61
PENGARUH KONSENTRASI PEKTIN DAN LAMA PENYIMPANAN TERHADAP
MUTU SELAI NANAS LEMBARAN
(The Effect of Pectin Concentration and Storage Time on The Quality of Pineapple Jam
Sheet)
Ahmad Ikhwal P
*1, Zulkifli Lubis
1, Sentosa Ginting
11) Program Studi Ilmu danTeknologi Pangan Fakultas Pertanian USU Medan
Jl. Prof. A. Sofyan No. 3 Medan Kampus USU Medan
*e-mail :ahmad.ikhwal@yahoo.com
Diterima : 3 Mei 2014/ Disetujui 24 November 2014
ABSTRACT
Research was conducted to determine Effect of pectin concentration and storage time on the quality of pineapple jam sheet. Pineapple production in Indonesia is very abundant, but its processing is still very minimal, therefore the diversification of pineapple processing is needed to increase. This study was conducted to determine the effect of pectin concentration and storage time on the quality of pineapple jam sheet. This study used a completely randomized design with two factors namely pectin concentration (P): 0.25%, 0.50%, 0.75% and 1.00%, and storage time (L): 0 days, 5 days, 10 days and 15 days. The parameters analyzed were moisture content, total acid, vitamin C, total dissolved solids, total microbes, organoleptic of color, aroma, taste, texture as well as color and texture scores. The results showed that the concentration of pectin had highly significant effect on water content, total acid, vitamin C, total dissolved solids, organoleptic of color, aroma, taste, texture as well as color and texture scores. Storage time had highly significant effect on water content, total acid, vitamin C, total dissolved solids, total microbes, organoleptic of color, aroma, taste, texture as well as color and texture scores. Interaction of the two factors had highly significant effect on water content, total acid test scores and color. Concentration of 0.75% pectin gave the best quality characteristics of the pineapple jam sheet and storage for 10 days was still acceptable for consumption.
Keywords: Pectin concentration, pineapple, pineapple jam sheet, and storage time.
PENDAHULUAN
Buah-buahan di Indonesia banyak
ragamnya, mulai dari buah-buahan yang dapat diperoleh sepanjang tahun contohnya pisang, nanas, sirsak dan lain-lain, buah-buahan musiman misalnya mangga, durian, dan lain-lain ataupun buah-buahan yang berasal dari daerah dingin seperti stroberi dan apel.
Buah-buahan merupakan komoditi yang mudah rusak. Sifat mudah rusak atau busuk ini sering mengakibatkan kerugian bagi petani atau pedagang buah-buahan. Kerugian yang timbul berbeda-beda untuk setiap jenis buah-buahan yang dapat terjadi pada saat pemanenan,
penyimpanan, pengangkutan, ataupun
pemasaran.
Buah-buahan bisa dimanfaatkan untuk berbagai jenis makanan olahan sehingga bisa dikonsumsi dalam bentuk lain yang lebih bergizi dan bisa dikonsumsi dimasa yang akan datang tanpa mengurangi nilai gizinya salah satunya adalah buah nanas, misalnya dengan cara mengawetkannya. Adapun beragam cara untuk
mengawetkan buah-buahan, salah satunya dengan cara pembuatan “selai lembaran” atau snack buah-buahan agar kita bisa menikmati buah meskipun tidak pada musimnya. Cara ini masih tergolong baru di Indonesia, namun di negara maju produk ini sudah sering dibuat.
Selai yang ada di pasaran umumnya dalam bentuk selai oles. Hal ini dianggap kurang praktis
dalam penyajiannya sehingga perlu
pengembangan bentuk olahan lain sebagai contoh selai lembaran. Selai lembaran lebih praktis dan lebih mudah dalam penyajiannya, sehingga menjadi alternatif utama produk pangan yang dapat dikonsumsi bersama roti untuk sarapan pagi. Produk selai lembaran yang baik adalah selai yang berbentuk lembaran sesuai permukaan roti, tidak cair atau terlalu lembek, namun juga tidak terlalu kaku sehingga diperlukan bahan tambahan berupa hidrokoloid sebagai penguat tekstur, salah satunya adalah hidrokoloid turunan rumput laut merah yaitu agar-agar. Pemanfaatan agar-agar sebagai bahan tambahan selai diharapkan mampu mengubah tekstur selai menjadi lembaran yang disukai. Selain itu diharapkan produk ini mampu menjadi
62 salah satu alternatif diversifikasi pengolahan pangan semi basah yang telah ada.
Berbagai jenis makanan olahan dapat dibuat dari buah nanas. Pengolahan dapat
menggunakan peralatan yang sederhana
sehingga mudah diterapkan di pedesaan. Beberapa contoh aneka produk olahan nanas adalah sebagai berikut : sari buah nanas, sirup buah nanas, selai buah nanas, manisan kering nanas, dodol nanas, keripik nanas, dan saus nanas. Dari semua produk yang telah ada selai nanas lembaran belum pernah ada sehingga saya tertarik untuk membuat selai nanas lembaran.
Latar belakang pemilihan pektin sebagai bahan pembentuk gel dalam pembuatan selai nanas lembaran adalah karena pada pembuatan selai harus dipenuhi tiga syarat pembentukan gel yaitu pektin, gula, dan asam, serta dapat pula dengan penambahan bahan penstabil lainnya. Apabila ketiganya dicampur dan disertai perlakuan pemanasan, maka akan terjadi pembentukan gel, sedangkan karagenan dipilih sebagai penstabilnya agar dihasilkan selai nanas lembaran yang kokoh dan kenyal. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh empat taraf konsentrasi pektin dan empat taraf lama penyimpanan terhadap mutu selai nanas lembaran dan untuk menghasilkan taraf konsentrasi pektin dan lama penyimpanan yang tepat dalam pembuatan selai nanas lembaran.
BAHAN DAN METODA
Metoda pengolahan pembuatan selai nanas lembaran ini hampir sama dengan pembuatan selai pada umumnya. Hanya saja pada penelitian ini menggunaan penambahan pektin dan karagenan. Nanas diperoleh dari pasar tradisional Pajak Sore. Penelitian dilakukan di Laboratorium Analisa Kimia Bahan Pangan Fakultas Pertanian USU. Bahan lain yang digunakan adalah pektin, karagenan dan gula. Bahan kimia yang digunakan adalah larutan
NaOH 0,1N, Iodine 0,1N, indikator
phenolphtalein 1%, pati dan akuades. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat untuk analisa kadar air, total asam, kadar vitamin C, total padatan terlarut dan untuk membuat selai nanas lembaran.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan
2 faktor, Faktor I konsentrasi pektin
dilambangkan dengan P terdiri dari 4 taraf : yang
terdiri dari 4 taraf, yaitu :P1 : 0,25%, P2 : 0,50%,
P3 : 0,75%, P4 : 1,00%. Faktor II : Lama
penyimanan dilambangkan dengan L yang terdiri
dari 4 taraf, yaitu L1 : 0 hari, L2 : 5 hari, L3 :
10 hari, L4 : 15 hari. Setiap perlakuan dibuat
dalam 2 ulangan.
Disortasi buah nanas yang telah dikupas kulit dan dibuang mata buahnya lalu dipotong-potong dan dihancurkan sampai halus dengan menggunakan blender tanpa penambahan air. Nanas yang sudah hancur dibagi menjadi empat (4) perlakuan dengan berat masing-masing bubur buah 200 gram, yaitu : ditambahkan gula dengan konsentrasi 65%, agar-agar 3,5% dan pektin (0,25%, 0,50%, 0,75% dan 1,00%) dari berat bubur buah, kemudian diaduk semua bahan di dalam suatu wadah sampai semua bahan bercampur, setelah bahan bercampur semua lalu dipanaskan sampai mendidih sambil diaduk-aduk terus. Setelah 5 menit kemudian atau setelah mengental, pemanasan dihentikan lalu dituang ke dalam cetakan. Setelah 5 menit selai di dalam cetakan lalu dikeluarkan dari cetakan lalu di keringkan dengan menggunakan oven
blower dengan suhu 50oC selama 2 hari (48 jam)
untuk membentuk selai menjadi lembaran, lalu dimasukkan ke dalam kemasan plastik disimpan
pada suhu kamar (28-30oC).
Variabel mutu yang diamati adalah kadar air (AOAC, 1984), total asam (Ranganna, 1977), kadar vitamin C (Jacobs, 1958), total padatan terlarut (Ranganna, 1977) dan uji hedonik yaitu warna, aroma, rasa dan tekstur, uji skor warna (skala 1:coklat, 2:coklat kekuningan, 3:kuning kecoklatan, 4:kuning, 5:kuning terang) dan uji skor tekstur (skala 1:sangat tidak kenyal, 2:tidak kenyal, 3:agak kenyal, 4:kenyal, 5:sangat kenyal) (Soekarto, 1985).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi pektin dan lama penyimpanan memberikan pengaruh terhadap parameter yangdiamati seperti terlihat pada Tabel 1 dan Tabel 2
.
Kadar Air
Dari Tabel 1 dan 2 dapat dilihat bahwa konsentrasi pektin dan lama penyimpanan memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata (P<0,01) pada nilai kadai air selai nanas lembaran. Hubungan perbandingan konsentrasi pektin dan lama penyimpanan terhadap kadar air selai nanas lembaran dapat dilihat pada Gambar 1. Dari Gambar 1 dapat dilihat bahwa kadar air tertinggi diperoleh pada kombinasi perlakuan
P4L3 sebesar 25,428%. Hal ini dikarenakan gel
pektin merupakan sistem seperti spon yang diisi oleh air sehingga semakin banyak pektin maka semakin besar air yang diikat oleh pektin, begitu
63 juga dengan penyimpanan dimana semakin lama penyimpanan maka kadar air semakin tinggi. Hal ini dikarenakan semakin banyak gula yang terhidrolisis sehingga air yang terdapat di dalam gula akan keluar dan meningkatkan kadar air pada selai. Hal ini sesuai dengan pernyataan Estiasih dan Ahmadi (2009) yang menyatakan gel pektin merupakan sistem seperti spon yang diisi oleh air. Rantai molekul pektin membentuk
jaringan tiga dimensi di mana gula, air dan padatan terlarut yang lain diikat dan literatur Sulaiman (1996) yang menyatakan bahwa selama penyimpanan maka akan terjadi
perubahan kimia secara spontan maka
molekulnya gula akan terhidrolisis, hidrolisis akan lebih cepat terjadi jika dibubuhi rasa asam yang akan menyebabkan air akan meningkat.
Tabel 1. Pengaruh Konsentrasi Pektin Terhadap Parameter Mutu Selai yang diamati
Parameter Mutu Selai Konsentrasi Pektin
P1 = 0,25% P2 = 0,50% P3 = 0,75 % P4 = 1,00%
Kadar Air (%) 14,652 16,054 19,252 21,683
Total Asam (%) 0,224 0,250 0,359 0,397
Kadar Vitamin C (mg/100g bahan) 28,745 31,048 33,609 35,969
Total padatan terlarut (oBrix) 63,820 59,007 56,861 54,023
Nilai Organoleptik (Numerik)
Warna 3,252 3,161 3,006 3,050 Aroma 3,325 3,108 2,850 2,425 Rasa 3,050 3,067 3,158 3,258 Tekstur 2,850 2,891 2,975 3,062 Nilai Skor Warna 3,000 2,958 2,900 2,858 Tekstur 2,929 2,992 3,080 3,342
Keterangan : Angka di dalam tabel merupakan rataan dari 2 ulangan.
Tabel 2. Pengaruh lama penyimpanan terhadap parameter yang diamati
Parameter Mutu Selai Lama Peyimpanan (Hari)
L1 = 0 Hari L2 = 5 Hari L3 = 10 Hari L4 = 15 Hari
Kadar Air (%) 15,982 17,272 19,160 19,226
Total Asam (%) 0,226 0,293 0,316 0,380
Kadar Vitamin C (mg/100g bahan) 41,638 34,023 27,924 25,711
Total padatan terlarut (oBrix) 63,820 59,160 56,861 54,023
Nilai Organoleptik (Numerik)
Warna 3,609 3,502 2,894 2,525 Aroma 3,325 3,108 2,850 2,425 Rasa 3,609 3,508 2,892 2,525 Tekstur 3,170 3,058 2,874 2,675 Nilai Skor Warna 3,298 3,129 2,866 2,442 Tekstur 3,595 3,109 2,933 2,709
Keterangan : Angka di dalam tabel merupakan rataan dari 2 ulangan.
Gambar 1. Grafik hubungan interaksi antara konsentrasi pektin dan lama penyimpanan terhadap kadar air
P1 ; ý = 0,166L + 13,35 r = 0,929 P2 ; ý = 0,227L + 14,29 r = 0,983 P3 ; ý = 0,260L + 17,23 r = 0,989 P4 ; ý = 0,325L + 19,16 r = 0,467 0 5 10 15 20 25 30 0 5 10 15 K ad ar A ir (% )
Lama Penyimpanan (hari)
P1 P2 P3 P4 P1 = 0,25% P2 = 0,50% P3 = 0,75% P4 = 1,00%
64
Total Asam
Dari Tabel 1 dan 2 dapat dilihat bahwa konsentrasi pektin dan lama penyimpanan memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata (P<0,01) pada nilai total asam selai nanas lembaran. Hubungan perbandingan konsentrasi pektin dan lama penyimpanan terhadap total asam selai nanas lembaran dapat dilihat pada Gambar 2. Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa total asam tertinggi terdapat pada perlakuan
kombinasi P3L4 0,468%. Hal ini dikarenakan
pektin dapat mengikat gula, air dan padatan terlarut seperti asam-asam dalam bahan,
ditambah pektin itu sendiri yang bersifat asam, menyebabkan total asam semakin meningkat dan dikarenakan semakin banyaknya gula yang terhidrolisis menjadi asam. Hal ini sesuai dengan pernyataan Estiasih dan Ahmadi (2009) yang menyatakan bahwa gel pektin merupakan sistem seperti spon yang diisi oleh air. Rantai molekul pektin membentuk jaringan tiga dimensi di mana gula, air dan padatan terlarut yang lain diikat. Peningkatan asam pada bahan pangan dapat terjadi karena penguraian glukosa menjadi asam (Barlina, 1999).
Gambar 2. Grafik hubungan interaksi konsentrasi pektin dan lama penyimpanan terhadap total asam
Kadar Vitamin C
Dari Tabel 1 konsentrasi pektin
memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap kadar vitamin C dapat dilihat pada Gambar 3. Dari Gambar 3 dapat dilihat bahwa kadar vitamin C tertinggi terdapat pada perlakuan
P4 35,969 mg/100g bahan. Hal ini dikarenakan
sifat pektin yang sangat mudah mengikat molekul-molekul air juga senyawa-senyawa lain pada selai nenas yang banyak mengandung
vitamin C, sehingga semakin banyak pektin yang ditambahkan maka semakin banyak senyawa vitamin C yang terikat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Estiasih dan Ahmadi (2009) yang menyatakan bahwa gel pektin merupakan sistem seperti spon yang diisi oleh air. Rantai molekul pektin membentuk jaringan tiga dimensi dimana gula, air dan padatan terlarut yang di dalam air akan diikat.
Gambar 3. Grafik hubungan konsentrasi pektin terhadap kadar vitamin C
P1 ; ŷ = 0,015L + 0,103 r = 0,992 P2 ; ŷ = 0,007L + 0,189 r = 0,935 P3 ; ŷ = 0,014L + 0,245 r = 0,935 P4 ; ŷ= 0,004L + 0,363 r = 0,493 0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 0,30 0,35 0,40 0,45 0,50 0 5 10 15 T ot al A sa m ( % )
Lama Penyimpanan (hari)
P1 P2 P3 P4 P1 = 0,25% P2 = 0,50% P3 = 0,75% P4 = 1,00% ŷ = 9,691P + 26,28 r = 0,999 10 15 20 25 30 35 40 0,00 0,25 0,50 0,75 1,00 K ad ar V ita m in C (m g/ 10 0g r ba ha n) Konsentrasi Pektin (%)
65 Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa lama penyimpanan memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap kadar vitamin C selai nanas lembaran dapat dilihat pada Gambar 4. Dari Gambar 4 dapat dilihat bahwa kadar vitamin
C tertinggi terdapat pada perlakuan L1 yaitu
sebesar 41,713 mg/100g. Semakin lama penyimpanan maka kadar vitamin C akan
menurun. Hal ini dikarenakan selama
penyimpanan akan terjadi perubahan secara spontan sehingga vitamin C akan terurai menyebabkan vitamin C akan menurun karena vitamin C vitamin yang mudah rusak dan sangat tidak stabil. Sesuai dengan dengan pernyataan deMan (1997) yang menyatakan bahwa vitamin C adalah vitamin yang paling tidak stabil dari semua vitamin dan mudah rusak selama pemprosesan dan penyimpanan.
Gambar 4. Grafik hubungan lama penyimpanan terhadap kadar vitamin C
Total Padatan Terlarut
Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa
konsentrasi pektin memberikan pengaruh
berbeda sangat nyata terhadap total padatan terlarut dapat dilihat pada Gambar 5. Dari Gambar 5 dapat dilihat bahwa total padatan
terlarut tertinggi terdapat pada perlakuan P1
61,836oBrix. Hal ini dikarenakan semakin tinggi
konsentrasi pektin maka semakin rendah total padatan terlarutnya. Hal ini dikarenakan semakin tinggi konsentrasi pektin maka kadar air semakin meningkat. Meningkatnya kadar air maka total padatan terlarut semakin menurun karena jumlah air yang digunakan untuk melarutkan padatan semakin banyak.
Gambar 5. Grafik hubungan konsentrasi pektin terhadap total padatan terlarut
Nilai Organoleptik Warna
Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa
konsentrasi pektin memberikan pengaruh
berbeda sangat nyata terhadap uji organoleptik warna dapat dilihat pada Gambar 6. Dari Gambar 6 dapat dilihat bahwa nilaii organoleptik warna
tertinggi terdapat pada perlakuan P1 3,253.
Terjadinya penurunan nilai organoleptik warna
disebabkan oleh kekentalan produk yang semakin meningkat, sehingga warna selai menjadi lebih gelap. Hal ini sesuai dengan pernyataan Estiasih dan Ahmadi (2009) yang menyatakan bahwa pektin mempunyai sifat sebagai pengental. Hal tersebut mempengaruhi kesukaan panelis karena warna adalah hal pertama yang mempengaruhi penilaian panelis.
ŷ = -1,136L + 41,15 r = -0,928 10 15 20 25 30 35 40 45 0 5 10 15 K ad ar V ita m in C (m g/ 10 0g r ba ha n)
Lama Penyimpanan (Hari)
ŷ = -7,515P + 63,12 r = -0,931 50 52 54 56 58 60 62 64 0,00 0,25 0,50 0,75 1,00 T ot al P ad at an T er la ru t (o B rix ) Konsentrasi Pektin (%)
66
Gambar 6. Grafik hubungan konsentrasi pektin dengan nilai organoleptik warna Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa
konsentrasi pektin memberikan pengaruh
berbeda sangat nyata terhadap nilai organoleptik warna dapat dilihat pada Gambar 7. Dari Gambar 7 dapat dilihat bahwa nilai organoleptik warna
tertinggi terdapat pada perlakuan L1 3,608.
Semakin lama penyimpanan maka uji
organoleptik warna semakin rendah. Hal ini
dikarenakan selama penyimpanan terjadi
perubahan-perubahan yang diakibatkan aktivitas mikroorganisme, perubahan warna akan terjadi
semakin lama waktu penyimpanan ini
menyebabkan nilai organoleptik mengalami penurunan yang menyebabkan panelis kurang menyukai warnanya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Buckle et al., (1987) yang
menyatakan bahwa pertumbuhan
mikroorganisme dapat mengakibatkan berbagai perubahan fisik dan kimiawi dari suatu bahan pangan sehingga akan menyebabkan perubahan warna pada bahan pangan yang tidak dapat diterima oleh konsumen.
Gambar 7. Grafik hubungan lama penyimpanan terhadap nilai organoleptik warna
Nilai Organoleptik Aroma
Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa konsentrasi pektin memberikan pengaruh bebeda sangat nyata terhadap nilai organoleptik aroma dapat dilihat pada Gambar 8. Dari Gambar 8 dapat dilihat bahwa uji organoleptik aroma
tertinggi terdapat pada perlakuan P1 3,025.
Terjadinya penurunan nilai organoleptik aroma dikarenakan peningkatan viskositas selai oleh pektin, yang menyebabkan penurunan nilai organoleptik aroma nanas yang disukai oleh panelis. Semakin tinggi konsentrasi pektin yang ditambahkan maka viskositas semakin meningkat sehingga aroma tertahan akibat viskositas yg tinggi menyebabkan aroma selai tertahan didalam, sehingga mempengaruhi nilai uji organoleptik aroma selai. Hal ini sesuai dengan pernyataan Picconea et al., (2011) yang
menyatakan bahwa peningkatan
jumlah hidrokoloid dalam matriks makanan telah
terbukti dapat meningkatkan ketebalan produk yang terkait dengan pengurangan persepsi rasa yang sebagian dapat dikaitkan dengan penurunan senyawa aroma.
Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa lama penyimpanan memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap nilai organoleptik aroma dapat dilihat pada Gambar 9. Dari Gambar 9 dapat dilihat bahwa nilai organoleptik aroma
tertinggi terdapat pada perlakuan L1 3,325. Hal ini
dikarenakan mikroorganisme akan memecah senyawa karbohidrat yang terdapat didalam bahan sehingga akan menghasilkan asam dan alkohol gas. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Irianto., (2002) yang menyatakan
mikroorganisme akan memecah senyawa
karbohidrat yang terdapat didalam bahan sehingga akan menghasilkan asam dan alkohol gas. ŷ = -0,281P + 3,308 r = -0,933 2,50 2,70 2,90 3,10 3,30 0,00 0,25 0,50 0,75 1,00 N ila i O rg an ol ep tik W ar na (N um er ik ) Konsentrasi Pektin (%) ŷ = -0,082L + 3,773 r = -0,962 0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 3,00 3,50 4,00 0 5 10 15 N ila i O rg an ol ep tik w ar na ( N um er ik )
67
Gambar 8. Grafik hubungan konsentrasi pektin dengan nilai organoleptik aroma
Gambar 9. Grafik hubungan lama penyimpanan dengan nilai organoleptik aroma
Nilai Organoleptik Rasa
Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa konsentrasi pektin memberikan pengaruh bebeda sangat nyata terhadap nilai organoleptik rasa dapat dilihat pada Gambar 10. Dari Gambar 10 dapat dilihat bahwa nilai organoleptik rasa
tertinggi terdapat pada perlakuan P4 3,258. Hal ini
dikarenakan pektin berasal dari buah dan sayur-sayuran yang menambahkan rasa pada produk
makanan dan memberikan rasa yang spesifik pada produk tertentu. Hal ini sesuai dengan pernyataan Picconea et al., (2011) yang menyatakan bahwa peningkatan jumlah hidrokoloid dalam matriks makanan telah terbukti dapat meningkatkan ketebalan produk yang dimana dengan penambahan pektin persepsi rasa yang berasal dari pektin itu sendiri yang berasal dari buah-buahan atau sayur-sayuran.
Gambar 10. Grafik hubungan konsentrasi pektin dengan nilai organoleptik rasa
Dari Tabel 2 lama penyimpanan
memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap nilai organoleptik rasa dapat dilihat pada Gambar 11. Dari Gambar 11 dapat dilihat bahwa nilai organoleptik rasa tertinggi terdapat
pada perlakuan L1 3,608. Hal ini dikarenakan
dicampuran agar-agar atau karagenan yang ditambahkan terjadi penurunan rantai glukosida yang menyebabkan terjadinya hidrolisis gula menjadi asam. Hal ini sesuai dengan pernyataan Barlina (2004) yang menyatakan bahwa
peningkatan asam pada bahan pangan dapat terjadi karena pada saat proses hidrolisis gula menjadi asam.
Nilai Organoleptik Tekstur
Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa
konsentrasi pektin memberikan pengaruh
berbeda sangat nyata terhadap nilai organoleptik tekstur dapat dilihat pada Gambar 12. Dari Gambar 12 dapat dilihat bahwa nilai organoleptik
tekstur tertinggi terdapat pada perlakuan P4
ŷ = -0,283P + 3,104 r = -0,990 2,00 2,20 2,40 2,60 2,80 3,00 3,20 0,00 0,25 0,50 0,75 1,00 N ila i O rg an ol ep tik A ro m a (N um er ik ) Konsentrasi Pektin (%) ŷ = -0,063L + 3,416 r = -0,984 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 0 5 10 15 N ila i O rg an ol ep tik A ro m a (N um er ik )
Lama Penyimpanan (hari)
ŷ = 0,286P + 2,954 r = 0,927 2,80 2,85 2,90 2,95 3,00 3,05 3,10 3,15 3,20 3,25 3,30 0,00 0,25 0,50 0,75 1,00 N ila i O rg an ol ep tik R as a (N um er ik ) Konsentrasi Pektin (%)
68 3,061. Hal ini dikarenakan pektin yang bersifat pengental dan perekat dimana di dalam pektin
terdapat polisakarida yaitu selulosa,
hemiselulosa, pektin dan lignin yang berfungsi sebagai penguat tekstur. Hal ini sesuai dengan pernyataan Winarno (2004) pektin adalah campuran polisakarida kompleks (selulosa, hemiselulosa, pektin dan lignin) yang terdapat dalam berbagai buah dan sayur yang berfungsi sebagai pembentuk gel, perekat dan pengikat dan pembentuk tekstur.
Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa lama penyimpanan memberikan pengaruh berbeda
sangat nyata terhadap nilai organoleptik tekstur dapat dilihat pada Gambar 13. Dari Gambar 13 dapat dilihat bahwa nilai organoleptik tekstur
tertinggi terdapat pada perlakuan L1 3,170.
Semakin lama masa simpannya maka tekstur yang dihasilkan semakin menurun. Hal ini
dikarenakan selama penyimpanan terjadi
kristalisasi pada gula sesuai dengan litaratur Buckle et al., (1987) yang menyatakan bahwa kelainan utama pada produk selai adalah kristalisasi yang disebabkan karena padatan terlarut yang berlebihan, sukrosa yang tidak cukup atau gula yang tidak cukup larut
Gambar 11. Grafik hubungan lama penyimpanan dengan nilai organoleptik rasa
Gambar 12. Grafik hubungan konsentrasi pektin dengan nilai organoleptik tekstur .
Gambar 13. Grafik hubungan lama penyimpanan dengan nilai organoleptik tekstur ŷ = -0,083L + 3,776 r = -0,959 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 0 5 10 15 N ila i O rg an ol ep tik R as a (N um er ik )
Lama Penyimpanan (hari)
ŷ = 0,286P + 2,765 r = 0,977 2,50 2,55 2,60 2,65 2,70 2,75 2,80 2,85 2,90 2,95 3,00 3,05 3,10 0,00 0,25 0,50 0,75 1,00 N ila i O rg an ol ep tik T ek st ur (N um er ik ) Konsentrasi Pektin (%) ŷ = -0,035L + 3,220 r = -0,995 2,50 2,60 2,70 2,80 2,90 3,00 3,10 3,20 3,30 0 5 10 15 N ila i O rg an ol ep tik T ek st ur (N um er ik )
69
Skor Warna
Dari Tabel 1 dan 2 dapat dilihat bahwa konsentrasi pektin dan lama penyimpanan memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap skor warna dapat dilihat pada Gambar 14. Dari Gambar 14 dapat dilihat bahwa skor
warna tertinggi terdapat pada perlakuan P1L1
3,500. Hal ini dikarenakan adanya faktor pemanasan, pengeringan dan pektin yang ditambahkan semakin banyak serta adanya
aktivitas mikroorganisme yang dapat
menyebabkan perubahan warna semakin gelap dan juga karena pektin yang ditambahkan berwarna putih kekuning-kuningan sehingga mempengaruhi hasil produk akhir. Hal ini sesuai dengan pernyataan Estiasih dan Ahmadi (2009) yang menyatakan bahwa pektin mempunyai sifat sebagai pengental yang dapat mengentalkan produk dan selama penyimpanan akan terjadi perubahan-perubahan akibat dari aktivitas mikroorganisme yang menyebabkan warna menjadi gelap.
Gambar 14. Grafik hubungan konsentrasi pektin dan lama penyimpanan dengan skor warna
Skor Tekstur
Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa konsentrasi pektin memberikan pengaruh bebeda sangat nyata terhadap skor tekstur dapat dilihat pada Gambar 15. Dari Gambar 15 dapat dilihat bahwa skor tekstur tertinggi terdapat pada
perlakuan P4 3,342. Hal ini disebabkan pektin
yang dapat membentuk gel bila dibantu oleh adanya asam, gula, dan pemanasan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Satuhu (1996) yang menyatakan bahwa zat pokok yang diperlukan pada pembuatan selai ialah pektin, gula dan asam. Bila dimasak dalam kondisi tertentu gabungan ketiganya akan membentuk jely.
Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa lama penyimpanan memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap skor tekstur dapat dilihat pada Gambar 16. Dari Gambar 16 dapat dilihat bahwa skor tekstur tertinggi terdapat pada
perlakuan L1 3,595. Hal ini dikarenakan semakin
lama penyimpanan akan menyebabkan aktivitas air akan meningkat sehingga tekstur akan menurun. Hal ini sesuai dengan literatur Buckle
et al., (1987) yang menyatakan bahwa aktivitas
air bahan pangan dapat naik pada keadaan penyimpanan yang lembab.
Gambar 15. Grafik hubungan konsentrasi pektin dengan uji skor tekstur P1 ; ý = -0,073L + 3,571 r = -0,989 P2 ; ý = -0,067L + 3,481 r = -0,998 P3 ; ý = -0,051L + 3,296 r = -0,885 P4 ; ý = -0,050L + 3,252 r= -0,837 0,00 0,40 0,80 1,20 1,60 2,00 2,40 2,80 3,20 3,60 4,00 0 5 10 15 S ko r W ar na
Lama Penyimpanan (hari) P1 P2 P3 P4 P1=0,25% P2=0,50% P3=0,75% P4=1,00% ŷ = 0,529P + 2,755 r = 0,888 2,60 2,70 2,80 2,90 3,00 3,10 3,20 3,30 3,40 0,00 0,25 0,50 0,75 1,00 U ji S ko r T ek st ur Konsentrasi Pektin (%)
70
KESIMPULAN
Pengaruh konsentrasi pektin dan lama penyimpanan terhadap selai nanas lembaran yang dihasilkan adalah membuat tekstur selai nanas lembaran menjadi padat, kenyal, dan
kokoh. Perlakuan P3K3 (pektin 0,75% dan lama
penyimpanan 10 hari) merupakan kombinasi perlakuan terbaik untuk mendapatkan selai nanas lembaran dengan mutu yang disukai
panelis
.
DAFTAR PUSTAKA
AOAC. 1990. Official Methods of Analysis of The Association of The Official Analytical
Chemists. 11th Edition, Washington D.C.
Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet dan M. Wootton, 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan H. Purnomo dan Adiano. UI-Press, Jakarta. Barlina, R. 2004. Potensi Buah Kelapa Muda untuk Kesehatan dan Pengolahannya.
http://perkebunan.litibang.deptan.go.id [02
Agustus 2012].
deMan, J.M. 1997. Kimia Makanan. ITB-Press, Bandung.
Estiasih, T dan K. Ahmadi. 2009. Teknologi Pengolahan Pangan. PT Bumi Aksara, Jakarta.
Jacobs, M. B. 1958. The Chemistry and
Technology of Food and Food Products.
Interscience Publishers, New York. Irianto, K., 2006. Mikrobiologi Menguak Dunia
Mikrobiologi. Yrama Widya, Bandung. Picconea P., S.L. Rastellib, dan P. Pittia. 2011.
Aroma Release and Sensory Perception of Fruit Candies Model Systems. University of
Teramo, Italy.
Ranganna, S. 1977. Manual of Analysis for Fruit
and Vegetable Products. Mc.Graw Hill
Publishing Company Limited, New Delhi. Soekarto. 1985. Penilaian Organoleptik. Pusat
Pengembangan Teknologi Pangan. IPB, Bogor.
Sulaiman, A.H. 1996. Dasar-dasar Biokimia untuk Industri Pertanian. USU-Press, Medan. Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi.