• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 3 METODE PENELITIAN. pengendalian infeksi nosokomial di Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 3 METODE PENELITIAN. pengendalian infeksi nosokomial di Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 3

METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif yaitu untuk melihat manajemen pengendalian infeksi nosokomial di Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan Tahun 2016. Menggunakan desain (cross sectional) yaitu jenis penelitian yang menekankan pada waktu pengukuran atau observasi data variabel independen dan variabel dependen diukur dalam waktu yang bersamaan dan sesaat. Dimana peneliti melakukan observasi pada saat perawat merawat pasien di ruang rawat inap.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan Sumatera Utara Tahun 2016.

3.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2016 sampai dengan April 2016.

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat di ruang rawat inap rindu A berjumlah 150 orang dan ruang rawat inap rindu B berjumlah 200 orang di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.

(2)

3.3.2. Sampel

Besar sampel dalam penelitian ini adalah perawat yang bertugas di ruang rawat inap rindu A dan rindu B berjumlah 350 orang. Sehingga besar sampel ditentukan dengan rumus:

=

( ) ( )( ) ( ) ( )

=

=

96 orang (Untuk ruang Rindu A dan Rindu B). Keterangan :

n : Besar sample

p : proporsi infeksi nosokomial q : 1-p

Zα : Tingkat kemaknaan (1.96) d : Tingkat ketepatan 10%

Untuk teknik pengambilan sample maka menggunakan teknik simple random sampling dengan cara pengambilan sample sedemikian rupa sehingga setiap individu mempunyai kesempatan yang sama untuk diambil sebagai sample.

3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Data Primer

Pengumpulan data primer diperoleh dengan cara penyebaran kuesioner dan observasi langsung ke lokasi penelitian dengan menggunakan SOP pemasangan infus

(3)

kepada perawat yang memberikan tindakan keperawatan kepada pasien secara langsung.

3.4.2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari PPI (Pencegahan dan Pengendalian Infeksi) Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.

3.4.3. Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel/Sub

variabel

Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur Independen

Umur Usia individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang tahun.

Nominal

Jenis Kelamin Merupakan perbedaan anatar perempuan dengan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir.

Nominal

Masa Kerja Waktu bekerja seorang perawat selama bekerja di rumah sakit

Nominal

Pendidikan Tamatan terakhir sekolah seorang perawat

Nominal Pengetahuan Kemampuan perawat dalam

hal pemahaman dalam pengendalian infeksi nosokomial. Lembar observasi, 1=ya 0=tidak 1.Baik, jika skor > 5 2.Kurang, jika skor ≤ 5 Ordinal

Sikap Reaksi atau respon dari perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial di rumah sakit Lembar observasi, 1 = ya 0 = tidak 1.Mendukun g, jika skor > 5 2.Tidak Mendukung, jika skor ≤ 5 Ordinal

(4)

Tabel 3.1 (Lanjutan) Variabel/Sub

variabel

Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur Dependen

SOP

Pemasangan Infus

Prosedur atau cara melakukan pemasangan infus pada pasien di rumah sakit Lembar observasi, 1 = ya 0 = tidak 1.Ya, jika skor > 34 2.Tidak, jika skor ≤ 11 Ordinal 3.5. Aspek Pengukuran

3.5.1. Aspek Pengukuran Pengetahuan

Untuk mengetahui tingkat pengetahuan dari responden diukur dengan menjumlahkan skor dari tiap pertanyaan-pertanyaan kuesioner. Untuk pilihan jawaban Baik skornya adalah 1 dan pada pilihan jawaban Kurang skornya adalah 0. Jumlah pertanyaan pada lembar observasi adalah 10 pertanyaan, maka didapat total skor tertinggi 10 dan terendah 0. Berdasarkan skor yang diperoleh maka ukuran SOP pemasangan infus dapat dikategorikan berdasarkan rumus Sudjana (2010).

BK R P

P = Skor tertinggi –skor terendah Keterangan:

P = Panjang Kelas R = Rentang

(5)

Dari rumus tersebut diketahui skor tertinggi 30 dan skor terendah 0 dan banyak kategori adalah 2 sehingga diperoleh :

5 2 0 10    P P

Tabel 3.2 Persentase Penilaian Pengetahuan

Skor Jawaban Persentase Penilaian Pengetahuan

>5 ≥50% Baik

≤5 <50% Kurang

a. Tindakan Baik, bila responden memperoleh skor jawaban >5 (≥ 50% dari total skor).

b. Tindakan Kurang, bila responden memperoleh skor jawaban ≤5 (< 50% dari total skor)

3.5.2. Aspek Pengukuran Sikap

Untuk mengetahui ukuran penilaian sikap dari responden diukur dengan menjumlahkan skor dari tiap-tiap pertanyaan-pertanyaan kuesioner. Untuk pilihan jawaban mendukung skornya adalah 1, dan pada pilihan jawaban tidak mendukung skornya adalah 0. Jumlah pertanyaan pada lembar observasi adalah 10 pertanyaan, maka didapat total skor tertinggi 10 dan terendah 0. Berdasarkan skor yang diperoleh maka ukuran SOP pemasangan infus dapat dikategorikan berdasarkan rumus Sudjana (2010).

BK R P

(6)

Keterangan:

P = Panjang Kelas R = Rentang

BK = Banyak Kategori

Dari rumus tersebut diketahui skor tertinggi 30 dan skor terendah 0 dan banyak kategori adalah 2 sehingga diperoleh :

5 2 0 10    P P

Tabel 3.3 Persentase Penilaian Sikap

Skor Jawaban Persentase Penilaian Sikap

>5 ≥50% Mendukung

≤5 <50% Tidak Mendukung

a. Tindakan mendukung, bila responden memperoleh skor jawaban >5 (≥ 50% dari total skor).

b. Tindakan tidak mendukung, bila responden memperoleh skor jawaban ≤5 (< 50% dari total skor).

3.5.3. Aspek Pengukuran SOP Pemasangan Infus

Aspek pengukuran yang dilakukan adalah dengan melakukan observasi langsung dan wawancara dengan pihak terkait yaitu perawat rumah sakit sehingga dapat mengurangi resiko terjadinya infeksi nosokomial di rumah sakit dengan adanya pengawasan yang berkelanjutan.

(7)

Untuk mengetahui ukuran SOP pemasangan infus dari responden diukur dengan menjumlahkan skor dari tiap pertanyaan-pertanyaan lembar observasi. Untuk pilihan jawaban baik skornya adalah 1, dan pada pilihan jawaban kurang skornya adalah 0. Jumlah pertanyaan pada lembar observasi adalah 30 pertanyaan, maka didapat total skor tertinggi 30 dan terendah 0. Berdasarkan skor yang diperoleh maka ukuran SOP pemasangan infus dapat dikategorikan berdasarkan :

Tabel 3.4 Persentase Penilaian SOP Pemasangan Infus

Skor Jawaban Persentase Penilaian SOP Pemasangan Infus

>34 >75% Ya

≤11 <25% Tidak

a. Tindakan Ya, bila responden memperoleh skor jawaban >34 (>75% dari total skor).

b. Tindakan Tidak, bila responden memperoleh skor jawaban ≤11 (< 25% dari total skor).

3.6. Analisa Data

Data diperoleh melalui dengan menggunakan kuesioner dan dianalisa secara deskriptif disertai dengan bahasan dan kesimpulan. Hasil yang didapat disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan hasil observasi SOP pemasangan infus yang diperoleh kemudian di analisa dan dibandingkan dengan standar Depkes.

(8)

3.6.1. Analisis Data Univariat

Analisis univariat pada penelitian ini dilakukan pada tiap-tiap variable dan disajikan dalam bentuk frekuensi dan presentase. Analisis univariat bertujuan untuk mendapatkan data deskriptif tiap variabel.

3.6.2. Analisis Data Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk mengidentifikasi hubungan antara variable dependen dan independen (Hastono, 2007). Pemilihan uji statistik yang digunakan berdasarkan pada jenis data serta jumlah variabel yang diteliti. Pada penelitian ini dilakukan uji Chi Square karena variable independen berbentuk data kategorik dan dependennya kategorik.

Dengan batas kemaknaan (α) yang digunakan adalah 0,05, maka:

1) Apabila nilai p≤0,05, menunjukkan adanya hubungan antara variable dependen dengan variable independen.

2) Apabila nilai p>0,05, menunjukkan tidak adanya hubungan antara variable dependen dengan variable independen.

3.6.3. Analisis Data Multivariat

Analisis multivariat adalah analisis yang bertujuan untuk menguji hubungan satu atau lebih dari dua variabel. Dengan menggunakan teknik analisis dapat mengetahui pengaruh dari variable independen terhadap variable dependen serta mengetahui variabel domain yang memengaruhi. Pada penelitian ini analisis

(9)

multivariat yang digunakan adalah uji regresi logistic berganda, dengan derajat kemaknaan dengan nilai  = 0,05 atau nilai p< 0,05.

Rumus regresi logistik :

) ( 1 ) ( y e y P Keterangan :

P : peluang terjadinya efek e : bilangan natural

(10)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan merupakan sebuah rumah sakit pemerintah yang dikelola pemerintah pusat dengan Pemerintah DaerahProvinsi Sumatera Utara, terletak di lahan yang luas di pinggiran kota Medan. Rumah Sakit H. Adam Malik mulai berfungsi sejak tanggal 17 Juni 1991 dengan pelayanan rawat jalan, sedangkan untuk pelayanan rawat inap baru dimulai tanggal 2 Mei 1992.Pada tahun 1990 Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik berdiri sebagai rumah sakit kelas A sesuai dengan SK Menkes No. 335/Menkes/SK/VII/1990.

Pada tahun 1991 sebagai Rumah Sakit pendidikan sesuai dengan SK Menkes No. 502/Menkes/SK/IX/1991 dan Rumah sakit umum pusat H. Adam Malik juga sebagai Pusat Rujukan wilayah Pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat dan Riau. Pada tanggal 11 Januari 1993 secara resmi Pusat Pendidikan Fakultas Kedokteran USU Medan dipindahkan ke RSUP H. Adam Malik sebagai tanda dimulainya Soft Opening. Kemudian diresmikan oleh Bapak Presiden RI pada tanggal 21 Juli 1993.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 280/KMK.05/2007 dan Surat Keputusan Menteri Kesehatan dengan No.756/Menkes/SK/VI/2007 tepatnya pada Juni 2007 RSUP. H. Adam Malik telah berubah status menjadi Badan Layanan Umum (BLU) bertahap dengan tetap mengikuti pengarahan yang diberikan oleh

(11)

Ditjen Yanmed dan Departemen Keuangan untuk perubahan status menjadi BLU (Badan Layanan Umum) Penuh. Dan tahun 2008 untuk mewujudkan hal ini perlu pemberdayaan dan kemandirian Instalasi dan SMF (Satuan Medis Fungsional) sehingga produktif dan efisien, dan dilakukan penyesuaian organisasi yang didukung oleh Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 244/Menkes/Per/III/2008 tentang Organisasi dan tata kerja RSUP H Adam Malik Medan tanggal 11 Maret 2008.

4.2 Analisis Univariat

4.2.1 Karakteristik Responden

Tabel 4.1 Karakteristik Perawat dalam Penerapan S.O.P Pemasangan Infus terhadap Terjadinya Flebitis di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat

H.Adam Malik Medan Tahun 2015

No Karakteristik n % 1. Umur ≤ 39 tahun 93 48,4 > 39tahun 99 51,6 2. Jenis Kelamin Perempuan 182 94,8 Laki-laki 10 5,2 3. Masa Kerja ≤ 12 tahun 105 54,7 >12tahun 87 45,3 4. Pendidikan SPK 5 2,6 DIII Keperawatan 104 54,2 S1 Keperawatan 83 43,2 Total 192 100,0

(12)

Hasil penelitian sebagaimana pada Tabel 4.1 menunjukkan responden yang mempunyai umur ≤ 39 tahun yaitu 93 orang (48,4 %), > 39tahun yaitu 99 orang (51,6%).Untuk responden mempunyai jenis kelamin laki-laki sebanyak 10 orang (5,2%) dan perempuan sebanyak 182 orang (94,8%).Untuk responden memiliki masa kerja ≤ 12 tahun sebanyak 105 orang (54,7%) danresponden memiliki masa kerja >12tahun sebanyak 87 orang (45,3%).Untuk responden memiliki latar belakang pendidikan SPK sebanyak 5 orang (2,6%), D-III Keperawatan sebanyak 104 orang (54,2%) dan S1 Keperawatan sebanyak 83 orang (43,2%).

4.2.2 Pengetahuan

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Perawat dalam Penerapan S.O.P Pemasangan Infus terhadap Terjadinya Flebitis di Unit Rawat Inap Rumah

Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan Tahun 2015

No Pernyataan Baik Kurang

n % n %

1. Apakah Bapak/Ibu tahu apa yang

dimaksud dengan flebitis 192 100 0 0,0

2. Flebitis merupakan infeksi

nosokomial yaitu oleh

mikroorganisme yang dialami oleh pasien yang diperoleh selama dirawat di rumah sakit diikuti dengan manifestasi klinis yang muncul sekurang-kurangnya 3x24 jam

180 93,8 12 6,3

3. Tindakan penatalaksanaan infus yang buruk pasien akan terpapar pada risiko terkena infeksi nosokomial berupa flebitis

192 100 0 0,0

4. Bapak/Ibu menggunakan sarung

tangan ketika mencuci alat kesehatan yang terkontaminasi darah/cairan

186 96,9 6 3,1

5. Menurut Bapak/Ibu pemberian

informasi dan rotasi tempat

penusukan merupakan faktor yang memengaruhi terjadinya flebitis

(13)

Tabel 4.2 (Lanjutan)

No Pernyataan Baik Kurang

n % n %

6. Kemerahan atau rubbor biasanya

merupakan kejadian pertama yang ditemukan di daerah yang mengalami peradangan arteriola yang mensuplai darah terseebut mengalami pelenaran sehingga darah yang mengalir ke mikrosirkulasi lokal lebih banyak

182 94,8 10 5,2

7. Mengganti tempat atau rotasi kanula

ke lengan kontralateral setiap hari 120 62,5 72 37,5

8. Perawatan infus bertujuan untuk

mempertahankan teknik steril,

mencegah masuknya bakteri ke

dalam aliran darah,

pencegahan/meminimalkan

timbulnya infeksi, dan memantau

area insersi sehingga dapat

mengurangi kejadian flebitis

186 96,9 6 3,1

9. Faktor pasien yang dapat

memengaruhi angka flebitis

mencakup usia, jenis kelamin dan kondisi dasar yaitu diabetes melitus, infeksi, dan luka bakar

149 77,6 43 22,4

10. Flebitis post-infus merupakan

komplikasi lain yang biasa

dilaporkan oleh pasien dengan terapi infus

165 85,9 27 14,1

Hasil penelitian dari Tabel 4.2 menunjukkan bahwa pada pertanyaan “Apakah Bapak/Ibu tahu apa yang dimaksud dengan flebitis” dan pertanyaan “Tindakan penatalaksanaan infus yang buruk pasien akan terpapar pada risiko terkena infeksi nosokomial berupa flebitis” didapatkan responden yang jawaban “Baik” sebanyak 100%, dan responden menjawab “Kurang” sebanyak 0%.

Pada pernyataan “Mengganti tempat atau rotasi kanula ke lengan kontralateral setiap hari ada 15 pasien menyebabkan bebas flebitis” didapatkan responden yang

(14)

jawaban “Baik” sebanyak 62,5%, dan responden menjawab “Kurang” sebanyak 37,5%.

Tabel 4.3 DistribusiFrekuensiKategori Pengetahuan Perawat dalam Penerapan S.O.P Pemasangan Infus Terhadap Terjadinya Flebitis di Unit Rawat Inap

Rumah SakitUmum Pusat H.Adam Malik Medan Tahun 2015

Pengetahuan n %

Baik 113 58,9

Kurang 79 41,1

Jumlah 192 100,0

Hasil penelitian dari Tabel 4.3 menunjukkan bahwa pada kategori “ pengetahuan” didapatkan jawaban bahwa responden yang menjawab “Baik” sebanyak 58,9% dan responden menjawab yang menjawab“Kurang” sebanyak 41,1%. 4.2.3 Sikap

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Sikap Perawat dalam Penerapan SOP Pemasangan Infus terhadap Terjadinya Flebitis di Unit Rawat Inap

Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan Tahun 2015

No Pernyataan Mendukung Tidak Mendukung

n % n %

1. Sebelum dan sesudah melakukan

tindakan, tangan dalam keadaan bersih

191 99,5 1 0,5

2. Tidak menggunakan handuk/tisu

jika tangan sedang dalam keadaan basah

101 52,6 91 47,4

3. Alat kesehatan yang terkontaminasi darah/cairan dari tubbuh pasien

langsung dicuci dengan

menggunakan sabun

167 87,0 25 13,0

4. Bapak/Ibu menggunakan sarung

tangan ketika mencuci alat

kesehatan yang terkontaminasi

(15)

Tabel 4.4 (Lanjutan)

No Pernyataan Mendukung Tidak Mendukung

n % n %

5. Sarung tangan yang Bapak/Ibu

gunakan ketika mencuci alat

kesehatan adalah sarung tangan yang tidak steril

178 92,7 14 7,3

6. Kontaminasi infus dapat terjadi

selama pemasangan kateter

intravena sebagai akibat dari cara kerja yang tidak sesuai prosedur serta pemakaian yang terlalu lama

184 95,8 8 4,2

7. Perawat pada saat melaksanakan

pemasangan infus tidak

melaksanakan tindakan tindakan aseptik dengan baik dan sesuai

dengan standar operasional

prosedur

114 59,4 78 40,6

8. Bapak/Ibu menggunakan kateter

polyurethane 30% dalam

pemasangan infus

148 77,1 44 22,9

9. Pada anak-anak Bapak/Ibu

melakukan pemasangan kanula

dapat dilakukan pada lengan, punggung atau kulit kepala

150 78,1 42 21,9

10. Tidak menggunakan jarum infus

yang sama untuk pasien yang lain 184 95,8 8 4,2

Hasil penelitian dari Tabel 4.4 menunjukkan bahwa pada pernyataan “Sebelum dan sesudah melakukan tindakan, tangan dalam keadaan bersih” didapatkan responden yang jawaban “Mendukung” sebanyak 99,5%, dan responden menjawab “Tidak Mendukung” sebanyak 0,5%.

Pada pernyataan “Tidak menggunakan handuk/tisu jika tangan sedang dalam keadaan basah” didapatkan responden yang jawaban “Mendukung” sebanyak 52,6%, dan responden menjawab “Tidak Mendukung” sebanyak 47,4%.

(16)

Tabel 4.5 DistribusiFrekuensiKategori Sikap Perawat dalam Penerapan S.O.P Pemasangan Infus terhadap Terjadinya Flebitis di Unit Rawat Inap Rumah

Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan Tahun 2015

Sikap n %

Mendukung 115 59,9

Tidak Mendukung 77 40,1

Jumlah 192 100,0

Hasil penelitian dari Tabel 4.5 menunjukkan bahwa pada kategori “ Mendukung” didapatkan jawaban bahwa responden yang menjawab sebanyak 59,9% dan responden menjawab yang menjawab“Tidak Mendukung” sebanyak 40,1%. 4.2.4 S.O.P Pemasangan Infus

Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi S.O.P Pemasangan Infus terhadap Terjadinya Flebitis di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik

Medan Tahun 2015

No Pernyataan Ya Tidak

n % n %

1. Standar infus 192 100,0 0 0,0

2. Infus set dengan cairan IV yang

dibutuhkan 192 100,0 0 0,0

3. Kanul IV 192 100,0 0 0,0

4. Kapas swab 192 100,0 0 0,0

5. Bengkok/nierbekken 192 100,0 0 0,0

6. Tornirquet 192 100,0 0 0,0

7. Plester+ kaca steril 192 100,0 0 0,0

8. Gunting perban 192 100,0 0 0,0

9. Handscoon 192 100,0 0 0,0

10. Pena dan stiker label 192 100,0 0 0,0

11. Spalk (untuk pasien anak) 192 100,0 0 0,0

12. Pengalas 192 100,0 0 0,0

13. IV kateter/wings (nomor sesuai

kebutuhan) 192 100,0 0 0,0

14. IV kateter/wings cadangan 192 100,0 0 0,0

15. Cairan yang dibutuhkan

(17)

Tabel 4.6 (Lanjutan)

No Pernyataan Ya Tidak

n % n %

16. Cuci tangan 192 100,0 0 0,0

17. Berikan salam dan perkenalkan diri 112 58,3 80 41,7

18. Lakukan konfirmasi identitas pasien

sesuai prosedur 192 100,0 0 0,0

19. Siapkan pasien dan keluarga 166 86,5 26 13,5

20. Lanjutkan prosedur apabila pasien sudah memahami penjelasan yang diberikan dan pasien sudah siap untuk dilakukan tindakan

192 100,0 0 0,0

21. Tentukan lokasi yang akan dipasang

infus 192 100,0 0 0,0

22. Tusukan infus set ke botol cairan dan gantung di standar infus. Isi selang infus set dengan cairan infus dn alirkan cairan sampai ke ujung selang, klem selang dan pertahankan taknik steril

192 100,0 0 0,0

23. Pertahankan teknik akseptik ketika

membuka cairan dan pack infus 192 100,0 0 0,0

24. Hubungkan cairan ke set infus dengan menusukkan ujung selang pada bagian karet botol infus

192 100,0 0 0,0

25. Isi cairan ke dalam set infus dengan menekan ruang tetesan sampai terisi sepertiga ruang tetesan dan buka klem selang sampai cairan memenuhi selang dan udara dalam selang keluar

192 100,0 0 0,0

26. Letakkan pengalas di bawah area yang

akan dilakukan insersi atau penusukan 192 100,0 0 0,0

27. Pakai sarung tangan 192 100,0 0 0,0

28. Bersihkan area penusukan dengan

kapas alkohol 192 100,0 0 0,0

29. Lakukan penusukan vena dengan

meletakkan ibu jari di bawah vena dan posisi lubang jarum menghadap ke atas

192 100,0 0 0,0

30. Bila jarum sudah masuk ke vena, tarik jarum sampai darah terlihat dikanula, tangan non dominan menahan ujung kanua. Masukkan sisa kanula secara perlahan sampai pangkal

192 100,0 0 0,0

31. Apabila darah tidak keluar melalui jarum, penusukan vena gagal atau bengkak, maka ulangi lagi poin 12-16

(18)

Tabel 4.6 (Lanjutan)

No Pernyataan n %

n % n %

pada area yang lain

32. Setelah mandrin dilepaskan, buang mandrin ke tempat sampah dan tekan

bagian atas, vena dengan

menggunakan jari tangan agar darah tidak keluar

192 100,0 0 0,0

33. Sambungkan dengan ujung selang

yang telah terlebih dahulu dikeluarkan cairannya dan sambil dibiarkan menetes sedikit

192 100,0 0 0,0

34. Lakukan fixsasi IV chat dengan menggunakan tegaderem/plester atau kasa steril

192 100,0 0 0,0

35. Lakukan cuci tangan 192 100,0 0 0,0

36. Atur tetesan infus sesuai kebutuhan 192 100,0 0 0,0

37. Tuliskan tanggal dan jam pemasangan infus serta nama yang melakukan tindakan pada steker lebel yang dilengketkan pada plester

192 100,0 0 0,0

38. Catat pada stiket botol infus: botol cairan infus keberapa, kecepatan tetesan, dan jam berapa cairan infus harus habis

192 100,0 0 0,0

39. Apabila ada obat tambahan yang dicampur dalam cairan infus, catat pada label cairan infus

192 100,0 0 0,0

40. Rapikan seluruh peralatan yang

digunakan 192 100,0 0 0,0

41. Perhatikan respon pasien 192 100,0 0 0,0

42. Sarung tangan dibuka dan cuci tangan 192 100,0 0 0,0

43. Ucapkan: terima kasih atas

kerjasamanya, semoga cepat sembuh 133 69,3 59 30,7

44 45.

Dokumentasikan tindakan pada catatan

keperawatan di rekam medis 192 100,0 0 0,0

Hasil penelitian dari Tabel 4.8 menunjukkan bahwa pada SOP pemasangan infus untuk pernyataan “Standar infus, Infus set dengan cairan IV yang dibutuhkan, Kanula IV, Kapas swab, Bengkok/nierbekken, Tornirquet, Plester + kaca steril,

(19)

Gunting perban, Handscoon, Pena dan stiker label, Spalk (untuk pasien anak), Pengalas, IV kateter/wings (nomor sesuai kebutuhan), IV kateter/wings cadangan, Cairan yang dibutuhkan, Cuci tangan, Lanjutkan prosedur, Tentukan lokasi yang akan dipasang infus, Tusukan infus set ke botol cairan dan gantung di standar infus, Pertahankan teknik akseptik ketika membuka cairan dan pack infus, Hubungkan cairan ke set infus dengan menusukkan ujung selang pada bagian karet botol infus, Isi cairan ke dalam set infus, Letakkan pengalas di bawah area yang akan dilakukan insersi atau penusukan, Bersihkan area penusukan dengan kapas alkohol, Lakukan penusukan vena, Bila jarum sudah masuk ke vena, tarik jarum sampai darah terlihat dikanula, Apabila darah tidak keluar melalui jarum, penusukan vena gagal atau bengkak, maka ulangi lagi poin 12-16 pada area yang lain, Setelah mandrin dilepaskan, buang mandrin ke tempat sampah, Sambungkan dengan ujung selang yang telah terlebih dahulu dikeluarkan cairannya dan sambil dibiarkan menetes sedikit, Lakukan fixsasi IV chat dengan menggunakan tegaderem/plester atau kasa steril, Lepaskan sarung tangan, lakukan cuci tangan, atur tetesan infus sesuai kebutuhan, tuliskan tanggal dan jam pemasangan infus, Catat pada stiket botol infus, Apabila ada obat tambahan yang dicampur dalam cairan infus, catat pada label cairan infus, Rapikan seluruh peralatan yang digunakan, Perhatikan respon pasien, Sarung tangan dibuka dan cuci tangan dan Dokumentasikan tindakan pada catatan keperawatan di rekam medis” didapatkan responden yang jawaban “Ya” sebanyak 100%, dan responden menjawab “Tidak” sebanyak 0%.

(20)

Pada pernyataan “Ucapkan: terima kasih atas kerjasamanya, semoga cepat sembuh” didapatkan responden yang jawaban “Ya” sebanyak 69,3% dan responden menjawab “Tidak” sebanyak 30,7%.

Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Kategori S.O.P Pemasangan Infus terhadap Terjadinya Flebitis di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat

H.Adam Malik Medan Tahun 2015

Penerapan S.O.P Pemasangan Infus n %

Ya 131 68,2

Tidak 61 31,8

Jumlah 192 100,0

Hasil penelitian dari Tabel 4.9 menunjukkan bahwa pada kategori “ S.O.P Pemasangan Infus” didapatkan jawaban bahwa responden yang menjawab “Ya” sebanyak 68,2% dan responden menjawab yang menjawab“Tidak” sebanyak 31,8%.

4.3 Analisis Bivariat

4.3.1 Hubungan Umur dalam Penerapan S.O.P Pemasangan Infus terhadap Terjadinya Flebitis di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan

Tabel 4.8 Hubungan Umur dalam Penerapan S.O.P Pemasangan Infus terhadap

Terjadinya Flebitis di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan

Umur

Penerapan S.O.P Pemasangan

Infus Total P Tidak Ya n % n % n % ≤ 39 tahun 27 29,0 66 71,0 93 100,0 0,430 ≥ 39 tahun 34 34,3 65 65,7 99 100,0

Dari hasil analisis hubungan antara Umur dengan SOP pemasangan infus diperoleh bahwa responden yang berumur ≤ 39 tahun sebanyak 66 responden (71,0%)

(21)

yang menjawab ya bahwa pemasangan infussesuai dengan SOP, sedangkansebanyak 27 responden (29,0%) yang menjawab tidak sesuai dengan SOP. Untuk responden yang berumur >39 tahun sebanyak 65 responden (65,7%) yang menjawab sesuai penerapan SOP pemasangan infus,sedangkansebanyak 34 responden (34,3%) yang menjawab tidak sesuai SOP.

Hasil uji statistik didapatkan nilai P= 0,430 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara faktor umur dengan pemasangan infus berdasarkan S.O.P. 4.3.2 Hubungan Jenis Kelamin dalam Penerapan S.O.P Pemasangan Infus

terhadap Terjadinya Flebitis di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan

Tabel 4.9 Hubungan Jenis Kelamin dalam Penerapan S.O.P Pemasangan Infus terhadap Terjadinya Flebitis di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat

H.Adam Malik Medan

Jenis Kelamin

Penerapan S.O.P Pemasangan

Infus Total P Tidak Ya n % n % n % Perempuan 58 31,9 124 68,1 182 100,0 0,902 Laki-laki 3 30,0 7 70,0 10 100,0

Dari hasil analisis hubungan antara jenis kelamin dengan S.O.P pemasangan infus diperoleh bahwa responden yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 124 responden (68,1%) yang menjawab sesuai S.O.P, sedangkan sebanyak 58 responden (31,9%) yang menjawab tidaksesuai S.O.P. Untuk responden yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 7 responden (70,0%) yang menjawab pemasangan infus sesuai S.O.P, sedangkan sebanyak 3 responden (30,0%) yang menjawab tidak sesuai S.O.P.

(22)

Hasil uji statistik didapatkan nilai P = 0,902 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan penerapanS.O.P pemasangan infus.

4.3.3 Hubungan Masa Kerja dalam Penerapan S.O.P Pemasangan Infus terhadap Terjadinya Flebitis di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan

Tabel 4.10 Hubungan Masa Kerja dalam Penerapan S.O.P Pemasangan Infus terhadap Terjadinya Flebitis di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Umum

Pusat H.Adam Malik Medan

Masa Kerja

Penerapan S.O.P Pemasangan

Infus Total P Tidak Ya n % n % n % ≤ 12 tahun 34 32,4 71 67,6 105 100,0 0,84 >12tahun 27 31,0 60 76,9 87 100,0

Dari hasil analisis hubungan antara masa kerja dengan S.O.P pemasangan infus diperoleh bahwa responden yang masa kerjanya ≤ 12 tahun sebanyak 71 responden (67,6%) yang menjawab pemasangan infus sesuai dengan S.O.P, sedangkan sebanyak 34 responden (32,4%) yang menjawab tidak sesuai dengan S.O.P pemasangan infus. Untuk responden yang masa kerjanya >12 tahun sebanyak 60 responden (76,9%) yang menjawab pemasangan infus sesuai S.O.P, sedangkan sebanyak 27 responden (31,0%) yang menjawab tidak sesuai dengan S.O.P. Hasil uji statistik didapatkan nilai P = 0,842 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara masa kerja dengan penerapanS.O.P pemasangan infus.

(23)

4.3.4 Hubungan Pendidikan dalam Penerapan S.O.P Pemasangan Infus terhadap Terjadinya Flebitis di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan

Tabel 4.11 Hubungan Pendidikan dalam Penerapan S.O.P Pemasangan Infus terhadap Terjadinya Flebitis di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Umum

Pusat H.Adam Malik Medan

Pendidikan

Penerapan S.O.P Pemasangan

Infus Total P Tidak Ya n % n % n % SPK 3 60,0 2 40,0 5 100,0 0,622 D3 Keperawatan 74 71,2 30 28,8 104 100,0 S1 Keperawatan 54 65,1 29 34,9 83 100,0

Dari hasil analisis hubungan antara pendidikan dengan S.O.P pemasangan infus diperoleh bahwa responden yang berpendidikan SPK sebanyak 3 responden (60,0%) yang menjawab pemasangan infus sesuai S.O.P, sedangkan sebanyak 2 responden (40,0%) yang menjawab tidak sesuai S.O.P. Responden yang berpendidikan D3 Keperawatan sebanyak 74 responden (71,2%) yang menjawab pemasangan infus sesuai S.O.P sedangkan sebanyak 30 responden (28,8%) yang menjawab tidak sesuai S.O.P. Untuk responden yang berpendidikan S1 Keperawatan sebanyak 54 responden (65,1%) yang menjawab pemasangan infus sesuai S.O.P, sedangkan sebanyak 29 responden (34,9%) yang menjawab tidak sesuai S.O.P. Hasil uji statistik didapatkan nilai P = 0,622 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara SOP pemasangan infus dengan faktorpendidikan.

(24)

4.3.5 Hubungan Pengetahuan dalam Penerapan S.O.P Pemasangan Infus terhadap Terjadinya Flebitis di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan

Tabel 4.12 Hubungan Pengetahuan dalam Penerapan S.O.P Pemasangan Infus

terhadap Terjadinya Flebitis di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan

Dari hasil analisis hubungan antara pengetahuan dengan S.O.P pemasangan infus diperoleh bahwa responden yang menjawab bahwa pengetahuan berhubungan baik terhadap penerapan S.O.P pemasangan infus sebanyak 80 responden (70,8%) dan yang menjawab pengetahuan kurang berhubungan dengan S.O.P pemasangan infus sebanyak 51 responden (64,6%). Hasil uji statistik didapatkan nilai P = 0,361 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan penerapan S.O.P pemasangan infus.

Pengetahuan

Penerapan S.O.P Pemasangan

Infus Total P Baik Kurang n % n % n % Baik 80 70,8 33 29,2 113 100,0 0,361 Kurang 51 64,6 28 35,4 79 100,0

(25)

4.3.6 Hubungan Sikap dalam Penerapan S.O.P Pemasangan Infus terhadap Terjadinya Flebitis di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan

Tabel 4.13 Hubungan Sikap dalam Penerapan S.O.P Pemasangan Infus Terhadap Terjadinya Flebitis di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat

H.Adam Malik Medan

Sikap

Penerapan S.O.P

Pemasangan Infus Total

P Kurang Baik RP CI n % n % n % Tidak Mendukung 43 55,8 34 44,2 77 100,0 0,003 1,370 95% IK = 1,096-1,712 Mendukung 27 23,5 88 76,5 115 100,0

Dari hasil analisis hubungan antara sikap dengan penerapan S.O.P pemasangan infus diperoleh bahwa responden yang mendukung sebanyak 88 responden (76,5%) dan yang menjawab sikaptidak mendukung dengan S.O.P pemasangan infus sebanyak 43 responden (55,8%). Hasil uji statistik didapatkan nilai P = 0,003 maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara sikap dengan penerapan S.O.P pemasangan infus. Artinya responden dengan sikap tidak mendukung 1,37 kali perkiraan kemungkinannya menerapkan S.O.P pemasangan infus kurang dibandingkan dengan responden yang mempunyai sikap baik.

(26)

BAB 5 PEMBAHASAN

5.1. Hubungan Variabel Pengendalian Infeksi Nosokomial terhadap S.O.P Pemasangan Infus

5.1.1. Hubungan Umur dalam Penerapan S.O.P Pemasangan Infus

Menurut Elisabeth BH dalam (Nursalam, 2009) usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai berulang tahun. Sedangkan menurut Huclok semakin cukup umur tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan masyarakat seseorang akan lebih dewasa dipercaya dari orang yang belum tinggi kedewasaannya. Hal ini akan sebagai dari pengalaman dan kematangan jiwa.

Hubungan umur terhadap S.O.P pemasangan infus tidak terbukti pada pengujian analisis bivariat menggunakan uji chi-square. Sehingga tidak bisa dilanjutkan keanalisis multivariat karena tidak ada hubungan antara umur terhadap penerapan S.O.P pemasangan infus, nilai chi-square adalah 0,624 dan nilai p value = 0.430 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara umur dengan penerapan S.O.P pemasangan infus yang merupakan variabel yang tidak berhubungan dengan penerapan S.O.P pemasangan infus di unit rawat inap Rumah Sakit H.Adam Malik Medan.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ince Maria dan Erlin Kurnia tahun 2012 tentangkepatuhan perawat dalam melaksanakan standar prosedur operasional pemasangan infus terhadap flebitis, dimana hasil penelitian jika

(27)

dilihat dari distribusi variabel usia, hasil penelitian mengenai kepatuhan perawat IGD dalam melaksanakan S.O.P Pemasangan infus di Rumah Sakit Baptis Kediri yaitu sebanyak 68 kali tindakan pemasangan infus, didapatkan data bahwa sebagian besar yaitu 60 kali tindakan pemasangan infus dilakukan oleh perawat dengan patuh pada S.O.P pemasangan infus (88,2%). Karakteristik perawat yang patuh adalah lebih dari 50% berusia 31 – 35 tahun yaitu 42 kali (61,8%), dan perawat yang tidak patuh pada S.O.P pemasangan infus yaitu 8 kali tindakan pemasangan infus (11,8%). Ketidakpatuhan ini dilakukan oleh sebagian besar perawat yang berusia sebagian besar 21 – 25 tahun yaitu sebanyak 6 kali (75%). Berdasarkan data diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar tindakan pemasangan infus dilakukan dengan patuh pada S.O.P pemasangan infus.

Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan di unit rawat inap Rumah Sakit Adam Malik Medan. Dimana didapat rata-rata perawat yang bekerja di unit rawat inap Rumah Sakit Adam Malik Medan yang berumur > 39 tahun sebanyak 99 orang (51,6%) dan perawat yang berumur ≤ 39 tahun sebanyak 93 orang (48,4%).

Dalam hal ini perawat yang bekerja diunit rawat inap Rumah Sakit H.Adam Malik Medan masih dalam usia produktif. Hasil penelitian mengatakan bahwa besar risiko terjadinya flebitis yaitu pasien yang berusia > 39 tahun memiliki risiko menderita flebitislebih besar dibandingkan dengan pasienyang berusia ≤ 39 tahun.

Sebagian besar tindakan dilakukan perawat dengan patuh dalam penerapan S.O.P pemasangan infus adalah usia mereka. Dari segi usia mereka sudah mempunyai

(28)

tingkat kemampuan, kematangan dan kekuatan sehingga seorang perawat akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa umur tidak mempunyai hubungan terhadap penerapan S.O.P pemasangan infus di unit rawat inap Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.

5.1.2. Hubungan Jenis Kelamin dalam PenerapanS.O.P Pemasangan Infus

Jenis kelamin adalah kelas kelompok yang terbentuk dalam suatu spesies sebagai suatu sarana atau sebagai akibat digunakannya proses reproduksi seksual untuk mempertahankan keberlangsungan spesies itu. Jenis kelamin merupakan suatu akibat dari dimosfirme seksual yang pada manusia dikenal menjadi laki-laki dan perempuan.

Hubungan jenis kelamin terhadap penerapan S.O.P pemasangan infus tidak terbukti pada pengujian analisis bivariat menggunakan uji chi-square. Sehingga tidak bisa dilanjutkan keanalisis multivariat karena tidak ada hubungan antara jenis kelamin terhadap penerapan S.O.P pemasangan infus,nilai chi-square adalah 0,015 dan nilai p value = 0.902 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan S.O.P pemasangan infus merupakan variabel yang tidak berpengaruh terhadap S.O.P pemasangan infus di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan.

Penelitian yang dilakukan di unit rawat inap Rumah Sakit H.Adam Malik Medan. Dimana didapat rata-rata perawat yang bekerja di unit rawat inap Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan berjenis kelamin perempuan sebanyak 182

(29)

orang (94,8%) dan perawat yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 10 orang (5,2%). Dalam hal ini perawat yang bekerja diunit rawat inap Rumah Sakit umum pusat H.Adam Malik Medan lebih banyak berjenis kelamin perempuan dari pada laki-laki. Hasil penelitian mengatakan bahwa pasien perempuan memiliki risiko menderita flebitis lebih besar dibandingkan dengan pasien laki-laki.

Dengan demikian dapat disimpulkan diatas bahwa jenis kelamin tidak mempunyai hubungan terhadap penerapan S.O.P pemasangan infus di unit rawat inap rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.

5.1.3. Hubungan Masa Kerja dalam Penerapan S.O.P Pemasangan Infus

Masa kerja adalah jangka waktu seseorang bekerja pada suatu organisasi, lembaga dan sebagainya. Masa kerja seseorang dalam organisasi perlu diketahui karena masa kerja merupakan salah satu indikator tentang kecenderungan para pekerja dalam melaksanakan aktivitas pekerjaannya.

Hubungan masa kerja terhadap penerapan S.O.P pemasangan infus tidak terbukti pada pengujian analisis bivariat menggunakan uji chi-square. Sehingga tidak bisa dilanjutkan keanalisis multivariat karena tidak berpengaruh antara masa kerja terhadap S.O.P pemasangan infus dan dari hasil analisis bivariat diperoleh bahwa masa kerja memiliki hubungan negatif terhadap S.O.P pemasangan infus dengan nilai chi-square adalah 0,040dan nilai p value = 0.842 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara masa kerja dengan S.O.P pemasangan infus merupakan variabel yang tidak berhubungan dengan penerapan S.O.P pemasangan infus di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan.

(30)

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Purnama tahun 2012 tentanghubungan tingkat pendidikan dan masa kerja perawat dengan tindakan pemasangan infus sesuai standart operating procedurediRS Roemani Muhammadiyah Semarang, dimana hasil penelitian menunjukkan hasil uji korelasi diperoleh nilai koefisien korelasi =0,704 dengan p-value sebesar (0,238) > 0,05 maka Ho diterima. Hal ini berarti ada tidak ada hubungan antara masa kerja perawat dengan tindakan pemasangan infus sesuai dengan standart operating procedure.

Menurut Robbin S.P (2001), mengatakan didalam beberapa riset yang konsisten dinyatakan bahwa perilaku masa lalu merupakan peramal yang terbaik bagi perilaku masa datang. Dari pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa kalau masa lalu perawat sudah terbiasa berperilaku sesuai dengan protap maka kemungkinan besar akan tetap berperilaku sesuai dengan protap pada masa yang akan datang, demikian juga sebaliknya. Sehingga dapat disimpulkan dengan masa kerja yang lama yang diekspresikan dengan pengalaman kerja belum tentu menjamin pelaksanaan protap pemasangan infus baik apabila dari dulu sudah terbiasa berperilaku tidak sesuai.

Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan di unit rawat inap Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan. Dimana didapat rata-rata perawat yang bekerja di unit rawat inap Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan. Memiliki masa kerja yang berbeda. Untuk perawat yang masa kerjanya ≤ 12 tahun sebanyak 105 orang (54,7%) dan perawat yang masa kerjanya >12 tahun sebanyak 87 orang (45,3%). Dalam hal ini perawat yang bekerja diunit rawat inap Rumah Sakit umum pusat H.Adam Malik Medan memiliki masa kerja yang kurang dari 12 tahun.

(31)

Tindakan perawat dengan patuh dalam melaksanakan S.O.P pemasangan infus yang dipengaruhi masa kerja bahwa makin lama masa kerja perawat makin terampil dan makin berpengalaman dalam melaksanakan pekerjaan sehingga hasil kinerja yang dilakukan lebih produktif.

Hal ini berarti ada tidak ada hubungan antara masa kerja perawat dengan tindakan pemasangan infus sesuai dengan S.O.P. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masa kerja tidak mempunyai pengaruh terhadap penerapan S.O.P pemasangan infus di unit rawat inap Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.

5.1.4. Hubungan Pendidikan dalam Penerapan S.O.P Pemasangan Infus

Pendidikan adalah upaya persuasi atau pembelajaran kepada masyarakat agar masyarakat mau melakukan tindakan-tindakan (praktik) untuk memelihara (mengatasi masalah-masalah) dan meningkatkan kesehatannya. Perubahan atau tindakan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang dihasilkan oleh pendidikan kesehatan ini didasarkan kepada pengetahuan dan kesadarannya melalui proses pembelajaran. Sehingga perilaku tersebut diharapkan akan berlangsung lama (lost lasting) dan menetap, karena didasari oleh kesadaran. Memang kelemahan dari pendidikan kesehatan ini adalah hasilnya lama karena perubahan perilaku melalui proses pembelajaran pada umumnya memerlukan waktu yang lama (Notoatmodjo, 2010).

Menurut Wooddalam (Maulana, 2009) pendidikan adalah sejumlah pengalaman yang berpengaruh secara menguntungkan terhadap kebiasaan, sikap dan pengetahuan

(32)

terkait dengan kesehatan individu, masyarakat dan bangsa. Dari batasan dan pengertian pendidikan kesehatan tersebut disimpulka bahwa pada dasarnya pendidikan kesehatan merupakan upaya-upaya yang terencana untuk mengubah perilaku individu, kelompok, keluarga dan masyarakat. Hal tersebut menunjukkan bahwa pendidikan kesehatan membutuhkan pemahaman yang mendalam karena melibatkan berbagai istilah seperti perubahan perilaku dan proses pendidikan.

Tujuan pendidikan adalah merupakan pendidikan atau pembelajaran yang harus dicapai agar tercapai perilaku yang diinginkan. Menurut WHO tujuan pendidikan disebut juga mengubah perilaku individu atau masyarakat dibidang kesehatan (Maulana, 2009). Menurut taylor dalam (Maulana, 2009) pendidikan kesehatan mengacu pada setiap gabungan pengalaman belajar yang dipolakan untuk memudahkan penyesuaian-penyesuaian perilaku secara sukarela yang memperbaiki kesehatan individu. Pendidikan kesehatan berusaha membantu individu mengontrol kesehatannya sendiri dengan memengaruhi, memungkinkan dan menguatkan keputusan atau tindakan sesuai dengan nilai dan tujuan mereka sendiri. Nilai pendidikan turun naiak bersama tingkat pengetahuan yang telah diperoleh, dan daya upaya pendidikan mungkin masih penting pada orang-orang yang tingkat pengetahuannya masih rendah.

Salah satu faktor yang memengaruhi tingkat pengetahuan adalah tingkat pendidikan. Notoatmodjo mengemukakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin tinggi pula tingkat pengetahuannya dan semakin mudah seseorang untuk memahami pengetahuan. Hasil penelitian yang dilakukan didapat

(33)

bahwa dari tingkat pendidikan terhadap 192 orang responden, 5 orang (2,6%) responden, sedangkan dari 104 orang (54,2%) responden yang berpendidikan D3 Keperawatan, dan 83 orang (43,2%) responden berpendidikan S1 Keperawatan.

Hubungan pendidikan terhadap penerapan S.O.P pemasangan infus tidak terbukti pada pengujian analisis bivariat menggunakan uji chi-square. Sehingga tidak bisa dilanjutkan keanalisis multivariat karena tidak berpengaruh antara pendidikan terhadap penerapan S.O.P pemasangan infus, nilai chi-square adalah 0,951dan nilai p value = 0,622 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan dengan SOP pemasangan infus yang merupakan variabel yang tidak berpengaruh terhadap penerapan S.O.P pemasangan infus di unit rawat inap Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ince Maria dan Erlin Kurnia tahun 2012 tentang kepatuhan perawat dalam melaksanakan standar prosedur operasional pemasangan infus terhadap flebitis, dimana hasil penelitian jika dilihat daridistribusi variabel pendidikan, hasil penelitian mengenai Kepatuhan perawat IGD dalam melaksanakan S.O.P pemasangan infus di Rumah Sakit Baptis Kediri yaitu sebanyak 68 kali tindakan pemasangan infus, didapatkan data bahwa sebagian besar yaitu 60 kali tindakan pemasangan infus dilakukan oleh perawat dengan patuh pada S.O.P pemasangan infus (88,2%). sebagian besar pendidikan diploma III keperawatan yaitu 50 kali (73,5%), paling banyak memiliki masa kerja >10 tahun yaitu 25 kali (36,8%). Perawat yang tidak patuh pada S.O.P pemasangan infus yaitu 8 kali tindakan pemasangan infus (11,8%). Ketidakpatuhan

(34)

ini dilakukan oleh sebagian besar perawat dengan masa kerja selama 0 – 5 tahun, lebih dari 50% pendidikan diploma III keperawatan. Berdasarkan data diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar tindakan pemasangan infus dilakukan dengan patuh pada S O. P Pemasangan infus.

Pendidikan sebagian besar perawat yang patuh terhadap S.O.P pemasangan infus memiliki pendidikan Diploma III Keperawatan sehingga kemungkinan makin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka makin mudah baginya untuk menerima informasi sehingga makin banyak pengetahuan yang dimiliki.

Dengan adanya persepsi yang negatif dari kebanyakan pasien yang terpasang infus, maka pendidikan kesehatan sangat perlu diberikan dengan memberikan penjelasan langsung kepada setiap pasien yang akan dilakukan penggantian posisi infus. Pemberian informasi yang adekuat kepada pasien termasuk juga keluarga pasien akan sangat membantu menimbulkan sikap yang kooperatif sehingga dengan sikap tersebut dapat membantu pelaksanaan proses pengobatan dan perawatan menjadi lebih mudah dan diharapkan pula mempercepat proses penyembuhan pasien. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan di unit rawat inap Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan. Dimana didapatbahwa dari tingkat pendidikan terhadap 192 orang responden, 5 orang (2,6%) responden, sedangkan dari 104 orang (54,2%) responden yang berpendidikan D3 Keperawatan dan 83 orang (43,2%) responden berpendidikan S1 Keperawatan. Disini terlihat bahwa pendidikan sangat berkaitan dengan pemasangan infus pada pasien.

(35)

Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju kearah cita-cita tertentu yang menentukan manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupan untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Pendidikan dperlukan untuk mendapat informasi misalnya hal-hal yang menunjang kesehatan sehinigga dapat meningkatkan kualitas hidup. Pendidikan dapat memengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang untuk sikap berperan serta dalam pembangunan yang mana makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi (Wawan dan Dewi, 2010).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan dengan penerapan S.O.P pemasangan infus pada pasien di unit rawat inapRumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan.

5.1.5. Hubungan Pengetahuan dalam Penerapan S.O.P Pemasangan Infus

Pengetahuan adalahhasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga dan sebagainya). Dengan sendirinya pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagain besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera pendengaran (telinga) dan indera penglihatan (mata). Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda (Notoatmodjo, 2010).

Salah satu faktor yang berhubungan dengan pengetahuan adalah tingkat pendidikan. Notoatmodjo mengemukakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin tinggi pula tingkat pengetahuannya dan semakin mudah

(36)

seseorang untuk memahami pengetahuan. Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilihat dari tingkat pendidikan terhadap 103 orang responden, 1 orang responden berpendidikan SPK memiliki pengetahuan baik, 2 orang responden berpendidikan S1, 1 orang memiliki tingkat pengetahuan baik dan 1 orang memiliki tingkat pengetahuan kurang baik. Sedangkan dari 100 orang responden yang berpendidikan D3, 54 orang memiliki tingkat pengetahuan baik dan 46 orang memiliki tingkat pengetahuan kurang baik. Ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang belum tentu semakin baik pula tingkat pengetahuannya.

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tdak didasari oleh pengetahuan (Wawan dan Dewi, 2010).

Rata-rata perawat yang bekerja di unit rawat inap Rumah Sakit Adam Malik Medan memiliki tingkat pengetahuan yang berbeda terhadap S.O.P pemasangan infus. Untuk perawat yang mempunyai pengetahuan baik dalam penerapan S.O.P pemasangan infus terhadap terjadinya flebitis di unit rawat inap rumah sakit Adam Malik Medan sebanyak 113 orang (58,9%) dan perawat yang mempunyai pengetahuan kurang baik sebanyak 79 orang (41,1%).

Hubungan pengetahuan terhadap penerapan S.O.P pemasangan infus tidak terbukti pada pengujian analisis bivariat menggunakan uji chi-square. Sehingga tidak bisa dilanjutkan keanalisis multivariat karena tidak ada hubungan antara pengetahuan terhadap penerapan S.O.P pemasangan infus dan dari hasil analisis bivariat, nilai

(37)

chi-square adalah 0,835 dan nilai p value = 0,361maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuandengan penerapan S.O.P pemasangan infus yang merupakan variabel yang tidak berpengaruh terhadapS.O.P pemasangan infus di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan.

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wayunah tahun 2012 tentang hubungan pengetahuan perawat tentang terapi infus dengan kejadian flebitis dan kenyamanan pasien di ruang rawat inapdi RSUD Indramayu, dimana hasil penelitian menunjukkan tingkat pengetahuan perawat tentang terapi infus diketahuisebanyak 50.8% memiliki pengetahuantidak baik. Hasil analisis hubungan antara tingkat pengetahuan perawat tentang terapi infus dengan kenyamanan pasien diketahui ada hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan perawat tentang terapi infus dengan kenyamanan pasien (p=0.0005) perawat tentang terapi infus dan kejadian flebitis diketahui ada hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan perawat tentang terapi infus dengan kejadian plebitis (p=0.0005; OR =9.5). Berdasarkan hasil OR dapat disimpulkan bahwa perawat yang memiliki pengetahuan tidak baik berpeluang 9.5 kali menyebabkan flebitis dibanding perawat yang memiliki pengetahuan baik (OR=11.6).

Seorang perawat idealnya harus memiliki dasar pengetahuan tentang berbagai teori yang berkaitan dengan terapi infus. Hal ini akan memengaruhi dalam perilakunya, terutama tentang prinsip-prinsip yang berkaitan dengan protokol pelaksanaan serta implementasi untuk pencegahan komplikasi. Oleh karena itu, perawat harus memiliki pengetahuan mendalam tentang prinsip-prinsip teknik

(38)

aseptik, stabilitas, penyimpanan, pelabelan, interaksi, dosis dan perhitungan serta peralatan yang tepat sehingga dapat memberikan terapi infus dengan aman kepada pasien.

5.1.6. Hubungan Sikap dalam Penerapan S.O.P Pemasangan Infus

Di unit Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan, dimana sebagian besar responden mengatakan bahwa sebanyak 88 responden (76,5%) yang menjawab sangat setuju bahwa sikap berhubungan dengan penerapan S.O.P pemasangan infus.

Rata-rata perawat yang bekerja di unit rawat inap Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan memiliki sikap yang berbeda terhadap S.O.P pemasangan infus. Untuk perawat yang mengatakan mendukung terhadap sikap perawat dalam penerapan S.O.P pemasangan infus terhadap terjadinya flebitis di unit rawat inap Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan sebanyak 115 orang dan perawat yang kurang mendukung sebanyak 77 orang. Dalam hal ini perawat yang bersikap sesuai dengan penerapan SOP pemasangan infus terhadap terjadinya flebitis diunit rawat inap Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan lebih banyak.

Pengaruh sikap terhadap penerapan S.O.P pemasangan infus terbukti pada pengujian analisis bivariat menggunakan uji chi-square. nilai chi-square adalah 9,097 dan nilai p value = 0.003 maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara sikap dengan penerapan S.O.P pemasangan infusp < 0,25. Dengan didapatnya nilai rasio Prevalens 1,37 artinya perawat dengan sikap kurang mendukung 1,37 kali perkiraan

(39)

kemungkinan menerapkan S.O.P pemasangan infus kurang dibandingkan dengan dengan perawat yang mempunyai sikap baik.

Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang), setuju-tidak setuju,baik-tidak baik dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010). Menurut Thomas dan Znaniecki dalam (Wawan dan Dewi, 2010) sikap adalah predisposisi untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku tertentu, sehingga sikap bukan hanya kondisi internal psikologis yang murni dari individu tetapi sikap lebih merupakan proses kesadaran yang sifatnya individual. Pendapat agak berbeda diajukan oleh Triandis yang menyatakan bahwa sikap adalah ide yang berkaitan emosi yang mendorong dilakukannya tindakan-tindakan tertentu dalam suatu situasi sosial.

Dalam teori Festinger menurut Secord dan Backman dalam (Wawan dan Dewi, 2010) sikap dikenal denga teori disonansi kognitif. Festinger merespon tentang sikap dikaitkan dengan perilaku yang nyata yang merupakan persoalan yang banyak mengundang perdebatan. Festinger dalam teorinya mengemukakan bahwa sikap individu itu biasanya konsisten satu dengan yang lain dan dalam tindakannya juga konsisten satu dengan yang lain. Menurut festinger apa yang dimaksud dengan komponen kognitif ialah mencakup pengetahuan, pandangan, kepercayaan tentang lingkungan, tentang seseorang dan tentang tindakan.

Menurut Allport dalam (Notoatmodjo, 2010) sikap itu terdiri dari 3 komponen pokok yaitu kepercayaan atau keyakinan, kehidupan emosional atau evaluasi orang

(40)

terhadap objek, dan kecenderungan untuk bertindak (tend to behave). Dimana kecenderungan dalam bertindak artinya sikap adalah merupakan komponen yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka. Sikap adalah ancang-ancang untuk bertindak atau berperilaku terbuka (tindakan).

(41)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Dari variabel pengetahuan diperoleh hasil bahwa pengetahuan tidak berhubungan dengan penerapan S.O.P pemasangan infus di unit rawat inap Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan adalah sikap.

2. Pedidikan dan jenis kelamin tidak berhubungan dengan penerapan S.O.P pemasangan infus di unit rawat inap Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan adalah sikap.

3. Penerapan S.O.P pemasangan infus di unit rawat inap Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan berhubungan dengan sikap terbukti pada pengujian analisis bivariat menggunakan uji chi-square adalah 9,097 dan nilai p value = 0.003.

6.2. Saran

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di di unit rawat inap Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan didapatkan hasil bahwa berdasarkan kesimpulan di atas, maka perlu disarankan kepada pihak manajemen Rumah Sakit :

1. Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan perlu mengembangkan program monitoring dan evaluasi dalam bentuk supervisi kepada perawat

(42)

pelaksana tentang penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi diruang rawat inap secara rutin.

2. Kepada perawat pelaksana Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan dalam melakukan tindakan pemasangan infus harus sesuai dengan SOP yang sudah ditentukan.

Gambar

Tabel 3.1 Definisi Operasional  Variabel/Sub
Tabel 3.1 (Lanjutan)  Variabel/Sub
Tabel 4.1 Karakteristik Perawat dalam Penerapan S.O.P Pemasangan Infus  terhadap Terjadinya Flebitis di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Perawat dalam Penerapan S.O.P  Pemasangan Infus terhadap Terjadinya Flebitis di Unit Rawat Inap Rumah
+7

Referensi

Dokumen terkait

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) bentuk kesalahan penggunaan bahasa Indonesia yang meliputi kesalahan ejaan, diksi, kalimat, dan paragraf;

Alat pengumpulan data adalah studi kepustakaan (library research). Seluruh data dianalisis secara kuantitatif. Hasil penelitian menerangkan bahwa Hibah KUR di Indonesia

cM0(i+) Tidak ada bukti klinis maupun radiografi tentang adanya metastasis jauh tapi secara molekuler atau mikroskopis terdeteksi adanya sel tumor pada sirkulasi

Pemberdayaan karyawan adalah suatu lingkungan dimana setiap karyawan memiliki kemampuan, percaya diri, dan komitmen mengambil pertanggungjawaban dan kepemilikan untuk meningkatkan

Informasi yang berasal dari sumber ( endorser ) yang kredibel mempengaruhi kepercayaan, pendapat, sikap, dan atau perilaku yang akan dilakukan melalui proses yang

Sedangkan Depdiknas merumuskan pengertian MBS sebagai model manajemen yang memberikan otonomi yang lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan

Pihak-pihak yang menjadi sumber data diantaranya yaitu, siswa yang diwakilkan menjadi Pelajar Pelopor Keselamatan LLAJ, dalam hal ini yang menjadi pembahasan utama

[r]