• Tidak ada hasil yang ditemukan

20041000 Book Keadilan transisional Ruti G Teitel

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "20041000 Book Keadilan transisional Ruti G Teitel"

Copied!
363
0
0

Teks penuh

(1)

Keadilan Transisional

Sebuah Tinjauan Komprehensif

Ruti G. Teitel

(2)

Keadilan Transisional, Sebuah Tinjauan Analitis-Komprehensif oleh Ruti G. Teitel

(Diterjemahkan dari Transitional Justice, Oxford dan New York: Oxford University Press, 2000).

Penerjemah

Tim Penerjemah Elsam

Editor I/Penyelaras Terjemahan Eddie Riyadi Terre

Editor II/Penyelaras Bahasa Erasmus Cahyadi T.

Desain Sampul:

Layout:

Cetakan Pertama, Oktober 2004

Hak terjemahan dalam bahasa Indonesia ada pada ELSAM

Semua penerbitan ELSAM didedikasikan kepada para korban pelanggaran hak asasi manusia, selain sebagai bagian dari usaha pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia.

This publication has been produced with the assitance of the European Union. The contents of this publication is the sole responsibility of ELSAM and can in no way be taken to reflect the views of the European Union.

Penerbit

ELSAM – Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat

Jln. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510 Tlp.: (021) 797 2662; 7919 2519; 7919 2564; Facs.: (021) 7919 2519

(3)

Prakata Seri

Setelah lebih dari 32 tahun hidup di bawah kekuasaan pemerintahan yang otoriter dengan dukungan ideologi militerisme yang menindas, dan kembali memasuki era keterbukaan, reformasi dan demokrasi, bangsa Indonesia sepertinya tidak peduli dengan apa yang terjadi pada masa lalu. Bahkan perbincangan sistematis tentang upaya-upaya penyelesaian hukum dan politis belum menjadi agenda utama banyak kalangan, baik DPR maupun pemerintah. Kalaupun ada, orang cenderung bersikap pragmatis dan seadanya, sehingga mengabaikan prosedur dan sasaran yang sesungguhnya. Kita pun belum memiliki perangkat yang memadai untuk menangani berbagai dampak traumatik dari akibat pelanggaran HAM masa lalu. Sementara di sisi lain, dampak traumatik tersebut semakin kelihatan seperti dalam munculnya aksi-aksi kekerasan masyarakat, resistensi ataupun ketidakpatuhan (social disobedience), atau bahkan melalui keinginan dan upaya untuk melepaskan diri dari negara RI

Salah satu masalah penting yang dihadapi bangsa Indonesia sekarang ini adalah bagaimana menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu secara tepat dan memenuhi rasa keadilan masyarakat. Bahasan mengenai penyelesaian pelanggaran berat HAM yang terjadi di masa lalu seyogianya berada di dalam bingkai wacana “transitional justice” karena momentum awal wacana penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu tersebut adalah pergantian rezim dari rezim Orde Baru yang otoriter menuju rezim baru yang lebih demokratis. Lalu, apa sebenarnya

transitional justice? Pertanyaan ini penting karena wacana transitional justice lebih luas daripada “sekadar” penyelesaian kasus demi kasus pelanggaran hak asasi manusia. Landasan moralnya adalah pembentukan pemerintahan dan masyarakat yang menghormati martabat dan hak asasi manusia melalui langkah-langkah demokratis, tanpa kekerasan, dan mengacu ke tertib hukum, sehingga menjamin peristiwa serupa tidak akan terulang di masa depan.

Persoalannya adalah, apa dan bagaimana sikap kita terhadap tindakan pelanggaran HAM masa lalu tersebut? Apakah dengan menghukum atau memaafkan? Apakah yang harus dibuat untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut? Bagaimana dampaknya bila tidak terselesaikan? Bagaimana nasib para korban? Dan bagaimana kita dapat menjamin untuk menghindari terjadinya kekerasan atau pelanggaran HAM yang sama pada masa depan?

Banyaknya pertanyaan yang harus kita jawab bersama itulah yang menggugah kami, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menerbitkan buku seri transitional justice

ini. Selama ini, debat wacana tentang masalah keadilan pada masa transisi selalu mengacu pada literatur negara lain yang nota bene terbatas penggunaannya sebagai bahan komparasi semata. Perkembangan literatur dan bahan bacaan tentang transitional justice dengan konteks Indonesia untuk keperluan konsumsi umum memang masih sangat terbatas. Untuk itulah, seri ini hadir. Untuk mengisi ruang kosong dalam wacana kajian umum tentang “bagaimana kita sebaiknya menyikapi masa lalu” yang selama ini seolah-olah terpinggirkan.

Kiranya perlu dicatat bahwa berbagai tawaran dalam seri kali ini bukanlah dimaksudkan sebagai semacam pedoman penyelesaian pelanggaran berat HAM di masa lalu. Seri ini diterbitkan dengan maksud untuk mengajak kita semua menyadari bahwa ada persoalan mendasar dan mendesak yang harus kita benahi dalam praktek bernegara dan bermasyarakat di Indonesia.

(4)
(5)

Pengantar

Proyek pembuatan buku ini diinspirasikan oleh gelombang pasang liberalisasi pada penghujung abad kedua-puluh. Pada awal 1980-an, sebuah perdebatan mengemuka berkenaan dengan implikasi “keadilan transisional” terhadap prospek liberalisasi negara-negara. Pertanyaan soal “penghukuman atau impunitas”, apakah ada kewajiban untuk menghukum dalam transisi demokratik, merupakan subjek dari sebuah pertemuan tentang pengambilan kebijakan yang diselenggarakan pada tahun 1990 di Dewan Hubungan Internasional di New York; dalam forum itulah saya diundang dan didaulat untuk menyiapkan tulisan yang bermuatan soal dasar dan latar belakang dilangsungkannya diskusi seperti itu.1 Pada waktu itu, saya menyimpulkan bahwa, bertentangan dengan argumen moral soal penghukuman dalam alternatif-alternatif yang abstrak, alternatif yang beragam untuk menghukum bisa mengungkapkan pesan normatif dari transformasi politik dan aturan hukum, dengan tujuan melanggengkan demokrasi.

Dengan bubarnya Uni Soviet dan runtuhnya Tembok Berlin, pertanyaan soal keadilan transisional mendapatkan nilai urgensitasnya yang lebih tinggi lagi. Beberapa dari kami yang telah ikut serta dalam perdebatan tentang transisi di negara-negara Amerika Latin berpartisipasi dalam perdebatan yang dilangsungkan di Eropa Timur dan Eropa Tengah. Di sana, perdebatan tentang penghukuman meluas hingga mencakupi implikasi dari aksi-aksi penyapuan dekomunisasi yang seolah mewabah di rentangan wilayah tersebut. Pada tahun 1992, saya menerima bantuan dana dari Institut Perdamaian Amerika Serikat (U.S. Institute of Peace) untuk memulai proyek komparatif ini dan untuk memberikan nasihat kepada pemerintah-pemerintah tentang isu keadilan di masa transisi ini. Keikutsertaan saya dalam beberapa konferensi di wilayah-wilayah tersebut membantu membentuk isu ini secara lebih tegas: “Political Justice and Transition to the Rule of Law in East Central Europe”, yang disponsori oleh University of Chicago dan oleh Central European University di Prague pada tahun 1991, dan Konferensi Salzburg yang bertajuk “Justice in Times of Transition” pada tahun 1992, yang diselenggarakan oleh Foundation for a Civil Society. Pada tahun 1993, dalam sebuah konferensi, “Restitution in Eastern Europe”, yang diselenggarakan oleh Central European University, saya mengemukakan gagasan yang kemudian dielaborasi lebih lanjut dalam sebuah bab tentang keadilan reparatoris dalam buku ini. Pemikiran saya tentang peran penyelidikan historis dibentuk oleh sebuah konferensi yang saya sendiri turut membantu mengorganisirnya di Central European University, Budapest, pada musim gugur tahun 1992, dan dielaborasi dalam sebuah makalah yang dibawakan pada

1

(6)

sebuah konferensi yang diselenggarakan pada tahun 1994 di Yale Law School dengan tajuk “Delibarative Democracy and Human Rights”. Aspek-aspek komparatif lebih lanjut dieksplorasi pada Seventeenth Annual German Studies Association, di mana saya membawakan makalah berjudul “Justice in Transition in Unified Germany”. Studi tentang preseden-preseden pasca-perang dipersubur dalam sejumlah simposia yang saya juga turut bantu dalam pelaksanaannya selama beberapa tahun di Boston College Law School, dengan dukungan dari Holocaust-Human Rights Research Project, termasuk juga di New York Law School.

Saya menghabiskan kesempatan melakukan penelitian saya sebagai Senior Schell Fellow di Yale Law School, di mana saya membawakan sebuah seminar tentang buku ini dan menarik manfaat dari berbagai diskusi baik di dalam maupun di luar kelas.

Beragam porsi buku ini telah dipresentasikan pada Lokakarya Fakultas Yale Law School, termasuk juga lokakarya di Boston College Law School, Cardozo Law School, Columbia University Law School, University of Connecticut Law School, Cornell Law School, New York Law School, dan University of Michigan Law School. Bagian dalam bab kesimpulan dipresentasikan pada Lokakarya New York University Political Theory. Bagian-bagian yang menguraikan bab tentang keadilan konstitusional telah didiskusikan pada Georgetown University Law School Biennial Constitutional Law Discussion Group (1995). Pada pertemuan The American Philosophical Association’s Eastern Division (1996), saya menjadi partisipan dalam sebuah diskusi panel bertema “Justice, Amnesties, and Truth-Tellings.” Beberapa isu dalam bab tentang peradilan pidana telah dipresentasikan dalam sebuah kuliah khusus di mana saya secara khusus pula diundang untuk memberikan kuliah tersebut di University of Frankfurt (Januari 1998). Bagian-bagian berisikan bab tentang keadilan kriminal yang berkenaan dengan Eropa Timur dipresentasikan pada pertemuan tahunan The American Association of International Law (April 1998). Bagian-bagian yang menyangkut keadilan kriminal dan kebaikan budi untuk mengampuni (clemency) dipresentasikan pada sebuah lokakarya di University of Edinburgh (Juni 1998).

(7)

hak asasi manusia dalam rezim-rezim transisional di New York dan Yale Law School atas diskusi dengan mereka yang sangat membantu terhadap berbagai gagasan dalam buku ini. Saya berhutang budi kepada Camille Broussard dari Perpustakaan New York Law School dan kepada asisten periset di New York dan Yale Law School, termasuk Dana Wolpert, Sabrina Bagdasarian, Federica Bisone, Jayni Edelstein, Jonathan Holub, Jessica LaMarche, Karen Owen, dan Naveen Rahman, atas bantuan mereka semua dalam penelitian untuk buku ini.

Untuk sumbangannya dalam proses penelitian untuk penulisan buku ini, saya menyampaikan terima kasih kepada Neil Kritz dari U.S. Institute of Peace, Dwight Semler dan Ania Budziak dari Center for Constitutionalismin East Europe di University of Chicago, Holly Cartner of Human Rights Watch, Robert Weiner dari Lawyers Committee for Human Rights dan Ariel Dulitsky dari Center for Justice and International Law. Saya juga sangat berterima kasih kepada Brenda Davis Lebron untuk bantuan wordprocessing yang diberikannya dan kepada Belinda Cooper dan Leszek Mitrus atas bantuan penerjemahannya.

Dukungan keuangan untuk penelitian buku ini disediakan oleh Ernst Stiefel Fund di New York Law School, proyek bantuan dari U.S. Intitute of Peace yang disediakan untuk jangka waktu 1992-1993 dan oleh The Orville H. Schell, Jr., Center for International Human Rights di Yale Law School untuk tahun 1995 dan tahun 1996.

Terakhir, saya merasa berutang banyak sekali kepada almarhum Owen M. Kupferschmid. Berbagai percakapan kami yang berkisar seputar masalah keadilan pasca-perang dan dorongannya yang penuh cinta kasih telah menjadi inspirasi bagi saya untuk memulai proyek ini.

Berhubung buku ini ditulis dalam tahun-tahun belakangan ini, maka ia juga menjangkau serta menekankan kembali kejadian-kejadian yang membuat kita menahan dan kemudian menarik nafas panjang di penghujung abad kedua-puluh. Namun, kendatipun tulisan ini kita selesaikan, transisi terus saja berlangsung; sebagai contoh, transisi Afrika Selatan keluar dari rezim apartheid tetap berjalan, dan ada juga temuan-temuan penting dan kemajuan-kemajuan signifikan di Irlandia Utara dan di berbagai tempat di berbagai belahan dunia ini. Perkembangan ini kemudian berdampak pada tak terhindarkannya ketidaksempurnaan dari buku ini. Perkembangan-perkembangan tersebut juga menguatkan relevansi dan vitalitas subjek pembahasan buku ini, dan pada saat yang sama juga memperlihatkan sekaligus ketidakcukupannya dan kemungkinannya untuk dijadikan sumber inspirasi bagi upaya-upaya selanjutnya.

New York City R. G. T.

(8)

Daftar Isi

Prakata Seri Pengantar Daftar Isi Pendahuluan

1. Kedaulatan Hukum dalam Transisi

• Dilema Kedaulatan Hukum: Transisi Pasca-Perang

• Pergeseran Gambaran Legalitas: Transisi Pasca-Komunis

• Konstruksi Transisional tentang Legalitas

• Badan Pengadilan Transisional

• Praktik Ajudikatif Transformatif: Beberapa Kesimpulan 2. Peradilan Pidana

• Dasar Argumen Peradilan Pidana dalam Masa Transisi

• Dilema Transisional dan Pergeseran Paradigma Nuremberg

• Penerapan Preseden Nuremberg di Pengadilan Nasional

• Keadilan Transisional dan Tatanan Hukum Nasional dalam Perspektif Komparatif

• Sanksi Pidana Terbatas

• Peradilan Pidana Terbatas dan Konstruksi Transisi

• Amnesti Transisional

• Batasan Pengampunan di Negara Liberal: Kejahatan terhadap Kemanusiaan

• Paradoks Jangka Waktu

• Peradilan Pidana Transisional: Beberapa Kesimpulan 3. Keadilan Historis

• Sejarah Hukum: Keadilan Historis dan Pengadilan Pidana

• Dilema Keadilan Politis

• Penghilangan dan Repesentasi

• Kebenaran yang Diciptakan: Epistemologi Kebenaran Resmi

• Politik Ingatan: Mengaitkan Rezim Sejarah dan Rezim Politik

• Kebenaran atau Keadilan: Kebenaran sebagai Pendahulu Keadilan?

• Keadilan Historis setelah Totalitarianisme

• Keadilan Historis dalam Bayang-Bayang Komunisme

• Kebebasan Informasi: Menegaskan Akses di Masa Depan

• Hukum Sejarah

• “Perdebatan Sejarawan”: Menarik Garis Pembatas Masa Lalu

(9)

• “Keadilan Puitik”: Narasi Transisi

• Tentang Penyeberangan Sungai dan Laut, tentang Pembuangan dan Kepulangan

• Keadilan Historis Transisional: Beberapa Kesimpulan 4. Keadilan Raparatoris

• Reparasi dalam Alkitab: Keluaran (Eksodus) dari Mesir

• Reparasi Pasca-Perang dan Kesalahan Perang Keseluruhan

Wiedergutmachung dan Schilumim

• Perang Kotor, Penghilangan dan Rekonsiliasi: Peran Reparasi

• Reparasi dan Privatisasi setelah Komunisme

• Dilema Keadilan Reparatoris Transisional dan Kedaulatan Hukum

• Penundaan Keadilan Reparatoris: Dilema Perjalanan Waktu

• Persistensi Keadilan Reparatoris yang Belum Terselesaikan dan Politik Kontemporer: Dilema “Affirmative Action

• Dilema Transitory Tort

• Keadilan Reparatoris Transisional 5. Keadilan Administratif

• Sodom dan Gomora: “Pembersihan” Dua Kota yang Jahat

• Merekonstruksi Amerika

• Pembebasan Melalui Hukum

Epuracion dan Zuivering: Politik Penyingkiran

Lustrace dan Bereinigung: Pembersihan Politik di Eropa Tengah dan Timur

• Demiliterisasi terhadap Negara Kemanan Nasional

• Demokrasi Militan

• Partai dan Rakyat

• Demokrasi Militan dan Negara Liberal

• Keadilan antar-Generasi

• Keadilan Administratif Transisional 6. Keadilan Konstitusional

• Model-Model Utama

• Pergeseran dari Pemerintahan Otoriter

• Keadilan Konstitusional sang Pemenang

• Revolusi Damai dan Konstitusinya

• Konstitusi Amerika: Tinjauan Transisional

• Konstitusionalisme Transisional: Beberapa Kesimpulan 7. Menuju Teori Keadilan Transisional

• Keadilan Transisional dan Jurisprudensi Transisional: Sebuah Paradigma

(10)

• Sebuah Teori tentang Keadilan Transisional

• Keadilan Transisional dan Identitas Liberal Epilog

Catatan

(11)

Pendahuluan

Dalam dekade belakangan ini, masyarakat di seluruh penjuru dunia – Amerika Latin, Eropa Timur, bekas Uni Soviet, Afrika – berhasil menjatuhkan kediktatoran militer dan rezim totaliter, dan menggantikannya dengan pemerintahan yang mengedepankan kebebasan dan demokrasi. Pada masa-masa gerakan politik berskala besar untuk meninggalkan pemerintahan non-liberal ini, timbul satu pertanyaan yang penting. Bagaimana seharusnya masyarakat menyikapi masa lalu mereka yang kelam? Pertanyaan ini mengarah ke pertanyaan-pertanyaan lainnya yang berkaitan dengan hubungan sikap terhadap masa lalu negara dengan masa depannya. Bagaimana tercipta pemahaman sosial terhadap rezim baru yang berkomitmen pada “kedaulatan hukum”? [Di sini ditawarkan penerjemahan rule of law dengan “kedaulatan hukum” ketimbang “aturan hukum” atau “kepastian hukum”; “kedaulatan hukum” lebih mewakili apa yang dimaksudkan oleh istilah itu dalam bahasa Inggrisnya, ed.] Keputusan-keputusan legal mana sajakah yang memiliki signifikansi dalam perubahan? Apa saja, andaikan ada, hubungan antara respon negara terhadap masa lalunya yang represif dengan prospeknya untuk menciptakan tatanan yang demokratik? Apa potensi perundang-undangan untuk mendorong liberalisasi?1

Pertanyaan tentang konsepsi keadilan dalam masa-masa transisi politik belum terjawab dengan memuaskan. Perdebatan tentang “keadilan transisional” biasanya berada dalam kerangka proposisi normatif bahwa berbagai respon legal yang dilakukan perlu dinilai berdasarkan prospeknya untuk demokrasi.2 Dalam perdebatan yang sedang berlangsung tentang kaitan hukum dan keadilan dengan liberalisasi, terdapat dua kubu pemikiran yang saling bersaing, yaitu kaum realis dan kaum idealis, tentang kaitan antara hukum dan perkembangan demokrasi. Kaum realis menganggap bahwa perubahan politik menjadi syarat untuk terciptanya kepastian hukum, sementara kaum idealis menganggap bahwa diperlukan langkah-langkah legal tertentu untuk mendahului transisi politik.

Perbedaan pandangan ini muncul dari bias keilmuan (politik vs hukum) atau dari generalisasi pengalaman-pengalaman negara tertentu ke tingkat universal. Jadi, dalam teori politik, pandangan dominan tentang proses transisi liberal menggambarkan suatu urutan yang diawali perubahan politik. Oleh karena itu, respon transisional suatu negara dijelaskan utamanya dengan batasan-batasan politik dan institusional yang relevan. Usaha mencapai keadilan dalam masa-masa itu sama sekali tergantung pada konteks yang ada (epifenomenal)

1

Karya-karya selain studi kasus atau pendekatan regional sering kali terbatas pada momen historis tertentu. Lihat misalnya John Herz (ed.), From Dictatorship to Democracy: Coping with the Legacies of Authoritarianism and Totalitarianism, Westport, Conn: Greenwood Press, 1982 (berfokus pada masa pascaperang). Untuk pembahasan klasik tentang masalah keadilan politis, lihat Otto Kircheimer, Political Justice: The Use of Legal Procedure for Political Ends, Westport, Conn: Greenwood Press, 1980.

2

(12)

dan dapat dijelaskan dengan perimbangan kekuasaan. Hukum semata-mata produk dari perubahan politik. Para realis politik biasanya meluaskan pertanyaan “mengapa negara mengambil suatu langkah tertentu” menjadi “respon apa yang mungkin”.3 Teori demikian menjelaskan mengapa keadilan transisional merupakan isu yang vital di negara-negara tertentu dan tidak di negara yang lainnya.4 Perimbangan kekuasaan yang ada, yang mengarahkan langkah-langkah transisi, dianggap menjelaskan respon legal yang ada. Namun, mengatakan bahwa pemerintah-pemerintah akan “melakukan apa yang bisa mereka lakukan” tidaklah menjelaskan berbagai ragam fenomena legal transisional. Bahkan, anggapan bahwa begara melakukan apa yang bisa mereka lakukan, seperti pandangan kaum realis, hanyalah meluaskan suatu penggambaran secara deskriptif menjadi kesimpulan normatif.5 Kaitan antara respon negara terhadap masa transisinya dan prospeknya untuk liberalisasi tidak terjelaskan dengan baik.

Sebaliknya, dari perspektif kaum idealis, pertanyaan tentang keadilan transisional biasanya mundur ke konsepsi-konsepsi keadilan yang universal.6 Pemikiran-pemikiran tentang keadilan retributif atau keadilan korektif tentang masa lalu dianggap menjadi syarat tercapainya perubahan liberal. Pada tingkat abstrak, beberapa gambaran ideal tersebut mungkin diperlukan untuk melakukan transisi liberal. Namun, teori seperti itu tidaklah menjelaskan dengan baik kaitan antara hukum dengan perubahan politik. Pada akhirnya, pendekatan tersebut mengabaikan ciri-ciri khas keaslian pada masa transisi.

Kedua kutub idealis vs realis tentang keadilan transisi ini, seperti pula teori liberal vs

kritis, berbeda dalam pandangannya tentang kaitan antara hukum dan politik. Dalam teori liberal, yang dominan dalam hukum dan politik internasional,7 hukum dianggap tidak terpengaruh oleh konteks politik8 sesuai konsepsi-konsepsi kaum idealis. Sementara, teori

3

Charles R. Beitz, Political Theory and International Relations, Princeton: Princeton University Press, 1979, 15-66; R. B. J. Walker, Inside/Outside: International Relations as Political Theory, Cambridge: Cambridge University Press, 1993, 123-24. Untuk ringkasan tentang pandangan realis dalam teori internasional, lihat John H. Herz, Political Realism and Political Idealism, Chicago: Chicago University Press, 1951; Martin Wight,

International Theory: The Three Traditions, London: Leicester University Press untuk Royal Institute of International Affairs, 1990; J. Ann Tickner, “Hans Morgenthau’s Principles: A Feminist Reformulation”, dalam James Der Derian (ed.), International Theory: Critical Investigations, New York: New York University Press, 1995, 53, 55-57.

4

Lihat umumnya Linz dan Stepan, Problems of Democratic Transition and Consolidation; O’Donnel et al.,

(eds.), Transitions from Authoritarian Rule (kumpulan esai yang umumnya berpendekatan regional). Lihat juga Samuel P. Huntington, The Third Wave: Democratizaton in the Late Twentieth Century, Norman: University of Oklahoma Press, 1991, 215; Stephan Holmes, “The End of Decommunization”, East European Constitutional Review 3 (musim gugur 1994), 33.

5

Untuk argument serupa, lihat Huntington, Third Wave, 231. 6

Lihat Ackerman, Future of Liberal Revolution, 69-73; E. B. F. Midgley, The Natural Law Tradition and the Theory of International Relations, New York: Barnes & Noble Books, 1975, 219-31, 350-51.

7

Anne-Marie Slaughter, “International Law and International Relations Theory: A Dual Agenda”, American Journal of International Law 87 (1993), 205. Tradisi Liberal dalam Jurisprudensi melatarbelakangi pendekatan tersebut.

8

(13)

hukum kritis, seperti pendekatan kaum realis, menekankan kaitan erat hukum dengan politik.9 Sekali lagi, baik teori liberal maupun kritis memang dapat menjelaskan dengan baik tentang sifat dan peran hukum dalam masa biasa. Namun, keduanya tidak dapat dengan baik menjelaskan tentang sifat dan peran hukum dalam masa perubahan politik. Karena, keduanya mengabaikan signifikansi klaim-klaim keadilan dalam masa-masa perubahan politik mendasar. Keduanya juga gagal menjelaskan kaitan antara respon-respon normatif terhadap ketidakadilan di masa lalu dengan prospek suatu negara untuk mengalami transformasi liberal.

Buku ini mencoba melampaui teori-teori yang kini berlaku umum untuk menyelidiki peran hukum dalam masa-masa transformasi politik yang radikal. Ia memaparkan bahwa respon-respon legal tersebut memiliki peran yang tidak biasa dan konstitutif dalam masa-masa tersebut. Keadilan Transisional menggunakan metode induktif, dan menyelidiki berbagai respon legal untuk menjelaskan konsepsi tentang hukum dan keadilan dalam konteks transformasi politik. Keadilan Transisional diawali dengan menolak anggapan bahwa proses pergerakan menuju sistem politik yang lebih liberal demokratik berkaitan dengan suatu norma yang universdal atau ideal. Alih-alih, buku ini menawarkan cara pandang yang baru tentang kaitan antara hukum dengan transformasi politik. Fenomena-fenomena penting yang dibicarakan dalam buku ini berkaitan gelombang perubahan politik yang kini sedang berjalan, termasuk transisi dari pemerintahan komunis di Eropa Tengah dan Timur serta bekas Uni Soviet, juga dari pemerintahan militer yang represif di Amerika Latin dan Afrika. Sejauh dipandang relevan, buku ini juga mengambil ilustrasi historis, mulai dari masa kebudayaan kuno hingga masa pencerahan (Enlightenment), melalui Revolusi Prancis dan Amerika, hingga masa pasca-perang di abad ke-20 dan saat ini.

Penelitian interpretatif ini dilakukan pada beberapa tingkatan. Pada satu tingkatan, saya berusaha memberikan gambaran yang lebih baik tentang praktik transisional. Studi tentang respon hukum dalam masa perubahan politik memberikan pemahaman positif tentang sifat pertanggungjawaban atas pelanggaran di masa lalu. Pada tingkat yang lain, saya menyelidiki hubungan normatif antara respon legal terhadap pemerintahan yang represif, konsepsi-konsepsi tentang keadilan, dan intuisi kita tentang konstruksi negara liberal.

Masalah keadilan transisional timbul dalam konteks transisi – suatu perubahan dalam tataran politik. Dengan memfokuskan penyelidikan pada tahapan “transisi”, buku ini mencoba bergeser dari perdebatan tentang istilah “revolusi” yang sering kali digunakan oleh para teoretisi dalam menganalisis peran hukum dalam perubahan politik.10 Alih-alih merupakan tahapan terakhir dalam revolusi yang tidak terjelaskan, konsep transisi yang diajukan di sini lebih luas dan lebih jelas. Batasannya adalah pada masa perubahan politik pasca-revolusi. Jadi,

9

Kumpulan penting esai-esai studi hukum kritis mencakup James Boyle, Critical Legal Studies, New York: New York University Press, 1992, dan David Kairys, The Politics of Law: A Progressive Critique, New York: Pantheon Books, 1990. Lihat juga Mark Kelman, A Guide to Critical Legal Studies, Cambridge: Harvard University Press, 1986; James Boyle, “The Politics of Reason: Critical Legal Theory and Local Social Thought”,

University of Pensylvania Law Review 133 (1985), 685 (membicarakan realisme legal, teori linguistik dan teori Marxis). Untuk tinjauan kritis tentang isu legal internasional, lihat Nigel Purvis, “Critical Legal Studies in Public International Law, World Order, and Critical Legal Studies”, Stanford Law Review 42 (1990): 81. Untuk analisis kritis tentang jurisprudensi Amerika, lihat Mark Tushnet, Red, White, and Blue, Cambridge: Harvard University Press, 1988.

10

(14)

masalah keadilan transisional timbul pada jangka waktu yang terbatas, antara dua pemerintahan.11

Tentu saja, karakterisasi di atas masih menyisakan pertanyaan, “transisi menuju apa?” Apa saja yang mencirikan transisi? Dalam ilmu politik, terdapat perbedaan substansial tentang arti istilah, tidak saja tentang “transisi”, namun juga batasan-batasan waktunya, “konsolidasi”, dan pada akhirnya juga, “demokrasi” sendiri. Dalam satu paradigma, “transisi” dibatasi oleh kriteria politik yang objektif, yang terutama bersifat prosedural. Jadi, untuk sementara waktu, kriteria untuk transisi menuju demokrasi difokuskan pada pemilihan umum dan prosedur lain yang terkait. Sebagai contoh, formulasi Samuel Huntington, yang mengikuti Joseph Schumpeter, mendefinisikan demokratisasi pada abad ke-20 sebagai “apabila pengambil keputusan kolektif yang terpenting dipilih melalui pemungutan suara yang jujur, adil dan diselenggarakan secara periodik.”12 Bagi yang lain, transisi berhenti apabila semua kelompok politik yang signifikan bersedia menerima kedaulatan hukum (rule of law). Selain kelompok ini terdapat pula mereka yang memiliki pandangan tentang demokrasi yang cenderung teleologis. Namun pendekatan teleologis ini mendapat kritik karena memiliki bias terhadap demokrasi ala-Barat.13

Pada masa kontemporer, penggunaan istilah transisi diartikan sebagai perubahan ke arah lebih liberal, yang serupa dengan pengertian yang digunakan dalam buku ini. Gejala liberalisasi ini banyak tergambar dalam sejarah, pada periode lebih awal dalam abad ke-20, dengan transisi demokratik di Jerman Barat, Italia, Austria, Prancis, Jepang, Spanyol, Portugal dan Yunani.14 Hingga saat ini, para pemikir politik tidaklah secara eksklusif menggunakan arahan normatif positif tersebut dalam pendefinisian mereka tentang istilah itu. Buku ini menyelidiki signifikansi bahwa pemahaman kontemporer tentang transisi memiliki komponen normatifnya yaitu dalam pergeseran rezim dari kurang demokratik menjadi lebih demokratik. Fenomenologi transisi menuju demokrasi inilah yang menjadi subjek buku ini.

Tujuan saya di sini adalah mengalihkan fokus dari kriteria politik tradisional yang dikaitkan dengan perubahan menuju demokrasi, dan mulai memperhatikan sifat dan peran fenomena legal. Pendekatan konstruktivis yang diajukan dalam buku ini menunjukkan pergeseran dari definisi transisi semata-mata dalam prosedur demokratik, seperti proses pemilihan umum, ke arah penyelidikan yang lebih mendalam terhadap praktik-praktik lainnya yang menunjukkan penerimaan demokrasi liberal dan kedaulatan hukum. Penyelidikan yang dilakukan dalam buku ini membahas pemahaman normatif, melebihi pemerintahan oleh mayoritas, yang dikaitkan dengan sistem kedaulatan hukum yang liberal dalam masa transisi

11

Lihat Guillermo O’Donnell dan Philippe C. Schmitter, Transitions from Authoritarian Rule: Tentative Conclusions about Uncertain Democracies, Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1986, 6 (mendefinisikan transisi sebagai interval antara satu rezim politik dengan rezim politik lainnya); Juan J. Linz, “Totalitarian and Authoritarian Regimes”, dalam Fred I. Greenstein dan Nelson W. Polsby (eds.), Handbook of Political Science: Macropolitical Theory, Reading, Mass: Addison-Wesley, 1975, Vol. III, 182-83. Untuk pandangan klasik tentang hal ini, lihat Robert Dahl, Polyarchy, New Haven: Yale University Press, 1971, 20-32, 74-80. Lihat juga Huntington, Third Wave, 7-8, Richard Gunther, et al., “O’Donnel’s ‘Illusions’: A Rejoinder”, Journal of Democracy 7, No.4 (1996), 151-53.

12

Lihat Huntington, Third Wave, 7. 13

Untuk kritik terhadap pandangan teleologis ini, lihat Guillermo O’Donnell, “Illusions and Conceptual Flaws”,

Journal of Democracy 7, No. 4 (1996), 160, 163-64, dan Guillermo O’Donnell, “Illusions about Consolidation”,

Journal of Democracy 7, No.2 (1996), 34. 14

(15)

politik.15 Fenomenologi transisi ini mengarah pada kaitan erat dalam pergeseran normatif tentang pemahaman keadilan dan peran hukum dalam konstruksi transisi. Tidak semua transformasi menunjukkan tingkat “pergeseran normatif” yang sama. Bahkan transisi bisa dianggap sebagai suatu spektrum yang berkaitan dengan rezim pendahulu dan sistem nilai yang ada, yang bervariasi dari perubahan “radikal” hingga “konservatif.”

Pemahaman terhadap masalah yang ditimbulkan oleh pencarian keadilan dalam konteks transisi ini memerlukan suatu diskursus yang spesifik yang ditentukan oleh dilema-dilema yang khas dalam masa-masa tidak biasa ini. Dilema tentang batasan muncul dari konteks keadilan dalam transformasi politik: hukum berada antara masa lalu dan masa depan, antara melihat ke belakang dan melihat ke depan, antara retrospektif dan prospektif, antara individu dan kolektif. Dengan demikian, keadilan transisional adalah keadilan yang dikaitkan dengan konteks ini dan kondisi perpolitikan. Transisi menunjukkan pergeseran paradigma dalam konsepsi keadilan; jadi hukum memiliki fungsi yang paradoksal. Dalam fungsi sosialnya yang biasa, hukum menciptakan tatanan dan stabilitas, namun dalam masa tidak biasa yang penuh gejolak politik, hukum menciptakan tatanan dan pada saat yang sama memungkinkan transformasi. Dengan demikian, dalam masa transisi, institusi tradisional dan predikat-predikat hukum yang biasa tidak bisa berlaku. Dalam masa-masa perubahan politik yang dinamis, respon legal menimbulkan paradigma hukum transformatif yang sui generis, khas dan unik.

Tesis yang diajukan dalam buku ini adalah bahwa konsepsi keadilan dalam masa perubahan politik bersifat tidak biasa dan konstruktivis: ia membentuk sekaligus dibentuk oleh transisi itu. Konsepsi keadilan yang ditimbulkannya bersifat kontekstual dan parsial: apa yang dianggap adil dibentuk oleh ketidakadilan yang terjadi. Respon terhadap pemerintahan yang represif memiliki arti ketaatan terhadap kedaulatan hukum. Sementara suatu negara mengalami perubahan politik, peninggalan-peninggalan ketidakadilan di masa lalu menentukan apa yang bisa dianggap transformatif. Hingga titik tertentu, timbulnya respon legal tersebut merupakan transisi itu sendiri.

Dengan berlanjutnya pembahasan, akan tampak bahwa peran hukum dalam masa transisi politik bersifat kompleks. Pada akhirnya, buku ini menarik dua kesimpulan: pertama, tentang sifat hukum dalam masa-masa perubahan politik yang substansial, dan kedua tentang

peran hukum dalam mengarahkan transisi. Berbeda dari pandangan kaum idealis pada umumnya, buku ini justru memperlihatkan bahwa hukum dibentuk oleh kondisi politik yang ada. Namun, buku ini juga menentang pandangan kaum realis pada umumnya dengan mengatakan bahwa hukum bukanlah semata-mata produk tetapi juga ikut membentuk transisi. Kaitan antara respon-respon ini dengan masa-masa perubahan politik memajukan konstruksi pemahaman masyarakat bahwa transisi sedang berlangsung.

Peran hukum dalam masa perubahan politik diteliti dengan melihat berbagai bentuknya: hukuman, penyelidikan sejarah, pemberian ganti rugi, pencopotan dari jabatan, dan penyusunan konstitusi. Dalam perdebatan keadilan transisional yang sedang berlangsung, hukuman terhadap elemen-elemen rezim lama sering kali dianggap mutlak dalam transisi demokrasi. Namun, penyelidikan tentang fenomenologi legal dalam masa perubahan politik

15

(16)

menunjukkan bahwa meskipun ada anggapan umum bahwa hukum memiliki kategori-kategori yang khas dan tidak bergantung pada apa pun, tetapi terdapat kemiripan antara satu dengan yang lain. Dalam buku ini, dijelaskan tentang peran operatif hukum dalam konstruksi transisi. Praktik-praktik ini menawarkan cara untuk mendelegitimasi rezim politik yang lama dan melegitimasi yang baru dengan membentuk oposisi politik dalam tatanan yang mendemokratiskan.

Masing-masing bab dalam buku ini menyelidiki bagaimana berbagai respon legal dalam masa-masa perubahan politik yang substansial memungkinkan konstruksi perubahan normatif. Ajudikasi kedaulatan hukum membangun pemahaman tentang apa yang dianggap adil. Penyelidikan kriminal, administratif dan sejarah menentukan siapa pihak yang bersalah. Proyek pemberian ganti rugi mengembalikan hak-hak yang dilanggar oleh rezim lama kepada para korban pada khususnya, selain masyarakat secara keseluruhan. Konstitusionalisme transisional dan keadilan administratif membangun kembali parameter tatanan politik yang berubah tersebut ke arah yang lebih liberal. Analisis yang disarankan di sini berfokus pada fenomenologi hukum dalam masa perubahan politik, yang diistilahkan sebagai “jurisprudensi transisional” (teori hukum transisional).

Bab I membahas kedaulatan hukum dalam masa transisi. Di negara-negara demokratik, ketaatan terhadap kedaulatan hukum bergantung pada penerapan prinsip-prinsip yang membatasi kegunaan dan penerapan hukum, namun ini bukanlah peran utamanya dalam masa transisi. Dalam masa perubahan politik yang radikal, hukum mengalami goncangan, dan kedaulatan hukum bukanlah sumber yang jelas terhadap norma ideal pada tingkat abstrak. Dalam konteks jurisprudensi transisional, kedaulatan hukum dapat dipandang sebagai skema nilai normatif yang secara historis dan politis terkait dan dielaborasikan sebagai jawaban terhadap represi politik di masa lalu yang sering kali dilaksanakan atas nama hukum. Jadi kedaulatan hukum transisional memiliki nilai-nilai yang khas dan mencirikan masa tersebut.

Sementara kedaulatan hukum umumnya menunjukkan prospektivitas hukum, hukum transisional bersifat mapan dan fleksibel, melihat ke depan maupun ke belakang, karena ia menolak nilai-nilai lama yang tidak liberal dan mengambil nilai-nilai baru yang liberal. Meskipun kedaulatan hukum dan konstitusionalisme berkaitan dengan norma-norma yang memandu pembuatan hukum dalam demokrasi, pemahaman ini kurang berlaku dalam masa transisi. Meskipun terdapat banyak teori, konsep kedaulatan hukum maupun penyusunan konstitusi tidaklah dianggap sebagai sumber norma mendasar yang diidealkan. Jurisprudensi transisional dalam hal berbagai sistem hukum yang berbeda pada waktu yang berbeda, dan menunjukkan keberagaman konsep kedaulatan hukum sebagai suatu tolok ukur dan kaitannya dengan pelanggarannya di masa lalu.

Bab II membahas peradilan pidana dalam masa transisi. Pengadilan terhadap para pelaku pelanggaran umumnya dianggap sebagai ciri mendasar dalam transformasi ke sistem politik yang lebih liberal. Hanya proses peradilan yang dianggap sebagai kunci dalam pergeseran normatif dari pemerintahan yang tidak sah ke pemerintahan yang sah. Namun pelaksanaan kekuasaan penghukuman oleh negara dalam kondisi perubahan politik yang radikal menimbulkan sejumlah dilema. Praktik pada masa transisi menunjukkan bahwa hal ini jarang dilakukan, terutama pada masa kontemporer. Jumlah pengadilan yang kecil ini menunjukkan dilema-dilema dalam menyikapi pelanggaran, yang sering kali sistemik dan berskala besar, dengan menggunakan peradilan pidana.

(17)

legal yang baru. Sanksi parsial yang ditimbulkan, misalnya berada di luar kategori legal konvensional. Perkembangan ini menawarkan pemahaman yang lebih mendalam tentang kaitan antara usaha pemulihan dengan pelanggaran, dan terutama beratnya pelanggaran yang dilakukan oleh negara. Sanksi transisional menjelaskan kaitan antara konsep-konsep pertanggungjawaban demokratik dan hak-hak individual daam kontribusinya untuk pembangunan politik liberal.

Bab III, menyelidiki proses kerja keadilan historis. Setelah masa-masa pemerintahan yang represif, masyarakat transisional sering kali mengadakan penyelidikan tentang sejarah dan pertanggungjawabannya. Penyelidikan dan narasi sejarah ini memainkan peran penting dalam transisi dari masa lalu ke masa kini. Pemaparan sejarah ini menggambarkan peninggalan masa lalu represif suatu negara dan dengan demikian menarik garis yang mendefinisikan ulang masa lalu dan merekonstruksi identitas politik suatu negara. Keadilan historis transisional menggambarkan kaitan konstruktif antara rezim kebenaran dan rezim politik, menjelaskan hubungan dinamis antara pengetahuan dengan kekuasaan politik.

Bab IV membahas keadilan dan dimensi reparatorisnya. Fokus keadilan reparatoris transisional adalah reparasi atau perbaikan kesalahan yang telah dilakukan. Mungkin merupakan bentuk transisi yang paling umum, banyaknya fokus pada keadilan reparatoris di berbagai kawasan mencerminkan peran dan fungsi kompleksnya dalam masa-masa perubahan politik radikal. Tindakan reparatoris tampak sebagai langkah menuju liberalisasi yang paling penting, karena hal tersebut merupakan pengakuan terhadap hak-hak individual. Perlindungan yang setara terhadap hak-hak individual merupakan dasar bagi negara liberal; maka, tindakan perbaikan ini memainkan peran konstruktif yang penting bagi suatu negara yang berusaha untuk menaati kedaulatan hukum. Dalam transisi ganda ekonomi dan politik yang mencirikan gelombang perubahan politik yang mutakhir ini, reparasi memiliki peran politik yang eksplisit untuk menengahi perubahan, dengan membentuk tonggak-tonggak baru dalam komunitas politik di tengah-tengah masa transisi. Tindakan reparatoris transisional telah melampaui peran konvensionalnya untuk memberikan ganti rugi saja, dan mendapatkan peran fungsional dan simbolis yang terkait erat pada transformasi politik suatu negara.

Bab V menyelidiki keadilan administratif dan penggunaan hukum publik untuk mendefinisikan kembali parameter keanggotaan politik, partisipasi dan kepemimpinan di dalam komunitas politik. Sementara pembersihan dan pengurangan hak politik merupakan hal yang lazim setelah revolusi, pertanyaannya adalah apakah ada prinsip-prinsip tertentu yang memandu tindakan-tindakan tersebut dalam transisi politik. Lebih dari respon transisional lainnya, tindakan kolektif politis yang eksplisit memberikan tantangan bagi terciptanya kedaulatan hukum dalam rezim yang sedang meliberalkan diri. Keadilan administratif menjelaskan potensi hukum untuk membangun kembali kaitan antara individu dan komunitas politik dalam masa transisi. Pemberlakuan hukum-hukum publik tersebut mendefinisikan batasan-batasan yang baru dengan dasar politik yang luas. Melalui keadilan administratif, hukum publik digunakan untuk merespon rezim lama, dan membangun kembali tatanan politik untuk menggantikannya. Respon ini merupakan contoh jurisprudensi transisional dalam bentuknya yang paling radikal.

(18)

konstitusional dan tingkat-tingkat keterlibatan. Konstitusionalisme transisional, peradilan pidana dan kedaulatan hukum memiliki kedekatan dalam kesalingterkaitan bahwa norma-norma yang dilindunginya berkaitan dengan masa lalu, selain juga dengan tatanan politik yang baru.

Bab Penutup menggabungkan dan menganalisis berbagai cara negara demokratik baru merespon peninggalan ketidakadilan yang ada. Pola-pola yang ada pada berbagai format legal16 menunjukkan suatu paradigma “jurisprudensi transisional”. Analisis di sini menyarankan bahwa peran hukum bersifat konstruktif, dan jurisprudensi transisional timbul sebagai bentuk paradigmatik yang khas dari hukum yang responsif dan konstruktif dalam masa-masa tidak biasa yang penuh perubahan politik mendasar.17 Dalam jurisprudensi transisional, konsepsi keadilan bersifat parsial, kontekstual dan berada di tengah dua tatanan, legal dan politik. Terdapat norma-norma legal yang tidak tunggal, dan pemikiran ideal tentang keadilan selalu merupakan kompromi. Jurisprudensi transisional berpusat pada penggunaan hukum secara paradigmatik dalam konstruksi normatif rezim yang baru. Dengan mengabaikan prinsip-prinsip preskriptif yang umum dalam teori hukum dan politik, kaitan dinamis antara hukum dan perubahan politik yang dikemukakan di sini menentang retorika umum tentang arah perkembangan politik. Studi tentang peran hukum dalam perubahan politik ini menyarankan kriteria yang tidak dibatasi oleh kejujuran pemilihan umum, stabilitas institusi atau perkembangan ekonomi sebagai indikator penilaian sistem demokrasi baru.18 Respon legal merupakan pelaksana transisi dan sekaligus melambangkan transisi itu.

Buku ini menawarkan bahasa jurisprudensi yang baru yang berakar pada ketidakadilan politik yang telah terjadi. Dengan memperhatikan sifat transisional jurisprudensi ini, dapat dijelaskan sifat dan peran negara dalam masa perubahan politik yang radikal. Jurisprudensi radikal juga memiliki dampak terhadap pandangan kita tentang sifat dan fungsi hukum pada umumnya. Masalah keadilan pada masa transformasi politik memiliki dampak potensial terhadap pergeseran norma-norma masyarakat dan dasar rezim konstitusional dan legal yang sedang mengalami perubahan. Masalah keadilan transisional yang tidak terselesaikan dapat menimbulkan implikasi yang berkepanjangan pada suatu negara.

Buku ini menawarkan perspektif yang baru untuk memahami signifikansi kontroversi yang berkelanjutan yang kini memecah masyarakat kita. Pada akhirnya perubahan mutakhir di

16

Yang dimaksud dengan “format legal” adalah prinsip, norma, ide, aturan, praktik dan juga badan-badan legislatif, administratif, ajudikasi dan penegakannya. Lihat Sally Falk Moore, Law as Process: An Anthropological Approach, Boston: Routledge, 1978, 54. Tentang signifikansi format legal, lihat Isaac D. Balbus, “Commodity Form and Legal Form: An Essay on the ‘Relative Autonomy’ of the Law”, Law and Society Review

11 (1977), 571-71. 17

Untuk pengantar pendekatan konstruktivistik, lihat Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge, New York: Anchor Books, Doubleday, 1966, 19 (menjelaskan pendekatan dari perspektif sosiologi). Tentang konstruktivisme dalam hukum, lihat Pierre Bourdieu, “The Force of Law: Toward a Sociology of the Juridical Field”, Hastings Law Journal 38 (1987), 805, 814-40. Lihat juga Roberto Mangabeira Unger, False Necessity – Anti Necessitarian Social Theory in the Service of Radical Democracy, New York: Cambridge University Press: 1987, 246-52 (menganalisis respon legal dan institusional dalam “perubahan konteks”). Untuk studi tentang peran hukum dalam membangun komunitas, lihat Robert Gordon, “Critical Legal Histories”, Stanford Law Review 36 (1984), 57. Lihat juga John Brigham, The Constitution of Interest: Beyond the Politics of Rights, New York: New York University Press, 1996 ( membicarakan peran hukum dalam membangun gerakan politik).

18

(19)
(20)

Bab I

Kedaulatan Hukum dalam Masa Transisi

Bab ini menyelidiki berbagai respon legal terhadap pemerintahan non-liberal dan prinsip-prinsip “kedaulatan hukum” yang memandunya dalam masa-masa tersebut. Usaha untuk menaati kedaulatan hukum dalam masa gejolak politik sering kali menimbulkan dilema. Terdapat ketegangan antara kedaulatan hukum dalam masa transisi, yang sering kali melihat ke belakang selain ke depan, mapan sekaligus dinamis. Dalam dilema ini, kedaulatan hukum pada akhirnya menjadi kontekstual; alih-alih merupakan dasar tatanan hukum saja, ia juga memediasi pergeseran normatif yang mencirikan masa-masa tidak biasa tersebut. Di negara-negara demokratis, pandangan kita adalah bahwa kedaulatan hukum memiliki arti ketaatan pada aturan yang sudah ada, yang dipertentangkan dengan tindakan pemerintah secara sewenang-wenang.1

1

Friedrich A. Hayek, The Road to Serfdom (Chicago: University of Chicago Press, 1944), 72 (“[P]emerintah dalam semua tindakannya diikat oleh aturan yang ditetapkan dan diumumkan sebelumnya – aturan yang memungkinkan untuk meramalkan dengan penuh kepastian bagaimana pemegang kekuasaan akan menggunakan kekuasaannya dalam kondisi tertentu dan untuk merencanakan tindakan individual berdasarkan pada pengetahuan ini”.) Untuk pembicaraan tentang pemahaman umum mengenai peran kedaulatan hukum di negara-negara demokrasi sebagai batasan terhadap penggunaan kekuasaan yang sewenang-wenang, lihat Roger Cotterell, The Politics of Jurisprudence: A Critical Introduction to Legal Philosophy (Philadelphia: University of philadelphia Press, 1989), 113-14, yang menjelaskan bahayanya memandang negara sebagai entitas yang mengatasi hukum. Untuk penjelasan tentang kaitan antara hukum dengan demokrasi, lihat Jean Hampton, “Democracy and the Rule of Law,” dalam Nomos XXXVI: The Rule of Law, ed. Ian Saphiro (New York: New York University Press, 1995), 13. Penjelasan klasik tentang syarat minimum legalitas ditemukan dalam Lon L. Fuller, The Morality of Law

(New Haven: Yale University Press, 1964), 33-34. Ronald Dworkin menawarkan pemaparan kontemporer yang terpenting tentang teori kedaulatan hukum yang substantif. Lihat Ronald Dworkin, A Matter of Principle ( Cambridge: Harvard University Press, 1985), 11-12 (Dworkin berpandangan bahwa “konsepsi hak” dalam kedaulatan hukum mensyaratkan, sebagai bagian dari pandangan ideal tentang hukum, bahwa aturan-aturan yang tertulis mencakup dan melaksanakan hak-hak moral). Lihat juga Frank Michelman, “Law’s Republic”, Yale Law Journal 97 (1988): 1493 (yang memaparkan interpretasi modern tentang pemerintahan oleh hukum melalui reinterpretasi teori politik republikanisme kemasyarakatan (civil republicanism) .

Margaret Jane Radin menggambarkan dasar filsafat dari pendekatan-pendekatan modern terhadap kedaulatan hukum dengan asumsi-asumsi berikut ini:

(1) hukum tersusun atas aturan-aturan; (2) aturan berada di muka (sebelum) kasus-kasus khusus, lebih umum dari kasus-kasus khusus dan diterapkan terhadap kasus-kasus khusus; (3) hukum bersifat instrumental (aturan-aturan tersebut dilaksanakan untuk mencapai tujuannya); (4) terdapat pemisahan radikal antara pemerintah dan warga negara (ada pemberi aturan dan pelaksananya, versus penerima aturan dan penaatnya); (5) manusia adalah pemilih yang rasional yang mengatur tindakan-tindakannya secara instrumental.

(21)

Namun revolusi memiliki arti ketiadaan tatanan dan stabilitas hukum. Dilema utama dalam keadilan transisional adalah masalah kedaulatan hukum dalam masa perubahan politik yang radikal. Dari definisinya, jelas bahwa pada saat-saat tersebut terjadi perubahan paradigmatik yang mendasar dalam pemahaman tentang keadilan. Masyarakat sedang berusaha keras untuk menjawab pertanyaan “bagaimana mentransformasikan sistem politik, hukum dan ekonomi” mereka. Jika pada umumnya kedaulatan hukum memiliki arti keteraturan, stabilitas dan ketaatan pada hukum yang mapan, sejauh mana masa-masa transformasi sesuai dengan komitmen terhadap kedaulatan hukum? Pada masa-masa demikian, apa yang bisa kita artikan dengan kedaulatan hukum?

Dilema tentang arti kedaulatan hukum sebenarnya tidak terbatas pada masa-masa transformasi politik dan mencakup pula dasar negara liberal. Bahkan pada masa-masa biasa, negara-negara yang demokrasinya stabil pun sering kali mengalami kesulitan untuk mengartikan ketaatan pada kedaulatan hukum. Berbagai versi dilema kedaulatan hukum di masa transisi ini tampak dalam masalah keadilan suksesor (successor justice, dalam konteks tertentu diartikan juga sebagai “keadilan pemenang”, ed.), awal konstitusional dan perubahan konstitusional.2

Dilema kedaulatan hukum ini biasanya muncul di lingkup-lingkup politik yang konteroversial, di mana nilai perubahan legal mengalami ketegangan dengan nilai ketaatan pada prinsip hukum yang menjadi preseden. Pada masa biasa, masalah ketaatan pada kontinuitas legal ini dilihat sebagai tantangan yang ditimbulkan perubahan politik dan sosial dalam jangka waktu yang panjang. Dengan demikian, ide tentang kedaulatan hukum sebagai kontinuitas legal tercakup dalam prinsip stare decisis, suatu predikat ajudikasi dalam sistem hukum Anglo-Amerika. Konsep kedaulatan hukum yang mendasari konstitusi kita mensyaratkan kontinuitas, sehingga penghargaan terhadap preseden, dengan sendirinya menjadi tidak dapat diabaikan”.3 Namun dalam masa transformasi, nilai kontinuitas legal mengalami ujian yang berat. Pertanyaan tentang batasan normatif perubahan politik dan hukum yang sah bagi rezim-rezim yang mengalami transformasi sering kali ditempatkan dalam kerangka-kerangka dua kutub. Hukum sebagaimana tertulis dibandingkan hukum sebagai hak, hukum positif dipertentangkan dengan hukum kodrat [kami memilih “hukum kodrat” untuk menerjemahkan natural law, ketimbang “hukum alam”, ed.], keadilan prosedural dengan keadilan substantif, dan lain-lain.

Tujuan saya di sini adalah untuk menempatkan kembali dilema kedaulatan hukum dengan memperhatikan pengalaman berbagai masyarakat dalam konteks transformasi politik. Perhatian saya bukanlah pada teori yang ideal tentang kedaulatan hukum pada umumnya. Alih-alih, saya berusaha memahami arti kedaulatan hukum bagi masyarakat yang mengalami perubahan politik berskala besar. Bab ini mendekati dilema kedaulatan hukum secara induktif dengan menempatkan kembali pertanyaan tersebut ke dalam konteks legal dan politisnya. Kita akan meneliti sejumlah kasus historis pasca-perang, dan juga preseden yang timbul dari transisi yang lebih mutakhir. Meskipun dilema kedaulatan hukum biasanya timbul dalam

2

Untuk pembicaraan pengantar tentang tema-tema umum dalam konsep kedaulatan hukum dan konstitusionalisme, lihat A. V. Dicey, Introduction to the Study of Laws of the Constitution (Indianapolis: Libery Fund, 1982), 107-22. Lihat juga E. P. Thompson, Whigs and Hunters: The Origin of the Black Act (New York: Pantheon Books, 1975).

3

(22)

konteks kejahatan (criminal), isu-isu tersebut menimbulkan pertanyaan yang lebih luas tentang cara-cara masyarakat dalam masa-masa perubahan politik yang mendasar mengubah pandangannya tentang kaitan antara hukum, politik dan keadilan. Sebagaimana akan terlihat, ajudikasi-ajudikasi tersebut akan menunjukkan pemikiran utama tentang konsepsi kedaulatan hukum yang luar biasa dan nilai-nilai keadilan dalam masa-masa perubahan politik.

Dilema Kedaulatan Hukum: Transisi Pasca-Perang

Pada masa perubahan politik yang substansial, timbullah suatu dilema tentang ketaatan pada kedaulatan hukum yang berkaitan dengan masalah keadilan suksesor. Sejauh mana mengajukan unsur-unsur rezim lama ke pengadilan menunjukkan konflik inheren antara visi keadilan predesesor dan suksesor? Dengan memperhatikan konflik ini, apakah peradilan kriminal demikian bersesuaian dengan prinsip kedaulatan hukum? Dilema yang ditimbulkan peradilan kriminal suksesor mengarah pada pertanyaan lebih luas menyangkut teori tentang sifat dan peran hukum dalam transformasi menuju negara liberal.

Dilema transisional ini tampak dalam perubahan-perubahan sepanjang sejarah politik. Ia tampak dalam pergeseran dari monarki ke republik pada abad ke-18, dan tampak kembali dalam peradilan-peradilan pasca-Perang Dunia Kedua. Pada masa pasca-perang, masalah tersebut menjadi subjek perdebatan hangat dalam lingkup jurisprudensi Anglo-Amerika, yaitu antara Lon Fuller dan H.L.A Hart. Keduanya berangkat dari permasalahan keadilan setelah runtuhnya rezim Nazi.4 Pembuatan teori pasca-perang demikian menunjukkan bahwa pada saat-saat perubahan politik yang signifikan, pemahaman konvensional tentang kedaulatan hukum menjadi perdebatan.5 Meskipun konteks transisional telah menimbulkan sejumlah teori tentang arti kedaulatan hukum, pembuatan teori tersebut tidak membedakan pemahaman kedaulatan hukum dalam masa-masa biasa dan transisional. Terlebih lagi, karya teoretik yang timbul dari perdebatan tersebut sering kali mundur ke model-model besar dan teridealisasi tentang kedaulatan hukum. Hal tersebut tidak dapat memperhatikan isu-isu tidak biasa yang berada dalam cakupan jurisprudensi transisional. Pengakuan suatu domein jurisprudensi transisional sendiri masih menimbulkan permasalahan tentang kaitan antara hukum dalam masa transisi dengan pada masa biasa.

Perdebatan Hart-Fuller tentang sifat hukum ini berfokus pada sejumlah kasus pengadilan kolaborator Nazi di Jerman setelah perang. Isu sentral pada pengadilan-pengadilan Jerman pasca-perang adalah apakah mereka bisa menerima pembelaan yang berdasarkan

4

Lihat H. L. A. Hart, “Positivism and the Separation of Law and Morals”, Harvard Law Review 71 (1958); 593 (yang membela positivisme); Lon L. Fuller, “Positivism and Fidelity to Law – A Reply to Professor Hart”,

Harvard Law Review 71 (1958): 630 (yang mengkritik Hart karena mengabaikan peran moralitas dalam pembentukan hukum).

5

Teori-teori lain tentang sifat kedaulatan hukum dalam karya-karya Franz Neumann dan Otto Kircheimer juga mengambil masa ini sebagai titik tolaknya. Lihat Franz Neumann, Behemoth: The Structure and Practice of National Socialism (Frankfurt am Main: Europäjsche Verlagsanshalt, 1977), 1933-44; Franz Neumann, The Rule of Law: Political Theory and the Legal System in Modern Society (Dover: Berg Publishers, 1986); William E. Scheuerman, ed., The Rule of Law under Siege: Selected Essays of Franz L. Neumann and Otto Kirchheimer

(23)

hukum pada masa Nazi.6 Sebuah isu lain yang terkait adalah apakah sebuah rezim pengganti bisa mengadili seorang kolaborator, dan dengan demikian menyatakan tidak-sahnya hukum yang berlaku pada masa terjadinya tindakan-tindakan yang dipermasalahakan tersebut. Dalam “Problem of the Grudge Informer”, dimunculkan isu hipotetis yang diabstraksikan dari kondisi pasca-perang: Rezim “Baju Ungu” telah dijatuhkan dan digantikan oleh pemerintahan konstitusional demokratik, dan menimbulkan pertanyaan tentang apakah para kolaborator rezim lama harus dihukum.7 Hart, seorang tokoh positivisme hukum,8 menyatakan bahwa ketaatan pada kedaulatan hukum berarti mengakui pula bahwa hukum yang semula berlaku pada masa rezim yang lama tetap valid. Hukum tertulis yang lebih awal, bahkan bila tidak bermoral (immoral), tetap memiliki kekuatan legal dan harus diikuti oleh peradilan sesudahnya hingga ia diganti. Dalam posisi positivis yang diajukan Hart, klaimnya adalah bahwa prinsip kedaulatan hukum yang berlaku di masa pengambilan keputusan transisional harus terus berlanjut – seperti di masa normal – dengan keberlakuan sepenuhnya hukum tertulis yang ada.

Dalam pandangan Fuller, ketaatan pada kedaulatan hukum berarti melepaskan diri dari rezim legal lama Nazi. Dengan demikian, para kolaborator Nazi harus dihukum berdasarkan rezim legal yang baru: Dalam “dilema yang dihadapi Jerman dalam usahanya membangun kembali institusi hukumnya yang berantakan ... Jerman harus mengembalikan penghargaan kepada hukum maupun kepada keadilan ... [K]utub-kutub pandangan yang bertentangan dihadapi dalam usahanya untuk mengembalikan kedua hal tersebut secara bersamaan.” Sementara dikotomi kedaulatan hukum disusun dalam kerangka pemikiran tentang keadilan prosedural melawan substansif, Fuller mencoba menyingkirkan konsepsi-konsepsi yang bertentangan, dengan menawarkan pandangan prosedural tentang keadilan substantif.9 Menurut badan peradilan Jerman, terdapat dikotomi dalam kedaulatan hukum antara hak legal prosedural dan hak moral. Dalam “kasus-kasus berat”, hak moral harus diutamakan. Dengan demikian, pandangan hukum yang formalis, seperti ketaatan pada hukum putatif yang telah ada (hukum positif) dapat diabaikan atas nama hak moral. Posisi hukum kodrat yang dipegang dalam peradilan Jerman ini menunjukkan bahwa keadilan transisional mensyaratkan pengabaian hukum putatif yang telah ada. Namun bagi Fuller, itu bukanlah pengabaian hukum, karena “hukum” masa lalu itu tidak dapat dianggap sebagai hukum lagi karena tidak memenuhi berbagai syarat prosedural.10

Namun perdebatan di atas tidak berfokus pada masalah khusus tentang hukum dalam konteks transisi. Pada masa pasca-perang, timbul dilema tentang kontinuitas hukum dengan masa rezim Nazi: Sejauh mana kedaulatan hukum menuntut adanya kontinuitas hukum? Sebuah perspektif transisional tentang perdebatan pasca-perang ini akan menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan kedaulatan hukum. Perspektif itu adalah bahwa isi kedaulatan hukum dijustifikasikan oleh konsepsi-konsepsi tentang hakikat ketidakadilan pada masa rezim represif yang telah lampau. Sifat ketidakadilan ini menjadi pertimbangan dalam berbagai

6

Lihat “Recent Cases”, Harvard Law Review 64 (1951): 1005-06 (yang mengutip Jerman, Judgement of July 27, 1949, 5 Suddeutscher Juristen Zeitung (1950): 207 (Oberlandesgericht [OLG] [Bamberg]).

7

Lihat secara umum Fuller, Morality of Law, 245. 8

Untuk eksplorasi yang mendalam tentang arti positivisme hukum, lihat Frederick Schauer, “Fuller’s Internal Point of View”, Law and Philosophy 13 (1994): 285.

9

Lihat Fuller, “Positivism and Fidelity to Law”, 642-43, 657. 10

(24)

alternatif, seperti kontinuitas sepenuhnya dengan rezim legal, diskontinuitas, diskontinuitas selektif, dan sama sekali melepaskan diri dari hukum yang ada.

Bagi para positivis, kontinuitas sepenuhnya dengan rezim legal yang lama dijustifikasikan dengan kebutuhan untuk mengembalikan keteraturan prosedural, yang di masa lalu dianggap kurang terlaksana; nilai meta-kedaulatan hukum adalah due process, yang dipahami sebagai keteraturan prosedural dan ketaatan pada hukum yang ada. Klaim hukum kodrat untuk dikontinuitas legal juga dijustifikasikan oleh sifat rezim legal yang lalu, yaitu konsepsi tentang tirani di masa lalu. Menyangkut pandangan hukum kodrat terhadap kedaulatan hukum, pendekatan Fuller tampaknya lebih mendetail, karena ia mencoba menawarkan pemahaman prosedural tentang nilai-nilai keadilan substantif. Dengan imoralitasnya suatu rezim pendahulu, kedaulatan hukum perlu didasarkan pada suatu hal yang melampaui ketaatan pada hukum yang telah ada.11

Sejauh mana ketaatan pada hukum yang dibuat pada masa rezim lama yang represif konsisten dengan kedaulatan hukum? Sebaliknya, jika keadilan suksesor berarti pengadilan terhadap tindakan-tindakan yang sesuai dengan hukum lama tersebut, sejauh mana diskontinuitas hukum bisa dimandatkan dalam kedaulatan hukum? Konteks transisional menggabungkan pertanyaan-pertanyaan tentang legalitas kedua rezim ini dan kaitannya satu sama lain.

Dalam perdebatan pasca-perang, baik posisi hukum kodrat maupun positivis berangkat dari sejumlah asumsi awal tentang sifat rezim legal pendahulu dalam masa yang tidak liberal.12 Kedua posisi ini mendapatkan justifikasi dari peran hukum dalam rezim lama; namun mereka berbeda pandangan tentang apa yang disebut prinsip legalitas yang transformatif. Argumen positivis berusaha untuk memisahkan pertanyaan legitimasi hukum dalam rezim pendahulu dan rezim kini. Respon terhadap tirani di masa lalu dianggap tidak terletak dalam lingkup hukum, melainkan dalam lingkup politik. Jika terdapat muatan yang diberikan kepada prinsip kedaulatan hukum, itu hanya berarti bahwa ia tidak boleh melayani kepentingan politis. Argumen positivis untuk ketaatan yudisial terhadap hukum yang telah ada ini bergantung pada asumsi-asumsi tertentu tentang sifat legalitas dalam rezim totaliter pendahulu.13 Justifikasi untuk terus menaati hukum yang telah ada pada masa transisi adalah bahwa dalam pemerintahan terdahulu yang represif, ajudikasi gagal mengukuhkan hukum yang mapan itu. Dalam pandangan kaum positivis, ajudikasi transformatif yang berusaha “melanggar” efek pandangan tentang legalitas yang mendukung pemerintahan otoriter akan memiliki arti ketaatan pada hukum yang telah ada.

Posisi hukum kodrat memberikan penekanan pada peran transformatif hukum dalam pergeseran menuju rezim yang lebih liberal. Dalam pandangan ini, hukum putatif di bawah pemerintahan tirani tidak memiliki moralitas, dan dengan demikian tidak merupakan rezim legal yang sah. Hingga titik tertentu, dalam teori legal normatif ini, yang mereduksi masalah hukum dan moralitas, masalah transisional dalam hubungan antara dua rezim legal menjadi lenyap. Demikian pula ajudikasi yang mengikuti hukum putatif juga tak bermoral karena

11

Lihat Fuller, ibid. Untuk pembicaraan tentang perdebatan positivisme-hukum kodrat, lihat Gustav Radbruch,

Rechtphilosophie (Stuttgart: Koehler, 1956); Gustav Radbruch, “Die Erneurung des Rechts”, Die Wandlung 2 (1947): 8. Lihat juga Markus Dirk Dubber, “Judicial Positivism and Hitler’s Injustice”, tinjauan Ingo Muller, “Hitler’s Justice”, Columbia Law Review 93 (1993): 1807; Fuller, Morality of Law, 23.

12

Untuk tinjauan yang baik tentang perdebatan sejarah ini, lihat Stanley L. Paulson, “Lon L. Fuller, Gustav Radbruch, and the ‘Positivist’ Thesis”, Law and Philosophy 13 (1994): 313.

13

(25)

mendukung pemerintahan yang tidak liberal. Jadi, kasus para kolaborator tersebut dikatakan sebagai “penyimpangan dalam administrasi keadilan.”14 Dari perspektif hukum kodrat, peran hukum dalam masa transisi adalah untuk merespon kejahatan yang dilakukan di bawah sistem peradilan yang lama. Karena peran judicial review dalam mempertahankan berlangsungnya penindasan (topik ini dibicarakan dalam perdebatan Hart-Fuller),15 ajudikasi sebagaimana masa-masa biasa tidak akan mencerminkan kedaulatan hukum. Teori hukum transformatif ini mendorong pandangan normatif bahwa peran hukum adalah untuk mengubah arti legalitas yang ada.16

Dalam perdebatan pasca-perang, timbul pertanyaan tentang konteks politik yang luar biasa setelah berakhirnya masa pemerintahan totaliter. Namun, kesimpulan yang didapatkan cenderung mengabstrakkan konteks dan menggeneralisasikan, seakan-akan menjelaskan atribut yang mutlak ada dan berlaku umum tentang kedaulatan hukum, dan gagal menjelaskan bagaimana masalah tersebut terkait dengan konteks transisional. Menempatkan kembali masalah tersebut bisa memberikan penjelasan terhadap pemahaman kita tentang kedaulatan hukum. Kita akan beranjak dari perdebatan pasca-perang ini ke perubahan politik yang lebih mutakhir yang menggambarkan potensi transformatif hukum. Peristiwa-peristiwa tersebut menunjukkan ketegangan antara konsepsi ideal tentang kedaulatan hukum dan kaitannya dengan konteks perubahan politik yang luar biasa. Usaha untuk menjawab dilema tentang bagaimana menaati kedaulatan hukum dalam masa-masa demikian akan mengarah pada konstruksi alternatif yang menengahi konsepsi-konsepsi tentang kedaulatan hukum transisional.

Pergeseran Gambaran Legalitas: Transisi Pasca-Komunis

Sisi-sisi gelap-tersembunyi dari revolusi pada masa lampau terungkap di ruang-ruang pengadilan, tempat perdebatan tentang isi transformasi politik terus berlangsung. Sejumlah kontroversi tentang peradilan kriminal yang dilakukan oleh suksesor menunjukkan dilema kedaulatan hukum transisional. Dalam buku ini, saya akan berfokus pada dua kasus. Dalam kasus pertama, sebuah hukum Hungaria mengizinkan pengadilan terhadap pelanggaran yang terkait dengan penindasan brutal oleh Soviet terhadap pemberontakan di negara itu pada tahun 1956.17 Pada kasus lainnya, Jerman-bersatu mengadili para penjaga perbatasan yang menembak warga sipil yang mencoba menyeberangi Tembok Berlin secara ilegal [semasa Jerman masih merupakan dua negara: Jerman Timur dan Jerman Barat].

Kedua kasus tersebut melambangkan kebebasan dan represi. Tahun 1956 dianggap sebagai tahun awal revolusi Hungaria, sementara Tembok Berlin dan keruntuhannya dianggap sebagai simbol utama dominasi (dan keruntuhan) Soviet. Kasus-kasus tersebut menggambarkan dilema yang terkandung dalam usaha untuk mengadakan perubahan politik yang substansial melalui hukum dan dengan merombak hukum. Meskipun kedua kasus

14

Fuller, Morality of Law, 245. 15

Ibid. 16

Ibid., 648. 17

(26)

tersebut tampaknya menggambarkan dua cara yang bertentangan untuk meyelesaikan dilema kedaulatan hukum, mereka juga menunjukkan pemahaman serupa.

Setelah terjadi perubahan politik di tahun 1991, parlemen Hungaria mengesahkan hukum yang memungkinkan pengadilan terhadap kejahatan yang dilakukan rezim pendahulunya yang menumpas perlawanan rakyat di tahun 1956. Meskipun peristiwa tersebut sudah lama terjadi, hukum tersebut mencabut statuta pembatasan waktu untuk pengkhianatan dan kejahatan serius lainnya,18 dan dengan demikian pelanggaran tersebut dapat diadili kembali. Perundang-undangan serupa juga disahkan di negara-negara lainnya di wilayah itu, termasuk Republik Ceko.19 Masalah statuta pembatasan waktu ini biasanya timbul setelah masa pendudukan yang lama, ketika negara berusaha mengadili kejahatan yang dilakukan pada masa rezim pendahulunya. Jadi, dalam transisi pasca-perang di Eropa Barat, masalah kedaulatan hukum yang timbul dari statuta pembatasan waktu baru timbul pada dekade 1960-an,20 bukan pada masa tepat setelah perang berakhir. Kontroversi tentang hukum yang mengatasi statuta pembatasan waktu menimbulkan pertanyaan yang lebih luas: sejauh mana rezim baru terikat oleh hukum rezim lama?

Pengadilan konstitusional Hungaria menggambarkan dilema tersebut dalam dua kutub: antara kedaulatan hukum yang dipahami sebagai prediktabilitas dipertentangkan dengan kedaulatan hukum yang dipahami sebagai keadilan substantif. Dengan kerangka tersebut, pilihan tampaknya tidak mungkin; namun, pada akhirnya hukum yang mengatasi statuta pembatasan waktu dan rencana pengadilan terhadap kejahatan era 1956 ini dianggap tidak konstitusional. Prinsip kedaulatan hukum memerlukan prospektivitas dalam pembuatan hukum, bahkan bila pelanggaran pidana yang terberat oleh rezim lama harus dibiarkan begitu saja. Opini tersebut diawali dengan pernyataan tentang dilema yang dihadapi pengadilan tersebut: “Pengadilan konstitusional mengalami paradoks ‘revolusi kedaulatan hukum’.”21 Mengapa dikatakan sebagai paradoks? “Kedaulatan hukum”, menurut pengadilan tersebut, berarti “prediktabilitas dan pandangan ke depan”.22 Dengan melihat prinsip prediktabilitas dan memandang ke depan tersebut, larangan terhadap hukum pidana untuk menggunakan perundang-undangan retroaktif, terutama ex post facto ... secara langsung berlaku. .... Hanya dengan mengikuti prosedur legal yang formal, suatu hukum dianggap sah.”23

Pandangan dominan tentang kedaulatan hukum bagi Pengadilan Konstitusional adalah “keamanan”.24 “Kepastian hukum menuntut ... perlindungan bagi hak-hak yang sebelumnya sudah diberikan”. Hukum yang sedang direncanakan tersebut, yang akan memungkinkan pengadilan bagi bagian dari rezim lama, jelas-jelas ex post dan dengan demikian mengancam hak-hak individual untuk kedamaian. Dalam diskusinya tentang arti keamanan, pengadilan menganalogikan hak untuk mendapatkan kedamaian dengan hak milik pribadi. Meskipun

18

Lihat umumnya Zentenyi-Takacs Law.

19

Lihat Decision of Dec. 21, 1993 (Republik Ceko, Pengadilan Konstitutional, 1993) (arsip Center for the Study Constitusionalism in Eastern Europe, University of Chicago) (mengesahkan Act on the Illegality of the Communist Regime and Resistance to It, ActNo.198/1993 (1993).

20 Untuk pembicaraan tentang perdebatan statuta pembatasan waktu di Jerman, lihat Adalbert Rückerl,

The Investigation of Nazi Crimes, 1945-1978: A Documentation, terj. Derek Rutter (Heidelberg, Karlsruhe: C. F. Muller, 1979), 53-55, 66-67.

21

Judgment of March 5, 1992, Magyar Kozlony, No.23/1992 (Hungaria, Pengadilan Konstitusional, 1992), diterjemahkan dalam Journal of Constitutional Law of East and Central Europe 1 (1994): 136.

(27)

perlindungan terhadap hal milik pribadi dapat diatasi oleh kepentingan negara, kepentingan tersebut, menurut pengadilan, seharusnya tidak melanggar hak individual untuk kedamaian. Dengan melindungi nilai “keamanan” dalam kedaulatan hukum dari pelanggaran oleh negara, Pengadilan Konstitusional memberikan pesan penting bahwa hak-hak milik akan dilindungi dalam transisi.

Dalam masa-masa biasa, pemikiran tentang kedaulatan hukum sebagai keamanan dalam perlindungan hak-hak individual sering kali dianggap sebagai kunci, syarat minimal keberadaan kedaulatan hukum dalam negara demokrasi liberal. Namun, dalam transisi ekonomi dan legal di Eropa Tengah dan Timur, pemahaman ini merupakan transformasi yang mendasar. Jika sistem hukum totaliter menghapus atau mengabaikan batas antara individu dan negara, garis yang ditarik Pengadilan Konstitusional Hungaria ini memberikan pembatasan baru bagi negara: hak individual untuk mendapatkan keamanan. Tekanan pada perlindungan hak-hak individual ini, yang dikatakan telah dimiliki, dikonstruksikan dalam transisi. Aturan ini memberikan pesan penting bahwa rezim yang baru akan lebih liberal daripada pendahulunya.

Bandingkan dengan kasus kedua. Dalam babak kedua kasus suksesornya pada abad ini [yang pertama adalah masalah Nazi, dan yang kedua adalah soal Jerman-bersatu], badan Pengadilan Jerman sekali lagi menghadapi dilema kedaulatan hukum transisional dalam pengadilan penjaga perbatasan Jerman Timur yang diadili karena penembakan di Tembok Berlin sebelum unifikasi. Pertanyaan di pengadilan itu adalah apakah pembelaan yang bergantung pada hukum rezim pendahulu dapat diterima. Pengadilan Berlin menempatkan dilema tersebut dalam kerangka ketegangan antara “hukum formal” dan “keadilan” dan menolak hukum bekas Jerman Timur karena “tidak semua hal benar karena secara formal benar”. Membandingkan hukum masa komunis dengan hukum Nazi, pengadilan menggunakan preseden pasca-perang yang menyatakan bahwa perundang-undangan yang “jahat” tidak memiliki keabsahan sebagai hukum: “terutama masa rezim Nasional Sosialis di Jerman memberikan pelajaran bahwa ... dalam kasus-kasus ekstrem, perlu diberikan kesempatan untuk memberikan penghargaan lebih tinggi pada prinsip keadilan material di atas prinsip kepastian hukum.” Secara prosedural, hak legal berbeda dengan hak moral. Sebagai “kasus ekstrem”, kasus penjaga perbatasan ini dianalogikan dengan para kolaborator di masa perang dan dengan demikian dipandu oleh prinsip adjudikatif yang sama.

Referensi

Dokumen terkait