• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DAN KESEPIAN PADA PEREMPUAN DEWASA AWAL DENGAN LATAR BELAKANG ORANG TUA BERCERAI SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DAN KESEPIAN PADA PEREMPUAN DEWASA AWAL DENGAN LATAR BELAKANG ORANG TUA BERCERAI SKRIPSI"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DAN KESEPIAN PADA

PEREMPUAN DEWASA AWAL DENGAN LATAR

BELAKANG ORANG TUA BERCERAI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Silvia NIM : 109114141

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DAN KESEPIAN PADA

PEREMPUAN DEWASA AWAL DENGAN LATAR

BELAKANG ORANG TUA BERCERAI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Silvia NIM : 109114141

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2014

(3)
(4)
(5)

iv

“Jika kamu tidak mengejar apa yang kamu inginkan, maka kamu tidak akan pernah memilikinya.

Jika kamu tidak bertanya, maka jawabannya adalah tidak.

Jika kamu tidak mengambil langkah maju, maka kamu akan selalu berada di tempat yang sama.”

(Nora Roberts)

“Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.” (Yeremia 29 : 11)

“Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan.”

(Amsal 1:7)

Ukuran sukses bukanlah seberapa berat masalah yang sedang Anda hadapi, tapi apakah masalah Anda sama dengan apa yang Anda hadapi tahun lalu.

(John Foster Dulles)

(6)
(7)

vi

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DAN KESEPIAN PADA PEREMPUAN DEWASA AWAL DENGAN LATAR BELAKANG ORANG

TUA BERCERAI Silvia

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara konsep diri dan kesepian pada perempuan dewasa awal dengan latar belakang orang tua bercerai. Subjek penelitian ini adalah 50 perempuan dewasa awal dengan rentang usia 20 - 40 tahun yang memiliki latar belakang orang tua bercerai. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah adanya hubungan negatif antara konsep diri dan kesepian pada perempuan dewasa awal dengan latar belakang orang tua bercerai. Peneliti menggunakan teknik pengambilan sampel snowball sampling dalam penelitian ini. Data penelitian diperoleh dengan menggunakan dua skala dalam model Likert, yaitu Skala Konsep Diri dan Skala Kesepian. Reliabilitas Skala Konsep Diri adalah 0,937 dari 40 item dan reliabilitas Skala Kesepian adalah 0,971 dari 50 item. Reliabilitas kedua skala diperoleh dengan menggunakan teknikAlpha–Cronbachdari program SPSSfor windowsversi 16.0. Uji asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji normalitas dan uji linearitas. Hasil uji asumsi menunjukkan bahwa data memiliki distribusi normal dan memiliki hubungan linear antara konsep diri dan kesepian. Data dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan korelasi Pearson Product Moment dengan program SPSSfor windowsversi 16.0 dan diperoleh nilai koefisien korelasi -0,949 dengan nilai signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,01). Hal ini berarti ada hubungan yang negatif dan signifikan antara konsep diri dan kesepian. Nilai dari koefisien determinasi adalah 0,901. Hal ini berarti bahwa konsep diri menyumbang sebesar 90,1% terhadap kesepian dan 9,9% dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya.

(8)

vii

THE CORRELATION BETWEEN SELF-CONCEPT AND LONELINESS IN EARLY ADULT WOMEN WITH DIVORCED PARENTS

BACKGROUND Silvia

ABSTRACT

This research aimed to find out the correlation between self-concept and loneliness in early adult women with divorced parents background. The subjects in this research consisted of 50 early adult women who has 20–40 years old, have divorced parents background. The hypothesis in this research there was a negative correlation between self-concept and loneliness in early adult women with divorced background. In this research, researcher used snowball sampling technique. The data in this research were obtained by using two Likert scales, Self-Concept Scale and Loneliness Scale. Reliability of Self-Concept Scale was 0,937 of 40 items and reliability of Loneliness Scale was 0,971 of 50 items. Reliability of the scales were obtained by using Alpha– Cronbach technique of SPSS program for windows versi 16.0. The assumption tests that used in this research were normality and linearity test. The results showed that the data had a normal distribution and had a linear relationship between self-concept and loneliness. The data in this research were analyzed by using the Pearson Product Moment technique of SPSS program for windows versi 16.0 and were obtained coefficient correlation was -0,949 with significance level 0,000 (p < 0,01). It meant that there was a negative and significant correlation between concept and loneliness. The value of the coefficient determination was 0,901. It meant that the self-concept accounted 90,1% towards the loneliness and 9,9% was influenced by other factors.

(9)
(10)

ix

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena atas berkat, penyertaan, pertolongan dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan dengan baik skripsi yang berjudul “Hubungan Antara Konsep Diri

dan Kesepian Pada Perempuan Dewasa Awal Dengan Latar Belakang Orang Tua Bercerai” dalam rangka memenuhi salah satu syarat kelulusan di Fakultas

Psikologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini melalui proses yang begitu panjang dan tidak terlepas dari berbagai kendala. Meskipun demikian, berkat doa, dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, sehingga kendala-kendala tersebut dapat diatasi dan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, pada kesempatan yang baik ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Tuhan Yesus Kristus yang teramat baik bagiku. Terima kasih untuk segala penyertaan, pertolongan, dan kasih serta berkat-Mu yang begitu luar biasa bagiku. Aku tidak akan mampu sampai sejauh ini tanpa-Mu. Thank you Jesus. I love You !

2. Almamaterku, Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Terima kasih karena telah mengijinkanku mendapatkan pembelajaran di sini.

(11)

x

untuk motivasinya selama penulis menempuh pendidikan di Fakultas Psikologi.

4. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si., selaku Ketua Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma dan Dosen Pembimbing Skripsi. Terima kasih karena telah meluangkan waktuya dan senantiasa memberikan arahan dan masukan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. 5. Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti, M.S. dan Ibu Debri Pristinella, M.Si., selaku

dosen penguji. Terima kasih karena telah memberikan masukan yang membangun.

6. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma untuk setiap pengajarannya mengenai dunia Psikologi.

7. Mas Gandung dan Bu Nanik di sekretariat Fakultas Psikologi, terima kasih atas bantuannya selama penulis menjalani studi di Fakultas Psikologi. Terima kasih juga untuk Mas Muji dan Mas Donny di Laboratorium Fakultas Psikologi karena sudah mau direpotkan, terutama ketika praktikum. Untuk Pak Gik, terima kasih atas senyumnya setiap hari.

8. Kedua orang tuaku. Terima kasih untuk doa, semangat, dukungan, dan kepercayaannya kepadaku. Kalian adalah anugerah terindah dari Tuhan untukku. Semoga ke depannya aku selalu dapat membanggakan kalian. Aku sayang kalian !

(12)

xi

Buat adikku yang paling manja Julia, yang rajin sekolahnya, jangan main basket terus ! Sayang kalian *hug*

10. Saudara dan teman-temanku yang sudah membantuku menyebarkan skala. Terima kasih karena kalian sudah mau aku repotin.

11. sahabat Rainbowie tercinta (Irma, Nani, Opa, Tirsa, Tyas). Sahabat-sahabatku yang paling gila, gokil, cerewet, bawel, suka nongkrong sampai subuh, terima kasih atas warna yang sudah kalian torehkan bagiku. Aku tidak bisa membayangkan aku tanpa kalian. Harapan untuk wisuda bareng semoga terwujud ya. Amin ! Kalian sungguh sahabat-sahabat yang luar biasa.

12. Sahabat-sahabat terbaikku dari kubu pria (Nael, Wendy, Gerry, Abi, Yoga, Aldo). Terima kasih untuk kebersamaannya dan bantuannya selama ini. 13. Teman- teman sengkatan dan seperjuangan Fakultas Psikologi angkatan 2010,

terutama kelas C dan D yang berjuang bersama-sama. Terima kasih atas dukungannya. Aku pasti akan merindukan suasana ketika di kelas.

14. Sahabat sekaligus saudara-saudaraku di grup Vampire (Ani, Winda, Yanti, Eva, Cece, April). Terima kasih atas kegilaannya selama ini, yang selalu mampu membuat suasana hatiku jadi membaik. Lanjutkan !

15. Bapak dan Ibu Kos Pelangi, yang senantiasa mendorongku untuk menyelesaikan skripsi.

16. Teman-teman di Kos Pelangi, terima kasih atas segala dukungan, bantuan, dan semangatnya selama ini.

(13)

xii

18. Teman-teman yang telah bersedia menjadi subjek dalam penelitian ini. Terima kasih atas partisipasi dan kesediaan kalian.

19. Seluruh pihak yang telah mendukung dan membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih atas bantuan dan dukungannya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat terbuka terhadap kritik dan saran agar skripsi ini dapat menjadi lebih baik lagi. Penulis juga berharap bahwa skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.

Penulis

(14)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT... vii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI... xiii

DAFTAR TABEL... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ...1

A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Rumusan Masalah ...11

C. Tujuan Penelitian...11

D. Manfaat Penelitian ...11

1. Manfaat Teoritis ...11

2. Manfaat Praktis...12

BAB II LANDASAN TEORI ...13

(15)

xiv

1. Pengertian Kesepian ...13

2. Aspek-Aspek Kesepian ...15

3. Tipe Kesepian ...17

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesepian...19

5. Penyebab Kesepian...22

6. Akibat Kesepian ...26

B. Konsep Diri ...27

1. Pengertian Konsep Diri ...27

2. Perkembangan Konsep Diri...28

3. Karakteristik Konsep Diri Positif dan Negatif ...30

4. Aspek-Aspek Konsep Diri...34

C. Perempuan Dewasa Awal...36

1. Pengertian Perempuan Dewasa Awal...36

2. Ciri-Ciri Masa Dewasa Awal ...37

3. Tugas Perkembangan Dewasa Awal ...41

D. Perceraian ...42

1. Pengertian Perceraian ...42

2. Dampak Perceraian...43

E. Dinamika Hubungan Konsep Diri dan Kesepian Pada Perempuan Dewasa Awal dengan Latar Belakang Orang Tua Bercerai...45

F. Hipotesis Penelitian ...48

(16)

xv

BAB III METODOLOGI PENELITIAN...50

A. Jenis Penelitian ...50

B. Variabel Penelitian ...50

C. Definisi Operasional ...50

1. Konsep Diri ...50

2. Kesepian ...51

D. Subjek Penelitian ...52

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data...52

1. Skala Konsep Diri...53

2. Skala Kesepian ...55

F. Validitas, Seleksi Item, dan Reliabilitas...57

1. Validitas...57

2. Seleksi Item ...57

3. Reliabilitas...60

G. Analisis Data ...61

1. Uji Asumsi...61

a. Uji Normalitas ...61

b. Uji Linearitas ...62

2. Uji Hipotesis ...62

H. Pelaksanaan Uji Coba...63

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...64

A. Pelaksanaan Penelitian ...64

(17)

xvi

C. Deksripsi Data Penelitian ...65

D. Hasil Penelitian...67

1. Uji Asumsi...67

a. Uji Normalitas ...67

b. Uji Linearitas ...68

2. Uji Hipotesis ...70

E. Pembahasan ...71

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...77

A. Kesimpulan...77

B. Saran ...77

1. Subjek Penelitian ...77

2. Orang Tua ...78

3. Peneliti Selanjutnya ...78

DAFTAR PUSTAKA ...80

(18)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Pemberian Skor Skala Konsep Diri ...54

Tabel 2 Blue Print dan Distribusi Item Skala Konsep Diri Sebelum Uji Coba ..54

Tabel 3 Pemberian Skor Skala Kesepian ...56

Tabel 4 Blue Print dan Distribusi Item Skala Kesepian Sebelum Uji Coba ...56

Tabel 5 Blue Print dan Distribusi Item Skala Konsep Diri Setelah Uji Coba...59

Tabel 6 Blue Print dan Distribusi Item Skala Kesepian Setelah Uji Coba ...60

Tabel 7 Deskripsi Subjek Penelitian ...65

Tabel 8 Deksripsi Data Penelitian...66

Tabel 9 Hasil Uji Normalitas ...68

Tabel 10 Hasil Uji Linearitas ...69

(19)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Skala Konsep Diri dan Kesepian ...85

Lampiran 2 Hasil Seleksi Item Skala Konsep Diri dan Kesepian...96

Lampiran 3 Reliabilitas Skala Konsep Diri dan Kesepian...100

Lampiran 4 Uji Deskriptif Mean Empirik...102

Lampiran 5 Uji Normalitas ...103

Lampiran 6 Uji Linearitas ...104

(20)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa adanya kehadiran orang lain di sekitarnya. Meskipun ia mempunyai kedudukan dan kekayaan, ia selalu membutuhkan manusia lainnya. Oleh karena itu, setiap manusia cenderung untuk berkomunikasi, berinteraksi, dan bersosialisasi dengan manusia lainnya agar mampu untuk berkembang sebagai manusia yang utuh dan sempurna. Kegagalan atau hambatan dalam membentuk relasi sosial dapat mengakibatkan seseorang merasa kesepian yang dapat menimbulkan berbagai konsekuensi negatif (Weiss dalam Peplau & Perlman, 1982).

(21)

perasaan malu merupakan beberapa ciri atau karakteristik yang terdapat pada seseorang dengan konsep diri negatif.

Kesepian merupakan fenomena umum yang dapat dialami semua orang. Perasaan kesepian dapat dialami siapa saja, tidak memandang tingkatan usia, status sosial dan jenis kelamin. Sebuah survei nasional mengungkapkan bahwa sekitar satu dari empat orang Amerika mengatakan pernah merasa sangat kesepian dan jauh dari orang lain (Perlman & Peplau dalam Taylor, Peplau, & Sears, 2009). Brehm, Miller, Perlman, & Campbell (dalam Taylor dkk, 2009) juga mengungkapkan bahwa tidak ada kelompok masyarakat yang kebal terhadap perasaan kesepian, meskipun beberapa orang memiliki risiko lebih besar.

Stereotipe umum menggambarkan usia tua sebagai masa kesepian yang besar. Akan tetapi, beberapa hasil penelitian memperlihatkan bahwa kesepian yang tertinggi terjadi di antara para remaja dan dewasa awal. Tingkat kesepian yang terendah terjadi di antara kelompok usia lanjut. Hal ini dikarenakan sejalan dengan pertambahan usia, kehidupan sosial mereka menjadi semakin mantap. Selain itu, pertambahan usia juga memberikan keterampilan sosial yang lebih besar dan harapan yang lebih realistis mengenai hubungan sosial (Sears, Freedman, & Peplau, 1988).

(22)

usia 55 tahun dan di atasnya yang mengalami kesepian (Alliance, 2013). Penelitian dari Belfast Institute, Inggris, menemukan lebih dari sekitar 75 persen orang dewasa merasa kesepian dengan rata-rata usia 40 tahun. Penelitian yang melibatkan sekitar 1.300 orang berusia di atas 18 tahun menemukan rasa kesepian sangat jarang dijumpai pada usia remaja dan usia di atas 50 tahun (Taufik,Rini, & Putri, 2012). Hal ini dikarenakan individu-individu dewasa muda menghadapi banyak transisi sosial, seperti pindah rumah, hidup mandiri, masuk kuliah, atau bekerja untuk pertama kalinya dan semua hal tersebut dapat menyebabkan kesepian. Saat usia seseorang semakin bertambah, kehidupan sosialnya menjadi semakin stabil. Pertambahan usia juga dapat semakin meningkatkan keterampilan sosial seseorang dan mereka semakin realistis terhadap hubungan sosial yang mereka harapkan (Taylor dkk, 2009).

(23)

dihadapi kelompok ini, yaitu interaksi sosial serta perasaan kesepian yang menimbulkan stres (Hutapea, 2013).

Peningkatan angka bunuh diri juga terjadi di Indonesia setiap tahunnya. Wiguna (2013) mengungkapkan bahwa penyebab utama seseorang bunuh diri adalah depresi. Hal ini dikarenakan mereka merasa tidak memiliki orang-orang yang berarti bagi mereka, sehingga menyebabkan mereka menjadi tertutup dan kehilangan minat hidup. Selain itu, Hawari mengungkapkan bahwa alasan utama para artis muda Indonesia terjerumus dalam penyalahgunaan narkoba dikarenakan mereka seringkali merasa kesepian. Hawari menjelaskan bahwa mereka mengalami kekosongan jiwa, mereka memiliki pekerjaan untuk menghibur orang lain, tetapi mereka tidak memiliki seseorang yang menghibur mereka.

(24)

sebanyak 12%, sedangkan pada kelompok perempuan sebanyak 25%. Beberapa kasus dan penelitian di atas menegaskan bahwa perasaan kesepian lebih berisiko dialami oleh kelompok dewasa awal. Kasus kesepian tersebut tidak hanya dialami oleh kelompok dewasa awal di negara barat, tetapi juga terdapat kemungkinan masalah kesepian dialami oleh kelompok dewasa awal di negara timur, khususnya di Indonesia, terutama pada kelompok perempuan dewasa awal.

Risiko kesepian lebih besar dialami oleh kelompok dewasa awal yang mengalami masa peralihan dari masa sekolah menuju perguruan tinggi. Transisi sosial tersebut yang kemudian membentuk perasaan kesepian karena individu meninggalkan dunia tempat tinggal dan keluarga yang dikenal dan harus bertemu orang-orang baru serta membangun kehidupan sosial yang baru. Selain itu, Erikson mengungkapkan bahwa tahap perkembangan psikososial dewasa awal, yaitu intimacy vs isolationsebagai salah satu tugas yang penting dalam masa ini. Pada saat individu dewasa awal berhasil membentuk hubungan yang dekat dengan orang lain, maka intimacy akan tercapai. Namun, apabila terjadi kegagalan dalam membentukintimacy, maka akan menghasilkan isolation (Santrock, 2002). Merujuk pada tahap perkembangan psikososial tersebut, maka semakin menegaskan bahwa individu dewasa awal rentan terhadap kesepian.

(25)

penyakit fisik (Peplau & Perlman, 1982). Selain itu, kesepian juga dapat berdampak negatif pada kesehatan mental. Sebuah studi yang menggunakan skala depresi yang terstandarisasi, yaitu Beck Depression Inventory menemukan asosiasi yang kuat antara kesepian dan depresi (Peplau & Goldston dalam Peplau, 1988). Seorang psikolog dari University of Chicago juga menemukan bahwa pembuluh darah orang yang kesepian cenderung mengeras dan dapat memicu tekanan darah tinggi, peradangan dalam tubuh,

serta terganggu ingatannya. Selain itu, Cacioppo dan Patrick (dalam Myers,

2012) menjelaskan bahwa kesepian dapat menekan hormon dan aktivitas

kekebalan tubuh seseorang. Hawari juga sepakat dengan kesimpulan

Cacioppo itu, seorang yang dalam hidupnya merasa kesepian cenderung

berumur lebih pendek dibanding seseorang yang tak merasa kesepian (Taufik, Rini, & Putri, 2012). Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh seorang ahli saraf Amerika, ditemukan bahwa kesepian yang berlebihan dapat meningkatkan peluang kematian dini seseorang sebesar 45%, dibandingkan dengan faktor obesitas yang sebesar 20% (University of Bolton, 2013).

(26)

(2012) tentang hubungan antara kesepian, harga diri, efikasi diri dan gender yang dilakukan pada mahasiswa ditemukan bahwa kelompok perempuan melaporkan tingkat kesepian yang lebih tinggi dibandingkan kelompok laki-laki. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa harga diri dan efikasi diri yang rendah dikaitkan dengan tingginya tingkat kesepian. Harga diri dan efikasi diri rendah merupakan beberapa ciri dari individu yang memiliki konsep diri negatif dan dapat mengakibatkan hambatan dalam membangun relasi sosial dengan orang lain (Riggio, Throckmorton, & DePaola; Jones, Hobbs, & Hockenbury dalam Santrock, 2002). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa individu yang kesepian memiliki kekurangan dalam kompetensi interpersonal. Penelitian yang dilakukan oleh Nashori (2000) dan Hartanti (2006) tentang hubungan antara konsep diri dan kompetensi interpersonal menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara konsep diri dan kompetensi interpersonal. Semakin positif konsep diri, maka semakin tinggi kompetensi interpersonal yang dimiliki. Sebaliknya, semakin negatif konsep diri, maka semakin rendah kompetensi interpersonal yang dimiliki. Berdasarkan beberapa penelitian di atas, dapat dikatakan bahwa secara empirik konsep diri memiliki kemungkinan hubungan terhadap perasaan kesepian.

(27)

konsep diri positif dapat memahami dan menerima dan menghargai dirinya, mampu terbuka terhadap perasaan diri sendiri maupun orang lain serta mampu menginstropeksi dirinya dan mampu untuk mengubah dirinya menjadi lebih baik. Konsep diri yang positif tersebut membuat individu akan dapat memandang positif dirinya maupun orang lain, sehingga ia akan mendapatkan umpan balik yang positif pula dari lingkungannya. Sementara itu, individu dengan konsep diri negatif memiliki penerimaan diri yang negatif, sehingga cenderung tidak pernah merasa cukup baik dan merasa tidak berharga jika dibandingkan dengan orang lain (Calhoun & Acocella, 1995). Konsep diri yang negatif tersebut membawa individu pada perasaan minder, harga diri rendah, dan menimbulkan hambatan dalam interaksi dengan lingkungan sosialnya (Brooks & Emmart dalam Rakhmat, 2008).

(28)

Penelitian ini dilakukan pada perempuan dewasa awal dengan latar belakang orang tua yang telah bercerai. Jenis kelamin perempuan dipilih karena perempuan cenderung lebih jelas dalam mengekspresikan emosinya (Borys & Pearlman, 1985). Rubenstein, Shaver dan Hazan (dalam Peplau, 1988) juga mengungkapkan bahwa salah satu karakteristik individu dewasa awal yang mengalami kesepian, yaitu terkait latar belakang individu tersebut. Individu dengan latar belakang orang tua bercerai akan lebih berisiko mengalami kesepian dibandingkan individu dengan latar belakang orang tua yang tidak bercerai. Perceraian orang tua dapat meningkatkan potensi anak-anak mengalami kesepian ketika anak-anak-anak-anak tersebut dewasa.

(29)

rendah ditandai dengan munculnya afek-afek negatif, seperti perasaan kecewa, kurangnya rasa percaya diri, malu, dan bahkan perasaan benci. Lebih lanjut, Hetherington (dalam Dewi & Utami, 2008) mengungkapkan bahwa setelah enam tahun pasca perceraian orang tuanya, anak akan tumbuh menjadi seseorang yang merasa kesepian, tidak bahagia, mengalami kecemasan, dan perasaan tidak aman. Namun, pada kenyataannya peneliti mengamati bahwa terdapat individu yang mampu resilien dalam menghadapi perceraian orang tuanya. Meskipun memiliki orang tua bercerai, mereka mampu menjadi individu yang kompeten dan memiliki penyesuaian diri yang baik.

(30)

dapat membawa dampak negatif pada pembentukan konsep diri anak yang memungkinkan timbulnya risiko kesepian ketika anak mulai beranjak dewasa. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara konsep diri dengan perasaan kesepian, khususnya pada perempuan dewasa awal dengan latar belakang orang tua bercerai.

B. RUMUSAN MASALAH

Apakah terdapat hubungan antara konsep diri dan kesepian pada perempuan dewasa awal dengan latar belakang orang tua bercerai?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara konsep diri dan kesepian pada perempuan dewasa awal dengan latar belakang orang tua bercerai.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritis

(31)

wawasan tentang konsep diri dan perasaan kesepian di kalangan perempuan dewasa awal, khususnya dengan latar belakang orang tua bercerai serta dapat digunakan sebagai bahan referensi dalam melakukan penelitian berikutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Subjek Penelitian

Melalui penelitian ini, subjek penelitian akan dapat mengetahui tingkat kesepian dan konsep diri yang mereka miliki.

b. Orang Tua

Dari hasil penelitian ini dapat menjadi tambahan pengetahuan bagi para orang tua bahwa perceraian dapat membawa dampak pada perkembangan anak, khususnya pada pembentukan konsep diri anak. Hal ini dikarenakan perceraian orang tua dapat mengakibatkan anak menjadi seseorang yang merasa tidak aman, tidak bahagia, dan mengalami kecemasan ketika beranjak dewasa.

c. Masyarakat

(32)

13

BAB II

LANDASAN TEORI

A. KESEPIAN

1. Pengertian Kesepian

Baron dan Byrne (2005) mengemukakan bahwa kesepian merupakan suatu keadaan emosi dan kognitif yang tidak bahagia dikarenakan harapan untuk terlibat dalam hubungan sosial yang akrab dan penuh arti tidak dapat tercapai. Kesepian juga berarti ketidaknyamanan psikologis yang dirasakan seseorang karena hubungan sosial yang dimiliki kurang memadai (Taylor dkk, 2009).

Gierveld (dalam Peplau & Perlman, 1982) mengartikan kesepian sebagai suatu pengalaman akan kesenjangan antara hubungan sosial yang diinginkan dengan hubungan sosial yang dialami individu. Hal tersebut serupa dengan apa yang diungkapkan oleh Baron dan Byrne (2000) bahwa kesepian muncul ketika terjadi kesenjangan antara hubungan sosial yang diharapkan dengan kenyataan dalam kehidupan interpersonal individu.

(33)

pertemanannya bersifat sangat dangkal dan tidak memuaskan. Secara kuantitatif, yaitu kesepian dirasakan karena seseorang tidak memiliki cukup teman seperti yang diharapkan. Sedangkan, kesendirian menunjuk pada keadaan terpisah dari orang lain yang sifatnya objektif, yaitu suatu keadaan ketika seseorang sedang tidak bersama dengan orang lain. Weiss (dalam Peplau & Perlman, 1982) mengungkapkan bahwa kesepian tidak disebabkan karena kesendirian, tetapi dikarenakan tidak adanya hubungan sosial tertentu yang diinginkan.

Pernyataan di atas juga didukung oleh Peplau & Perlman (1982) yang mengungkapkan beberapa definisi kesepian. Pertama, kesepian merupakan hasil dari kurangnya hubungan sosial individu. Kedua, kesepian merupakan pengalaman subjektif yang tidak sama dengan isolasi sosial yang bersifat objektif. Ketiga, pengalaman kesepian bersifat tidak menyenangkan.

(34)

2. Aspek-Aspek Kesepian

Menurut Bruno (dalam Sari, 2010), aspek-aspek kesepian dalam diri individu yaitu:

a. Isolasi

Isolasi merupakan kondisi ketika individu merasa terasing dari tujuan dan nilai-nilai dalam masyarakat. Individu merasa dirinya tidak berdaya, cenderung membesar-besarkan suatu kesalahan, tidak berusaha menggabungkan diri dalam suatu kelompok sosial, tidak berusaha berdamai jika berselisih dengan orang lain, memiliki perasaan superioritas, dan memandang lingkungan tidak bersahabat. b. Merasa Ditolak

Merupakan kondisi ketika individu merasa lingkungan tidak menerima dirinya. Individu yang merasa kesepian akan merasa dirinya ditolak dan ditinggalkan.

c. Merasa Disalah mengerti

Merupakan kondisi ketika individu merasa seakan-akan dirinya disalahkan oleh orang lain dan merasa tidak berguna. Hal tersebut dapat menimbulkan perasaan rendah diri, tidak percaya diri, dan merasa tidak mampu untuk melakukan sesuatu.

d. Adanya Perasaan Tidak Dicintai

(35)

dihormati. Perasaan tersebut pada akhirnya dapat membuat individu menjauh dari hubungan persahabatan.

e. Tertutup

Merupakan kondisi ketika individu merasa malas untuk menjalin kedekatan dengan orang lain yang dikarenakan individu cenderung merasa cemas dan takut orang lain akan menyakitinya.

f. Tidak Memiliki Sahabat

Merupakan kondisi ketika individu merasa tidak memiliki seseorang yang akrab untuk diajak saling berbagi.

g. Bosan

Bosan merupakan suatu keadaan ketika subjek merasa jenuh, cenderung memandang situasi dan kondisi sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan dan tidak menarik, serta tidak pernah menerima dan menikmati keadaan yang ada.

h. Gelisah

Gelisah merupakan suatu keadaan ketika individu merasa resah, tidak nyaman, cenderung dilanda kecemasan.

(36)

3. Tipe Kesepian

Weiss (dalam Taylor dkk, 2009) mengelompokkan kesepian menjadi dua tipe, yaitu:

a. Emotional Loneliness

Kesepian emosional terjadi yang dikarenakan seseorang kehilangan sosok yang intim baginya, seperti orang tua atau pasangan kekasih hati.

b. Social Loneliness

Kesepian sosial terjadi ketika seseorang merasa kurang atau tidak adanya hubungan sosial yang memuaskan dengan orang lain. Terdapat kemungkinan bahwa seseorang merasakan satu tipe kesepian tanpa mengalami tipe lainnya.

Young (dalam Peplau, 1988) menyatakan bahwa kesepian terbagi menjadi tiga tipe, yaitu:

a. Transient Loneliness

Merupakan bentuk kesepian yang terjadi secara singkat dan tidak mendalam.

b. Situational Loneliness

(37)

c. Chronic Loneliness

Kesepian ini terjadi ketika seseorang memiliki hubungan sosial yang tidak memuaskan untuk jangka waktu dua tahun atau lebih. Sadler (dalam Latifa 2007) mengungkapkan bahwa kesepian terbagi sebagai berikut:

a. Interpersonal Loneliness

Kesepian interpersonal dapat menimbulkan kesedihan yang mendalam. Kesepian ini terjadi ketika individu merindukan seseorang yang dulu memiliki hubungan intim dengan dirinya. Hal tersebut membuat individu selalu mencari-cari orang baru untuk dicintai. Apabila individu menemukan seseorang yang potensial menjadi pasangan barunya sebelum ia mampu mengatasi kesedihan terdahulu, maka individu akan merasa takut atau menolak.

b. Social Loneliness

Kesepian sosial terjadi ketika individu merasa terpisahkan dari suatu kelompok sosial yang dianggap penting bagi kesejahteraannya dan tidak ada hal yang dapat ia lakukan untuk mengatasi hal tersebut.

c. Culture Shock

(38)

d. Cosmic Loneliness

Kesepian ini juga dikenal sebagai kesepian eksistensial, yaitu perasaan tidak mungkin untuk menjalin suatu hubungan yang sempurna dengan orang lain.

e. Psychological Loneliness

Tipe kesepian ini berasal dari dalam diri individu, baik itu yang berasal dari situasi saat ini ataupun sebagai reaksi dari trauma-trauma masa lalu.

Tipe kesepian yang terdapat dalam penelitian ini, yaitu kesepian sosial (social loneliness).

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesepian

Terdapat beberapa faktor yang turut mempengaruhi kesepian (Brehm dalam Sari, 2010), yaitu:

a. Usia

(39)

harus bertemu orang-orang baru serta membangun kehidupan sosial yang baru.

b. Sosio-Ekonomi

Kesepian lebih lazim dialami oleh orang-orang miskin dibandingkan orang yang cukup kaya. Hubungan yang baik akan lebih mudah dijaga apabila orang memiliki cukup banyak waktu dan uang untuk aktivitas senggang (Taylor dkk, 2009). Hal yang serupa juga ditemukan dari hasil survey yang dilakukan oleh Page dan Cole bahwa anggota keluarga dengan penghasilan rendah lebih mengalami kesepian dibandingkan anggota keluarga dengan penghasilan tinggi.

c. Status Pernikahan

Pinquart (dalam Taylor dkk, 2009) mengungkapkan bahwa orang yang tinggal dengan pasangan cenderung tidak kesepian. Manfaat hidup bersama ini lebih besar bagi orang-orang yang menikah dibandingkan bagi orang yang hidup bersama tanpa ikatan pernikahan. Namun demikian, disebutkan juga bahwa beberapa orang yang menikah juga merasakan kesepian. Hal ini dikarenakan pernikahan mereka tidak memuaskan secara personal atau karena mereka kekurangan teman di luar hubungan pernikahan mereka. d. Gender

(40)

laki-laki lebih sulit menyatakan kesepian secara jelas dibandingkan perempuan. Selain itu, berdasarkan stereotip peran gender, pengekspresian emosi kurang sesuai bagi laki-laki dibandingkan dengan perempuan.

e. Karakteristik Latar Belakang Lain

Rubenstein, Shaver dan Hazan (dalam Peplau, 1988) mengungkapkan bahwa individu dengan latar belakang orang tua bercerai akan lebih berisiko kesepian dibandingkan dengan individu dengan latar belakang orang tua tidak bercerai. Semakin muda usia individu ketika orang tuanya bercerai, maka semakin tinggi tingkat kesepian yang dialami oleh individu tersebut. Hal serupa diungkapkan oleh Taylor, dkk (2009) bahwa anak dari orang tua yang bercerai biasanya lebih cenderung mengalami kesepian saat ia dewasa dibandingkan anak dari keluarga yang harmonis. Menurut Hurlock (1990), hal ini dikarenakan perceraian orang tua dapat berpengaruh buruk terhadap konsep diri anak karena anak akan bertumbuh dengan pengembangan rasa tidak percaya diri, perasaan tidak aman, takut, dan harga diri rendah.

(41)

5. Penyebab Kesepian

Menurut Peplau (1988), terdapat tiga hal yang dapat menyebabkan seseorang mengalami kesepian, yaitu:

a. Faktor Predisposisi

Faktor predisposisi mencakup karakteristik yang dimiliki seseorang, karakteristik situasi, dan budaya.

1) Karakteristik individu

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki perasaan malu, tertutup atau kurang asertif berisiko mengalami kesepian. Kesepian juga lebih umum terjadi pada orang-orang yang memiliki harga diri rendah. Untuk beberapa orang, kurangnya kemampuan sosial juga dikaitkan dengan terjadinya kesepian.

2) Karakteristik situasi

(42)

kemungkinan mengalami kesulitan untuk mendukung satu sama lain.

3) Budaya

Para ahli sosiologi memandang bahwa kesepian merupakan hasil dari faktor budaya dan strukturisasi institusi sosial. Nilai-nilai individualisme, aktualisasi diri, dan persaingan sering dianggap merusak pembentukan relasi sosial yang memuaskan. Selain itu, norma budaya tentang mobilitas geografis, yaitu keyakinan bahwa seseorang harus pindah untuk mengembangkan karir mereka juga dapat mengancam hubungan sosial yang terjalin.

b. Faktor Presipitasi

Timbulnya perasaan kesepian dapat dipicu oleh adanya perubahan dalam hubungan sosial seseorang atau adanya perubahan yang diinginkan seseorang dalam hubungan sosialnya. Selain itu, kesepian paling sering terjadi karena berakhirnya suatu hubungan yang dekat dan penting, misalnya kematian pasangan, perceraian, dan perpindahan. Kesepian juga dapat terjadi dikarenakan adanya penurunan kualitas dalam hubungan sosial.

c. Proses Kognitif

(43)

causal attribution, yaitu bagaimana seseorang menjelaskan kesepian

yang mereka alami. Bagaimana individu mengatribusikan penyebab kesepiannya dapat mempengaruhi kondisi kesepian yang dialami individu tersebut.

Yeagley (dalam Latifa, 2007) mengungkapkan bahwa kesepian dapat disebabkan oleh berbagai faktor sosial, sebagai berikut:

a. Kemandirian dan Ketergantungan Diri

Kemandirian dan ketergantungan pada diri sendiri sering dianggap sebagai sebuah usaha untuk mencapai kemajuan dan sukses. Kerja dalam sebuah tim sudah tergantikan oleh inisiatif individu, sehingga individu merasa tidak lagi perlu untuk berhubungan dan tergantung pada orang lain. Pada akhirnya, hal tersebut dapat menyebabkan kesepian.

b. Kompetisi

Kompetisi telah dimulai sejak taman kanak-kanak dan diterapkan di rumah, tempat kerja, dan di mana saja. Tournier (dalam Latifa, 2007) secara tegas menyatakan hal tersebut membuat manusia tidak lagi membutuhkan teman dan hasilnya adalah perasaan kesepian.

c. Segregasi Kelompok Usia

(44)

sedangkan orang tua meninggalkan rumah dan lebih memilih rumahnya diurus oleh para pembantu serta menyewa pengasuh untuk anak-anaknya. Selain itu, pada kelompok usia dewasa awal mulai memasuki kehidupan karir, perkawinan, dan rumah tangga, sehingga hubungan dengan teman-teman sebayanya pada masa remaja menjadi renggang dan bersamaan dengan itu, keterlibatan dalam kegiatan kelompok di luar rumah akan terus berkurang (Hurlock, 1990).

d. Suburban Sprawl

Merupakan perpencaran karena pengaruh sub-urban. Banyak rumah tangga di dunia, terutama di negara-negara besar terpisah dari keberadaan tetangganya dan tidak lagi ditemukan perbincangan antar tetangga.

e. Hiburan di Rumah

Komputer dan video menawarkan hiburan yang lebih personal dan menggantikan fungsi pertemuan di tempat sosial. f. Kejahatan

(45)

g. Mobilitas

Frekuensi pergerakan individu (mobilitas sosial) yang terlalu cepat juga dapat menyebabkan timbulnya risiko kesepian.

h. Latchkey Children

Perpisahan dari orang tua dalam jangka waktu cukup lama berpotensi menyebabkan kesepian pada anak-anak dan remaja. i. Perceraian

Penolakan dan kesepian meningkat sejalan dengan bertambahnya angka perceraian.

6. Akibat Kesepian

Pada umumnya, kesepian akan menimbulkan berbagai dampak pada individu yang mengalaminya, antara lain:

a. Perasaan kesepian yang dialami dalam jangka waktu lama dapat mengakibatkan berbagai konsekuensi negatif yang dapat mengancam hidup seseorang seperti penggunaan alkohol, obat-obatan terlarang, bunuh diri dan berbagai penyakit fisik (Peplau & Perlman, 1982) b. Kesepian disertai dengan afek-afek negatif, termasuk perasaan

(46)

B. KONSEP DIRI

1. Pengertian Konsep Diri

Brooks (dalam Rakhmat, 2008) mendefinisikan konsep diri dapat sebagai persepsi individu dari segi fisik, sosial, dan psikologis terhadap dirinya sendiri yang diperoleh dari pengalaman dan interaksi dengan orang lain. Agustiani (2006) menyebutkan bahwa konsep diri merupakan gambaran individu tentang dirinya yang terbentuk dari pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi dengan lingkungannya. Fitts (dalam Agustiani, 2006) mengemukakan bahwa konsep diri merupakan aspek penting dalam diri seseorang. Hal ini dikarenakan konsep diri merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Fitts juga menambahkan bahwa konsep diri berpengaruh kuat terhadap tingkah laku seseorang.

Rini (2002), mengungkapkan bahwa secara umum, konsep diri merupakan keyakinan, pandangan, atau penilaian seseorang terhadap dirinya. Hal tersebut menggambarkan apa yang menjadi keyakinan individu mengenai sifat yang ada dalam dirinya. Selain itu, menurut Calhoun dan Accocela (1995), konsep diri merupakan pandangan terhadap diri sendiri yang meliputi pengetahuan tentang diri, pengharapan, dan penilaian diri.

(47)

interaksi dengan lingkungan serta menjadi kerangka acuan dalam berinteraksi dengan lingkungan.

2. Perkembangan Konsep Diri

Hurlock (1990) mengungkapkan bahwa proses pembentukan konsep diri telah dimulai sejak masa kecil. Konsep diri tidak langsung muncul ketika individu lahir, namun konsep diri terbentuk melalui pengalaman individu dalam berinteraksi dengan orang lain, yaitu keluarga, teman sebaya, dan masyarakat. Selama periode awal kehidupan, perkembangan konsep diri individu didasari oleh persepsi tentang dirinya sendiri. Seiring dengan bertambahnya usia individu, persepsi tentang dirinya sendiri mulai dipengaruhi oleh nilai-nilai yang diperoleh dari hasil interaksi dengan orang lain (Taylor dalam Agustiani, 2006).

(48)

pengertian antara orang tua dan anak, orang tua yang bercerai, orang tua yang menikah lagi, kurangnya penerimaan orang tua terhadap anak dapat menyebabkan konsep diri yang rendah pada anak. Selain itu, Hurlock (1990) menyebutkan bahwa kematian, perceraian, perpisahan atau mobilitas sosial akan berpengaruh buruk terhadap konsep diri anak karena ia merasa tidak aman dan merasa berbeda dari teman-teman sebayanya. Demikian pula sebaliknya, jika orang tua dan lingkungan memberikan sikap atau respon yang baik dan positif, maka anak akan merasa dirinya berharga, sehingga akan membuat anak cenderung mengembangkan konsep diri positif (Sriyanti, 2009).

(49)

perubahan-perubahan yang terjadi mempengaruhi hampir semua aspek kehidupan remaja, konsep diri juga terus mengalami perubahan dalam periode ini. Namun, dari penyelesaian masalah dan konflik pada masa remaja inilah lahir konsep diri orang dewasa. Nilai-nilai dan sikap-sikap yang merupakan bagian dari konsep diri pada akhir masa remaja cenderung menetap. Pada usia dewasa, biasanya konsep diri mulai semakin sulit untuk diubah.

3. Karakteristik Konsep Diri Positif dan Negatif

Konsep diri terbagi menjadi dua dalam perkembangannya, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif:

a. Konsep Diri Positif

Hamachek (dalam Rakhmat, 2008) mengungkapkan beberapa karakteristik individu yang memiliki konsep diri positif, antara lain sebagai berikut:

1) Memiliki prinsip dan nilai yang dipegang teguh. Meskipun demikian, jika informasi baru yang muncul lebih relevan dengan dirinya, mereka mampu mengubah nilai dan prinsip lama dengan terbuka.

(50)

3) Tidak memiliki kecemasan dalam menanggapi hal yang terjadi di masa lalu, masa depan, maupun masa sekarang.

4) Memiliki keyakinan pada kemampuannya untuk mengatasi persoalan, bahkan ketika menghadapi kegagalan.

5) Merasa setara dengan orang lain, tidak merasa tinggi atau rendah, walaupun terdapat perbedaan dalam kemampuan tertentu, latar belakang keluarga, atau sikap orang lain terhadapnya.

6) Mampu menerima dan menghargai diri apa adanya. 7) Dapat menerima pujian tanpa berpura-pura rendah hati.

8) Mampu menolak orang lain yang cenderung mendominasinya. 9) Terbuka terhadap perasaan sendiri dan orang lain serta berani

untuk mengungkapkan emosi dan hasrat kepada orang lain. 10) Mampu menikmati dirinya secara utuh dalam berbagai kegiatan

dan pekerjaan yang dilakukan.

11) Peka terhadap kebutuhan dan situasi orang lain.

Calhoun dan Accocela (1995) juga mengungkap beberapa ciri individu dengan konsep diri positif, antara lain:

1) Mampu menerima diri apa adanya.

2) Mampu mengakui kekurangan dalam diri.

3) Mampu menerima kelebihan dan kekurangan orang lain. 4) Memiliki kehendak bebas.

(51)

6) Memperlakukan orang lain dengan hormat dan hangat. b. Konsep Diri Negatif

Brooks dan Emmert (dalam Rakhmat, 2008) menjabarkan karakteristik individu yang memiliki konsep diri negatif, yaitu: 1) Peka terhadap kritikan

Individu dengan konsep diri negatif memiliki kemampuan yang kurang untuk menerima kritik dari orang lain sebagai proses refleksi diri, sehingga mereka cenderung mudah tersinggung apabila sikap dan pemikirannya dikritik oleh orang lain. Bagi mereka, kritik seringkali dipersepsi sebagai usaha untuk menjatuhkan harga diri mereka. Oleh karena itu, individu dengan konsep diri negatif cenderung menghindari komunikasi terbuka dengan orang lain dan berusaha mempertahankan pendapat mereka dengan berbagai justifiakasi yang keliru. 2) Responsif terhadap pujian

(52)

3) Hiperkritis

Individu dengan konsep diri negatif sering menunjukkan sikap bermusuhan dalam bentuk perilaku mencela, mengeluh, dan meremehkan orang lain. Selain itu, mereka kurang mampu untuk menghargai dan mengakui kelebihan orang lain.

4) Merasa tidak disenangi orang lain

Individu dengan konsep diri negatif memiliki tingkat kecemasan yang tinggi. Mereka cenderung merasa tidak diperhatikan dan memiliki perasaan bahwa setiap orang lain di sekitarnya memandang dirinya secara negatif. Oleh karena itu, mereka cenderung bereaksi pada orang lain sebagai musuh, sehingga tidak dapat melahirkan kehangatan dan keakraban persahabatan.

5) Bersikap pesimis terhadap kompetisi

(53)

inisiatif untuk menjalin relasi dengan orang lain, mampu menerima kelebihan dan kekurangan orang lain, mampu memperlakukan orang lain dengan hormat dan hangat, serta mampu terbuka terhadap perasaan diri sendiri dan mengungkapkannya secara jelas pada orang lain.

Sedangkan, karakteristik seseorang yang memiliki konsep diri negatif, antara lain memiliki pandangan atau penilaian diri negatif, tidak mampu memahami dan menerima diri apa adanya, sulit mengakui kekurangan yang dimiliki, serta mengembangkan perasaan tidak mampu dan rendah diri. Hal ini membuat individu tersebut cenderung memiliki sikap ragu-ragu dalam menjalin relasi dengan orang lain, menutup diri, menunjukkan sikap bermusuhan pada orang lain karena mereka merasa orang-orang di sekitarnya memandang dirinya secara negatif, serta sulit untuk mengungkapkan perasaannya secara jelas pada orang lain.

4. Aspek-Aspek Konsep Diri

Fitts (dalam Agustiani, 2006) mengungkapkan bahwa terdapat lima aspek dalam konsep diri seseorang, antara lain:

a. Diri Fisik

(54)

b. Diri Moral Etik

Aspek ini meliputi persepsi seseorang terhadap dirinya dilihat dari standar pertimbangan nilai moral dan etika. Hal ini menyangkut persepsi seseorang mengenai hubungannya dengan Tuhan, kepuasan seseorang akan kehidupan keagamaannya dan nilai-nilai moral yang dipegangnya, yang meliputi baik dan buruk.

c. Diri Pribadi

Aspek diri pribadi merupakan perasaan atau persepsi seseorang terhadap keadaan pribadinya. Hal ini dipengaruhi oleh sejauh mana individu merasa puas terhadap pribadi dirinya atau sejauh mana individu merasa dirinya sebagai pribadi yang tepat.

d. Diri Keluarga

Aspek ini meliputi perasaan dan harga diri seseorang dalam kedudukannya sebagai anggota keluarga. Aspek ini menunjukkan seberapa jauh seseorang merasa adekuat terhadap dirinya sebagai anggota keluarga, serta terhadap peran maupun fungsi yang dijalankannya sebagai anggota suatu keluarga.

e. Diri Sosial

Aspek ini meliputi penilaian individu terhadap interaksi dirinya dengan orang lain maupun lingkungan di sekitarnya.

(55)

C. PEREMPUAN DEWASA AWAL

1. Pengertian Perempuan Dewasa Awal

Istilah adult berasal dari kata kerja adultus yang berarti “telah tumbuh menjadi kekuatan dan ukuran yang sempurna” atau “telah

menjadi dewasa.” Oleh karena itu, orang dewasa adalah individu yang

telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya. Masa dewasa awal dimulai pada umur 18 tahun sampai umur 40 tahun, saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang disertai berkurangnya kemampuan reproduktif (Hurlock, 1990).

Dariyo (2003) mengungkapkan bahwa dewasa muda (young adulthood) adalah individu yang berusia 20-40 tahun. Individu dewasa

muda memiliki peran dan tanggung jawab yang semakin besar dan tidak lagi bergantung secara ekonomis, sosiologis maupun psikologis pada orang tuanya. Arnett (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009) menyebutkan bahwa masa dewasa awal berkisar antara usia 20-40 tahun dan diawali dengan masa transisi dari masa remaja menuju masa dewasa yang melibatkan eksperimentasi dan eksplorasi yang disebut sebagai emerging adulthood.

(56)

pekerjaan. Sedangkan, kemandirian dalam membuat keputusan, yaitu menentukan keputusan mengenai karir di masa depan, nilai-nilai yang dianut, keluarga, hubungan yang akan dijalani, dan gaya hidup yang dianut.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perempuan dewasa awal adalah perempuan yang berada pada rentang usia 20-40 tahun, yang disertai terjadinya perubahan-perubahan fisik, psikologis dan berkurangnya kemampuan reproduktif, serta memiliki kemandirian dari segi ekonomis, sosiologis maupun psikologis.

2. Ciri-Ciri Masa Dewasa Awal

Hurlock (1990) menguraikan ciri-ciri yang menonjol dalam masa dewasa awal, yaitu sebagai berikut:

a. Masa Dewasa Dini sebagai Masa Pengaturan

Masa dewasa awal merupakan masa pengaturan. Pada masa ini, individu menerima tanggung jawab sebagai orang dewasa. Hal ini berarti seorang laki-laki mulai membentuk bidang pekerjaan yang akan ditangani sebagai karirnya dan perempuan diharapkan mulai menerima tanggung jawab sebagai ibu dan pengurus rumah tangga. b. Masa Dewasa Dini sebagai Masa Reproduktif

(57)

puluhan. Bagi individu yang cepat mempunyai anak dan keluarga pada awal masa dewasa atau bahkan pada tahun-tahun terakhir masa remaja, kemungkinan seluruh masa dewasa awal merupakan masa reproduksi.

c. Masa Dewasa Dini sebagai Masa Bermasalah

Dalam tahun-tahun awal masa dewasa banyak masalah baru yang harus dihadapi seseorang. Masalah-masalah baru ini dari segi utamanya berbeda dari masalah-masalah yang sudah dialami sebelumnya. Dari awal masa dewasa, rata-rata orang Amerika zaman sekarang disibukkan dengan masalah-masalah yang berhubungan dengan penyesuaian diri dalam berbagai aspek utama kehidupan. Ada banyak alasan mengapa penyesuaian diri terhadap masalah-masalah pada masa dewasa begitu sulit, tiga di antaranya bersifat umum. Pertama, sedikit sekali orang muda yang mempunyai persiapan untuk menghadapi jenis-jenis masalah yang perlu diatasi sebagai orang dewasa. Kedua, mencoba menyesuaikan diri pada dua peran secara bersamaan tidak akan memberikan hasil yang baik dalam upaya penyesuaian diri. Ketiga, individu dewasa awal tidak memperoleh bantuan dalam menghadapi dan memecahkan masalah mereka, tidak seperti saat mereka dianggap belum dewasa.

d. Masa Dewasa Dini sebagai Masa Ketegangan Emosional

(58)

mereka dengan cukup baik, sehingga menjadi stabil dan tenang secara emosional. Apabila emosi menggelora yang merupakan ciri tahun-tahun awal kedewasaan masih tetap kuat pada usia tiga puluhan, maka hal ini merupakan tanda bahwa penyesuaian diri pada kehidupan orang-orang dewasa belum terlaksana secara memuaskan. e. Masa Dewasa Dini sebagai Masa Keterasingan Sosial

Dengan berakhirnya pendidikan formal dan terjunnya seseorang ke dalam pola kehidupan orang dewasa, yaitu karir, perkawinan dan rumah tangga, hubungan dengan teman-teman kelompok sebaya masa remaja menjadi renggang, dan bersamaan dengan itu keterlibatan dalam kegiatan kelompok di luar rumah akan terus berkurang. Sebagai akibatnya, untuk pertama kalinya kelompok dewasa awal akan mengalami keterpencilan sosial atau yang disebut Erikson sebagai “krisis keterasingan”. Apakah kesepian yang berasal

dari keterasingan ini hanya bersifat sebentar atau tetap, tergantung pada cepat lambatnya orang muda itu berhasil membina hubungan sosial baru.

f. Masa Dewasa Dini sebagai Masa Komitmen

(59)

jawab dan komitmen-komitmen baru ini mungkin akan berubah juga, pola-pola ini menjadi landasan yang akan membentuk pola hidup, tanggung jawab dan komitmen-komitmen di kemudian hari.

g. Masa Dewasa Dini sering merupakan Masa Ketergantungan

Banyak individu dewasa awal yang masih tergantung atau bahkan sangat tergantung pada orang lain selama jangka waktu yang berbeda-beda. Ketergantungan ini biasanya pada orang tua, atau pihak-pihak yang membantu membiayai pendidikan mereka.

h. Masa Dewasa Dini sebagai Masa Perubahan Nilai

(60)

konservatif dan tradisional. Biasanya, nilai-nilai orang muda ini bergeser dari egosentris ke sosial.

i. Masa Dewasa Dini sebagai Masa Penyesuaian Diri dengan Cara Hidup Baru.

Masa dewasa dini merupakan periode yang paling banyak mengalami perubahan. Dalam masa ini, gaya hidup baru yang paling menonjol, yaitu di bidang perkawinan dan peran orang tua.

j. Masa Dewasa Dini sebagai Masa Kreatif

Saat menjadi dewasa, individu tidak terikat lagi oleh ketentuan dan aturan orang tua maupun guru-gurunya. Bentuk kreativitas individu dewasa tergantung pada minat dan kemampuan individual, kesempatan untuk mewujudkan keinginan dan kegiatan-kegiatan yang memberikan kepuasan besar. Terdapat individu yang menyalurkan kreativitasnya melalui hobi. Selain itu, terdapat juga individu yang menyalurkannya melalui pekerjaan yang memungkinkan ekspresi kreativitasnya.

3. Tugas Perkembangan Dewasa Awal

Hurlock (1990) membagi tugas perkembangan pada masa dewasa awal, sebagai berikut:

(61)

d. Membesarkan anak-anak e. Mengelola rumah tangga

f. Menerima tanggung jawab sebagai warga negara g. Bergabung dalam suatu kelompok sosial yang sesuai

Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa tugas terpenting pada masa dewasa awal adalah mampu membentuk hubungan yang dekat dengan orang lain dapat disimpulkan bahwa pada masa dewasa awal berisiko mengalami kesepian. Hal tersebut sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Erikson bahwa tahap perkembangan psikososial yang dialami pada masa dewasa awal, yaitu intimacy vs isolation. Pada saat individu dewasa awal berhasil membentuk hubungan yang dekat dengan orang lain, maka intimacy akan tercapai. Namun, apabila terjadi kegagalan dalam membentuk intimacy, maka akan menghasilkan isolation(Santrock, 2002).

D. PERCERAIAN

1. Pengertian Perceraian

(62)

berlanjut setelahnya serta berpotensial menjadi pengalaman yang penuh stres.

Lebih lanjut, Amato, Olson, & DeFrain (dalam Dariyo, 2004) mengungkapkan bahwa perceraian adalah suatu peristiwa perpisahan secara resmi antara pasangan suami-istri dan mereka berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban mereka lagi sebagai suami-istri. Mereka tidak lagi hidup serumah karena tidak ada ikatan resmi.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perceraian merupakan suatu peristiwa perpisahan secara resmi antara suami dan istri yang terjadi ketika pasangan suami dan istri sudah tidak mampu mencari penyelesaian masalah yang memuaskan kedua belah pihak, dan dengan demikian mereka juga berhenti menjalankan tugas dan kewajiban mereka sebagai suami-istri.

2. Dampak Perceraian

(63)

Perceraian orang tua dapat mengakibatkan penurunan subjective well-beingpada anak. Individu dengansubjective well-beingyang rendah ditandai dengan munculnya afek-afek negatif, seperti perasaan kecewa, kurangnya rasa percaya diri, malu, dan bahkan perasaan benci. Afek-afek negatif tersebut nantinya dapat menghambat interaksi sosial individu dengan orang-orang di sekitarnya (Dewi dan Utami, 2008). Sebagian besar peneliti sepakat bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga bercerai akan memperlihatkan penyesuaian diri yang lebih buruk nantinya dibandingkan anak-anak yang berasal dari keluarga utuh (Amato & Dorius; Hetherington; Wallerstein dalam Santrock, 2011).

(64)

E. DINAMIKA HUBUNGAN KONSEP DIRI DAN KESEPIAN PADA PEREMPUAN DEWASA AWAL DENGAN LATAR BELAKANG ORANG TUA BERCERAI

Kesepian merupakan suatu keadaan emosi dan kognitif yang tidak bahagia, tidak nyaman, dan tidak menyenangkan sebagai akibat dari harapan untuk terlibat dalam hubungan sosial yang akrab dan bermakna dengan orang lain tidak tercapai.

Kesepian dapat dialami semua orang, tidak memandang tingkatan usia, status sosial, dan jenis kelamin. Meskipun demikian, kelompok-kelompok tertentu memiliki risiko lebih besar mengalaminya, salah satunya kelompok dewasa awal yang mengalami masa transisi sosial. Transisi sosial tersebut dapat membentuk perasaan kesepian karena individu meninggalkan dunia tempat tinggal dan keluarga yang dikenal dan harus bertemu orang-orang baru serta membangun kehidupan sosial yang baru. Selain itu, Erikson mengungkapkan bahwa tahap perkembangan psikososial dewasa awal, yaitu intimacy vs isolation sebagai salah satu tugas yang penting dalam masa ini. Pada saat individu dewasa awal berhasil membentuk hubungan yang dekat dengan orang lain, maka intimacy akan tercapai. Namun, apabila terjadi kegagalan dalam membentuk intimacy, maka akan menghasilkan isolation (Santrock, 2002).

(65)

yang tidak bercerai. Perceraian orang tua dapat meningkatkan potensi anak-anak mengalami kesepian ketika anak-anak-anak-anak tersebut dewasa. Hal ini dikarenakan perceraian yang terjadi akan membawa dampak psikologis yang negatif, yaitu kurangnya rasa percaya diri, adanya perasaan tidak aman, takut dan cemas serta terbentuknya harga diri yang rendah. Perasaan-perasaan tersebut merupakan karakteristik dari konsep diri negatif.

(66)

hormat dan hangat serta lebih mampu mengungkapkan perasaannya secara jelas pada orang lain. Akan tetapi, penilaian individu yang negatif tentang keadaan dirinya akan cenderung ragu-ragu untuk menjalin relasi dengan orang lain. Hal ini dikarenakan individu tersebut mengembangkan perasaan tidak mampu dan rendah diri. Hal tersebut juga membuat individu cenderung untuk menutup diri dan menunjukkan sikap bermusuhan pada orang-orang di sekitarnya. Selain itu, individu tersebut juga mengalami kesulitan dalam mengungkapkan perasaannya secara jelas pada orang lain.

(67)

F. HIPOTESIS PENELITIAN

(68)
(69)

50

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif korelasional, yaitu penelitian yang melihat hubungan antara dua variabel atau lebih, yakni sejauh mana variasi dalam satu variabel berhubungan dengan variasi dalam variabel lain yang dinyatakan dalam koefisien korelasi (Noor, 2011). Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara konsep diri dan kesepian pada perempuan dewasa awal dengan latar belakang orang tua bercerai.

B. VARIABEL PENELITIAN

Variabel dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel, yaitu: 1. Variabel bebas : Konsep Diri

2. Variabel terikat : Kesepian

C. DEFINISI OPERASIONAL

Definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Konsep Diri

(70)

acuan dalam berinteraksi dengan lingkungan. Konsep diri dalam penelitian ini akan diukur dengan menggunakan skala konsep diri berdasarkan lima aspek yang dikemukakan oleh Fitts, yaitu aspek diri fisik, diri pribadi, diri keluarga, diri moral etik, dan diri sosial. Tinggi rendahnya konsep diri diungkap dari skor skala konsep diri. Semakin tinggi skor skala konsep diri yang diperoleh, maka menunjukkan semakin positif konsep diri yang dimiliki. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah skor skala konsep diri yang diperoleh, maka menunjukkan semakin negatif konsep diri yang dimiliki.

2. Kesepian

(71)

kesepian yang diperoleh, maka menunjukkan semakin rendah tingkat kesepian yang dialami.

D. SUBJEK PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampel dengan cara snowball sampling, yang merupakan salah satu teknik non-probability

sampling, yaitu teknik penentuan sampel yang mula-mula jumlahnya kecil,

kemudian membesar (Sugiyono, 2013). Penelitian ini akan melibatkan subjek dengan karakteristik sebagai berikut:

1. Dewasa awal, dengan rentang usia 20-40 tahun, karena kesepian paling berisiko terjadi pada kelompok dewasa awal.

2. Berjenis kelamin perempuan, karena perempuan cenderung lebih jelas dalam mengekspresikan emosinya.

3. Memiliki latar belakang orang tua bercerai, karena perceraian orang tua dapat meningkatkan potensi seseorang mengalami kesepian.

4. Belum menikah, karena individu yang belum menikah cenderung lebih berisiko mengalami kesepian dibandingkan individu yang telah memiliki ikatan pernikahan.

E. METODE DAN ALAT PENGUMPULAN DATA

(72)

metode pengukuran sikap yang meminta subjek untuk mengindikasikan tingkat kesetujuan atau ketidaksetujuan mereka terhadap masing-masing pernyataan (Noor, 2011). Adapun kedua skala tersebut antara lain:

1. Skala Konsep Diri

Penyusunan skala konsep diri didasarkan pada lima aspek konsep diri yang dikemukakan oleh Fitts, yaitu diri fisik, diri pribadi, diri keluarga, diri moral etik, dan diri sosial. Skala konsep diri ini terdiri dari empat alternatif jawaban, yaitu “Sangat Setuju (SS)”, “Setuju (S)”,

“Tidak Setuju (TS)”, dan “Sangat Tidak Setuju (STS)”. Nilai skor

bergerak dari angka 1 sampai dengan angka 4, dengan tidak adanya respon netral. Hal tersebut dimaksudkan dengan tujuan untuk menghindari kecenderungan subjek memilih jawaban tengah dan agar subjek lebih tegas dalam memilih jawaban (Hadi, 2004).

(73)

Tabel 1. Pemberian Skor Skala Konsep Diri dari 10 item aspek diri fisik, 10 item diri pribadi, 10 item diri keluarga, 10 item diri moral etik, dan 10 item diri sosial.

Tabel 2. Blue Print dan Distribusi Item Skala Konsep Diri (Sebelum Uji Coba)

Moral Etik Favorabel 7,14,25,37,44 5 20%

Unfavorabel 4,12,16,32,49 5

Sosial Favorabel 11,19,26,38,40 5 20%

Unfavorabel 6,24,29,36,43 5

(74)

2. Skala Kesepian

Penyusunan skala kesepian didasarkan pada tujuh aspek kesepian yang dikemukakan oleh Bruno, yaitu isolasi, merasa disalah mengerti, adanya perasaan tidak dicintai, tertutup, tidak memiliki sahabat, bosan, dan gelisah. Skala kesepian ini terdiri dari empat alternatif jawaban, yaitu “Sangat Setuju (SS)”, “Setuju (S)”, “Tidak Setuju (TS)”, dan

“Sangat Tidak Setuju (STS)”. Nilai skor bergerak dari angka 1 sampai

dengan angka 4, dengan tidak adanya respon netral. Hal tersebut dimaksudkan dengan tujuan untuk menghindari kecenderungan subjek memilih jawaban tengah dan agar subjek lebih tegas dalam memilih jawaban (Hadi, 2004).

(75)

Tabel 3. Pemberian Skor Skala Kesepian

Pada skala kesepian ini, peneliti membuat 56 item yang terdiri dari 8 item aspek isolasi, 8 item aspek perasaan salah dimengerti, 8 item aspek perasaan tidak dicintai, 8 item aspek tertutup, 8 item aspek tidak memiliki sahabat, 8 item aspek bosan dan 8 item aspek gelisah.

(76)

Bosan Favorabel 4,28,38,54 4 14,28% Unfavorabel 12,19,32,49 4

Gelisah Favorabel 5,17,29,43 4 14,28%

Unfavorabel 11,24,40,56 4

Jumlah 56 100%

F. VALIDITAS, SELEKSI ITEM, DAN RELIABILITAS

1. Validitas

Menurut Azwar (1992), validitas mempunyai arti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu alat ukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan tujuan ukurnya. Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi (content validity). Validitas isi merupakan validitas yang diestimasi melalui

pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional atau berdasarkan professional judgment untuk melihat apakah item dalam mencakup keseluruhan kawasan isi objek yang hendak diukur. Pada penelitian ini, peneliti mengkonsultasikan item-item yang dibuat kepada Dosen Pembimbing.

2. Seleksi Item

(77)

dibuat mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki dan yang tidak memiliki atribut yang diukur. Pengujian daya diskriminasi item ini dilakukan dengan cara menghitung koefisien korelasi antara distribusi skor item dengan distribusi skor total itu sendiri dan menghasilkan koefisien korelasi item-total (r ).

Menurut Azwar (2012), kriteria pemilihan item berdasar korelasi item total biasanya menggunakan batasanr 0,30. Semua item yang mencapai koefisien korelasi minimal 0,30 daya bedanya dianggap memuaskan. Sedangkan, item yang memiliki koefisien korelasi kurang dari 0,30 dapat diinterpretasikan sebagai item yang memiliki daya beda rendah. Namun, apabila jumlah item yang lolos ternyata masih tidak mencukupi jumlah yang diinginkan, dapat dipertimbangkan untuk menurunkan batas kriteria menjadi 0,25 sehingga jumlah item yang diinginkan dapat tercapai.

(78)

Tabel 5. Blue Print dan Distribusi Item Skala Konsep Diri (Setelah Uji Coba)

Aspek Item Jumlah Item

Baik

Fisik Favorabel 1*,8*,23,34,47* 2

Unfavorabel 10,21,30,41*,45 4

Pribadi Favorabel 13,18,27,31,46 5

Unfavorabel 3*,15*,20,35*,50 2

Keluarga Favorabel 2,17,22*,42,48 4

Unfavorabel 5,9,28,33,39 5

Moral Etik

Favorabel 7*,14,25,37,44 4

Unfavorabel 4,12,16,32,49 5

Sosial

Favorabel 11,19,26,38,40 5

Unfavorabel 6,24,29*,36,43 4

Jumlah 40

Keterangan : *) Item Gugur

(79)

Tabel 6. Blue Print dan Distribusi Item Skala Kesepian (Setelah Uji

(80)

kali pengukuran. Bila perbedaan itu sangat besar dari waktu ke waktu, maka hasil pengukuran tidak dapat dipercaya dan dikatakan sebagai tidak reliabel. Estimasi terhadap reliabilitas hasil pengukuran ini dilakukan dengan cara menghitung koefisien Alpha-Cronbach dari program SPSS for windows versi 16.0. Pada umumnya, reliabilitas dianggap telah memuaskan bila koefisiennya mencapai minimal 0,90. Akan tetapi, koefisien reliabilitas yang mendekati angka tersebut sudah dapat dikatakan cukup memuaskan (Azwar, 2012).

Koefisien reliabilitas yang diperoleh dari skala konsep diri adalah sebesar 0,935 dari 50 item. Setelah dilakukan seleksi item, koefisien reliabilitas skala konsep diri menjadi 0,937 dari 40 item. Sedangkan, koefisien reliabilitas yang diperoleh dari skala kesepian adalah sebesar 0,969 dari 56 item. Setelah dilakukan seleksi item, koefisien reliabilitas skala kesepian menjadi 0,971 dari 50 item. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kedua skala tersebut reliabel.

G. ANALISIS DATA

1. Uji Asumsi

a. Uji Normalitas

(81)

asumsi normalitas sebaran. Uji normalitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kolmogorov-Smirnov Z Test dengan program SPSS for windows versi 16.0. Distribusi data penelitian dikatakan normal jika nilai signifikansinya lebih besar dari 0,05 (p > 0,05). Sebaliknya, distribusi data penelitian dikatakan tidak normal jika nilai signifikansinya lebih kecil dari 0,05 (p < 0,05).

b. Uji Linearitas

Menurut Santoso (2010) uji linearitas adalah uji yang dilakukan untuk mengetahui apakah hubungan antar variabel yang akan dianalisis mengikuti garis lurus atau tidak. Jadi, peningkatan atau penurunan kuantitas di satu variabel, akan diikuti secara linear oleh peningkatan atau penurunan kuantitas di variabel lainnya. Uji linearitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah Test for Linearity program SPSS for windows versi 16.0. Dua variabel dikatakan bersifat linear jika nilai signifikansi kurang dari 0,05 (p < 0,05). Sebaliknya, dua variabel dikatakan bersifat tidak linear jika nilai signifikansi lebih dari 0,05 (p > 0,05).

2. Uji Hipotesis

(82)

H. PELAKSANAAN UJI COBA

(83)

64

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. PELAKSANAAN PENELITIAN

Gambar

Tabel 2. Blue Print dan Distribusi Item Skala Konsep Diri (Sebelum Uji
Tabel 4. Blue Print dan Distribusi Item Skala Kesepian (Sebelum Uji
Tabel 5. Blue Print dan Distribusi Item Skala Konsep Diri (Setelah Uji
Tabel 6. Blue Print dan Distribusi Item Skala Kesepian (Setelah Uji
+6

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara pengungkapan diri terhadap pasangan dengan kesepian pada individu yang menikah dengan nilai korelasi (rxy)

Senam “X” Kota Bandung memiliki konsep diri negatif. 2) Sebagian besar wanita dewasa awal yang mengalami kegemukan dengan konsep diri negatif memiliki penilaian negatif

analisis data menunjukkan hipotesis yang diajukan diterima, yakni adanya hubungan positif antara konsep diri dengan perilaku prososial pada karyawan cleaning service , yang

Dengan demikian dapat disimpulakan bahwa terdapat hubungan yang negatif yang sangat signifikan antara konsep diri dengan kecemasan dalam memilih pasangan hidup pada wanita

Kesimpulan dari penelitian ini adalah (1) perempuan dewasa awal dengan orang tua bercerai cenderung memiliki pemahaman dan penilaian positif terhadap relasi intim

Maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis pertama (H₁) dari penelitian diterima yaitu ada hubungan signifikan antara kesepian dan kontrol diri dengan adiksi online

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan  bahwa  hipotesis  penelitian  ini diterima yaitu terdapat hubungan antara welas asih  diri  dan 

Kata Kunci : Kesepian, Kecanduan Internet, Dewasa Awal. Individu dalam tahapan dewasa awal memiliki tugas perkembangan yang salah satunya adalah untuk membentuk hubungan intim