• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN KUALITAS PEER ATTACHMENT DENGAN KONSEP DIRI PADA REMAJA DEPOK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN KUALITAS PEER ATTACHMENT DENGAN KONSEP DIRI PADA REMAJA DEPOK"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN KUALITAS PEER

ATTACHMENT DENGAN KONSEP DIRI

PADA REMAJA DEPOK

Aditiyo Suratman

Binus University Kampus Kijang, Jl. Kemanggisan Ilir III No. 45, Kemanggisan/Palmerah, Jakarta Barat 11480, Telp. (62-21) 532 7630, lettermansp@gmail.com

(Aditiyo Suratman, Lisa Ratriana)

ABSTRAK

The purpose of this study was to determine the correlation between quality of peer attachment and self-concept in adolescents Depok. This study involved 227 participants, men (n = 130), women (n = 97), were taken using simple random sampling technique. Measuring instruments used are The Inventory Parent Peer Attachment (Armsden & Greenberg, 1987) and the Tennessee Self Concept Scale (Fitts, 1965 in Agustiani, 2006). Data were analyzed using SPSS 21.0 with methods Spearman correlation indicates that there is a significant relationship between peer attachment and self-concept (r = 0.342, p < 0,05).

Keywords: Quality of Peer Attachment, Self-Concept, Adolescents

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kualitas peer attachment dengan konsep diri pada remaja Depok. Penelitian ini melibatkan 227 partisipan, laki-laki (n = 130), perempuan (n = 97), yang diambil dengan menggunakan teknik simple random sampling. Alat ukur yang digunakan adalah The Inventory Parent Peer Attachment (Armsden & Greenberg, 1987) dan Tennessee Self Concept Scale (Fitts, 1965, dalam Agustiani, 2006). Data yang dianalisa menggunakan program SPSS 21.0 dengan metode Spearman Correlation menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara peer attachment dengan konsep diri (r = 0,342, p < 0,05).

Kata Kunci: Kualitas Peer Attachment, Konsep Diri, Remaja

PENDAHULUAN

Remaja sering kali menghadapi berbagai masalah terutama yang menyangkut pencarian jati diri mereka dalam masa perkembangannya. Pada fase remaja seseorang akan terus menggali tentang pribadinya dan bagaimana lingkungan mempengaruhi persepsi mengenai dirinya. Apabila seorang remaja sedang mengalami suatu masalah yang tidak bisa ia pecahkan, pada umumnya mereka akan mengambil jalan pintas atau menyelesaikannya dengan cara yang pada akhirnya merugikan dirinya sendiri atau orang lain. Berdasarkan penuturan dari Kapolres Depok AKBP Achmad Kartiko mengatakan, angka kasus kriminalitas di Depok meningkat pada 2012. Polres Depok mencatat sebanyak 3658 kasus kriminalitas dan gangguan kamtibmas terjadi jumlah kasus kriminalitas tersebut meningkat sebanyak 6,19 persen dari 2011. Pada tahun sebelumnya, tercatat sebanyak 3445 kasus terjadi (Saputri, 2012). Seperti yang terjadi sepanjang tahun 2012, kasus kriminalitas di Depok yang melibatkan remaja sebagai korban atau pelaku sering terjadi. Kasus yang terjadi antara lain pemerkosaan dan perampokan di angkutan kota M26 pada awal tahun 2012, yang dilakukan remaja. Serta tawuran pelajar yang menewaskan pelajar lainnya. Ada

(2)

pula kasus penganiayaan terhadap polisi yang dilakukan remaja dan kasus tiga pelajar yang memalak menggunakan celurit. Menurut data di Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Depok yakni, terdapat 13 kasus anak sepanjang tahun 2012 dengan jumlah tersangka 15 orang. Rata - rata mereka melakukan penganiayaan berat, cabul, bersetubuh, hingga membuang anak (Virdhani, 2013). Kehadiran teman sebaya dirasa perlu dalam kehidupan remaja untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.

Santrock (2010) mengatakan, teman sebaya mampu memberikan nilai positif pada remaja tersebut dengan memberikan informasi-informasi mengenai pembandingan identitas dirinya. Remaja yang pandai menempatkan dirinya pada lingkungan teman sebaya yang baik dapat mengembangkan identitas dirinya kearah yang positif. Pentingnya peer dijelaskan dari hasil penelitian yang ditemukan bahwa remaja lebih dapat mengungkapkan informasi yang bersifat pribadi dan mendalam kepada teman-teman (Ramdhana, 2013). Wilkinson (2006) juga mengatakan bahwa remaja menghabiskan semakin banyak waktu mereka untuk berinteraksi dengan teman sebaya dibandingkan orang tua mereka. Tidak seperti pada masa anak-anak dimana attachment selalu dikaitkan hanya dengan orangtua, attachment masa remaja seringkali terjadi dengan figur selain orangtua atau caregiver. Figur ini bisa berarti guru, teman atau peer mereka.

Attachment pada masa remaja dijelaskan secara berbeda dengan masa dewasa atau masa anak-anak

dimana attachment lebih difokuskan untuk menggambarkan kualitas dibanding gaya attachment. Selain itu, attachment remaja tidak hanya melihat dari sisi intensitas dan frekuensi attachment tapi lebih kepada kualitasnya (Ramdhana, 2013). Kualitas attachment diartikan dengan sensitivitas dan responsivitas figur

attachment dalam bertingkah laku dan berinteraksi dengan individu tersebut (Ainsworth, Bell, & Stayton,

1974 dalam Ramdhana, 2013). Armsden dan Greenberg (1978) menjelaskan lebih lanjut mengenai kualitas attachment dengan melihat pada tiga dimensi dasar untuk mengidentifikasi kualitas itu sendiri yakni komunikasi, kepercayaan dan keterasingan. Kepercayaan mengacu pada adanya perasaan aman dan keyakinan bahwa figur attachment memahami, sensitif dan responsif terhadap kebutuhan emosional remaja. Komunikasi mengacu pada cakupan dan kualitas komunikasi verbal dengan figur attachment. Keterasingan mengacu pada kemarahan terhadap atau pengabaian emosional dari figur attachment.

Pengaruh teman sebaya dalam pengembangan dan pembentukan identitas dirinya tidak bisa dianggap tidak penting karena dengan teman sebayalah biasanya remaja banyak menghabiskan waktunya untuk saling bertukar informasi tentang dunia luarnya, sehingga konsep diri dapat terbentuk. Fitts (1971, dalam Agustiani, 2006) mengemukakan dua dimensi konsep diri pada remaja yaitu dimensi internal dan dimensi eksternal. Dimensi internal atau yang disebut juga keranga acuan internal (internal frame of reference) adalah penilaian yang dilakukan individu terhadap dirinya sendiri berdasarkan dunia di dalam dirinya. Aspek dalam dimensi internal terbagi kedalam tiga bentuk yaitu diri identitas (identity self), diri pelaku (behavioral self) dan diri penerimaan atau penilai (judging self). Pada dimensi eksternal, individu menilai dirinya melalui hubungan dan aktivitas sosialnya, nilai-nilai yang dianutnya, serta hal-hal lain di luar dirinya. Dimensi eksternal terbagi atas lima aspek yaitu diri fisik (physical self), diri etik-moral

(moral-ethical self), diri pribadi (personal self), diri keluarga (family self) dan diri sosial (social self). Seluruh

bagian diri tersebut, baik internal maupun eksternal saling berkaitan dan membentuk suatu kesatuan yang utuh untuk menjelaskan hubungan antara dimensi internal dan eksternal (Fitts, 1971, dalam Agustiani, 2006). Dari beberapa hasil uraian yang telah dikemukakan di atas, peneliti melihat pentingnya kualitas

attachment pada remaja dalam pembentukan konsep diri mereka, maka peneliti tertarik untuk melihat dan

menguji hubungan kualitas peer Attachment dengan konsep diri pada remaja.

Definisi Attachment

Attachment atau kelekatan merupakan teori yang diungkapkan pertama kali oleh seorang psikiater asal

Inggris bernama John Bowlby pada tahun 1969. Ketika seseorang secara emosional terikat dengan orang lain, Attachment dimulai. Namun, hal-hal yang terjadi dengan kehadiran figur kelekatan benar-benar sulit untuk dimengerti, dan ini adalah alasan mengapa teori attachment muncul. Menurut Bowlby, attachment adalah keterhubungan psikologis yang terjadi antara manusia dan berlangsung untuk jangka waktu yang panjang. Bowlby (1982) menjelaskan attachment mengacu pada ikatan emosional yang berkembang antara orangtua dan anak. Attachment adalah ikatan emosional yang mendalam dan abadi yang menghubungkan satu orang ke orang lain di waktu dan ruang ( dalam Ainsworth, 1973; Bowlby, 1969).

Attachment pada seseorang tidak harus timbal balik, yaitu pada seseorang memiliki attachment dengan

teman sebayanya sedangkan teman sebayanya belum tentu memiliki attachment dengannya. Attachment ditandai dengan perilaku tertentu pada anak-anak, seperti mencari kedekatan dengan figur tertentu ketika marah atau terancam (Bowlby, 1969). Bowlby (1969) juga mendefinisikan attachment sebagai “Lasting psychological connectedness between human beings”. Hal ini menandakan bahwa attachment antar manusia akan terus terjadi selama rentang kehidupannya. Perilaku attachment akan terlihat jelas saat individu sedang merasa takut, lelah atau sakit (Bowlby, 1958 dalam Dacey & Travers, 2002). Hubungan

(3)

antar individu dapat dijelaskan lebih lanjut dari pengertian attachment menurut Ainsworth (dalam Colin, 1996) sebagai ikatan bersifat afeksional pada seseorang yang ditujukan pada orang-orang tertentu disebut dengan figur lekat dan berlangsung terus-menerus. Dari berbagai penjelasan mengenai attachment di atas dapat disimpulkan bahwa attachment merupakan sebuah ikatan psikologis yang terbentuk oleh seseorang dengan orang tertentu dimulai dari masih anak-anak hingga dewasa dalam jangka waktu yang sangat panjang.

Peer Attachment

Neufeld (2004) berpendapat bahwa peer attachment merupakan sebuah ikatan yang melekat yang terjadi antara seorang anak dengan teman-temannya, baik dengan seseorang maupun dengan kelompok sebayanya. Dari ikatan tersebut, seorang anak akan melihat dan meniru segala tindakan, gaya berpikir, dan akan memahami segala tingkah laku yang dilakukan oleh teman sebayanya. Teman sebaya akan menjadi penengah dari apa yang baik, apa yang terjadi, apa yang penting dan bahkan bagaimana mereka memiliki persepsi mengenai dirinya. Kualitas attachment diartikan dengan sensitivitas dan responsivitas figur attachment dalam bertingkah laku dan berinteraksi dengan individu tersebut (Ainsworth, Bell, & Stayton, 1974 dalam Ramdhana, 2013). Menurut Armsden dan Greenberg (dalam Barrocas, 2009) ada tiga aspek dari kualitas attachment yaitu :

Komunikasi (communication)

Adanya komunikasi yang baik maka akan menciptakan ikatan emosional yang kuat antara orangtua dan anak. Pada remaja, aspek komunikasi ditunjukkan dengan adanya ungkapan perasaan, teman sebaya menanyakan permasalahan yang dihadapi individu, meminta pendapat teman sebaya dan teman sebaya membantu individu untuk memahami dirinya sendiri.

Kepercayaan (trust)

Kepercayaan didefinisikan sebagai perasaan aman dan keyakinan bahwa orang lain akan membantu atau memenuhi kebutuhan individu. Kepercayaan dapat muncul saat hubungan terjalin dengan kuat. Kepercayaan pada figur attachment merupakan proses pembelajaran dimana ini akan muncul setelah adanya pembentukan rasa aman melalui pengalaman- pengalaman secara konsisten kepada individu. Kepercayaan juga merupakan kualitas penting dalam suatu hubungan kelekatan dengan teman sebaya. Keterasingan (alienation)

Keterasingan erat kaitannya dengan penghindaran dan penolakan. Ketika seseorang merasa atau menyadari bahwa figur tidak hadir, maka akan berakibat pada buruknya attachment yang dimilki oleh individu.

Konsep pengukuran kualitas Attachment yang diajukan oleh Armsden dan Greenberg tidak bertujuan untuk mengelompokkan individu kedalam suatu kelompok attachment tertentu, melainkan hanya melihat kualitas attachment berdasarkan tinggi atau rendah.

Definisi Konsep Diri

Konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya, yang dibentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi dengan lingkungan. Konsep diri bukan merupakan faktor bawaan, melainkan berkembang dari pengalaman yang terus menerus dan terdiferensiasi. Dasar dari konsep diri individu ditanamkan pada saat-saat dini kehidupan anak dan menjadi dasar yang mempengaruhi tingkah lakunya dikemudian hari (Agustiani, 2006). Fitts (1971, dalam Agustiani, 2006) juga mengemukakan bahwa konsep diri merupakan aspek penting dalam diri seseorang, karena konsep diri seseorang adalah sebuah kerangka acuan dalam berinteraksi dengan lingkungan.

METODE PENELITIAN

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik probabilitas yaitu simple

random sampling. Peneliti menggunakan desain penelitian kuantitatif non eksperimental untuk melihat hubungan antara variabel satu dengan variabel lainnya. Penelitian ini termasuk dalam penelitian kuantitatif karena data-data yang diperoleh akan diolah secara statistik. Penelitian ini menggunakan survei, dengan membagikan kuesioner kepada 227 partisipan remaja berusia 15 – 18 tahun yang berisi pernyataan-pernyataan terkait kualitas peer attachment dan konsep diri menggunakan skala Likert. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Tennessee Self Concept Scale (TSCS) yang dikembangkan oleh William H. Fitts pada tahun 1965 terdiri atas 100 item pernyataan, dengan 90 item pernyataan digunakan untuk mengukur tingkat konsep diri yang dimiliki oleh seseorang, dan 10 item pernyataan digunakan untuk mengukur tingkat defensiveness atau derajat keterbukaan atau kapasitas individu untuk mengakui dan menerima kritik terhadap dirinya (kritik diri). Sedangkan alat ukur yang digunakan untuk mengukur peer attachment yaitu kualitas peer attachment yang diadaptasi dari alat ukur

(4)

dari tiga dimensi yang diukur yakni komunikasi, kepercayaan, dan keterasingan. Alat ukur ini terdiri dari dua bagian yakni parental attachment dan peer attachment. Alat ini telah direvisi menjadi lebih singkat menjadi 24 item dengan 12 item untuk peer. Pada penelitian ini, peneliti hanya menggunakan item pada bagian peer attachment. Pada penelitian awal, peneliti melakukan uji coba alat ukur kepada 32 remaja dengan rentang usia 15-18 dengan karakteristik yang sama dengan karakteristik sampel penelitian. diperoleh angka Alpha Chronbach sebesar 0,598 dan pada instrumen konsep diri diperoleh 0,935. Setelah beberapa item dihapus pada alat ukur peer attachment dan konsep diri, diperoleh hasil Alpha Chronbach sebesar 0,772 dan pada instrumen konsep diri diperoleh 0,954.

HASIL DAN BAHASAN

Hasil pengolahan data yang dilakukan kepada 227 partisipan, peneliti menemukan bahwa adanya hubungan positif antara kualitas peer attachment dengan konsep diri remaja Depok dengan angka korelasi (r) sebesar 0,342. Artinya, Semakin tinggi kualitas peer attachment, semakin tinggi konsep diri remaja Depok, begitu pula sebaliknya. Berikut tabel hasi perhitungan korelasi Spearman :

Tabel Hasil Uji Korelasi Spearman

Kualitas Peer Attachment

Konsep Diri

Spearman's rho

Kualitas Peer Attachment

Correlation Coefficient 1,000 ,342** Sig. (2-tailed) . ,000 N 227 227 Konsep Diri Correlation Coefficient ,342** 1,000 Sig. (2-tailed) ,000 . N 227 227

Hasil yang diperoleh tersebut dapat dikatakan masih tergolong rendah mungkin dikarenakan ada faktor-faktor lain yang lebih mempengaruhi terbentuknya konsep diri pada remaja. Seperti yang dikemukakan oleh Agustiani (2006), yaitu konsep diri yang dimiliki pada usia remaja cenderung belum menetap dan masih berubah-ubah. Pada uji t, ditemukan bahwa terdapat perbedaan signifikan peer

attachment antara remaja laki-laki dan perempuan dengan t(225) = -1,340, p < 0,05. Artinya, ada

kemungkinan kualitas peer attachment perempuan remaja Depok lebih besar daripada remaja laki-laki. Sedangkan pada uji t, tidak terdapat perbedaan signifikan konsep diri antara remaja laki-laki dan perempuan dengan t(225) = -3,215, p > 0,05. Artinya tidak terdapat perbedaan yang begitu berarti antara tingkat konsep diri remaja laki-laki dan perempuan di Depok. Peneliti melihat masih banyak kelemahan yang ada pada penelitian ini yaitu, pada alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini mengadaptasi dari pihak-pihak yang bersangkutan, tetapi tidak dilakukan face validity uji keterbacaan. Kemudian, seharusnya item-item yang ada tidak dibuang pada saat melakukan uji validitas, namun sebaiknya dilakukan revisi dan dikonsultasikan dengan expert judgement.

SIMPULAN DAN SARAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan kualitas peer attachment dengan konsep diri pada remaja Depok. Hal ini dapat diketahui dengan melihat hasil uji korelasi Spearman yaitu hubungan yang paling signifikan adalah (r) sebesar 0,342 (p < 0,05). Artinya, Ha diterima (Ha diterima jika signifikansi < 0,05) karena terjadi hubungan positif antara kualitas peer attachment dengan konsep diri pada remaja Depok. Peneliti menyadari bahwa dalam penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan, maka dari itu peneliti akan memberikan saran bagi pihak-pihak yang berminat untuk melakukan penelitian dengan topik yang serupa. Peneliti selanjutnya diharapkan mempersiapkan segala sesuatu dengan baik, memperhatikan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi kualitas peer

attachment seperti pola asuh, dukungan sosial, psychological well-being, dan lain-lain. Untuk peneliti

selanjutnya, sebaiknya ditambahkan jumlah partisipan yang lebih banyak agar semakin menunjukkan data yang representatif. Hal lain yang perlu diperhatikan untuk penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukan uji

(5)

coba berkali-kali agar benar-benar mendapatkan item-item yang baik. Selain itu, perlu mempertimbangkan mengenai banyaknya jumlah item pada alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini. Peneliti selanjutnya diharapkan mendampingi partisipan dalam pengerjaannya agar memastikan kuesioner yang diberikan kepada partisipan dikerjakan dengan sungguh-sungguh.

REFERENSI

Agustiani, H. (2006). Psikologi Perkembangan: Pendekatan Ekologi Kaitannya dengan Konsep Diri dan

Penyesuaian Diri pada Remaja. Bandung: PT Refika Aditama.

Ainsworth, M. D. S. (1973). The development of infant-mother Attachment. In B. Cardwell & H. Ricciuti (Eds.), Review of child development research (Vol. 3, pp. 1-94) Chicago: University of Chicago Press.

Armsden, G. C., & Greenberg, M. T. (1987). The inventory of parent and peer Attachment: Individual differences and their relationship to psychological well-being in adolescence. Journal of Youth

and Adolescence, 16 (5). doi: 0047-2891/87/1000-0427$05.00/0.

Barrocas, A. L. (2009). Adolescent Attachment to Parents and Peers. (Online). Retrieved April 8, 2013, from http://www.marial.emory.edu./pdfs/barrocas%20thesisfinal.doc.

Bowlby J. (1969). Attachment. Attachment and Loss: Vol. 1. Loss. New York: Basic Books. Bowlby, J. (1982). Attachment and loss, Volume 1: Attachment (2nd ed.). New York: Basic Books. Colin, V. L. (1996). Human Attachment. London: McGraw-Hill.

Neufeld , G. (2004). Hold on to your kids: why parents matter (1st ed.). Toronto: A. A. Knopf Canada

Saputri, D. S. (2012, December 30). Tahun ini Kasus Perampokan di Depok Meningkat. Retrieved September 9, 2013, from

http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/12/12/30/mftveg-tahun-ini-kasus-perampokan-di-depok-meningkat

Virdhani, M. H. (2012, December 31). 2012, Kasus Kriminalitas Anak di Depok Marak. Retrieved from http://jakarta.okezone.com/read/2012/12/31/501/739225/2012-kasus-kriminalitas-anak-di-depok-marak.

Santrock, J. W. (2010). Psikologi Pendidikan (2nd ed.). Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Wilkinson, R. B. (2006). Development and Properties of the Adolescent Friendship Attachment Scale.

(Online). Retrieved April 8, 2013, from:

dspace.anu.edu.au/bitstream/1885/44493/1/Wilkinson_2006_in_press.pdf

RIWAYAT PENULIS

Aditiyo Suratman lahir di kota DKI Jakarta pada 24 Maret 1988. Penulis menamatkan pendidikan S1 di

Gambar

Tabel Hasil Uji Korelasi Spearman

Referensi

Dokumen terkait

 Bantuan berupa gerobak usaha yang sebelumnya dilakukan verifikasi oleh pemerintah daerah..  Harus tepat sasaran (tidak ada biaya, usia lanjut, dan

40%, kontrol negatif yaitu basis salep digunakan untuk melihat apakah basis yang digunakan memiliki aktivitas antibakteri atau tidak dan untuk kontrol positif yang

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keputusan membeli merupakan kegiatan pemecahan masalah yang dilakukan individu dalam pemilihan alternatif perilaku yang sesuai

yang besarnya kurang dari 5, kemudian dilanjutkan dengan uji Exact Fisher diperoleh nilai p&gt;0,05 yang berarti tidak ada perbedaan proporsi antara pendidikan penderita

• Risiko fundamental terdiri dari: business risk, financial risk, liquidity risk, exchange rate risk, and country risk. • Risiko sistematik merefer pd porsi varian total

(1) Izin usaha Bursa Berjangka, Lembaga Kliring Berjangka, Pialang Berjangka, Penasihat Berjangka, Pengelola Sentra Dana Berjangka, dan izin Wakil Pialang Berjangka, Wakil

Bab III berisi tentang proses pembelajaran biola pada remaja di Gereja Pugeran yang meliputi pelaksanaan pembelajaran, materi yang harus diajarkan, cara

penambahan jantung pisang.. Hal ini disebabkan panelis menyukai abon lokan dengan warna yang agak kekuningan. Semakin tinggi kadar tebu telur semakin kuning warna yang