BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sindrom Metabolik
2.1.1. Definisi Sindrom Metabolik
Sindrom metabolik adalah suatu kondisi di mana terjadi penurunan sensitivitas jaringan terhadap kerja insulin sehingga terjadi peningkatan sekresi insulin sebagai bentuk kompensasi sel beta pankreas. Disfungsi metabolik ini menimbulkan berbagai kelainan dengan konsekuensi klinik yang serius berupa penyakit kardiovaskular dan diabetes mellitus tipe 2, sindrom ovarium polikistik dan perlemakan hati non alkohloik serta penyakit penyakit lainnya.(Sugondo, 2009)
Berdasarkan The National Cholesterol Education Program Third Adult
Treatment Panel (NCEP-ATP III), sindrom metabolik adalah seseorang dengan
memiliki sedikitnya 3 kriteria berikut: 1). Obesitas abdominal (lingkar pinggang > 88 cm untuk wanita dan untuk pria > 102 cm); 2). Peningkatan kadar trigliserida darah (≥ 50 mg/dL, atau ≥ 1,69 mmol/ L); 3). Penurunan kadar kolesterol HDL (< 40 mg/dL atau < 1,03 mmol/ L pada pria dan pada wanita < 50 mg/dL atau <1,29 mmol/ L); 4). Peningkatan tekanan darah (tekanan darah sistolik ≥130 mmHg, tekanan darah diastolik ≥85 mmHg atau sedang memakai obat anti hipertensi); 5). Peningkatan glukosa darah puasa (kadar glukosa puasa ≥110 mg/dL, atau ≥ 6,10 mmol/ L atau sedang memakai obat anti diabetes) (Adult Treatment Panel III, 2001).
Selain kriteria berdasarkan NCEP-ATP III diatas masih ada beberapa kriteria untuk definisi Sindrom Metabolik antara lain; kriteria World Health Organization (WHO), kriteria International Diabetes Federation (IDF), The American Heart Association/National Heart, Lung, and Blood Institute (AHA/NHLBI), saat ini kriteria NCEP-ATP III telah banyak diterima secara luas (Mittal, 2008)
Tabel 2.1. Kriteria Diagnosis Sindrom Metabolik
Unsur Sindrom NCEP ATP IIIWHOAHA IDF Metabolik
Hipertensi Dalam Dalam Dalam Dalam Pengobatan pengobatan pengobatan pengobatan antihipertensi antihipertensi antihipertensi antihipertensi atau TD ≥ 130/85 atau TD≥140/90 TD≥130/85 TD≥130/85 mmHg mmHg mmHg mmHg Dislipidemia Plasma TG ≥ 150 Plasma TG≥150 Plasma TG≥150 Plasma TG≥ mg/dL, HDL-C mg/dL dan atau mg/dL, HDL-C 150 mg/dL L < 40 mg/dL HDL-C L<40 mg/dL HDL-C P< 50 mg/dL L<35mg/dL P<50 mg/dL L<40 mg/dL P<40mg/dL P<50mg/dL Dlm pengobatan Dyslipidemia
Obesitas Lingkar pinggang IMT > 30 kg/m2 Lingkar Pinggang Obesitas L>102 cm, atau rasio perut- L>102 cm sentral(LP) P> 88 cm pinggul L>0,90: P>88 cm asia:L>90
P>0,85 cm, P>80 cm
Gangguan GD puasa ≥110 DM tipe 2 atau GD puasa ≥100 GD puasa≥ Metabolism mg/dL TGT mg/dL 100 mg/dL Glukosa didiagnosa DM tipe 2 Lain-lain Mikroalbuminuri ≥20ug/menit (rasio albumin kreatinin ≥30)
Kriteria Diagnosa Minimal 3 DM tipe 2 atau minimal 3 Obesitas Kriteria TGT dan 2 krit- kriteria sentral +2
Eria diatas. Jika toleransi glukosa normal, diperlukan 3 kriteria.
Keterangan: TD = Tekanan Darah; L = Laki-laki; P = Perempuan; TG = Trigliserida; HDL-C = Kolesterol HDL; IMT = Indeks Massa Tubuh; DM = Diabetes Melitus; TGT = Toleransi Glukosa Terganggu; GD = Gula Darah
2.1.2. Etiologi Sindrom Metabolik
Secara garis besar, terdapat kepentingan klinis dari kriteria-kriteria tersebut. Antara lain disebutkan oleh WHO pada tahun 1998 yang menekankan bahwa resistensi insulin merupakan penyebab primer dari sindrom metabolik. Selain itu, WHO juga mengizinkan penggunaan terminologi sindrom metabolik untuk digunakan pada pasien DM tipe 2 yang juga memenuhi kriteria lain (Tjokroprawiro A., 2005; Grundy S.M., 2006).
Pada tahun 1999, EGIR mengajukan revisi dari definisi WHO. EGIR menggunakan terminologi sindroma resistensi insulin (Tjokroprawiro A., 2005). Pada tahun 2001, NCEP ATP III tidak memasukkan resistensi insulin dalam kriteria (Tjokroprawiro A., 2005). Hal ini disebabkan sulitnya melakukan pengukuran dan standardisasi resistensi insulin (Tjokroprawiro A., 2005).
AACE (American Assosiation of Clinical Endocrinologists) pada tahun 2003 merevisi kriteria ATP III untuk kembali berfokus pada resistensi insulin sebagai penyebab primer dari faktor risiko metabolik. Kriteria mayor lainnya adalah toleransi glukosa terganggu, peningkatan trigliserida, penurunan HDL, peningkatan tekanan darah, dan obesitas (Grundy SM, 2006).
2.1.3. Patogenesis Sindroma Metabolik
Menurut ATP III komponen-komponen sindroma metabolik terdiri dari (Grundy S.M., 2006; Semiardji, 2004; Tjokroprawiro A., 2005) :
a. obesitas abdominal adalah bentuk dari obesitas yang paling kuat berhubungan dengan sindroma metabolik. Hal ini dapat terlihat secara klinis dengan meningkatnya lingkar perut/pinggang.
b. dislipidemia atherogenik bermanifestasi dengan penurunan kadar HDL-C, peningkatan kadar trigliserida, dan small dense LDL.
c. peningkatan tekanan darah berhubungan dengan obesitas dan biasanya terjadi pada resistensi insulin.
d. resistensi insulin/intoleransi glukosa terjadi pada sebagian populasi dengan sindroma metabolik. Hal ini berhubungan erat dengan komponen sindroma metabolik lainnya, dan berbanding lurus dengan risiko penyakit kardiovaskular. e. keadaan proinflamasi meningkatkan kadar hsCRP sebagai akibat dilepaskannya
sitokin proinflamasi merupakan pertanda risiko terjadinya infark myocard.
f. keadaan prototombik memiliki karakteristik peningkatan plasminogen activator
inhibitor (PAI-1), fibrinogen, dan faktor VII.
Peningkatan faktor risiko metabolik selalu berhubungan dengan tingginya akumulasi jaringan adiposa abdominal, terutama jaringan lemak visceral (Tjokroprawiro A., 2005). Salah satu karakteristik obesitas abdominal/lemak visceral adalah terjadinya pembesaran sel-sel lemak, sehingga sel-sel lemak tersebut akan mensekresi produk-produk metabolik, diantaranya sitokin proinflamasi, prokoagulan, peptida inflamasi, dan angiotensinogen (Tjokroprawiro A., 2005).
Produk-produk dari sel lemak dan peningkatan asam lemak bebas dalam plasma bertanggung jawab terhadap berbagai penyakit metabolik seperti diabetes, penyakit jantung, hiperlipidemia, gout, dan hipertensi (Semiardji, 2004; Widjaya) 2.1.4. Manifestasi Klinis Sindrom Metabolik
ATP III menyatakan bahwa penyakit kardiovaskular merupakan manifestasi utama sindroma metabolik (Grundy S.M., 2006). Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh NHANES yang menyebutkan bahwa sindroma metabolik memiliki hubungan kuat dan konsisten dengan infark miokard dan stroke (Ninomiya J.K. et al., 2004).
ATP III juga menyebutkan bahwa sindroma metabolik memiliki hubungan dengan beberapa keadaan seperti policystic ovarii, fatty liver, batu empedu kolesterol, asma, sleep apnea, dan beberapa jenis kanker (Pranoto A., 2005)
2.2. Obesitas 2.2.1. Definisi
Fauci, et al. (2009) menyatakan obesitas sebagai kondisi dimana massa sel lemak berlebihan dan tidak hanya didefinisikan dengan berat badan saja karena pada orang-orang dengan masa otot besar dapat dianggap overweight tanpa peningkatan sel-sel lemak.
Obesitas merupakan suatu kelainan kompleks pengaturan nafsu makan dan metabolisme energi yang dikendalikan oleh beberapa faktor biologi spesifik.
Faktor genetik diketahui sangat berpengaruh bagi perkembangan penyakit ini. Secara fisiologis, obesitas didefinisikan sebagai suatu keadaan dengan akumulasi lemak yang tidak normal atau berlebihan di jaringan adipose sehingga dapat mengganggu kesehatan. (Sugondo, 2009)
Untuk penanda kandungan lemak tubuh yang digunakan adalah indeks masa tubuh (BMI), dapat dihitung sebagai:
BMI= Berat badan dalam kg/Tinggi badan dalam m2
Secara klinis, BMI yang bernilai antara 25 dan 29,9 kg/m2 disebut overweight, dan nilai BMI lebih dari 30 kg/m2 disebut obese. (Guyton, 2007)
2.2.2 Etiologi Obesitas
Menurut Guyton (2007), ada beberapa faktor penyebab obesitas. Gaya hidup tidak aktif merupakan penyebab utama obesitas. Dimana, aktifitas fisik dan latihan fisik yang teratur dapat meningkatkan masa otot dan mengurangi masa lemak tubuh, sedangkan aktifitas fisik yang tidak adekuat dapat menyebabkan pengurangan massa otot dan peningkatan adipositas. Contohnya beberapa penelitian telah menunjukkan hubungan yang erat antara obesitas dan perilaku tidak aktif seperti menonton televise dalam waktu yang lama.
Faktor lingkungan, sosial dan psikologis menyebabkan perilaku makan yang abnormal. Pengaruh faktor lingkungan sangat nyata, dengan adanya peningkatan prevalensi obesitas yang cepat disebagian besar negara maju, yang dibarengin dengan berlimpahnya makanan berenergi tinggi (terutama makanan berlemak) dan gaya hidup yang tidak aktif.(Guyton, 2007)
Faktor psikologis juga dapat menyebabkan obesitas. Misalnya, berat badan orang sering kali meningkat selama orang tersebut mengalami stress seperti kematian orang tua, penyakit yang parah bahkan depresi.(Guyton, 2007)
Faktor genetik sebagai penyebab obesitas. Gen dapat berperan dalam obesitas dengan menyebabkan kelainan (1) satu atau lebih jaras yang mengatur pusat makan dan (2) pengeluaran energi dan penyimpanan lemak. Ketiga penyebab monogenik (gen tunggal) dari obesitas adalah (1) mutasi MCR-4, yaitu penyebab monogenik tersering untuk obesitas yang ditemukan sejauh ini, (2)
defisiensi leptin kongenital yang diakibatkan mutasi gen yang sangat jarang
dijumpai, dan (3) mutasi reseptor leptin, yang juga jarang ditemui.(Guyton, 2007) Ada beberapa penyakit yang dapat mengakibatkan terjadinya obesitas, antara lain hipotiroidisme, sindrom crhusing, sindrom Prader-Willi dan beberapa kelainan saraf yang menyebabkan seseorang menjadi banyak makan. Obat obatan juga dapat mengakibatkan terjadinya obesitas, yaitu obat-obatan tertentu seperti steroid dan beberapa anti depressan, dapat menyebabkan penambahan berat badan.(Proverawati A., 2010)
2.2.3. Klasikasi Obesitas
Tabel 2.2 Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas pada OrangDewasa Berdasarkan IMT Menurut WHO
Klasifikasi IMT (kg/m2)
Berat Badan Kurang < 18,5 Kisaran Normal 18,5 – 24,9 Berat Badan Lebih > 25 Pra-Obes 25,0 – 29,9 Obes Tingkat I 30,0 – 34,9 Obes Tingkat II 35,0 – 39,9 Obes Tingkat III >40
Sumber: WHO technical series, 2000 dikutip dari Ilmu Penyakit Dalam UI halaman 1921
Tabel 2.2 menunjukkan klasifikasi WHO untuk nilai IMT pada orang dewasa secara internasional. Nilai normalnya yaitu antara 18,5 sampai 24,9 kg/m2. Berat badan dinyatakan kurang apabila lebih rendah dari 18,5 kg/m2 dan berat badan lebih apabila di atas 25 kg/m2. Pra-obes apabila di antara 25 sampai 29,9 kg/m2, obes tingkat I apabila antara 30 sampai 34,9 kg/m2, obes tingkat II apabila di antara 35 sampai dengan 39,9 kg/m2, dan obes tingkat III apabila di atas 40 kg/m2.
Tabel 2.2.1.Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas Berdasarkan IMT dan Lingkar Perut Menurut Kriteria Asia Pasifik
Resiko Ko-Morbiditas Lingkar Perut
Klasifikasi IMT(kg/m2) <90 cm (laki-laki) >90 cm (laki laki)
<80 cm (Perempuan) >80 cm (permpuan)
Berat Badan Kurang <18,5 rendah(resiko klinis sedang Lain)
Normal 18,5-22,9 sedang meningkat
Berat Badan Lebih >23,0
Beresiko 23,0-24,9 meningkat moderat
Obes I 25,0-29,9 moderat berat
Obes II >30,0 berat sangat
berat
Sumber: WHO WPR/IASO/IOTF dalam The Asia Pasfik Perspective: Redefining
Obesity and its Treatment(2000)
Patofisiologi Obesitas menurut Silbernagl sebagai berikut
Asupan makanan yang meningkat dan /atau Pemakaian energi yang menurun
jaringan lemak meningkat
Leptin dalam plasma juga meningkat
ketidakmampuan mengatasi sawar darah otak
leptin menghambat sekresi NPY leptin tidak
di hipotalamus mengakibatkan menyebabkan pelepasan gangguan perangsangan terhadap asupan hipotalamus yang makanan dan pemakaian energy bekerja pada reseptor
MCR-4 dan memiliki Efek berlawanan dengan neuropeptida
Y(NPY).
2.2.5. Diagnosa Obesitas
Ada beberapa cara yang dilakukan dalam mendiagnosa obesitas menurut Proverawati (2010), yaitu dengan cara:
1. Mengukur lemak tubuh
Dalam mengukur lemak tubuh, diperlukan peralatan khusus, misalnya
a. Underwater weight, yaitu pengukuran berat badan yang dilakukan didalam air dan kemudian lemak tubuh dihitung berdasarkan jumlah air yang tersisa.
b. DEXA (Dual Energy X-ray Absorptiometry),yang menyerupai scanning tulang. Sinar x digunakan untuk menentukan jumlah dan lokasi dari lemak tubuh. Selain dua cara tersebut, ada cara lain yang lebih sederhana dan tidak rumit, yaitu dengan menggunakan peralatan yaitu, jangka kulit dimana ketebalan lipatan kulit di beberapa bagian tubuh diukur dengan menggunakan jangka, yaitu suatu alat yang terbuat dari logam yang menyerupai forceps. Bioelectric impedance analysis, yaitu anlisa tahanan bioelektrik, dimana penderita berdiri di atas sejumlah arus listrik yang tidak berbahaya dialirkan ke seluruh tubuh untuk kemudian dianalisa.
2. Mengukur Lingkar Pinggang
Pada umumnya, penentuan kegemukan (obesitas) atas dasar antropometri adalah sebagai berikut menurut Nasar (1995) dalam Manurung, N. K. (2009) : 1) Hanya mengukur berat badan (BB) dan hasilnya dibandingkan dengan standar pada usia yang sama, yakni bila BB 120% disebut obesitas, sedangkan antara 110-120% disebut overweight. Keburukan cara ini adalah pertama, tidak dikaitkan dengan tinggi badan (TB), sehingga tidak mencerminkan proporsi tubuh; kedua, penampilan fisik seseorang dipengaruhi oleh komposisi tubuh, artinya pada BB yang sama, seseorang dapat tampak lebih langsing daripada yang lain karena tubuhnya lebih berotot, sedangkan yang lainnya lebih banyak lemak.
2) Obesitas diukur melalui pengiraan BMI atau IMT. Dihubungkan BB dengan TB, ini dapat mencerminkan proporsi atau penampilan (BB/TB) dengan cara menghitung IMT yaitu BB/TB2 menurut WHO dalam CDC (2010):
KATEGORI IMT Eropa IMT Asia Normal <18,5-24,9 <18,5-22,9 Overweight 25,0-29,9 23,0-24,9 Obesitas I 30,0-34,9 25,0-29,9 Obesitas II 35,0-39,9 >30,0 Obesitas III >40 2.2.6. Penatalaksanaan Obesitas
Tujuan pengobatan obesitas adalah mengembalikan fungsi normal proses metabolik dan organ tubuh. Rasionalisasi terapi bukan semata didasari oleh peningkatan angka kematian terkait obesitas, tetapi telah terbukti pula bahwa penurunan resiko dan kondisi komorbid.(Arisman,2010)
Terdapat bukti kuat bahwa penurunan berat badan pada obesitas dan overweight mengurangi faktor resiko diabetes dan kardiovaskuler. Penurunan berat badan dapat menurunkan tekanan darah , mengurangi serum trigliserida dan meningkatkan kolestrol-HDL, dan secara umum mengakibatkan pengurangan pada kolestrol serum total dan kolestrol-LDL.(Sugondo,2009)
Terapi penurunan berat badan yang sukses meliputi empat pilar, yaitu diet rendah kalori, aktifitas fisik, perubahan perilaku dan obat-obatan atau bedah. Strategi Penurunan dan Pemeliharaan Berat Badan:
a.Terapi Diet
Tujuannya untuk membuat defisit 500 hingga 100 kkal/hari menjadi bagian yang tak terpisahkan dari program penurunan berat badan apapun. (Sugondo, 2009).
b.Aktifitas Fisik
Peningkatan aktifitas bermafaat menurunkan berat badan, tetapi juga meningkatkan kepekaan insulin, terutama pada mereka yang terlahir dari rahim pengidap diabetes.(Arisman,2010)
Pasien dapat memulai aktivitas fisik dengan berjalan selam 30 menit dengan jangka waktu 30 x seminggu dan dapat ditingkatkan intensitasnya selama 45 menit dengan jangka waktu 5 kali seminggu. Dengan regimen ini pengeluaran energi
tambahan sebanyak 100 samapai 200 kalori perhari dapat dicapai. Strategi lain unuk meningkatkan aktivitas fisik adalah mengurangi waktu santai dengan cara melakukan aktivitas fisik rutin lain dengan resiko cedera rendah.(Sugondo,2009) c. Terapi perilaku
Untuk mencapai penurunan berat badan dan mempertahankannya diperlukan strategi untuk mengatasi hambatan yang muncul pada saat terapi diet dan aktivitas fisik. Strategi yang spesifik meliputi pengawasan mandiri terhadap kebiasaan makan dan aktivitas fisik, manajemen stress, stimulus control, pemecahan masalah,
contingency management, cognitive restructuring dan dukungan
sosial.(Sugondo,2009) d.Farmakoterapi
Farmakoterapi diarahkan pada pasien obesitas yang gagal diobati melalui perubahan gaya hidup.(Arisman, 2010). Farmakoterapi merupakan salah satu komponen penting dalam program manajemen berat badan. Sibutramine dan Orlistat merupakan obat obatan penurun berat badan yang telah disetujui oleh FDA di Amerika Serikat, untuk penggunaan jangka panjang.(Sugondo, 2010)
Sibutramin ditambah diet rendah kalori dan aktivitas fisik terbukti efektif menurunkan berat badan dan mempertahankannya. (Sugondo, 2010). Efek samping sibutramin berupa peningkatan tekanan darah dan frekuensi nadi, mulut kering, sakit kepala, insomnia, dan sembelit.(Arisman, 2010)
Orlistat menghambat absorpsi lemak sebanyak 30 persen. Dengan pemberian orlistat menghambat absorpsi lemak sebanyak 30 persen. Dengan pemberian orlistat, dibutuhkan penggantian vitamin larut lemak karena terjadi malabsorpsi parsial. Semua pasien harus dipantau untuk efek samping yang timbul. Pengawasan secara berkelanjutan oleh dokter dibutuhkan untuk mengawasi tingkat efikasi dan keamanan(Sugondo,2009)
e. Terapi Bedah
Tujuan pembedahan pada pasien obesitas ialah menginduksi pengurangan berat badan dan mempertahankannya, melalui tindakan operasi secara aman, serta memperbaiki atau melenyapkan berbagai kondisi komorbid (Arisman,2010). Terapi
bedah ini diberikan kepada pasien obesitas berat secara klinis dengan BMI>40 atau > 35 dengan kondisi komorbid.(Sugondo, 2010)
Pada prinsipnya, terapi bedah didasarkan pada dua hal yaitu rancangan malabsorpsi pada usus halus dan retriksi pada lambung. Rancangan malabsorpsi pada usus halus bertujuan memendekkan usus halus atau mengurangi kemampuan mukosanya dalam menyerap zat gizi. Operatif restriktif pada lambung merupakan upaya manipulasi melalui pembuatan kantong dan saluran keluar baru (neogastric
pouch) dengan begitu diharapkan asupan makanan akan berkurang.(Arisman, 2010)
2.2.7. Komplikasi
Kira-kira satu perempat hingga separuh orang-orang yang obes pada masa remaja akan kekal sebagai dewasa yang obes menurut Charney et al. (1976) dan Must (1999) dalam Mahan & Escott-Stump (2008).
Hampir 300,000 kematian terjadi setiap tahun akibat hal yang berkaitan dengan lebihan berat badan dan obesitas menurut U.S Department of Health and
Human (USDHHS) (2001) dalam Mahan & Escott-Stump (2008). Terutamanya
obesitas abdominal merupakan faktor resiko untuk peningkatan mortalitas, hipertensi, diabetis melitus tipe-2, hiperlipidemia, hiperglisemia, dan berbagai disfungsi daripada endokrin menurut Freedman et al. (1999) dalam Mahan & Escott-Stump (2008). Obesitas adalah faktor terjadinya non-insulin-dependent
diabetes (NIDDM). Resistan terhadap insulin bukan saja melibatkan pengambilan
glukosa oleh otot dan jaringan adiposa, tetapi juga resistan terhadap metabolik insulin (Smith & Morton, 2008)
Kajian yang dibuat oleh Nurses’ Health Study menunjukkan remaja yang obesitas pada usia 18 tahun mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk mati pada usia pertengahan. Penyebab yang paling sering adalah kanker dan diikuti dengan masalah jantung menurut Van Dam et al. (2006) dalam Mahan & Escott-Stump (2008).