• Tidak ada hasil yang ditemukan

6 ANALISIS KESESUAIAN SPASIAL BERBASIS KERENTANAN DAN DAYA DUKUNG PULAU-PULAU KECIL. 6.1 Kerentanan Parsial

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "6 ANALISIS KESESUAIAN SPASIAL BERBASIS KERENTANAN DAN DAYA DUKUNG PULAU-PULAU KECIL. 6.1 Kerentanan Parsial"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

140

6 ANALISIS KESESUAIAN SPASIAL BERBASIS KERENTANAN DAN DAYA DUKUNG PULAU-PULAU KECIL

6.1 Kerentanan Parsial

Kerentanan pesisir meliput i kerentanan lingkungan (environmental vulnerability) dan kerentanan ekonomi (economic vulnerability). Kerentanan lingkungan berbeda dengan kerentananekonomi disebabka n oleh tiga hal, yaitu : (1) lingkungan termasuk didalamnya sistem yang kompleks dengan perbedaan disetiap level kelompok spesies dan karakteristik fisik habitat, (2) berbeda dengan indikator umum untuk manusia (sosial) yang dapat digunakan secara luas dengan

menggunakan asumsi bahwa kebutuhan dan ambang batas untuk resiko pada

umumnya sama, sedangkan indikator untuk lingkungan sangat diba tasi oleh kondisi geografi dan (3) indikator ekonomi dapat diekspresikan dalam unit uang yang dapat digunakan secara luas diseluruh dunia dengan menggunakan unit pembanding (Kaly et al. 2005). Penelitian ini mengacu pada dua jenis kerentanan tersebut di atas yaitu kerentanan lingk ungan da n ke rentana n eko nomi.

6.1.1 Kerentanan Lingk ungan

Kerentanan lingkungan yang diukur pada penelitian ini meliputi keterbukaan (sea level rise, tinggi gelombang dan rata-rata kisaran pasang surut); sensitifitas (elevasi/ kemiringa n dan geomorfologi pulau) serta daya adaptasi (kondisi habitat lamun, jenis lamun, persentase tutupan karang dan jenis terumbu karang). Hasil penelitian yang dilakukan diperoleh nilai kerentanan pulau-pulau kajian dapat dilihat Tabel 24. Hasil penilaian kerentanan di tiap sel menunjukkan bahwa pulau-pulau kajian memiliki tingkat kerentanan yang variatif yaitu kerentanan yang sangat tinggi hingga kerentanan rendah. Komponen-komponen nilai kerentanan untuk tiap sel di lokasi studi dapat dilihat pada Lampiran 2.

A Exposure (Keterbukaan)

Keterbukaan merupaka n salah satu konsep dari kerentanan yang memiliki pengertian umum dalam hal tingka tan da n jangka wakt u da ri suatu sistem berinteraksi dengan gangguan. Keterbukaan ini pada sebagian besar formulasi

(2)

130

merupakan salah satu elemen pengembangan kerentanan. Keterbukaan merupakan

sebuah atribut dari hubungan antara sistem dan gangguan (system and

perturbation). Keterbukaan berhubungan dengan pengaruh atau stimulus dampak pada suatu sistem. Dalam kaitannya dengan perubahan iklim (kenaikan muka laut), tidak hanya menyangkut masalah ke jadian da n po la iklim yang mempengaruhi sistem, tetapi juga dapat dalam skala yang lebih luas seperti perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem itu sendiri yang diakibatkan oleh efek dari perubahan iklim. Keterbukaan menggambarkan kondisi iklim yang berlawanan dengan operasional dari sistem dan perubahan dari ko ndisi tersebut (Allen 2005). Suatu masyarakat dan sistem alam yang berbeda juga akan mengalami bentuk keterbukaan yang berbeda dalam hal besaran (magnitude) dan frekuensi dari suatu ganggu an (Luers et al. 2003).

Keterbukaan pada penelitian ini menghitung sea level rise (ke naikan muka laut), tinggi gelombang dan kisaran pasang surut. Hasil penilaian kerentanan di tiap sel wilayah pulau-pulau yang dikaji menunjukkan tingkat kerentanan yang berbeda-beda. Parameter kenaikan muka laut menunjukkan tingkat kerentanan sangat tinggi hingga kerentanan sedang. Kajian kerentanan pada parameter tinggi gelombang menunjukkan kerentanan sangat tinggi berada pada Pulau Balang Lompo dan Pulau Balang Caddi, sementara kerentanan tinggi berada pada Pulau Bontos ua, Pulau Panambungan, Pulau Sanane, Pulau Pajenekang, Pulau Badi dan Pulau Langkadea. Kajian kerentanan untuk parameter kisaran pasang surut memberi informasi kerentanan sangat tinggi berada di Pulau Balang caddi, Pulau Balang Lompo dan Pulau Badi, sementara kerentanan rendah berada pada pulau Panambungan dan Pulau Langkadea.

Berdasarkan data kerentanan yang terdapat pada Tabel 24 menunjukk an Pulau Badi pada sel 4, Pulau Balang Lompo sel 1 dan sel 4, Pulau Langkadea sel 2,3 dan 4, Pulau Pajenekang sel 2 dan 3, Pulau Panambungan sel 2 dan Pulau Sanane sel 3 dan sel 4 memiliki tingkat kerentanan yang sangat tinggi. Hal ini disebabkan karena nilai SLR, tinggi gelombang dan kisaran pasang surut di wilayah tersebut memiliki nilai yang sangat tinggi.

(3)

131

Tabe l 24 Kerentanan Pulau-Pulau yang Dika ji Berdasarkan Kerentanan Lingkungan Pulau Sel Nilai Kerentanan Skor Kerentanan Tingkat Kerentanan

Badi 4 1,50 5 sangat tinggi

Balang Lompo 1 1,67 5 sangat tinggi

Balang Lompo 4 2,50 5 sangat tinggi

Langkadea 2 2,00 5 sangat tinggi

Langkadea 3 2,50 5 sangat tinggi

Langkadea 4 2,50 5 sangat tinggi

Pajeneka 2 2,50 5 sangat tinggi

Pajeneka 3 1,67 5 sangat tinggi

Panambungan 2 2,50 5 sangat tinggi

Sanane 3 2,50 5 sangat tinggi

Sanane 4 1,67 5 sangat tinggi

Badi 3 1,33 4 rentan tinggi

Balang Cadi 2 1,00 4 rentan tinggi

Bontusua 2 1,25 4 rentan tinggi

Panambungan 4 1,25 4 rentan tinggi

Badi 1 0,75 3 Sedang Bontusua 1 1,00 3 Sedang Bontusua 3 0,80 3 Sedang Bontusua 4 1,00 3 Sedang Langkadea 1 1,00 3 Sedang Panambungan 1 1,00 3 Sedang

Balang Cadi 3 0,50 2 rentan rendah

Panambungan 3 0,67 2 rentan rendah

Sanane 2 0,67 2 rentan rendah

Badi 2 0,33 1 sangat rendah

Balang Cadi 1 0,25 1 sangat rendah

Balang Cadi 4 0,33 1 sangat rendah

Balang Lompo 2 0,40 1 sangat rendah

Balang Lompo 3 0,50 1 sangat rendah

Pajeneka 1 0,50 1 sangat rendah

Pajeneka 4 0,50 1 sangat rendah

Sanane 1 0,33 1 sangat rendah

Sumber : Data Primer (2011)

Pulau Badi di sel 3, Pulau Balang Caddi sel 2, Pulau Bontosua sel 2 dan Pulau Panambungan sel 4 memiliki tingkat kerentanan yang tinggi dengan skor 4,

(4)

132

hal ini disebabkan karena nilai parameter fisik lingkungan yang tinggi dengan kapasitas adaptif berada pada kisaran 4 dan kisaran 5.

Pulau Badi pada sel 1, Pulau Bontosua pada sel 1, sel 3 dan sel 4, Pulau Langkadea sel 1 dan Pulau Panambungan pada sel 1 memiliki tingkat kerentanan sedang dengan skor 3, hal ini disebabkan karena tingkat kerentanan lingkungan dengan parameter SLR di wilayah tersebut pada kisaran dengan kerentanan tinggi hingga sangat tinggi, sedangkan nilai kisaran pasang surut dan rata-rata tinggi gelombang berada pada kisaran dengan kerentanan rendah hingga sedang.

Pulau Balang Caddi sel 3, Pulau Panambungan sel 3 dan Pulau Sanane sel 2 memiliki tingkat kerentanan yang rendah dengan skor 2. Hal ini terjadi karena tingkat kerentanan yang ada di wilayah tersebut berada pada kisaran yang rendah yang meliputi nilai SLR, tinggi pasang surut dan rata-rata tinggi gelombang berada pada kisaran kerentanan yang rendah.

Pulau Badi dengan sel 2, Pulau Balang Caddi sel 1 dan sel 4, Pulau Balang Lompo sel 2 dan 3, Pulau Pajenekang sel 1 dan 4 serta Pulau Sanane sel 1 memiliki tingkat kerentanan yang sangat rendah dengan skor 1. Hal ini disebabkan karena nilai SLR, kisaran pasang surut da n rata-rata tinggi gelombang mimiliki nilai yang sangat rendah.

Tingka t kerentanan pulau-pulau yang dikaji berkisar 5,66 – 5,73 mm/tahun (Lampiran 3). Pulau yang memiliki nilai SLR paling tinggi terdapat di Pulau Balang Caddi dan Pulau Balang Lompo, ini disebabkan lokasi Pulau Balang Caddi dan Pulau Balang Lompo lebih terbuka dibandingkan pulau lainnya. Sea level rise adalah fenomena naiknya muka laut yang diakibatkan oleh adanya peningkatan volume air laut sebagai akibat dari pemuaian ataupun mencairnya es di kutub. Mencairnya es di kutub sebagian besar disebabkan oleh efek rumah kaca (greenhouse). Dampak dari kenaikan muka laut terhadap pesisir dan pulau-pulau kecil tergantung pada dua hal, yaitu: (1) tingkat kekritisan dari kenaikan muka laut (laju kenaikan pertahun) dan (2) karakteristik daratan pulau, seperti penggunaan lahan, topografi, dan penghalang pantai. Kenaikan muka laut membawa dampak luas bagi manusia terutama bagi penduduk yang tinggal di dataran renda h, di daerah pa ntai yang padat pe nduduk di ba nyak negara da n di

(5)

133

de lta-delta sungai. Dampak fisik yang disebabkan akibat kenaikan muka laut diantaranya adalah (1) terjadinya peningkatan frekuensi dan intensitas banjir, (2) erosi garis pantai, (3) meningkatkan bahaya badai laut di daerah pesisir, (4) berubahnya ekosistem pesisir, (5) aquifer salinization. N ilai SLR yang diperoleh dari data penelitian berkisar 5,66 mm/thn hingga 5,70 mm/thn (Lampiran 4). Hal ini menunjukkan bahwa dalam waktu 100 tahun, akan terjadi kenaikan muka laut sebesar 5,6 m – 5,7 m. Jika ketinggian pulau hanya 5,6 m hingga 5,7 m, maka akan membawa dampak tenggelamnya pulau tersebut, jika tidak diiringi dengan upaya konservasi atau perlindungan pulau dengan membangun break waters di sekiling pulau berdasarkan sistem kapasitas alam yang ada. Dampak kenaikan muka laut (N icholls, 2002 in Paharuddin 2011) terdapat pada Tabel 25.

Tabe l 25 Dampak Kenaikan Muka Laut

Dampak Biofisik Faktor Relevan Lainnya

Iklim Non Iklim

Perendaman, banjir, gelombang, dampak efek backwater Gelombang, perubahan morfologi, suplai sedimen, run-off

Suplai sedimen, penanganan banjir, pe ruba han morfologi, pengelolaan daerah tangkapan air dan pemanfaatan lahan Kehilangan daerah

lahan basah

Suplai sedimen Suplai sedimen

Eros i Gelombang dan badai

iklim, suplai sedimen

Suplai sedimen Intrusi air laut/ air

permukaan

Run-off, curah hujan Pengelolaan daerah tangkapan air Sumber : N icholls 2002 in Paharuddin 2011

Kisaran pasang sur ut di pulau-pulau yang dikaji adalah 1,50 hingga 1,66 cm (Lampiran 4), dengan skor kerentanan 2 – 3 (rentan rendah – rentan sedang). Faktor pasang surut berhubungan dengan kemudahan dari suatu pantai/ pesisir mengalami perendaman atau penggenangan apabila terjadi banjir dan mempercepat bergesernya garis pantai. Untuk di pulau-pulau penelitian berdasarkan perhitungan bilangan Fomzahl dari konstanta pasang surut yang ada pada Tabe l 26 diperoleh bilangan F =1,73 untuk perairan sekitar Biringkassi (pulau-pulau Spermonde). Hal ini berarti kedua daerah tersebut memiliki tipe pasang surut “Campuran Domina n Tungg al” dimana da lam satu hari terjadi dua

(6)

134

kali pasang dan satu kali surut atau satu kali pasang dua kali surut atau terkadang cende rung satu pasang da n satu ka li surut.

Tabe l 26 Konstanta Pasut di Loka si Penelitian

Konstanta Pasut So M2 S2 N2 K2 K1 O1 P1 M4 MS4

Amplitudo (cm) 90 13 17 5 5 32 20 10 0 1

Pase (0) - 252 144 134 144 65 95 65 0 32

Nilai tinggi gelombang yang merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan terendamnya pulau dan atau mempercepat garis pantai bergeser di lok asi penelitian berkisar 0,13 m hingga 0,45 m, dengan kisaran kerentanan 2 – 5 yaitu rentan rendah hingga rentan sangat tinggi. Pada umumnya perairan sekitar Pulau-pulau Pangkajene Kepulauan rata-rata tinggi gelombang hanya mencapa i 1 meter dengan arah yang bervariasi dari tenggara hingga barat. Gelombang tinggi hingga 2-3 meter umumnya terjadi berasal dari arah barat, hal ini berarti pada musim barat perairan di sekitar Kepulauan Pangkajene Kepul auan (Pangkep) memiliki ketinggian gelombang yang lebih besar dibanding musim lainnya. Tinggi gelombang ini akan semakin besar saat gelombang bertransformasi kearah pantai. Frekuensi kejadian gelombang terbanyak berkisar antara 0,5 – 1 meter dari arah tenggara. Perambatan gelombang dari arah tenggara tidak berpengaruh besar pada perairan Kepulauan Pangkajene Kepulauan, sehingga pada musim timur (angin tenggara) gelomba ng yang terjadi di perairan Kepulauan Pangkajene Kepulauan memiliki tinggi gelombang yang kecil (< 1 meter). N ilai tinggi gelombang pulau-pulau yang dikaji dapat dilihat pada Lampiran 5.

B Sensitivity (kepekaan)

Kepekaan adalah tingkatan dari suatu sistem yang dipengaruhi atau berhubungan dengan stimulus karena perubahan iklim. Kaly et al. (2004) mengemukakan bahwa kepekaan merefleksikan respon dari suatu sistem terhadap pengaruh iklim (kenaikan muka laut) dan tingkat perubahan yang diakibatkan oleh perubahan tersebut. Villagran (2006) mendefinisikan kepekaan sebagai suatu tingkatan atau level dari sebuah sistem alam yang dapat mengabsorbsi atau

(7)

135

menerima dampak tanpa mengalami gangguan atau penderitaan dalam jangka panjang atau mengalami perubahan signifikan dari kondisi lainya. Turner et al. (2003) mengatakan bahwa kepekaan tidak dapat dipisahkan dari keterbukaan dari sistem kerentanan. Luers (2005) in Paharuddin (2011) juga mengkombinasikan pengertian kepekaan dan keterpaparan, dimana ia mendefinisikan kepekaan sebagai level dari sistem dalam merespon gangguan eksternal terhadap sistem. Lebih lanjut Luers (2005) in Paharuddin (2011) mengatakan bahwa termasuk dalam konsep ini adalah kemampuan dari sistem untuk tahan terhadap perubahan dan kemampuan untuk pulih kembali kekondisi semula setelah gangguan yang mengenai sistem berlalu.

Kerentanan lingkungan dengan komponen kepekaan/ sensitifitas yang dibahas dalam penelitian ini adalah faktor geomorfologi dan kemiringan pulau. Untuk kriteria geomorfologi, semua wilayah kajian memiliki tingkat kerentanan yang sangat tinggi dengan bobot skor 5.

Faktor geomorfologi wilayah kajian terdiri dari pasir dan pecahan karang. Geomorfologi pulau yang terdiri dari pasir dan pecahan karang memiliki tekstur yang kasar da n porous (Tabe l 27), termasuk dalam kategori kerentanan sangat tinggi (Gornitz 1997) dengan kategori kerentanan di skor 5.

Faktor kemiringan pulau serta abrasi yang memiliki tingkat kerentanan yang sangat tinggi terdapat di tiap sel yaitu Pulau Bontosua, kemudian diikuti dengan kerentanan yang sangat tinggi di Pulau Badi. Kerentanan yang berada di kategori kerentanan tinggi berada pada pulau Balang Caddi sel 3, Pulau Langkadea sel 2, Pulau Pajenekang sel 2, Pulau Panambungan sel 4, Pulau Sanane sel 3 dan sel 4. N ilai kemiringa n pulau-pulau yang dikaji berkisar 0,005 cm hingga 2,32 cm, nilai tersebut dapat dilihat pada Lampiran 6.

Persentase kemiringan pulau yang tertinggi terdapat di Pulau Badi, begitu pula dengan nilai tinggi gelombang dan kisaran pasang surut. Ini mengindikasikan bahwa Pulau Badi merupakan pulau yang landai dengan kedalaman 5 – 50 m dan tinggi gelombang serta kisaran pasang surut akan selalu mempengaruhi letak Pulau Badi. Kemiringan atau kelerengan pantai dapat merepresentasikan dua kondisi yaitu sebagai bagian dari geomorfologi pantai dan menunjukkan seberapa

(8)

136

jauh/ luas penggenangan air laut di pantai akibat kenaikan muka air laut dan proses-proses dinamika laut lainnya.

Tabe l 27 Hasil Analisis Jenis Sedimen Pulau Balang Lompo

Stasiun Zona Median butiran (Q2) Jenis sedimen

(mm)

Stasiun I Reef flat 1,40 Pasir sangat kasar

Reef crest 1,00 Pasir kasar

Reef slope 0,47 Pasir sedang

Reef base 0,52 Pasir kasar

Stasiun 2 Reef flat 0,90 Pasir kasar

Reef crest 0,40 Pasir sedang

Reef slope 0,32 Pasir sedang

Reef base 0,58 Pasir kasar

Stasiun 3 Reef flat 0,50 Pasir kasar

Reef crest 0,47 Pasir sedang

Reef slope 0,49 Pasir sedang

Reef base 0,12 Pasir halus

Stasiun 4 Reef flat 0,50 Pasir kasar

Reef crest 0,46 Pasir sedang

Reef slope 0,74 Pasir kasar

Reef base 0,49 Pasir sedang

Sumber : Data Primer (2011 )

Kemiringan pulau yang sangat landai mengakibatkan air laut senantiasa masuk ke pulau dalam jumlah yang besar, yang dapat menimbulkan terjadinya banjir di daratan pulau dan mempercepat bergesernya garis pantai di suatu pulau. Ini dibuktikan dengan sering terjadinya abrasi di Pulau tersebut. Pada tahun 2007, abrasi di Pulau Badi mencapa i 3 – 5 m yang mengakibatkan 35 rumah tempat tinggal tergenang air hingga ketinggian 1,5 m. Kondisi ini menunjukkan bahwa Pulau Badi, Pulau Balang Lompo dan Pulau Balang Caddi memiliki tingkat kerentanan yang sangat tinggi. Akumulasi data selama 10 tahun dari kelima faktor tersebut, setelah di standarisasi akan memperlihatkan tingkat kerentanan yang berbeda-beda, dari kerentanan sangat rendah hingga kerentanan sangat tinggi.

(9)

137

Tabe l 28 Parameter Kerentanan Pulau secara Fisik

Pulau

Nilai Parameter Kerentanan

SLR (mm/thn) Geo morfologi Tinggi Gelombang (m) Kemiringan (%) Kisaran Pasut (m)

Balang Lompo 5,71 – 5,72 Pasir 0,13 – 0,40 0,09 – 0,13 1,53 – 1,68 Balang Cadd i 5,72 – 5,73 Pasir 0,30 – 0,39 0,019 – 0,45 1,53 – 1,68

Langkadea 5,70 – 5,71 Pasir 0,30 – 0,39 0,06 – 0,45 1,50 – 1,66

Panambun gan 5,70 – 5,71 Pasir 0,32 – 0,41 0,02 – 0,21 1,53 – 1,68

Badi 5,66 – 5,67 Pasir 0,30 – 0,45 0,50 – 1,20 1,50 – 1,80

Pajenekang 5,68 – 5,69 Pasir 0,30 – 0,43 0,008 – 0,32 0,68 – 1,68

Bontosua 5,67 – 5,72 Pasir 0,31 – 0,38 0,50 – 1,70 1,50 – 1,71

Sanane 5,68 – 5,69 Pasir 0,32 – 0,42 0,006 – 0,22 1,54 – 1,69

Sumber : Data Primer (2011)

C Daya Adaptasi (Adaptif Capacity)

Adaptasi adalah penyesuaian oleh sistem alam atau manusia dalam merespon ko ndisi aktual dan iklim atau dampak dari perubahan iklim. Daya adaptasi adalah kemampuan dari sistem untuk menyesuaikan terhadap perubahan iklim (termasuk iklim yang berubah- uba h da n ekstrim) yang membuat po tensi dampak lebih moderat, mengambil manfaat atau untuk mengatasi konsekuensi dari perubahan tersebut (Fussel and K lien 2006). Menurut Luers (2005), daya adaptasi merujuk pada potensi untuk beradaptasi dan mengurangi kerentanan suatu sistem. Daya adaptasi menggambarkan kemampuan dari suatu sistem terhadap perubahan sebagai cara untuk membuat sistem tersebut lebih baik dalam beradaptasi terhadap pengaruh eksternal.

Daya adaptasi merupakan sifat yang suda h melekat dari suatu sistem ya ng didefinisikan sebagai kapasitasnya untuk beradaptasi terhadap keterpaparan (Smit

and Pilifosova 2003). Dalam hal ini, daya adaptasi direfleksikan dari resiliensi, misalnya sebuah sistem yang resilience memiliki kapasitas untuk mempersiapkan, menghindari, mentolerir dan memulihkan diri dari resiko atau dampak. Resiliensi ada lah ke mampua n dari suatu entitas unt uk resisten atau pulih da ri suatu kerusakan (Kaly et al. 2004). Daya adaptasi pada penelitian ini menitikberatkan pada kondisi ekosistem yang terdapat di pulau-pulau yang dikaji, meliputi

(10)

138

ekos istem lamun dan ekosistem terumbu karang. Karena ekosistem yang baik dengan jenis dominan lebih resilience atau lebih tahan terhadap ko ndisi yang rentan atau dengan kata lain kerentanan dapat dikurangi jika daya adaptasi berupa kondisi ekosistem sumberdaya baik. N ilai skor untuk jenis lamun diperoleh pada kategori kerentanan yang rendah hingga kerentanan sangat rendah di semua sel pulau, sedangkan untuk daya adaptasi dengan kategori jumlah individu lamun/m2, ditemukan nilai kerentanan yang rendah hingga sangat tinggi yaitu diperoleh rata-rata 8 jumlah individu/m2

Daya adaptasi untuk jenis karang diperoleh nilai kerentanan yang variatif dari kerentanan yang sangat rendah hingga kerentanan yang sangat tinggi dengan dominansi pada jenis lifeform yaitu masif da n sub- masif dengan persentase tutupan karang 13% de ngan tingka t kerentanan yang renda h. Hal ini disebabkan karena wilayah studi terdapat program konservasi terumbu karang dengan membentuk wilayah-wilayah yang masuk da lam da erah perlind ungan laut (DPL).

. Nilai ini menunjukkan bahwa untuk faktor kerentanan dengan parameter jumlah individu lamun berada pada kisaran kerentanan sedang.

D Kompos it Kerentanan Lingk unga n

Kerentanan Lingkungan yang terdiri dari SLR, geomorfologi, kemiringan, tinggi gelombang dan ketinggian gelombang, tutupan persentase karang, jumlah individu lamun/m2, jenis lifeform karang dan jenis lamun, distandarisasi untuk menentuka n tingka t kerentanan pulau-pulau kecil. Hal ini dimaksudka n karena variabel- variabel penyusun indeks yang terukur memiliki unit yang berbeda sehingga dilakukan standarisasi unit atau satuan (Briguglio 1995; Adrianto and

Matsuda 2002;2004). Kerentanan lingkungan setelah distandarisasi akan menghasilkan peta seperti pada Gambar 17. Peta komposit kerentanan lingkungan menunjukkan bahwa Pulau Balang Lompo sel 1 dan sel 4, Pulau Sanane sel 3 dan 4, Pulau Langkadea sel 3 dan 4, Pulau Panambungan sel 2, Pulau Pajenekang sel 2 dan 3 serta Pulau Badi sel 4 memiliki kerentanan yang sangat tinggi, sedangkan kerentanan yang sangat renda h terdapa t di Pulau Balang Lompo sel 2 dan sel 3; Pulau Balang Caddi sel 1 dan sel 4; Pulau Sanane sel 1 dan Pulau Pajenekang sel 1 dan sel 4 serta Pulau Badi sel 2.

(11)

140

(12)

140

Hasil kajian kerentanan lingkungan yang terlihat diatas, menunjukk an kerentanan lingkungan yang paling dominan adalah kerentanan pantai berupa naiknya air laut ke pantai di pulau-pulau kecil sebagai akibat perubahan iklim yang semakin besar akibat kenaikan muka laut. Hal ini senada dengan hasil kajian Hantoro et al. 1992, 1993, yang mengemukakan bahwa terdapat beberapa kawasan yang akan mengalami penggenangan pesisir dan pulau kecil akibat kenaikan muka laut global dampak pemanasan global. Terdapat 3.000 buah pulau kecil yang rentan terhadap kenaikan muka laut termasuk pulau-pul au di Selat Makassar da n kerentanan pulau tersebut akan menjadi sangat tinggi ketika unsur bahaya dan kerugian yang dikaitkan dengan kegiatan kehidupan manusia seperti pembangunan kawasan yang tidak sesuai dengan daya dukung dan kriteria kesesuaian spasial. Untuk menanggulanginya diperlukan upaya adaptasi masyarakat berbasis lingk ungan sedari dini, seperti pemulihan ekos istem pantai di pulau dan kegiatan mitigasi harus mengikutsertakan seluruh lapisan masyarakat.

6.1.2 Kerentanan Ekonomi

Seperti halnya dengan kerentanan lingkungan, pada penelitian ini kerentanan ekonomi juga terdiri dari kajian kerentanan faktor 1) exposure

(keterbukaan), 2) sensitifitas dan 3) kapasitas adaptif. Penelitian ini menggabungkan faktor kerentanan ekonomi dengan kondisi sosial masyarakat, kondisi ekosistem, kondisi eksisting pulau da n ke rentanan lingk ungan. Basis data yang digunakan diberi nilai antara 0 hingga 1, dengan kriteria kerentanan dari kerentanan sangat renda h hingga ke rentanan sangat tinggi .

A Exposure (Keterbukaa n)

Indeks Keterbukaan Ekonomi (Economic Exposure Index, EEI)

Indeks keterbukaan eko nomi terkait dengan nilai eko nomi pulau yang meliputi pengukuran (1) rasio aktifitas perdagangan eksternal (ET), yang menggambarkan tingkat keterbukaan pulau dan (2) rasio keuangan eksternal (EF) yang menggambarkan tingkat ketergantungan pulau-pulau kecil (PPK) pada Pemerintah Pusat ataupun Pemerintah Daerah (Briguglio 2000).

(13)

141

Parameter perdagangan keluar (outflow) dalam kajian ini menggunakan volume perdagangan perikanan yang disubtitusikan dalam nilai harga ikan, nilai transpor tasi dan nilai penerangan (listrik), sedangkan perdagangan masuk (inflow) menggunakan parameter jumlah kebutuhan manusia di pulau-pulau kecil yang diperoleh dari luar pulau, termasuk nilai air tawar yang diperoleh dari mainland.

Nilai ETi

Gambar 18 Tingkat Ketergantungan Perdagangan Eksternal PPK yang Dika ji yang terbesar terdapat di Pulau Badi dengan nilai 1, hal ini mengindikasikan bahwa Pulau Badi memiliki tingkat ketergantungan perdagangan eksternal yang tinggi dibandingkan dengan pulau lainnya. Sedangkan tingkat ketergantungan pulau terhadap bantuan pemerintah pusat/ daerah (EF) yang terbesar terdapat di Pulau Balang Lompo karena pulau tersebut menjadi pusat pemerintahan kecamatan Liukang Tupabbiring, dimana prasarana dan sarana lebih tercukupi dibanding pulau lainnya. Sedangkan tingkat ketergantungan yang paling rendah terdapat di Pulau Sanane yang berarti dalam mengembangkan ekonominya, Pulau Sanane masih rendah, dimana tingkat ketergantungan pulau terhadap bantuan pemerintah rendah (Gambar 18).

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4 1,6 N ila i E TI d an E FI ETI EFI

(14)

142

B Sensitivity

1 Indeks Keterpencilan Ekonomi (Economic Remoteness Index, ERI)

Indeks keterpencilan ekonomi diukur de ngan memasukka n faktor kerentanan eko nomi pulau-pulau kecil karena terkait dengan ketidakpastian/ keterlambatan kegiatan perekonomian yang ada di pulau-pulau kecil khususnya perda gangan barang masuk dan barang keluar yang sangat dibutuhkan oleh penduduk yang bermukim di pulau-pulau kecil karena keterbatasan wilayahnya. Parameter yang dapat digunakan dalam indeks ini adalah dengan menggunakan biaya-biaya transportasi (biaya transpor tasi total) dari tanah daratan ke masing-masing pulau-pulau kecil. Untuk parameter transportasi wilayah pulau-pulau kecil studi, yang tertinggi terdapat di Pulau Balang Lompo, sementara tingkat keterpencilan pulau yang tertinggi terdapat di Pulau Langkadea, Pulau Panambungan, Pulau Bontos ua da n Pulau Sanane (Gambar 19). Hal ini mengindikasikan perdagangan barang masuk atau barang keluar dan orang masuk atau orang yang keluar serta alat transportasi di Pulau Balang Lompo lebih lancar dibandingkan pulau lainnya.

Gambar 19 Tingkat Keterpencilan Pulau-Pulau Kecil yang Dika ji 0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 E R I

(15)

143

2 Indeks Dampak Kenaikan Muka Laut (Sea Level Rise Index, SLRI)

Kenaikan muka laut (SLR) akan berdampak pada erosi garis pantai dan berubahnya ekosistem pesisir. Proyeksi nilai SLR terhadap total produk domestik bruto (GIP) dan produk domestik bruto perkapita (GIP-P) pada masing- masing pulau-pulau kecil yang dikaji. Persentase nilai ancaman bahaya SLR terhadap total GIP yang dihitung meliputi (nilai produksi perikanan, listrik dan transpor tasi) tertinggi terjadi di Pulau Balang Lompo yaitu sekitar Rp. 56.743.758,5 dan nilai terendah terjadi di Pulau Badi yaitu sekitar Rp 18.921.316,4, ini terkait dari nilai GIP pulau. Semakin besar nilai GIP pulau, maka dampak/ biaya yang ditimbulkan akibat kenaikan muka laut akan semakin besar, begitupun sebaliknya. Dari data yang tersaji di Histogram pada Gambar 20, terlihat bahwa dampak kenaikan muka laut secara ekonomi yang terbesar terdapat di Pulau Bontosua, kemudian diikuti oleh Pulau Balang Caddi, Pulau Badi, Pulau Pajeneka ng da n Pulau Sanane. Hal ini berarti nilai ancaman bahaya SLR terhadap total GIP dan GIP-P di Pulau Balang Lompo lebih besar dibandingkan pulau-pulau lainnya atau dengan kata lain Pulau Balang Lompo memiliki kerentanan yang tinggi terhadap variabel dampak kenaikan muka laut.

Gambar 20 Indeks Dampak Kenaikan Muka Laut Pulau-Pulau Kecil yang Dikaji 0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 S L R I

(16)

144

C Adaptif Capacity (Kapasitas Adaptif)

Parameter yang digunakan dalam komponen kerentanan kapasitas adaptif yang dimasukkan disini yaitu dengan memasukkan indeks karakt eristik lahan (indeks pantai dan indeks keterisolasian pulau), indeks tekanan penduduk dan indeks de gradasi lahan. Komponen-komponen tersebut dimasukka n seba gai pembatas karena faktor-faktor tersebut dapat menyesuaikan sistem alam atau manusia dalam merespon kondisi aktual dan iklim atau dampak dari perubahan iklim.

1 Indeks Karakteristik Lahan a Indeks Pantai

Indeks pantai menunjukkan karakteristik sifat fisik (smallness) pulau. Semakin kecil pantai, maka pulau tersebut menjadi semakin rentan terhadap kondisi aktual atau iklim atau dampak dari perubahan iklim. Hasil kajian

smallness pulau menunjukkan pulau yang paling kecil terdapat di Pulau Langkadea, yang menunjukkan Pulau Langkadea sangat rentan terhadap naiknya muka laut da n pe ruba han iklim yang terjadi di sekitar pulau-pulau kecil. Selain itu, pulau yang berukuran kecil akan memiliki daerah tangkapan air yang lebih sedikit. Ukuran smallness pulau-pulau kajian dapat dilihat pada Gambar 21.

Gambar 21 Tingkat Ukuran Pulau-Pulau Kecil yang Dikaji 0 5 10 15 20 25 30 Co as ta l I nd ex

(17)

145

Gambar 21 menunjukkan selain Pulau Langkadea dari ukuran fisik pulau, memiliki tingkat kerentanan yang sangat tinggi, kemudian Pulau Panambungan, Pulau Bontosua, Pulau Pajenekang dan Pulau Sanane. Sementara pulau yang secara fisik memiliki ukuran yang besar yaitu Pulau Balang Lompo. Ini berarti berdasarkan variabel ukuran pulau, Pulau Balang Lompo memiliki tingkat kerentanan yang renda h.

b Indeks Keterisolasian Pulau (Insularity index)

Indeks keterisolasian pulau dimasukka n dalam parameter kapasitas adaptif karena semakin jauh pulau terhadap mainland, maka pulau tersebut semakin rentan karena jika kerentanan menjadi bahaya, maka bantuan dari mainland akan semakin lama. Tingkat keterisolasian pulau yang paling rentan terdapat di Pulau Sanane dan Pulau Bontosua, sedangkan yang memiliki tingkat kerentanan rendah terdapat di Pulau Langkadea, Pulau Balang Lompo dan Pulau Balang Cadd i seperti yang terlihat pada Gambar 22. Ini berarti Pulau Sanane dan Pulau Bontos ua lebih terisolasi dibandingkan dengan Pulau Langkadea, Pulau Balang Lompo dan Pulau Balang Caddi.

Gambar 22 Insularity Index Pulau-Pulau Kecil yang Dikaji -1 1 3 5 7 9 11 13 In su la it y I nd ex

(18)

146

2 Indeks Tekanan Pulau

Indeks ini meliputi tekanan pe nduduk da n tekanan ekos istem pulau. Sebagaimana diketahui manusia semakin bertambah setiap tahunnya. Kondisi pertambahan penduduk yang semakin meningkat dan tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas manusia (indeks pembangunan manusia), akan menimbulkan dampak terdegradasinya lahan ekosistem.

a Indeks Populasi

Penduduk yang tinggi dan tidak dibarengi dengan kualitas sumberdaya manusia (SDM) yang tinggi, akan mengekstraksi ekosistem dengan intensitas yang tinggi dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Kondisi tersebut berakibat pada kerusakan ekosistem. Dari analisis yang dilakukan (Gambar 23), terlihat bahwa pulau yang sangat rentan dan memiliki penduduk yang memberikan tekanan sangat tinggi terdapat di Pulau Pajenekang dan diikuti oleh Pulau Balang Lompo. Ini terjadi karena pada Pulau Pajenekang dan Pulau Balang Lompo, laju pertumbuhan pe nduduknya sangat tinggi, yang akan mengakibatkan jumlah penduduk yang akan mengekstraksi sumberdaya alam di Pulau semakin besar.

b Indeks Degradas i Lahan

Indeks degradasi lahan merupakan indeks yang mengukur dampak tekanan ekosistem dari aktifitas manusia. Komponen ini merupakan fungsi dari degradasi lahan oleh lahan terbangun dengan luas lahan terbangun pada kurun waktu tertentu. Dalam kajian ini, data yang dimasukka n ada lah pertumbuhan pe nduduk selama 10 tahun dan jumlah lahan terbangun selama 10 tahun berdasarkan data citra selama 10 tahun (Gambar 24). Data lahan terdegradasi yang dihitung adalah luas lahan terumbu karang yang terdegradasi selama 10 tahun. Hasil kajian menunjukkan luasan terumbu karang yang terdegradasi terbesar terdapat di Pulau Badi, Pulau Balang Lompo dan Pulau Balang Caddi.

(19)

147

Gambar 23 Tekanan Penduduk terhadap Kondisi Eko sistem Pulau-Pulau Kecil yang Dika ji

Nilai terendah terdapat di wilayah Pulau Panambungan. Ini menunjukkan bahwa pembangunan lahan, khususnya pemukiman sangat tinggi di Pulau Badi, Pulau Balang Lompo dan Pulau Balang Caddi. Sementara pembangunan di Pulau Panambungan sangat kecil. Hal ini disebabk an karena pulau tersebut tidak berpenghuni dan pengelolaannya diberikan kepada pihak swasta (Bosowa Group), yang memiliki cottage sejumlah 10 unit bangunan selama 10 tahun terakhir.

D Kompos it Kerentanan Ekonomi

Komposit kerentanan ekonomi dilakukan karena faktor- faktor kerentanan yang digunakan memiliki unit yang berbeda dalam pengukuran. Dari hasil komposit kerentanan yang dilakukan, diperoleh kajian pulau-pulau yang memiliki tingkat kerentanan yang tinggi hingga kerentanan yang rendah (Gambar 24). Kerentanan eko nomi menujukk an Pulau yang memiliki ke rentanan sangat tinggi terdapat di Pulau Sanane, Pulau Pajenekang dan Pulau Langkadea.

14,20 4,36 0,00 0,00 1,72 19,69 1,85 12,20 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 Te ka na n P en du du k

(20)

148

Gambar 24 Degradasi Terumbu Karang Pulau-Pulau Kecil yang Dika ji

6.2 Kerentanan Kompos it

Untuk menentukan kerentanan pulau dengan pendekatan ekologi, ekonomi, maka kerentana n lingkungan yang telah diperoleh dikompositkan dengan kerentanan eko nomi yang telah dibahas di depan. Hasil kompilasi data kerentanan menunjukkan pulau yang sangat rentan terdapat pada Pulau Badi, Pulau Pajenekang dan pulau Sanane. Pulau yang memiliki tingkat kerentanan yang sedang terdapat di Pulau Balang Lompo, Pulau Langkadea, Pulau Panambungan dan Pulau Bontosua. Sementara Pulau yang memiliki tingkat kerentanan yang rendah terdapat di Pulau Balang caddi (Gambar 26). Hal ini disebabkan karena dari kerentanan lingkungan, Pulau Balang caddi lebih terlindung dibandingkan dengan pulau lainnya. Begitupun dari faktor kerentanan ekonomi, Pulau Balang Caddi memiliki kerentanan yang sangat rendah. Nilai kerentanan ekonomi selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7.

0 2 4 6 8 10 12 14 16 D eg ra da si K ar an g

(21)

149

Kajian kerentanan ekonomi di pulau-pulau kecil juga telah dilakuka n oleh Briguglio (1995), Adrianto (2004) dan Rahman (2009), yang menunjukkan bahwa pulau-pulau kecil memiliki peluang ekonomi yang terbatas, yang menjadikan pulau tersebut menjadi rentan. Agar ke giatan eko nomi di pulau-pulau kecil mendapatkan skala yang sesuai, maka pengembangan sektor perdagangan diperlukan, walaupun tergantung pula kepada infrastruktur yang ada di pulau-pulau kecil tersebut. Adapun kegiatan ekonomi yang memungkinkan untuk dilakukan di pulau-pulau kecil adalah kegiatan eko nomi yang terspesialisasi sesuai dengan sumberdaya yang tersedia. Dalam beberapa hal, specialized economy seperti yang terjadi untuk pulau-pulau kecil berdampak positif, khususnya yang terkait dengan konsep skala ekonomi. Dengan keanekaragaman spesialisasi ekonomi dari sebuah pulau kecil, maka semakin meningkat pula tingkat ketahanan/ resiliensi ekonomi dari pulau tersebut dari faktor eksternal sepanjang pengelolaan kegiatan ekonomi tersebut memperhitungkan tingkat daya dukung pulau secara umum (Hein 1990 in Adrianto 2004).

Karakteristik lain dari pulau-pulau kecil yang terkait dengan pengembangan ekonomi wilayah yang menjadikannya rentan adalah tingkat insularitas. Pulau-pulau kecil memiliki tingkat insularitas yang tinggi karena sebagian besar jauh dari daratan induknya. Persoalan ekonomi pulau-pulau kecil yang terkait dengan karakteristik insularitas ini terutama yang terkait dengan persoalan transpor tasi

dan komunikasi, lingkungan ekonomi yang cenderung monopolistik,

melimpahnya sumberdaya kelautan dan do minasi sektor jasa. Untuk itu dalam menciptakan keseteraan pembangunan pulau-pulau kecil diperlukan perencanaan yang terarah dan terintegrasi, sehingga output pembangunan yang dihasilkan menjadi optimal dan berkelanjutan serta terciptanya pembangunan wilayah kepulauan terpencil atau terluar dapat sejajar atau paling tidak tidak terlalu ketinggalan dengan wilayah daratan induk lainnya.

(22)

150

Gambar 25 Kerentanan Ekonomi Pulau-Pulau Kecil yang Dika ji

(23)

151

151

(24)

152

6.3 Analisis Kesesuaian Spasial

6.3.1 Analisis Kesesuaian Spas ial be rdas arkan Karak teristik Sumberdaya

Pulau-pulau kecil studi umumnya berpenghuni padat. Terdapat 2 pulau yang tidak dihuni dan diperuntukkan untuk kegiatan wisata bahari baik wisata jenis selam (Tabel 30), diving maupun wisata pantai kategori berjemur dan memancing. Untuk itu dilakuka n analisis kesesuaian spasial pada perunt uka n wilayah tersebut. Hasil analisis menunj ukka n kegiatan wisata pantai kategori sno rkling memiliki luasan yang sangat sesuai 37,41 ha, kategori sesuai seluas 67,38 ha dan tidak sesuai seluas 27,91 ha (Gambar 27). Untuk kategori Selam dengan kriteria sangat sesuai seluas 53,21 ha, kategori sesuai seluas 73,33 ha dan kategori tidak sesuai seluas 32,90 ha (Gambar 28).

(25)

153

Gambar 28 Kesesuaian Spasial Wisata Selam

Kesesuaian spasial wisata memancing kategori sangat sesuai seluas 222,42 ha, kategori sesuai seluas 542,60 ha, dan kategori tidak sesuai seluas 32,42 ha (Gambar 29).

(26)

154

Kesesuaian spasial wisata berjemur dengan kriteria sangat sesuai seluas 4,50 ha, kategori sesuai 8,20 ha dan tidak sesuai seluas 28,00 ha (Gambar 30). Secara detail, informasi kesesuaian spasial peruntukan wisata pantai dan laut dapat dilihat pada Tabel 29.

Tabe l 29 Kesesuaian Spasial Wisata Pulau-Pulau Kecil yang Dika ji

Kategori Wisata Luasan (ha)

S1 (Sangat Sesuai) S2 (Sesuai) N (Tidak Sesua i) Selam Snorkling Memancing Berjemur 53,21 37,41 222,42 4,50 73,33 67,38 542,60 8,20 32,90 27,91 32,42 28,00

(27)

155

Selain kesesuaian spasial peruntukan wisata pantai dan wisata laut seperti yang dijelaskan diatas, penelitian ini juga mengkaji kesesuaian pemukiman. Kesesuaian spasial peruntukan pemukiman dapat dilihat pada Tabel 30 dan Gambar 31.

Tabel 30 Kesesuaian Spasial Pemukiman Pulau-Pulau Kecil yang Dikaji

No. Lokasi/ Pulau Luas Lahan (Ha)

S1 S2 N 1 Balang Lompo 4,01 12,90 5, 28 2 Balang Caddi 2,92 8,06 4,40 3 Sanane 0,00 3,40 1,90 4 Badi 0,77 0,00 7,34 5 Bontos ua 0,00 3,20 0,00 6 Pajeneka ng 0,00 4,67 0,00

(28)

156

Hasil analisis menunjukkan bahwa kesesuaian lahan di Pulau Balang Lompo kategori sangat sesuai seluas 4,01 ha, kategori sesuai seluas 12,90 ha dan kategori tidak sesuai seluas 5,28 ha. Kesesuaian lahan pemukiman di Pulau Balang caddi untuk kategori sangat sesuai seluas 2,92 ha, kategori sesuai seluas 8,06 ha dan kategori tidak sesuai seluas 4,40 ha. Kesesuaian lahan pemukiman di Pulau Sanane memiliki kriteria sesuai dengan luas 3,40 ha dan tidak sesuai seluas 1,90 ha. Kesesuaian lahan pemukiman dengan kategori sangat sesuai di Pulau Badi seluas 0,77 ha dan tidak sesuai seluas 7,34 ha. Pulau Bontosua memiliki kesesuaian lahan dengan kategori sesuai seluas 3,20 ha dan Pulau Pajenekang seluas 4,67 ha.

Berdasarkan hasil kesesuaian spasial diatas menunjukkan Pulau yang memiliki kesesuaian spasial untuk dikembangkan peruntukan pemukiman adalah Pulau Balang Lompo dan Pulau Balang Caddi. Sedangkan pulau-pulau lainnya memiliki kesesuaian spasial perunt ukan pemukiman yang kecil.

6.3.2 Analisis Kesesuaian Spas ial be rdas arkan Kerentanan Pulau-Pulau Kecil (PPK)

Terkait dengan kondisi lingkungan dan ekonomi pulau-pulau kecil, yang membuat pulau-pulau kecil menjadi rentan seperti yang telah diba has diatas, maka kesesuaian spasial peruntukan masing- masing aktifitas di pulau-pulau kecil diinternalisasi denga n cara dioverlay dengan faktor- faktor kerentanan ba ik kerentanan lingk ungan maupun ke rentanan eko nomi pulau-pulau kecil yang dikaji, menyebabkan kesesuaian spasial peruntukan pemanfaatan sumberdaya di pulau-pulau kecil menjadi berkurang. Hal ini dapat dijelaskan pada Tabel 31 dan Gambar 32.

Tabel 31 Kesesuaian Spasial Pulau-Pulau Kecil setelah dioverlay dengan Kerentanan Pulau

Kategori Wisata Luasan (ha)

S1 (Sangat Sesuai) S2 (Sesuai) N (Tidak Sesuai)

Selam Snorkling Memancing Berjemur 42,57 29,93 177,94 3,60 53,90 58,66 434,08 6,58 56,32 42,33 160,94 28,40

(29)

157

Gambar 32 Peta Kesesuaian Spasial Wisata Pantai Kategori Berjemur yang Di

overlay dengan Kerentanan Pulau

Hasil analisis menunjukkan kegiatan wisata pantai dengan kategori selam memiliki luasan spasial yang sangat sesuai seluas 42,57 ha, kategori sesuai seluas 53,90 ha dan tidak sesuai seluas 56,32 ha. Kegiatan wisata dengan kategori

snorkling kategori sangat sesuai memiliki luas 29,93 ha, kategori sesuai seluas 58,66 ha dan tidak sesuai seluas 42,33 ha. Kegiatan wisata dengan kategori memancing memiliki luas 177,94 ha untuk luasan yang sangat sesuai, 434,08 ha luasan ya ng sesuai da n 160,94 ha untuk kategori yang tidak sesuai. Kegiatan wisata dengan kategori berjemur memiliki luasan yang sangat sesuai sebesar 3,60 ha, sesuai seluas 6,58 ha dan 28,40 ha dengan kategori tidak sesuai (Gambar 32).

Terkait dengan jumlah persentase pemanfaatan, maka hasil analisis kesesuaian spasial yang dioverlay dengan faktor kerentanan pulau menjadi berkurang luasannya, khususnya untuk aktifitas wisata berjemur dan pemukiman penduduk. Berbeda halnya dengan peruntukan aktifitas snorkling da n diving serta kegiatan penangkapan ikan, wilayah kesesuaian dengan kategori sangat sesuai dan sesuai nilainya bertambah atau tetap, karena aktifitas tersebut tidak berpengaruh besar. Hal ini disebabkan karena kerentanan yang dikaji hanya berbasis pada fisik

(30)

158

pulau seperti SLR, tinggi gelombang dan pasang surut serta kemiringa n. Akibat-akibat yang ditimbulkan kerentanan hanya berpengaruh besar pada aktifitas yang terka it de ngan da ratan yaitu pe muk iman pe nduduk.

Peruntukan pemukiman yang telah dioverlay dengan faktor kerentanan memiliki nilai luasan seperti pada Tabel 32 dan Gambar 33.

Tabe l 32 Kesesuaian Spasial Pemukiman setelah dioverlay dengan Kerentanan Pulau

No. Lokasi/ Pulau Luas Lahan (Ha)

S1 S2 N 1 Balang Lompo 3,00 8,01 11,42 2 Balang Caddi 1,35 6,97 7,89 3 Sanane 0 2,18 3,90 4 Badi 0,04 0 8,34 5 Bontos ua 0 0 3,20 6 Pajeneka ng 0 2,64 2,03

Gambar 33 Peta Kesesuaian Spasial Wisata Kategori Berjemur, Snorkling, Diving

dan Memancing yang dioverlay dengan Kerentanan Pulau-Pulau Kecil yang Dika ji

(31)

159

Hasil analisis menunj ukka n bahwa kesesuaian spasial pemuk iman di Pulau Balang Lompo untuk kategori sangat sesuai seluas 3,00 ha, kategori sesuai seluas 8,01 ha, kategori tidak sesuai 11,42 ha. Kesesuaian spasial pemukiman di Pulau Balang Caddi untuk kategori sangat sesuai seluas 1,35 ha, kategori sesuai seluas 86,97 ha, kategori tidak sesuai 7,89 ha. Kesesuaian spasial pemukiman di Pulau Sanane untuk sesuai seluas 2,18 ha, kategori tidak sesuai 3,90 ha. Kesesuaian spasial pemukiman di Pulau Badi untuk kategori sangat sesuai seluas 0,04 ha, kategori tidak sesuai 8,34 ha. Kesesuaian spasial pemukiman di Pulau Bontosua untuk kategori tidak sesuai 7,89 ha. Kesesuaian spasial pemukiman di Pulau Pajenekang untuk kategori sesuai seluas 2,64 ha, kategori tidak sesuai 2,03 ha.

6.4 Optimas i Penangkapan Ikan

Optimasi perikanan tangkap dilakukan pada ikan yang dominan tertangkap saat melakukan aktifitas penangkapan ikan dengan menggunakan pancing (pancing ulur atau prawe), yaitu ikan kakap merah (lokal = ika n bambangan) (Lutjanus camphechanus). Pendekatan yang digunakanadalah dengan pendekatan bioekonomi sumberdaya perikanan dengan asumsi bahwa setiap spesies ikan memiliki kemampuan unt uk berprod uksi yang melebihi kapasitas prod uksi (surplus), sehingga apabila surplus dipanen (tidak lebih atau tidak kurang), maka stok a ka n mampu bertahan secara berkesinambungan (sustainable).

Titik tolak pendekatan ekonomi pengelolaan perikanan bermula dari publikasi

tulisan Gordon (1954) yang berjudul “The Theory Economy of Common Property

Resources : The Fishery”. Dalam jurnalnya Gordon (1954) diacu Riana (2006) mengungkapkan bahwa tingkat optimum pemanfaatan setiap daerah perikanan

dilakukan untuk memaksimumkan pendapatan ekonomi bersih (net rent), yaitu

perbedaan antara biaya total (TC) dan penerimaan total (TR). Biaya total dan total penerimaan masing-masing dinyatakan sebagai suatu fungsi tingkat intensitas penangkapan ikan atau dalam istilah biologi dikenal sebagai upaya penangkapan (fishing effort), sehingga pemecahan maksimisasi yang sederhana menjadi mungkin dilakukan (Riana 2006).

(32)

160

Gambar 34 Analisis Kesesuaian Spasial Pemukiman setelah dioverlay de ngan Kerentanan Pulau-Pulau Kecil

Untuk memperoleh nilai estimasi biologi ikan kakap merah, dilakukan

standarisasi alat tangkap. Alat yang dijadikan standar adalah pancing ulur (handline),

dengan pertimbangan alat ini dominan digunakan oleh nelayan di pulau-pulau kecil yang dikaji dan bersifat ramah lingkungan. Hasil analisis standarisasi dapat dilihat pada Lampiran 8. Dari nilai standarisasi alat diperoleh nilai parameter biologi,

ekonomi dan bioekonomi ikan Kakap Merah (Tabel 33).

Tabel 33 Parameter Biologi, Ekonomi dan Bioekonomi ikan Kakap Merah

Parameter Nilai

-0,49 0,85 -1,87E-07

Pertumbuhan Intrinsik ( r ) 0,16

Koefisien Tangkap (q) 4,04E-07

(33)

161

Data-data pada Tabel 33 kemudian diolah unt uk mengestimasi parameter biologi ikan karang hidup konsumsi meliputi nilai MSY dan CPUE (Tabel 34) Ikan kakap Merah yang memiliki pertumbuhan intrinsik sebesar 0,16151743, dengan daya dukung lingkungan sebesar 90 207,9329 ton .

Tabe l 34 Analisis Bioekonomi Ikan Kakap Merahdi Pulau-Pulau Kecil yang Dika ji

Parameter Optimal Statik

MEY Open Access MSY

Biomassa (x) 49.208,44 8.239,47 45.088,70

Tangkapan Maks. (h*) 3.610,91 1.209,22 3.641,30

Effort Maks. (E*) 181.383,24 362.766,49 199.622,67

Tabe l 34 di atas menunjukkan bahwa Ikan Kakap Merah memiliki nilai hasil tangkapan maksimum lestari sebesar 3.641,30 ton yang artinya hasil tangkapan maksimum lestari masih lebih tinggi dibandingkan nilai tangkapan pada ko ndisi

open access dengan nilai 1.209,22 ton dan MEY dengan nilai 3.610,91 ton, dengan upaya tangkapan pada kondisi open access yang lebih besar (362.766,48 unit) dibandingkan upaya penangkapan pada kondisi MEY (181.383,24 unit) dan MSY (199.622,68). Ini berarti bahwa penangkapan ikan Lutjanus sp di pulau-pulau kecil yang dikaji masih lestari (sustainable) dan masih memungkinkan penamba han upa ya pe nangkapan yang berwawasan lingkungan.

6.5 Analisis Daya D ukung denga n Metode Ecological Footprint Analysis (EFA)

6.5.1 Daya D ukung Penangkapan Ikan

Analisis ruang ekologis (Ecological Footprint Analysis/ EFA), merupakan suatu ko nsep da ya dukung yang menjelaska n hubungan didasarkan pada tingkat pemanfaatan terhadap suatu sumberdaya dan luas lahan yang tersedia/ biocapacity

(Adrianto and Matsuda 2004). Pendekatan ini dapat diketahui berapa maksimal penggunaan sumberdaya dengan luas lahan yang tersedia sehingga keberadaan ekosistem tetap lestari (Adrianto 2006).

Analisis footprint di suatu wilayah penangkapan ikan dapat dihitung berdasarkan hasil tangkapan maksimum berbagai jenis ikan (Gulland 1991).

(34)

162

Hasil tangkapan tersebut dikonversi dengan produktivitas primer berdasarkan

trophic level berbagai jenis ikan yang tertangkap (Ewing et al. 2008; WWF 2008). Indikator Ecological footprint disebut juga indikator ecospace didefinisikan untuk menjawab seberapa besar area produktif dari daratan dan perairan (sebagai sumberdaya) bagi keberlajutan hidup manusia secara langsung untuk standar kehidupan dan dengan teknologi (Wackernegel 1996). Hal tersebut diasumsikan bahwa terdapat suatu ukuran populasi yang optimal yang dapat didukung oleh sumberdaya tersebut (Adrianto and Matsuda 2004).

Hasil analisis EF penenagkapan ikan di pulau-pulau kecil yang dikaji (Tabel 35) menunjukkan bahwa EF ikan tahun 2009 rata-rata 0,014 ha/kapita yang membutuhkan area seluas 32 ha atau 23 kali luas daratan pulau-pulau yang ada. Terkait dengan jumlah luasan yang ada, maka dibutuhkan area seluas 765,02 ha untuk kegiatan penangkapan ikan. Rendahnya kebutuhan cakupan ini disebabkan karena jenis ikan yang tertangkap cenderung sudah susah karena maraknya pengebo man ika n di wilayah pulau-pulau kecil yang dikaji sehingga menyebabkan jumlah ikan karangpun berkurang. Faktor lain adalah karena alat tangkap yang digunakan bersifat statis dan tradisional.

Tabel 35 Ecological Footprint Penangkapan Ika n di Pulau-Pulau Kecil yang Dika ji

Karakteristik 2005 2006 2007 2008 2009

PPR (Coastal and Coral

System (kg) 1.034. 094,00 984. 383,23 1. 189. 961,12

1. 249

.356,59 975. 899,93

PPR Tropical Shelves

(kg) 39.148,73 38.567,90 37.496,68 36. 908,95 37. 371,94

Jumlah Ikan (ton) 27. 856 28 .320 29. 680 30 .458 31. 765

EF (km2/ton) 0,012 0,011 0,013 0,014 0,014

Kebutuhan Ruang (km2) 33 32 39 41 32

Cakupan 24 23 28 29 23

Jika jumlah penduduk pulau-pulau kecil yang dikaji sebesar 10.393 orang (survei, 2010) maka luasan EF perikanan sebesar 14,55 ha. Jika dibandingkan dengan luasan kesesuaian (analisis SIG) seluas 765,02 ha, maka kondisi ini dinyatakan sebagai kondisi yang undershoot artinya pemanfaatan ruang untuk

(35)

163

kegiatan penangkapan ikan masih luas sehingga sumberdaya memiliki kesempatan untuk memperbaiki dan mempertahankan fungsi ekologisnya.

Untuk menghitung kebutuhan produktifitas primer dari kegiatan penangkapan ikan dilakukan analisis HANPP (Human Appropriation of Net Primary Productvity). Tiga langkah dalam menghitung HANPP perikanan atau disebut pula sebagai Exosomatic energy di pulau-pulau Kecil yang dikaji yaitu (1) menghitung potensi kebutuhan produktivitas primer (2) Produktivitas aktual (produksi tiap spesies ikan (volume of landing) (BPS Kecamatan 2005-2009); (3) kandungan energi tiap spesies ikan (Adrianto 2004), Hasil analisis HANPP tersebut tertera pada Tabel 36.

Tabel 36 Perhitungan Exosomatic Energy Lokal

Tahun Produksi Aktual/NPP (kJ) PPR (kJ) HANPP (kJ) Colonizing Efficiency (%) Rasio HANPP-NPP 2005 204.486.540 5.466.369.138 5.261.882.598 3,89 25,73 2006 197.487.860 5.199.917.422 5.002.429.562 3,95 25,33 2007 184.081.490 6.123.193.100 5.939.111.610 3,10 32,26 2008 128.150.570 6.234.333.944 6.106.183.374 2,10 47,65 2009 137.860.980 4.999.492.671 4.861.631.691 2,84 35,26 Rata-rata 178.551.615 5.755.953.401 5.577.401.786 3,26 31,24

Hasil perhtungan exosomatic energy rata-rata dari tahun 2005-2009 sebesar 5,57 x 109 kJ dengan efisiensi koloni ikan yang tertangkap sebesar 3,26 dan rasio HANPP-PP sebesar 31,24 kJ. Berdasarkan hasil analisis data tersebut diketahui dominasi manusia dalam menggunakan ekosistem terkait pemanfaatan sumberdaya perikanan. Dari data aktual NPP setiap tahunnya, diketahui bahwa NPP tiap tahunnya semakin rendah, ini mengindikasikan masih kurang efisiennya pengelolaan sumberdaya perairan khususnya perikanan tangkap. Untuk itu diperlukan pengelolaan yang bersifat berkelanjutan.

(36)

164

6.5.2 Daya Dukung Wisata

Daya dukung wisata yang mengunjungi Pulau Panambungan dan Pulau Langkadea umumnya masih wisatawan domestik. Ini terjadi karena Pulau Panambungan memiliki lok asi yang tidak strategis, sementara atraksi wisata yang ditawarkan kurang. Namun demikian karena peruntukan pulau ini dikelola oleh pihak swasta, maka fasilitas- fasilitas wisata tercukupi. Total ecological footprint

(EF) wisata yang dihitung berdasarkan jumlah komponen built up land, fossil energy land, food dan fibre consumption (meliputi pasture land, arable land, forest land dan sea space) de ngan rata-rata waktu tinggal 5 hari. Asal wisatawan umumnya dari Indonesia. Komponen EF tertera pada Tabel 37

Tabel 37 Ecological Footprint Kegiatan Wisata di Pulau-Pulau Kecil yang Dikaji

Tipe Komponen Eqivalen Faktor (gha/ha) Footprint (ha/cap/th) Area dalam Ruang glob al (gha/cap/th) Existing area (ha) YF Biocapacity (ha) Biocapacity (gha) Energy Land 1,33 0,0001 0,0000 0,28 1,30 3,70 0,49 Built-up land 2,64 0,0020 0,0001 0,04 1,00 0,04 0,11 Cropland 2,64 0,0904 0,0018 0,02 1,70 0,03 0,09 pasture land 0,50 0,4133 0,0124 0,03 2,20 0,07 0,03 forest land 1,33 0,0563 0,0749 0,00 1,30 0,00 0,00 Seaspace 0,40 0,0683 0,0273 2,24 0,60 1,35 0,54

Total EF tiap wisatawan 0,63 0,11 1,85 1,25

Total EF semua

wisatawan 2301,28 425,28

Hasil kajian berdasarkan tabel diatas, menginformasikan rata-rata perjalanan wisatawan domestik ke Pulau Panambungan dan Pulau Langkadea diperoleh rata-rata pemanfaatan lahan untuk wisata sebesar 0,63 ha lahan tiap wisatawan/tahun. Jika dibandingkan dengan kondisi eksisting area wilayah yang ada (analisis SIG), ruang wisata yang tercakup dan memenuhi kebutuhan tersebut adalah pada area

sea space (2,24 ha). Hal ini menunjukkan bahwa ruang ideal yang ditawarkan dalam kegiatan wisata di pulau Panambungan dan pulau Langkadea yang ideal adalah kegiatan snorkling, diving dan memancing. Berdasarkan nilai biocapacity

(37)

165

biocapacity yang dipe roleh tersebut, maka nilai EF Pulau Panambungan yaitu 2.301,28 orang, yang artinya Pulau Panambungan dan Pulau Langkadea dapat menampung wisatawan sebesar 2.301 orang tiap tahunnya.

6.5.3 Daya Dukung Air Tawar

Perhitungan daya dukung air yang diperoleh dari hasil kajian berdasarkan data iklim dan perkolasi air serta tingkat kebutuhan air di pedesaan sebesar 60 liter/kapita/hari. Jika diasumsikan 1) jumlah penduduk pulau usia produktif (< 15 tahun) 3 kali lebih besar dari usia produktif (> 15 tahun), dimana usia produktif memanfaatkan air tawar 60 liter/kapita/hari sedang usia tidak prod uktif memanfaatkan air tawar sebesar 30 liter/kapita/hari. 2) Perko lasi air hujan rata-rata 401,5 mm/thn, 3) debit air tanah diasumsikan sama (Pulau Balang Lompo 0,2 liter/detik), 6) luas wilayah pulau diperoleh dari hasil analisis SIG, maka ketersediaan air tawar di pulau-pulau kajian dapat dilihat pada Tabel 38.

Tabel 38 Daya Dukung Air Tanah Pulau-Pulau Kecil yang Dika ji

Pulau Jumlah Penduduk (Jiwa) Kebutuhan Air untuk MCK (liter/orang/thn) Daya Dukung Air Tanah (m3/th) Daya Dukung Air Tanah (m3/thn) Balang Lompo 3.507 76.803.300 16.955.527.646 16.878.724.346 Balang Caddi 1.640 35.916.000 7.556.348.990 7.520.432.990 Badi 2.651 58.056.900 51.158.401.022 51.100.344.122 Pajenekang 1.473 32.258.700 2.945.218.142 2.912.959.442 Bontosua 1.137 24.900.300 2.001.913.310 1.977.013.010 Sanane 1.326 29.039.400 2.755.560.638 2.726.521.238

Dari hasil ka jian da ya dukung air tanah pulau-pulau kecil yang dikaji seperti yang terlihat di Tabel 38, rata-rata air tanah yang dapat dihasilkan di pulau-pulau kecil yang dikaji yaitu 13.852.665.858 m3/tahun. Namun ko ndisi air tanah ini tidak layak untuk dikonsumsi, karena rasanya yang payau. Kualitas air tersebut tidak sesuai dengan baku mutu air untuk diminum.

(38)

166

Tabe l 39 Daya Dukung Air Tawar Pulau-Pulau yang Dikaji

Pulau Jumlah Penduduk (Jiwa) Kebutuhan Air Ta war (liter/orang /thn) Kebutuhan Air Ta war (m3/th) Ketersediaan Air Ta war (liter/detik) Kekurangan Air Tawar (m3/thn) Ba lang Lo mpo 3.507 210.420 76.803.300 2.158,688 76.801.141,31 Ba lang Caddi 1.640 98.400 35.916.000 962,034 35.915.037,97 Badi 2.651 159.060 58.056.900 651,321 58.056.248,68 Pajenekang 1.473 88.380 32.258.700 374,968 32.258.325,03 Bontosua 1.137 68.220 24.900.300 254,872 24.900.045,13 Sanane 1.326 79.560 29.039.400 350,822 29.039.049,18 Rata-rata 32.121.825 643,433 32.121.230,91

Selanjutnya dari jumlah perkolasi, diperoleh rata-rata air tawar yang dibutuhkan untuk dikonsumsi 32.121.825 m3/tahun/orang, sementara ketersediaan air tawar yang ada hanya 643,433 m3/tahun/orang. Berarti kekurangan air tawar untuk dapat dikonsumsi penduduk rata-rata 32.121.230,91 m3/tahun/orang. Ini menunjukkan semua pulau-pulau kecil yang dikaji kekurangan air tawar. Kekurangan air tawar tersebut menyebabkan banyaknya masyarakat yang dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari masih mengandalkan pembelian air tawar di Kota Makassar.

Gambar

Tabe l  24  Kerentanan Pulau-Pulau  yang Dika ji  Berdasarkan  Kerentanan  Lingkungan   Pulau  Sel  Nilai  Kerentanan  Skor  Kerentanan  Tingkat  Kerentanan
Tabe l 27   Hasil Analisis Jenis Sedimen Pulau Balang Lompo
Tabe l 28  Parameter Kerentanan Pulau secara Fisik
Gambar 18 Tingkat Ketergantungan Perdagangan Eksternal PPK yang Dika ji    yang terbesar terdapat di Pulau Badi dengan nilai 1, hal ini mengindikasikan bahwa Pulau Badi memiliki tingkat ketergantungan perdagangan  eksternal yang tinggi dibandingkan dengan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Lembar Kegiatan Siswa berbasis life skill merupakan lembaran yang berisikan pedoman bagi siswa untuk melaksanakan kegiatan menggali informasi, mengolah informasi tentang

Integrasi Islam dalam spiritualitas tampak jelas, terlebih ilustrasi di atas kendati sebagian pikiran Maslow tentang spiritual sebagai peak experience yang diungkap, tetapi

2. Pelaksanaan ayun budak pada masyarakat Bangun Purba penting artinya bagi pembinaan sosial budaya warga masyarakat yang bersangkutan, antara lain sebagai pengokoh

The Reality Check Approach is an internationally-recognised qualitative research approach that requires the study team to live with people living in poverty in their own homes

Proses pemecahan kesulitan belajar pada siswa yaitu dimulai dengan memperkirakan kemungkinan bantuan apakah siswa tersebut masih mungkin ditolong untuk mengatasi

Gambar 3.13 ERD SPK Penilaian Kinerja Vendor di PLN dengan Metode SAW 43 Gambar 3.14 Rancangan Halaman Login Pengguna

Selain itu dengan adanya sistem yang terkomputerisasi diharapkan adanya unsur obyektifitas pengambil keputusan serta dapat meminimalkan humam error, mempercepat

Namun kurangnya dokter hewan yang tidak selalu ada di tempat sehingga dibutuhkan suatu program sistem pakar berbasis desktop yang mampu memberikan diagnosa akan