• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teoritis

1. Infeksi Kecacingan

a. Pengertian Infeksi Kecacingan

Infeksi kecacingan adalah masuknya suatu bibit penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme (cacing) di dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan penyakit (Entjang, 2003). Cacing merupakan parasit manusia dan hewan yang sifatnya merugikan, manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar daripada nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Diantara nematoda usus tedapat sejumlah spesies yang ditularkan melalui tanah dan disebut “ Soil Transmitted

Helmints” yang terpenting adalah Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Ancylostoma duodenale, Trichuris trichiura (Gandahusada

dkk, 2000).

b. Jenis-jenis Cacing

Manusia merupakan hospes defenitif beberapa nematoda usus (cacing perut), yang dapat mengakibatkan masalah bagi kesehatan masyarakat. Diantara cacing perut terdapat sejumlah spesies yang ditularkan melalui tanah (soil transmitted helminths). Diantara cacing tersebut yang terpenting adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) dan

(2)

cacing cambuk (Trichuris trichiura). Jenis-jenis cacing tersebut banyak ditemukan di daerah tropis seperti Indonesia. Pada umumnya telur cacing bertahan pada tanah yang lembab, tumbuh menjadi telur yang infektif dan siap untuk masuk ke tubuh manusia yang merupakan

hospes defenitifnya (Depkes R.I, 2006).

Jenis cacing yang dapat mengakibatkan masalah kesehatan pada manusia adalah :

1) Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) a) Hospes dan Nama Penyakit

Manusia merupakan satu-satunya hospes cacing Ascaris

lumbricoides. Penyakit yang disebabkannya disebut askariasis

(Gandahusada dkk, 2000). b) Morfologi dan Lingkaran Hidup

Ascaris lumbricoides merupakan salah satu jenis dari “soil transmitted helminthes”, yaitu cacing yang memerlukan

perkembangan di dalam tanah untuk infektif. Ascaris

lumbricoides merupakan nematode yang paling banyak

menyerang manusia dan cacing ini disebut juga cacing bulat atau cacing gelang. Cacing dewasa berwarna agak kemerahan atau putih kekuningan, bentuknya silindris memanjang, ujung anterior tumpul memipih dan ujung posteriornya agak meruncing. Terdapat garis-garis lateral yang biasanya mudah dilihat, ada sepasang, warnanya memutih sepanjang tubuhnya.

(3)

Bagian kepala dilengkapi dengan tiga buah bibir yaitu satu di bagian mediodorsal dan dua lagi berpasangan di bagian latero ventral, terdapat sepasang papilla, dibagian pusat di antara ketiga bibir terdapat lubang mulut (bukal kaviti) yang berbentuk segitiga dan kecil. Pada bagian posterior terdapat anusnya yang melintang (Irianto, 2009). Cacing jantan berukuran 10 - 30 cm, sedangkan betina 22 – 35 cm, pada stadium dewasa hidup di rongga usus halus, cacing betina dapat bertelur 100.000 – 200.000 butir sehari, terdiri dari telur yang dibuahi dan telur yang tidak dibuahi.

Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi tumbuh menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif ini bila tertelan manusia, akan menetas menjadi larva di usus halus, larva tersebut menembus dinding usus menuju pembuluh darah atau saluran limfa dan dialirkan ke jantung lalu mengikuti aliran darah ke paru-paru menembus dinding pembuluh darah, lalu melalui dinding alveolus masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trachea melalui bronchiolus dan broncus. Dari trakea larva menuju ke faring, sehingga menimbulkan rangsangan batuk, kemudian tertelan masuk ke dalam esofagus lalu menuju ke usus halus, tumbuh menjadi cacing dewasa. Proses tersebut memerlukan waktu kurang lebih

(4)

2 bulan sejak tertelan sampai menjadi cacing dewasa (Gandahusada dkk, 2000).

c) Patofisiologi

Menurut Surat Keputusan Menteri Kesehatan yang dikutip Effendy (2007) disamping itu gangguan dapat disebabkan oleh larva yang masuk ke paru-paru sehingga dapat menyebabkan perdarahan pada dinding alveolus yang disebut sindroma Loeffler. Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-kadang penderita mengalami gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare dan konstipasi. Pada infeksi berat, terutama pada anak-anak dapat terjadi gangguan penyerapan makanan (malabsorbtion). Keadaan yang serius, bila cacing mengumpal dalam usus sehingga terjadi penyumbatan pada usus (Ileus obstructive). d) Gejala Klinis dan Diagnosis

Gejala penyakit cacingan memang tidak nyata dan sering dikacaukan dengan penyakit-penyakit lain. Pada permulaan mungkin ada batuk-batuk dan eosinofelia. Orang (anak) yang menderita cacingan biasanya lesu, tidak bergairah, konsentrasi belajar kurang. Pada anak-anak yang menderita Ascariasis perutnya nampak buncit (karena jumlah cacing dan kembung perut), biasanya matanya pucat dan kotor seperti sakit mata (rembes), dan seperti batuk pilek. Perut sering sakit, diare, nafsu

(5)

makan kurang. Karena orang (anak) masih dapat berjalan dan sekolah atau bekerja, sering kali tidak dianggap sakit, sehingga terjadi salah diagnosis dan salah pengobatan. Padahal secara ekonomis sudah menunjukkan kerugian yaitu menurunkan produktifitas kerja dan mengurangi kemampuan belajar (Depkes RI, 2006). Karena gejala klinik yang tidak khas, perlu diadakan pemeriksaan tinja untuk membuat diagnosis yang tepat, yaitu dengan menemukan telur-telur cacing di dalam tinja tersebut. Jumlah telur juga dapat dipakai sebagai pedoman untuk menentukan beratnya infeksi (dengan cara menghitung telur) (Depkes R.I, 2006).

e) Pencegahan

Penularan Ascaris dapat terjadi secara oral, maka untuk pencegahannya hindari tangan dalam keadaan kotor, karena dapat menimbulkan adanya kontaminasi dari telur-telur Ascaris. Oleh karena itu, biasakan mencuci tangan sebelum makan. Selain itu, hindari juga sayuran mentah yang tidak dimasak terlebih dahulu dan jangan membiarkan makanan terbuka, sehinggga debu-debu yang bertebangan dapat mengontaminasi makanan atau dihinggapi serangga dimana membawa telur-telur

Ascaris. Untuk menekan volume dan lokasi aliran telur-telur

melalui jalan ke penduduk, maka pencegahannya dengan mengadakan penyaluran pembuangan feses yang teratur dan sesuai dengan syarat pembuangan kotoran yang memenuhi

(6)

aturan kesehatan dan tidak boleh mengotori air permukaan untuk mencegah agar tanah tidak terkontaminasi telur-telur

Ascaris (Irianto, 2009).

Mengingat prevalensi yang tinggi pada golongan anak-anak, maka perlu diadakan pendidikan di sekolah-sekolah mengenai cacing Ascaris. Dianjurkan pula untuk membiasakan mencuci tangan sebelum makan, mencuci makanan dan memasakanya dengan baik, memakai alas kaki terutama di luar rumah. Ada baiknya di desa-desa diberi pendidikan dengan cara peragaan secara audio visual, sehingga dengan cara ini mudah dimengerti oleh mereka. Ditambah dengan penyediaan sarana air minum dan jamban keluarga, sehingga sebagaimana telah menjadi program nasional, rehabilitasi sarana perumahan juga merupakan salah satu peerbaikan keadaan sosial ekonomi yang menjurus kepada perbaikan hygine dan sanitasi (Irianto, 2009). 2) Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)

a) Hospes dan Nama Penyakit

Manusia merupakan hospes cacing ini. Penyakit yang disebabkannya disebut trikuriasis (Gandahusada dkk, 2000). b) Morfologi dan Lingkaran Hidup

Cacing betina panjangnya sekitar 5 cm dan yang jantan sekitar 4 cm. Cacing dewasa hidup di kolon asendens dengan bagian anteriornya masuk ke dalam mukosa usus. Satu ekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur sehari sekitar 3.000 – 5.000 butir. Telur yang dibuahi dikelurkan dari hospes

(7)

bersama tinja, telur menjadi matang (berisi larva dan infektif) dalam waktu 3 – 6 minggu di dalam tanah yang lembab dan teduh. Cara infeksi langsung terjadi bila telur yang matang tertelan oleh manusia (hospes). Kemudian larva akan keluar dari telur dan masuk ke dalam usus halus sesudah menjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke kolon asendens dan sekum. Masa pertumbuhan mulai tertelan sampai menjadi cacing dewasa betina dan siap bertelur sekitar 30–90 hari (Gandahusada dkk, 2000). c) Patofisiologi

Cacing cambuk pada manusia terutama hidup di sekum dapat juga ditemukan di dalam kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak cacing ini tersebar diseluruh kolon dan rektum, kadang-kadang terlihat pada mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita sewaktu defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat pelekatannya dapat menimbulkan perdarahan. Disamping itu cacing ini menghisap darah hospesnya sehingga dapat menyebabkan anemia (Depkes R.I, 2006).

d) Gejala Klinik dan Diagnosis

Infeksi cacing cambuk yang ringan biasanya tidak memberikan gejala klinis yang jelas atau sama sekali tanpa gejala. Sedangkan infeksi cacing cambuk yang berat dan menahun terutama pada anak menimbulkan gejala seperti diare,

(8)

disenteri, anemia, berat badan menurun dan kadang-kadang terjadi prolapsus rektum. Infeksi cacing cambuk yang berat juga sering disertai dengan infeksi cacing lainnya atau protozoa. Diagnosa dibuat dengan menemukan telur di dalam tinja (Depkes RI, 2006).

e) Pencegahan

Pencegahan yang utama adalah kebersihan, sedangkan infeksi di daerah yang sangat endemic dapat dicegah dengan cara membuang tinja pada tempatnya sehingga tidak membuat pencemaran lingkungan oleh telur cacing, mencuci tangan sebelum makan, pendidikan terhadap masyarakat terutama anak-anak tentang sanitasi dan hygiene, mencuci bersih sayur-sayuran atau memasaknya sebelum dimakan.

3) Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale dan Nector americanus) a) Hospes dan Nama Penyakit

Hospes parasit ini adalah manusia, cacing ini menyebabkan nekatoriasis dan ankilostomiasis (Gandahusada dkk, 2000).

b) Morfologi dan Lingkaran Hidup

Cacing dewasa hidup di rongga usus halus dengan mulut besar melekat pada mucosa dinding usus. Cacing betina Necator

americanus menghasilkan 9.000 butir telur sehari dan Ancylostoma duodenale 10.000 butir telur sehari. Cacing betina

(9)

mempunyai panjang sekitar 1 cm, cacing jantan kira-kira 0,8 cm, cacing dewasa berbentuk seperti huruf S untuk Necator

americanus sedangkan Ancylostoma duodenale berbentuk C,

dan di dalam mulutnya ada sepasang gigi. Daur hidup cacing tambang adalah sebagai berikut, telur cacing akan keluar bersama tinja, setelah 1 – 1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi larva rabditiform. Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit dan dapat bertahan hidup 7–8 minggu di tanah. Setelah menembus kulit, larva ikut aliran darah ke jantung terus ke paru-paru. Di paru-paru menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan laring. Dari laring, larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacing dewasa. Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit atau ikut tertelan bersama makanan (Gandahusada dkk, 2000). c) Patofisiologi

Cacing tambang hidup dalam rongga usus halus tapi melekat dengan giginya pada dinding usus dan menghisap darah. Infeksi cacing tambang menyebabkan kehilangan darah secara perlahan-lahan sehingga penderita mengalami kekurangan darah (anemia) akibatnya dapat menurunkan gairah kerja serta menurunkan produktifitas. Tetapi kekurangan darah (anemia) ini biasanya tidak dianggap sebagai cacingan karena

(10)

kekurangan darah bisa terjadi oleh banyak sebab (Depkes R.I, 2006).

d) Gejala Klinik Dan Diagnosis

Gejala klinik karena infeksi cacing tambang antara lain lesu, tidak bergairah, konsentrasi belajar kurang, pucat, rentan terhadap penyakit, prestasi kerja menurun dan anemia (anemia hipokrom micrositer). Disamping itu juga terdapat eosinofilia (Depkes R.I, 2006).

e) Pencegahan

Pencegahan infeksi cacing tambang dapat dihindarkan dengan cara sebagai berikut (Irianto, 2009) :

1) Pembuangan tinja pada jamban-jamban yang memenuhi syarat kesehatan.

2) Memakai sepatu untuk menghindari masuknya larva melalui kulit.

3) Mengobati orang-orang yang mengandung parasit. c. Epidemiologi Cacing

1) Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)

Telur cacing gelang keluar bersama tinja pada tempat yang lembab dan tidak terkena sinar matahari, telur tersebut tumbuh menjadi infektif. Infeksi cacing gelang terjadi bila telur yang infektif masuk melalui mulut bersama makanan atau minuman dan dapat pula melalui tangan yang kotor (tercemar tanah dengan telur cacing) (Depkes R.I, 2006).

(11)

2) Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)

Penyebaran penyakit ini adalah terkontaminasinya tanah dengan tinja yang mengandung telur cacing cambuk. Telur tumbuh dalam tanah liat, lembab dan tanah dengan suhu optimal + 30oC. Infeksi cacing cambuk terjadi bila telur yang infektif masuk melalui mulut bersama makanan atau minuman yang tercemar atau melalui tangan yang kotor (Depkes R.I, 2006).

3) Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale dan Nector americanus) Kejadian penyakit (Incidens) ini di Indonesia sering ditemukan pada penduduk, terutama di daerah pedesaan, khususnya di perkebunan atau pertambangan. Cacing ini menghisap darah hanya sedikit namun luka-luka gigitan yang berdarah akan berlangsung lama, setelah gigitan dilepaskan dapat menyebabkan anemia yang lebih berat. Kebiasaan buang air besar di tanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun sangat penting dalam penyebaran infeksi penyakit ini. Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva adalah tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu optimum 32oC – 38oC. Untuk menghindari infeksi dapat dicegah dengan memakai sandal/sepatu bila keluar rumah (Gandahusada dkk, 2000).

d. Pengendalian Infeksi Kecacingan

Salah satu upaya pengendalian cacingan yaitu mempertahankan efektifitas asupan gizi yang diberikan, para pakar gizi dan kesehatan

(12)

menyarankan agar Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) diberikan dengan pemberian obat cacing dan juga pemilihan dokter kecil dalam membantu petugas kesehatan melaksanakan pelayanaan kesehatan di sekolah, yaitu distribusi obat cacing, vitamin dan lain-lain dan juga menggerakkan dan membimbing teman dalam melaksanakan pengamatan kebersihan dan kesehatan pribadi, pengukuran Tinggi Badan dan Berat Badan dan penyuluhan kesehatan. Pemikiran ini didasarkan pada kajian teknis medis dampak cacingan terhadap keadaan zat gizi. Cacing sebagai hewan parasit tidak saja mengambil zat-zat gizi dalam usus anak, tetapi juga merusak dinding usus sehingga mengganggu penyerapan zat–zat gizi tersebut. Menurut rekomendasi WHO bahwa dalam pengendalian penyakit infeksi ada tiga hal yang harus dilakukan yaitu (Depkes R.I, 2006) :

1) Pengobatan

Pengobatan dilakukan dengan dua cara pendekatan yaitu “Blanket Treatment” dan “Selective Treatment” dengan mengunakan obat yang aman dan berspektrum luas, efektif, tersedia dan terjangkau harganya, serta dapat membunuh cacing dewasa, larva dan telur. Pada awal pelaksanaan kegiatan pengobatan harus didahului dengan survei untuk mendapat data dasar. Bila pemeriksaan tinja dilakukan secara sampling dan hasil pemeriksaan tinja menunjukan prevalensi 30% atau lebih, dilakukan pengobatan massal, sebaliknya bila prevalensi kurang dari 30%, maka

(13)

dilakukan pemeriksaan tinja secara menyeluruh (total screening). Apabila hasil pemeriksaan total screening menunjukkan prevalensi di atas 30%, maka harus dilakukan pengobatan massal. Apabila prevalensi kurang dari 30%, maka lakukan pengobatan selektif, yaitu yang positif saja.

2) Pencegahan

Tindakan preventif yaitu dengan melakukan pengendalian faktor risiko, yang meliputi kebersihan lingkungan, keberhasilan pribadi, penyediaan air bersih yang cukup, semenisasi lantai rumah, pembuatan dan penggunaan jamban yang memadai, menjaga kebersihan makanan, pendidikan kesehatan di sekolah baik untuk guru maupun murid.

3) Promotif

Pendidikan kesehatan dapat diberikan melalui penyuluhan kepada masyarakat pada umumnya atau kepada anak-anak sekolah, yaitu melalui program UKS, sedangkan untuk masyarakat dapat dilakukan penyuluhan secara langsung atau melalui media massa baik cetak maupun media elektronik.

(14)

e. Faktor-Faktor Resiko yang Berhubungan dengan Infeksi Kecacingan

1) Kebiasaan memakai alas kaki

Kesehatan anak sangat penting karena kesehatan semasa kecil menentukan kesehatan pada masa dewasa. Anak yang sehat akan menjadi manusia dewasa yang sehat. Membina kesehatan semasa anak berarti mempersiapkan terbentuknya generasi yang sehat akan memperkuat ketahanan bangsa. Pembinaan kesehatan anak dapat dilakukan oleh petugas kesehatan, ayah, ibu, saudara, anggota keluarga anak itu serta anak itu sendiri. Anak harus menjaga kesehatannya sendiri salah satunya membiasakan memakai alas kaki/sandal (Depkes R.I, 2006). Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu optimum untuk Necator americanus 28-32 derajat celcius sedangkan untuk Ancylostoma duodenale lebih kuat. Untuk menghindari infeksi, antara lain ialah memakai sandal atau sepatu (Gandahusada dkk, 2000).

(15)

2) Kebiasaan mencuci tangan

Menurut E.Oswari yang dikutip Yulianto (2007) anak-anak paling sering terserang penyakit cacingan karena biasanya jari-jari tangan mereka dimasukkan ke dalam mulut, atau makan nasi tanpa cuci tangan. Namun demikian sesekali orang dewasa juga perutnya terdapat cacing. Cacing yang paling sering ditemui ialah cacing gelang, cacing tambang, cacing benang, cacing pita, dan cacing kremi. Infeksi kecacingan terjadi karena menelan telur yang fertile dari tanah yang terkontaminasi dengan kotoran manusia atau dari produk mentah yang terkontaminasi dengan tanah yang berisi telur cacing. Penularan tidak terjadi langsung dari orang ke orang lain. Penularan banyak pada anak-anak, seperti tanah yang tercemar telur cacing dapat terbawa jauh karena menempel pada kaki atau alas kaki dan masuk kedalam rumah, juga melalui debu. Untuk itu ajarkan kepada anak-anak untuk mencuci tangan sebelum makan (Kandun, 2006).

Penularan Ascaris dapat terjadi secara oral, maka untuk pencegahannya hindari tangan dalam keadaan kotor, karena dapat menimbulkan adanya kontaminasi dari telur-telur Ascaris. Oleh karena itu, biasakan mencuci tangan sebelum makan (Irianto, 2009). Penelitian yang dilakukan Nurlila (2002), tentang faktor-faktor yang mempengaruhi infeksi kecacingan murid sekolah dasar negeri Rawabadak Utara 23 dan 24 Jakarta Utara, bahwa adanya hubungan

(16)

kebiasaan mencuci tangan dengan infeksi kecacingan. Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap 200 murid terdapat tingkat kemaknaan < 0,05.

3) Kuku Jemari yang Panjang

Menurut Alfalah yang dikutip Darmadi (2006), tentang frekuensi soil transmited helmints pada murid SD nomor 34 Kota Rawang Kecamatan Lengayang Kabupaten Pesisir Selatan bahwa terdapat hubungan kuku jemari tangan yang panjang dengan infeksi cacing. Karena kuku jemari tangan yang panjang adalah tempat menempel telur cacing. Dari hasil penelitian tersebut dari 100 sampel tinja yang diperiksa sebanyak 91 anak yang dinyatakan positif.

Menurut Hadidjaja yang dikutip Darmadi (2006) infeksi dapat terjadi akibat kuku jemari tangan yang panjang. Sehingga pemotongan kuku yang beraturan atau sesuai dengan standar kesehatan merupakan salah satu cara untuk menghindari dan mencegah terinfeksinya oleh cacing. Usaha pencegahan penyakit cacingan antara lain:menjaga kebersihan badan, kebersihan lingkungan dengan baik, makanan dan minuman yang baik dan bersih, memakai alas kaki, membuang air besar di jamban (kakus), memelihara kebersihan diri dengan baik seperti memotong kuku dan mencuci tangan sebelum makan (Depkes R.I, 2001). Kebersihan perorangan penting untuk pencegahan. Kuku sebaiknya

(17)

selalu dipotong pendek untuk menghindari penularan cacing dari tangan ke mulut (Gandahusada dkk, 2000).

4) Sosial Ekonomi

Faktor sanitasi yang rendah berhubungan dengan social ekonomi yang rendah juga (Hotes, 2003). Sosial ekonomi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat, antara lain sandang, pangan, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Pemenuhan kebutuhan tersebut berkaitan dengan penghasilan.Status sosial ekonomi berdasarkan BKKBN adalah Keluarga pra sejahtera adalah keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasar (basic need) secara minimal, seperti kebutuhan akan , pangan, sandang, papan .

Keluarga sejahtera I adalah keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya, seperti kebutuhan akan pendidikan, KB, interaksi dalam keluarga, interaksi lingkungan tempat tinggal, dan transportasi. Keluarga sejahtera II adalah keluarga disamping telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, juga telah dapat memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan pengembangannya, seperti kebutuhan untuk menabung dan memperoleh informasi. Keluarga sejahtera III adalah keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhan dasar, sosial psikologis, dan pengembangan keluarganya, tetapi belum dapat memberikan sumbangan yang teratur pada masyarakat, seperti sumbangan materi, dan berperan aktif dalam kegiatan

(18)

kemasyarakatan. Keluarga sejahtera III plus adalah keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhan dasar, sosial psikologis dan pengembangannya serta telah dapat memberikan sumbangan yang teratur dan berperan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan.

Status sosial ekonomi keluarga memberi pengaruh tidak langsung terhadap status gizi anak. Status sosial yang paling berpengaruh antara lain pendidikan orang tua, dan besar keluarga, serta kedudukan pengasuhan (ibu atau pengasuh). Status gizi anak erat kaitannya dengan pengasuh atau peran ibu itu sendiri. Berbagai faktor seperti pendapatan, kebiasaan makan dan status sosial yang berubah karena adanya intervensi berbagai program pada gilirannya akan mempengaruhi komsumsi pangan. Kemampuan rumah tangga menjangkau pangan di pasar tergantung dari daya beli atau pendapatannya. Keanekaragaman pangan yang diproduksi dan yang tersedia di pasar merupakan kondisi bagi rumah tangga untuk mengkomsumsi pangan yang beragam apabila didukung oleh kebiasaan makan dan pengetahuan gizi yang baik, serta kemampuan ekonomi yang cukup. Perlu diketahui bahwa kemampuan ekonomi rumah tangga pada umumnya saling berkaitan dengan status sosial (Aritonang, 2000).

5) Kebiasaan Makan Makanan Mentah atau Setengah Matang

Kebiasaan penggunaan faeces manusia sebagai pupuk tanaman menyebabkan semakin luasnya pengotoran tanah, persediaan air rumah tangga dan makanan tertentu, misalnya sayuran akan meningkatkan jumlah penderita helminthiasis.

(19)

Demikian juga kebiasaan makan masyarakat, menyebakan terjadinya penularan penyakit cacing tertentu. Misalnya, kebiasaan makan secara mentah atau setengah matang, ikan, kerang, daging dan sayuran. Bila dalam makanan tersebut terdapat kista atau larva cacing, maka siklus hidup cacingnya menjadi lengkap, sehingga terjadi infeksi pada manusia (Entjang, 2003). Penularan Ascaris biasa dengan memakan makanan yang mentah seperti sayuran mentah yang tidak dimasak terlebih dahulu dan jangan membiarkan makanan terbuka, sehingga debu-debu yang beterbangan dapat mengontaminasi makanan ataupun dihingggapi serangga dimana membawa telur-telur cacing (Irianto, 2009).

Penelitian yang dilakukan Yulianto (2007), tentang hubungan higiene sanitasi dengan kejadian penyakit cacingan pada siswa Sekolah Dasar Negeri Rowosari 01 Kecamatan Tembalang Kota Semarang, bahwa kebiasaan mengkonsumsi makanan mentah mempunyai hubungan yang signifikan dengan kejadian penyakit cacingan. Hal ini dapat ditunjukkan dari hasil dengan Chi-square antara variabel kebiasaan mengkonsumsi makanan mentah dengan variabel kejadian penyakit cacingan diperoleh P-value sebesar 0,043 lebih kecil dari 0,05 (0,043<0,05). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 45 siswa didapatkan siswa yang terkena penyakit cacingan dengan tidak melakukan kebiasaan mengkonsumsi makanan mentah sebanyak 41,7% sedangkan siswa

(20)

yang melakukan kebiasaan mengkonsumsi makanan mentah dan terkena penyakit cacingan sebesar 12,1%. Siswa yang tidak melakukan kebiasaan mengkonsumsi makanan mentah dan tidak terkena penyakit cacingan sebanyak 58,3% sedangkan siswa yang melakukan kebiasaan mengkonsumsi makanan mentah dan tidak terkena penyakit cacingan sebanyak 87,8%.

f. Kerugian Akibat Infeksi Kecacingan 1) Prestasi Belajar

Menurut Arsad (2007) cacing sebagai hewan parasit tidak saja mengambil zat-zat gizi dalam usus anak, tetapi juga merusak dinding usus sehingga mengganggu penyerapan zat-zat gizi tersebut. Cacing-cacing yang tinggal diusus manusia memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap kejadian penyakit lainnya misalnya kurang gizi dengan infestasi cacing gelang yang memakan karbohidrat dan protein diusus sebelum diserap oleh tubuh. Kemudian penyakit anemia (kurang kadar darah) karena cacing tambang yang mengisap darah diusus dan cacing-cacing cambuk dan pita yang dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak, serta mempengaruhi masalah-masalah non kesehatan lainnya missal : turunnya prestasi belajar anak sekolah dasar. Anak–anak yang terinfeksi cacingan biasanya mengalami : lesu, pucat / anemia, berat badan menurun, tidak bergairah, konsentrasi belajar kurang,

(21)

kadang disertai batuk – batuk. Secara keseluruhan gejala-gejala kecacingan yaitu :

1. Berbadan kurus dan pertumbuhan terganggu (kurang gizi) 2. Kurang darah (anemia)

3. Daya tahan tubuh rendah, sering-sering sakit, lemah dan senang menjadi letih sehingga sering tidak hadir sekolah dan mengakibatkan nilai pelajaran turun.

Cacingan dapat mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan (digestif), penyerapan (absorbsi), dan metabolisme makanan. Secara keseluruhan (kumulatif), infeksi cacingan dapat menimbulkan kekurangan zat gizi berupa kalori dan dapat menyebabkan kekurangan protein serta kehilangan darah. Selain dapat menghambat perkembangan fisik, anemia, kecerdasan (prestasi belajar), dan produktifitas kerja, juga berpengaruh besar dapat menurunkan ketahanan tubuh sehingga mudah terkena penyakit lainnya (Depkes R.I, 2006).

Penelitian yang dilakukan Seffiyanti (2006), tentang hubungan penyakit cacingan dengan prestasi belajar pada anak sekolah dasar. Hal ini dapat ditunjukkan dari hasil uji Chi square antara variabel penyakit cacingan dengan prestasi belajar diperoleh derajat kepercayaan 95%, α = 0,05, bermakna bila p < 0,05. Dari penelitian ini diperoleh antara lain sebanyak 31.7 % siswa MI Miftahul Ulum yang terinfeksi penyakit cacingan, sebagian besar siswa (76.92 %) terinfeksi oleh cacing Ascaris lumbricoides. Selain itu, diperoleh juga bahwa sebagian besar prestasi belajar siswa MI

(22)

Miftahul Ulum Pesanggrahan adalah cukup baik (41,41%), dimana pada siswa yang tidak terinfeksi penyakit cacingan prestasi belajarnya yang paling banyak adalah cukup baik (82,35%) dan pada siswa yang terinfeksi penyakit cacingan prestasi belajarnya yang paling banyak adalah kurang baik (90,9%). Jadi, ada hubungan yang bermakna antara penyakit cacingan dengan prestasi belajar pada anak SD (P=0,000).

2) Status Gizi

Cacingan dapat mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan (digestif), penyerapan (absorbsi), dan metabolisme makanan. Secara keseluruhan (kumulatif), infeksi cacingan dapat menimbulkan kekurangan zat gizi berupa kalori dan dapat menyebabkan kekurangan protein serta kehilangan darah. Selain dapat menghambat perkembangan fisik, anemia, kecerdasan (prestasi belajar), dan produktifitas kerja, juga berpengaruh besar dapat menurunkan ketahanan tubuh sehingga mudah terkena penyakit lainnya (Depkes R.I, 2006).

Seseorang terinfeksi cacingan, akan menderita "5L": lemah, letih, loyo, lalai, dan lemas. Bila hal ini menimpa anak, maka akan mengganggu pertumbuhannya, membuat anak mudah sakit. Bila terus didiamkan, dalam jangka panjang anak bisa terserang berbagai penyakit yang diakibatkan kekurangan gizi (RIS, 2002). Penelitian yang dilakukan Mayasari (2006), tentang hubungan kecacingan

(23)

dengan status gizi (indeks bb/tb) pada siswa SDN Darat Lasimin 01 Kecamatan Semarang Utara berdasarkan hasil penelitian tersebut kecacingan tidak terbukti mempunyai hubungan dengan status gizi pada siswa SDN Darat Lasimin 01.

3) Menghambat Perkembangan Fisik

Menurut Ismid yang dikutip Mardiana (2008) mengingat askariasis dan trikuriasis sudah menyerang anak pada usia dini, maka dapat terjadi gangguan pada tumbuh kembang anak atau dapat menghambat perkembangan fisik anak. Penyakit cacingan dapat mengakibatkan menurunnya daya tahan tubuh terhadap penyakit dan terhambatnya tumbuh kembang anak karena cacing mengambil sari makanan yang penting bagi tubuh, misalnya protein, karbohidrat dan zat besi dapat menyebabkan anemia (Irianto, 2009). Infeksi cacing cambuk (Trikurisis) yang berat dapat menyebabkan kotoran berisi darah dan lendir, serta disertai diare. Prolaps rectal

“clubbing fingers”, hipoproteinemia, anemia dan gangguan

pertumbuhan (terhambat perkembangan fisik) dapat terjadi pada anak-anak (Kandun, 2006). Anak-anak yang terinfeksi cacing, biasanya akan menunjukkan gejala keterlambatan fisik, mental, dan seksual.

Walaupun tidak berakibat fatal, cacingan bisa menimbulkan gangguan gizi serta anemia defisiensi zat besi. Karenanya meskipun

(24)

tidak menyebabkan kematian, tapi jangan sepelekan masalah infeksi cacing ini, sebab dapat menurunkan kualitas penderitanya baik anak-anak maupun orang dewasa (RIS, 2002)

B. Kerangka Teori Infeksi kecacingan Manifestasi klinis : 1. C.Gelang tidak

memberikan gejala yan nyata /sering di kacaukan oleh penyakit lain

2. C.Cambuk gejalanya tidak jelas akan tetapi jika sudah berat akan tampak seperti letih, lesu, pucat anemia dan BB menurun. 3. C.Tambang gejala

umumnya lesu, tidak bergairah, pucat, rentan terhadap penyakit lain, konsentrasi belajar menurun, anemi dan eosinofilia

Infeksi kecacingan adalah masuknya suatu bibit penyakit yang disebabkan oleh

mikroorganisme ( cacing ) di dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan penyakit

Jenis-jenis Cacing :

1.Cacing Gelang ( Acaris Lumbricordes )

2.Cacing Cambuk ( Trichuris Trichiura )

3.Cacing Tambang ( Ancylos Toma Duodenale dan Nector Americanus

Faktor-Faktor Resiko :

1.Kebiasaan Memakai Alas kaki 2.Kebiasaan Mencuci tangan 3.Kuku jari tangan yang panjang 4.Sosial ekonomi

5.kebiasaan Makan makanan Mentah / setengah masak

Pengendalian : 1.Pengobatan 2.Pencegahan

3.Promotif ( Pendidikan Kesehatan )

(25)

C. Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah suatu hubungan atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep lainnya dari masalah-masalah yang ingin diteliti (Notoatmodjo, 2005). Hal ini dapat dilihat pada skema 2.1 di bawah ini:

Skema 2.1 Kerangka Konsep Variabel Independen Variabel Dependen D. Hipotesis

1. Adanya hubungan kebiasaan memakai alas kaki dengan infeksi kecacingan pada murid kelas IV,V dan VI SDN 011 Pekan Arba Tembilahan.

2. Adanya hubungan kebiasaan mencuci tangan dengan infeksi kecacingan pada murid kelas IV,V dan VI SDN 011 Pekan Arba Tembilahan.

3. Adanya hubungan kuku jemari tangan panjang dengan infeksi kecacingan pada murid kelas IV,V dan VI SDN 011 Pekan Arba Tembilahan.

Infeksi kecacingan Kebiasaan memakai alas kaki

Kebiasaan mencuci tangan Kuku jemari tangan panjang

Referensi

Dokumen terkait

Kecenderungan peserta didik yang lebih banyak menghabiskan waktu mereka dengan android dibandingkan dengan buku-buku mereka hanya dekat dengan pelajaran saat di kelas namun jauh

Pada penelitian yang dilakukan oleh Wicaksono (2005) bahwa perbedaan viskositas krim minyak atsiri rimpang temu kunci ( Boesenbergia pandurata (Roxb) Schletcher)

Matriks Usulan Kebutuhan Pembiayaan Sektor Pembinaan dan Pengembangan Penataan Bangunan dan Lingkungan Tahun : 2018-2022 Kota : Surakarta Anggaran dalam X1000 N O KODE AKUN

Hasil penelitian untuk motivasi peternak dalam beternak sapi serta mengetahui karakteristik peternak yang secara simultan memberikan pengaruh terhadap motivasi

Hasil penelitian ini didapat dari peta kesesuaian lahan sawit yang berada di Desa Nunggal Sari Kecamatan Pulau Rimau Kabupaten Banyuasin yang memiliki jenis tanah Glei dan

Mulai edisi Mei 2016 hingga Mei 2017, jurnal SOSIOHUMANIKA telah dikelola oleh para Dosen dari UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) di Bandung, dan diterbitkan oleh Minda

Tersedianya kamar jenazah yang standar dapat dipakai sebagai acuan oleh petugas kamar jenazah dalam memberikan mutu pelayanan yang baik bagi keluaga pasien3. ALUR PENANGANAN JENAZAH

Untuk memperoleh pemahaman yang sama dalam melaksanakan kegiatan dimaksud, maka disusun Panduan Penyelenggaraan Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan Bagi Balita