• Tidak ada hasil yang ditemukan

Agama Buddha dan Kehidupan Sosial (Konsep dasar pola pikir Buddhis berdasarkan Sutta)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Agama Buddha dan Kehidupan Sosial (Konsep dasar pola pikir Buddhis berdasarkan Sutta)"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Agama Buddha dan Kehidupan Sosial

(Konsep dasar pola pikir Buddhis berdasarkan Sutta)

A. Filsafat dan ciri-ciri Filsafat Buddhis.

1. “Panna bersifat menembus hakikat kenyataan (Dhamma)…dan langsung dihasilkan dari samadhi. Barang siapa bersamadhi, ia akan mengetahui hakikat kenyataan” (Buddhagosa, Kitab Visudhi Magga: hal.370).

2. ”Barang siapa terlatih dalam Sila, medhitasinya akan berkembang; barang siapa terlatih dalam kebijakan, batinnya akan terlepas dari kekotoran…” (Digha Nikaya II: hal.94,123).

3. “Sang Tathagata… memutar roda Dhamma yang tiada taranya;…. Sang Tathagata… berpegang, menghormati, menghargai pengikutnya, mengajarkan:’ikutilah cara hidup begini…”(Angutara Nikaya III: hal.150). 4. “Aku tidak akan pergi sebelum agama-Ku yang murni ini berhasil, berkembang

meluas dan merakyat dalam segala seginya dan agama ini terbabar dengan baik diantara manusia”. (Digha Nikaya II: hal. 106,113).

5. “Demi untuk kebaikan dan kebahagiaan orang banyak, demi kasih sayang terhadap dunia, demi kebaikan dan kebahagiaan para dawa dan manusia.” (Digha Nikaya III: hal,127).

B. Egoisme-Altuisme berdasarkan Penerangan. 1. Tiga tahap perkembangan masyarakat Buddhis:

(Gokhale, Indian Historical Quartely, xxxiii: hal.142)

a. Tahap Isolasi: di mana seseorang meninggalkan kehidupan rumah tangga, mengasingkan diri dengan tujuan untuk melatih diri dalam kehidupan spiritual, untuk mencapai pembebasan yang tertinggi (Nibbana). Idealnya tertuang dalam ungkapan Sang Buddha: “Selagi kehidupan rumah tangga merupakan tekanan, kehidupan pertapa bagaikan menghirup udara bebas.” (Angurtara Nikaya II: hal.208 & Majjhima Nikaya I: hal. 344).

b. Tahap bergaul: dimana terbentuk Sangha, yang berhubungan dangan masyarakat awam. Menurut Gokhale: Penolakan Sang Buddha terhadap lima

(2)

usul devadatta didasarkan bahwa usul-usul itu akan menyebabkan Sangha terpencil dari masalah duniawi. Usul-usul itu adalah agar para Bhikkhu:

1. Tinggal di dalam hutan

2. Makan makanan dari pemberian saja 3. Mengenakan pakaian dari kain-kain bekas 4. Berteduh dibawah pepohonan

5. Tidak boleh makan daging dan ikan

Ini menunjukkan hubungan yang erat antara cita spiritual dan cita-cita social Sang Buddha terhadap masyrakat awam yang luas, sebagaimana tercermin dalam ungkapan:” Baik perumah tangga maupun mereka yang tidak berumah tangga, keduanya bergatung satu sama lain, bersama-sama mencapai Dhamma yang sejati, keadaan batin yang tentram… kebahagiaan yang di dambakan.”(Itivuttaka. Hal.111).

c. Tahap transformasi: di mana agama Buddha, sebagai kekuatan spiritual dan social, menggartikan norma-norma dan hukum-hukum tingkah laku social tertentu, sesuai dengan etika sosialnya.

2. “ orang yang memperhatikan kepentingan orang lain disamping kepentingannya sendiri adalah yang terbaik”. (Anguttara Nikaya II: hal. 92 & Digha Nikaya III: hal.233).

3. “Tidak mungkin seorang yang terperosok dalam lumpur dapat menarik orang lain keluar dari lumpur. Hanya seorang yang terbebas dari lumpur yang dapat menolong orang lain di dalam lumpur.”(Majjhima Nikaya I: Hal.45).

C. Etika social Buddhis

1. Metafisika seringkali berkaitan dengan masalah-masalah yang tidak bermanfaat atau yang sia-sia secara pragmatis. (Wittgenstein,”Tractatus Logico-philisiphicus”, hal.131). Bagaimana kita melayani yang Ilahi sebelum kita tahu bagaimana melayani manusia?”(Confusius)

2. Ketika ditanya oleh brahmana Potthapada, mengapa Beliau tidak mengemukakan pandangan Beliau mengenai kesepuluh masalah metafisika, yaitu: apakah alam ini kekal atau tidak; apakah jiwa ini ada atau tidak dan sebagainya) Sang Buddha

(3)

menjawab: “Masalah-masalah seperti itu tidak bermanfaat, tidak bersangkutan dengan Dhamma, tidak menghasilkan kehidupan susila ataupun pelepasan… atau pengetahuan sejati… atau Nibbana.” (Digha Nikaya I: hal. 188).

D. Kebudayaan Buddhis

1. dalam kitab-kitab Pali, istilah yang dapat diartikan sebagai “budaya, dalam arti mental, moral an spiritual” adalah bhavana, yang berasal dari akar kata”bhava”, berarti: pembinaan, pengembangan dan pencapaian”. Budaya pembinaan ini sering kali dibagi dalam tiga cabang pembinaan, yaitiu: pembinaan jasmani (kaya bhavana), pembinaan batin (citta bhavana), dan pembinaan kebijaksanaan (panna bhavana). Pembinaan ini membentuk sikap mental masyarakat buddhis.

2. Kebudayaan India mempunyai ciri berbeda budaya barat antara lain: a. kebudayaan India tetap hidup sampai sakarang

b. ciri pokok kebudayaan India kuno adalah perikemanusiaan

c. penduduknya menikmati secara utuh, baik segi dunia maupun segi spiritual 3. Sumber-sumber keagamaan dan filsafat India dapat digolongkan kedalam

golongan besar:

a. Tradisi Veda ( tradisi brahmana) b. Tradisi non Veda ( tradisi pertapa)

4. Di dalam Brahmajala Sutta, Sang Buddha menjelaskan berbagai teori filsafat yang dianut oleh banyak Samana dan Brahmana, semua berjumlah 62 buah pandangan. dan semua pandangan ini “terperangkap dalam 62 teori tersebut; mereka dapat melompat kesana kemari, tetapi tetap masuk dan terperangkap didalamnya.” (Digha Nikaya I: hal. 45).

5. Brahmana Sonadanda (Sonadanda Sutta) bercerita tentang Sang Buddha sebagai berikut:” Sesungguhnya pertapa Gotama mengajarkan tentang hukum Kamma (kammavadi) dan hukum perbuatan (kriyavadi)…Beliau mengutamakan kebenaran dalam seruannya kepada para brahmana… beliau dihormati, dihargai, dipuji oleh para pengikutnya…, sebagai pemimpin Sangha, sebagai pendiri ajaran, apabila sementara samana dan brahmana mencari ketenaran dengan berbagai cara

(4)

yang rendah, tidak demikian dengan pertapa gotama: kesempurnaanya berasal dari kemayuran sila kebijakannya.” (Digha Nikaya I: hal. 115).

E. Peranan Kebudayaan Buddhis

Kebudayaan Buddhis dari ajaran dan teladan hidup Sang Buddha (sejak penerangan sempurna). Dalam menanamkan kebudayaan Buddhis, adapun cara-cara yang ditempuh, al:

1. cara Revolusi (perombakan menyeluruh).

- Perombakan dibidang Filsafat yaitu ajaran Beliau tentang Anatta (tanpa aku yang kekal). Tidak mengakui adanya inti yang abadi dan bersifat pribadi atau atta, baik dalam diri manusia maupun dialam semesta.

- Penolakan Beliau terhadap upacara-upacara korban yang menggunakan binatang (mahluk hidup) sebagai korbannya.

- Penolakan Sang Buddha tentang system kasta yang berlaku di India pada saat itu. “Bukan karena keturunan seseorang menjadi brahmana tau bukan brahmana, melainkan karena perbuatannyalah seseorang menjadi brahmana atau bukan brahmana” (Sutta Nipata, hal. 115).

2. cara Reinterpretasi (penafsiran kembali).

- Cara ini adalah merubah konsep berpikir, contohnya ketika Sang Buddha memberi makna baru pada kebiasaan mandi berendam di sungai-sungai yang dianggap suci ntuk membersihkan diri dari segala noda dan dosa (perbuatan buruk). Sang Buddha bersabda,”sungai itu tidak dapat mensucikan orang yang berbuat jahat…berendamlah dalam sila, dan buatlah semua mahluk merasa aman, yaitu dengan jalan tidak berkata bohong, tidak menyakiti mahluk hidup dan sebagainya…” (Majjhima Nikaya I, hal,39).

3. cara Rekonstruksi (pembangunan kembali)

- Cara ini berkaitan dengan peletakan dasar inti ajaran beliau yaitu tentang Empat Kebenaran Mulia yang didalamnya terkandung jalan tengah

- Peran Sang Buddha adalah sebagai penemu yang telah menempuh sendiri jalan tengah dan penunjuk jalan bagai para siswanya.

(5)

- Corak pokok jalan ini adalah suatu cara latihan yang benar dalam seluruh kehidupan penganutnya. “baik para Bhikkhu atau umat awam…,baik para perumah tangga dan para peratapa kuanjurkan cara yang benar…, yaitu jalan mulia berunsur delapan” (Samyutta Nikaya II, hal.19).

- Mengapa disebut jalan tengah? Karena menghindari cara hidup ekstrim, yaitu: a. cara hidup memuja dan melampiaskan hawa nafsu (konsep nihilisme) yang

diwakili oleh kaum Materialis

b. cara hidup menyakiti diri sendiri dengan menjalankan berbagai latihan pertapaan yang keras.

- Cara jalan tengah berarti mengikuti cara hidup moderat/seimbang. Seperti yang disampaikan Sang Buddha kepada rahib Sona Kolivisa,”seperti sebuah sitar (semacam kecapi) yang senarnya tidak terlalu kencang/terlalu kendor… demikian pula Sona, tenaga (viriya) yan terlalu lamah akan mengakibatkan kemalasan. Oleh karena itu gunakanlah viriya secukupnya, dan gunakanlah panca inderamu secukupnya, dan disitu selamilah makna sesungguhnya.” (Vinaya I, hal. 182 dst).

- Manfaat Sila (ketika ditanya Y.A. Ananda mengenai manfaat Sila). “Sila menghasilkan kebebasan dari penyesalan; kebebasan ini membawa sukacita…kegiuran…ketenangan…kebahagiaan…pemusatan batin…melihat dan mengetahui hal-hal menurut apa adanya…penolakan dan surutnya minat (kepada hal-hal duniawi)…pembebasan sebagai tujuan akhir…” (Anguttara Nikaya V, hal.2 dst).

- Berkenaan dengan manfaat materi, Sang Buddha bersabda:”…tetapi seseorang yang mengumpulkan kekayaan, dengan cara-cara yang sah dan tanpa kekerasan; dan dengan berbuat demikian memperolah kenikmatan dan sukacita; dan ia membaginya dengan orang lain serta melakukan perbuatan-perbuatan baik; dan menggunakannya tanpa keserakahan dan kehausan, tanpa melakukan pelanggaran-pelanggaran, menyadari bahaya dalam penyalahgunaannya dan sadar akan yujuan hidup yang tertinggi, maka ia patut dipuji dan tak tercela dalam keempat segi ini.” (Samyutta Nikaya IV, hal.331).

(6)

F. Humanisme (perikemanusiaan)

- Humanisme mengakui dan meletakkan harkat manusiawi pada kedudukan yang tertinggi, dan membuat manusia sebagai “ukuran terkhir” dengan mengambil fitrah manusia dan kepentingan manusia sebagai perhatian pokoknya. Menurut humanisme manusia adalah ”pembuat dunianya sendiri berdasarkan kemampuannya sendiri”.

- Sang Buddha berkata “ Jika seseorang menghargai hidupnya sendiri, ia harus menjaganya baik-baik dan hidup secara lurus. Dan oleh karenanya tidak ada yang lebih berharga bagi manusia daripada hidupnya sendiri, maka iapun harus menghargai dan menghormati hidup orang lain seperti hidupnya sendiri”. (Samyutta Nikaya I, hal. 75).

- “untuk bergaul dan bersahabat dengan apa yang benar dan baik… engkau sendirilah yang harus tekun menjalankan kebaikan”. (Samyutta Nikaya I, hal. 89). - Ajaran yang sangat humanisme juga di sabdakan Sang Buddha: “tidak berbuat

jahat, perbanyaklah berbuat baik, dan sucikan hati dan pikiran. Itulah ajaran para Buddha (Dhammapada, ayat 183).

- Schiller mengatakan,”semua kebenaran sejati harus terbukti menguntungkan dan bermanfaat… Ia harus diterapkan terhadap masalah tertentu dalam kehidupan nyata, dimana kegunaannya diuji dan dibuktikan”. (”Studies on Humanism”, 1912, hal.8).

- Agama dan humanisme memiliki hubungan erat, tapi pada prakteknya agama meninggalkan humanisme. Sebabnya adalah:

a. adanya doktrin yang tidak seimbang antara humanisme dan teologi

b. agama sering dipakai sebagai alat pembenaran bagi insting kelompok dalam melawan kelompok lainnya.

G. Sikap Sang Buddha Tehadap Kepentingan dan Kesejahteraan Manusia - hal-hal yang selalu dihindari Sang Buddha dalam setiap Kotbahnya:

a. hal-hal yang diketahui tidak benar, tak berdasar, tak bermanfaat, tak men yenangkan dan tak nyaman didengar;

(7)

b. hal-hal yang diketahuinya benar, berdasar, tetapi tidak bermanfaat tak menyenangkan dan nyaman didengar;

c. hal-hal yang diketahui tak benar, tak berdasar, tak bermanfaat, sekalipun menyenangkandan nyaman didengar.

- hal-hal yang selalu dikatakan Sang Buddha dalam setiap Kotbahnya:

a. hal-hal yang diketahuinya benar, berdasar, bermanfaat, sekalipun tak menyenangkan dan tak nyaman didengar;

b. hal-hal yang diketahui benar, berdasar bermanfaat, menyenangkan dan nyaman didengar. (Majjhima Nikaya I hal. 395).

- Dalam menanamkan ajarannya Sang Buddha selalu mengutamakan yang bermanfaat; “Para Bhikkhu, jauh lebih banyak hal-hal yang kuketahui dan tidak kuajarkan pada kalian. Hanya sedikit yang kuajarkan pada kalian. Mengapa? Oleh karena hal-hal itu tidak bermanfaat, tidak mendorong pada kehidupan suci, penolakan (hal-hal duniawi), pelepasan diri, penakhiran (nafsu keinginan), ketenangan, pengetahuan yang luhur, penerangan dan pembebasan”. (Samyutta Nikaya V, hal.438).

- Sang Buddha sangat menghormati martabat manusia dan kehendak bebasnya untuk menentukan pilihannya sendiri dengan pengertian yang benar, seperti yang dikotbahkan dalama Kalama Sutta: “Dengarkan kaum kalama, janganlah hanyut terbawa oleh ucapan orang atau tradisi atau desas-desus atau oleh otoritas kitab suci, oleh penalaran, logika, atau penelitian alasan-alasan ; atau setelah merenungkan dan menerima teori-teori tertentu; atau oleh bentuknya yang berkenan dihati; atau oleh pertimbangan: ‘pertapa itu guruku…tetapi, kaum kalama, apabila kaian mengetahui sendiri bahwa hal-hal ini… patut dicela oleh para bijaksana, dan bila dilakukan akan berakibat kerugian dan penderitaan, maka tolaklah hal-hal itu… sebaliknya, apabila kalian sendiri mengetahui bahwa hal-hal ini tisak tercela dan patut dipuji oleh para bijaksana, dan bila dilakukan akan menghasilakan kesejahteraan dan kebahagiaan, maka lakukanlah dan binalah hal-hal itu. (Kalama Sutta, Digha Nikaya I, hal-hal.190).

(8)

H. Mengutamakan Kemauan, daya upaya dan martabat manusia. - Konsep etika Buddhis, yaitu:

a) etika yang bersangkut paut dengan penghidaran kejahatan, peningkatan kebaikan dan pensucian batin, hal mana akan membuat kehidupan manusia lebih baik dan lebih bahagia.

b) Terdapat tujuan terakhir dan jalan untuk mencapainya

- Pada perkembangannya nilai-nilai Buddhisme berhadapan dengan doktrin brahmanisme dan materialisme. Doktrin brahmanisme yang dikenal dengan nama issaranimmanavada tercermin dalam Sutta sebagai berikut, “ Dialah Maha Brahma, yang tertinggi, Maha kuasa, maha tau, penguasa, yang dipertuan, pengubah, pencipta… bapa dari segala yang ada dan yang akan ada. Semua mahluk adalah ciuptaanya… dan menurut kehendaknyalah terjadinya segala mahluk.” (Digha Nikaya I, hal.18).

- “ apapun kebahagian dan penderitaan…. yang dialami manusia, semua itu disebabkan karena ciptaan manusia.” (Anguttara Nikaya I, hal. 173).

- Konsep doktrin materialisme:

a) Manusia hanya terdiri dari unsur-unsur almiah, dan jika mati manusia terurai dalam unsur-unsurnya dan kembali kealam.

b) Tidak ada akibat-akibat moral dari perbuatan manusia

- Doktrin materialisme juga disebut fatalisme (Samsarasuddhivada)

- Konsep Fatalisme/samsarasuddhivada, yaitu: memandang manusia secara otomatis disucikan melalui kelahiran berulang-ulang. Ajaran tanpa sebab (Ahetukavada), ajaran tanpa tindakan (Akiriyavada). Tidak ada penyebab atau kondisi bagi tindakan manusia yang saleh/baik atau jahat. Pada hakikatnya manusia tidak memiliki perbuatan, kemampuan, tenaga, usaha, kekuatan dan daya upaya pribadi.

Referensi

Dokumen terkait

Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah data rekam medik pasien tumor ganas lambung yang memiliki data usia, jenis kelamin, faktor risiko, gejala klinis, dan

Selain pendidikan kesehatan, yang diperlukan untuk meningkatkan status kesehatan lansia adalah kesadaran dan pengetahuan pada individu atau lansia tentang kesehatan mulutnya,

Pada tahun 2013 dan 2014 target mahasiswa dapat tercapai dikarenakan adanya kerja sama dengan Telkom Group untuk memasukkan karyawannya sebagai calon mahasiswa S2 MM Tel-U

Manfaat dari penulisan tugas akhir ini adalah dapat memberikan informasi terkait potensi gas landfill (LFG) yang dihasilkan dari penguraian sampah di TPA Bakung Kota

Orang yang memiliki Kepribadian Ekstrovert adalah orang yang perhatiannya diarahkan ke luar dari dirinya. Ciri ciri atau sifat yang dimiliki oleh orang

Abstrak— Pada Tugas Akhir ini telah dibuat sistem konversi dokumen identitas individu menjadi suatu tabel, yaitu sebuah sistem yang mampu mengkonversi citra dokumen

Hasil dari penelitian tersebut menunjukan bahwa kualitas data input dan Tingkat pemahaman pengguna mengenai SIMDA merupakan faktor pendukung dari implementasi SIMDA namun

yang menyatakan bahwa kemampuan daya serap air pada tepung terigu berkurang apabila kadar air dalam tepung terlalu tinggi.Oleh karena itu, brownies panggang dengan