BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu
Penelitian yang pertama ditulis oleh Listyo Budi Santoso (2009), yang
berjudul “Kewenangan Pengadilan Agama dalam Menyelesaikan Sengketa
Ekonomi Syari‟ah (Berdasarkan Undangg-undang Nomor 3 Tahun 2006)” dengan memberikan hasil bahwa Ruang lingkup kewenangan lingkungan
peradilan agama dalam bidang ekonomi syari‟ah, meliputi seluruh perkara ekonomi syari‟ah di bidang perdata. Dalam hal ini seluruh sengketa perdata
yang terjadi antara lembaga keuangan ekonomi syari‟ah dengan pihak manapun, termasuk yang terjadi antara lembaga keuangan ekonomi syari‟ah
dengan pihak non Islam, yang berkaitan dengan kegiatan usaha ekonomi
syari‟ah tersebut adalah kewenangan absolut lingkungan Peradilan Agama untuk mengadilinya, kecuali yang dengan tegas ditentukan lain dalam
undangundang. Penyelesaian perkara ekonomi syari‟ah di lingkungan Peradilan Agama secara prosedural akan dilakukan sesuai dengan ketentuan
hukum acara perdata sebagaimana yang berlaku di lingkungan Peradilan
Umum.
Penelitian yang kedua ditulis oleh Anggi Novita Sari (2011), yang
berjudul “Peran Hakim Dalam Penanganan Sengketa Ekonomi Syariah Pasca
Undang-Undang NO. 3 Tahun 2006 ( Studi Pada Pengadilan Agama Jakarta
Pusat)” skripsi ini menjelaskan bahwa Perluasan wewenang Pengadilan
Perubahan Undang-undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, antara
lain meliputi ekonomi syariah. Perluasan kewenangan tersebut, tentunya
menjadi tantangan tersendiri bagi aparatur Peradilan Agama, terutama hakim.
Keniscayaan hakim untuk selalu memperkaya pengetahuan hukum, juga
sebagai sebuah pertanggungjawaban moral atas klaim bahwa apa yang telah
diputus oleh hakim harus dianggap benar (res judicata pro veriate habetur).
Sejalan dengan itu, setiap hakim Pengadilan Agama dituntut untuk lebih
mendalami dan menguasai masalah-masalah perekonomian syariah.
Penelitian yang ketiga ditulis oleh Ishmatul Maula (2016), yang berjudul
“Peranan Hakim Sebagai Mediator Dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Syariah Di Pengadilan Agama Purbalingga Tahun 2009-2014” berdasarkan hasil penelitian bahwa tahap-tahap mediasi ekonomi syari‟ah di Pengadilan Agama Purbalingga yaitu Pra mediasi, mediasi , akhir mediasi. Sebelum
mediasi dilaksanakan, Para Pihak terlebih dahulu memilih mediator yang akan
menangani perkara tersebut. Setelah ditetapkan mediator bagi Para Pihak, dan
dokumen-dokumen Para Pihak diberikan pada mediator untuk dipelajari.
Dalam proses mediasi hanya ada dua kemungkinan yang diperoleh berhasil
atau gagal, dalam hal mediasi berhasil mencapai kesepakatan dalam
menyelesaikan sengketa.
Penelitian keempat yang ditulis oleh Sulaiman (2017), yang berjudul
disebut dengan mediasi sebagai langkah penyelesaian sengketa tersebut.
Dalam usaha perdamaian menggunakan mediasi tersebut dari beberapa tahap
mulai dari pra mediasi itu sendiri seperti yang tertera dalam PERMA Nomor 1
Tahun 2016. Mediasi dilaksanakan bertujuan untuk mendamaikan dua pihak
yang bersengketa agar tidak berlanjut kearah persidangan lanjutan.
Berdasarkan penelitian diatas, yang membedakan antara penelitian ini
dengan penelitian sebelumnya, yaitu penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui peran penting Hukum Acara Perdata di Pengadilan Agama, peran
dari seorang Mediator dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah, serta
betujuan untuk mengetahui proses dari Mediasi di Pengadilan Agama.
B. Kerangka Teori 1. Mediasi
a. Pengertian Mediasi
Menurut PERMA Nomor 1 Tahun 2016 Pasal 1 ayat (1), berbunyi:
Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan Para Pihak dengan dibantu oleh mediator
Menurut Pasal 1851 KUH Perdata, berbunyi:
Perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara. Perjanjian ini tidaklah sah, melainkan jika dibuat secara tertulis
Berdasarkan beberapa pengertian mediasi, maka dapat disimpulkan
a) Sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan perundingan
b) Adanya pihak ketiga yang bersifat netral yang disebut sebagai
mediator (penengah) terlibat dan diterima oleh para pihak yang
bersengketa dalam perundingan itu
c) Mediator tersebut bertugas membantu para pihak yang bersengketa
untuk mencari penyelesaian atas masalah-masalah sengketa
d) Mediator tidak boleh memberi kewenangan membuat
keputusan-keputusan selama proses perundingan berlangsung
e) Mempunyai tujuan untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan
yang dapat diterima dari pihak-pihak yang bersengketa
(Materi Seminar tentang Mediasi oleh Drs. Syahriyal. S.H. Hakim
Pengadilan Agama Cilacap. Shortcourse. 2018).
b. Pengertian Mediator
PERMA Nomor 1 Tahun 2016 Pasal 1 ayat (2), berbunyi:
Mediator adalah Hakim atau pihak lain yang memiliki Sertifikat Mediator sebagai pihak netral yang membantu Para Pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
Mediator adalah pihak ketiga yang membantu penyelesaian
sengketa Para Pihak, yang mana ia tidak melakukan intervensi
terhadap pengambilan keputusan (Syahrizal Abbas, 2011: 59).
c. Peran Mediator
Praktik sering ditemukan sejumlah peran mediator yang muncul
1) Menumbuhkan dan mempertahankan kepercayaan diri antara Para
Pihak
2) Menerangkan proses dan mendidik Para Pihak dalam hal
komunikasi dan menguatkan suasana yang baik
3) Membantu Para Pihak untuk menghadapi situasi atau kenyataan.
4) Mengajar Para Pihak dalam proses dan keterampilan
tawar-menawar
5) Membantu para pihak megumpulkan informasi penting, dan
menciptakan pilihan-pilihan untuk memudahkan penyelesaian
problem (Syahrizal Abbas, 2011; 79-80).
Leonard L. Riskin, menyebutkan peran mediator sebagai berikut:
1) Mendesak para juru runding agar setuju atau berkeinginan untuk
berbicara
2) Membantu para peserta perundingan untuk memahami proses
mediasi
3) Membawa pesan para pihak
4) Membantu para juru runding untuk menyepakati agenda
perundingan
5) Menusun agenda
6) Menyediakan suasana yang menyenangkan bagi berlangsungnya
proses perundingan
8) Membantu para juru runding untuk memahami masalah (Leonard
L. Riskin dan James E. Westbrook, Dispute Resolution and
Lawyers, West Publishing Co., St. Paul, Minnesota, 1987: 92).
d. Prinsip-prinsip Mediasi
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mediasi seperti
prinsip-prinsip dasar dalam melaksanakan mediasi. Peraturan
perundang-undangan menjelaskan beberapa prinsip mediasi, yaitu:
1) Kerahasiaan
Kerahasiaan (confidentiality), yaitu bahwasanya segala sesuatu
yang terjadi di dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh
mediator dan diputus (pihak-pihak yang bertikai) bersifat rahasia.
Prinsip kerahasiaan ini dapat dilihat dalam PERMA Nomor 1
Tahun 2016 BAB 1 Bagian Ketiga Pasal 5 ayat (1), yang berbunyi:
Proses mediasi pada dasarnya bersifat tertutup kecuali para pihak menghendaki lain.
2) Wajib
Menurut PERMA Nomor 1 tahun 2016 Pasal 4 ayat (1), yang
berbunyi:
3) Netralitas atau Tidak Berpihak (impartiality)
PERMA Nomor 1 Tahun 2016 Pasal 1 ayat (2), berbunyi:
Mediator ialah pihak netral yang membantu Para Pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai solusi atau kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksa sebuah penyelesaian.
Artinya, seorang mediator sebagai pihak ketiga yang merancang
dan memimpin jalannya proses mediasi harus bersikap netral serta
tidak memihak.
e. Ciri-ciri atau karakteristik Mediasi
Ciri-ciri pokok atau karakteristik dari mediasi, yaitu:
1) Mediator mengontrol proses negoisasi
2) Mediator tidak membuat keputusan, mediator hanya memfasilitasi,
karena Para Pihak tidak merasa memiliki keputusan itu, tidak
merasa masalahnya diselesaikan dengan cara yang diinginkannya.
Mediasi itu semestinya win-win solution sehingga tidak ada
banding dalam mediasi. Kesepakatan yang dicapai adalah
kesepakatan yang mereka inginkan, belum tentu yang dirasa baik
oleh mediator juga dirasa baik oleh kedua belah pihak. Kalau
sampai terjadi sesuatu terhadap kesepakatan itu atau kalau nantinya
implementasi dari kesepakatan itu menjadi sulit atau ternyata hasil
kesepakatan itu melanggar peraturan, maka mediatorlah yang akan
mendiskusikan masalah mereka dan mediator akan memfasilitasi
Para Pihak (Nuraningsih Amriani, 2011: 67-68).
Karakteristik mediasi, yaitu:
1) Penyelesaian sengketa suka rela (berdasarkan kesepakatan Para
Pihak)
2) Adanya interverensi/bantuan pihak ketiga yang tidak berpihak
atau netral
3) Pengambilan keputusan oleh Para Pihak sendiri secara konsensus
4) Partisipasi aktif ihak ketiga (mediator)
(Sri Wardah, Bambang Sutiyoso, 2007: 100-101).
f. Proses Mediasi
Sebagaimana telah diuraikan bahwa mediasi adalah upaya
untuk mengoptimalkan Pasal 130 HIR (Herzien Inlandsch
Reglement)/154 RBg (Reglemen Tot Regeling Van Het Rechtswezen
In De Gewesten Buiten Java En Madura). yang dijabarkan secara
tehnis pelaksanaan diatur dengan PERMA No 1 Tahun 2016. Adapun
tahap-tahap mediasi dalam PERMA No 1 Tahun 2016 tersebut, yaitu:
1) Pra Mediasi
Hal-hak yang harus diperhatikan sebelum melakukan mediasi
adalah meliputi:
a. Kehadiran kedua belah pihak yang berperkara
b. Penyampaian Prosedur mediasi oleh Majelis hakim
d. Penetapan mediator
e. Hakim Pemeriksa Perkara wajib menunda pemeriksaan
perkaranya. Proses mediasi dapat berjalan jika penggugat dan
tergugat hadir, sedangkan ketidak hadiran turut tergugat tidak
menghalangi pelaksanaan proses mediasi, karena subjek
hukum yang menjadi pokok dalam gugatan adalah penggugat
dan tergugat, sedangkan turut tergugat secara substansial
bukan pihak yang akan dibebani kewajiban untuk tunduk dan
patuh pada hukuman yang akan dijatuhkan hakim berdasarkan
petitum yang diajukan dalam gugatan tersebut.
2) Pembentukan forum dan pendalaman masalah
Proses mediasi akan berjalan dengan lancar jika Para Pihak
mau duduk bersama dalam sebuah forum untuk membicarakan
langkah-langkah menuju perdamaian, karena tanpa adanya forum
sulit suatu kesepakatan dapat dibentuk. Dengan kata lain forum
adalah sarana untuk terciptanya dialog dan komunikasi timbal balik
antara pihak-pihak yang bersengketa. Proses mediasi selalu
mengedepankan pendekatan komunikasi yang baik antara mediator
dan para pihak yang bersengketa. Dalam hal ini peran mediator
dalam mencairkan kebekuan komunikasi antara Para Pihak sangat
berperan sekali. Untuk itulah untuk menjadi mediator dalam suatu
berperkara diperlukan keahlian khusus terutama dalam
memang sedang bermasalah. Mediator dalam proses mediasi
menyampaikan pada para pihak bahwa dalam proses mediasi
tentang aturan main dalam proses mediasi termasuk teknis-teknis
yang akan disepakati dan jadwal pertemuan. Mediator juga wajib
menyampaikan, bahwa jika suatu saat dianggap perlu untuk
mendalami persoalan akan dilakukan kaukus dengan salah satu
pihak atau masing-masing pihak, dan semuanya harus terbuka, agar
tidak menimbulkan kecurigaan dari pihak lawan. Unsur terpenting
dalam mediasi adalah kepercayaan harus tetap dipegang teguh oleh
masing-masing pihak. Pada tahap ini mediator mengumpulkan
sebanyak-banyaknya informasi dari kedua pihak, dimana hak
kedua pihak sama dalam memberikan dan menerima informasi.
Dalam tahap ini, terutama pada saat kaukus mediator benar-benar
harus menjadi sahabat yang baik. Diskusi-diskusi tentang
bagaimana solusi juga perlu dilakukan untuk merumuskan usulan
penyelesaian perkara yang paling tepat, yang mana dapat
mengakomondasi kepentingan kedua belah pihak yang berperkara.
3) Penyelesaian akhir dan Penentuan hasil kesepakatan
Ketika proses mediasi mulai memasuki tahap penyelesaian,
maka masing-masing pihak akan menyampaikan kehendaknya
berdasarkan kepentingan mereka dalam bentuk butir-butir
kesepakatan. Pada tahap tersebut mediator akan menampung
dokumen kesepakatan. Dalam hal ini mediator tidak boleh
melakukan intervensi terhadap materi yang disepakati, tetapi ia
tetap harus memperhatikan isi kesepakatan yang dibuat, karena
dalam beberapa hal mediator tetap untuk melihat
kemungkinan-kemungkinan adanya itikad buruk dari salah satu pihak.
Kesepakatan perdamaian itu harus memenuhi syarat-syarat
(PERMA Nomor 1 Tahun 2016) adalah Dalam membantu
merumuskan kesepakatan perdamaian, mediator wajib memastikan
kesepakatan perdamaian tidak memuat ketentuan yang :
a. bertentangan dengan hukum, ketertiban umum, dan/atau
kesusilaan
b. merugikan pihak ketiga
c. tidak dapat dilaksanakan. Kesepakatan damai dalam mediasi
juga harus dibuat secara tertulis, agar jika salah satu pihak
mengingkarinya, maka dokumen kesepakatan tersebut dapat
menjadi bukti untuk menuntut pelaksanaan kesepakatan yang
telah dibuat. Kesepakatan tersebut harus ditandatangani oleh
para pihak dan mediator. Dokumen yang telah ditandatangani
tersebut akan dibawa kehadapan hakim yang menyidangkan
perkara tersebut untuk dikukuhkan menjadi akta perdamaian,
yaitu akta yang memuat isi kesepakatan perdamaian dan
putusan hakim yang menguatkan kesepakatan perdamaian
(Ainal Mardhiah, 2011: 162-167).
Sejak saat damai tersebut dilakukan menjadi akta
perdamaian oleh hakim yang memeriksa perkaranya, maka
perkara Para Pihak dianggap selesai. Jika dikemudian hari
kesepakatan damai tersebut tidak dilaksanakan secara suka rela
oleh salah satu pihak, maka dapat dimintakan pelaksanannya
secara paksa melaui permohonan eksekusi ke pengadilan.
(Ainal Mardhiah, 2011: 162-167).
g. Dasar Hukum Mediasi
a. Ayat Al-Qur‟an
Artinya : Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil (Q.S. Al-Hujarat: 9)
Apabila ada dua orang yang sedang melakukan pertikaian maka
hentikanlah keduanya dengan cara mendamaikan keduanya dengan
b. As-sunnah
Artinya: Dari Amar Ibnu Auf Al-Muzany Radiyallahu „anhu Bahwa Rasulullah SAW. Bersabda : perdamaian itu halal antara kaum muslimin, kecuali perdamian yang mengharamkan hal yang haram atau menghalalkan hal yang haram. Kaum muslim wajib berpegang pada syarat-syarat mereka, kecuali syarat yang mengharamkan hal yang halal dan menghalalkan hal yang haram (Hadits shahih riwayat Tirmidzi).
Maksud dari hadits tersebut bahwa perdamaian suatu hal yang
diizinkan sepanjang tidak digunakan untuk beberapa hal yang
bertentangan dengan ajaran keislaman. Orang Islam yang
mengikuti perdamian harus menyimak supaya perjanjian tidak
disalah gunakan.
c. Landasan hukum positif Indonesia
Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah
Agung (PERMA), yaitu PERMA Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Pasal 130 HIR dan 154 RBg., yang dapat dijadikan
pedoman tata tertib bagi para hakim di pengadilan tingkat pertama
guna memediasi para pihak yang berperkara. Bunyi dari Pasal 130
HIR, yaitu
mencoba akan mendamamaikan mereka. Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat sebuah surat (akta) tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan menepati perjanjian yang diperbuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa. Keputusan yang sedemikian tidak diizinkan dibanding. Jika pada waktu mencoba akan memperdamaikan kedua belah pihak, perlu dipakai seorang juru bahasa, maka peraturan Pasal yang berikut dituruti untuk itu.
Penjelasan dari bunyi Pasal 130 HIR yaitu apabila pada hari
yang telah ditentukan kedua belah pihak datang menghadap
persidangan, maka hakim berusaha untuk mendamaikan kedua
belah pihak. Apabila usaha itu berhasil, maka di persidangan
dibuat suatu Akta persetujuan. Diputuskan ke dua belah pihak
harus memenuhi persetujuan itu, kekuatan akta ini sama dengan
kekuatan suatu keputusan hakim biasa dan dijalankan seperti
keputusan biasa, tetapi putusan itu tidak boleh dimintakan banding.
Bunyi Pasal 154 RBg. yaitu:
1) Bila pada hari yang telah ditentukan para pihak datang menghadap, maka Pengadilan Negeri dengan perantaraan ketua berusaha mendamaikannya
2) Bila dapat dicapai perdamaian, maka di dalam sidang itu juga dibuatkan suatu Akta dan Para Pihak dihukum untuk menaati perjanjian yang telah dibuat, dan Akta itu mempunyai kekuatan serta dilaksanakan seperti suatu surat keputusan biasa
3) Terdapat suatu keputusan tetap semacam itu tidak dapat diajukan banding
2. Sengketa Ekonomi Syariah
a. Pengertian Sengketa
Sengketa adalah kata lain dari konflik. Ada ahli yang menyamakan
pengertian sengketa antara sengketa dengan konflik ada pula yang
membedakannya. Bagi yang menyamakannya sengketa atau konflik
diartikan dengan suatu interaksi yang bersifat antagonis (berlawanan,
bersebrangan, bertentangan), atau hubungan antara kedua pihak atau
lebih yang memiliki/merasa memiliki sasaran yang tidak sejalan. Bagi
yang membedakannya, maka yang dimaksud dengan konflik adalah
keadaan dimana para pihak menyadari/mengetahui tentang adanya
perasaan tidak puas, sedangkan sengketa adalah dimana konflik
tersebut dinyatakan dimuka umum atau melibatkan pihak ketiga (M.
Faisal, 2017: 401).
b. Ekonomi Syariah
Ekonomi syariah dapat didefinisikan perbuatan atau kegiatan usaha
yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi bank
syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi
syariah, reksadana syariah, obligasi syariah dan surat berharga
berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah,
pegadaian syariah, dana pensiun syariah, bisnis syariah dan lain-lain
(Achmad Fauzi, 2009: 84).
Perekonomian berbasis syariah harus diakui telah mengalami
Indonesia Indonesia (BMI) berdiri mulai beroprasi pada 1 Mei 1992,
pertumbuhan perbankan syariah meningkat tajam. Dari satu bank
umum syariah dan 78 BPRS pada 1998 menjadi tiga bank umum
syariah dan 17 bank umum yang membuka unit usaha syariah dengan
163 kantor cabang, 85 kantor cabang pembantu, dan 136 kantor kas,
serta 90 BPRS pada akhir 2005. Dalam hal implementasi, para pelaku
dan pengguna ekonomi syariah harus menjalankan kegiatan
berdasarkan syariah. Pola hubungan yang didasarkan pada keinginan
untuk menegakkan system syariah diyakini sebagai pola hubungan
yang kokoh antara bank dan nasabah. Bila terjadi perselisihan
pendapat, baik dalam penafsiran maupun dalam pelaksanaan isi
perjanjian, kedua pihak akan berusaha menyelesaiakan secara
musyawarah. Meski demikian, masih ada kemungkinan perselisihan
itu tidak dapat diselesaikan secara musyawarah. Kemungkinan seperti
ini kian besar, terlebih dalam kehidupan dunia ekonomi syariah yang
kian beragam (Rahmani Timorita Yulianti, 2007: 53-54).
c. Bentuk Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Persfektif Hukum
Positif Indonesia
Ekonomi syariah dibahas dalam dua disiplin ilmu, yaitu ilmu
ekonomi Islam dan ilmu hukum ekonomi Islam. Ekonomi syariah yang
menjadi kewenangan lembaga Peradilan Agama yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama
para hakim dilingkungan lembaga Peradilan Agama. Dalam berbagai
peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan ekonomi
syariah belum ada aturan khusus yang mengatur tentang hukum formil
(hukum acara) dan hukum materiil tentang ekonomi syariah.
Pengaturan hukum ekonomi syariah yang ada selama ini adalah
ketentuan yang termuat dalam kitab-kitab fikih dan sebagian kecil
terdapat dalam Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN), dan
dalam Peraturan Bank Indonesia. Sebelum lahirnya peraturan
perundang-undangan yang mengatur hukum formil dan hukum materiil
tentang ekonomi syariah, dalam penyelesaian sengketa ekonomi
syariah sebaiknya hakim Pengadilan Agama menguasai hukum
perjanjian yang terdapat dalam hukum perdata umum (KUH Perdata),
juga semua Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional Indonesia dan
Dewan Wakaf Nasional Indonesia (Ummi Azma, 2017: 231).
3. Pengadilan Agama
a. Pengertian Peradilan Agama
Di dalam ilmu hukum, Peradilan dijelaskan oleh para sarjana
hukum Indonesia sebagai terjemahan dari rechtspraak dalam bahasa
Belanda. Peradilan adalah suatu proses yang berakhir dengan memberi
keadilan dalam suatu putusan. Sedangkan Pengadilan menunjuk
kepada suatu susunan Instansi yang memutus perkara. Dalam
Pengadilan terletak dalam bidang hukum tata negara/tata usaha
negara” (Cik Hasan Bisri, 1996: 3).
Peradilan Agama adalah kekuasaan Negara dalam menerima,
memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara
perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah diantara
orang-orang Islam untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Penyelenggaraan Peradilan Agama dilaksanakan oleh Pengadilan
Agama pada Tingkat Pertama dan Pengadilan Tinggi Kasasi
dilaksanakan oleh Mahkamah Agung, sebagai Pengadilan Negara
Tertinggi (Cik Hasan Bisri, 2000: 26).
Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang
beragama Islam, Pengadilan adalah Pengadilan Agama dan
Pengadilan Tinggi Agama dilingkungan Peradilan Agama
(Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 Pasal 1 ayat (2)).
Unsur-unsur peradilan agama meliputi:
1) Kekuasaan Negara yang merdeka
2) Penyelenggara kekuasaan Negara, Pengadilan
3) Perkara yang menjadi wewenang Pengadilan
4) Orang-orang yang berpekara, yaitu pihak-pihak
5) Hukum yang dijadikan rujukan dalam berpekara
6) Prosedur dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus, dan
7) Penegakan hukum dan keadilan, sebagai tujuan
(Cik Hasan Bisri, 2000: 26).
b. Kewenangan dan Kekuasaan Peradilan Agama
Pasal 49 Nomor 50 Tahun 2009 jo. Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dijelaskan tentang kewenangan
dan kekuasaan mengadili yang menjadi beban tugas Peradilan Agama.
Dalam Pasal 49 ditentukan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan
perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di
bidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan
berdasarkan hukum Islam, serta wakaf, dan sedekah. Sedangkan
Pengadilan Tinggi Agama berwenang dan bertugas mengadili
perkara-perkara yang menjadi wewenang dan tugas Pengadilan Agama dalam
tingkat banding, juga menyelesaikan sengketa Yurisdiksi (perbenturan
sengketa antar wilayah) antara Pengadilan Agama. Kewenangan
Peradilan Agama dalam bidang Ekonomi Syariah meliputi
sebagaimana tersebut dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun
2006. Berdasarkan Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan Undang-Undang-undang Nomor
50 Tahun 2009, Lembaga Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi
Agama dapat memberikan keterangan, pertimbangan dan nasihat
diminta. Selain dari itu juga diserahi tugas tambahan oleh dan/atau
berdasarkan undang-undang (H. Abdul Manan, 2016: 13-16).
c. Pengertian Hakim
PERMA Nomor 1 Tahun 2016 Pasal 1 ayat (11), berbunyi:
Hakim adalah hakim pada Pengadilan Tingkat Pertama dalam lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama.
PERMA Nomor 1 Tahun 2016 Pasal 1 ayat (12), berbunyi:
Hakim Pemeriksa Perkara adalah Majelis hakim yang ditunjuk oleh ketua Pengadilan untuk memeriksa dan mengadili perkara..
Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 Pasal 1 ayat (3), berbunyi: