• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keadilan Administratif

Bab ini akan melihat pada situasi-situasi ketika hukum menjadi pendorong perubahan revolusioner. Dalam transisi politik sebagai hasil negosiasi, transformasi sering kali bergantung pada kekuatan hukum. Hukum publik yang dipolitisasi dapat menimbulkan perubahan radikal bila ia mendistribusikan kekuasaan secara eksplisit berdasarkan ideologi yang baru. Tindakan administratif yang dipolitisasi dalam skala besar sering kali dilakukan dalam masa-masa perubahan politik di seluruh dunia: setelah Perang Saudara Amerika Serikat, dalam pergeseran dari perbudakan ke kebebasan; di Eropa pasca-perang, dalam pergeseran dari fasisme ke demokrasi; di Eropa pasca-komunis, dari totalitarianisme ke ekonomi pasar yang lebih bebas; dan di Amerika Latin pasca-rezim militer, dalam pergeseran ke pemerintahan sipil. Pelaksanaan hukum administratif yang dipolitisasi dikatakan selalu diarahkan ke tujuan yang mulia, yaitu untuk melindungi transisi; namun, pernggunaan hukum demikian, yang berdasar pada keputusan yang kategoris, menyerupai keadilan politis di rezim-rezim totaliter. Tindakan-tindakan demikian menimbulkan pertanyaan: apa kaitan cara-cara non-liberal dengan tujuan liberal? Bila ideologi non-liberal telah merasuki masyarakat, bagaimana cara masyarakat itu bisa diarahkan ke sistem politik yang lebih liberal? Apa potensi revolusi melalui hukum? Sejauh mana masyarakat transisional bergantung pada kebiasaan politik masa lalu sebagai dasar transformasi? Apa parameter normatifnya bila ada? Apa justifikasi untuk politisaasi tersebut? Bagaimana kepentingan rezim penerus bisa disesuaikan dengan kebutuhan untuk menjamin hak-hak individual? Dilema yang timbul ini berkaitan dengan cara dan tujuan. Apakah keadilan administratif transisional merupakan hal buruk yang diperlukan untuk mengarah ke transformasi kemasyarakatan?

Dilema utama dalam hal ini terlihat dalam diskusi antara Arthur Koestler dan Maurice Merleau-Ponty tentang “pembersihan” (purge) era Stalin. Dalam argumen mereka, Koestler dan Merleau-Ponty menggunakan tokoh “komisaris” dan “yogi” untuk menggambarkan kedua kubu yang bertentangan itu: sang komisaris membela pembersihan politik karena ia percaya pada revolusi dan bahwa “tujuan menghalalkan segala cara”, dan sang yogi menentang pembersihan karena ia percaya bahwa perubahan revolusioner tidak mungkin terjadi, sehingga ia menyimpulkan “karena sasaran itu bersifat tidak dapat diramalkan ... cara-lah yang menjadi penting”.1 Pertanyaannya adalah: apa kegunaan dan justifikasi cara dan tindakan yang jelas-jelas bersifat politis yang diambil dalam masa perubahan politik radikal? Inilah subjek yang akan dibahas dalam bab ini.

Setelah berakhirnya pemerintahan represif, timbul pertanyaan penting: apa kaitan suatu pemerintahan yang jahat dengan warganya? Revolusi memiliki arti perubahan di tingkat kepemimpinan; namun, untuk mengadakan perubahan politik yang substansial, diperlukan lebih dari sekadar pergantian pemimpin di tingkat teratas. Dan, sering kali masyarakat transisional menggunakan tindakan administratif secara luas untuk mendistribusikan ulang kekuasaan antara warga negara. Bagaimana masyarakat yang sedang mengalami transformasi

1

Arthur Koestler, The Yogi and the Commissar, and Other Essays, New York: Macmillan, 1945; lihat Maurice Merleau-Ponty, Humanism and Terror: An Essay on the Communist Problem, Boston: Beacon Press, 1969.

berpikir tentang penggunaan cara-cara yang berdasarkan pada kelas politik? Intuisi kita adalah mengkonseptualkan tindakan-tindakan tersebut dengan cara yang antinomik: sebagai hukuman yang retrospektif, atau kondisi tatanan politik yang prospektif. Tindakan administratif transisional tampak paradoksal, dan tidak sesuai dengan intuisi yang berdasarkan pada hukum di masa biasa. Dalam beberapa hal, tindakan tersebut memandang ke depan, untuk mengadakan transformasi politik. Namun, di sisi lain, tindakan administratif transisional memandang ke belakang, seperti sanksi punitif. Dalam karakternya yang memandang ke belakang ini, respon-respon demikian menyerupai sanksi pidana; sementara dalam memandang ke depan, tindakan-tindakan ini merupakan usaha berskala besar untuk menyusun kembali komunitas, institusi dan proses politik, dan dalam hal ini keadilan administratif menyerupai langkah-langkah konstitusional.

Berkaitan dengan pertentangan antara sifatnya yang memandang ke belakang sekaligus ke depan adalah subjek peraturan ini, yang mencakup individu maupun kolektif. Peradilan pidana biasanya berusaha menentukan tanggung jawab individual terhadap kesalahannya, namun tirani negara birokratik modern menyebarluaskan tanggung jawab dalam seluruh pemerintahan. Sehingga, penggunaan hukum pidana biasa tidak tepat, terutama bila mereka yang terlibat dalam represi di masa lalu tidak hanya tidak dihukum, namun masih tetap memegang kekuasaan dalam rezim yang baru. Sementara sanksi pidana biasanya ditimbulkan dari kesalahan individual, sanksi perdata yang bersifat administratif didasarkan pada syarat-syarat untuk penyingkiran, terutama loyalitas politik, yang secara sistematis mendiskualifikasikan kelompok-kelompok tertentu secara keseluruhan dari pemerintahan yang baru.

Syarat kategoris yang muncul terus menerus dalam respon transisional ini memiliki bentuk yang tegas: suatu kebijakan penyingkiran, yang mengingatkan kita pada teori politik Thomas Hobbes, yang kemudian muncul kembali dalam tulisan Carl Schmitt, yaitu bahwa “tindakan dan motif politik dapat direduksi menjadi ‘kawan’ dan ‘lawan’”.2 Suatu hukum perdata yang terpolitisasi dapat menciptakan rezim politik yang baru, dengan menunjukkan pergeseran pemegang kekuasaan konstitutif dan kedaulatan.

Respon kolektif yang bersifat ideologis tidak bisa dilepaskan dari politik dalam transformasi. Dilema keadilan administratif tergambar dalam pengalaman dari masa kuno, Amerika Serikat pasca-Perang Saudara, Eropa pasca-Perang, Amerika Latin pasca-rezim militer dan dekomunisasi bekas blok Soviet. Langkah-langkah tersebut menggambarkan bahwa penyelesaian praktis yang merupakan gabungan hukum dan politik diciptakan dalam masa-masa pergolakan. Dengan penggabungan tersebut, proses-proses dan justifikasi bersama menunjukkan bahwa bentuk-bentuk tindakan tersebut tidak bertentangan dengan tujuan mereka, namun terkait dengan keperluan transformatif. Pembahasan tentang contoh-contoh historis di bawah ini menggambarkan peran praktik-praktik tersebut dalam transformasi radikal.

Sodom dan Gomora: “Pembersihan” Dua Kota yang Jahat

2

Carl Schmitt, The Concept of the Political, terjemahan George Schwab, Chicago: University of Chicago Press, 1996, 26.

Pertanyaan inti yang dicoba dijawab dalam bab ini adalah kaitan politik individu dengan politik kolektif dan bagaimana kaitan ini dipikirkan kembali dan dibangun kembali dalam transformasi politik radikal. Sejak masa kuno pun, pertanyaan ini dianggap sebagai inti kemungkinan perubahan politik. Ini tampak dalam kisah biblikal tentang dialog terkenal tentang rencana untuk menghancurkan Sodom dan Gomora, dua kota yang dikatakan “bejat”.3 Kedua kota itu memperlakukan tamu-tamunya dengan buruk – mulai dari ketidakramahan hingga usaha pemerkosaan. Setelah kekejaman ini dilakukan, pertanyaannya adalah: respon apa yang tepat, dan apakah kedua kota itu harus dihancurkan karena dosa-dosa mereka? Dilemanya adalah apabila kota-kota itu harus dihancurkan, itu berarti bahwa orang-orang benar akan ikut musnah bersama orang-orang berdosa. Pertanyaan utamanya adalah: apa kaitan warga dengan identitas politik dari kota itu, dan sejauh mana keberadaan warga negara yang “baik” mempengaruhi identitas suatu kota?

Kisah biblikal ini menunjukkan kaitan yang subtil antara identitas politik kota dengan identitas warganya, antara kolektif dan individual. Kota-kota tersebut tidak bisa diselamatkan hanya karena ada satu orang benar. Dalam tawar menawar, jumlah orang benar yang diperlukan untuk menyelamatkan kota dimulai dari lima puluh, “Jika Kudapati lima puluh orang benar dalam kota Sodom, Aku akan mengampuni tempat itu karena mereka”, dan turun hingga sepuluh, “Aku tidak akan memusnahkannya karena yang sepuluh itu”.4 Terdapat titik balik dalam kaitan antara identitas individual dan kota yang menjadi batas identitas kolektif politik.

Lebih lanjut lagi, apakah keberadaan beberapa orang benar sudah cukup (untuk tidak memusnahkan kota-kota itu)? Menyelamatkan kota-kota itu menimbulkan pertanyaan tidak saja tentang jumlah orang benar yang cukup, namun juga tentang apa yang menyusun suatu komunitas politik. Kisah tersebut menyatakan bahwa orang-orang benar tersebut harus ditemukan “dalam kota Sodom”, yang memiliki arti bahwa mereka haruslah ikut berpartisipasi dalam lingkup publik.5 Dalam sebuah kota yang layak diselamatkan, paling tidak harus ada sepuluh warga yang merupakan komunitas yang berpartisipasi dalam politik. Bahkan, pemahaman tentang politik yang “bersih” sebagai syarat partisipasi dalam lingkup publik tampak dalam teori politik Aristotelian di kemudian hari. Pesan tentang apa yang menyusun masyarakat sebagai hal yang normatif dipertegas dalam bagian lain dalam kisah biblikal tersebut. Lebih luas dari pertanyaan ini adalah tentang apa kaitan yang tepat antara individu dan kolektif, yang ditentukan dalam redefinisi afiliasi politik berdasarkan batas keanggotaan dan partisipasi. Dosa-dosa yang dilakukan oleh kota-kota yang bejat ini dengan sendirinya berkaitan dengan kebejatan seluruh warga kotanya, karena mereka telah melanggar prinsip-prinsip mendasar keadilan sosial yang mencakup perlakuan buruk terhadap tamu-tamu. Sejak masa kuno, warga asing yang berada di luar komunitas politiknya secara normatif tetap dilindungi tanpa memperhatikan batas negara. Pertanyaan tentang respon apa yang diperlukan – terhadap penganiayaan orang-orang asing, di luar perlindungan hukum komunitas tersebut – tetap relevan hingga masa modern ini.

3

W. Gunther (ed.), “Genesis”, dalam The Torah: A Modern Commentary, New York: Union of Hebrew Congregations, 1981, 18: 16-19: 38.

4

Ibid., 18: 23-32. 5

Lihat Nehama Leibowitz, Studies in the Book of Genesis, in the Context of Ancient and Modern Jewish Bible Commentary, terjemahan Aryeh Newman, Yerusalem: World Zionist Organization, Department for Torah Education and Culture in the Diaspora, 1976, 185-86.

Dalam kisah biblikal ini, legitimasi kedua kota ini masih perlu ditentukan terlebih dahulu. Kedua kota ini pada akhirnya dimusnahkan, namun tidak secara sewenang-wenang. “Sesungguhnya banyak keluh kesah orang tentang Sodom dan Gomora dan sesungguhnya sangat berat dosanya. Baiklah aku turun untuk melihat ...”6 Bahkan, Yang Maha Mengetahui pun masih merasa perlu melakukan penyelidikan. Kebenaran politik, atau loyalitas, adalah hal yang diselidiki melalui proses publik, sesuai dengan kondisi dan dalam jangka waktu yang panjang. Seperti dalam ilustrasi klasik ini, proses “evaluasi” inilah yang merupakan bagian keadilan administratif, yang berpuncak pada ritual-ritual politik lustrasi, yang akan dibicarakan lebih lanjut dalam bab ini.

Meskipun intuisi liberal menekankan signifikansi tindakan individual, syarat perubahan menuju masyarakat sipil seperti ditunjukkan dalam kisah klasik tersebut tidaklah semata-mata terkait dengan individu, namun mencakup pula hubungan antara individu dengan masyarakatnya. Pemusnahan kedua kota tersebut menunjukkan bahwa identitas politik suatu kelompok politis berdasarkan pada batasan minimal kelompok politik berdasarkan jumlahnya. Terdapat juga kaitan antara masa lalu kota-kota tersebut dengan masa depannya: sejarah kejahatan di kota-kota itu memiliki dampak penting, karena mengakibatkan kehancurannya di masa berikutnya. Keputusan ini bersifat radikal dan absolut: karena kejahatannya di masa lalu, kota-kota tersebut kehilangan masa depannya. Transformasi politik mutlak diperlukan untuk keberlangsungan kehidupan politik, dan meskipun terdapat intuisi liberal yang sering dikonstruksikan untuk memberikan nilai tambah pada peran individu, usaha transformasi politik memiliki persyaratan, yaitu keberadaan badan partisipatoris. Pemusnahan kedua kota ini merupakan contoh awal peran sanksi kolektif dalam transisi politik. Pada dasarnya pemusnahan ini menggambarkan keterbatasan dan batas-batas kemungkinan perubahan.

Merekonstruksi Amerika

Mungkin eksperimen terbesar dalam rekonstruksi identitas politik melalui hukum publik terjadi pada abad ke-19. Kasus ini memiliki relevansinya karena ia menggambarkan peran konflik politik yang berkelanjutan dengan lingkup perubahan politik dan batasan-batasan terhadap tindakan-tindakan politis yang dijalankan dalam sistem demokrasi konstitusional.

Setelah Perang Saudara di Amerika, masa yang dikenal sebagai Rekonstruksi adalah masa pergulatan nasional tentang transformasi negara Serikat tersebut. Dalam masa ini terdapat dilema tentang bagaimana merespon konflik berdarah yang menimbulkan banyak korban, suatu lembaran hitam dalam sejarah negara tersebut, ketika perbedaan politis diselesaikan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan Konstitusi. Ilegalitas inilah – sifat Perang Saudara yang ekstrakonstitusional – yang merupakan titik tolak rekonstruksi. Jika Perang Saudara dan pemisahan Konfederasi dianggap terjadi di luar hukum, timbul pertanyaan tentang bagaimana menunjukan ketidaktaatan Selatan ini. Bagaimana Serikat dikhianati? Apakah Serikat dikhianati oleh negara-negara bagian “pemberontak”, sebagai negara bagian, atau oleh warganya, sebagai warga “pemberontak”? Dan, bila pelanggaran dilakukan oleh individu maupun negara bagian, apa arti rekonstruksi? Rekonstruksi lebih dari sekadar restorasi – ia memiliki arti perubahan politik yang lebih luas. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang apa yang seharusnya menjadi kaitan antara masa lalu Serikat dengan masa depannya,

6

negara-negara bagian yang memberontak dan warganya. Rekonstruksi menyoroti kemungkinan restrukturisasi individu, warga negara dan negara, dalam gejolak politik yang radikal.

Sejauh mana negara-negara bagian yang memberontak dapat menjadi anggota sepenuhnya dan setara dalam Serikat yang baru? Apakah loyalitas politik di masa lalu berkaitan dengan representasi politik di masa depan dalam Serikat? Apakah negara-negara bagian yang memberontak dan warganya dapat dianggap sebagai pengkhianat dan dipidana? Dan, meskipun pada masa perang mereka dijatuhi status penjahat perang, apakah anggota Konfederasi dan pendukungnya akan direstorasi? Tindakan pidana sejauh mungkin dihindari, selain pengadilan pemimpin Konfederasi, Jefferson Davis dan Kapten Henry Wirz, kepala kamp tahanan Andersonville. Namun, apakah suatu Serikat yang demokratis dapat dibentuk dari anggota-anggota Konfederasi yang belum direkonstruksi? Bahkan bila dapat dibayangkan suatu tatanan baru yang mencakup para mantan pendukung Konfederasi, paling tidak pada jajaran atas akan ditarik suatu garis yang mensyaratkan pergantian kepemimpinan dan representasi negara-negara bagian Selatan. Amerika pasca-Perang Saudara menunjukkan masalah besar tentang bagaimana merespon ketidaktaatan dan bagaimana menciptakan kepercayaan terhadap pemerintahan nasional yang baru.

Dasar kebijakan Rekonstruksi adalah pemisahan diri dan ilegalitasnya. Sebagai parameter batasan politis dan juridis, disahkanlah amendemen konstitusional baru yang menyatakan ilegalitas pemisahan diri tersebut. Ilegalitas pemisahan diri tersebut memberikan implikasi diskontinuitas legal antara rezim, antara Konfederasi dan Serikat. Ilegalitas ini dinyatakan secara eksplisit dalam suatu provisi konstitusional yang menghilangkan tanggung jawab untuk hutang-hutang yang ditimbulkan oleh negara-negara bagian pemberontak selama perang.7 Bahkan meskipun tidak diperdebatkan lagi bahwa Konfederasi telah dihancurkan sebagai satu entitas legal, negara-negara bagian yang memisahkan diri tersebut masih ada sebagai entitas politik dan juridis, yang menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana mengembalikan hak-hak mereka dan bagaimana memasukkan kembali mereka ke dalam Serikat. Dalam Serikat yang baru ini, respom publik luas melakukan pelucutan politik (political disability) bagi negara-negara bagian Konfederasi dan warganya, dan menentukan kembali batas politik Serikat melalui hukum konstitusional.8

Selama Rekonstruksi, selalu terdapat pertanyaan tentang bagaimana memperlakukan negara-negara bagian pemberontak dan warganya, serta kebijakan transisional manakah yang memandu hubungan ini. Rekonstruksi Amerika memiliki arti suatu perubahan dalam kaitan antara individu dan kolektif, warga negara dan negara. Bahkan, keruntuhan rezim perbudakan dan konsolidasi republik bergantung pada rekonstruksi kaitan ini. Sepanjang sejarah, pengucapan sumpah setia dipergunakan untuk membantu mengkonsolidasikan suatu kemunitas politik yang rapuh dan terbelah. Semakin retak kelompok politik tersebut, semakin besar tekanan untuk menyatukannya. Suatu bentuk kebijakan Rekonstruksi yang relatif lunak disarankan pada masa Presiden Abraham Lincoln, yaitu dengan menyuruh para mantan pendukung Konfederasi mengucapkan sumpah setia kepada Serikat. Rencana ini bisa

7

Lihat Konstitusi Amerika Serikat, Amendemen XIV, § 4 (menyatakan bahwa “baik Amerika Serikat maupun negara lainnya tidak akan menanggung atau membayar hutang atau kewajiban yang ditimbulkan dari bantuannya terhadap insureksi atau pemberontakan melawan Amerika Serikat ... semua hutang, kewajiban dan klaim demikian akan dianggap ilegal dan tidak sah”).

8

diterapkan secara universal, sebagai pernyataan persetujuan secara publik kepada pemerintah yang baru, untuk menunjukkan kesetiannya.9 Penggunaan sumpah demikian telah dimulai sejak transisi lebih awal dari Inggris, di mana Konstitusi Amerika mewajibkan sumpah menurut Konstitusi bagi semua orang yang hendak menduduki jabatan publik, untuk menunjukkan kesetiaan, bukan kepada raja yang berada entah di mana, namun kepada Konstitusi. Bila sepuluh persen dari negara-negara Konfederasi sepakat untuk mengucapkan sumpah setia kepada Amerika Serikat, pemerintahan negara bagian yang baru akan diakui, dan pengampunan serta restitusi hak milik akan diberikan. Sumpah kesetiaan model Lincoln ini ditujukkan untuk memungkinkan transformasi dari pemberontak, ke negara-negara bagian yang dikembalikan hal legalnya, namun rencana ini tidak bertahan lama, dan digantikan oleh kebijakan yang lebih keras.

Kebijakan Rekonstruksi yang merujuk pada syarat-syarat konstitusional dalam Amendemen XIV pada umumnya bersifat prospektif; syarat-syarat yang diberikan kepada negara-negara Selatan dan warganya untuk kembali menjadi anggota Serikat menunjukkan komitmen umum terhadap prinsip utama kesetaraan di muka hukum. Rehabilitasi negara-negara bagian disyaratkan pada ketaatan pada Amendemen XIV dan XV, dan disepakati oleh badan-badan perwakilan negara bagian sebelum dinyatakan sah untuk memiliki perwakilan dalam kongres negara federal (Serikat).10 Demikian pula, syarat-syarat konstitusional ini dapat mendiskualifikasi siapa saja, yang sebelumnya melanggar sumpahnya untuk menjunjung Konstitusi dengan melakukan pemberontakan, dari jabatan publik. Sejarah legislatif ini menunjukkan dengan jelas bahwa pelucutan-diri secara konstitusional ini ditujukkan untuk menyingkirkan mantan pemimpin Konfederasi dari jabatan publik.

Tidak seorang pun dapat menjadi Senator atau Wakil dalam Kongres, atau Pemilih Presiden dan Wakil Presiden, atau memegang jabatan apa pun, sipil atau militer, dalam negara Amerika Serikat, atau dalam negara-negara bagiannya yang mana pun, yang sebelumnya telah mengambil sumpah, sebagai anggota Kongres, atau sebagai pejabat Amerika Serikat, atau sebagai anggota badan legislatif negara-negara bagiannya yang mana pun, untuk menjunjung Konstitusi Amerika Serikat, [namun] telah melakukan insureksi atau pemberontakan terhadap [Konstitusi] tersebut, atau memberikan bantuan kepada musuh-musuh [Konstitusi].11

Pelucutan-diri secara konstitusional ini diberi kekuatan dengan pengesahan sumpah “berlapis baja” (ironclad oath), yang mewajibkan seseorang untuk bersumpah bahwa sejak sebelumnya ia telah menjunjung Konstitusi sebelum ia dapat memegang jabatan publik di masa depan. Dengan rehabilitasi yang disyaratkan pada sumpah tersebut, identitas politik negara didefinisikan pada utamanya sebagai respon terhadap rezim sebelumnya. Sementara sumpah kesetiaan Lincoln merupakan ekspresi penegasan kesetiaan di masa mendatang yang melihat ke depan, sumpah ironclad ini kebalikannya, sebagai ungkapan penolakan memandang ke

9 Lihat Jonathan Truman Dorris,

Pardon and Amnesty under Lincoln and Johnson: The Restoration of the Confederates to Their Rights and Privileges, 1861-1898, Westport, Conn: Greenwood Press [1953] 1977.

10

Lihat White v. Hart, 80 US 646 (1871) (menjelaskan bagaimana Akta Rekonstruksi mewajibkan negara-negara bagian yang memberontak untuk menaati syarat-syarat yang ditentukan Kongres untuk dapat dikembalikan ke statusnya sebelum melakukan pemberontakan).

11

Lihat Konstitusi Amerika Serikat, Amendemen XIV, § 3 (“Namun Kongres bisa, dengan melakukan pemungutan suara yang disepakati dua pertiga dari masing-masing kamar, mencabut pelucutan tersebut”). Bagian ini mulai diberlakukan pada bulan Juli 1868.

belakang. Seperti sumpah kanonik di masa lampau,12 sumpah ironclad berfungsi sebagai ujian kebenaran politik, yang digunakan untuk membersihkan seseorang dari tuduhan atau kecurigaan, dengan melakukan sumpah tersebut. Meskipun sumpah ironclad ini adalah suatu tindakan yang keras, bahasa konstitusional dalam amendemen Rekonstruksi mencerminkan ambivalensi yang mendalam tentang penerapannya. Tidak seperti provisi konstitusional lainnya yang dapat diterapkan dengan sendirinya, pelucutan politik mensyaratkan adanya konsensus politik yang berjalan. Terlebih lagi, dalam amendemen konstitusional ini, Kongres secara eksplisit diberi kekuasaan untuk mengesampingkan ketentuan soal pelucutan politik itu,13 yang menunjukkan bahwa amendemen Rekonstruksi ini tidak memiliki status konstitusional dan dianggap sebagai tindakan ad hoc –diperlukan hanya untuk kepentingan politis.

Pelucutan politik Rekonstruksi pada akhirnya tidak berlangsung lama. Selama beberapa tahun, Kongres secara teratur menjalankan kekuasaannya: membuat perundang-undangan amnesti dan secara teratur mencabut pelucutan politik.14 Dalam Kongres ke-42, pelucutan ini ditetapkan hanya berlaku bagi jabatan tinggi dalam politik. Pada tahun 1872, atas dorongan Presiden Ullysess Grant, Kongres membebaskan semua orang dari pelucutan konstitusional, kecuali pejabat tinggi politik, seperti wakil dalam Kongres dan hakim federal. Akhirnya, pada tahun 1878, enam tahun setelah dilaksanakannya, pelucutan politik yang terbatas ini bahkan dicabut, dan hanya menyisakan provisi konstitusional untuk mencabut hak dipilih menjadi wakil. Namun, pelucutan-diri secara konstitusional tetap dipergunakan sebagai alat peringatan, sebagai cara diskualifikasi de facto dari jabatan publik atas dasar politik. Pelucutan politik era Rekonstruksi masih tetap ada dalam Konstitusi Amerika, di mana mereka merupakan ekspresi politik sejarah yang membentuk identitas Amerika Serikat.

Kebijakan rekonstruksi bersifat kontroversial karena ia secara mendasar menata ulang hubungan negara bagian federal, yang kemudian akan mendapatkan tantangan di pengadilan. Pertanyaan konstitusionalnya adalah prinsip apa yang mengatur hubungan antara pemerintah federal dan negara bagian, pemerintah dan warga. Dalam sistem federal, pemerintah mana yang memiliki otoritas untuk menentukan status dan hak warga negara, dan siapa yang harus

Dokumen terkait