• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Maesa Ayu (Analisis Wacana Kritis Sara Mills). Berbeda dengan penelitianpenelitian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Maesa Ayu (Analisis Wacana Kritis Sara Mills). Berbeda dengan penelitianpenelitian"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Hasil Penelitian Terdahulu

Penelitian terhadap representasi ketidakadilan gender dalam wacana tentu saja sebelumnya sudah banyak dilakukan. Namun demikian, penelitian sebelumnya menggunakan objek dan fokus penelitian yang berbeda dengan penelitian yang diambil oleh peneliti. Pada penelitian ini peneliti mengambil judul Representasi Ketidakadilan Gender dalam Kumpulan Cerpen Saia karya Djenar Maesa Ayu (Analisis Wacana Kritis Sara Mills). Berbeda dengan penelitian-penelitian lain yang membahas tentang Analisis Sosiologi Sastra dalam Kumpulan Cerpen Saia Karya Djenar Maesa Ayu (Ade Solihat, 2015: Universitas Galuh), Konstruksi Tokoh Perempuan dalam Cerpen-Cerpen pada Kumpulan Cerpen Saia Karya Djenar Maesa Ayu (Eka Aprilia Sulistyarini, 2015: Universitas Airlangga), serta Ketidakadilan Gender dalam Kumpulan Cerpen Saia Karya Djenar Maesa Ayu: Tinjauan Sastra Feminis dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra di SMA (Eva Kartika Ayu Ningrum, 2016: Universitas Muhammadiyah Surakarta). Berikut sekilas penjelasannya.

1. “Analisis Sosiologi Sastra dalam Kumpulan Cerpen Saia Karya Djenar Maesa Ayu” (Ade Solihat, 2015: Universitas Galuh)

Topik yang diangkat dalam penelitian tersebut adalah sosiologi dalam kumpulan cerpen Saia karya Djenar Maesa Ayu dengan menggunakan teori kajian sosiologi sastra. Penelitian deskriptif kualitatif ini memiliki hasil sebagai berikut: sosiologi sastra melibatkan sosiologi pengarang, sosiologi

(2)

karya, dan sosiologi pembaca. Sosiologi pengarang meliputi profesi pengarang, dan institusi sastra, berkaitan dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial, status pengarang, ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra. Sosiologi karya sastra mengkaji isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial. Sosiologi pembaca mengkaji permasalahan pembaca dan dampak sosial karya sastra serta sejauh mana karya sastra ditentukan atau tergantung dari latar sosial, perubahan dan perkembangan social. Hasil penelitian ini dapat berimplikasi pada masyarakat juga pada dunia pendidikan.

Pada penelitian terdahulu tersebut memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini. Persamaan penelitian sebelumnya dengan penelitian ini terletak pada sumber data yang digunakan, yaitu kumpulan cerpen Saia karya Djenar Maesa Ayu. Kemudian perbedaan antara kedua penelitian terletak pada teori yang digunakan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Ade Solihat teori yang digunakan adalah kajian sosiologi sastra, sedangkan pada penelitian ini teori yang digunakan adalah analisis wacana kritis Sara Mills. Hal ini tentu menjadikan hasil penelitian pada keduanya berbeda.

2. “Konstruksi Tokoh Perempuan dalam Cerpen-Cerpen pada Kumpulan Cerpen Saia Karya Djenar Maesa Ayu” (Eka Aprilia Sulistyarini, 2015: Universitas Airlangga)

Topik yang diangkat dalam penelitian tersebut adalah ketidakadilan gender yang terdapat dalam kumpulan cerpen Saia karya Djenar Maesa Ayu.

(3)

berikut: konstruksi pada masing-masing tokoh yakni tokoh ibu dan tokoh anak perempuan. Konstruksi pada tokoh ibu terjadi saat ia menghukum anak perempuan dengan kekerasan psikis dan fisik, hal ini dikarenakan tokoh ibu memiliki dendam dengan tokoh ayah. Konstruksi pada tokoh anak perempuan terjadi saat ia mulai menunjukkan perkembangan watak yang mengarah pada sifat negatif dan menunjukkan perlawanan pada tokoh ibu, hal tersebut dikarenakan jika ia tidak melawan maka tokoh ibu tetap menghukumnya. Konstruksi pada kedua tokoh perempuan tersebut memiliki makna sebagai kritik hubungan ibu dan anak perempuan di masyarakat. Ada upaya penindasan yang dilakukan perempuan pada perempuan lain dan rasa tanggung jawab yang dimiliki ibu pada anak perempuan lebih besar daripada ayah.

Pada penelitian terdahulu tersebut memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini. Persamaan penelitian sebelumnya dengan penelitian ini terletak pada sumber data yang digunakan, yaitu kumpulan cerpen Saia karya Djenar Maesa Ayu. Kemudian perbedaan antara kedua penelitian terletak pada teori yang digunakan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Eka Aprilia Sulistyarini teori yang digunakan adalah kritik sastra feminis, sedangkan pada penelitian ini teori yang digunakan adalah analisis wacana kritis Sara Mills. Hal ini tentu menjadikan hasil penelitian pada keduanya berbeda.

3. “Ketidakadilan Gender dalam Kumpulan Cerpen Saia Karya Djenar Maesa Ayu: Tinjauan Sastra Feminis dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra di SMA” (Eva Kartika Ayu Ningrum, 2016: Universitas Muhammadiyah Surakarta)

Topik yang diangkat dalam penelitian tersebut adalah ketidakadilan gender yang terdapat dalam kumpulan cerpen Saia karya Djenar Maesa Ayu

(4)

dengan menggunakan teori kajian sastra feminis. Objek kajian dalam penelitian tersebut ialah tiga cerpen berjudul Air, Sementara, dan Mata Telanjang. Penelitian deskriptif kualitatif dalam penelitian tersebut memiliki hasil sebagai berikut: (1) penulis memiliki latar sosio-historis yang selalu mengangkat permasalahan terhadap perempuan sehingga berpengaruh terhadap karya sastranya, (2) struktur ketiga cerpen tersebut bertema tentang perjuangan seorang perempuan, kehancuran hidup akibat pergaulan bebas, kehidupan penari telanjang di sebuah tempat hiburan malam, alur ketiga cerpen yaitu alur maju, dan memiliki latar waktu 2000-an, (3) penelitian ini terdapat empat ketidakadilan gender yang terbagi atas: subordinasi perempuan, stereotip perempuan, kekerasan terhadap perempuan, dan beban kerja, (4) kumpulan cerpen Saia ini tidak dapat digunakan sebagai bahan ajar sastra pada pembelajaran Bahasa Indonesia SMA kelas X1 semester 1 karena tidak sesuai dengan kriteria kelayakan bahan ajar yaitu dari segi bahasa, psikologi, dan latar belakang sosial budaya.

Persamaan penelitian sebelumnya dengan penelitian ini terletak pada sumber data dan salah satu teori yang digunakan, yaitu kumpulan cerpen Saia karya Djenar Maesa Ayu dan teori representasi ketidakadilan gender. Kemudian perbedaan antara kedua penelitian terletak pada teori lain yang digunakan dan jumlah cerpen yang dikaji. Pada penelitian yang dilakukan oleh Eva Kartika Ayu Ningrum teori yang digunakan adalah kajian sastra feminis, sedangkan pada penelitian ini teori yang digunakan adalah wacana feminis. Jumlah cerpen yang diteliti oleh penelitian sebelumnya hanya tiga cerpen, sedangkan dalam penelitian ini sejumlah 14 cerpen. Hal ini tentu menjadikan hasil penelitian pada keduanya berbeda.

(5)

Berdasarkan penjelasan di atas maka penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti kali ini berbeda dengan penelitian-penelitian yang sudah ada. Hal itu dibuktikan dengan sumber data, teori dan analisis kajian yang digunakan dalam penelitian. Penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti berfokus pada representasi ketidakadilan gender dalam kumpulan cerpen Saia karya Djenar Maesa Ayu dengan analisis wacana kritis Sara Mills.

B. Landasan Teori 1. Wacana

Arti kata ”wacana” sangat banyak digunakan serta memiliki makna yang luas tergantung lingkup dan konteks disiplin ilmu yang memakainya. Istilah “wacana” berasal dari bahasa Sansekerta wac/wak/vak, yang artinya “berkata”, “berucap” (Douglas dalam Mulyana, 2005:3). Bila dilihat dari jenisnya, kata wac dalam lingkup morfologi bahasa Sansekerta, termasuk kata kerja golongan III parasmaepada (m) yang bersifat aktif, yaitu “melakukan tindakan ujar”. Seiring perkembangannya, kata itu kemudian mengalami perubahan menjadi kata “wacana”. Bentuk ana yang ada di dibelakang kata ini merupakan sufiks (akhiran) yang bermakna membendakan (nominalisasi) kata tersebut. Oleh sebab itu, kata wacana dapat diartikan sebagai “perkataan” atau “tuturan”. Hal ini senada dengan pendapat Eriyanto (2015:1) yang mengartikan wacana sebagai pembicaraan atau diskursus.

Menurut Guy Cook (dalam Eriyanto, 2015:9) ada tiga hal yang sentral dalam pengertian wacana. Pertama, teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi

(6)

komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra, dan sebagainya. Jadi, disimpulkan bahwa teks adalah segala sesuatu yang dapat dimaknai. Kedua, konteks merujuk kepada semua situasi dan hal yang berada di luar teks yang mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan, situasi dimana teks itu diproduksi, fungsi yang dimaksudkan dan sebagainya. Ketiga, wacana adalah gabungan antara teks dan konteks. Ketiga hal ini saling berkaitan dalam rangka menafsirkan sebuah wacana.

Menurut Murahimin (dalam Sobur, 2009:10) mengartikan wacana sebagai kemampuan untuk maju (dalam pembahasan) menurut urut-urutan yang teratur dan semestinya, dan komunikasi buah pikiran, baik lisan maupun tulisan, yang resmi dan teratur. Wacana dapat berbentuk lisan dan tulisan juga sejalan dengan pendapat Tarigan (dalam Mulyana, 2005:6), wacana adalah satuan bahasa paling lengkap, lebih tinggi dari klausa dan kalimat, memiliki kohesi dan koherensi yang baik, mempunyai awal dan akhir yang jelas, berkesinambungan, dan dapat disampaikan secara lisan atau tulisan.

Kemudian Jorgensen dan Phillips (2010:12) dalam menjelaskan kata kunci dalam teori wacana Laclau dan Moufee adalah perjuangan kewacanaan (discursive struggle). Dia menegaskan bahwa tidak ada wacana yang merupakan entitas tertutup: namun wacana senantiasa mengalami transformasi-transformasi karena adanya kontak dengan wacana-wacana lain. Yang terpenting, lahirnya makna dalam wacana-wacana itu mampu menyusun dan mengubah dunia. Wacana-wacana yang berbeda itu masing-masing menunjuk sebanyak dan seselaras mungkin menuju ke arah tindakan yang berbeda-beda.

(7)

Dalam pengertian yang lebih sederhana, wacana berarti cara objek atau ide diperbincangkan secara terbuka kepada publik sehingga menimbulkan pemahaman tertentu yang tersebar luas (Lull dalam Sobur, 2009:11). Menurut Sobur (2009:11), yang merangkum berbagai pengertian wacana merupakan rangkaian ujar atau rangkaian tindak tutur yang mengungkapkan suatu hal (subjek) yang disajikan secara teratur, sistematis, dalam satu kesatuan yang koheren, dibentuk oleh unsur segmental dan nonsegmental bahasa.

Berdasarkan beberapa pengertian wacana munurut para ahli, dapat disimpulkan bahwa wacana ialah satuan bahasa yang dianggap paling lengkap berisi ungkapan tentang suatu hal secara teratur dan sistematis dalam bentuk lisan maupun tulisan, serta senantiasa mengalami transformasi-transformasi karena adanya kontak dengan wacana-wacana lain. Kemudian dengan pemahaman akan makna dalam wacana diharapkan dapat mengubah dunia.

2. Analisis Wacana Kritis

CDA (Critical Discourse Analysis) merupakan wilayah kritis yang berlaku linguistik dimana hubungan antara bahasa, kekuatan, dan ideologi adalah titik fokus yang penting (Tavakoli dalam Sideeg, 2015: 2). Hal ini sejalan dengan Fairclough dan Wodak (dalam Eriyanto, 2015:7) menjelaskan bahwa analisis wacana kritis melihat wacana sebagai bentuk dari praktek sosial. Ketika wacana dimasukkan kedalam praktik sosial maka terjadi hubungan dialektis di antara peristiwa; hubungan diskursif tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang membentuknya. Produksi wacana juga memiliki efek ideologis yang dapat diartikan wacana tersebut dapat memproduksi dan mereproduksi hubungan

(8)

kekuasaan yang tidak imbang diantara kelas-kelas sosial, laki-laki dan perempuan, kelompok minoritas dan mayoritas yang direpresentasikan dalam posisi sosial yang ditampilkan. Analisis wacana kritis akan menyelidiki bagaimana melalui bahasa kelompok sosial yang ada saling bertarung dan mengajukan versinya masing-masing.

Analisis wacana kritis memandang dirinya sebagai penelitian yang melibatkan secara politis dengan suatu kebutuhan emansipasitoris: mencoba memberikan dampak pada praktik sosial dan hubungan sosial, misalnya dalam pengembangkan profesi guru, elaborasi panduan bagi penggunaan bahasa noneksis atau usulan untuk meningkatkan daya pemahaman berita dan teks hukum. Penekanan penelitian yang muncul dalam pencapaian tujuan-tujuan tersebut meliputi penggunaan bahasa dalam organisasi, dan penelitian terhadap prasangka dalam hal-hal umum, dan rasisme, terutama anti-semitisme dan seksisme (Titscher dkk., 2009:240).

Foucault (dalam Eriyanto 2015:66) berpendapat kekuasaan selalu terakulasikan lewat pengetahuan dan pengetahuan selalu mempunyai efek kuasa. Kuasa tidak bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi terutama melalui normalisasi dan regulasi. Bagi Foucault, kuasa tidak bersifat subjektif. Kuasa bekerja dengan cara positif dan produktif. Kuasa mereprodusir realitas dan mereprodusir lingkup-lingkup objek-objek, serta ritus-ritus kebenaran. Kekuasaan dalam pandangan Foucault disalurkan melalui hubungan sosial dimana terdapat bentuk-bentuk kategorisasi perilaku baik-buruk. Peran kekuasaan itu bereproduksi terus-menerus salah satunya lewat wacana.

(9)

Pemaknaan analisis wacana juga memiliki banyak arti yang luas karena disesuaikan pula dengan ruang lingkup dan disiplin ilmu yang menggunakannya. Namun, benang merah dari berbagai defenisi itu selalu bersinggungan dengan studi mengenai bahasa/pemakaian bahasa (Eriyanto, 2015:4). Bahasa dalam analisis wacana dipandang sebagai suatu hal yang dinamis atau luwes dan lebih memperhatikan interaksi antarpenutur disertai kekuasaan yang melatarbelakanginya.

3. Feminisme Sara Mills

Sara Mills dikenal sebagai salah satu penulis teori wacana yang lebih banyak memusatkan perhatian pada wacana mengenai feminisme yaitu bagaimana perempuan ditampilkan dalam teks, termasuk dalam karya sastra. Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh Sara Mills sering juga disebut sebagai perspektif feminis. Titik perhatian dari perspektif wacana feminis adalah menunjukkan bagaimana teks bias dalam menampilkan perempuan. Pemikiran Mills juga tak dapat terlepas dari Michael Foucault terhadap diskursus karena karya-karya Foucault sangatlah penting bagi perkembangan berbagai teori yang salah satunya diolah menjadi teori wacana feminis.

Analisis wacana feminis berpijak pada teori wacana Foucault dan banyak mendapat pengaruh dari CDA (Critical Discourse Analysis) yang dikembangkan Fairclough dan Wodak. Pengusungan prinsip-prinsip Foucault dalam FDA (Feminist Discourse Analysis) sesungguhnya dianggap ironis mengingat Foucault hampir tidak pernah secara khusus memperbincangkan persoalan gender dalam tulisan-tulisannya. Namun pandangan Foucault tentang

(10)

relasi kekuasaan memberi banyak inspirasi bagi kaum feminis yang kemudian meminjamnya dalam memformulasikan FDA. FDA dapat dikatakan sebagai pertemuan antara feminisme (postrukturalis), Foucault dan CDA. Tentu, perbedaan antara CDA dan FDA adalah pada fokus perhatiannya, sementara metode yang digunakan tidak terlampau berbeda. Fokus FDA ditujukan pada pemberdayaan perempuan dan keadilan gender, dan oleh karenanya ia banyak menggunakan teori gender dan feminisme (postrukturalis) dalam mengungkapkan manifes relasi kekuasaan dan ideologi dalam wacana (Purbani, 2009:8).

Analisis wacana feminis merupakan pendekatan yang dibedakan dengan fokus pada mengungkapkan hubungan kekuasaan yang tidak setara antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan sosial mereka (Saber, 2014:1). Pengaruh feminisme postrukturalis dalam FDA terletak pada perhatiannya yang besar terhadap isu-isu yang bersifat personal dan individual, tapi sekaligus majemuk, yang kurang pendapat perhatian pada gerakan feminisme mazhab sebelumnya. Seperti diketahui feminis postrukturalis menurut Mills (2004:71-75) atau yang dalam tataran praksis sering pula disebut sebagai feminisme gelombang ketiga di antaranya memiliki slogan bahwa „personal is political‟, yang memberi perhatian pada isu-isu yang tadinya dianggap kurang penting seperti pengasuhan anak, ketenagakerjaan domestik, pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, hak-hak reproduksi perempuan. Slogan personal is political yang kemudian memberi roh feminisme postrukturalis ini sesungguhnya berlandaskan pada pendapat Foucault yang menyatakan bahwa

(11)

segala sesuatunya bersifat politis = „everything is political‟ (Mills, 2004:71-72). Pandangan ini sangat berguna karena memberi ruang sekaligus harapan bagi kaum perempuan untuk melakukan penolakan terhadap tekanan-tekanan yang mereka hadapi melalui kegiatan sehari-hari serta suara-suara personal mereka.

Seperti analisis wacana lain, Sara Mills menempatkan representasi sebagai bagian terpenting dari analisisnya. Bagaimana satu pihak, kelompok, orang, gagasan, atau peristiwa ditampilkan dengan cara tertentu dalam wacana berita yang mempengaruhi pemaknaan ketika diterima oleh khalayak. Akan tetapi berbeda dengan analisis dari linguistik tradisional yang memusatkan perhatian pada struktur kata, kalimat, atau kebahasaan, Mills lebih menekankan pada bagaimana posisi berbagai aktor sosial, posisi gagasan, atau peristiwa ditempatkan dalam teks (Eriyanto, 2015:200-201).

Sara Mills (dalam Eriyanto, 2015:200) melihat pada bagaimana posisi-posisi aktor ditampilkan dalam teks. Posisi-posisi-posisi ini dalam arti siapa menjadi subjek penceritaan dan siapa yang menjadi objek penceritaan akan menentukan struktur teks dan bagaimana makna diperlakukan dalam teks secara keseluruhan. Selain posisi-posisi aktor dalam teks, Mills juga memusatkan perhatian pada bagaimana pembaca dan penulis ditampilkan dalam teks. Posisi ini akan menempatkan pembaca pada salah satu posisi dan mempengaruhi bagaimana teks itu hendak dipahami dan bagaimana pula aktor ditempatkan. Pada akhirnya cara penceritaan dan posisi-posisi yang ditempatkan dan ditampilkam dalam teks ini membuat satu pihak menjadi legitimate dan pihak lain menjadi illegitimate. Pada

(12)

pemikiran Sara Mills, muncul kerangka analisis wacana yang mengklasifikasikan posisi-posisi tertentu sebagai berikut.

Tabel 2.2. Kerangka Analisis Wacana Sara Mills

Tingkat Yang Ingin Dilihat

Posisi Subjek-Objek Bagaimana peristiwa dilihat, dari kacamata siapa peristiwa itu dilihat. Siapa yang diposisikan sebagai pencerita (subjek) dan siapa yang menjadi objek yang diceritakan. Apakah masing-masing aktor dan kelompok sosial mempunyai kesempatan untuk menampilkan dirinya sendiri, gagasannya atau kehadirannya.

Posisi Penulis- Pembaca Bagaimana posisi pembaca ditampilkan dalam teks. Bagaimana pembaca diposisikan dirinya dalam teks yang ditampilkan. Kepada kelompok manakah pembaca mengidentifikasi dirinya.

Sumber: Eriyanto. Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media. 2015. Dalam membentuk wacana tersebut, tentu ada strategi wacana tertentu yang dilakukan sehingga ketika ditampilkan dalam teks, perempuan tergambar secara buruk (Eriyanto, 2015:199). Analisis wacana dari Sara Mills berbeda dengan model critical linguistics yang memusatkan perhatian pada struktur kebahasaan dan bagaimana pengaruhnya dalam pemaknaan khalayak. Mills lebih memusatkan perhatian pada bagaimana posisi aktor-aktor yang ditampilkan dalam teks. Posisi-posisi itu memberi gambaran siapa yang menjadi subjek dan objek dalam penceritaan tersebut. Selain itu, Mills juga memasukkan bagaimana pembaca dan penulis ditampilkan dalam teks dalam arti pemoposisian ini akan memberikan dampak “mempengaruhi” dan “dipengaruhi” baik secara langsung

(13)

maupun tidak langsung. Dalam analisa Sara Mills, terdapat dua hal yang harus diperhatikan yaitu sebagai berikut.

a. Posisi Subjek Terhadap Objek

Seperti analisis wacana lain, Sara Mills menempatkan representasi sebagai bagian terpenting dari analisisnya. Bagaimana satu pihak, kelompok, orang, gagasan, atau peristiwa ditampilkan dengan cara tertentu dalam wacana yang mempengaruhi pemaknaan ketika diterima oleh khalayak (Eriyanto, 2015:200). Bagi Mills posisi-posisi yang ditampilkan dalam teks pada akhirnya menentukan bentuk teks yang hadir di tengah khalayak. Misalnya ada aktor yang mempunyai posisi tinggi ditampilkan dalam teks, ia akan mempengaruhi bagaimana dirinya ditampilkan dalam teks dan bagaimana pihak lain ditampilkan.

Wacana media bukanlah sarana yang netral, tetapi cenderung menampilkan aktor tertentu sebagai subjek yang mendefenisikan peristiwa atau kelompok tertentu. Mills berpendapat bahwa posisi itulah yang menentukan semua bangunan unsur teks, dalam pihak yang mempunyai posisi tinggi untuk mendefenisikan realitas akan menampilkan peristiwa atau kelompok lain ke dalam bentuk struktur wacana tertentu yang dihadirkan kepada khalayak (Eriyanto, 2015:201).

Dalam konsep Sara Mills, kita perlu mengkritisi bagaimana sebuah peristiwa ditampilkan dan bagaimana pihak-pihak yang terlibat diposisikan dalam teks. Karena sebuah peristiwa pasti mengalami proses konstruksi atau bentukan dari si pencerita yang kemudian dapat memilih sudut pandang,

(14)

mendefenisikan peran aktor-aktor di dalamnya, bahkan membentuk karakter-karakter aktor di dalamnya. Posisi subjek dan objek dalam representasi mengandung muatan ideologis tertentu yang ditentukan oleh si pembuat teks atau penulis.

b. Posisi Penulis Terhadap Pembaca

Selain posisi subjek-objek yang menarik dalam model analisis Sara Mills adalah bagaimana posisi pembaca ditampilkan dalam teks (Eriyanto, 2015: 203). Gagasan Mills mengenai posisi pembaca sangat dipengaruhi oleh gagasan Louis Althusser mengenai interpelasi yang berhubungan dengan pembentukan subjek ideologi dalam masyarakat dan kesadaran yang berhubungan dengan penerimaan individu tentang posisi-posisi itu sebagai suatu kebenaran. Mills menolak pandangan para ahli yang tidak mempertimbangkan posisi pembaca dalam teks. Selama ini, suatu teks hanya dilihat dari posisi penulis yang dihubungkan dengan konteks semata namun tidak melihat keberadaan posisi pembaca yang mengonsumsi teks tersebut.

Teks adalah hasil negoisasi penulis dan pembaca. Oleh karena itu, pembaca disini tidaklah dianggap sebagai pihak yang menerima teks, tetapi juga ikut melakukan transaksi sebagaimana akan terlihat dalam teks. Bagi Mills, membangun suatu model yang menghubungkan antara teks dan penulis dengan teks dan pembaca memiliki sejumlah kelebihan. Pertama, model semacam ini akan komprehensif melihat teks bukan hanya berhubungan dengan faktor produksi tetapi juga resepsi. Kedua, posisi pembaca di sini ditempatkan dalam posisi yang penting karena teks memang ditujukan untuk

(15)

secara langsung atau tidak langsung “berkomunikasi” dengan khalayak (Eriyanto, 2015:204).

Mills (dalam Badara 2012: 52-53) lebih memusatkan perhatian pada gender dan pemosisian pembaca. Laki-laki dan perempuan dipandang mempunyai persepsi yang berbeda ketika membaca suatu teks. Mereka juga berbeda dalam menempatkan posisi dirinya dalam teks. Keterlibatan pembaca dalam wacana gender ditandai dengan pemakaian kata ganti seperti “anda”. “saya”,”kami”, atau “kita” dalam teks jelas dapat menempatkan pembaca menjadi bagian yang integral dalam keseluruhan teks. Secara tidak langsung, penulis telah memperhitungkan keberadaan pembaca dalam teks yang disusunnya. Kehadiran itu dapat diperhitungkan untuk menarik dukungan, simpati, atau menekan pembaca.

Pada penelitian ini posisi pembaca akan ditentukan oleh posisi penulis. Artinya, bagaimana penulis menempatkan pembaca dalam teks. Penulis melalui tulisannya menuntun pembaca ke dalam posisi tertentu yang dapat dikategorikan kepada posisi yang akan dipengaruhi atau bahkan pada pihak yang tertuduh sebagai pelaku. Menurut Eriyanto (2015:208), dalam novel atau cerpen dibangun dengan serangkaian karakter dan plot yang dirangkai penulis untuk mempengaruhi pembaca. Kemudian pemosisian pembaca seperti keinginan penulis pada akhirnya berpotensi melestarikan bias gender yang ada dalam masyarakat. Hal ini digunakan penulis untuk menghadirkan isu ketidakadilan gender dan menyampaikan pesan dalam karyanya.

(16)

4. Ketidakadilan Gender dalam Wacana

Representasi pada dasarnya berarti bahwa sesuatu hal yang bisa direpresentasikan oleh wakil ketika hal tersebut secara fisik tidak ada. Dalam wacana, hal ini terjadi karena kelompok secara sosial tidak bisa diterapkan sebelumnya, kelompok-kelompok itu tidak ada sampai disusun dalam wacana kondisi semacam ini menyebabkan hadirnya pernyataan atau tindakan atas nama kelompok. Menurut Darma (2013:148) representasi menjadi salah satu kata kunci dalam wacana feminis, dalam arti bahwa para feminis harus menyadari bahwa realitas merupakan representasi buatan manusia, termasuk representasi mengenai perempuan.

Salah satu representasi dalam wacana perempuan ialah perihal kekuasaan. Eriyanto (2015:11) berpendapat bahwa analisis wacana kritis juga mempertimbangkan elemen kekuasaan (power) dalam analisisnya. Konsep kekuasaan adalah salah satu kunci hubungan antara wacana dengan masyarakat. Setiap wacana muncul, dalam bentuk teks, percakapan, atau apa pun, tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Seperti kekuasaan laki-laki dalam wacana mengenai seksisme, kekuasaan kulit putih terhadap kulit hitam dalam wacana mengenai rasisme, kekuasaan perusahaan berbentuk dominasi pengusaha kelas atas kepada bawahan, dan sebagainya.

Anang Santoso (2007) dalam sebuah tulisannya yang membahas Bahasa Perempuan mengkategorikan tiga teori relasi dan gender, yakni teori-teori dominasi, perbedaan, dan analisis gender. Satu penjelasan yang ditawarkan oleh

(17)

teori dominasi terhadap perbedaan bahasa perempuan dan laki-laki adalah berkenaan dengan kekuasaan (power). Menurut Wareing (dalam Santoso, 2007) perbedaan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki adalah penyebab utama variasi wacana yang dihasilkan. Teori ini berhasil menunjukkan bahwa secara statistik bahwa laki-laki cenderung memiliki kekuasaan atau kekuatan yang lebih dibandingkan perempuan, baik secara fisik, finansial, dan dalam hierarki di tempat kerja. Meskipun ada satu atau dua perempuan yang memiliki kekuasaan yang melebihi laki-laki, fenomena itu dianggap sebagai pengecualian atau kasus unik.

Bagi Foucault (dalam Darma, 2013:150), pengetahuan adalah kekuasaan, kekuasaan bertujuan membatasi yang lain. Menurutnya pengetahuan tak henti-hentinya berputar dalam pembebasan dan perbudakan. Misalnya suatu percakapan tentang seksualitas bisa mewujudkan pengetahuan. Pengetahuan ini akhirnya mewujudkan kekuasaan. Foucault menyimpulkan bahwa dunia dibangun oleh ribuan hubungan kekuasaan dan setiap kekuasaan menurunkan suatu perlawanan.

Kekuasaan dalam ranah gender berkaitan erat dengan ketidakadilan gender yang muncul akibat adanya perbedaan gender. Sesungguhnya perbedaan gender tidak akan bermasalah sepanjang tidak melakukan ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur yang membuat laki-laki dan perempuan menjadi korban untuk memahami bagaimana perbedaan gender dapat menimbulkan ketidakadilan gender. Hal ini dapat dilihat melalui berbagai manifestasi ketidakadilan yang terjadi secara nyata. Fakih (2013:13) mengklasifikasikan ketidakadilan gender dalam berbagai bentuk, yakni: (1)

(18)

marginalisasi perempuan, (2) subordinasi, (3) stereotipe, (4) kekerasan, serta (5) beban kerja. Penjelasan masing-masing ketidakadilan gender tersebut sebagai berikut.

a. Marginalisasi Perempuan

Proses terjadinya marginalisasi sesungguhnya banyak terjadi pada perempuan maupun laki-laki yang mengakibatkan kemiskinan, namun salah satu bentuk pemiskinan terjadi atas satu jenis kelamin tertentu, dalam hal ini perempuan, disebabkan oleh gender. Fakih (2013:14) menjelaskan bahwa marginalisasi terhadap perempuan bisa berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsir agama, keyakinan tradisi dan kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan. Magninalisasi kaum perempuan tidak saja terjadi di tempat kerja, juga terjadi dalam rumah tangga, masyarakat atau kultur dan bahkan negara. Marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi sejak di rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga yang laki-laki dan perempuan. marginalisasi juga diperkuat oleh adat istiadat maupun tafsir keagamaan. Misalnya banyak di antara suku-suku di Indonesia yang tidak memberi hak kepada kaum perempuan untuk mendapatkan waris sama sekali. Sebagian tafsir keagamaan memberi hak waris setengah dari hak waris laki-laki terhadap kaum perempuan.

b. Subordinasi

Subordinasi terhadap perempuan diawali dari anggapan bahwa perempuan bersifat irrasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin dan berakibat pada munculnya sikap yang menempatkan

(19)

perempuan pada posisi yang tidak penting. Subordinasi karena gender tersebut terjadi dalam segala macam bentuk yang berbeda dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu. Fakih (2013:16) mencontohkan fenomena subordinasi di tanah Jawa, dulu ada anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya akan ke dapur juga. Bahkan, pemerintah pernah memiliki peraturan bahwa jika suami akan pergi belajar (jauh dari keluarga) dia bisa mengambil keputusan sendiri. Dalam rumah tangga masih sering terdengar jika keuangan keluarga sangat terbatas, dan harus mengambil keputusan untuk menyekolahkan anak-anaknya maka anak laki-laki akan mendapatkan prioritas utama. Praktik seperti itu sesungguhnya berangkat dari kesadaran gender yang tidak adil.

c. Stereotipe

Stereotipe secara umum merupakan pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu yang hampir selalu merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Pandangan gender menjadi salah satu sumber dari stereotipe tersebut. Menurut Fakih (2013:16-17) banyak sekali ketidakadilan terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan, yang bersumber dari penandaan (stereotipe) yang dilekatkan pada mereka. Misalnya, penandaan yang berawal dari asumsi bahwa perempuan bersolek adalah dalam rangka memancing perhatian lawan jenisnya, maka setiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan steretipe ini. Bahkan jika ada pemerkosaan yang dialami oleh perempuan, masyarakat berkecenderungan menyalahkan korbannya. Masyarakat beranggapan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah melayani suami. Stereotipe ini berakibat wajar sekali jika pendidikan

(20)

kaum perempuan dinomorduakan. Stereotipe terhadap kaum perempuan ini terjadi dimana-mana. Banyak peraturan pemerintahan, aturan keagamaan, kultur dan kebiasaan masyarakat yang dikembangkan karena stereotipe tersebut.

d. Kekerasan

Menurut Fakih (2013:17) kekerasan (violence) adalah serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai macam sumber, namun salah satu kekerasan terhadap satu jenis kelamin tertentu yang disebabkan oleh anggapan gender. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender ini disebut gender-related violance. Pada dasarnya, kekerasan gender disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Fakih (2013:18-20) mengklasifikasikan bentuk kejahatan yang bisa dikategorikan sebagai kekerasan gender meliputi: (1) pemerkosaan, (2) tindakan pemukulan, (3) kekerasan dalam pelacuran, (4) pornografi, (5) kekerasan terselubung, dan (6) pelecehan seksual.

Pertama, bentuk pemerkosaan terhadap perempuan, termasuk perkosaan dalam perkawinan. Perkosaan terjadi jika seseorang melakukan paksaan untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelaan yang bersangkutan. Ketidakrelaan ini seringkali tidak bisa terekspresikan disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya ketakutan, malu, keterpaksaan baik ekonomi, sosial maupun kultural, tidak ada pilihan (Fakih, 2013: 17-18).

Kedua, tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga (domestic violance). Menurut Fakih (2013:18) tindakan semacam ini

(21)

termasuk tindak kekerasan dalam bentuk penyiksaan terhadap anak-anak (child abuse). Bentuk penyiksaan yang mengarah kepada organ alat kelamin (genital mutilation), misalnya penyunatan terhadap anak perempuan. Alasan terkuat dalam tindakan ini adalah anggapan dan bias gender di masyarakat, yakni untuk mengontrol kaum perempuan.

Ketiga, kekerasan dalam bentuk pelacuran (prostitution). Pelacuran merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang diselenggarakan oleh suatu mekanisme ekonomi yang merugikan kaum perempuan. Setiap masyarakat dan negara selalu menggunakan standar ganda terhadap pekerja seksual ini. Di satu sisi pemerintah melarang dan menangkapi mereka, tetapi di lain pihak negara juga menarik pajak dari mereka. Sementara seorang pelacur dianggap rendah oleh masyarakat, namun di tempat pusat kegiatan mereka selalu saja ramai dikunjungi orang (Fakih, 2013:18-19).

Keempat, kekerasan dalam bentuk pornografi. Menurut Fakih (2013:19) pornografi adalah jenis kekerasan lain terhadap perempuan. Jenis kekerasan ini termasuk kekerasan nonfisik, yakni pelecehan terhadap kaum perempuan di mana tubuh perempuan dijadikan objek komersil demi keuntungan seseorang.

Kelima, kekerasan terselubung (molestation), yakni memegang atau menyentuh bagian tertentu dari tubuh perempuan dengan berbagai cara dan kesempatan tanpa kerelaan si pemilik tubuh. Jenis kekerasan ini sering terjadi di tempat pekerjaan ataupun di tempat umum, seperti dalam bis. Kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalam Keluarga Berencana (enforced sterilization). Keluarga Berencana di banyak tempat ternyata telah menjadi sumber kekeraasan

(22)

terhadap perempuan. Dalam rangka memenuhi target mengontrol pertumbuhan penduduk, perempuan seringkali dijadikan korban demi program tersebut, meskipun semua orang tahu bahwa persoalannya tidak saja pada perempuan melainkan berasal dari kaum laki-laki. Namun, lantaran bias gender, perempuan dipaksa sterilisasi yang seringkali membahayakan baik fisik maupun jiwa mereka (Fakih, 2013:19-20).

Keenam, tindakan kejahatan terhadap perempuan yang paling umum dilakukan di masyarakat yakni yang dikenal dengan pelecehan seksual atau sexual emotional harassment. Menurut Fakih (2013:19-20) ada banyak bentuk pelecehan, dan yang umum terjadi adalah unwanted attention from men. Banyak orang membela bahwa pelecehan seksual itu sangat relatif karena sering terjadi tindakan itu merupakan usaha untuk bersahabat. Tetapi sesungguhnya pelecehan seksual bukanlah usaha untuk bersahabat, karena tindakan tersebut, karena tindakan tersebut merupakan sesuatu yang tidak menyenangkan bagi perempuan. Beberapa bentuk tindakan yang bisa dikategorikan pelecehan seksual, meliputi: (a) menyampaikan lelucon jorok secara vulgar pada seseorang dengan cara yang dirasakan sangat ofensif, (b) menyakiti atau membuat malu seseorang dengan omongan kotor, (c) mengintrogasi seseorang tentang kehidupan atau kegiatan seksualnya atau kehidupan pribadinya, (d) meminta imbalan seksual dalam rangka janji untuk mendapatkan kerja atau untuk mendapatkan promosi atau janji-janji lainnya, serta (e) menyentuh atau menyenggol bagian tubuh tanpa ada minat atau tanpa seizin dari yang bersangkutan.

(23)

e. Beban Kerja

Beban kerja yang terlalu berat pada perempuan terjadi akibat adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Konsekuensinya, banyak kaum perempuan yang harus bekerja keras dan lama untuk menjaga kebersihan dan kerapian rumah, mulai dari membersihkan dan mengepel lantai, memasak, mencuci, mencari air untuk mandi hingga memelihara anak. Di kalangan keluarga miskin, beban yang sangat berat ini harus ditanggung oleh perempuan sendiri. Terlebih-lebih jika si perempuan tersebut harus bekerja, maka ia memikul kerja ganda. Di lain pihak kaum laki-laki tidak diwajibkan secara kultural untuk menekuni berbagai pekerjaan domestik itu. Kesemuanya itu telah memperkuat pelanggengan secara kultural dan struktural beban kerja kaum perempuan (Fakih, 2013: 21-22).

5. Sastra Feminis

Cerpen merupakan singkatan dari cerita pendek. Ukuran panjang dan pendek cerpen masih belum berada pada titik sepakat oleh para pengarang dan para ahli. Menurut Edgar Allan Poe (dalam Nurgiantoro, 2010:10) cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam―suatu hal yang kiranya tidak mungkin dilakukan untuk menyelesaikan novel. Nurgiantoro (2010: 11-12) menjelaskan bahwa kelebihan cerpen yang khas adalah kemampuannya mengemukakan secara lebih banyak dari sekadar apa yang diceritakan. Hal ini terjadi karena di dalam sebuah cerpen

(24)

terdapat pesan yang ingin diungkapan pengarang melalui fenomena yang diangkat.

Feminisme merupakan salah satu tema penting yang menghadirkan fenomena-fenomena yang terjadi pada perempuan. Apakah feminisme itu? Menurut Moeliono, dkk (dalam Sugihastuti dan Suharto, 2013:61) secara leksikal, feminisme merupakan gerakan kaum perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki. Persamaan hak ini meliputi semua aspek kehidupan, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun sosial budaya (Djayanegara dalam Sugihastuti dan Suharto, 2013:61). Jika perempuan sederajat dengan laki-laki, berarti mereka mempunyai hak untuk menentukan dirinya sendiri sebagaimana yang dimiliki kaum laki-laki selama ini. Dengan demikian, feminisme merupakan gerakan kaum perempuan untuk memperoleh otonomi atau kebebasan menentukan dirinya sendiri.

Cerpen sebagai salah satu bentuk karya sastra menjadi salah satu sarana bagi pengarang dalam menyampaikan wacana lewat isu atau fenomena yang ada di dalamnya. Feminisme menjadi salah satu isu yang sering digunakan pengarang untuk menyampaikan berbagai permasalahan dan pandangan perempuan. Lewat karya sastra, pengarang mengajak pembaca untuk “membaca sebagai perempuan”. Menurut Culler (dalam Sugihastuti dan Suharto, 2013:7) “membaca sebagai perempuan” adalah kesadaran pembaca bahwa ada perbedaan penting dalam jenis kelamin pada makna dan perebutan makna karya sastra. Dengan demikian, pengarang dalam karyanya ingin menyampaikan berbagai keresahan yang ada

(25)

pada gender tertentu yaitu perempuan, dengan harapan pembaca mampu memahami makna yang terkandung.

C. Kerangka Pemikiran

Representasi Ketidakadilan Gender dalam Wacana Kumpulan Cerpen

Saia karya Djenar Maesa Ayu (Analisis Wacana Kritis Feminis)

Kumpulan Cerpen Saia karya Djenar Maesa Ayu

Analisis Wacana

Analisis Wacana Kritis

Posisi Penulis-Pembaca Posisi

Subjek-Objek

Representasi Ketidakadilan Gender dalam masing-masing cerpen

Gambar

Tabel 2.2. Kerangka Analisis Wacana Sara Mills

Referensi

Dokumen terkait

Untuk itu agar dapat mengimbangi munculnya permasalahan yang belum terdapat jawabannya dalam sumber utama hukum Islam diatas, maka dilakukan adanya Ijtihad oleh

,p.158- 165 沢庵漬けは大根を干して米糖と塩で漬け,

hidup sejak dilahirkan Analisa Kuisioner a. Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan terakhir yang dimiliki oleh seseorang melalui pendidikan formal pemerintah Analisa

Hasil uji stabilitas fisik suspensi eritromisin, formula yang paling baik adalah formula 1 dengan konsentrasi PGA 5% karena memiliki ukuran partikel yang kecil dan

Uji coba tersebut kami lakukan dengan memberikan produk kami tersebut kepada para petani dengan sekedar ganti ongkos produksi untuk mendapatkan respons balik dari

Aspek gramatikal dan leksikal pada judul lukisan karya Monet yang diunduh pada situs www.eternals-eclairs.fr/tableaux_monet.php pada bulan Januari hingga Maret 2018

Pengaruh Karakteristik Pekerjaan dan Budaya Organisasi Terhadap Motivasi Serta Kemampuan Intelektual Pada Lembaga Keuangan Non Perbankan di Jember; Viki

Dari hasil analisa mineral berat, ternyata daerah Selat Bali khususnya perairan sekitar Pantai Banyuwangi. mengandung cukup banyak besi terutama