BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Perilaku Kebakaran
Perilaku kebakaran dapat didefenisikan sebagai cara dimana api di alam berkembang, bagaimana bahan bakar terbakar, perkembangan nyala api dan penyebaran api dan bagaimana api bereaksi terhadap variabel-variabel bahan bakar, cuaca atau iklim dan topografi sebagai faktor-faktor yang mempengaruhinya (Thoha, 2008).
Menurut Sagala (1999) kemungkinan kebakaran yang terjadi di hutan lebih besar pada kawasan hutan yang tidak terlalu rimbun, sehingga banyak ditumbuhi semak belukar yang kemudian akan menjadi bahan bakar pertama dari api. Dalam hal ini bisa dibandingkan dengan hutan primer yang kanopinya sangat tebal sehingga dapat menghalangi sinar matahari masuk ke lantai hutan sehingga semak belukar tidak mungkin untuk tumbuh subur.
Proses Terjadinya Kebakaran
Pembakaran adalah proses yang stabil (Steady state) dari bentuk khusus oksidasi dan kebalikan dari proses fotosintesis dimana dapat dibedakan dalam flaming dan glowing. Pembakaran flaming adalah cahaya oksidasi gas-gas yang dihasilkan dari dekomposisi bahan bakar sebagai nyala besar, turbulen dan difusi (Thoha, 2008).
Pada dasarnya, perkembangan kebakaran hutan terdiri dari dua proses yang disebut dengan penyalaan dan pembakaran. Penyalaan adalah fase transisi antara pra-pemanasan dan fase pembakaran yang tidak stabil dan mempunyai suhu antara 204-3710C.
Dasar dari proses terjadinya kebakaran adalah proses pembakaran secara kimia dan fisika. Energi yang tersimpan dalam biomassa dilepaskan pada saat bahan-bahan seperti daun, rumput dan kayu berkombinasi dengan oksigen membentuk karbondioksida (CO2), air dan sejumlah substansi lain. Dengan kata
lain, reaksi ini merupakan reaksi kebalikan dari fotosintesis, dimana CO2, air, dan
energi matahari berkombinasi suatu energi kimia simpanan dan oksigen, seperti yang tergambar di bawah ini:
Reaksi pembakaran:
(C6H10O5)n + sumber penyulutan (panas) CO2 + H2O + panas
Reaksi fotosintesis:
CO2 + H2O + energi matahari (C6H10O5)n O2
(Thoha, 2008).
Segitiga Api
Kebakaran dalam hutan dapat terjadi apabila sedikitnya tersedia tiga komponen yaitu bahan bakar yang potensial, oksigen atau udara, dan penyalaan api atau panas. Seluruh komponen penyusun hutan pada dasarnya dapat merupakan bahan bakar untuk kebakaran hutan. Potensi komponen tersebut sebagai bahan bakar, baik sendiri atau kumulatif, ditentukan oleh jumlah, kondisi terutama kadar airnya, dan penyebaran dalam hutan.
Bahan bakar Oksigen
Panas Gambar 1. Segitiga Api
Prinsip segitiga api ini merupakan dasar dalam strategi penanggulangan kebakaran hutan. Dengan mencegah bertemunya ketiga komponen segitiga api tersebut maka terjadinya kebakaran dapat dihindarkan. Hal ini dapat dilakukan dengan mengurangi bahan bakar hutan yang potensial maupun sumber panas yang dapat terjadi karena faktor alam dan manusia (Sumardi dan Widyastuti, 2002).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Kebakaran
1. Karakteristik Bahan Bakar
Pada dasarnya, karakteristik bahan bakar dikelompokkan ke dalam dua kategori: sifat bahan bakar intrinsik dimana mencakup kimia bahan bakar, kerapatan, dan kandungan panas dan sifat ekstrinsik meliputi kelimpahan relatif dari berbagai ukuran komponen bahan bakar, fraksi yang mati (fraction dead) dan kekompakan bahan bakar. Di hutan tropis, karakteristik bahan bakar bervariasi antara tempat dan waktu. Hutan gambut dan berkayu merupakan bahan bakar yang baik karena mengandung nilai kalor sangat tinggi atau kapasitas panas. Disamping itu, pembangunan hutan tanaman dengan spesies eksotik seperti Acacia mangium, Gmelina arborea dan Eucalyptus bisa menyumbangkan
pertambahan resiko kebakaran. Khususnya selama musim kering karena akan terjadi muatan bahan bakar yang tinggi di lantai hutan.
2. Kadar Air Bahan Bakar
Kadar air bahan bakar sebagai kandungan air pada partikel bahan bakar adalah faktor terpenting yang mempengaruhi perilaku kebakaran hutan, dimana begitu jelas dan nyata mempengaruhi tingkat kebakaran khususnya daya nyala bahan bakar hutan. Selain itu, kandungan air yang lebih tinggi panasnya dibutuhkan untuk melepaskan uap air sebelum bahan bakar dimakan api. Sehingga, tingkat kebakaran dan daya nyala bahan bakar akan berkurang. Oleh karena itu, kadar air bahan bakar dapat digunakan pada peramalan perilaku api sebagai respon bahan bakar terhadap perubahan faktor-faktor lingkungan seperti presipitasi, kelembaban dan suhu.
Kadar air ditekankan pada kadar air bahan bakar mati dan bahan bakar hidup. Kadar air bahan bakar mati bervariasi dari 1-2 % pada gurun, 300% pada kayu lapuk, 200% pada lapisan-lapisan yang dalam dan pada kayu sumbu. Hal tersebut dikendalikan oleh cuaca khususnya presipitasi, kelembaban relatif dan suhu (Thoha, 2008).
3. Faktor Cuaca dan Iklim
Iklim dan atau cuaca adalah salah satu unsur segita lingkungan api disamping bahan bakar dan topografi. Cuaca dan iklim mempengaruhi kebakaran hutan pada berbagai cara yaitu menentukan jumlah total ketersediaan bahan bakar, panjang dan kekerasan musim kebakaran, mengatur kadar air dan daya
nyala bahan bakar hutan yang mati, berpengaruh tidak langsung pada penyalaan dan penjalaran kebakaran hutan.
Chandler et. al (1983) dalam Thoha (2008) menyatakan bahwa cuaca dan iklim mempengaruhi kebakaran hutan dengan berbagai cara yang saling berhubungan yaitu:
1. Iklim menentukan jumlah total bahan bakar yang tersedia
2. Iklim menentukan jangka waktu dan kekerasan musim bahan bakar
3. Cuaca mengatur kadar air dan kemudahan bahan bakar hutan untuk terbakar
4. Cuaca mempengaruhi proses penyalaan dan penjalaran kebakaran hutan
4. Topografi
Menurut Saharjo (2000) dalam Thoha (2008), dampak lereng pada satu daerah yang terbakar adalah sama dengan dampak angin. Penjalaran api dibawa hingga mendekat kepada permukaan akibatnya pra-pemanasan bahan bakar berlangsung lebih cepat terhadap bahan bakar yang berdekatan dengan muka api. Dampak penting lain dari topografi adalah interaksinya dengan iklim lokal dan kelompok kecil dari komunitas tanaman. Api yang bergerak menaiki lereng dapat terbakar dengan cepat dan dengan intensitas yang tinggi.
Kondisi Pendukung
Faktor kedua penyebab kebakaran adalah kondisi pendukung yang juga dipengaruhi oleh alam (iklim) dan juga manusia. Kemarau dan kekeringan yang disebabkan oleh adanya fluktuasi iklim sebenarnya sudah lama terjadi, namun kebakaran besar di daerah tropis tidak banyak tercatat oleh para peneliti sebelum
tahun 70an. Kejadian kebakaran hutan tropis mulai sering muncul setelah tahun 1982/1983. Hal ini disebabkan adanya perubahan vegetasi dan dampak yang sangat drastis serta pengaruh sosial ekonomi masyarakat.
1. Perubahan Tutupan Lahan
Perubahan tapak yang dimaksud meliputi perubahan tutupan lahan dan perubahan hidrologi khususnya di lahan gambut. Indonesia yang dulunya sebagian besar merupakan hutan hujan tropis primer menjadi hutan bekas tebangan atau terdegradasi akibat pengusahaan hutan dan exploitasi kayu secara besar-besaran sejak awal tahun 70an. Hilangnya tajuk atau kanopi pohon besar menyebabkan kondisi hutan menjadi lebih terbuka terhadap sinar matahari dan iklim mikro menjadi lebih kering. Limbah bekas tebangan juga seringkali menjadi bahan bakar yang sangat potensial meningkatkan intensitas kebakaran. Di hutan yang terdegradasi menjadi semak belukar, bahkan menjadi lebih rawan lagi terhadap kebakaran, karena mudahnya penyulutan dan penyebaran api.
2. Perubahan Hidrologi
Perubahan hidrologi khususnya di lahan gambut juga merupakan kondisi yang sangat mendukung terjadinya kebakaran. Akibat terbatasnya lahan untuk pertanian, perkebunan dan hutan tanaman, banyak lahan gambut dalam yang dikeringkan (drained) dengan membuat kanal-kanal yang membelah kubah gambut. Selain mengeringkan lahan gambut, kanal juga berfungsi sebagai aksesibilitasi bagi masyarakat untuk masuk jauh ke dalam areal lahan gambut untuk melakukan aktifitas yang seringkali juga menimbulkan kebakaran.
Sebagai salah satu faktor utama di dalam penyebab kebakaran, perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi serta budaya. Faktor kemiskinan sering diusung sebagai faktor utama yang mengarahkan prilaku membakar hutan. Karenanya banyak pendekatan pencegahan kebakaran dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat sekitar hutan. Namun demikian, budaya penggunaan api sebenarnya juga sudah lama diterapkan oleh banyak masyarakat tradisional yang hidup di sekitar hutan atau peladangan berpindah (Thoha, 2008).
Satelit Pemantau Hotspot
National Oceanic And Atmospheric Administration (NOAA)
Satelit NOAA merupakan satelit meterologi generasi ketiga milik National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) Amerika Serikat. Munculnya satelit ini untuk menggantikan generasi satelit sebelumnya, seperti seri TIROS (Television and Infra Red Observation Sattelite, tahun 1960-1965) dan seri IOS (Infra Red Observation Sattelite, tahun 1970-1976). Konfigurasi satelit NOAA adalah pada ketinggian orbit 833-870 km, inklinasi sekitar 98,7 ° – 98,9 °, mempunyai kemampuan mengindera suatu daerah 2 x dalam 24 jam (sehari semalam).
NOAA merupakan satelit yang dapat diandalkan untuk memperoleh informasi mengenai keadaan fisik lautan/samudera dan atmosfer. Seri NOAA ini dilengkapi dengan 6 (enam) sensor utama, yaitu :
1. AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer), 2. TOVS (Tiros Operational Vertical Sonde),
4. DCS (Data Collection System), 5. SEM (Space Environment Monitor),
6. SARSAT (Search And Rescue Sattelite System).
Di antara 6 (enam) sensor utama di atas, maka sensor yang relevan untuk pemantauan bumi adalah sensor AVHRR dengan kemampuan memantau lima saluran yang dimulai dari saluran tampak (visible band) sampai dengan saluran inframerah jauh (far infrared band). Periode untuk sekali orbit bagi satelit NOAA adalah 102 menit, sehingga setiap hari mengasilkan kurang lebih 14,1 orbit. Bilangan orbit yang tidak genap ini menyebabkan sub-orbital track tidak berulang pada baris harian walaupun pada saat perekaman data waktu lokalnya tidak berubah dalam satu lintang (Rustadi, 2012).
Citra Modis (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer)
Adalah program yang luas menggunakan sensor pada dua satelit yang masing-masing memberikan lengkap cakupan harian bumi. Data memiliki berbagai resolusi, spektral , spasial dan temporal. Satelit TERRA yang membawa sensor MODIS merupakan satelit pengamat lingkungan yang dapat digunakan untuk mengekstraksi data permukaan yang bersifat regional. Satelit ini mempunyai wilayah cakupan yang cukup luas, yakni 2330 km dengan resolusi spasial 250 m (kalan 1 dan 2) dan resolusi spektral yang tinggi (36 kanal) serta resolusi temporal yang kurang lebih sama dengan satelit generasi sebelumnya yakni NOAA.
Sensor MODIS pertama diluncurkan pada satelit TERRA pada tanggal 18 Desember 1999 dan sensor MODIS kedua diluncurkan pada Satelit Aqua pada
perhari baik sebagai satelit Terra dan Aqua mengorbit bumi pada arah yang berlawanan, dengan Terra melintasi khatulistiwa dari Utara ke Selatan di pagi hari dan Aqua melintasi khatulistiwa dari Selatan ke Utara disore hari. Orbit ganda inimemungkinkan titik yang sama di bumi untuk dapat dilihat sekitar dua kali per hari, sekali selama pagi dan sore, yang memaksimalkan jumlah gambar bebas awan dikumpulkan dan didownload setiap hari. Sistem satelit ini terus menyiarkan data ganda MODIS secara real-time untuk stasiun di permukaan tanah dan semua data MODIS disediakan gratis untuk semua pengguna.
Instrumen MODIS melihat Bumi pada di 36 panjang gelombang yang berbeda spektrum, mulai dari cahaya tampak ke inframerah termal. Dengan resolusi lebar spektral dan petak melihat, MODIS membuat pengukuran yang berguna dalam berbagai macam disiplin ilmu sistem Bumi. Konsep animasi ini contohnya dapat menunjukkan MODIS mengukur produktivitas primer dari dedaunan hijau di darat dan fitoplankton di laut, diikuti dengan pengukuran tanah dan suhu permukaan laut. Ini adalah contoh dua dari produk data MODIS untuk mengumpulkan berbagai harian pada skala global (Ma’rifatullah, 2011)
Kebakaran di Kabupaten Samosir
Kebakaran hutan di Kabupaten Samosir merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan degradasi lahan di areal tersebut. Sekali hutan terbakar, maka dampaknya akan menjalar terhadap gangguan ekologi, ekonomi, dan sosial. Untuk menganalisa suatu peristiwa kebakaran, diperlukan data kondisi klimatologi, penutupan lahan/hutan yang mengindikasikan bahan bakar, dan topografi yang ketiganya biasa disebut “fire environment triangle”. Pencegahan
hutan. Karena kebakaran hutan di Kabupaten Samosir terjadi akibat adanya aktivitas-aktivitas manusia, maka pencegahan kebakaran perlu ditegaskan dengan cara meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap peran penting serta fungsi hutan, tanpa mengesampingkan pelaksanaan hukum maupun aspek-aspek teknis yang lain. Pada dasarnya, terdapat tiga pendekatan dalam pencegahan kebakaran hutan, yaitu : Pendidikan, Penegakan Hukum, dan Penguasaan Teknik. Laporan ini adalah hasil dari kegiatan yaitu melaksanakan kajian mendalam untuk mengetahui penyebab pokok terjadinya kebakaran hutan di lokasi. Kajian ini terdiri dari pengumpulan data sekunder dan observasi lapangan, termasuk wawancara mendalam dengan para pemangku kepentingan. Aktivitas-aktivitas manusia yang berkaitan dengan kebakaran merupakan faktor terpenting di wilayah kajian karena kebakaran yang disebabkan alam jarang terjadi atau bahkan tidak pernah terjadi di negara tropis ini. Pada umumnya, penyiapan lahan di sekitar Kabupaten Samosir menggunakan api sebagai alat yang paling sederhana. Ketika api digunakan tanpa prosedur yang baik, dapat terjadi penyebaran yang tidak terkendali dan membakar daerah yang berdekatan dengannya. Kemampuan bahan bakar dari hutan dan kondisi cuaca yang kering dapat menyebarkan api secara cepat. Berdasarkan pengamatan pada sembilan lokasi kajian, diketahui bahwa terdapat sejumlah kecil penyebab langsung kebakaran di berbagai lokasi. Kajian ini mengidentifikasi empat penyebab utama kebakaran:
(i) Penggunaan api sebagai alat untuk penyiapan lahan; (ii) Kebakaran yang tidak disengaja;
(iii) Kebakaran yang disengaja;
Kajian ini mengidentifikasi lima penyebab kebakaran utama, sebagian besar diantaranya saling berkaitan satu sama lain, diantaranya:
1. Lahan marga yang tidak dikelola dengan baik; 2. Insentif /disinsentif ekonomi;
3. Pengetahuan pengelolaan pertanian dan kebakaran yang terbatas; 4. Kapasitas institusi yang tidak memadai;
5. Program pengembangan yang tidak berkelanjutan.
Oleh karena itu solusi alternatif untuk pencegahan kebakaran hutan di Kabupaten Samosir adalah:
1. Mengoptimalkan penggunaan lahan di wilayah kajian; 2. Program penyiapan lahan tanpa bakar;
3. Program pendampingan rehabilitasi; 4. Sekat bakar pada sistem agroforestry; 5. Formasi Masyarakat Peduli Api (MPA); 6. Skema insentif/disinsentif ekonomi (ITTO, 2010).