• Tidak ada hasil yang ditemukan

KORELASI ANTARA KEJADIAN LEUKOSITURIA DAN VOLUME PROSTAT PENDERITA PEMBESARAN PROSTAT JINAK PADA PEMERIKSAAN ULTRASONOGRAFI SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KORELASI ANTARA KEJADIAN LEUKOSITURIA DAN VOLUME PROSTAT PENDERITA PEMBESARAN PROSTAT JINAK PADA PEMERIKSAAN ULTRASONOGRAFI SKRIPSI"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

KORELASI ANTARA KEJADIAN LEUKOSITURIA DAN VOLUME PROSTAT PENDERITA PEMBESARAN PROSTAT JINAK PADA

PEMERIKSAAN ULTRASONOGRAFI

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

DIANIKA ROHMAH APRILIA G0007058

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2010

(2)

commit to user PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi dengan judul: Korelasi antara Kejadian Leukosituria dan Volume Prostat Penderita Pembesaran Prostat Jinak pada Pemeriksaan

Ultrasonografi

Dianika Rohmah Aprilia, NIM: G.0007058, Tahun: 2010

Telah disetujui dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret

Pada Hari Jumat, Tanggal 12 November 2010

Pembimbing Utama Nama : Widiastuti, dr., Sp.Rad NIP : 19561120 198311 2 001 Pembimbing Pendamping

Nama : Bimanggono H. M., dr., Sp.U NIP : 19721009 201001 1 009 Penguji Utama

Nama : Dr. J. B. Prasodjo, dr., Sp.Rad NIP : 19500801 199008 1 001 Anggota Penguji

Nama : Dr. Syarif Sudirman, dr., f sSp.An-KMN-KAR., Sp.Ak NIP : 19470312 197501 1 001 ………... ………... ………... ………... Surakarta, ………..

Ketua Tim Skripsi

Muthmainah, dr., M.Kes NIP.19660702 199802 2 001

Dekan FK UNS

Prof. Dr. A. A. Subijanto, dr., MS NIP: 19481107 197310 1 003

(3)

commit to user

iii

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, November 2010

DIANIKA ROHMAH APRILIA NIM. G0007058

(4)

commit to user ABSTRAK

Dianika Rohmah Aprilia, G0007058, 2010, Korelasi antara Kejadian Leukosituria dan Volume Prostat Penderita Pembesaran Prostat Jinak pada Pemeriksaan Ultrasonografi, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Tujuan Penelitian: Benign Prostatic Hypertrophy (BPH) adalah pembesaran prostat yang jinak yang dapat menimbulkan gejala berupa Lower Urinary Tract

Symptoms (LUTS). Prevalensi BPH sangat tinggi, terutama pada laki-laki berusia

di atas 50 tahun. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara kejadian leukosituria dan volume prostat penderita pembesaran prostat jinak pada pemeriksaan ultrasonografi sehingga diharapkan dapat membantu dokter dalam pemilihan terapi bagi para penderita BPH.

Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan rancangan cross sectional. Sampel diambil menggunakan teknik total sampling dengan lokasi di Instalasi Radiologi, Patologi Klinik, Patologi Anatomi, dan Rekam Medik RSUD dr. Moewardi Surakarta. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Mei sampai Agustus 2010. Jumlah total sampel adalah 28 orang yang dilakukan pengukuran volume prostat menggunakan USG dengan diagnosis pembesaran prostat jinak untuk kemudian dicari korelasinya dengan hasil pemeriksaan leukosit urine. Data yang didapat kemudian dianalisis dengan uji korelasi Spearman Rank (Rho) menggunakan program komputer.

Hasil Penelitian: Hasil uji korelasi Spearman Rank (Rho) menunjukkan tidak ada korelasi yang signifikan antara kejadian leukosituria dan volume prostat penderita pembesaran prostat jinak (p > 0,05 dan ro < rt).

Simpulan Penelitian: Hasil penelitian menunjukkan tidak ada korelasi yang signifikan antara kejadian leukosituria dan volume prostat penderita pembesaran prostat jinak.

(5)

commit to user

v ABSTRACT

Dianika Rohmah Aprilia, G0007058, 2010, Correlation between Leukocyturia Occurrence and Prostate Volume of Patients with Benign Prostatic Hipertrophy on Ultrasonography Examination, Faculty of Medicine, Sebelas Maret University Surakarta.

Objective: Benign Prostatic Hypertrophy (BPH) is a benign enlarged prostate causing symptoms called Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS). The prevalence of BPH is very high, especially in men over 50 years. This study aims to determine the correlation between the leukocyturia occurrence and prostate volume of patients with benign prostate hypertrophy on ultrasonography examination with the result is expected to assist doctors in choosing therapy for BPH patients.

Methods: This was an analytic observational study with cross sectional approach. Samples were taken using total sampling technique in Radiology, Clinical Pathology, Anatomical Pathology, and Medical Records Instalation of Dr. Moewardi general hospital Surakarta as the locations. The study was conducted from May to August 2010. The total number of samples is 28 people who carried out the measurement of prostate volume using ultrasound with the diagnosis of benign prostatic hypertrophy and then searched their correlation with urine leukocyte examination. The data was analyzed with Spearman Rank (Rho) correlation test using the computer program.

Results: The Spearman Rank (Rho) correlation test showed no significant correlation between leukocyturia occurrence and prostate volume of patients with benign prostatic hypertrophy (p > 0.05 and ro < rt).

Conclusion: The results showed no significant correlation between leukocyturia occurrence and prostate volume of patients with benign prostatic hypertrophy.

(6)

commit to user PRAKATA

Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan

segala karunia dan rahmat-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Korelasi antara Kejadian Leukosituria dan Volume Prostat Penderita Pembesaran Prostat Jinak pada Pemeriksaan Ultrasonografi”.

Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari tidak banyak yang dapat dilakukan tanpa bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. A. A. Subijanto, dr., MS selaku Dekan Fakultas Kedokteran UNS

yang telah mengijinkan penulis untuk menyusun skripsi ini.

2. Seluruh jajaran Tim Skripsi FK UNS yang telah banyak membantu demi kelancaran pelaksanaan skripsi.

3. Widiastuti, dr., Sp.Rad selaku Pembimbing Utama dan Bimanggono H. M., dr., Sp.U, selaku Pembimbing Pendamping yang telah membantu dan meluangkan waktunya, kesabaran dalam memberi arahan, semangat, saran, koreksi, serta diskusi yang sangat bermanfaat sehingga penulis sangat terbantu menyelesaikan penulisan skripsi ini.

4. Dr. J. B. Prasodjo, dr., Sp.Rad sebagai Penguji Utama dan Dr. Syarif Sudirman, dr., Sp.An-KMN-KAR, Sp.AK sebagai penguji pendamping dalam ujian penelitian ini. Terimakasih atas semua arahan, ilmu, dan waktu yang telah diluangkan.

5. Ari Probandari N., dr., MPH sebagai pembimbing kepakaran pada penulisan skripsi ini atas saran dan masukan yang diberikan.

6. Semua Staf Tata Usaha dan Petugas di Instalasi Radiologi, Bedah, Patologi Klinik, Patologi Anatomi, Rekam Medik, Diklit RSUD dr. Moewardi Surakarta, Bagian Patologi Anatomi Universitas Sebelas Maret Surakarta. 7. Keluargaku terimakasih untuk doa, semangat, dukungan serta kepercayaan

yang diberikan.

8. Semua pihak yang telah banyak membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna. Saran dan kritik selalu terbuka demi sebuah perbaikan di masa datang. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat tidak hanya bagi penulis tetapi juga bagi semua pihak. Aamiin.

Surakarta, 1 November 2010

(7)

commit to user vii DAFTAR ISI PRAKATA……….. DAFTAR ISI………... DAFTAR DIAGRAM…..………... DAFTAR LAMPIRAN………... BAB II PENDAHULUAN……….

A. Latar Belakang Masalah……… B. Perumusan Masalah………... C. Tujuan Penelitian………... D. Manfaat Penelitian……… BAB II LANDASAN TEORI……….

A. Tinjauan Pustaka………... 1. Kelenjar Prostat………... a. Anatomi Prostat……… b. Fisiologi Prostat……… 2. Pembesaran Prostat Jinak……… a. Definisi……….. b. Faktor Risiko………. c. Etiopatogenesis………. d. Gejala dan Tanda……….. e. Klasifikasi………. Halaman vi vii x xi 1 1 3 3 3 4 4 4 5 6 6 6 6 10 11 12

(8)

commit to user

f. Penegakan Diagnosis………... g. Penatalaksanaan………... 3. Ultrasonografi………... a. Pengertian USG………... b. Cara Kerja USG………...

c. Pemakaian Klinis……….

d. Kelebihan USG………... e. Kekurangan USG…...………. f. Gambaran BPH pada Pemeriksaan USG…...………. g. Penggunaan USG untuk Mengukur Volume Prostat.. 4. Leukosituria………...…... a. Definisi………...…. b. Patofisiologi…………...………. c. Cara Pemeriksaan………...………. d. Interpretasi Hasil………...……….. B. Kerangka Pemikiran…………...………. C. Hipotesis………...……….. BAB III METODE PENELITIAN……….

A. Jenis Penelitian………

B. Lokasi dan Waktu Penelitian………... C. Subjek Penelitian………...……. D. Teknik Sampling………...…….. E. Alur Penelitian…………...………. 12 14 15 15 15 16 17 17 18 18 19 19 19 20 22 23 24 25 25 25 25 26 27

(9)

commit to user

ix

F. Identifikasi Variabel Penelitian………... G. Definisi Operasional Variabel Penelitian………... H. Alat dan Bahan Penelitian………...

I. Cara Kerja………

J. Teknik Analisis Data………... BAB IV HASIL………..

BAB VI PEMBAHASAN………...………

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN……….

A. Simpulan……….. B. Saran………...………. DAFTAR PUSTAKA……….. LAMPIRAN……… 28 28 30 31 31 32 38 41 41 41 43 47

(10)

commit to user DAFTAR DIAGRAM

Diagram 1. Distribusi Umur Subjek Penelitian………. 32

Diagram 2. Distribusi Frekuensi Volume Prostat………. 33

Diagram 3. Distribusi Volume Prostat Berdasarkan Umur………... 34

Diagram 4. Distribusi Frekuensi Jumlah Leukosit Urine……….. 35 Diagram 5. Jumlah Kejadian Leukosituria pada Pasien BPH………... ii36

(11)

commit to user

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Subjek Penelitian…………….... 47

Lampiran 2. Hasil Uji Korelasi Spearman Rank (Rho)…………… 48

Lampiran 3. Tabel Koefisien Korelasi……….... . 49

Lampiran 4. Contoh Hasil USG Pasien BPH…………...……….. 50

Lampiran 5. Surat Izin Penelitian……… . 51

(12)

commit to user BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di inferior kandung kemih di depan rektum dan membungkus urethra pars

prostatica (Argie, 2008). Volume adalah ukuran kuantitas atau kapasitas suatu

zat (Dorland, 2002). Volume prostat meningkat seiring bertambahnya umur (Nickel, 2003). Dari beberapa penelitian cross sectional tentang volume prostat yang dibandingkan dengan usia, dapat disimpulkan bahwa volume prostat meningkat menjadi 25 mL pada pria berusia 30 tahun dan 35-45 mL pada pria berusia 70 tahun (Soetapa, Djatisoesanto, dan Soebadi, 2007). Peningkatan volume prostat dapat berupa BPH atau karsinoma prostat.

Benign prostatic hypertrophy (BPH) adalah pembesaran prostat yang

jinak, bervariasi berupa hiperplasia kelenjar atau hiperplasia fibromuskular. Walaupun selama ini dikenal dengan hipertrofi prostat namun secara histologis yang dominan adalah hiperplasia (Sjamsuhidajat, 2005). Berdasarkan penelitian pada autopsi, BPH terdapat pada 20% pria usia 41-50 tahun, 50% pria usia 51-60 tahun, 65% pria usia 61-70 tahun, 80% pria usia 71-80 tahun, dan 90% pria usia 81-90 tahun (Soetapa, Djatisoesanto, dan Soebadi, 2006). Penyebab pembesaran prostat jinak belum diketahui dengan pasti. Pembesaran prostat jinak merupakan penyakit pada pria tua dan jarang ditemukan sebelum usia 40 tahun (Dwindra dan Israr, 2008).

(13)

commit to user

xiii

Selama ini volume prostat telah digunakan sebagai kriteria untuk mendiagnosis BPH. Penentuan volume prostat dapat dilakukan dengan pemeriksaan colok dubur, Ultrasonografi (USG), Magnetic Resonance

Imaging (MRI), atau Computed Tomography (CT) (Soetapa, Djatisoesanto,

dan Soebadi, 2007). Walaupun colok dubur merupakan pemeriksaan standar untuk menilai ukuran prostat, tetapi pemeriksaan ini tidak akurat (seringkali

underestimate) dan subjektif (Nickel, 2003; Bapat et al., 2006). Menurut

Roehrborn dan McConnell dalam Hardjowijoto dan Taher (2003), MRI atau CT dapat lebih tepat mengukur volume prostat, tetapi pemeriksaan ini mahal. USG merupakan salah satu pemeriksaan yang bermanfaat untuk menentukan derajat pembesaran prostat secara akurat (Goyal, et al., 2006).

Pembesaran prostat jinak yang sudah menimbulkan komplikasi infeksi saluran kemih, urolithiasis, atau gejala-gejala gangguan miksi di saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS) pada pemeriksaan urinalisis menunjukkan adanya kelainan (Hardjowijoto dan Taher, 2003). Urinalisis adalah analisis fisik, kimia, dan mikroskopik terhadap urine (Kee, 2008). Pemeriksaan urinalisis dapat mengungkapkan adanya leukosituria dan hematuria (Hardjowijoto dan Taher, 2003). Leukosituria adalah pengeluaran leukosit di dalam urine (Dorland, 2002).

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, peneliti berminat untuk mengetahui korelasi antara kejadian leukosituria dan volume prostat penderita pembesaran prostat jinak pada pemeriksaan ultrasonografi.

(14)

commit to user B. Perumusan Masalah

Adakah korelasi antara kejadian leukosituria dan volume prostat penderita pembesaran prostat jinak pada pemeriksaan ultrasonografi?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya korelasi antara kejadian leukosituria dan volume prostat penderita pembesaran prostat jinak pada pemeriksaan ultrasonografi.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui korelasi antara kejadian leukosituria dan volume prostat penderita pembesaran prostat jinak pada pemeriksaan ultrasonografi.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dokter dan pasien dalam pemilihan terapi umtuk pasien BPH.

(15)

commit to user xv BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Kelenjar Prostat a. Anatomi Prostat

Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik dilapisi kapsul fibromuskuler yang terletak di inferior kandung kemih, mengelilingi bagian proksimal uretra (urethra pars prostatica) dan berada disebelah anterior rektum. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 20 gram (Dwindra dan Israr, 2008). Karena berat jenis jaringan prostat 1,05 gram/mL maka volume dalam mL dapat disamakan dengan berat kelenjar prostat dalam gram (Bapat, et al., 2006; Peterson, 2008).

Kelenjar prostat terbagi menjadi 5 lobus: lobus medius, 2 lobus lateralis, lobus anterior, dan lobus posterior (Dwindra dan Israr, 2008). BPH sering terjadi pada lobus lateralis dan lobus medialis karena mengandung banyak jaringan kelenjar, tetapi tidak terjadi pada bagian posterior lobus medius (lobus posterior) yang merupakan bagian tersering terjadinya perkembangan karsinoma prostat. (Kumar, Abbas, dan Fausto, 2005).

Prostat mendapat aliran darah dari percabangan arteri pudenda

(16)

commit to user

bercabang-cabang dalam kapsula dan stroma, dan berakhir sebagai jala-jala kapiler dalam lamina propria. Pembuluh vena mengikuti jala-jalannya arteri dan bermuara ke pleksus sekeliling kelenjar. Pleksus vena mencurahkan isinya ke vena iliaca interna. Pembuluh limfe mulai sebagai kapiler dalam stroma dan mengikuti pembuluh darah dam mengikuti pembuluh darah. Limfe terutama dicurahkan ke nodus iliaca

interna dan nodus sacralis. Persarafan prostat berasal dari plexus hypogastricus inferior dan membentuk plexus prostaticus. Prostat

mendapat persarafan terutama dari serabut saraf tidak bermielin. Beberapa serat ini berasal dari sel ganglion otonom yang terletak di kapsula dan di stroma. Serabut motoris, mungkin terutama simpatis, tampak mempersarafi sel-sel otot polos di stroma dan kapsula sama seperti dinding pembuluh darah (Dwindar dan Israr, 2008).

b. Fisiologi Prostat

Kelenjar prostat mengeluarkan cairan alkalis yang menetralkan cairan vagina yang asam, suatu fungsi penting karena sperma lebih dapat bertahan hidup dalam lingkungan yang sedikit basa. Prostat juga menghasilkan enzim-enzim pembekuan dan fibrinolisin. Enzim-enzim pembekuan prostat membekukan semen sehingga sperma yang diejakulasikan tetap tertahan di saluran reproduksi wanita saat penis ditarik keluar. Segera setelah itu, bekuan seminal diuraikan oleh

(17)

commit to user

xvii

fibrinolisin sehingga sperma motil yang dikeluarkan dapat bebas bergerak di dalam saluran reproduksi wanita (Sherwood, 2001).

2. Pembesaran Prostat Jinak a. Definisi

Pembesaran prostat jinak atau Benign Prostatic Hypertrophy (BPH) adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat, dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa (Wilson dan Hillegas, 2005).

b. Faktor Risiko

Tidak ada bukti yang meyakinkan mengenai korelasi antara faktor-faktor lain selain usia dalam peningkatan kejadian BPH. Merokok juga diduga sebagai faktor yang berhubungan dengan prostatektomi, namun ras, habitus, riwayat vasektomi, kebiasaan seksual dan penyakit-penyakit lain serta obat-obatan belum ditemukan mempunyai korelasi dengan peningkatan kejadian BPH (Dwindra dan Israr, 2008).

c. Etiopatogenesis

Penyebab BPH belum jelas. Beberapa yang teori telah dikemukakan di antaranya:

(18)

commit to user

1) Teori DHT (dihidrotestosteron): testosteron dengan bantuan enzim

5-α-reductase dikonversi menjadi DHT yang merangsang

pertumbuhan kelenjar prostat.

2) Teori reawakening, yaitu jaringan kembali seperti perkembangan pada masa embriologik (jaringan periuretral tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya). Teori ini berdasarkan kemampuan stroma untuk merangsang pertumbuhan epitel. Menurut Mc Neal, seperti pada embrio, lesi primer BPH adalah penonjolan kelenjar yang kemudian bercabang menghasilkan kelenjar-kelenjar baru di sekitar prostat. 3) Teori stem cell hypotesis. Isaac dan Coffey mengajukan teori ini

berdasarkan asumsi bahwa pada kelenjar prostat, selain ada hubungannya dengan stroma dan epitel, juga ada hubungan antara jenis-jenis sel epitel yang ada di dalam jaringan prostat. Stem sel akan berkembang menjadi sel aplifying. Keduanya tidak tergantung pada androgen. Sel aplifying akan berkembang menjadi sel transit yang tergantung secara mutlak pada androgen, sehingga dengan adanya androgen sel ini akan berproliferasi dan menghasilkan pertumbuhan prostat yang normal.

4) Teori growth factors. Teori ini berdasarkan adanya interaksi antara unsur stroma dan unsur epitel prostat yang berakibat BPH. Faktor pertumbuhan ini dibuat oleh sel-sel stroma di bawah pengaruh androgen. Adanya ekspresi berlebihan dari epidermis growth factor (EGF) dan/atau fibroblast growth factor (FGF) dan/atau adanya

(19)

commit to user

xix

penurunan ekspresi transforming growth factor- b (TGF-b), akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan pertumbuhan prostat dan menghasilkan pembesaran prostat (Argie, 2008).

Namun demikian, diyakini ada dua faktor penting penyebab terjadinya BPH, yaitu adanya dihidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Dihidrotestosteron yang berasal dari testosteron dengan bantuan enzim 5-α-reductase diperkirakan sebagai mediator utama pertumbuhan prostat. Dalam sitoplasma sel prostat ditemukan reseptor untuk dihidrotestosteron. Reseptor ini jumlahnya akan meningkat dengan bantuan estrogen. DHT yang dibentuk kemudian akan berikatan dengan reseptor membentuk kompleks DHT-reseptor yang kemudian masuk ke inti sel dan mempengaruhi RNA dan merangsang sintesis protein sehingga terjadi proliferasi sel. Dengan bertambahnya umur terdapat gangguan keseimbangan hormon testosteron dan estrogen. Diketahui bahwa jumlah androgen berkurang sehingga terjadi peninggian estrogen (hiperestrinisme) secara relatif. Estrogen diketahui mempengaruhi prostat bagian dalam (bagian tengah, lobus lateralis, dan lobus medius) hingga pada hiperestrinisme, bagian inilah yang mengalami hiperplasia (Kumar, Abbas, dan Fausto, 2005).

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen urethra

pars prostatica dan akan menghambat aliran urine. Keadaan ini

menyebabkan peningkatan tekanan di dalam kandung kemih. Untuk dapat mengeluarkan urine, kandung kemih harus berkontraksi lebih

(20)

commit to user

kuat guna melawan tekanan tersebut. Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan anatomik dari kandung kemih berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel kandung kemih. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi. Perubahan struktur pada kandung kemih dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau Lower

Urinary Tract Symptoms (LUTS) yang dahulu dikenal dengan

gejala-gejala prostatismus (Dwindra dan Israr, 2008).

Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urine. Tekanan di dalam kandung kemih yang semakin tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian kandung kemih tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan refluks vesico-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal (Irga, 2010). Proses kerusakan ginjal dipercepat apabila terjadi infeksi (Sjamsuhidajat, 2005).

Pada waktu miksi, penderita harus selalu mengedan sehingga lama-kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urine, dapat terbentuk urolithiasis di dalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria (Sjamsuhidajat, 2005).

(21)

commit to user

xxi

Infeksi saluran kemih dapat timbul sebagai komplikasi ataupun mempercepat terjadinya retensi urine (Muruganandham, Dubey, dan Kapoor, 2007). BPH juga mungkin berhubungan dengan disfungsi seksual (Tang dan Yang, 2009).

d. Gejala dan Tanda

Gejala pembesaran prostat jinak dibedakan menjadi dua kelompok:

1) Gejala obstruktif

Terjadi karena penyempitan uretra pars prostatica karena didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus (Sjamsuhidajat, 2005). Gejala obstruktif BPH terdiri dari pancaran melemah (poor stream), harus menunggu lama pada permulaan miksi (hesistency), miksi terputus-putus (intermittency), harus mengejan saat buang air kecil (straining), menetes pada akhir miksi (terminal dribbling), dan rasa belum puas setelah miksi (incomplete emptying) (Argie, 2008).

Obstruksi saluran kemih pada BPH menyebabkan terjadinya retensi urine akut. Retensi urine akut ditemukan pada hampir sepertiga penderita BPH yang menjalani terapi bedah (Muruganandham, Dubey, dan Kapoor, 2007).

(22)

commit to user 2) Gejala iritatif

Disebabkan pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna pada saat miksi atau karena pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada kandung kemih, sehingga kandung kemih sering berkontraksi meskipun belum penuh (Sjamsuhidajat, 2005). Gejala iritatif terdiri dari sering miksi (frequency), miksi sulit ditahan (urgency), buang air kecil malam hari lebih dari satu kali (nocturia), dan nyeri saat miksi (disuria) (Argie, 2008).

Kumpulan gejala yang ditandai dengan gejala obstruktif dan iritatif pada saluran kemih disebut Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS) (As’ari, et al., 2008). Lebih dari 50% pria berusia di atas 50 tahun mengalami sebagai manifestasi klinis dari BPH (Nickel, 2008).

Tanda klinis terpenting dalam BPH adalah ditemukannya pembesaran prostat pada pemeriksaan colok dubur/Digital Rectal

Examination (DRE). Ukuran dan konsistensi prostat perlu diketahui,

walaupun ukuran prostat yang ditentukan melalui DRE tidak berhubungan dengan derajat obstruksi (Argie, 2008).

e. Klasifikasi

Pembesaran prostat jinak terbagi dalam empat derajat berdasarkan gambaran klinisnya.

1) Derajat I: pada colok dubur didapatkan penonjolan prostat dengan batas atas mudah diraba. Sisa volume urine < 50 mL.

(23)

commit to user

xxiii

2) Derajat II: pada colok dubur didapatkan penonjolan prostat jelas dengan batas atas dapat dicapai. Sisa volume urine 50-100 mL. 3) Derajat III: pada colok dubur batas atas prostat tidak dapat diraba.

Sisa volume urine >100 mL.

4) Derajat IV: terdapat retensi urine total (Sjamsuhidajat, 2005).

f. Penegakan Diagnosis

Diagnosis BPH dapat ditegakkan melalui: 1) Anamnesis

Dilakukan untuk menilai gejala obstruktif dan gejala iritatif. 2) Pemeriksaan fisik

Colok dubur atau Digital Rectal Examination (DRE) merupakan pemeriksaan yang penting pada pasien BPH, di samping pemeriksaan fisik pada regio suprapubik untuk mencari kemungkinan adanya distensi kandung kemih. Dari pemeriksaan colok dubur dapat diperkirakan adanya pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya nodul yang merupakan salah satu tanda keganasan prostat (Hardjowijoto dan Taher, 2003).

3) Pemeriksaan pencitraan

a) Ultrasonografi transabdominal

Menilai saluran kemih bagian atas. Pemeriksaan ini lebih akurat dibandingkan urografi intravena untuk menilai residu urine. b) Ultrasonografi transrektal

(24)

commit to user

Pemindaian dilakukan setelah pemasangan transduser ke dalam rektum untuk menilai ukuran dan adanya massa yang terlokalisasi. Perbedaan penyakit yang jinak dan ganas dapat dengan jelas dibuat tanpa biopsi untuk analisis histologis (Patel, 2007).

4) Pemeriksaan pancaran urine atau flow rate

Dapat dilakukan dengan menghitung jumlah urine dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (mL/detik) atau dengan alat

uroflowmetre yaitu pencatatan tentang pancaran urine selama

proses miksi secara elektronik. Pada pasien BPH tampak laju pancaran urine berkurang. Hasil pemeriksaan pancaran urin tidak spesifik menunjukkan penyebab kelainannya. Pancaran urine yang lemah dapat disebabkan oleh obstruksi saluran kemih atau kelemahan otot detrusor (Hardjowijoto dan Taher, 2003).

5) Mengukur volume residu urine

Residu urine atau Post Voiding Residual Urine (PVR) adalah sisa urine yang tertinggal di dalam kandung kemih setelah miksi. Jumlah residu urine pada orang normal adalah 0,09-2,24 mL. Pemeriksaan residu urine dapat dilakukan secara invasif dengan kateterisasi uretra setelah pasien berkemih, maupun non-invasif dengan mengukur sisa urine melalui USG. Pengukuran melalui kateterisasi lebih akurat dibandingkan dengan USG, tetapi tidak mengenakkan bagi pasien, dapat menimbulkan cedera uretra, dan

(25)

commit to user

xxv

menimbulkan infeksi saluran kemih. Peningkatan volume residu urine tidak selalu menunjukkan beratnya obstruksi. Namun, bagaimanapun adanya residu urine menunjukkan telah terjadi gangguan miksi (Hardjowijoto dan Taher, 2003).

g. Penatalaksanaan

Ada beberapa pilihan terapi pasien BPH, di mana terapi spesifik dapat diberikan untuk pasien kelompok tertentu. Untuk pasien dengan gejala ringan dapat dengan hanya dilakukan watchful waiting, yaitu observasi saja tanpa pengobatan. Pasien diberi nasihat agar mengurangi minum setelah makan malam agar mengurangi nokturia, menghindari obat-obat parasympatholytic (misalnya dekongestan), mengurangi kopi, dan melarang meminum minuman beralkohol agar tidak terlalu sering buang air kecil. Penderita dianjurkan untuk kontrol setiap tiga bulan untuk diperiksa gejala, pancaran urin, dan TRUS. Bila terjadi kemunduran, segera diambil tindakan (Argie, 2008).

Terapi medika mentosa terdiri dari penghambat adrenergik, fitoterapi, dan hormonal. Terapi paling akhir yang dilakukan adalah operasi. Indikasi absolut dilakukan operasi adalah retensi urine berat (retensi urine yang gagal dengan pemasangan kateter urine sedikitnya satu kali), infeksi saluran kencing berulan, gross hematuria berulang, batu kandung kemih, insufisiensi ginjal, dan diverticula kandung kemih (Dwindra dan Israr, 2008).

(26)

commit to user 3. Ultrasonografi

a. Pengertian

Ultrasonografi (USG) merupakan salah satu imaging diagnostic (pencitraan diagnostik) untuk pemeriksaan alat-alat tubuh, di mana pemeriksa dapat mempelajari bentuk, ukuran anatomis, gerakan, serta hubungan dengan jaringan sekitarnya (Boer, 2005). Ultrasonografi menggunakan gelombang suara berfrekuensi tinggi (1-10 MHz), yang dihasilkan oleh kristal piezo-elektrik pada transduser (Patel, 2007).

b. Cara Kerja USG

Transduser bekerja sebagai pemancar dan sekaligus penerima gelombang suara. Pulsa listrik yang dihasilkan oleh generator diubah menjadi energi akustik oleh transduser, yang dipancarkan dengan arah tertentu pada bagian tubuh yang dipelajari. Sebagian akan dipantulkan dan sebagian lagi akan merambat terus menembus jaringan yang akan menimbulkan bermacam-macam eko (pantulan gelombang ultrasonik) sesuai dengan jaringan yang dilaluinya.

Pantulan eko yang berasal dari jaringan-jaringan tersebut akan membentur transduser, dan kemudian diubah menjadi pulsa listrik lalu diperkuat dan selanjutnya diperlihatkan dalam bentuk cahaya pada layar osiloskop. Dengan demikian, bila transduser digerakkan seolah-olah

(27)

commit to user

xxvii

pemeriksa melakukan irisan-irisan pada bagian tubuh yang diinginkan, dan gambaran irisan-irisan tersebut akan dapat dilihat pada monitor.

Masing-masing jaringan tubuh mempunyai hambatan akustik tertentu. Dalam jaringan yang heterogen akan ditimbulkan bermacam-macam eko, jaringan tersebut dikatakan ekogenik. Sedang pada jaringan yang homogen hanya sedikit atau sama sekali tidak ada eko, disebut anekoik atau bebas eko. Dengan demikian kista dan suatu massa solid akan dapat dibedakan (Boer, 2005).

Tulang dan udara merupakan konduktor suara yang buruk sehingga tidak dapat divisualisasi dengan baik, sedangkan cairan memiliki kemampuan menghantarkan suara dengan sangat baik (Patel, 2007).

c. Pemakaian Klinis

USG digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dalam berbagai kelainan organ tubuh. USG digunakan antara lain untuk menemukan dan menentukan letak massa dalam rongga perut dan pelvis, membedakan kista dengan massa yang solid, mempelajari pergerakan organ (jantung, aorta, dan vena cava) maupun pergerakan janin dan jantungnya, pengukuran dan penentuan volume, pengukuran aneurisma arteri, fetal cephalometry, menentukan kedalaman dan letak suatu massa untuk biopsi, menentukan volume massa ataupun organ tubuh tertentu (misalnya kandung kemih, ginjal, kandung empedu, ovarium, uterus, dan lain-lain), memonitor arah dan gerakan jarum

(28)

commit to user

menuju sasaran dalam biopsi jarum terpimpin, serta menentukan perencanaan dalam suatu radioterapi berdasarkan besar tumor dan posisinya (Boer, 2005).

d. Kelebihan USG

USG memiliki kelebihan dibandingkan pemeriksaan radiologis yang lain, yaitu bersifat non-invasif, dapat digunakan untuk melihat pergerakan organ, sifat jaringan-jaringan yang dicitrakan dapat dibedakan, alat USG kecil dan dapat dibawa ke mana-mana, pemeriksaan tidak memerlukan waktu yang lama, berbagai bidang organ tubuh dapat diperiksa, tenaga listrik yang diperlukan hanya sedikit, tidak memerlukan alat-alat tambahan, memungkinkan tindakan biopsi jaringan yang tepat, serta peralatan relatif lebih murah jika dibandingkan dengan alat rontgen diagnostik khusus, kedokteran nuklir, tomografi komputer, dan alat magnetic resonance (Ilyas dan Budyatmoko, 2005).

e. Kekurangan USG

Kekurangan USG dibandingkan pemeriksaan radiologi yang lain yaitu tergantung pada kemampuan operator, ketidakmampuan suara untuk menembus gas atau tulang yang menyebabkan visualisasi yang kurang baik pada struktur-struktur di bawahnya, dan penyebaran

(29)

commit to user

xxix

gelombang suara saat melewati lemak menghasilkan citra yang buruk pada pasien obesitas (Patel, 2007).

f. Gambaran BPH pada Pemeriksaan USG

Pada pemeriksaan USG, BPH terlihat sebagai pembesaran kelenjar pada zona sentral, nodul hipoekoid atau campuran ekogenik, kalsifikasi di antara zona sentral, dan volume prostat lebih dari 30 mL (Irga, 2010).

g. Penggunaan USG untuk Mengukur Volume Prostat

Untuk kepentingan klinis dan penelitian, volume prostat merupakan sebuah parameter penting. Berbagai teknik radiografi sering digunakan untuk menetukan volume prostat secara akurat. Namun tidak mudah untuk mendapatkan gambaran prostat yang memuaskan karena prostat terletak jauh di dalam pelvis dibelakang pubis dan prostat tidak dapat menyerap zat kontras. Volume prostat dapat diukur dengan berbagai cara menggunakan USG (Bapat, et al., 2006).

Pemeriksaan USG secara transrektal (TRUS), digunakan untuk mengetahui besar dan volume prostat, adanya kemungkinan pembesaran prostat maligna sebagai petunjuk untuk melakukan biopsi aspirasi prostat, menentukan jumlah residu urine, dan mencari kelainan lain pada kandung kemih. Pemeriksaan USG secara transabdominal (TAUS) dapat mendeteksi adanya hidronefrosis ataupun kerusakan ginjal akibat obstruksi BPH yang lama (Citra, 2009).

(30)

commit to user

Pada TAUS, visualisasi dari kelenjar prostat mungkin terganggu oleh tulang pubis atau kapasitas kandung kemih yang kecil. TRUS memberikan gambaran prostat yang lebih tepat karena jarak transduser ke prostat minimal (Bapat, et al., 2006). Walaupun demikian, Chung, et

al. (2004) menyebutkan secara statistik tidak ada perbedaan yang

bermakna antara ultrasonografi transabdominal dan transrektal dalam penentuan volume prostat.

Berbagai rumus telah digunakan untuk menetukan volume prostat, yang paling umum digunakan adalah rumus ellipsoid yaitu volume prostat = panjang A-P x panjang cranio-caudal x panjang transversal x 0.52 (л/6) dalam mL (Bapat, et al., 2006).

4. Leukosituria a. Definisi

Leukosituria adalah pengeluaran leukosit di dalam urine (Dorland, 2002). Leukosit dapat berasal dari bagian manapun dari saluran kemih. Leukosit hingga 4 atau 5 per lapang pandang kuat umumnya masih dianggap normal. Terdapatnya leukosit dalam jumlah banyak di urine disebut piuria (Wirawan, Immanuel, dan Dharma, 2008).

b. Patofisiologi

Peningkatan jumlah leukosit dalam urine (leukosituria atau piuria) umumnya menunjukkan adanya infeksi saluran kemih baik bagian atas

(31)

commit to user

xxxi

atau bawah, sistitis, pielonefritis, atau glomerulonefritis akut. Leukosituria juga dapat dijumpai pada febris, dehidrasi, stress, leukemia tanpa adanya infeksi atau inflamasi, karena kecepatan ekskresi leukosit meningkat yang mungkin disebabkan karena adanya perubahan permeabilitas membran glomerulus atau perubahan motilitas leukosit. Pada suasana pH alkali leukosit cenderung berkelompok. Leukosit dalam urine juga dapat merupakan suatu kontaminan dari saluran urogenital, misalnya dari vagina dan infeksi serviks, atau

meatus urethra externa pada laki-laki (Ihsan, 2010).

Jika terdapat leukosituria dengan biakan bakteri yang negatif maka harus dipertimbangkan kemungkinan TBC ginjal, batu saluran kencing, papiler nekrosis, atau uretritis kronik. Neutrofil dalam urine akan meningkat pada penyakit proliferatif glomerulopati dan nefritis interstisialis. Eosinofiluria terjadi pada nefritis interstisialis alergika, glomerulonefritis, prostatitis, pielonefritis kronik, dan skistosomiasis. Limfosituria dapat merupakan tanda dini rejeksi akut pada pasien transplantasi (Effendi dan Markum, 2006).

c. Cara Pemeriksaan

Pemeriksaan mikroskopik diperlukan untuk mengamati sel dan benda berbentuk partikel lainnya. Cara pemeriksaannya didahului dengan pengambilan spesimen urine segar kira-kira 50 mL atau lebih dengan menggunakan wadah kering dan bersih. Spesimen segera

(32)

commit to user

dibawa ke laboratorium dalam waktu 30 menit. Spesimen urine pagi hari sebaiknya diambil sebelum makan pagi. Spesimen tersebut harus didinginkan selama 6-8 jam. Sebaiknya urine yang digunakan adalah urine pancaran tengah (Kee, 2008).

Sebelum diamati dengan mikroskop, sampel urine dihomogenkan kemudian dipindahkan ke dalam tabung pemusing sebanyak 10 mL. Selanjutnya dipusingkan dengan kecepatan relatif rendah (sekitar 1500- 2000 rpm) selama 5 menit. Tabung dibalik dengan cepat (decanting) untuk membuang supernatan sehingga tersisa endapan kira-kira 0,2-0,5 mL. Endapan diteteskan ke object glass dan ditutup dengan cover glass. Jika hendak dicat dengan dengan pewarna Stenheimer-Malbin, endapan ditetesi dengan 1-2 tetes cat tersebut, kemudian dikocok dan dituang ke

object glass dan ditutup dengan cover glass. Endapan pertama kali

diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran rendah menggunakan lensa objektif 10x, disebut Lapang Pandang Kecil (LPK) atau Low

Power Field (LPF) untuk mengidentifikasi benda-benda besar seperti

silinder dan kristal. Selanjutnya, pemeriksaan dilakukan dengan kekuatan tinggi menggunakan lensa objektif 40x, disebut Lapang Pandang Besar (LPB) atau High Power Field (HPF) untuk mengidentifikasi sel (eritrosit, lekosit, dan epitel), ragi, bakteri,

Trichomonas, filamen lendir, serta sel sperma (Ihsan, 2010).

Karena jumlah elemen yang ditemukan dalam setiap bidang dapat berbeda dari satu bidang ke bidang lainnya, beberapa bidang dirata-rata.

(33)

commit to user

xxxiii

Berbagai jenis sel yang biasanya digambarkan sebagai jumlah tiap jenis ditemukan per rata-rata lapang pandang kuat. Jumlah silinder biasanya dilaporkan sebagai jumlah tiap jenis yang ditemukan per lapang pandang lemah (Ihsan, 2010).

d. Interpretasi Hasil

Normal : 0-4 leukosit per LPB + : 5-20 leukosit per LPB + + : 20-50 leukosit per LPB + + + : 50-100 leukosit per LPB

+ + + + : >100 leukosit per LPB (Ihsan, 2010)

(34)

commit to user Proliferasi sel prostat

BPH Infeksi saluran kemih Urolithiasis Obstruksi uretra pars prostatica Retensi urine Kateterisasi Tekanan intravesical ↑ Volume prostat ↑ Leukosituria Trauma Iritasi kandung kemih Dehidrasi Stres Febris Leukimia ? Keterangan : : diteliti : tidak diteliti

(35)

commit to user

xxxv C. Hipotesis

Terdapat korelasi antara kejadian leukosituria dan volume prostat penderita pembesaran prostat jinak pada pemeriksaan ultrasonografi.

(36)

commit to user BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat observasional analitik retrospektif dengan pendekatan rancangan cross sectional menggunakan data dari rekam medik.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Instalasi Radiologi dan Instalasi Rekam Medik Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi Surakarta antara bulan Mei sampai September tahun 2010.

C. Subjek Penelitian

1. Populasi : Pasien BPH yang dilakukan pemeriksaan USG urologi di

.Instalasi Radiologi Rumah Sakit Umum Daerah dr.

.Moewardi Surakarta dan pemeriksaan urine.

2. Sampel : Pasien BPH yang dilakukan pemeriksaan USG urologi di

.Instalasi Radiologi Rumah Sakit Umum Daerah dr.

.Moewardi Surakarta dan pemeriksaan urine antara bulan

(37)

commit to user

xxxvii D. Teknik Sampling

Teknik pengambilan sampel yang dipakai adalah total sampling dengan kriteria:

1. Inklusi :

a. Pasien berusia 50 tahun atau lebih.

b. Pasien yang diagnosis penyakitnya adalah BPH berdasarkan hasil pemeriksaan Patologi Anatomi (PA).

c. Pasien yang dilakukan pemeriksaan USG urologi sekaligus pemeriksaan urine antara bulan Januari 2008 sampai Juni 2010. d. Pasien yang dilakukan pemeriksaan USG urologi oleh salah seorang

ahli radiologi dengan teknik TAUS.

e. Pasien BPH yang telah dilakukan pemasangan kateter.

2. Eksklusi :

a. Semua yang dilakukan pemeriksaan radiologi selain USG urologi atau yang dilakukan pemeriksaan USG tanpa pemeriksaan urine. b. Semua yang dilakukan pemeriksaan USG urologi dengan diagnosis

selain BPH.

c. Penderita leukosituria yang disebabkan antara lain: batu saluran kemih, trauma saluran kemih selain karena pemasangan kateter, febris, dehidrasi, dan leukemia.

(38)

commit to user

Populasi

Sampel

Volume Prostat Leukosit urine

Analisis Data

Pemeriksaan urine Pemeriksaan USG

Data Uji Korelasi Data

Spearman

F. Identifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel bebas : Volume prostat pada pemeriksaan USG 2. Variabel terikat : Leukosit urine

3. Variabel luar : a. Dapat dikendalikan :

(39)

commit to user

xxxix 1) Teknik pemeriksaan USG. 2) Operator yang melakukan USG.

3) Cara pemeriksaan leukosit urine pada pasien. b. Tidak dapat dikendalikan :

Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi terdapatnya leukosit urine.

G. Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Variabel bebas : Volume prostat pada pemeriksaan USG

Volume prostat normal 20 mL. Volume prostat pada penelitian ini diukur dengan pemeriksaan USG prostat yang dihitung dengan rumus

ellipsoid yaitu volume prostat = panjang A-P x panjang cranio-caudal x

panjang transversal x 0.52 (л/6) dalam mL.

Pada penelitian ini, volume prostat dibagi menjadi lima kelompok: Klasifikasi I : volume prostat sampai 20,00 mL

Klasifikasi II : volume prostat >20,00-40,00 mL Klasifikasi III : volume prostat >40,00-60,00 mL Klasifikasi IV : volume prostat >60,00-80,00 mL Klasifikasi V : volume prostat >80,00 mL

Cara pengukuran : Interpretasi hasil USG dan rumus ellipsoid.

Skala : Ordinal

(40)

commit to user

Leukosit urine yang dimaksud dalam penelitian ini adalah terdapatnya leukosit di dalam urine. Leukosituria dibagi menjadi lima kelompok: Klasifikasi I : normal (0-4 leukosit per LPB)

Klasifikasi II : + (>4-20 leukosit per LPB) Klasifikasi III : + + (>20-50 leukosit per LPB) Klasifikasi IV : + + + (>50-100 leukosit per LPB) Klasifikasi V : + + + + (>100 leukosit per LPB) Cara pengukuran : Pemeriksaan laboratorium

Skala : Ordinal

3. Variabel luar :

a. Dapat dikendalikan (dengan homogenisasi) : 1) Teknik pemeriksaan USG.

Teknik pemeriksaan USG yang digunakan dalam penelitian ini adalah TAUS.

2) Operator yang melakukan USG.

Operator yang melakukan USG yang digunakan dalam penelitian ini adalah dr. Widiastuti, Sp. Rad.

3) Cara pemeriksaan leukosit urine pada pasien.

Leukosit urine diperiksa dengan analisis mikroskopik. b. Tidak dapat dikendalikan :

Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi terdapatnya leukosit urine.

(41)

commit to user

xli

Yang dimaksud di sini adalah faktor-faktor tidak terdeteksi yang dapat mempengaruhi terdapatnya leukosit urine, antara lain stress pada penderita BPH, aktivitas berlebihan sebelum pemeriksaan laboratorium, dehidrasi, febris, dan leukemia.

H. Alat dan Bahan Penelitian

Penelitian dilakukan dengan interpretasi hasil USG urologi oleh ahli radiologi pada pasien yang telah menjalani pemeriksaan USG urologi di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta dan rekam medis hasil pemeriksaan urine.

I. Cara Kerja

1. Tahap Persiapan

Mengumpulkan data pasien BPH yang telah melakukan pemeriksaan USG urologi dan pemeriksaan urine.

Lembar data penelitian terlampir.

2. Tahap Pelaksanaan

Tabulasi data yang didapat dari rekam medik. 3. Tahap Akhir

Analisis data-data yang diperoleh baik dari hasil pemeriksaan USG urologi maupun dari rekam medis hasil pemeriksaan urine.

(42)

commit to user J. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil penelitian akan dianalisis dengan uji korelasi Spearman Rank (Rho). Uji ini digunakan untuk mengukur tingkat atau eratnya hubungan antara dua variabel yang berskala ordinal (Hidayat, 2007).

(43)

commit to user

xliii

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Untuk mengetahui ada tidaknya korelasi antara leukosituria dengan

volume prostat penderita BPH, telah dilakukan penelitian antara bulan Mei

sampai September 2010. Jumlah sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan

eksklusi sebanyak 28 sampel.

Distribusi umur subjek penelitian:

Diagram 1. Distribusi Umur Subjek Penelitian

Data penelitian yang dikumpulkan merupakan data rasio, untuk

memudahkan dalam melakukan analisis data tersebut dikonversi menjadi data

ordinal supaya derajat masing-masing variabel dapat terbaca. Pada semua kategori

usia terdapat pasien BPH. Persentase terbesar terdapat pada subjek yang berada

pada kelompok umur >69-79 tahun yakni sebesar 42,86% (12 orang). Kemudian

setelah itu dari persentase besar ke kecil adalah subjek yang berada pada

kelompok umur >59-69 tahun sebesar 32,14% (9 orang), kelompok umur 50-59

0 2 4 6 8 10 12 14 I II III IV Ju m lah S am pe l Umur I = 50-59 tahun II = >59-69 tahun III = >69-79 tahun IV = >79-89 tahun

(44)

commit to user

tahun sebesar 14,29% (4 orang), dan kelompok umur >79-89 tahun sebesar

10,71% (3 orang).

Diagram 2. Distribusi Frekuensi Volume Prostat

Pada diagram 2 terlihat bahwa presentase terbesar terdapat pada

kelompok II yakni sebesar 46,43% (13 orang). Kemudian berturut-turut kelompok

III sebesar 35,71% (10 orang), kelompok V sebesar 10,71% (3 orang), dan

kelompok IV sebesar 7,14% (2 orang). Tidak ditemukan sampel pada kelompok I.

Dari diagram 2 dapat dilihat bahwa volume prostat pada semua sampel

lebih dari 20 mL, yang berarti lebih besar daripada volume prostat laki-laki

normal yaitu kurang dari 20 mL. Data lengkap mengenai volume prostat pada

sampel penelitian ini dapat dilihat pada lampiran 1.

0 2 4 6 8 10 12 14 I II III IV V Ju m lah S am pe l

Kelompok Volume Prostat

I = sampai 20,00 mL II = >20,00-40,00 mL III = >40,00-60,00 mL IV = >60,00-80,00 mL V = >80,00 mL

(45)

commit to user

xlv

Diagram 3. Distribusi Volume Prostat Berdasarkan Umur

Diagram 3 memperlihatkan bahwa pada kelompok umur 50-59 tahun, 3

orang (75%) memiliki volume prostat >20,00-40,00 mL dan 1 orang (25%)

memiliki volume prostat >40,00-60,00 mL. Untuk kelompok umur >59-69 tahun,

6 orang (66,67%) memiliki volume prostat >20,00-40,00 mL, 1 orang (11,11%)

memiliki volume prostat >40,00-60,00 mL, dan 2 orang (22,22%) memiliki

volume prostat >80 mL. Untuk kelompok umur >69-79 tahun, 2 orang (16,67%)

memiliki volume prostat >20,00-40,00 mL, 7 orang (58,33%) memiliki volume

prostat >40,00-60,00 mL, 2 orang (16,67%) memiliki volume prostat

>60,00-80,00 mL, dan 1 orang (8,33%) >80 mL. Sedangkan untuk kelompok umur

>79-89 tahun, 2 orang (66,67%) memiliki volume prostat >20,00-40,00 mL dan 1

orang (33,33%) memiliki volume prostat >40,00-60,00 mL. Hal ini menunjukkan

terdapat kecenderungan semakin meningkat usia maka volume prostat juga

semakin meningkat. 0 1 2 3 4 5 6 7 8 50-59 >59-69 >69-79 >79-89 Ju m lah S am pe l Umur (tahun) sampai 20,00 mL >20,00-40,00 mL >40,00-60,00 mL >60,00-80,00 mL >80 mL

(46)

commit to user

Sedangkan untuk distribusi frekuensi jumlah leukosit urine sampel

penelitian dapat dilihat pada diagram di bawah ini:

Diagram 4. Distribusi Frekuensi Jumlah Leukosit Urine

Pada diagram 4 terlihat bahwa persentase terbesar terdapat pada kelompok

II, yakni sebesar 39,29% (11 orang). Kelompok II menunjukkan kelompok pasien

dengan leukosituria (+). Kemudian berturut-turut kelompok I (leukosituria (-))

sebesar 32,14% (9 orang), kelompok III (leukosituria (++)) sebesar 14,29% (4

orang), kelompok V (leukosituria (++++)) sebesar 10,71% (3 orang), dan

kelompok IV (leukosituria (+++)) sebesar 3,57% (1 orang). Data lengkap

mengenai jumlah leukosit urine pada sampel penelitian ini dapat dilihat pada

lampiran 1. 0 2 4 6 8 10 12 I II III IV V Ju m lah S am pe l Kelompok Leukosituria I = 0-4/LPB II = >4-20/LPB III = >20-50/LPB IV = >50-100/LPB V = > 100/LPB

(47)

commit to user

xlvii

Diagram 5. Jumlah Kejadian Leukosituria pada Penderita BPH

Dari diagram 5 dapat dilihat bahwa 19 dari 28 (67,86%) sampel yang

positif BPH pada hasil pemeriksaan mikroskopis urine menunjukkan leukosituria

positif. Sedangkan 9 (32,14%) lainnya menunjukkan leukosituria negatif, yaitu

0-4/LPB.

Dari data penelitian, setelah diuji dengan uji statistik Spearman Rank

(Rho) didapatkan besarnya taraf signifikan 0,204 lebih besar dari 0,05 (Ho

diterima). Besarnya koefisien korelasi tata jenjang (ro) adalah 0,248, lebih kecil

dari harga kritik (rt) 0,377 pada taraf signifikan 5% dan 0,496 pada taraf

signifikan 1% (tabel harga kritik koefisien korelasi Rho terlampir). Jika ro ≥ rt

maka Ha diterima dan Ho ditolak, sedangkan jika ro < rt maka Ho diterima dan Ha

ditolak (Hartono, 2009). Dengan demikian, secara statistik tidak ada korelasi yang

signifikan antara kejadian leukosituria dengan volume prostat penderita BPH pada

pemeriksaan USG.

Koefisien korelasi 0,248 bertanda positif. Tanda positif menunjukkan

semakin meningkat volume prostat maka derajat leukosituria juga semakin

meningkat. Nilai koefisien korelasi (r) yang semakin mendekati ± 1 menunjukkan

19 67,86% 9 32,14% Dengan Leukosituria Tanpa Leukosituria

(48)

commit to user

semakin kuat hubungan antara dua variabel. Di bawah ini adalah tabel pedoman klasifikasi koefisien korelasi menurut ukuran yang konservatif beserta maknanya:

Tabel 1. Klasifikasi dan Interpretasi Koefisien Korelasi

r Interpretasi 0,000-0,200 0,200-0,400 0,400-0,600 0,600-0,800 0,800-1,000

Sangat rendah (tak berkorelasi) Rendah

Sedang Kuat Sangat kuat

Sumber: Hadi (1995) Jadi menurut interpretasi yang konservatif ini, koefisien korelasi 0,248 memiliki tingkat korelasi yang rendah dan positif. Akan tetapi interpretasi semacam ini sekarang sudah semakin ditinggalkan dan diganti dengan interpretasi yang didasarkan atas tabel nilai r.

(49)

commit to user

xlix BAB V PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian ini, jumlah pasien BPH semakin meningkat sesuai peningkatan umur. Hal ini sesuai dengan penelitian pada autopsi yang menyebutkan bahwa BPH terdapat pada 20% pria usia 41-50 tahun, 50% pria usia 51-60 tahun, 65% pria usia 61-70 tahun, 80% pria usia 71-80 tahun, dan 90% pria usia 81-90 tahun (Soetapa, Djatisoesanto, dan Soebadi, 2006). Terdapat pengecualian untuk kelompok umur >79-89 tahun dimana jumlah pasien BPH paling sedikit jika dibandingkan dengan kelompok umur lainnya. Penyebab sedikitnya jumlah sampel pada kelompok umur tersebut karena memang tidak banyak orang yang mencapai usia >79 tahun. Penyebab lainnya mungkin karena jumlah kunjungan ke rumah sakit untuk pasien pada kelompok umur tersebut memang sedikit.

Volume prostat pada semua sampel lebih dari 20 mL. Ini sesuai dengan hasil penelitian cross sectional tentang volume prostat yang dibandingkan dengan usia, yaitu volume prostat meningkat menjadi 25 mL pada pria berusia 30 tahun dan 35-45 mL pada pria berusia 70 tahun (Musa, et al., 2009).

Pada penelitian ini, terdapat kecenderungan semakin meningkat usia maka volume prostat juga semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan oleh Nickel (2003) bahwa volume prostat semakin meningkat seiring bertambahnya umur.

Hasil uji statistik dengan uji korelasi Spearman Rank (Rho) menunjukkan tidak ada korelasi yang signifikan antara kejadian leukosituria dengan volume

(50)

commit to user

prostat penderita BPH pada pemeriksaan USG. Walaupun 19 orang dari 28 sampel (67,86%) menunjukkan leukosituria positif, namun terkadang pasien BPH dengan volume prostat yang tidak terlalu besar pada pemeriksaan mikroskopik urine didapatkan jumlah leukosit urine yang sangat banyak, begitu juga sebaliknya.

Tidak adanya korelasi yang signifikan antara kejadian leukosituria dengan volume prostat dapat disebabkan oleh faktor-faktor berikut ini:

1. Obstruksi saluran kemih yang mengawali munculnya gejala dan komplikasi BPH tidak hanya berhubungan dengan volume prostat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lim, et al., (2006), protrusi prostat intravesikal dan volume prostat sama-sama memiliki korelasi yang baik dengan obstruksi saluran kemih. Namun yang paling berpengaruh terhadap terjadinya obstruksi saluran kemih adalah protrusi prostat intravesikal. Protrusi prostat intravesikal adalah suatu penonjolan prostat mulai dari leher buli-buli ke dalam rongga buli-buli yang mengakibatkan mekanisme ball valve di leher buli-buli, sehingga mengganggu aliran urine (Musa, et al., 2009).

2. Leukosituria pada penelitian ini dapat terjadi bila terdapat iritasi kandung kemih dan infeksi saluran kemih, di mana kedua keadaan ini diawali dengan adanya retensi urine. Banyak pasien BPH yang memeriksakan diri karena adanya gangguan miksi atau LUTS. Murugunandham, et al. (2007) menyebutkan bahwa laki-laki dengan retensi urine memiliki gejala LUTS rata-rata 32 bulan sebelum terjadinya retensi urine sehingga ada kemungkinan pada sampel belum terdapat retensi urine.

(51)

commit to user

li

3. Banyaknya penyebab leukosituria yang tidak berhubungan dengan gejala-gejala gangguan di saluran kemih. Leukosituria dapat dijumpai pada pasien yang melakukan aktivitas berlebihan sebelum pemeriksaan, febris, dehidrasi, dan stres (Ihsan, 2010). Ada kemungkinan pada penderita BPH juga terdapat faktor lain yang menyebabkan terjadinya leukosituria, di mana faktor lain ini tidak terdeteksi pada saat dilakukan penegakan diagnosis sehingga tidak tercantum di rekam medis.

4. Pasien yang tidak ditemukan leukosituria kemungkinan telah menjalani terapi antibiotik sehingga jumlah leukosit urine kembali normal.

Kelemahan penelitian ini adalah jumlah sampel terlalu sedikit jika dibandingkan dengan jumlah pasien BPH di rumah sakit. Sampel berjumlah 28 orang yang diambil dari pasien yang diperiksa di RSUD dr. Moewardi. RSUD dr. Moewardi sering digunakan sebagai tempat rujukan sehingga kasus BPH yang ditangani di rumah sakit ini mungkin berbeda dengan kasus BPH yang terjadi di fasilitas-fasilitas kesehatan yang lain. Dengan demikian, hasil penelitian ini dapat digunakan di RSUD dr. Moewardi dan rumah sakit-rumah sakit lain yang sejenis namun belum tentu mewakili gambaran kasus di masyarakat karena variasi kasus BPH di masyarakat akan lebih besar jika dibandingkan dengan variasi kasus yang masuk ke rumah sakit tertentu. Hasil penelitian akan lebih mewakili gambaran kasus BPH di masyarakat jika sampel diambil tidak hanya dari satu rumah sakit tertentu tetapi dari berbagai jenis fasilitas kesehatan yang ada di masyarakat.

(52)

commit to user BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Dari hasil penelitian mengenai korelasi kejadian leukosituria dengan volume prostat penderita BPH pada pada pemeriksaan USG di RSUD dr. Moewardi Surakarta, didapatkan data 67,86% pasien BPH mengalami leukosituria. Melalui analisis data ordinal didapat koefisien korelasi 0,248 lebih kecil dari r tabel dan taraf signifikan 0,204 lebih besar dari 0,05 sehingga secara statistik tidak ada korelasi yang signifikan antara kejadian leukosituria dengan volume prostat penderita BPH. Dengan demikian hipotesis terdapat korelasi antara kejadian leukosituria dan volume prostat penderita pembesaran prostat jinak pada pemeriksaan ultrasonografi tidak terbukti.

B. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai korelasi antara kejadian leukosituria dan volume prostat penderita BPH yang secara teori memiliki hubungan namun berdasarkan hasil penelitian ini tidak terbukti memiliki hubungan. Penelitian sebaiknya dilakukan dengan jumlah sampel yang lebih besar dan berasal dari berbagai jenis fasilitas kesehatan sehingga data yang diperoleh dapat digeneralisasikan ke populasi yang lebih besar. 2. Sebaiknya dibuat suatu prosedur tetap mengenai teknik pemeriksaan USG

untuk meminimalisir bias yang terjadi akibat penggunaan USG oleh operator yang berbeda. Salah satu manfaat prosedur tetap ini adalah jika

(53)

commit to user

liii

ada penelitian lain yang menggunakan USG, jumlah sampel yang diperoleh akan lebih banyak karena tidak dibatasi hanya satu operator. 3. Sebaiknya semua pasien BPH dilakukan pemeriksaan urine. Namun teknik

pemeriksaan urine menggunakan analisis mikroskopik memiliki kekurangan yaitu sering terdapat sel-sel yang hilang saat penanganan sampel dan pemindahan sampel ke slide (Young dan Soper, 2001). Solusi bagi permasalahan ini adalah pemeriksaan urine dilakukan dengan mesin urinalisis otomatis.

4. Kesulitan dalam penelitian ini adalah pada saat pengumpulan data yang sebagian masih menggunakan cara manual dari kertas-kertas rekam medik. Pada saat pengumpulan data didapati ada beberapa kertas yang telah rusak, tidak terbaca, atau hilang. Pada penelitian berikutnya sebaiknya data diambil menggunakan komputer.

(54)

commit to user DAFTAR PUSTAKA

Argie D. 2008. Pembesaran Prostat Jinak (Benign Prostate Hyperplasia).

http://argie-health.blogspot.com/ (10 maret 2010).

As’ari M., Alif S., Santoso A., Widodo J.P. 2008. Hubungan antara derajat

intravesical prostatic protrussion dengan Q max, volume prostat, dan international prostate symptom score pada pasien BPH dengan LUTS

tanpa komplikasi. Disertasi.

Bapat S.S., Purnapatre S.S., Pai K.V., Yadav P., Padhye A., Bodhe Y.G. 2006. Does estimation of prostate volume by abdominal ultrasonography vary with bladder volumee: A prospective study with transrectal ultrasonography as a reference. Indian J Urol. 22: 322-5.

Boer A. 2005. Ultrasonografi. Dalam: Iwan E. (ed). Radiologi Diagnostik. Edisi 2. Jakarta: Gaya Baru, p: 453-7.

Chung H.F., de Vries S.H., Raaijmakers R., Postma R., Bosch J.L.H.R., van Mastrigt R. 2004. Prostate volume ultrasonography: The influence of transabdominal versus transrectal approach, device type and operator. Eur

Urol. 46(3): 352-6.

Citra B.D. 2009. Benign Prostate Hyperplasia (BPH).

http://www.Files-of-DrsMed.tk (31 Maret 2010).

Dorland W.A.N. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC, pp: 1201, 2412.

Dwindra M., Israr Y.A. 2008. Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)/ Pembesaran

Prostat Jinak (PPJ).

http://yayanakhyar.wordpress.com/2008/04/25/benign-prostatic-hyperplasia-bph-pembesaran-prostat-jinak-ppj/ (10 Maret 2010).

Effendi I., Markum H.M.S. 2006. Pemeriksaan Penunjang pada Penyakit Ginjal. Dalam: A. W. Sudoyo, dkk (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, p: 506.

Goyal R., Dubey D., Mandhani A., Srivastava A., Kapoor R., Kumar A. 2006. Uroflowmetry, trans rectal ultra sonography and power doppler to develop a less invasive bladder outlet obstruction score in benign prostatic hyperplasia: A prospective analysis. Indian J Urol. 22: 125-9.

Hadi S., 1995. Metodologi Research Jilid 3. Yogyakarta: Penerbit Andi Offset, p: 275.

(55)

commit to user

lv

Hardjowijoto S., Taher A. 2003. Pedoman Penatalaksanaan BPH di Indonesia.

http://iaui.or.id/ast/file/bph.pdf (9 Maret 2010).

Hartono. 2006. SPSS 16.0: Analisis Data Statistika dan Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, p: 58.

Hidayat A.A.A. 2007. Metode Penelitin Kebidanan Teknik dan Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika, p: 140.

Ihsan. 2010. Urinalisis 2 (Analisis Mikroskopik).

http://labkesehatan.blogspot.com/2010/02/urinalisis-2-analisis-mikroskopik.html (9 Maret 2010).

Ilyas G., Budyatmoko B. 2005. Perkembangan Mutakhir Pencitraan Diagnostik

(Diagnostic Imaging). Edisi kedua. Jakarta: FKUI-RSCM, p: 12.

Irga. 2010. Benign Prostatic Hyperplasia.

http://www.irwanashari.com/2009/12/benign-prostatic-hyperplasia.html (31 Maret 2010).

Kee J.L. 2008. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik. Edisi 6. Alih Bahasa: Sari Kurnianingsih, Palupi Widyastuti. Jakarta: EGC, pp: 56-7.

Kumar V., Abbas A.K., Fausto N. 2005. Robbin’s and Cotran Pathologic Basis

and Disease. Philadelphia: Elsevier Saunders, pp: 1048-51.

Lim K.B., Ho H., Foo K.T., Wong M.Y.C., Fook-Chong S. 2006. Comparison of intravesical prostatic protrusion, prostate volume and serum prostatic-specific antigen in the evaluation of bladder outlet obstruction.

International Journal of Urology. 13(12):1509-13.

Muruganandham K., Dubey D., Kapoor R. 2007. Acute urinary retention in benign prostatic hyperplasia: Risk factors and current management. Indian

J Urol. 23: 347-53.

Musa A., Sabilal A., Adi S., Widodo J.P. 2009. Hubungan antara derajat

intravesical prostatic protrusion dengan Q max, volume prostat, dan international prostate symptom score pada pasien BPH dengan LUTS

tanpa komplikasi. JURI. 16(2): 43-7.

Nickel J.C. 2003. Benign prostatic hyperplasia: Does prostate size matter?. Rev

(56)

commit to user

Nickel J.C. 2008. Inflammation and benign prostatic hyperplasia. Urol Clin North

Am. 35(1): 109–15.

Patel P.R. 2007. Lecture Notes: Radiologi. Edisi kedua. Surabaya: Erlangga, pp : 7, 189.

Peterson A.C. 2008. Urologic Imaging Without X-rays - Ultrasonography, MRI,

and Nuclear Medicine.

http://emedicine.medscape.com/article/455553-overview (15 April 2010).

Sherwood L. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC, p: 705. Sjamsuhidajat R. (ed). 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC, pp: 782-5. Soetapa H., Djatisoesanto W., Soebadi D.M. 2006. Pengukuran volume prostat

pasien BPH menggunakan colok dubur dan USG transrektal dengan operator yang sama dibandingkan dengan pengukuran volume prostat menggunakan TAUS dengan operator yang berbeda. JURI. 14: 34-9. Sugandh S. 2008. Transrectal Ultrasonography (TRUS) of the Prostate.

http://emedicine.medscape.com/article/457757-overview (15 April 2010).

Tang J., Yang J.C. 2009. Etiopathogenesis of benign prostatic hyperplasia. Indian

J Urol. 25(3): 312-7.

Wilson L.M., Hillegas K.B. 2005. Gangguan Sistem Reproduksi Laki-Laki. Dalam: S. A. Price dan L. M. Wilson (eds). Patofisiologi Konsep Klinis

Proses-Proses Penyakit. Alih Bahasa: Brahm U. Pendit, dkk. Jakarta:

EGC, p: 1320.

Wirawan R., Immanuel S., Dharma S. 2008. Makroskopik Mikroskopik Urin:

Penilaian Hasil Pemeriksaan Urin.

http://task-list.blogspot.com/2008/11/makroskopik-mikroskopik-urin.html (9 Maret

2010).

Young J.L, Soper D.E. 2001. Urinalysis and urinary tract infection: update for clinicians. Infect Dis Obstet Gynecol. 9:249–55.

(57)

commit to user

Gambar

Diagram 1. Distribusi Umur Subjek Penelitian
Diagram 2. Distribusi Frekuensi Volume Prostat
Diagram 3. Distribusi Volume Prostat Berdasarkan Umur
Diagram 4. Distribusi Frekuensi Jumlah Leukosit Urine
+3

Referensi

Dokumen terkait

Uraian Kegiatan : Saat pelaksanaan kegiatan ini anak-anak sangat antusias dalam mengikuti kegiatan mading TPA, kegiatan ini juga meningkatnya kreatifitas anak-anak TPA

Teman-teman dari Universitas Mercu Buana yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah mendukung dan membantu penulis dalam penyusunan laporan ini sehingga penulis

Pembelajaran kontekstual (CTL) merupakan salah satu model pembe- lajaran yang menekankan pada keterlibatan lingkungan kehidupan dan penga- laman siswa dalam proses

Ilmu Kesehatan 'Aisyiyah Yograkarta di Yograkarta yang diselenggarakan oleh Persyarikatan Muhammadiyah di Yograkarta dan telah disahkan dengan Keputusan Menteri Hukum dan

Hence, aerial images’ orientation parameters can be employed to correct any overlapping data set as long as the registration with the target data set is accurate and reliable

The present study complements previous studies of impacts of various invasive species; however, the attempt to model Mikania micrantha invasion potential at CNP

3 that on average, the set of variables recommended by the forward selection method of logistic regression results in a slightly worse classification accuracy by means of random

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu, Izin adalah dokumen