SKRIPSI
SISTEM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT JENIS SENGON
(Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) DI DESA BURAT,
KECAMATAN KEPIL, KABUPATEN WONOSOBO,
PROVINSI JAWA TENGAH
FAISAL MAULANA RACHMAN SOEMARSONO
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
SISTEM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT JENIS SENGON
(Paraserianthes falcataria L Nielsen) DI DESA BURAT,
KECAMATAN KEPIL, KABUPATEN WONOSOBO,
PROVINSI JAWA TENGAH
FAISAL MAULANA RACHMAN SOEMARSONO
E 14103046SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
RINGKASAN
Faisal Maulana. Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat Jenis Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) di Desa Burat, Kecamatan Kepil, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah. Dibimbing oleh Ir. Emi Karminarsih, MS.
Hutan merupakan sumberdaya alam yang dalam penggunaannya dapat dipulihkan kembali (renewable). Pemanfaatan dan pengelolaan hutan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa mengabaikan aspek kelestariannya. Dalam prakteknya di lapangan masih didapatkan beberapa hal yang dirasa kurang maksimal dalam pengelolaan hutan, khususnya hutan rakyat. Karena pengelolaannya masih sederhana dan sangat bervariasi berdasarkan letak geografis dan perlakuan dari pemilik lahan. Dengan adanya beberapa cara pengembangan hutan rakyat dan dengan lebih intensifnya pengelolaan dengan cara yang lebih sustainable dengan daya dukung potensi sumberdaya hutan rakyat, kinerja pengusahaan, dinamika lingkungan dan faktor-faktor lainnya diharapkan hutan rakyat dapat menjadi suatu unit bisnis startegis yang mampu mempertahankan keberlangsungan produksi dan pengusahaanya dengan tetap memprioritaskan kelestarian hutannya.
Tujuan utama dari penelitian ini, adalah untuk mempelajari sistem pengelolaan hutan rakyat dan menyusun rencana pengaturan kelestarian produksi hutan rakyat sengon di Desa Burat, Kecamatan Kepil, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah. Sumber data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara kepada responden yang menangani produsen, pedagang, pengrajin industri dan industri pengolahan kayu. Data sekunder diperoleh dari Dinas Kehutanan Kabupaten Wonosobo, Kantor Kecamatan Kepil, Kantor Desa Burat dan browsing internet.
Metode analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif untuk data sekunder melalui hasil wawancara berdasarkan hasil kuisioner dan analisis kuantitatif untuk data primer yang berupa data potensi jenis sengon melalui pendugaan berdasarkan teknik sampling sederhana.
Sistem pengelolaan hutan rakyat di Desa Burat sifatnya masih sederhana, dalam hal ini dapat dibuktikan dari tahapan kegiatan pengelolaannya seperti penanaman, pemeliharaan, pemanenan serta pemasaran masih belum mengikuti pola yang sama. Hal ini disebabkan karena sistem informasi manajemen belum efektif untuk dapat diterima oleh masyarakat petani hutan Desa Burat. Faktor-faktor penunjang dalam pengelolaan hutan rakyat seperti sarana dan prasarana masih belum merata. Sistem kelembagaan serta kebijakan yang ada belum mendukung sepenuhnya kegiatan usaha pengembangan di bidang hutan rakyat sengon di Desa Burat.
Berdasarkan daur tebang ditetapkan yaitu 6 tahun (Dusun Geger Jeruk dan Krungsung) daur tebang 7 tahun (Dusun Burat, Kalibarong, Kalinongko, Kaliwang dan Krajan), maka untuk daur tebang 6 tahun dapat dipanen dan ditanam kembali jumlah pohon sengon sebanyak 1069-1118 pohon/ha, untuk daur butuh 3 tahun antara 535-559 pohon/ha, untuk daur butuh 1 tahun antara 178-186
pohon/ha, untuk daur butuh 6 bulan antara 89-93 pohon/ha dan untuk daur butuh 3 bulan antara 45-47 pohon/ha. Bagi dusun yang memberlakukan daur tebang 7 tahun maka jumlah batang yang bisa dipanen dan ditanam kembali sebanyak 226-893 pohon/ha, untuk daur butuh 3 tahun antara 97-383 pohon/ha, untuk daur butuh 1 tahun antara 32-128 pohon/ha, untuk daur butuh 6 bulan antara 16-64 pohon/ha dan untuk daur butuh 3 bulan antara 8-32 pohon/ha.
Kata kunci: Hutan, hutan rakyat, konsep kelestarian, sistem pengelolaan hutan rakyat, sustainable.
SUMMARY
Faisal Maulana. Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) Community Forest Management at Burat Village, Kepil Sub-District, Wonosobo Regency, Central Java. Guided by Ir. Emi Karminarsih, MS.
Forest is one of renewable resources. The goal of forest management and forest utilization is to increase society welfare without aside it’s sustainable aspect. In fact, there are several things that supposed to be maximal on forest management, especially in community forest. Community forest has simple management it also has diversity on geographical place and treatment from its land holder. With several ways on developing community forest and also more intensive community forest management with sustainable ways together with support capability from community forest resources potency, exertion activity , environmental dynamics and the other factors are expected to form community forest as a certain business strategic that capable to maintain sustainable production and utilization that also put forest sustainable as priority.
This research main objective is to learn community forest management and tabulate systemization of sustainable production planning of community forest at Burat Village, Kepil Sub-District, Wonosobo Regency, Central Java. Data taken in this research includes primary data from direct interview to land holder as producer, merchant, craftsman industry and timber industry. Secondary data taken from Forestry Department of Wonosobo Regency, Kepil Sub-District office, Burat Village office and internet browsing.
Analysis method that use in this research are qualitative analysis for secondary data based on interview result and quantitative analysis for sengon species potency as primary data that taken based on simple sampling technique.
Burat Village community forest has a simple management; it is proven by phases of utilization activity including planting, cultivation, harvesting, and marketing that haven’t follow the same pattern of management activity. This is occurring by ineffective management information that implement to all land holders at Burat community forest. There’s also misdistribution on supporting factors such as facility and infrastructure in Burat Village community forest. Institutional system and policy also cannot deliver utmost support for development of Burat Village sengon community forest management.
Rotation on every sub-village is determined by range of rotation on existing condition; there are two different rotations which is 6 years rotation (Geger Jeruk and Krungsung sub village) and 7 years rotation (Burat, Kalibarong, Kalinongko, Kaliwang and Krajan sub village). Sustainability concept for every sub village that implemented 6 years rotation is range 1069 – 1118 trees/ha that can be harvest or replant, 3 years period 535 – 559 trees/ha, 1 year period 1178 – 186 trees/ha, 6 months period 89 – 93 trees/ha and for 3 months period 45 – 47 trees/ha. Sustainability concept for every sub village that implemented 7 years rotation is range 226 – 893 trees/ha that can be harvest or replant, 3 years period 97 – 383 trees/ha, 1 year period 32 – 128 trees/ha, 6 months period 16 – 64 trees/ha and for 3 months period 8 – 32 trees/ha.
Keywords: Community forest, community forest management system, forest, sustainable, sustainability concept.
Judul Penelitian : Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat Jenis Sengon
(Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) di Desa Burat, Kecamatan Kepil, Kabupaten Wonosobo
Nama Mahasiswa : Faisal Maulana
NIM : E14103046
Menyetujui:
Pembimbing
Ir. Emi Karminarsih, MS NIP. 19470926 1980003 2 002
Mengetahui :
Dekan Fakultas Kehutanan,
Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr. NIP : 19611126 198601 1 001
PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini: Nama : Faisal Maulana Rachman S NRP : E 14103046
Menyatakan bahwa skripsi saya dengan judul ”Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat Jenis Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) di Desa Burat, Kecamatan Kepil, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah”. Merupakan karya tulis saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitka maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Nopember 2009
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 6 Desember 1984 sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan Drs. Gatot Soemarsono, M. Si dan Dra. Sutiyah. Pada tahun 2003 penulis lulus dari SMU Negeri 2 Bogor dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) IPB, Penulis memilih Program Studi Manajemen Hutan, Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan.
Selama menuntun ilmu di IPB, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan International Forestry Students’ Association Local Committee IPB (IFSA LC IPB). Pada tahun kepengurusan 2003-2004, penulis aktif sebagai member di Village Concept Project (VCP) Department. Pada tahun kepengurusan 2004-2005, penulis menjabat sebagai Vice Director IFSA LC IPB, aktif dalam Asian Chapter UNPC of IFSA World dan berkesempatan mewakili IPB dalam Java Overland Varsities English Debate (JOVED) di STT Telkom. Pada tahun kepengurusan 2005-2006, penulis menjabat sebagai Head of VCP Department, mewakili IFSA LC IPB untuk berpartisipasi dalam 33rd International Forestry Students’ Symposium (IFSS) di Australia bersama satu rekan mahasiswa Fakultas Kehutanan lainnya, lalu mewakili IFSA untuk konferensi South East Asia Youth Environment Networking (SEAYEN) di Pattaya, Thailand dan pada tahun yang sama menjabat sebagai Coordinator SEAYEN for Indonesia. Pada kepengurusan 2006-2007, penulis aktif kembali sebagai Coordinator SEAYEN for Indonesia, sekaligus mewakili IFSA untuk menghadiri konferensi kedua SEAYEN di Singapura. Pada kepengurusan 2007-2008 penulis berkesempatan untuk menghadiri The United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCC) di Nusa Dua Bali, lalu menghadiri konferensi ketiga SEAYEN di Kuta, Bali.
Penulis melakukan Praktek Perencanaan Pengelolaan Hutan (P3H) di Cilacap, Baturaden dan Getas pada tahun 2006, penulis juga melakukan Praktek Kerja Lapang di Perusahaan KORINDO, Perigi, Kalimantan Tengah pada tahun 2007. Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan Skripsi dengan judul Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat Jenis Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) di Desa Burat, Kecamatan Kepil, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah, dibawah bimbingan Ir. Emi Karminarsih, MS.
Ucapan Terima Kasih
Segala puji hanyalah miliki ALLAH SWT, karena dengan kasih sayang-Nya akhirnya skripsi dengan judul Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat Jenis
Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) Di Desa Burat, Kecamatan Kepil, Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah
Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan karya ini tentunya tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua tercinta, Ibunda Sutiyah, SE atas petunjuknya dalam menjalani hidup, pemberi semangat serta doa yang tak hentinya dipanjatkan. Ayahanda Gatot Soemarsono, SE, M.Si atas segala dukungan yang diberikan.
2. Adik tercinta Dita Maulani W G atas wajah dan senyum khasnya yang mengisi kehidupan sehari-hari penulis.
3. Ibu Ir. Emi Karminarsih, MS sebagai pembimbing utama yang telah membimbing dan mengarahkan dalam penyelesaian skripsi serta memberikan perbaikan pada mental penulis.
4. Bapa Dr. Ir. Burhannudin Masyud, MS selaku dosen penguji dari Departemen Konservasi hutan dan masukannya agar penulis menjadi pribadi yang lebih baik di masa yang akan datang.
5. Ibu Arinana, S.Hut, M.Si selaku dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan dan masukannya untuk perbaikan dalam penulisan skripsi.
6. Bapa Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr yang telah memberikan pengalaman lebih dalam kehidupan akademik penulis dan kesempatan yang diberikan untuk berinteraksi dengan dosen dan mahasiswa luar negeri serta dorongan dan semangat pada penulis agar menyelesaikan skripsi lebih cepat.
7. Fina Sofiana, S.P atas segala kesabaran dan dorongan yang diberikan hingga penulis dapat menyelesaikan studinya.
8. Bapa Supriyanto, DEA selaku penasehat kepala untuk IFSA LC IPB atas masukannya dalam menjalani kehidupan akademik maupun organisasi baik tingkat lokal, nasional dan internasional.
9. Kepada senior-senior IFSA LC IPB: Bang Rizal, Mas Danang, Mas Langlang, Kak Dinda, Mba Galuh, Mba Irma, Mba Ivonne atas segala saran dan kritikan yang telah membuat pribadi penulis menjadi lebih baik. 10. Kepada rekan-rekan satu angkatan dan satu perjuangan IFSA LC IPB:
Navalita, Sahab, Afin, Zainal, Mei dan Inna yang telah bekerjasama dengan tak kenal lelah untuk kemajuan IFSA LC IPB.
11. Kepada keluarga IFSA LC IPB yang telah menjadi bagian integral dalam diri penulis yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu.
12. Steffie Riski Prasetyani S.Hut yang memberikan semangat untuk penulis selama menyelesaikan skripsi.
13. Teman-teman kost Sengked: Richo, Hotman, Boy, Desman, Togu, Pesonk, Rudi, Ika, Dian, Ozzy dan Doris yang telah memperhatikan penulis dalam menyelesaikan skripsi.
14. Teman-teman Bogor Club: Arfan, Iskandar, Dali dan Dedi atas semangat yang diberikan pada penulis.
15. Rekan-rekan MNH ’40, BDH ’40, THH ’40 dan KSH ’40 atas segala pengalaman yang telah dilewati bersama yang tidak akan ternilai harganya selama studi di Fakultas Kehutanan IPB.
16. Rekan-rekan Laboratorium Inventarisasi Hutan: Pa Uus, Mas Edwin, Bejo, Priyo, Fatah, Fitri, Poce, Trias, Baki, dkk atas pertolongannya dalam penyelesaian skripsi penulis.
17. Teman-teman THH ’42: Widi, Nia, Amel dan Rita yang telah memperhatikan penulis dalam menyelesaikan skripsi.
18. Bapa Arbain Akhmad, S.P selaku General Manager PT. JALATAMA ARTHA BERJANGKA yang telah mengizinkan penulis mendapatkan cuti kantor selama proses penyelesaian skripsi.
19. Rekan-rekan di PT. JALATAMA ARTHA BERJANGKA: Kapoor, Sandy, Aldo, Dewi, Mba Dina dan Pa Yan yang telah memberikan semangat pada penulis untuk menyelesaikan skripsi.
20. Serta segala pihak yang telah membantu dan namanya tidak dapat ditulis satu persatu.
Bogor, November 2009
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ... i
DAFTAR TABEL ... iii
DAFTAR GAMBAR ... v DAFTAR LAMPIRAN ... vi BAB I. PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan Penelitian ... 3 1.3 Manfaat Penelitian ... 3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4
2.1 Hutan Rakyat ... 4
2. 1.2 Pengertian Hutan Rakyat ... 4
2. 1. 2 Sejarah Hutan Rakyat di Indonesia ... 5
2. 1. 3 Manfaat Hutan Rakyat ... 6
2. 1. 4 Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat ... 7
2. 1. 5 Penyebaran Hutan Rakyat ... 7
2. 1. 6 Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) ... 8
2. 2 Konsep Kelestarian ... 9
2.3 Pengaturan Hasil ... 11
BAB II. METODOLOGI PENELITIAN ... 14
3.1 Lokasi Penelitian ... 14
3.2 Alat dan Bahan Penelitian ... 14
3.3 Metode Penelitian ... 14
3.3.1 Persiapan ... 14
3.3.2 Pengumpulan Data Lapangan ... 14
3.3.3 Analisis Data ... 15
BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 19
4. 1 Kondisi Umum Desa Contoh ... 19
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 22
5. 1 Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Burat ... 22
5. 1. 1 Status Lahan ... 22 5. 1. 2 Modal ... 22 5. 1. 3 Sumberdaya Manusia ... 23 5. 1. 4 Pelaksanaan Kegiatan... 23 5. 1. 4. 1 Penanaman ... 23 5. 1. 4. 2 Pemeliharaan ... 24 5. 1. 4. 3 Pemanenan ... 25 5. 1. 4. 4 Pemasaran ... 25
5. 1. 4. 5 Unit Lembaga yang Menunjang ... 26
5.2 Kondisi Sosial Ekonomi Petani Hutan Rakyat... 27
5.3 Potensi Hutan Rakyat di Desa Burat ... 29
5.4 Pengaturan Hasil Hutan Rakyat di Desa Burat ... 30
5.5 Masa Depan Pengembangan Hutan Rakyat di Desa Burat 42
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 45
6. 1 Kesimpulan ... 45
6. 2 Saran ... 46
DAFTAR PUSTAKA ... 47
DAFTAR TABEL
Tabel Judul Halaman
Tabel 1 Luas hutan rakyat per provinsi berdasarkan alokasi sumber
dana ... 7 Tabel 2 Tata guna lahan Desa Burat ... 19 Tabel 3 Luas hutan rakyat di desa burat berdasarkan penyebaran di 7
dusun ... 20 Tabel 4 Persentase usia responden pada masing-masing dusun contoh . 28 Tabel 5 Persentase responden menurut tingkat pendidikan di
masing-masing dusun contoh ... 28 Tabel 6 Persentase dan jumlah responden menurut mata pencaharian
pada masing-masing dusun contoh ... 28 Tabel 7 Jumlah dan persentase responden menurut kepemilikan hutan
rakyat di masing-masing dusun contoh ... 29 Tabel 8 Data potensi hutan rakyat di Desa Burat ... 30 Tabel 9 Jumlah pohon yang ditanam atau ditebang untuk setiap
periode penanaman dan penebangan pada berbagai luasan
lahan di Dusun Burat ... 31 Tabel 10 Jumlah pohon yang ditanam atau ditebang untuk setiap
periode penanaman dan penebangan pada berbagai luasan
lahan di Dusun Geger Jeruk ... 33 Tabel 12 Jumlah pohon yang ditanam atau ditebang untuk setiap
periode penanaman dan penebangan pada berbagai luasan
lahan di Dusun Kalibarong ... 34 Tabel 13 Jumlah pohon yang ditanam atau ditebang untuk setiap
periode penanaman dan penebangan pada berbagai luasan
lahan di Dusun Kalinongko ... 36 Tabel 14 Jumlah pohon yang ditanam atau ditebang untuk setiap
periode penanaman dan penebangan pada berbagai luasan
Tabel 15 Jumlah pohon yang ditanam atau ditebang untuk setiap periode penanaman dan penebangan pada berbagai luasan
lahan di Dusun Krajan ... 39 Tabel 16 Jumlah pohon yang ditanam atau ditebang untuk setiap
periode penanaman dan penebangan pada berbagai luasan
DAFTAR GAMBAR
Gambar Judul Halaman
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Judul Halaman
Lampiran 1 Hasil Pengukuran Hutan Rakyat Dusun Krungsung ... 48 Lampiran 2 Hasil Pengukuran Hutan Rakyat Dusun Burat ... 51 Lampiran 3 Penyebaran Kelas-kelas Diameter Hutan Rakyat
Sengon Desa Burat ... 54 Lampiran 4 Pembagian Kelas Diameter Dusun-Dusun di Desa Burat 55 Lampiran 5 Data Potensi ... 59 Lampiran 6 Data Perhitungan Statistik ... 61 Lampiran 7 Kuisioner Penelitian ... 62 Lampiran 8 Peta Penyebaran Plot Contoh di Desa Burat
I. PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang
Hutan merupakan sumberdaya alam yang dalam penggunaannya dapat dipulihkan kembali (renewable). Pemanfaatan dan pengelolaan hutan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa mengabaikan aspek kelestariannya. Kelestarian sumberdaya hutan yang dimaksud adalah penyediaan hasil hutan yang teratur dan kontinyu yang dapat dimanfaatkan sesuai kapasitas atau kemampuan maksimum sumberdaya hutan tersebut.
Pada sumberdaya alam yang dapat dipulihkan terutama hutan, di dalam pendayagunaannya memerlukan pengelolaan yang tepat, yang sejauh mungkin mencegah atau mengurangi pencemaran lingkungan dan dapat menjamin kelestarian sumberdaya hutan untuk kepentingan generasi saat ini dan yang akan datang.
Dalam prakteknya di lapangan masih didapatkan beberapa hal yang dirasa kurang maksimal dalam pengelolaan hutan, khususnya hutan rakyat. Karena pengelolaannya masih sederhana dan sangat bervariasi berdasarkan letak geografis dan perlakuan dari pemilik lahan. Walaupun ada beberapa hutan rakyat yang telah memiliki pengelolaan yang baik, diantaranya adalah hutan rakyat damar mata kucing (Shorea javanica) di Krui, Lampung Barat dimana kelestarian hutannya didasarkan pada kearifan lokal (hukum adat) dan hutan rakyat di Wonogiri yang merupakan salah satu contoh pengelolaan hutan rakyat tersertifikasi. Secara umum sebagian besar usaha di bidang hutan rakyat massih menjalankan sistem pengelolaan yang bersifat tradisional.
Menurut definisi Undang-Undang Kehutanan No. 41 tahun 1999, hutan rakyat atau disebut juga hutan hak adalah merupakan hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik atas tanah. Salah satu karakteristik hutan rakyat inilah yang membedakan dengan sistem pengeloaan hutan negara dimana pengelolaan hutan rakyat masih tergantung kepada kepentingan si pemilik dan para petani hutan rakyat sebagian besar masih memiliki pengetahuan yang tebatas tentang pengelolaan secara lestari, walaupun mereka memiliki pengalaman yang tidak sedikit dalam pengetahuan bercocok tanam.
Atas dasar uraian diatas maka peneliti mencoba melakukan penelitian yang berkaitan dengan pengembangan usaha kayu rakyat dengan judul: Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat Jenis Sengon (Paraserianthes Falcataria (L) Nielsen) Di Desa Burat, Kecamatan Kepil, Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini:
1. Mempelajari sistem pengelolaan dan pengembangan hutan rakyat di Desa Burat, Kecamatan Kepil, Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah 2. Menyusun rencana pengaturan kelestarian hasil hutan rakyat jenis sengon
di Desa Burat, Kecamatan Kepil, Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah
1.3 Manfaat Penelitian
Dengan diterapkannya sistem pengaturan hasil hutan rakyat jenis sengon di Desa Burat, bila ditunjang dengan kinerja pengusaha yang mampu beradaptasi dengan dinamika faktor-faktor pendukung yang ada dan yang terus berkembang diharapkan sistem pengelolan hutan rakyat dengan konsep kelestarian di Desa Burat ini minimal dapat dipertahankan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Hutan Rakyat
2. 1. 1. Pengertian Hutan Rakyat
Hutan secara singkat dan sederhana didiefinisikan sebagai suatu ekosistem yang didominasi oleh pohon (Suharjito, 2000). Dalam buku Dictionary of Forestry yang diedit oleh John A. Helms (1998), Hutan adalah suatu ekosistem yang dicirikan oleh penutupan pohon yang kurang lebih padat dan tersebar, seringkali terdiri dari tegakan-tegakan yang beragam ciri-cirinya seperti komposisi jenis, struktur, kelas umur dan proses-proses yang terkait dan umumnya mencakup padang rumput, sungai-sungai kecil, ikan dan satwa liar
Hutan rakyat dalam pengertian menurut perundang-undangan (lihat UU No. 5/1967 dan penggantinya, UU No. 41/1999), adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Definisi ini diberikan untuk membedakan dari hutan negara, yaitu hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik atau tanah negara. Dalam pengertian ini, tanah negara mencakup tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat berdasarkan ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan adat atau aturan-aturan masyarakat lokal (biasa disebut masyarakat hukum adat).
Ada beberapa macam hutan rakyat menurut status tanahnya, diantaranya: 1. Hutan milik, yakni hutan rakyat yang dibangun di atas tanah-tanah milik. Ini adalah model hutan rakyat yang paling umum, terutama di Pulau Jawa. Luasnya bervariasi, mulai dari seperempat ha atau kurang sampai sedemikian luas sehingga bisa menutupi seluruh desa atau bahkan melebihinya.
2. Hutan adat, atau dalam bentuk lain: hutan desa, adalah hutan-hutan rakyat yang dibangun di atas tanah komunal; biasanya juga dikelola untuk tujuan-tujuan bersama atau untuk kepentingan komunitas setempat.
3. Hutan kemasyarakatan (HKm), adalah hutan rakyat yang dibangun di atas lahan-lahan milik negara, khususnya di atas kawasan hutan negara. Dalam hal ini, hak pengelolaan atas bidang kawasan hutan itu diberikan kepada sekelompok warga masyarakat; biasanya berbentuk kelompok tani hutan atau koperasi. Model ini jarang disebut sebagai hutan rakyat dan umumnya dianggap terpisah. Awang et
al (2001) menyarankan agar pengertiaan hutan rakyat diartikan sebagai hutan yang pengelolaannya dilaksanakan oleh organisasi masyarakat, baik pada lahan individu, komunal, lahan adat maupun lahan yang dikuasai oleh negara. Hutan rakyat tersusun dari satuan ekosistem kehidupan mulai tanaman keras, non-kayu, satwa, buah-buahan, satuan usaha tani semusim, peternakan dan barang-barang serta jasa rekreasi.
Selanjutnya Supriadi dalam Awang (2002) menyatakan bahwa pola pengembangan hutan rakyat dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya: A. Pola Swadaya
Hutan rakyat pola swadaya adalah hutan rakyat yang dibangun oleh kelompok atau perorangan dengan kemampuan modal dan tenaga dari kelompok atau perorangan itu sendir. Melalui pola ini masyarakat akan didorong agar mau dan mampu melaksanakan pembangunan hutan rakyat secara swadaya dengan bimbingan teknis dari kehutanan. Hutan rakyat akan diarahkan dan dikembangkan pada lahan masyarakat yang secara hidrologis kritis dan masyarakatnya mempunyai keterbatasan dalam hal pengetahuan.
B. Pola Subsidi (Model Hutan Rakyat)
Hutan rakyat pola subsidi adalah hutan rakyat yang dibangun melalui subsidi atau bantuan sebagian atau keseluruhan biaya pembangunannya. Subsidi atau bantuan diberikan oleh pemerintah (melalui Inpres Penghijauan, Padat Karya dan bantuan lainnya) atau dari pihak lain yang peduli terhadap pembangunan hutan rakyat, diarahkan dan dikembangkan pada lahan masyrakat secara hidrologis kritis dan masyarakatnya mempunyai keterbatasan dalam hal pengetahuan dan kemampuan.
C. Pola Kemitraan (Kredit Usaha Hutan Rakyat)
Hutan rakyat dibangun atas kerjasama masyarakat dan perusahaan swasta dengan intensif permodalan berupa kredit kepada rakyat dengan bunga ringan.
Dengan adanya beberapa cara pengembangan hutan rakyat dan dengan lebih intensifnya pengelolaan dengan cara yang lebih sustainable dengan daya dukung potensi sumberdaya hutan rakyat, kinerja pengusahaan, dinamika lingkungan dan faktor-faktor lainnya diharapkan hutan rakyat dapat menjadi suatu
unit bisnis startegis yang mampu mempertahankan keberlangsungan produksi dan pengusahaanya dengan tetap memprioritaskan kelestarian hutannya.
2. 1. 2. Sejarah Hutan Rakyat di Indonesia
Pemakaian kayu sengon yang agak berarti terjadi pada tahun 1951, ketika Wijnhamer seorang arsitek Belanda membangun stadium pacuan kuda di Bogor dengan menggunakan kayu sengon yang diawetkan seluruhnya (Djajapertjunda, 2003).
Di Indonesia hutan rakyat sudah banyak sejak tahun 1930-an, berupa hutan-hutan yang dihadiahkan oleh VOC kepada pengikut-pengikutnya yang berjasa. Kemudian hutan-hutan ini banyak mengalami kerusakan akibat perang. Kerusakan tersebut berulang kembali ketika pendudukan tentara Jepang dimana terjadi penebangan untuk memenuhi kebutuhan perang. Usaha perbaikan timbul setelah penyerahan kedaulutan tahun 1950. Gerakan-gerakan penghutanan kembali pada tanah yang gundul dianjurkan dimana-mana. Tahun 1952 di Jawa lahir gerakan Karangkitri yaitu gerakan yang dipelopori DinasPertanian Rakyat untuk menanami tanah kosong seperti tegakan dan sebagainya oleh rakyat atau pemiliknya dengan tanaman hutan yang bertujuan untuk melindungi tanah terhadap erosi. Sebagai hasil dari gerakan ini timbul hutan rakyat seperti yang terdapat di Jawa Barat (Ahmad, 1961 dalam Wahyuningsih, 1993).
Usaha-usaha penghutanan tanah milik berlangsung khususnya di Jawa barat. Tahun 1972 lahir gerakan Gandrung Tatangkalan (Rakgantang) yang menginstruksikan penanaman jenis-jenis pohon jeunjing, turi, manii, tanaman buah-buahan dan jenis-jenis kayu industri lainnya (Lembaga Penelitian IPB, 1990)
Gagasan pembentukan hutan rakyat dalam hal ini hutan rakyat Paraserianthes falcataria pernah dicetuskan oleh salah seorang rimbawan pada tahun 1950 untuk memenuhi kebutuhan akan kayu pulp dari pabrik kertas Notog (Nariodirejo, 1959 dalam Wahyuningsih, 1993). Sebagai informasi pada akhir tahun 2005 hutan rakyat di wilayah kabupaten Lumajang sendiri seluas 41.431,45 ha, yang didominasi tegakan pohon sengon seluas 12.470,86 ha (30,1%) (Dinas Kehutanan Lumajang, 2006)
2. 1. 3. Manfaat Hutan Rakyat
Menurut Djajapertjunda (2003), karena hutan rakyat adalah hutan, sama halnya seperti hutan-hutan lainnya yang tanamannya terdiri atas pohon sebagai jenis utamanya, maka perannya pun tidak banyak berbeda, yaitu:
1. Ekonomi, untuk memproduksi kayu dan meningkatkan industri kecil sebagai upaya untuk meningkatkan peranan dan jaringan ekonomi rakyat. 2. Sosial, dalam membuka lapangan pekerjaan.
3. Ekologi, sebagai penyangga kehidupan dalam mengatur tata air, mencegah bencana banjir, erosi dan sebagai prasarana untuk memelihara kualitas lingkungan hidup (penyerap karbon dioksida dan produsen oksigen). 4. Estetika, berupa keindahan alam.
5. Sumber, merupakan sumberdaya alam untuk ilmu pengetahuan, antara lain Ilmu Biologi, Ilmu Lingkungan dan lain-lain.
Menurut Simon (1995), hutan rakyat akan memperluas kesempatan kerja bagi penduduk yang bertempat tinggal di sekitar dan di dalam hutan. Pembangunan hutan tanaman rakyat akan melibatkan seluruh penduduk disekitarnya, sehingga akan memperoleh kesempatan untuk memanfaatkan waktunya secara maksimal.
Menurut Andayani (2005), pengusahaan sengon yang dilakukan petani melalui pola agroforestry ternyata sesuai dengan keinginan petani, karena melalui pola tersebut pemilik lahan akan memperoleh pendapatan usaha secara rutin setiap periode tertentu dan memberikan keuntungan finansial yang signifikan, meskipun dihitung berdasarkan tingkat bunga pasar yang berlaku.
2. 1. 4. Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat
Hardjanto (2000) mengemukakan ciri-ciri pengusahaan hutan rakyat sebagai berikut:
1. Usaha hutan rakyat dilakukan oleh petani, tengkulak dan industri dimana petani masih memiliki posisi tawar yang rendah.
2. Petani belum dapat melakukan usaha hutan rakyat menurut prinsip usaha dan prinsip kelestarian yang baik.
3. Bentuk hutan rakyat sebagian besar berupa budidaya campuran yang diusahakan dengan cara-cara sederhana.
4. Pendapatan dari hutan rakyat bagi petani masih diposisikan sebagai pendapatan sampingan dan bersifat insidentil dengan kisaran tidak lebih dari 10% dari pendapatan total
2. 1. 5. Penyebaran Hutan Rakyat
Hutan rakyat banyak dijumpai di pulau Jawa. Hal ini dibuktikan bahwa sekitar 50% dari luas hutan rakyat di Indonesi berada di pulau Jawa (Tabel 1). Tabel 1 Luas hutan rakyat per provinsi berdasarkan alokasi sumber dana
No Provinsi
HR HR HR HR HR
Jumlah (Ha)
Swadaya Subsidi KUHR DAK DR Gerhan
(Ha) (Ha) (Ha) (Ha) (Ha)
1 NAD 16.563,40 6.763,20 2.226,00 2.295,32 3.000,00 30.847,92 2 Sumut 45.692,10 1.075,00 677,00 280,00 8.480,00 56.204,10 3 Sumbar 38.993,80 0,00 0,00 80,00 14.682,00 53.755,80 4 Riau 10.337,00 0,00 600,06 719,00 7.375,00 19.031,06 5 Jambi 5.591,00 1.110,00 0,00 488,00 2.475,00 9.664,00 6 Sumsel 12.489,25 7.670,00 6.137,95 85,00 5.100,00 31.482,20 7 Bangka Belitung 0,00 0,00 0,00 0,00 645,00 645,00 8 Bengkulu 3.349,00 62,50 0,00 340,00 1.000,00 4.751,50 9 Lampung 225,50 100,00 0,00 0,00 13.700,00 14.022,50 10 DKI Jakarta 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 11 Jabar 86.900,74 15.012,00 12.521,40 1.538,00 50.552,00 166.524,14 12 Banten 8.861,00 0,00 1.150,66 0,00 9.600,00 19.611,66 13 Jateng 174.127,59 44.351,19 4.796,43 5.313,20 97.143,00 325.729,41 14 DIY 26.760,70 14.154,00 0,00 411,70 13.690,00 53.016,40 15 Jatim 84.738,07 18.980, 7.005,83 1.660,00 100.987,00 213.371,65 16 Bali 6.610,24 3.582,50 0,00 155,00 2.730,00 13.077,74 17 NTB 8.610,58 1.405,00 1.000,58 0,00 5.350,00 16.366,16 18 NTT 147.300,00 8.595,00 0,00 0,00 5.850,00 161.745,00 19 Kalbar 4.419,00 85,00 0,00 300,00 6.780,00 11.584,00 20 Kalteng 10.054,00 0,00 0,00 495,00 5.000,00 15.549,00 21 Kalsel 94.271,50 705,00 0,00 3.080,00 10.380,00 108.436,50 22 Kaltim 8.424,00 0,00 650,00 0,00 2.700,00 11.774,00 23 Sulut 4.481,00 33,00 350,00 25,00 3.500,00 8.389,00 24 Gorontalo 14.071,00 0,00 150,00 0,00 4.238,00 18.459,00 25 Sulteng 8.049,55 100,00 0,00 300,00 3.550,00 12.099,55 26 Sultra 705,00 450,00 0,00 725,00 3.100,00 4.980,00 27 Sulsel 134.962,25 6.856,39 3.520,00 308,00 18.937,00 164.583,64 28 Malut 0,00 0,00 0,00 0,00 4.650,00 4.650,00 29 Maluku 0,00 0,00 1.000,00 0,00 2.900,00 3.900,00 30 Papua 9.180,00 0,00 0,00 219,70 1.255,00 10.654,70
31 Irian Jaya Barat 2.960,00 0,00 0,00 0,00 550,00 3.510,00
Jumlah 966.722,27 131.090,53 41.785,91 18.917,92 409.899,00 1.568.415,63
Hal ini disebabkan karena telah lama dikenal dan dipraktekan oleh masyarakat secara tradisional dan turun temurun. Petani hutan rakyat umumnya telah melakukan kegiatan penanaman di lahan-lahan miliknya. Meskipun luas kepemilikan lahan di Pulau Jawa relatif lebih sempit dibandingkan dengan kepemilikan lahan di luar pulau Jawa, pada kenyataannya kepemilikan lahan rata-rata di pulau Jawa berkisar antara 0,25-1 ha per kepala keluarga. Namun demikian, hampir setiap KK di pulau Jawa mempunyai hutan rakyat. Hal ini disebabkan karena lokasi penanaman hutan rakyat di Jawa dilakukan di lahan-lahan pekarangan, kebun, talun, tegalan dan lain-lain.
2. 1. 6 Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen)
Pohon jenis sengon memiliki sebaran alami di daerah tropis diantaranya adalah Maluku, Papua Nugini, kep.Solomon dan Bismark. Merupakan species pionir, terutama di hutan hujan dataran rendah sekunder atau hutan pegunungan rendah. Tumbuh dari hutan pantai sampai ketinggian 1600 mdpl, optimum 0-800 mdpl. Dapat beradaptasi dengan iklim monsoon dan lembab dengan curah hujan 200-2700 mm/th dengan bulan kering sampai 4 bulan. Dapat ditanam pada lahan yang tidak subur tanpa dipupuk tetapi tidak tumbuh subur pada lahan berdrainase jelek. Salah satu species yang paling cepat tumbuh di dunia yaitu mampu tumbuh hingga 8 m/tahun dalam tahun pertama penanaman species ini juga memerlukan cahaya pada pertumbuhannya.
Pohon jenis sengon adalah poho berukuran sedang hingga besar, tinggi dapat mencapai 40 m, tinggi batang bebas cabang 20 m. Tidak memiliki banir, kulit licin, berwarna kelabu muda, bulat agak lurus. Diameter pohon dewasa bisa mencapai 100 cm atau lebih. Tajuk berbentuk perisai, jarang, selalu hijau. Daun majemuk, panjang dapat mencapai 40 cm, terdiri dari 8 – 15 pasang anak tangkai daun yang berisi 15 – 25 helai daun.
Pohon berukuran sedang sampai besar, tinggi dapat mencapai 40 m, tinggi batang bebas cabang 20 m. Tidak berbanir, kulit licin, berwarna kelabu muda, bulat agak lurus. Diameter pohon dewasa bisa mencapai 100 cm atau lebih. Tajuk berbentuk perisai, jarang, selalu hijau. Daun majemuk, panjang dapat mencapai 40 cm, terdiri dari 8 – 15 pasang anak tangkai daun yang berisi 15 – 25 helai daun. Pohon jenis sengon memiliki kelas kuat kayu tingkat 5 (tidak kuat) dan kelas awet
kayu 5 (tidak awet). Sehingga kayu jenis ini tidak dapat digunakan untuk kayu pertukangan khususnya kuda-kuda karena tidak memiliki kekuatan untuk menopang beban.
2. 2. Konsep Kelestarian
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia No. 41/1999 tentang Kehutanan, dalam pasal 10 (1) dinyatakan bahwa pengurusan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya serta serbaguna dan lestari untuk kemakmuran rakyat. Sementara dalam pasal 23, dinyatakan bahwa pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Dengan adanya kedua pasal ini, menyatakan bahwa tujuan pengelolaan hutan adalah untuk mensejahterakan seluruh masyarakat Indonesia.
Prinsip kelestarian hasil (Sustained Yield Principles) sudah lama dianut dalam pengusahaan hutan produksi. David dan Johnson (1987) dalam Suhendang (1993) mengatakan bahwa prinsip ini mulai dianut dan diterapkan sejak manusia mulai memikirkan keadaan masa depannya. Sementara menurut Departemen Kehutanan (1997), prinsip ini mulai dianut sejak dikeluarkannya Ordonansi Hutan oleh Raja Louis XIV di Perancis pada tahun 1669. Pada awalnya, konsep kelestarian hasil ini muncul dalam kegiatan pengusahaan hutan untuk keperluan produksi yaitu produksi kayu pada khususnya. Namun dalam pengembangannya, konsep ini berkembang sejalan dengan nilai manfaat hasil hutan bukan kayu, baik yang bersifat tangible maupun intangible. (Suhendang 1993)
Lestari secara sederhana, menurut Poerwardaminta (1976) dalam Winarno (1997) berarti tetap selama-lamanya, sementara kelestarian berarti keadaan yang tetap atau tidak berubah-ubah. Sementara, menurut Society of American Foresters (1958) dalam Meyer et al (1961), kelestarian hasil didefinisikan sebagai suatu kegiatan pengelolaan hutan untuk menghasilkan suatu kegiatan pengelolaan hutan untuk menghasilkan suatu produksi yang berkelanjutan, yang dilakukan dengan tujuan agar suatu keseimbangan antara pertumbuhan dan pemanenan dapat tercapai sesegera mungkin, dimana kelestarian ini dapat diperoleh dalam unit tahun maupun dalam unit periode waktu yang lebih lama. Agar kelestarian hasil ini dapat tercapai, maka menurut Meyer et al (1961) hasil periodik atau hasil
tahunan yang diekstrak haruslah ditentukan melalui suatu cara yang terbaik sehingga tidak menyebabkan terjadinya suatu pengurangan/penipisan actual growing stock yang tersedia. Hal ini, dengan kata lain berarti bahwa growing stock yang tersedia harus selalu mendekati keadaan normal, sehingga berkemampuan untuk memproduksi hasil yang diinginkan secara memadai. Meskipun demikian, yang patut diperhatikan adalah bahwa yang disebut keadaan normal (volume normal) dari suatu tegakan akan bervariasi. Variasi ini antara lain tergantung dari sistem silvikutur yang diterapkan serta pada besarnya ukuran dan kualitas rata-rata dari kayu yang ingin dihasilkan (Meyer et al, 1961).
Menurut Meyer et al (1961), suatu kelestarian hasil mensyaratkan adanya tiga hal berikut:
1. Fasilitas transportasi yang memadai, yang mampu membuat setiap bagian dari hutan yang dikelola dapat diakses dengan baik, baik saat sekarang maupun selama periode yang dibutuhkan.
2. Adanya penerapan sistem silvikultur yang mampu memastikan bahwa produk yang dihasilkan oleh hutan yang bersangkutan memadai dan dapat masuk ke pasar yang tersedia.
3. Adanya pasar yang secara ekonomi memadai untuk dapat menjamin tertampungnya hasil produksi tanpa disertai adanya fluktuasi yang tidak semestinya.
Menurut Davis (1966), produktivitas hutan yang lestari dapat dilihat dari dua segi. Yang pertama adalah sebagai kontinuitas pertumbuhan dan yang kedua adalah sebagai kontinuitas dari hasil kontinuitas pemanenan. Dari kedua pengertian ini, kontinuitas dari hasil adalah pengertian yang diambil untuk pengertian kelestarian. Karena pengaturan hasil secara lestari tidak selalu mengharuskan adanya pertumbuhan yang baik, meskipun hal ini adalah merupakan keharusan dalam jangka waktu pengusahaan hutan yang relatif lama.
Menurut Osmaston (1968) dalam Winarno (1997), faktor-faktor yang mempengaruhi kelestarian hutan antara lain adalah:
1. Regenerasi (permudaan atau penanaman), yang di dalamnya termasuk usaha pengendalian bibit serta pemeliharaan.
3. Usaha peningkatan atau perbaikan, yang di dalamnya termasuk pencegahan terhadap hama penyakit, gulma dan perlindungan.
Osmaston (1968) dalam Winarno (1997) juga menyatakan bahwa kelestarian hasil memiliki beberapa tipe, yaitu:
1. Hasil Integral (Integral Yeild), yang berada pada tegakan yang seumur dan saat pemanenan dan penanaman dilakukan bersamaan.
2. Hasil yang terputus-putus (Intermitten Yield), yang berada pada tegakan yang terdiri dari beberapa kelas umur, dimana saat penanaman dan penebangan dilakukan pada interval waktu yang tertentu.
3. Hasil Tahunan (Annual Yield), yang merupakan sistem yang banyak digunakan dan pada sistem ini selalu ada bagian tegakan yang siap untuk ditebang setiap tahunnya.
Menurut Suhendang (1993), perlu dipahami bahwa konsep kelestarian hasil tidaklah bersifat mutlak dan ada pada unsur kenisbian di dalamnya. Salah satu sumber kenisbian ini antara lain adalah ukuran yang dipakai untuk menyatakan hasilnya, apakah berupa luas, ukuran volume kayu, nilai uang atau jumlah batang pohon serta juga metode pengaturan hasil yang digunakan. Dalam hal ini, tidak ada jaminan bahwa pemakaian salah sastu ukuran hasil ataupun pemakaian salah satu metode pengaturan hasil akan memberikan tingkat kelestarian yang sama bila diukur oleh ukuran atau metode lainnya. Oleh karena itu, pemilihan ukuran dan metode pengaturan hasil yang akan dipakai merupakan hal yang sangat mendasar dalam upaya pengusahaan hutan produksi dengan prinsip kelestarian hasil agar diperoleh manfaat yang sebesar-besarnya.
2. 3. Pengaturan Hasil
Pengaturan hasil merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk dapat memperoleh kelestarian hutan. Menurut Departemen Kehutanan (1997) pengusahaan hutan memiliki beberapa sifat khas yang membedakannya dengan jenis pengusahaan ataupun bentuk pemanfaatan lahan yang lainnya. Sifat tersebut yaitu bahwa pengusahaan hutan pada umumnya memerlukan waktu yang sangat panjang untuk mencapai saat pemanenan, selain itu juga dalam pengelolaannya selalu didasarkan pada asas kelestarian sumberdaya. Kedua sifat inilah yang
menurut Departemen Kehutanan (1997), metode pengaturan hasil yang ada pada umumnya dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu:
1. Metode pengaturan hasil berdaasarkan volume 2. Metode pengaturan hasil berdasarkan riap.
Sementara, menurut Osmaton (1968) dalam Permana (2003), metode pengaturan hasil dapat dikelompokan sebagai berikut:
1. Berdasarkan luas. Metode ini dapat dikendalikan melalui teknik silvikultur atau pengaturan tebangan, daur dan sebaran kelas umur, serta kelas-kelas pengembangan atau perlakuan.
2. Berdasarkan volume dan atau berdasarkan riap. Rumus pengaturan hasi yang dipakai disini antara lain rumus Austria, rumus Hundeshugen serta rumus Von Mantel.
3. Berdasarkan jumlah dan ukuran pohon. Rumus yang dipergunakan di sini adalah rumus Brandis.
Dalam menentukan atau mengatur seberapa banyak hasil hutan yang dapat diambil, maka seorang manajer perlu mempertimbangkan beberapa prinsip berikut (Davis, 1966) :
1. Tujuan Manajemen. Termasuk di dalam prinsip ini antara lain tujuan dan kebijakan operasional yang dianut, jumlah income yang diharapkan, ketergantungan antar tahapan pemrosesan tanaman sehingga menjadi bahan baku, serta batas kontinuitas operasi atau pengusahaan yang diharapkan.
2. Ketersediaan Pasar bagi berbagai jenis kayu yang dihasilkan. Prinsip ini melibatkan baik kondisi pasar saat ini maupun kondisi pasar masa depan dalam hubungannya dengan ketersediaan kayu.
3. Kebutuhan dan urgensi sistem silvikultur yang diterapkan. Prinsip ini antara lain mencakup macam metode permudaan yang paling sesuai untuk diaplikasikan, kondisi tegakan yang ada dilihat dari sisi umur, penyakit atau hama yang menyerang, serta dari sisi persediaan/stock, serta keadaan urgensi hutan yang dikelola yang antara lain disebabkan oleh badai, kebakaran ataupun penyebaran penyakit yang meluas.
5. Masalah tingkat kelestarian hutan yang diinginkan. Hal ini berarti bahwa dalam menentukan jumlah hasil yang boleh diambil harus sesuai dengan kapasitas produksi dari hutan yang bersangkutan. Bahkan jika memungkinkan, pengaturan ini harus dapat meningkatkan kualitas tegakan.
III. METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Burat, Kecamatan kepil, Kabupaten Wonosobo, selama tiga bulan mulai Maret - Mei 2009.
3,2 Alat dan Bahan Penelitian
Bahan penelitian adalah hutan rakyat jenis sengon di Desa Burat, Kecamatan Kepil, Kabupaten Wonosobo. Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu: alat tulis, kalkulator, komputer, software microsoft Word, software microsoft Excel, Minitab 13, kuisioner , peta wilayah Desa Burat, peta kadaster (untuk menentukan lokasi hutan rakyat), dan lain-lain.
3.3 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan terdiri atas tiga tahapan kegiatan yaitu
persiapan, metode pengumpulan data, dan analisis data.
3.3.1 Persiapan
Kegiatan yang dilakukan dalam persiapan penelitian meliputi : 1. Studi literatur
2. Melakukan penjajakan lokasi penelitian
3.3.2 Metode pengumpulan data
Pemilihan lokasi penelitian berdasarkan metode multi stage sampling. Dipilih Kecamatan Kepil dari 15 Kecamatan yang berada pada wilayah Kabupaten Wonosobo, lalu dipilih Desa Burat dari 21 Desa yang terdapat pada kecamatan Kepil. Penentuan unit-unit sampling dari setiap Dusun dilakukan secara purposive sampling dengan mempertimbangkan keberadaan/kepemilikan hutan rakyat yang ada.
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah: A. Data Primer
1. Data dimensi tegakan hutan rakyat jenis sengon di Desa Burat, dikumpulkan bedasarkan teknik sampling sederhana, yaitu diameter setinggi dada dan tinggi total dengan penggunaan angka bentuk 0,7 (Tiryana T, 2003).
Pendugaan potensi hutan rakyat didasarkan pada hasil pengukuran dari 63 petak contoh berbentuk lingkaran dengan diameter lingkaran petak contoh 17,8 m yang terletak secara purposive dengan pertimbangan bahwa luas lahan
kepemilikan pada umumnya antara < 0,25 ha – 0,75 ha, maka setiap luas lahan petani responden diwakili oleh 1 plot contoh.
2. Untuk mengetahui persepsi masyarakat petani terhadap pengelolaan hutan rakyat didasarkan pada hasil kuisioner melalui metode survei terhadap 70 responden petani hutan rakyat.
3. Informasi yang diperoleh bedasarkan wawancara langsung dengan personal instansi terkait seperti Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Wonosobo, Kepala Desa Burat, ketua kelembagaan (bila ada).
B. Data Sekunder
1. Studi literatur (Perpustakaan Fakultas Kehutanan IPB, Perpustakaan LSI-IPB, Perpustakaan Litbang Kehutanan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Daerah penelitian)
2. Browsing internet
3. Data kependudukan Kabupaten, kecamatan dan Desa contoh (monografi desa).
3.3.3 Analisis Data
Analisis data yang dilakukan mencakup dua hal yaitu analisis data potensi hutan rakyat pada Desa Burat dan analisis data pengaturan hasil hutan rakyat pada masing-masing dusun.
Pendugaan volume pohon dan volume tegakan (plot) menggunakan rumus (Tiryana, T 2003):
Volume pohon dapat dirumuskan sebagai berikut
V
pohon= ¼ π . d
2. t . b
Keterangan:
Vpohon = Volume pohon (m3) d = Diameter
t = Tinggi total
b = angka bentuk (0,7)
Volume tegakan dan volume tegakan per ha dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
Keterangan:
vi = volume pohon ke-i (m3)
N = banyaknya pohon dalam tegakan
Keterangan:
Vtegakan = Volume tegakan per ha (m3/ha)
vi = volume pohon ke-i (m3)
N = banyaknya pohon dalam tegakan
Pendugaan potensi tegakan dilakukan dengan menerapkan rumus-rumus statistik sebagai berikut:
Metode pengaturan hasil didasarkan terhadap pengaturan jumlah batang sesuai rumus pengaturan hasil hutan rakyat yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian IPB 1990, secara terperinci dapat diuraikan sebagai berikut:
Apabila Nh adalah banyaknya anakan per ha yang terdapat pada tegakan hutan normal pada saat ditanam, f adalah faktor koreksi bagi tingkat pemanfaatan lahan petani untuk tanaman kayu rakyat (dihitung untuk setiap kelas umur), maka banyaknya anakan nyata per ha di lapangan adalah Nn, yaitu:
Nn = f.Nh anakan/ha
Besarnya nlai f ditentukan untuk setiap desa, dihitung dengan rumus:
F = N’n/Nh
Dimana:
N’n = Banyaknya pohon total per ha yang terdapat di lapangan diperoleh dari hasil pengambilan contoh
Nh = Untuk jenis tertentu yang sudah dikenal biasanya tersedia (antara lain dalam Tabel tegakan)
Besarnya Nh juga dapat dihitung di lapangan dengan asumsi jumlah pohon yang ada sekarang (ditebang) sama dengan jumlah anakan pada saat penanaman. Penghitungan jumlah pohon per ha dilakukan melalui survey lapangan dengan intensitas sampling sebesar 100%. Asumsi lain yaitu didasarkan atas jarak tanam antar pohon dengan dengan berbagai luasan hutan rakyat dapat diketahui jumlah pohon perhanya. Selanjutnya apabila luas lahan yang dimiliki oleh petani adalah L
ha maka banyaknya anakan (pohon) yang terdapat pada seluruh lahan adalah sebagai berikut:
Nt = LNh anakan (pohon)
Nt dapat dipandang sebagai banyaknya pohon (anakan) total yang terdapat pada seluruh areal petani apabila diadakan penanaman secara bersama-sama oleh karena dari seluruh areal yang dimiliki oleh petani ini diharapkan akan dapat memberikan hasil setiap tahun selama daur, maka banyaknya anakan pada periode sesungguhnya adalah:
Ni = r.Nt/d anakan
Keterangan:
Ni = Banyaknya pohon (anakan) pada umur ke-i
Nt = Banyaknya pohon (anakan) total yang terdapat pada seluruh areal petani jika diadakan penanaman secara bersama-sama
d = Daur tanaman (th), yaitu jangka waktu yang diperlukan dari saat penanaman sampai penebangan
r = Besarnya interval wakktu, yaitu 1 (satu) tahun untuk tanaman yang berdaur pendek dan 5 (lima) tahun yntuk tanaman yang berdaur panjang
I = Besarnya indeks untuk periode tertentu (setara dengan kelas umur), I = 1, 2,3… dan seterusnya
Data sosial ekonomi responden (petani hutan rakyat) dan hasil kuisioner diolah berdasarkan sistem tabulasi dan dianalisis secara deskriptif.
IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Kondisi Umum Desa Contoh
Desa Burat termasuk salah satu dari dari 21 Desa di Wilayah Kecamatan Kepil, Kabupaten Wonosobo, memiliki luas 997,209 ha yang terdiri dari 7 dusun yaitu Dusun Burat, Geger Jeruk, Kalibarong, Kalinongko, Kaliwang dan Krajan. Berdasarkan data kependudukan, Desa Burat memiliki jumlah penduduk sebanyak 2511 jiwa yang terdiri dari 1289 pria dan 1222 orang wanita meliputi 618 kepala keluarga. Mata pencaharian masyarakat Desa Burat umumnya sebagai petani.
Batas administrasi Desa Burat sebelah utara berbatasan dengan Desa Tege Swetan dan Desa Bener, sebelah timur berbatasan dengan Desa Ngalaris, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Kemiri dan Desa Kalitengkek sedangkan untuk sebelah barat berbatasan dengan Desa Gading Sukuh. Desa Burat dapat ditempuh dalam jarak 8 kilometer dari pusat Kecamatan Kepil dan 25 kilometer dari pusat Kabupaten Wonosobo.
Topografi Desa Burat sebagian berbukit dengan kelerengan antara 25-40% dan terletak pada ketinggian 500 – 600 meter dpl. Dari luas Desa Burat 997,209 ha penggunaan lahannya diperuntukkan untuk sawah (3,01%), pekarangan (14,74%), tegalan (44,07%), hutan negara (37,10%) dan peruntukkan lainnya (1,08%) (lihat Tabel 2).
Tabel 2. Tata guna lahan Desa Burat
Jenis Penggunaan Lahan Luas (ha) Persen (%)
Sawah (tadah hujan) 30 3.01
Pekarangan 147.005 14.74
Tegalan 439.426 44.07
Makam. Sungai, Jalan, dll 10.778 1.08
Hutan Negara (PERHUTANI) 370 37.1
Jumlah 997.209 100
Sumber : Monografi Desa Burat 2009
4.2 Kondisi Hutan Rakyat di Wilayah Penelitian
Hutan rakyat di Desa Burat memiliki sebaran umur yang beragam antara 1 hingga 15 tahun. Secara umum jenis tanaman kehutanan yang ditanam adalah sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) dan jenis tanaman kehutanan lainnya dalam jumlah terbatas mahoni (Swietenia Mahagony) dan jati (Tectona Grandis). Pola agroforestri yang diterapkan pada hutan rakyat ditunjukkan dengan adanya bentuk ekosistem yang penutupan vegetasinya terdiri dari tanaman
pertanian (jenis palawija), tanaman buah-buahan seperti rambutan, durian, langsat, salak, melinjo, kemukus, kopi dan kelapa.
Kegiatan pengelolaan yang diterapkan pada pengelolaan hutan rakyat di Desa Burat mencakup pembibitan, penanaman, pemeliharaan. Petani melakukan pembibitan dilakukan dengan cara pembibitan langsung di lahan, trubusan atau membeli di Kelompok Wanita Tani Rahayu (KWT Rahayu). Pembibitan dengan cara trubusan lebih diminati, karena bagi petani keuntungannya tanaman sengon lebih cepat tumbuh dan tahan hama penyakit selain itu dirasakan bagi mereka lebih ekonomis. Trubusan dilakukan dengan memelihara pohon bekas tebangan sehingga muncul tunas baru yang dapat dimanfaatkan sebagai bibit.
Kegiatan penanaman sengon dilakukan dengan jarak tanam antara 1 x 1 m hingga 3 x 4 m tergantung kondisi lapangan.
Pemeliharaan yang dilakukan berupa pendangiran (pembersihan lahan dari rumput yang menganggu pertumbuhan tanaman). Pemupukan dan pengawasan serangan hama penyakit yang dilakukan secara teratur. Pemupukan dilakukan dengan menggunakan pupuk UREA, pupuk NPK dan pupuk kandang, dengan periode pemupukan disesuaikan dengan umur tanaman Pengawasan terhadap serangan hama penyakit dilakukan pada saat pendangiran dimana obat dapat diperoleh dari Koperasi Unit Desa (KUD).
Hutan rakyat di Desa Burat yang luasnya 449,426 ha (49,62% dari total luas Desa 997,209 ha), tersebar di 7 dusun sesuai Tabel 3.
Tabel 3. Luas Hutan Rakyat di Desa Burat Berdasarkan Penyebaran di 7 Dusun
No Nama Dusun Luas Hutan Rakyat (ha)
1 Dusun Burat 54
2 Dusun Geger Jeruk
94 3 Dusun Kalibarong 4 Dusun Kalinongko 48 5 Dusun Kaliwang 88 6 Dusun Krajan 84 7 Dusun Krungsung 81.426 Jumlah 449.426
Sumber: Data Monografi Desa Burat 2009
Kayu sengon bagi masyarakat di Desa Burat dimanfaatkan untuk bahan baku kayu bangunan, mebel, pulp dan kayu bakar. Jaringan pemasarannya sampai saat ini meliputi 3 wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Purworejo dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sejarah kegiatan pengelolaan hutan rakyat di Desa Burat diawali tahun 1970 dimana sebelumnya masyarakat petani menitikberatkan pada hasil dari tanaman pertanian, sedangkan pohon jenis sengon tumbuh dengan sendirinya dan tidak jarang saat itu pohon jenis ini dianggap sebagai hama. Dalam perkembangannya waktu masyarakat di Desa Burat mulai mencoba menanam tanaman kehutanan jenis sengon di atas lahannya, terutama pada saat Kepala Desa Burat telah membuktikan bahwa hasil dari menanam pohon jenis sengon jauh lebih menguntungkan apabila dibandingkan dengan hanya menanam tanaman pertanian. Kemudian setelah itu tidak sedikit masyarakat yang meniru menerapkan dan mencoba menanam sengon.
Sejak itu mulai tahun 2005 kegiatan hutan rakyat berkembang pesat seiring dengan dibentuknya KWT Rahayu yang mempunyai misi untuk memfasilitasi kegiatan yang menyangkut hutan rakyat. Kegiatan tersebut antara lain sosialisasi kegiatan pengelolaan hutan rakyat, pelatihan pembibitan atau penanaman, pelatihan pembuatan kerajinan tangan dan makanan ringan. Keberadaan KWT Rahayu sangat membantu dalam kegiatan pengelolaan hutan rakyat di Desa Burat secara keseluruhan, mengingat kurangnya informasi yang didapat para petani.
Kondisi penyuluh kehutanan yang ada dapat dikatakan kurang memadai karena untuk Kecamatan Kepil, hanya memiliki 2 orang penyuluh kehutanan. Penyuluh kehutanan tersebut adalah penyuluh yang dimiliki oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Wonosobo dimana dalam wilayah tersebut mencakup15 Kecamatan.
Berdasarkan laporan Dinas Kehutanan Republik Indonesia pada tahun 2009, Kabupaten Wonosobo termasuk daerah kabupaten dengan peringkat kedua Se-Jawa Bali dalam hal produksi kayu jenis sengon. Walaupun sistem pengelolaan hutan rakyat tersebut masih banyak kendala dalam peningkatan produksinya, hal ini lebih diakibatkan karena belum seragamnya sistem pengelolaan yang ada.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5. 1 Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Burat
Pengusahaan hutan rakyat di Desa Burat dapat diuraikan berdasarkan beberapa aspek seperti status lahan, modal, SDM, pelaksanaan, sarana penunjang dan kontrol.
5. 1. 1 Status Lahan
Sebagian besar petani hutan rakyat di Desa Burat adalah pemilik sah dari lahan yang dikelolanya. Sehingga lahan tersebut dapat saja digunakan sipemilik untuk kepentingannya secara bebas, namun dari pengamatan langsung dilapangan mereka menunjukan kecenderungan yang sama dalam keinginan untuk menanami lahannya dengan pohon sengon. Beberapa faktor yang mendorong kecenderungan ini, disebabkan oleh:
a) Mencontoh keberhasilan petani-petani terdahulu yang telah mengusahakan kayu rakyat,
b) Adanya lomba penghijauan yang diadakan baik tingkat Kabupaten, Provinsi maupun tingkat Nasional. Untuk tahun 2008, Desa Burat menerima penghargaan sebagai Desa/Kelurahan Peduli Kehutanan Terbaik II Tingkat Nasional yang diadakan oleh Departemen Kehutanan Indonesia)
c) Dengan berjalannya waktu, terbentuknya Koperasi Wanita Tani Rahayu, yang selain kegiatannya dalam peningkatan usaha dibidang industri rumahan (home industry), juga mulai melakukan kegiatan pembuatan pembibitan khususnya kayu sengon baik utk kepentingan lahan garapannya maupun untuk dijual kepetani lain
5. 1. 2 Modal
Dalam setiap usaha modal merupakan hal paling berperan, demikian juga dalam usaha dibidang kayu rakyat. Masyarakat tani hutan rakyat di Desa Burat dalam prakteknya melakukan usaha kayu rakyat secara swadaya, dimana seluruh biaya kegiatan awal pelaksanaan hingga penebangan ditanggung seluruhnya dengan menggunakan dana mereka sendiri.
Ada alasan yang jelas mengapa mereka meiliki motivasi untuk melakukan hal ini. Karena mereka punya persepsi tentang keyakinan akan memperoleh
kompensasi berupa hasil yang menguntungkan dikemudian hari, jika mereka bersungguh-sungguh mengelola hutan rakyat yang dimilikinya.
Sampai saat ini belum ada suatu program atau penawaran baik dari pemerintah maupun pihak swasta yang berminat untuk ber mitra dalam usaha kayu rakyat ini.
5. 1. 3 Sumberdaya Manusia
Yang dimaksud dalam sumberdaya manusia disini adalah para stakeholder yang terkait dengan kegiatan pengembangan usaha dibidang kayu rakyat seperti: Pemerintah (tingkat pusat hingga daerah) sebagai pencentus program, LSM sebagai tenaga pendamping, swasta/pengusaha (industri kayu besar/sedang/kecil, material, meubeuler), sebagai konsumen kemudian masyarakat Desa Burat (tengkulak,masyarakat tani hutan rakyat) sebagai produsen juga bisa konsumen.
Dalam pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan di desa Burat, para stakeholder ini memiliki tugas masing-masing dalam menunjang kegiatan pengelolaan hutan rakyat. Pemerintah bertindak sebagai regulator dan pengawasan kegiatan yang dilakukan, sedangkan LSM (tingkat kabupaten) memastikan kelancaran dalam pelaksanaan kegiatan yang dilakukan, dimana swasta/pengusaha memiliki peranan yang penting dalam meningkatkan nilai tambah kayu khususnya kayu jenis sengon agar memberikan kontribusi yang lebih nyata dan untuk masyarakat Desa Burat sendiri bertindak sebagai kunci dari pengelolaan hutan rakyat dengan berperan sebagai produsen penghasil kayu rakyat yang akan digunakan oleh berbagai pihak dengan berbagai pemanfaatan.
5. 1. 4 Pelaksanaan Kegiatan
5. 1. 4. 1 Penanaman
Pembibitan
Ketersediaan bibit untuk petani hutan rakyat di Desa Burat cukup baik, karena akses petani untuk mendapatkan bibit cukup mudah dan tersedia di Desa setempat. Bibit dapat dibeli di KWT Rahayu yang merupakan induk kelompok tani di Desa Burat atau di sekitar Wonosobo – Purworejo. Umumnya petani lebih memilih untuk membeli bibit di sekitar Wonosobo – Purworejo karena dirasakan secara ekonomi lebih murah.
Petani yang telah mendapatkan pelatihan memiliki kecenderungan untuk melakukan pembibitan secara mandiri di lahan-lahan milik mereka masing-masing. Pembibitan juga dapat dilakukan dengan cara trubusan yaitu memelihara bekas tebangan pohon. Cara ini dinilai cukup sederhana dan lebih ekonomis karena tidak memerlukan pemeliharaan yang intensif. Umumnya bibit trubusan memiliki pertumbuhan lebih cepat dibandingkan bibit hasil pembibitan.
Jarak tanam
Secara garis besar jarak tanam yang digunakan petani hutan rakyat di Desa Burat cukup bervariasai, dari 1 x 1 m, 2 x 3 m sampai 4 x 4 m, yang didasarkan kondisi kelerengan, bahkan masih ada beberapa petani yang belum memperhatikan jarak tanam. Sebagian petani yang telah memperoleh penyuluhan kehutanan dari Dinas Kehutanan Kabupaten Wonosobo (sebagai jarak tanam ideal untuk areal hutan rakyat), menggunakan jarak tanam 3 x 3 m dan 3 x 4 m. Dengan jarak tersebut petani masih bisa mempertahankan mata pencahariannya dari hasil pertanian yang berbentuk tanaman hortikultur dan tanaman pertanian. Penanaman
Persiapan penanaman didahului dengan pembuatan lubang yang ukurannya diameter 10 – 20 cm dengan kedalaman 20 – 30 cm. Kemudian bibit yang telah mencapai tinggi kurang lebih 20 – 30 cm ditanamkan dan sekitar lokasi lubang tanam dibersihkan dari rumput liar.
5. 1. 4. 2 Pemeliharaan
Kegiatan pemeliharaan meliputi pemupukan dan pendangiran. Kegiatan ini disesuaikan dengan usia pohon sengon yang terdapat di lahan masing-masing petani. Pemeliharaan dilakukan dalam 4 tahap:
1) Usia 0 – 2 tahun, dilakukan pemupukan awal dan pendangiran. Pemupukan awal dilakukan dengan memberikan pupuk UREA, pupuk NPK dan pupuk kandang dengan komposisi 1:1:2. Pendangiran pada tahap ini dilakukan dengan frekuensi 1-2 minggu sekali. Ini dilakukan karena pertumbuhan memiliki masa yang rentan pada saat-saat tersebut.
2) Usia 2 – 4 tahun, dilakukan pendangiran setiap 1 bulan sekali. Pemberian pupuk sesuai dosis saat penanaman sekali dalam dua tahun.
3) Usia 4 – 7 tahun, dilakukan pendangiran setiap 6 bulan sekali. 4) Usia 7 tahun - ditebang, dilakukan pendangiran setiap 6 bulan sekali.
5. 1. 4. 3 Pemanenan
Penebangan dilakukan oleh petani hutan rakyat berdasarkan daur kesepakatan yaitu 7 tahun akan tetapi dalam kondisi kebutuhan yang mendesak mereka tidak hanya menebang sesuai umur daur yang disepakati tetapi mengikuti daur butuh. Hal inilah yang menyebabkan usaha untuk menerapkan prinsip kelestarian produksi masih perlu proses panjang.
Teknik penebangan dilakukan dengan cara masih tradisional yaitu menggunakan kapak dan gergaji kayu. Walaupun ada juga yang menggunakan chain saw tetapi masih terbatas. Mereka masih belum mengenal cara penebangan dengan menggunakan teknik takik rebah.vInformasi tentang teknik penebangan sampai saat ini belum mereka peroleh.
5. 1. 4. 4 Pemasaran
Rantai pemasaran yang sudah dijalankan sampai pada saat ini melibatkan beberapa pihak (stakeholders) yaitu petani hutan rakyat, masyarakat lokal (konsumen), tengkulak, depo (tempat pengumpulan kayu), industri penggergajian, toko matrial dan pabrik kayu dengan orientasi eksport. Daerah pemasaran meliputi Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Semarang dan D. I Yogyakarta (Gambar 1)
Jalur pemasaran yang tardapat dalam pengelolaan kayu di Desa Burat ada 7 jalur pemasaran, dimana kayu yang dipanen petani hutan rakyat umumnya dijual ke tengkulak, industri penggergajian atau digunakan oleh masyarakat setempat. Kayu yang dibeli tengkulak kemudian dijual pada depo atau pabrik. Tengkulak bekerja sama dengan industri penggergajian untuk menjual kayu ke toko material. Sedangkan kayu yang dipanen digunakan masyarakat untuk kepentingan pribadi seperti kayu bangunan, kayu bakar dan lainnya
Keterangan :
= Penjualan langsung = Jasa penggergajian
Gambar 1. Rantai Pemasaran Kayu di Lokasi Penelitian
Penetapan harga kayu dilakukan dengan sistem tawar menawar tanpa melakukan pengukuran diameter dan tinggi. Sistem penetapan harga seperti ini merugikan petani hutan rakyat karena harga yang ditawarkan sangat rendah dan tanpa memperhatikan pengukuran kubikasi pohon yang akan ditebang. Namun sistem ini memudahkan petani dalam memasarkan produk karena petani tidak mengeluarkan biaya pemasaran, biaya penebangan dan biaya pengangkutan yang
Kebutuhan Pribadi Toko Matrial Petani Hutan Rakyat Industri Penggergajian Masyarakat Setempat Tengku -lak Depo (Penge-pul) Pabrik (Orientasi Eksport)
keseluruhan biayanya ditanggung oleh tengkulak. Hal ini menunjukan petani hutan rakyat di Desa Burat belum mempunyai posisi tawar.
5. 1. 4. 5 Unit Kelembagaan yang Menunjang
1. Pelayanan Koperasi Unit Desa (KUD)
KUD memiliki peranan dalam pengadaan kebutuhan yang berkaitan dengan hutan rakyat. Peranan tersebut dapat lebih ditingkatkan lagi khususnya jika mengacu kepada pengadaan pupuk dan obat-obatan yang sering kali menjadi masalah yang dikeluhkan oleh petani. Sehingga ada baiknya proses pengadaan ini lebih dipermudah Peran KUD dapat lebih ditingkatkan khususnya tentang pemberian pupuk dan obat-obatan untuk penanggulangan hama penyakit
E. Sarana dan Prasarana Penunjang
Peningkatan sarana dan prasarana merupakan bagian vital dari strategi pengembangan hutan rakyat yang akan dilakukan. Pengadaan sarana simpan pinjam juga perlu ditingkatkan karena sudah ada program PNPM Mandiri yang dirasa dapat lebih meningkatkan pendapatan masyarakat dari hutan rakyat.
Perbaikan prasarana seperti perbaikan jalan, pengaspalan jalan yang masih berbatu hingga membuat jalan baru untuk lebih menambah akses pada wilayah hutan rakyat adalah salah satu cara untuk mempermudah aksesibilitas yang akan berdampak pada positif pada produktivitas.
5. 2 Kondisi Sosial Ekonomi Petani Hutan Rakyat
Sebagai gambaran umum, kondisi sosial ekonomi masyarakat tani hutan di Desa Burat dapat diuraikan sebagai berikut ini.
Sebaran umur masyarakat petani yang aktif di bidang usaha pengelolaan hutan rakyta berkisar antara 21 – 70 tahun, terdiri dari usia produktif 21 – 55 tahun (82,86 %) dimana diantaranya 12,86 % berusia muda (Tabel 4).
Mengenai tingkat pendidikan masyarakat petani hutan rakyat di Desa Burat sebgaian besar hanya berpendidikan SD (71,43 %) sisanya SLTP, SLTA dan Perguruan Tinggi (Tabel 5).
Mata pencaharian dari masyarakat yang berusaha di bidang usaha kayu rakyat sebagai petani hutan rakyat murni (61,43 %), selebihnya merangkap sebagai pedagang, PNS dan swasta (Tabel 6).