• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam bayangan publik, keadilan transisional lazim dikaitkan dengan pengadilan dan penghukuman penguasa sebelumnya. Simbol-simbol kuat revolusi Inggris dan Prancis dari pemerintahan monarki ke republik adalah pengadilan Raja Charles I dan Louis XVI. Setengah abad setelah terjadinya simbol utama kekalahan Nazi di Perang Dunia Kedua adalah pengadilan Nuremberg. Kemenangan demokrasi terhadap pemerintahan militer di transisi Eropa Selatan diwakili oleh pengadilan terhadap para kolonel di Yunani. Pengadilan junta Argentina menandakan akhir puluhan tahun pemerintahn represif di seluruh Amerika Latin. Gelombang transisi kontemporer dari pemerintahan militer, di Amerika Latin dan Afrika, demikian pula dari pemerintahan komunis di Eropa Tengah dan bekas blok Soviet, telah memunculkan kembali perdebatan tentang apakah perlu dilakukan penghukuman.

Penghukuman mendominasi pemahaman kita tentang keadilan transisional. Bentuk hukum terkeras ini melambangkan pertanggungjawaban dan kedaulatan hukum; tetapi, dampaknya jauh melebihi peristiwa itu sendiri. Tinjauan terhadap masa transisi menunjukan bahwa peradilan pidana yang dijalankan oleh pemerintahan pengganti atau suksesor menimbulkan banyak pertanyaan sukar bagi masyarakat yang telah terkena akibat dari kekerasan masa lalu itu, sehingga sering kali peradilan tersebut tidak dilaksanakan. Perdebatan tentang peradilan pidana transisional diwarnai oleh dilema yang sukar: menghukum atau memberikan pengampunan? Apakah penghukuman adalah tindakan yang melihat ke belakang sebagai pembalasan, atau ekspresi pembaruan kedaulatan hukum? Siapa yang paling perlu bertanggung-jawabuntuk represi yang telah terjadi? Sejauh mana tanggung jawab terhadap represi dapat dibebankan kepada individu, dibandingkan kepada kolektif, rezim atau bahkan seluruh masyarakat?

Dilema utama yang terkait erat dengan transisi adalah bagaimana cara bergeser dari pemerintahan non-liberal dan sejauh mana pergeseran ini dipandu oleh pandangan konvensional tentang kedaulatan hukum dan tanggung jawab individual yang dikaitkan dengan demokrasi yang sudah mapan. Ketegangan inti yang timbul di sini adalah tentang penggunaan hukum untuk memajukan transformasi, yang dipertentangan dengan perannya dalam ketaatan terhadap legalitas konvensional. Sejauh mana peradilan pidana transisional dikonseptualkan dan diajudikasi sebagai hal yang kontekstual terhadap masyarakat tertentu, atau dipandu oleh kedaulatan hukum biasa yang dipergunakan demokrasi mapan? Dilema utama ini bisa diperluas ke banyak dilema lainnya. Apa tatanan legal yang paling relevan? Militer atau sipil? Internasional atau nasional? Dan, tanpa mempedulikan apa pun tatanan legal yang relevan, sampai sejauh manakah pemahaman tentang pertanggungjawaban pidana diproyeksikan ke belakang? Apakah seluruh proyek keadilan ini sama sekali bersifat ex post? Siapa yang diminta pertanggungjawaban, dan untuk pelanggaran apa? Dilema-dilema transisi ini dibicarakan dalam bab ini. Ini dibicarakan, dan dicapai kompromi transisioanl dalam bentuk “sanksi pidana terbatas”, yang pada hakikatnya adalah bentuk penghukuman yang simbolis.

Dasar Argumen Peradilan Pidana dalam Masa Transisi

Mengapa harus menghukum? Argumen utama untuk memberikan hukuman pada masa gejolak politik bersifat konsekuensional dan melihat ke depan. Dikatakan bahwa dalam masyarakat dengan masa lalu yang buruk yang baru saja keluar dari pemerintahan yang represif, pengadilan suksesor memberikan dasar yang kuat untuk membangun tatanan liberal yang baru. Pada masa-masa itu, sebagai variasi justifikasi hukum “utilitarian” yang konvensional, dasar bagi memberikan hukuman adalah kontribusinya bagi kebaikan bersama.1 Namun tidak seperti argumen konvensional untuk menghukum pada masa normal yang cenderung berfokus pada pelaku atau dampak hukuman bagi masyarakat, misalnya sebagai penggentar, argumen untuk menghukum pada masa transisi memiliki bentuk lain. Alih-alih memberikan argumen untuk menghukum secaraafirmatif, argumennya diberiakan secara negatif – apa yang akan terjadi bila tidak ada penghukuman? Di sinilah konteks politik khas dari masa transisi memainkan peranan.

Sementara argumen menentang impunitas, yaitu argumen tentang akibat dari kegagalan memberikan hukuman, juga digunakan pada masa biasa,2 argumen ini menjadi lebih kuat pada masa transisi. Karena, dengan kondisi ketiadaan hukum pada masa sebelumnya, jauh lebih banyak harapan terhadap tindakan-tindakan menuntut pertanggungjawaban berdasarkan kedaulatan hukum. Ketidakadilan di masa lalu ini, perlu diingat, sebagian besar dipicu dan didukung oleh negara. Dengan latar belakang ini, argumen menentang impunitas mendapat arti yang baru. Dalam konteks ini, pelaksanaan peradilan pidana dianggap merupakan cara terbaik untuk memperbaiki “keadilan” negara di masa lalu dan memajukan transformasi normatif ke sistem yang taat kedaulatan hukum. Rezim yang represif sering kali dicirikan oleh tindakan pidana, seperti penyiksaan, penahan secara sewenang-wenang, penghilangan, eksekusi di luar hukum, yang semuanya didukung oleh negara. Bahkan, bila kejahatan di masa lalu dilakukan oleh pelaku privat, negara sering kali masih terimplikasi, baik melalui kebijakan penindasan, kegagalannya melindungi warga negara, atau dalam menutupi tindakan pidana dan impunitas. Konteks transisi, terutama tentang keterlibatan negara dalam tindakan pidana, memberikan argumen kuat untuk menghukum dibandingkan impunitas. Namun, paradoks terjadi ketika konteks transisional tersebut menimbulkan dilema signifikan terhadap penggunaan hukum pidana sebagi respon yang efektif terhadap penyalahgunaan kekuasaan negara.

Pemberian hukuman memiliki peran historis untuk melaksanakan norma-norma kedaulatan hukum dalam konteks kesalahan negara di tingkat internasional. Argumen mendasar untuk pengadilan suksesor memiliki sejarah yang panjang hingga abad pertengahan, yang mengambil dari norma-norma hukum internasional konsep tentang keadilan terhadap kekerasan politik yang tidak sah. Pengadilan sudah lama digunakan untuk menerapkan norma-norma hukum internasional tentang ketidakadilan dalam perang. Pembebanan tanggung jawab pidana terhadap pemimpin politik pendahulu karena mengadakan perang yang melanggar hukum, atau mirip dengan itu, pemerintahan negara yang buruk, adalah benang merah pengadilan suksesor terhadap tiran-tiran polis yang dijelaskan oleh Arisoteles dan pengadilan

1

Lihat Cesare Beccaria, On Crimes and Punishments and Other Writings, Cambridge: Cambridge University Press, [1769], 1995; Jeremi Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation Vol. 2, Darien, Conn: Hafner Publishing [1823], 1970 (berteori bahwa hukuman diperlukan untuk kebaikan bersama).

2

Raja Charles I serta Louis XVI, hingga pengadilan serupa pada masa kontemporer: Pengadilan Nuremberg, pengadilan kejahatan perang Tokyo, pengadilan kolonel di Yunani dan pengadilan junta militer Argentina.

Dalam sejarahnya, pengadilan suksesor berdasarkan pada konsep tirani yang didasarkan pada pengkhianatan; pihak yang melanggar hukum dalam perang adalah pihak yang kalah.3 Pemahaman awal tentang kaitan hukum pada keadilan ini diformulasikan kembali di Nuremberg, ketika pengadilan digunakan untuk memberikan pesan normatif yang jauh lebih besar daripada sekadar pengadilan terhadap rezim asing yang terkalahkan, untuk membedakan kekerasan yang “adil” dari yang “tidak adil”. Pada masa kontemporer, peradilan pidana suksesor digeneralisasikan keluar dari penggunaannya semasa pasca-perang ke transisi lain, di mana kekuatan normatif utamanya adalah pengutukan terhadap kekerasan politik di masa sebelumnya. Delegitimasi terhadap kekerasan yang dilakukan rezim pendahulu ini berada di luar domain pengadilan pasca-perang. Pengadilan terhadap para pimpinan politik digunakan untuk mengkonstruksikan arti ketidakadilan negara. Pemberian hukuman didukung dengan dasar bahwa hal tersebut memajukan identitas politik suatu masyarakat dalam transisi sebagai pemerintahan demokratis oleh negara yang menaati hukum. Teori kontemporer biasanya menjustifikasi penghukuman dalam negara-negara transisi karena potensi perannya untuk membangun tatanan politik baru yang demokratis.4

Pengadilan suksesor dikatakan memiliki fungsi politik untuk menarik garis batas antar-rezim, memajukan sasaran politik transisi tersebut dengan mendelegitimasi rezim pendahulu, dan melegitimasi rezim penggantinya. Pengadilan Raja Charles I dan Louis XVI, demikian pula Nuremberg, pada dasarnya adalah tindakan politik. Seperti ditulis Michael Walzer, “Kaum revolusioner harus menamatkan rezim lama: ini berarti bahwa mereka harus melakukan proses ritual untuk ... secara terbuka mengutuk ideologi rezim lama.”5 Tentang pengadilan Raja Louis XVI, Walzer menyatakan bahwa “regisida secara terbuka merupakan cara yang amat kuat untuk memecahkan mitos-mitos rezim lama, dan dengan demikian, merupakan titik berdirinya sistem yang baru.”6 Pengadilan terhadap raja tersebut memiliki arti politik, dengan menunjukkan bahwa ia tidak berada di atas hukum.7 Melalui pengadilan suksesor, hukum menerapkan kesetaraan semua orang di muka hukum, dan dengan demikian melakukan pergeseran normatif yang mendasar dalam pergeseran dari monarki ke republik. Pengadilan suksesor juga dibela dengan dasar serupa oleh Judith Shklar: “Pengadilan sebenarnya bisa mencapai tujuan liberal, dengan mendorong nilai-nilai legalistik sedemikian rupa untuk memberikan kontribusi pada politik konstitusional dan sistem hukum yang baik.”8 Dalam perkataan Otto Kirchheimer, pengadilan memungkinklan “pembangunan tembok yang permanen dan jelas antara awal yang baru dan tirani yang lama.”9

3

Lihat David Lagomarsino dan Charles T. Wood, The Trial of Charles I: A Documentary History, Hanover, N.H: University Press of New England, 1989, 25; Michael Walzer (ed.), Regicide and Revolution: Speeches at the Trial of Louis XVI, terjemahan Marian Rothstein, New York: Cambridge University Press, 1974, 88.

4

Untuk argumen kontemporer, lihat Diane F. Orentlicher, “Settling Accounts: The Duty to Prosecute, Human Rights Violations of a Prior Rezim”, Yale Law Journal 100 (1991): 2537.

5

Walzer (ed.), Regicide and Revolution, 88. 6

Ibid., 5. 7

Ibid., 78. 8

Judith N. Shklar, Legalism, Morals, and Political Trials, Cambridge: Harvard University Press, 1964, 145. 9

Otto Kirchheimer, Political Justice: The Use of Legal Procedure for Political Ends, Wesport, Conn: Greenwood Press, 1961, 308.

Dalam banyak teori politik yang diterima, pengadilan suksesor dianggap memiliki potensi untuk berperan penting dalam menarik garis antara tirani lama dan awal pemerintahan baru. Peradilan pidana menawarkan legalisme normatif yang membantu menjembatani masa-masa lemahnya kedaulatan hukum. Proses pengadilan memberikan cara untuk mengekspresikan secara terbuka kutukan terhadap kekerasan di masa lalu dan legitimasi kedaulatan hukum yang diperlukan untuk konsolidasi demokrasi di kemudian hari. Peradilan pidana suksesor biasanya dijustifikasi oleh tujuan konsekuensialis tentang pembentukan kedaulatan hukum dan konsolidasi demokrasi.10 Pandangan demikian yang khas pada masa transisi ini dijelaskan di sini sebagai justifikasi “demokratis” terhadap hukuman yang utamanya berdasar pada tujuan transisi. Proses peradilan pidana tepat digunakan untuk menekankan pesan inti liberal tentang keutamaan hak dan kewajiban individual.

Peran pengadilan suksesor pada masa-masa demikian tidaklah terlalu mendasar, namun lebih sebagai cara transisi. Penggunaan peradilan pidana untuk menarik garis antar-rezim menimbulkan dilema yang sukar tentang kaitan antara hukum dan politik. Sementara pengadilan dalam konteks politik ditujukan untuk mencapai tujuan politik – berkaitan dengan pesan paling utama dari keadilan transisional untuk memberikan dasar bagi transisi politik, untuk membantah norma-norma politik pendahulu dan untuk membangun tatanan politik yang baru – hal-hal tersebut bertentangan dengan pemahaman konvensional tentang kedaulatan hukum. Dilema inti tersebut berkaitan dengan ciri utama transisi: konteks politik pergeseran normatif. Dilema yang ditimbulkan oleh pergeseran politik dari pemerintahan non-liberal menjadi liberal ini sangat terkait dengan masalah retroaktivitas berbagai norma yang relevan selama perubahan rezim dan penerapan aturan-aturan normatif rezim yang baru terhadap tindakan rezim lama. Bila dilema ini diteliti lebih lanjut, konsekuensinya menjadi amat paradoksal: agar pengadilan dapat memenuhi potensi konstruktif mereka, prosesnya harus dijalankan dengan legalitas penuh seperti pada negara demokrasi yang telah mapan di masa biasa, dan bila proses pengadilan tidak berjalan dengan adil, dampaknya bisa menjadi negatif, memberikan pesan keadilan politis yang keliru dan mengancam demokrasi yang baru tumbuh. Dengan demikian, pengadilan suksesor berada pada batasan yang tipis antara tercapainya ketaatan pada kedaulatan hukum, atau risiko berlanjutnya keadilan politis. Kesukaran untuk menyelesaikan dilema yang ditimbulkan oleh penggunaan hukum pidana untuk tujuan kedaulatan hukum transisional ini menjelaskan mengapa banyak rezim pengganti yang tidak menggunakan cara ini, dan menjelaskan timbulnya bentuk-bentuk sanksi pidana yang lebih “terbatas.”

Pesan normatif transisional ini paling jelas terdengar melalui tatanan hukum internasional, karena kekuatannya terletak pada mekanisme normatif dengan kapasitas untuk menanggapi kekerasan politik luar biasa yang berada di luar tatanan hukum biasa. Dengan demikian, ia cocok untuk mengekspresikan pesan transisional dari pergeseran normatif. Anehnya, kekuatan ini merupakan sekaligus kelemahannya, karena sifatnya yang tidak biasa ini, hingga titik tertentu, menempatkan di luar legalitas konvensional, dan dengan demikian, tidak menaati pemahaman normal tentang kedaulatan hukum dalam memperkuat transformasi demokratik.

10

Lihat Ruti Teitel, “How Are the New Democracies of the Southern Cone Dealing with the Legacy of Past Human Rights Abuses?” (makalah dipresentasikan sebagai latar belakang untuk diskusi di Council on Foreign Relations, mengkritik bahwa demokrasi menjustifikasi kewajiban untuk menghukum), New York, 17 Mei 1990.

Warisan Nuremberg

Sejak Perang Dunia Kedua, pandangan tentang keadilan suksesor telah didominasi oleh nilai-nilai yang didapatkan dari pengadilan Nuremberg. Signifikansi pengadilan tersebut paling mudah ditempatkan dalam konteks sejarah dan politisnya, dengan melihat keadilan transisional pasca-Perang Dunia Pertama dan kegagalan kebijakan pengadilan nasionalnya.11 Kebijakan keadilan di Versailles melatarbelakangi kebijakan pengadilan di Nuremberg dan menjelaskan mengapa pengadilan nasional dianggap terlalu politis dan tidak dapat bekerja. Kegagalan pengadilan nasional pasca-Perang Dunia Pertama dianggap bertanggung-jawab untuk timbul kembalinya agresi Jerman. Rasa bersalah yang berkaitan dengan perang dan ditanggung oleh seluruh negeri dianggap mencegah transisi menuju demokrasi yang berkelanjutan. Pandangan bahwa keadilan nasional bersifat terlalu politis ini menjadi latar belakang kebijakan pasca-perang sebelumnya, dengan akibat yang akan terlihat sepanjang sisa abad ke-20.

Melalui Pengadilan Nuremberg, inti dari respon pasca-perang menjadi norma yang diterima. Seperti setelah Perang Dunia Pertama, mekanisme pertanggungjawaban adalah pengadilan, dan pelanggaran utama yang dipermasalahkan adalah agresi. Namun, kesamaan antara kedua pengadilan tersebut hanya sampai di situ. Perbedaan signifikan dari Nuremberg adalah pertanggungjawaban tetap ada di tangan pihak sekutu; jurisdiksinya bukan nasional, melainkan internasional. Dan, alih-alih menghukum sebuah negara, tujuannya adalah membebankan pertanggungjawaban individual. Namun, kita akan melihat bahwa realitas pengadilan Nuremberg bergeser dari mandatnya semula.

Warisan Nuremberg menjadi lebih rumit dengan celah yang tampak antara idealisasi ilmiah tentang preseden tunggal ini dan realitas sejarahnya: setengah abad kemudian, pembicaraan tentang pengadilan tersebut masih terdengar. Bagaimana keadilan dicapai di Nuremberg, termasuk ketidaksesuaian dengan prosedur umum, menjadi identik dengan keadilan suksesor. Sebuah anomali hukum pada waktu itu, pengadilan Nuremberg masih tetap merupakan preseden yang menjadi anomali, dengan melihat praktik-praktik suksesor lainnya di abad ini. Namun, satu cara untuk memahami signifikansi Nuremberg sebagai preseden adalah dengan membedakan berbagai pemahaman tentang preseden tersebut, misalnya antara Nuremberg sebagai proses, dalam sidang Tribunal Militer Internasional dan proses peradilan pidana internasional, dan aspek doktriner, yaitu keputusan-keputusan yang disahkan. Diawali dengan aspek preseden persidangan, di sinilah presedennya terlemah. Dalam lima puluh tahun setelah Nuremberg, meskipun sering kali dibicarakan tentang baiknya tribunal serupa, terutama di masa perang, jarang sekali dilaksanakan proses pengadilan, meskipun, sebagaimana kita mendekati akhir abad ke-20, mulai tercipta momentum untuk pembentukan pengadilan pidana internasional yang permanen.12

11

Untuk tinjauan tentang pengadilan-pengadilan nasional yang gagal, lihat George Gordon Battle, “The Trials Before the Leipsic Supreme Court of Germans Accused of War Crimes”, Virginia Law Review 8 (1921): 1. 12

Komisi Persiapan Pembentukan Pengadilan Pidana Internasional telah menyelesaikan tugasnya dengan mengesahkan kerangka kerja untuk Pembentukan Pengadilan Pidana Internasional. Lihat U.N. doc. A/AC.249/1998/CRP.6-18, U.N. doc. A/AC.249/1998/CRP.21, U.N. doc. A/AC.249/1998/CRP.19, U.N. doc. A/AC.249/1998/CRP.3/Rev.1. Hingga diterbitkannya buku ini [dalam versi Inggris, ed.], Sidang Diplomatik Tingkat Tinggi PBB untuk Pembentukan Pengadilan Pidana Internasional telah bersidang di Roma antara 15 Juni sampai 17 Juli 1998, untuk memfinalkan dan menyetujui konvensi untuk pembentukan pengadilan tersebut. Lihat

Nilai kuat preseden Nuremberg bukanlah pada proses, namun pada cara ia membentuk pemahaman umum tentang peradilan pidana transisional. Pada lima puluh tahun terakhir, Nuremberg membentuk pemahaman ilmiah dominan tentang peradilan suksesor, dengan pergeseran pendekatan dari proses nasional ke proses internasional, juga dari kolektif ke individual. Peradilan pidana suksesor model Nuremberg merupakan forum yudisial, prosedur pidana multinasional, dan juga pelanggaran seperti “kejahatan terhadap kemanusiaan” yang sama sekali baru dan menginternasional. Pendekatan keadilan suksesor ini sangatlah internasional berkaitan dengan pelanggaran yang relevan, dasar jurisdiksi dan prinsip legal.

Sebuah tinjauan historiografis menunjukkan dampak kuat preseden tersebut pada literatur ilmiah, terutama tentang bagaimana pertanggungjawaban dikonseptualisasi dalam hukum internasional. Tinjauan terhadap bibliografi tentang pertanggungjawaban bagi kejahatan berat oleh negara menunjukkan bahwa literatur tentang respon internasional terhadap kekejaman sejak Perang Dunia Kedua, terutama dalam bahasa Inggris, berkembang dengan pesat, sementara studi komparatif tentang pengalaman nasional cenderung diabaikan.13 Secara historis, satu alasan untuk banyaknya studi tentang keadilan suksesor pasca-perang adalah bahwa ia mencerminkan perkembangan hukum internasional yang paralel. Di masa pasca-perang terjadi kerja sama yang tanpa preseden dalam Tribunal Militer Internasional di Nuremberg, terbentuknya PBB, dan juga pengesahan berbagai konvensi dan resolusi tentang kejahatan internasional.

Beratnya pelanggaran yang dilakukan para Nasional Sosialis (Nazi) dan kolaborator mereka mendorong tercapainya konsensus internasional yang sebelumnya tidak pernah ada. Optimisme dan momentum dari konsensus baru tentang kejahatan internaional tersebut, dan juga kerjasama internasional dalam proses pengadilan, menimbulkan harapan untuk terbentuknya badan hukum pidana internasional tentang penindasan oleh negara, yang akan dilaksanakan oleh suatu tribunal internasional. Literatur hukum mencerminkan kemajuan dalam struktur hukum internasional dan keputusan-keputusannya. Literatur hukum internasional yang tumbuh pesat tentang respon terhadap penindasan oleh negara mencantumkan tema-tema dan istilah dari suatu hukum pidana internasional yang mulai tumbuh: dari cara pendefinisian kejahatan, signifikansi Tribunal Militer Internasional, ekspansi jurisdiksi terhadap tindakan-tindakan tertentu, dan mungkin yang paling penting, timbulnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara yang baru dalam komunitas internasional. Semua ini menjadi bidang kajian penting yang berlanjut hingga kini.

Namun justifikasi historis untuk menempatkan keadilan suksesor dalam kerangka hukum internasional kini cenderung berkurang. Harapan masa pasca-perang untuk berkembangnya hukum pidana internasional hingga kini belum terpenuhi. Antusiasme yang muncul bersamaan dengan kemajuan hukum internasional menurun dengan kesadaran tentang

umumnya Cristopher Keith Hall, “The First Two Sessions of the U.N. Preparatory Commitee on the Establishment of an International Criminal Court”, American Journal of International Law 91 (1997): 177; James Crawford, “The ILC Adopts a Statute for an International Criminal Court, American Journal of International Law 89 (1995): 404 (membicarakan rancangan statuta Komisi Hukum International [ILC] untuk membentuk pengadilan pidana internasional); Bernhard Graefrath, “Universal Criminal Jurisdiction and an International Criminal Court”, European Journal of International Law 1 (1990): 67 (membicarakan usaha PBB untuk membentuk pengadilan pidana internasional). [Mahkaham yang dimaksud itu, yaitu Mahkamah Pidana Internasional, saat ini telah didirikan, ed.]

13

Lihat Norman E. Tutorow (ed.), War Crimes, War Criminals and War Crimes Trials: An Annotated Bibliography and Source Book, New York: Greenwood Press, 1986.

kurang efektifnya mekanisme internasional untuk merespon kekejaman. Sistem penghukuman internasional (international penal law) tetap berada pada kondisinya yang tidak berkembang: masih belum ada sistem hukum pidana internasional (international criminal code). Dan, meskipun berulang kali diserukan pembentukan pengadilan pidana internasional atau bahkan jurisdiksi internasional, forum tersebut masih belum dibentuk. Baru belakangan ini timbul konsensus di masyarakat internasional yang mendukung prinsip pengadilan pidana internasional yang permanen untuk dibentuk sebelum akhir abad ke-20.14

Namun, pemberian jurisdiksi kepada badan internasional terhadap pelanggaran pidana selain genosida masih ditentang oleh banyak negara, termasuk Amerika Serikat. Bahkan dalam kontroversi hukum internasional yang berkaitan dengan hal-hal non-pidana, di mana jurisdiksi internasional telah disepakati, tampaknya tidak akan tercapai kesepakatan.15 Dengan demikian, kejahatan internasional yang telah didefinisikan belum tentu disertai oleh jurisdiksi universal. Dengan ditempatkannya negara di Mahkamah Internasional sebagai aktor dan dengan intensif untuk menjadikan negara tetap kebal terhadap tuntutan, struktur hukum internasional kini belum membantu pelaksanaan konvensi menentang genosida dan jaminan lainnya dari hukum internasional. Literatur yang menyerukan penambahan norma-norma internasional dan mekanisme penerapan jauh lebih maju daripada parameter konsensus pasca-perang dan sistem hukum internasional yang ada.16 Celah antara definisi kejahatan menurut hukum internasional dan mekanisme penerapannya masih tetap lebar. Namun, meskipun dengan sifatnya yang luar biasa, hukum internasional memberikan panduan normatif yang sedikit banyak memediasi banyak dilema keadilan transisional.

Dilema Transisional dan Pergeseran Paradigma Nuremberg

Paradigma keadilan dan istilah-istilah hukum internasional yang diciptakan di Nuremberg, meskipun memiliki kelemahan, masih tetap menjadi kerangka perdebatan tentang keadilan suksesor. Dalam sistem hukum internasional, dilema keadilan suksesor berhasil diselesaikan. Pandangan tentang ketidakmampuan keadilan nasional melepaskan diri dari politik timbul dari sejarah kebijakan pasca-Perang Dunia Pertama, dengan dampak yang terasakan di kemudian hari. Secara abstrak, dilema keadilan suksesor tampaknya paling bisa diselesaikan dengan merujuk pada sistem hukum yang otonom. Sementara dalam skema hukum nasional,

Dokumen terkait