Pada masa kontemporer, hampir semua rezim transisional – baik setelah terjadinya perang, kediktatoran militer maupun komunisme – mengambil langkah berupa keadilan reparatoris. Tinjauan praktik reparatoris yang dibahas di sini menunjukkan bahwa respon ini tersebar luas dalam berbagai budaya hukum yang berbeda. Bagaimana masyarakat menganggap tindakan-tindakan reparatoris tersebut? Apa kegunaan dan fungsinya? Apa arti keadilan transisional bagi para korban kejahatan rezim lama dan bagi masyarakat?
Dilema yang dihadapi rezim penerus dalam masa-masa transisi adalah apakah rezim yang baru memiliki kewajiban untuk memberikan ganti kerugian bagi para korban kejahatan negara. Menurut hukum internasional, bila negara melanggar kewajibannya, terdapat kewajiban hukum yang jelas untuk memberi ganti kerugian.1 Namun, dalam perdebatan nasional tentang apa yang harus dilakukan untuk menyikapi peninggalan-peninggalan kejahatan dari masa lalu, pertanyaan tentang keadilan reparatoris menjadi masalah yang lebih kompleks yang diwariskan kepada rezim penerus. Ia menimbulkan konflik antara tujuan pemberian kompensasi bagi para korban pelanggaran negara yang memandang ke belakang, dan kepentingan politik negara yang memandang ke depan. Praktik reparatoris menimbulkan dilema-dilema, prospektif-retrospektif dan individual-kolektif yang mencirikan masa transisi. Namun, baik pada masa biasa atau transisi, keadilan reparatoris selalu bersifat memandang ke belakang, karena ia merujuk pada perbaikan terhadap kesalahan yang dilakukan di masa lalu. Keadilan reparatoris transisional, seperti akan dijelaskan lebih lanjut dalam bab ini, mendamaikan dilema tersebut dalam konteks perimbangan antara tujuan korektif dan sasaran transformasi yang memandang ke depan. Demikian pula, keadilan reparatoris transisional menengahi masalah tanggung jawab individu dan kolektif, dan membentuk identitas politik negara yang sedang menuju liberalisasi.
Istilah “keadilan reparatoris” memiliki dimensi yang luas, yang mencakup berbagai bentuk berbeda: pemulihan (reparation), ganti rugi material, pengembalian nama baik, kompensasi, restitusi, rehabilitasi dan pemberian tanda mata. Preseden-preseden terhadap hal ini telah ada sejak zaman kuno, dan menggambarkan peran kompleks keadilan reparatoris transisional. Respon reparatoris transisional menengahi penyembuhan luka korban dan komunitas, masa lalu dan masa kini, dan meletakkan dasar untuk kebijakan redistribusi yang dikaitkan dengan pergolakan radikal.
Reparasi dalam Alkitab: Keluaran (Eksodus) dari Mesir
1
PBB, Dewan Ekonomi dan Sosial, Sesi ke-45, Study Concerning the Right to Restitution, Compensation and Rehabilitation for Victims of Gross Violations of Human Rights and Fundamental Freedoms: Final Report, disiapkan oleh Theodorr Van Boven, 2 Juli 1993, U.N. doc. E/CN.4/suh.2/ 1993/ 8; Theodor Meron, Human Rights and Humanitarian Norms as Customary Law, Oxford: Clarendon Press, 1989, 171, n24, 1989; Nigel S. Rodley, The Treatment of Prisoners under International Law, Oxford: Clarendon Press, 1989.
Ketahuilah dengan sesungguhnya bahwa keturunanmu akan menjadi orang asing dalam suatu negeri, yang buka kepunyaan mereka, dan bahwa mereka akan diperbudak dan dianiaya empat ratus tahun lamanya. Tetapi bangsa yang akan memperbudak mereka, akan Kuhukum, dan sesudah itu mereka akan keluar dengan membawa harta benda yang banyak. (Kejadian 15: 13-14)
Kisah dalam Alkitab tentang pergeseran politik – dari penindasan ke kebebasan – umat Israel di Mesir merupakan suatu kisah klasik tentang transisi. Menurut kisah tersebut, orang-orang Israel tinggal di Mesir selama sekitar empat ratus tahun, diperbudak dan dianiaya. Tahun-tahun perbudakan ini diikuti oleh kebebasan dari Mesir, hukuman diberikan kepada orang-orang Mesir dan akhirnya terbentuklah negara Israel. Kisah Keluaran dan penghukuman orang Mesir sudah terkenal, namun tidak banyak yang diketahui tentang pemberian reparasi yang berkaitan dengan Keluaran ini. Kisah ini menunjukkan misteri dan ambiguitas berkaitan dengan praktik reparatoris pada masa perubahan politik.
Dalam kisah ini, pada malam keluarnya warga Israel dari tanah Mesir, orang-orang Israel, “meminta dari orang-orang Mesir barang-barang emas dan perak serta kain-kain”.2 Tuhan memberitahu orang-orang Israel untuk mengambil barang-barang berharga dari orang-orang Mesir: “Orang Israel melakukan juga seperti kata Musa; mereka meminta dari orang Mesir barang-barang emas dan perak serta kain-kain. Dan Tuhan membuat orang Mesir bermurah hati terhadap bangsa itu”.3 Teks ini memberikan kesan bahwa barang-barang berharga ini sebenarnya bukan dirampas, namun diberikan dengan murah hati. Namun, teks ini memang terbuka untuk interpretasi yang berbeda, karena ada rujukan tentang “meminta” namun ada pula “merampasi orang Mesir”.
Satu aspek lain dalam peristiwa pada malam itu terlihat dalam bagian lain yang mengelaborasi “perampasan” terhadap orang-orang Mesir ini: “Tiap-tiap perempuan harus meminta dari tetangganya dan dari perempuan yang tinggal di rumahnya, barang-barang perak dan emas dan kain-kain, yang akan kamu kenakan kepada anak-anakmu lelaki dan perempuan; demikianlah kamu akan merampasi orang Mesir itu”.4 Kisah ini menunjukkan bahwa ada pertukaran pakaian antara orang-orang Mesir dan Israel. Para budak yang dibebaskan ini mengenakan pakaian para tuan-tuan mereka, dan membiarkan mereka telanjang – seperti budak. Urutan ini menunjukkan akar dari kata redress. Berdasarkan akar katanya, ia berkaitan dengan pakaian yang dikenakan dalam upacara keagamaan yang menentukan status sosial. Dalam penggunaannya yang paling awal, pada Abad Pertengahan, redress mengaitkan pakaian dengan status dan kembalinya harga diri. Perampasan (pakaian) orang-orang Mesir yang kemudian dikenakan orang-orang Israel menunjukkan lebih dari sekadar pemberian ganti rugi material, hal ini adalah pelurusan sejarah, suatu upacara kompensasi, rehabilitasi di mata publik. Aspek simbolis kuno dari tindakan reparatoris ini terdapat pula dalam preseden-preseden berikutnya sepanjang sejarah.
Apa arti sebenarnya dari reparasi era Keluaran ini? Kutipan dari Kitab Suci mendukung beberapa pemahaman yang berbeda. Pengambilan barang-barang emas dan
2
W. Gunther Plaut (ed.), “Exodus,” dalam The Torah: A Modern Commentary, New York: Union of American Hebrew Congregations, 1981, Ibid., 12:35.
3
Ibid., 12:35, 36. 4
perak bisa dianggap sebagap pemberian hadiah, pinjaman, sogokan agar mereka pergi, pertukaran hak milik antara dua pihak, misalnya pertukaran barang-barang bergerak milik orang Mesir dengan tanah-tanah yang dimiliki orang Israel yang ditinggal, kompensasi untuk upah yang belum terbayar dan pelanggaran-pelanggaran lain yang terkait dengan perbudakan, atau sebagai ganti rugi simbolis, rehabilitasi status politik. Dalam satu interpretasi, kisah ini menjelaskan bagaimana orang-orang Israel memanfaatkan kondisi politik yang kacau dan menjarah barang-barang rampasan. Dalam interpretasi lainnya, ini bukanlah penjarahan oleh budak-budak yang kabur, namun pelaksanaan suatu rencana yang suci. Orang-orang Mesir memberikan emas dan perak tersebut sebagai reparasi dalam rangka keadilan yang diberikan oleh Tuhan.5 Interpretasi ini dibangun pada dasar rujukan lebih awal tentang orang-orang Israel itu menjadi “bangsa yang besar”, yang meramalkan klaim atas harta milik orang-orang Mesir.
Bagaimana memahami kisah tersebut? Apakah perampasan dari orang-orang Mesir ini merupakan tindakan yang memandang ke belakang: barang-barang emas dan perak tersebut diambil untuk mengganti perbudakan dan penganiayaan di masa lalu? Atau apakah kisah tentang anak-anak Israel yang mengenakan pakaian orang Mesir bermakna memandang ke depan: barang-barang tersebut diambil untuk menjadi modal pembangunan suatu bangsa? Bahasa yang digunakan dalam teks-teks Kitab Suci ini mendukung kedua pandangan tersebut. Jika tinjauan biblikal tentang Keluaran diinterpretasikan dalam konteks sejarah dan politis, konteks interpretatif tersebut adalah hermeneutika yang khas pada transisi, termasuk perbudakan selama bertahun-tahun sebelum malam Keluaran dan kelanjutannya dalam sejarah dari perbudakan menjadi negara yang besar. Konteks transisional ini memiliki aspek-aspek yang memandang ke belakang maupun ke depan yang mewarnai interpretasi praktik reparatoris. Seperti akan kita lihat, kisah ini masih memiliki gema, karena ia menggambarkan kualitas keadilan reparatoris yang memiliki banyak paradigma.
Reparasi Pasca-Perang dan Kesalahan Perang Keseluruhan
Pada akhir Perang Dunia Pertama, tuntutan agar Jerman memberikan reparasi menimbulkan pertanyaan tentang arti keadilan reparatoris. Di Versailles, tanggung jawab terhadap terjadinya perang dibebankan secara sepenuhnya kepada Jerman: kesepakatan damai membebankan tanggung jawab “seluruh kesalahan perang” kepada Jerman dan memaksanya untuk membayar reparasi dalam jumlah yang besar.6 Dalam kesepakatan
5
Lihat Nehama Leibowitz, Studies in Shemot: The Book of Exodus, terjemahan Aryeh Newman, Yerusalem: World Zionist Organization, Department for Torah Education and Culture in the Diaspora, 1976, 185.
6
Kewajiban Jerman untuk mengganti rugi pelanggaran-pelanggarannya ditetapkan dalam “Konvensi Den Haag IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat. Pasal 3 Konvensi tersebut menyatakan: “Pihak dalam perang yang melanggar pasal-pasal dalam peraturan ini akan, bila diperlukan, harus bertanggung-jawab untuk membayarkan kompensasi. Ia harus bertanggung-bertanggung-jawab untuk semua tindakan yang dilakukan orang-orang yang merupakan bagian angkatan perangnya”. “Konvensi Den Haag tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat”, pasal 3 (mulai berlaku 26 Januari 1910), U.S.T.S. 539 (memberikan kewajiban untuk membayar ganti rugi). Lihat Pasal 41 Konvensi Den Haag IV (memberikan hak untuk menuntut ganti rugi terhadap kerugian yang disebabkan pelanggaran); keempat Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 (mewajibkan tanggung jawab untuk pelanggaran berat. Pasal 68 Konvensi Jenewa berkaitan dengan Perlakuan terhadap Tawanan Perang, memberikan hak untuk mengklaim bagi para tawanan perang.
damai ini, ganti rugi yang dituntut dari Jerman bersifat punitif namun dijustifikasi sebagai pencegahan – melumpuhkan Jerman sedemikian rupa sehingga ia tidak mampu lagi berperang. Traktat Versailles membebankan tanggung jawab kesalahan “perang agresif” pada negara Jerman. Traktat tersebut memahami tanggung jawab sebagai suatu hal yang bersifat kolektif, demikian pula dampak sanksi juga akan terasakan oleh seluruh negara. Setelah empat tahun berperang, Sekutu merasa berhak menuntut ganti rugi biaya perang, namun klaim untuk mendapatkan reparasi itu diberikan bukan sebagai tuntutan atas “hak” Sekutu, namun “kewajiban” Jerman.
Klausul “kesalahan perang” dalam traktat Versailles ini menekankan liabilitas atau kewajiban-hukum Jerman secara keseluruhan, memaksa Jerman untuk bertanggung-jawab atas “semua kerugian dan kerusakan pihak Sekutu ... sebagai konsekuensi perang yang dipaksakan terhadap mereka sebagai akibat ... agresi.” Pasal 231 Traktat Versailles menyatakan: “Pemerintah Sekutu dan negara-negara terkait menegaskan, dan Jerman menerima, tanggung jawab Jerman dan sekutu-sekutunya karena telah menimbulkan semua kerugian dan kerusakan pihak Sekutu dan negara-negara terkait beserta warga negaranya, sebagai konsekuensi perang yang dipaksakan terhadap mereka, sebagai akibat tindakan Jerman dan sektutu-sekutunya yang melakukan agresi.”7 Menurut klausul kesalahan perang ini, seluruh tanggung jawab terhadap terjadinya perang – semua biayanya – akan ditanggung oleh Jerman.
Beban reparatoris yang amat berat dari Versailles menimbulkan beberapa pertanyaan. Timbul masalah praktis dari sanksi yang sedemikian berat yang menyebabkan Jerman hampir tidak mungkin membayarnya, seperti disadari waktu itu.8 Demikian pula masalah yang ditimbulkan dari sifat sanksi ekonomi yang tidak pandang bulu. Sifat tidak pandang bulu ini menyebabkan dampaknya dialami oleh semua unsur negara secara keseluruhan. Besarnya tuntutan reparasi ini menimbulkan sejumlah pertanyaan tentang sifat dan fungsinya: sejauh mana respon ini ditujukan untuk memberikan kompensasi terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terkait dengan perang? Sejauh mana ia bersifrat punitif? Formulasi provisi reparasi dalam traktat Versailles memang ambigu, menunjukkan tujuan yang berganda. Traktat pasca-perang ini secara cerdik memisahkan pertanyaan tanggung jawab dari kewajiban hukum: kesalahan perang keseluruhan dibebankan atas dasar tanggung jawab pidana dan perdata; sementara reparasi tampaknya bersifat perdata, klausul “seluruh kesalahan perang” dalam Traktat Versailles ini secara eksplisit membedakan tanggung jawab dari pelaksanaannya, yaitu penerapan keputusan. Meskipun Pasal 231 menyatakan pertanggungjawaban keseluruhan
Konvensi (No. IV) berkaitan dengan perlindungan terhadap Warga Sipil dalam Keadaan Perang (mulai berlaku 21 Oktober 1950), 6 U.S.T.S. 3114. Prorokol I (“Protokol Tambahan untuk Konvensi-Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 dan berkaitan dengan Perlindungan terhadap Korban Konflik Bersenjata Internasional”) (mulai berlaku 7 Desember 1978) dalam Pasal 91 menyatakan bahwa pihak yang melanggar pasal dalam konvensi “harus bertanggung-jawab untuk membayarkan kompensasi”, International Law Materials 16 (1977): 1392. Lihat Hugo Grotius, Rights of War and Peace: Including the Law of Nature and of Nations, Winnipeg, Can: Hyperion Press, 1979, 10. Lihat juga Percy Bordwell, The Law of War between Belligerents: A History and Commentary, Littleton, Colo: Fred B. Rothman, 1994.
7
Traktat Versailles, 28 Juni 1919, Pasal 231, bagian VIII, dalam Clive Parry (ed.), Consolidated Treaty Series, Vol 225 (1919).
8
Pasal 232 menyatakan: “Pemerintah Sekutu dan negara-negara terkait mengakui bahwa sumber-sumber daya Jerman tidak mencukupi, setelah memperhatikan pengurangan permanen sumber-sumber daya tersebut yang akan disebabkan oleh pasal-pasal lain dalam traktat ini, untuk memberikan reparasi sepenuhnya untuk semua kerugian dan kerusakan.” Ibid.
pada Pasal 231, Pasal 232 mengakui masalah kelangkaan sumber daya. Meskipun terdapat perdebatan substansial di pihak Sekutu tentang pertanyaan cakupan tanggung jawab hukum dan tingkat reparasi yang dituntut, bahasa yang digunakan dalam traktat menunjukkan terdapat pemahaman bahwa – lebih dari pembayaran untuk kerugian meterial – Jerman harus bertanggung-jawab secara moral, politis dan legal untuk terjadinya perang. Namun, traktat yang sama mengakui bahwa Jerman tidak akan (mampu) membayar. Kedua klausul aneh dalam traktat tersebut menandakan ambiguitas yang ditimbulkan praktik reparatoris pada masa transisi.
Reparasi pasca-perang, seperti juga pada masa kuno, mencerminkan karakter gabungan dan kompleks dari sifat dan peran praktik-praktik tersebut. Praktik-praktik itu secara bersamaan memajukan perbaikan terhadap kerusakan yang ada dan penghukuman kesalahan dari masa lalu. Tujuannya adalah untuk mengkoreksi masa lalu sekaligus memajukan sasaran politik yang luas dari transisi.
Wiedergutmachung dan Schilumim
Dari penyerahan tanpa syarat dan debu-debu kamp konsentrasi setelah Perang Dunia Kedua, timbullah proyek reparatoris terbesar dalam sejarah hingga kini, yang berjumlah puluhan milyar dollar selama setengah abad terakhir. Setelah perang ini, dua klaim reparatoris yang sangat berbeda dituntut kepada Jerman – satu dari musuh-musuhnya yang menang, dan yang lain dari para korbannya. Sejak awal proses perdamaian, bahkan sebelum Perang Dunia Kedua berakhir, Sekutu menuntut Jerman untuk membayar ganti rugi karena melakukan perang secara tidak sah. Seperti dibicarakan di atas, setelah Perang Dunia Pertama, normanya adalah bahwa negara yang kalah membayarkan ganti rugi kepada pihak-pihak lainnya; skema reparasi jerman ini diciptakan berdasar program restitusi pasca-perang Dunia Pertama. Dalam transisi dari wilayah yang diduduki ke negara berdaulat, satu provisi penting dalam Traktat Transisional 1952 dengan kekuatan-kekuatan pendudukan adalah kewajiban untuk memberikan restitusi terhadap penyitaan hak milik yang terkait dengan perang selain kerugian-kerugian lainnya.9
Dorongan lain untuk reparasi datang dari para korban dan keluarga korban kamp-kamp pembantaian. Kisah tentang negosiasi yang mengarah pada kesepakatan reparasi antara Jerman, Israel dan kelompok-kelompok korban merupakan suatu kisah tentang dua kelompok yang mengalami transisi: yang pertama suatu negara yang kalah dengan perasaan kebangkrutan moral yang mendalam, yang satunya negara baru yang terdiri dari korban-korban penindasan dalam kebangkrutan fiskal. Setelah negosiasi panjang yang dipimpin Kanselir Jerman Konrad Adenauer menghasilkan kesepakatan Luksemburg pada tahun 1952, Jerman sepakat untuk memberikan sejumlah dana kepada organisasi yang mewakili korban-korban penganiayaan Nazi,10 dan juga reparasi kepada negara Israel yang baru terbentuk. Undang-Undang Kompensasi Federal ini memiliki lingkup
9
Lihat Republik Federal Jerman, Restitution, edisi bahasa Inggris, Bonn: Press and Information Office of the Federal Government, Juni 1988.
10
Untuk tinjauan tentang proses negosiasi, lihat Nana Sagi, German Reparations: A History of the Negotiations, Yerusalem: Magnes Press, Hebrew University, 1980. Lihat juga Frederick Honig, “The Reparations Agreement between Israel and the Federal Republic of Germany”, American Journal of International Law 48 (1954): 564.
yang luas dalam menanggapi korban-korban penindasan Nazi, memberikan kompensasi untuk cedera fisik dan kehilangan kebebasan, properti, pendapatan, pekerjaan atau kesempatan kemajuan keuangan yang disebabkan oleh penindasan atas alasan politik, sosial, religius atau ideologis.11
Pembayaran kepada para korban, wakil mereka dan negara Israel ini sebenarnya tidak dipengaruhi oleh hukum internasional masa itu, juga tidak ada preseden untuk tindakan tersebut. Analogi yang terdekat mungkin adalah pembayaran reparasi pasca-perang tradisional, yang menurut hukum pasca-perang sejak Konvensi Den Haag 1907 merupakan kewajiban negara-negara yang melanggar norma-norma peperangan. Namun, pandangan ini mensyaratkan fiksi bahwa Jerman dan Israel adalah dua negara yang “bermusuhan”. Padahal, Israel bukan saja tidak berpartisipasi dalam perang, namun ia bahkan belum terbentuk. Pembayaran yang dijanjikan setelah kesepakatan 1952 oleh Republik Federal Jerman, seperti juga dalam masa kontemporer setelah unifikasi,12 berbeda dari pandangan tradisional tentang reparasi yang terkait perang sebagai hal yang bersifat nasional. Para penerima ganti rugi ini bukanlah negara yang menang, melainkan warga dari negara yang memberikan kompensasi tersebut. Mereka juga calon warga negara Israel, yang diwakili oleh negara penerima ganti rugi tersebut (Israel). Ini bukanlah reparasi pasca-perang seperti biasanya.
Pembayaran pasca-Perang Dunia Kedua ini mengubah untuk selamanya konsep tentang reparasi. Setelah Nuremberg, perkembangan dramatis dalam hukum internasional memperluas norma-norma yang berkaitan dengan hukum perang melampaui lingkup internasional, dan memberlakukannya pada konflik internal dalam negara. Pada akhir perang, Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 mendorong perkembangan hukum kemanusiaan internasional, dan mengusulkan reparasi terhadap pelanggaran hak-hak warga sipil dalam semua jenis konflik bersenjata.13 Kewajiban-kewajiban dalam hukum perang tentang reparasi bagi korban pelanggaran oleh negara lain mengarah pada kewajiban nasional untuk memberikan kompensasi bagi warga negara yang mengalami pelanggaran. Hasil yang bertentangan pun tampak: warga negara lain akan lebih dilindungi oleh hukum internasional daripada warga suatu negara dilindungi oleh sistem hukumnya sendiri, apabila ia mengalami pelanggaran hak. Munculnya kewajiban menurut hukum kemanusiaan internasional ini kemudian mendorong kewajiban reparatoris transisional bagi rezim penerus terhadap pelanggaran-pelanngaran negara di masa lalu. Standar reparatoris yang dikaitkan dengan hukum perang telah berkembang dan melampaui konteks konflik internasional ke konflik internal murni.
11
Lihat umumnya Republik Federal Jerman, Restitution. Lihat juga Kurt Schwerin, “German Compensation for Victims of Nazi Prosecution”, Northwestern University Law Review 67 (1972): 479. Untuk suatu pendekatan “Viktimologis”, lihat Lesslie Sebba, “The Reparations Agreements: A New Perspevtive”, Annals of the American Academy of Political and Social Science 450 (1980): 202. Untuk analisis kritis, lihat Christian Pross, Paying for the Past: The Strugle over Reparations for Surviving Victims of the Nazi Terror, Baltimore dan London: Johns Hopkins University Press, 1998.
12
Tentang perluasan kompensasi Jerman bagi orang-orang Yahudi di Timur yang menjadi korban penindasan Nazi, lihat David Binder, “Jews of Nazi Era Get Claims Details”, New York Times, 22 Desember 1992, rubrik internasional.
13
Ameur Zemmali, “Reparations for Victims of Violations of International Humanitarian Law”, dalam
Seminar on the Right to Restitution, Compensation and Rehabilitation for Victims of Gross Violations of Human Rights Fundamental Freedoms, Maastricht: Netherlands Institute of Human Rights, 1992, 61-75.
Bagaimana kita memahami skema reparasi Jerman? Wiedergutmachung, istilah yang digunakan Jerman untuk reparasi tersebut, secara harfiah berarti “membuat jadi baik kembali”, atau mengembalikan ke kondisi semula.14 Dengan kegagalan denazifikasi, reparasi mendapatkan dukungan politis di Jerman sebagai cara untuk mendapatkan kembali kredibilitas dalam pandangan komunitas internasional. Sebaliknya, sebagai penolakan terhadap anggapan bahwa reparasi dapat membuat sesuatu menjadi “baik kembali”, kelompok-kelompok korban menyebut reparasi tersebut dengan istilah Ibrani Shilumim,15 yang berarti “melakukan pertobatan, membawa damai”. Bagi para korban, reparasi adalah masalah kebutuhan ekonomi, sehingga bagi mereka, titik awal negosiasi adalah biaya penempatan ulang para pengungsi. Bagi para pelaku dan korban, reparasi adalah persoalan penyelesaian masalah, namun dari cara yang berbeda bagi masing-masing. Namun, meskipun terdapat pemahaman yang amat berbeda tentang sifat dan tujuan skema reparasi, negosiasi konsep-konsep yang berbeda ini mencapai kesepakatan politik.
Skema reparasi Jerman ini menjadi paradigma konsep reparasi transisional yang kompleks. Praktik reparatoris transisional dijustifikasi unsur-unsur pandangan ke belakang dan ke depan, moral, ekonomi dan politik. Mungkin tidak mengherankan bahwa reparasi pasca-perang dan reparasi yang merupakan hasil kesepakatan transisional, negosiasi politik dan kompromi, digunakan untuk mencapai tujuan yang berbeda dan bahkan tampak bertentangan. Proyek reparatoris pasca-perang menunjukkan bahwa skema reparatoris transisional memilik tujuan ganda: memajukan kepentingan individual dan kolektif, korban dan masyarakat. Seperti akan kita lihat ketika meneliti berbagai praktik serupa dalam masa transformasi politik, fungsi ganda ini menunjukkan kekhasan skema reparatoris transisional.
Perang Kotor, Penghilangan dan Rekonsiliasi: Peran Reparasi
Penghilangan dan pembunuhan terhadap seorang pemuda bernama Velásquez-Rodríguez di Honduras pada dekade 1980-an menimbulkan reaksi berantai di seluruh Amerika Latin, mendorong timbulnya kebijakan reparatoris di seluruh wilayah tersebut. Ketika