mengalokasikan modal antara perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang dapat meningkatkan manfaat ekonomi, terutama ketika pendanaan eksternal langka dan tidak pasti.
Hipotesis kedua menyatakan bahwa RPT dapat mengakibatkan conflict of interest melalui aktivitas
tunneling (Johnson, et al., 2000). Tunneling merupakan
pengambilalihan kekayaan yang dilakukan pemegang saham mayoritas terhadap pemegang saham minoritas yang secara langsung mengekspropriasi pemegang saham minoritas. Djankov, La Porta, Lopez-de-silane dan Shleifer (2008) menyatakan bahwa RPT dapat memberikan kesempatan pemegang saham mayoritas melakukan aktivitas tunneling. Transaksi tersebut dapat dilakukan dengan cara menjual aset atau sekuritas dengan harga yang lebih rendah atau lebih tinggi dari harga pasar, tidak membagikan dividen maupun mempertahankan anggota keluarga yang sudah tidak kompeten untuk menduduki posisi penting di perusahaan.
Bertrand, Mehta dan Mullainathan (2000)
menemukan bukti di India bahwa pemegang saham mayoritas menggunakan RPT untuk mengalihkan sumberdaya dari perusahaan yang memiliki hak arus
22
kas yang rendah dengan perusahaan yang memiliki hak arus kas yang lebih tinggi dengan menggunakan struktur kepemilikan piramida. Cheung, et al. (2004) juga menunjukkan bahwa pasar bereaksi negatif terhadap informasi mengenai RPT karena RPT cenderung digunakan untuk mengambil alih pemegang saham minoritas. Chen, et al (2009) menunjukkan bahwa ketika perusahaan di Cina dikendalikan oleh
Related Party, semakin tinggi tingkat RPT maka
semakin buruk kinerja operasional perusahaan. Munir dan Gul (2010) mengungkapkan bahwa RPT yang dilakukan oleh perusahaan keluarga digunakan secara oportunis untuk mengambil alih pemegang saham minoritas. Wen- Yi Lin, et al (2010) dalam penelitiannya
di Taiwan juga menunjukkan bahwa kinerja
perusahaan berhubungan negatif dengan RPT yang digunakan untuk ekspropriasi.
Pengaruh Family Control terhadap Related Party Transaction
Sebagian besar perusahaan di dunia seperti Eropa Barat, Asia Selatan dan Asia Timur, Timur Tengah, Amerika Latin dan Afrika dikendalikan oleh keluarga (La Porta, et al., 1998; Claessens, et al., 1999; Faccio dan Lang, 2002). Claessens, et al (1999) menemukan lebih dari 50 persen perusahaan publik di
negara-23
negara Asia Timur dikendalikan oleh keluarga. Faccio dan Lang (2002) juga mencatat bahwa sekitar 50% perusahaan publik di Eropa Barat dikendalikan oleh keluarga. Perusahaan yang dikontrol oleh keluarga juga lazim di Australia (Mroczkowski dan Tanewski, 2005).
Pemilik saham keluarga yang memegang kontrol
cenderung bukan hanya memaksimalkan nilai
perusahaan namun juga keuntungan keluarga (Burkart, Panunzi, & Shleifer (2003) dan Bertrand, Mehta dan Mullainathan (2000)) dan memiliki kemungkinan mengambil alih hak dari pemegang saham minoritas dengan menggunakan sumber daya perusahaan untuk kebutuhan pribadi. Keluarga yang memegang kendali tersebut juga dapat mengalokasikan dana untuk proyek yang tidak memberikan keuntungan pada perusahaan namun memberikan keuntungan pribadi (LaPorta et al., 1998). Deng et al. (2008) juga mengungkapkan bahwa pemegang saham mayoritas di China melakukan ekspropriasi melalui RPT (penjualan aset, transfer pricing barang dan jasa,dll).
Ekspropriasi merupakan masalah utama yang terjadi di perusahaan-perusahaan di 9 negara di Asia Timur (Claessens et al.,2000). Mereka menyatakan bahwa perusahaan yang dikendalikan oleh keluarga melakukan ekspropriasi (RPT) terhadap pemegang
24
saham minoritas melalui struktur kepemilikan piramid,
cross-holding dan perangkapan manajemen oleh
pemilik. Claessens et al., (1999a) menyatakan bahwa Indonesia memiliki struktur kepemilikan piramid yang terbesar yaitu 66.9% dari sampel perusahaan Indonesia dan kedua terbesar dalam perangkapan manajemen dan pemilik, setelah Malaysia, yaitu 84.6% dari sampel perusahaan Indonesia. Claessens et al., (2002) menemukan bahwa pada tahun 1996, dominasi keluarga yang menyebabkan adanya perbedaan kepemilikan dan kontrol dari perusahaan-perusahaan di Indonesia. Besarnya hak kontrol dari keluarga yang melebihi hak arus kas kepemilikan menyebabkan perusahaan cenderung melakukan RPT. Dyanti et al., (2012) dalam penelitiannya pada 102 perusahaan di Indonesia Tahun 2003-2007 menemukan bahwa kepemilikan keluarga dapat mempengaruhi intensi perusahaan untuk melakukan RPT dalam hal ekspropriasi.
Berdasarkan penjelasan dan penelitian
sebelumnya, peneliti berpendapat bahwa family firm di Indonesia memiliki motivasi yang lebih kuat untuk
melakukan RPT sebagai transaksi yang
mengekspropriasi pemegang saham minoritas. Dengan demikian, hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut :
25
H1: Family Firm melakukan Related Party Transaction yang lebih besar dibandingka Non-Family Firm.
Kinerja Perusahaan
Kinerja perusahaan merupakan hasil yang dicapai suatu perusahaan dengan mengelola sumber daya yang ada dalam perusahaan seefektif dan seefisien mungkin guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan manajemen (Stoner et al., 1996:9). Terdapat dua jenis ukuran kinerja yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja suatu perusahaan yaitu market performance menggunakan Tobin’s Q dan operating performance menggunakan ROA
Market Performance
Tobin’s Q diperkenalkan pertama kali oleh James Tobin pada tahun 1969. James Tobin adalah ekonom Amerika yang berhasil meraih nobel di bidang ekonomi dengan mengajukan dugaan bahwa nilai pasar suatu
perusahaan seharusnya sama dengan biaya
penggantian aktiva perusahaan tersebut sehingga
menciptakan keadaan ekuilibrium. Tobin’s Q
merupakan indikator untuk mengukur kinerja suatu perusahaan yang dapat menunjukan proforma manajemen dalam mengelola aktiva perusahaan dari sisi potensi nilai pasar suatu perusahaan. Nilai Tobin’s
26
Q dapat menggambarkan suatu kondisi peluang investasi yang dimiliki perusahaan (Lang, et al.,1989) atau potensi pertumbuhan perusahaan (Tobin, 1969).
Namun, nilai Tobin’s Q menjadi kurang relevan untuk mengetahui kondisi peluang investasi ketika kondisi pasar tidak stabil. Doug Henwood dalam bukunya Wall Street, menyatakan bahwa Tobin’s Q gagal memprediksi investasi secara akurat. Doug Henwood juga menjelaskan bahwa makalah yang dikeluarkan oleh Tobin dan Brainard pada tahun 1977, Tobin’s Q pada periode 1960-1974 dapat menjelaskan investasi secara akurat. Namun pada tahun-tahun berikutnya dimana terjadi market bearish, nilai Tobin’s Q tidak dapat menggambarkan keadaan investasi yang ada.
Operating Performance
Return on Asset (ROA) dapat digunakan untuk
mengukur profitabilitas aktiva secara keseluruhan. Semakin besar nilai ROA, maka semakin baik kemampuan perusahaan memanfaatkan aktiva yang
dimilikinya untuk menghasilkan laba, begitu
sebaliknya (Kieso, et al 2002 : 223).
Menurut Grullon, et al. (2005), Return on Assets (ROA) adalah ukuran kinerja akuntansi yang tepat yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja suatu perusahaan dibandingkan Return on Equity (ROE).
27
Pertama, ROA tidak sensitif terhadap adanya perubahan struktur modal karna ROA diukur dengan menggunakan EBITDA (Earning Before Interest Taxes
Depreciation Amortization) sedangkan ROE sebaliknya.
Kedua, ROA tidak terpengaruh oleh faktor khusus seperti pajak penghasilan yang dapat mengaburkan nilai. Pendapat Grullon juga didukung oleh pernyataan Barber dan Lyon (1996) bahwa ROA merupakan alat ukur terbaik untuk menilai kinerja perusahaan dalam berbagai situasi.
Pengaruh Perbedaan Related Party Transaction antara Family Firms vs Non-Family Firms terhadap Kinerja Perusahaan
RPT merupakan transaksi yang dapat
meningkatkan efisiensi suatu perusahaan (Gordon, et al., 2004; Khanna dan Palepu, 1997). Namun, di sisi lain RPT juga digunakan oleh perusahaan sebagai alat
untuk melakukan tunneling yang berpotensi
menimbulkan conflict of interest (Johnson, et al., 2000; Cheung, et al., 2008). Gordon, et al. (2004) menyatakan bahwa RPT yang dilakukan perusahaan lebih cenderung menimbulkan conflict of interest sehingga mengakibatkan penurunan kinerja perusahaan. Faccio, et al. (2001) dan Cheung, et al. (2004) dalam
28
penelitiannya juga menunjukkan bahwa kinerja perusahaan berhubungan negatif dengan RPT.
Berbeda dengan kondisi perusahaan keluarga di Amerika Serikat yang menggunakan kontrol untuk meningkatkan kinerja perusahaan (Anderson dan Reeb, 2003a; McConaughy, et al. 1998). Keterlibatan keluarga (family control) dalam perusahaan-perusahaan di Asia menimbulkan conflict of interest antara pemegang saham mayoritas dan pemegang saham minoritas (Claessens, et al., 2002; Chen, et al., 2009; Munir dan Gul (2010); Wen-Yi Lin, et al., 2010) yang lebih kuat, sehingga menurunkan kinerja perusahaan. Keluarga menggunakan kontrol dan kepemilikan saham yang dimiliki untuk mencapai kepentingan mereka sendiri dengan mengorbankan para stakeholder dan minority
shareholder (Capulong et al., 2000, Shleifer dan Vishny,
1997 dalam Djankov, et al., 2008). Salah satu cara ekspropriasi yang digunakan adalah melalui RPT. RPT digunakan oleh perusahaan keluarga untuk melakukan ekspropriasi kekayaan pemegang saham minoritas.
Melalui RPT, keluarga dapat dengan mudah
memperoleh keuntungan pribadi sehingga hal ini mengakibatkan penurunan kinerja perusahaan.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti berpendapat bahwa RPT dalam hal ekspropriasi yang lebih
29
didominasi oleh keluarga dapat mengakibatkan penurunan kinerja perusahaan di Indonesia. Dengan demikian, hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut:
H2: Pengaruh negatif Related Party Transaction terhadap kinerja perusahaan yang lebih kuat pada family firms.