• Tidak ada hasil yang ditemukan

Representasi Perempuan Jawa Dalam Novel “Anak Semua Bangsa”

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Representasi Perempuan Jawa Dalam Novel “Anak Semua Bangsa”"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Konteks Masalah

Saussure menyebut ‘sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di tengah masyarakat’ sebagai semiologi. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bagaimana terbentuknya tanda-tanda beserta kaidah-kaidah yang mengaturnya. Terdapat istilah lain yang digunakan ilmuwan untuk bidang studi ini yaitu semiotika dan semiotik. Selain istilah semiotika dan semiologi ada pula digunakan istilah lain seperti semasiologi, sememik, dan semik untuk merujuk pada bidang studi yang mempelajari makna atau arti suatu tanda atau lambang (Sobur, 2004 : 11).

Dasar dari semiotika adalah konsep tentang tanda : tak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiri pun –sejauh terkait dengan pikiran manusia- seluruhnya terdiri atas tanda-tanda karena, jika begitu, manusia tidak akan bisa menjalin hubungan dengan realitas. Bahasa itu sendiri merupakan sistem tanda yang paling fundamental bagi manusia, sedangkan tanda-tanda nonverbal seperti gerak-gerik, bentuk-bentuk pakaian, serta beraneka praktik sosial konvensional lainnya, dapat dipandang sebagai sejenis bahasa yang tersusun dari tanda-tanda bermakna yang dikomunikasikan berdasarkan relasi-relasi (Sobur, 2004 : 13).

Karya sastra membangun dunia melalui kata-kata sebab kata-kata memiliki energi. Melalui energi itulah terbentuk citra tentang dunia tertentu, sebagai dunia yang baru. Melalui kualitas hubungan paradigmatis, sistem tanda dan sistem simbol, kata-kata menunjuk sesuatu yang lain di luar dirinya, sehingga peristiwa baru hadir secara terus menerus (Ratna, 2010 : 15).

(2)

mengenai tanda dan simbol. Apa tanda yang ditunjukkan maupun disembunyikan dan apa arti tanda tersebut.

Topik mengenai perempuan dan kedudukannya merupakan topik yang tidak pernah kekeringan bahan untuk dibahas berulang kali. Tidak sedikit jumlah buku-buku yang membahas mengenai perempuan. Umumnya membahas ketimpangan sosial yang ada dan perempuan sebagai korbannya. Hal sederhana yang menjadi bukti perempuan korban salah satunya adalah penggunaan kata wanita dan perempuan. Penganut feminis, bahkan mereka yang sekedar menghargai kedudukan perempuan tidak lebih rendah dari laki-laki akan memilih menggunakan kata perempuan untuk menghormatinya, kaum perempuan. Berdasarkan asal katanya, dari bahasa Jawa, yaitu wani ditata atau wani ditoto yang berarti ‘berani diatur’. Tentunya yang mengatur adalah laki-laki yang sudah tertanam dalam masyarakat memiliki sifat superior dan otoriter.

Dalam tatanan masyarakat Jawa, hal ini diperkuat dengan ajaran moral yang menempatkan perempuan sebagai manusia yang harus tunduk pada banyak hal, khususnya laki-laki dan Gusti atau Tuhan. Serat merupakan salah satu bentuk karya sastra budaya Jawa. Keberadaan serat-serat yang menjadi acuan hidup masyarakat Jawa menjadi bukti dan alat untuk melihat bagaimana kedudukan perempuan pada masa raja-raja Jawa. Serat-serat atau kitab yang menjadi pedoman hidup kebanyak ditulis oleh laki-laki, baik sastrawan maupun bangsawan. Beberapa di antaranya mencoba tidak merendahkan kedudukan perempuan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat.

(3)

oleh perempuan di dalam berumah tangga, terutama yang berkaitan dengan peran perempuan sebagai pemelihara keluarga (Sukri, 2001 : 27-28).

Sebagai perempuan Jawa yang bersentuhan langsung dengan tata aturan, membatasi perempuan Jawa tersebut, Kartini terbilang cukup beruntung dapat mengecap pendidikan dan membuka dirinya pada pengetahuan dan ide baru. Lewat surat-menyurat yang menjadi medianya berdiskusi, Kartini mendapati kaumnya, perempuan Jawa, harusnya tidak diperlakukan sedemikian. Kini RA Kartini dikenal sebagai tokoh emansipasi perempuan di Indonesia.

Tata pergaulan antar individu dalam suatu masyarakat didasarkan pada perbedaan-perbedaan kedudukan dan derajat. Dalam arti, masyarakat orang Jawa dalam kenyataan hidup terbagi dalam lapisan-lapisan wong tani, pegawai, tukang, buruh dan lapisan priyayi (menurut ukuran masyarakat setempat). Perbedaan-perbedaan tempat ini lazim disebut pelapisan sosial. Pembedaan kedudukan dan derajat antara masyarakat satu dengan yang lain tidaklah sama, tergantung dari kompleksitas masyarakat bersangkutan dan pandangan-pandangan masyarakat terhadap suatu kedudukan yang dianggap tinggi atau rendah (Salamun : 2002).

Pada zaman Kolonial Belanda, banyak gadis pribumi diangkat mejadi Nyai oleh pejabat Belanda yang datang tanpa Nyonya. Tidak sedikit di antaranya diambil secara paksa atau dibeli dari keluarganya. Nyai berarti gundik, selir, atau perempuan piaraan para pejabat dan serda posisi yang tinggi secara ekonomis, tapi rendah secara moral. Secara ekonomis, mereka berada di atas rata-rata perempua Nyai mengenakan kai tusuk konde roos, peniti intan, dan giwang yang terbuat dari berlian. (Wikipedia)

(4)

kedua belah pihak. Pejabat-pejabat di kalangan VOC lebih tinggi umumnya mempunyai hubungan lebih erat dengan perempuan-perempuan setempat, baik sebagai istri maupun gundik. Anak-anak mereka tumbuh dewasa dan menikah pula di Hindia dan khususnya anak-anak perempuan mereka sangat dicari-cari untuk dijadikan calon istri (Hellwig, 2007 : 37).

Sekali pun terjadi perkawinan-perkawinan resmi, pergundikan waktu itu merupakan perbuatan yang sering terjadi. Banyak istilah untuk menamakan seorang gundik, yang paling umum ialah Nyai. Kata Nyai didapati dalam bahasa Bali, bahasa Sunda dan bahasa Jawa dengan pengertian ‘perempuan (muda), adik perempuan’ dan juga dipakai sebagai istilah panggilan. Karena kenyataannya banyak budak belian perempuan Bali sampai ke Batavia, ini mungkin menandai bahwa istilah Nyai berasal dari bahasa Bali. Istilah-istilah Belanda untuk seorang gundik ialah huishoudster, bijzit, menagere, dan meid. Di tanah Melayu, istilah gundik atau munci umum digunakan. Sekalipun di Eropa moral Kristen menuntut penehanan nafsu seksual di luar pernikahan, ideologi di Hindia Belanda membolehkan seorang lelaki mencari jalan keluar kebutuhan-kebutuhan seksnya (Hellwig, 2007 : 37-38). Hal tersebut membenarkan terjadinya pergundikan dan pelacuran.

Seorang ‘nyai’ boleh dikatakan tak punya hak apa pun, tidak punya hak atas anaknya, pun tidak atas posisinya sendiri. Setiap saat ia dapat ditinggalkan oleh majikannya tanpa bantuan dalam bentuk apa pun. Sangat menarik bahwa, walau seringkali perkawinan campuran tidak dapat diterima oleh masyarakat namun dalam kehidupan sehari-hari, seorang istri tidak resmi, secara lahiriah diperlakukan sama terhormatnya dengan istri sah (Hellwig, 2007 : 38).

(5)

berkebangsaan Eropa, sepenuhnya kehilangan hak atas anak-anaknya. Ia sama sekali tak berkuasa jika bapak mereka ingin mengirim anak-anak tersebut ke Eropa untuk menuntut ilmu atau memisahkan mereka dari ibu mereka (Hellwig, 2007 : 45).

Sedikit sekali dilakukan penelitian sejarah tentang sebab-musababnya perempuan menjadi Nyai. Berulang kali ditemui argumentasi yang sama, bahwa seorang perempuan menjadi Nyai atas dasar pertimbangan materialis, ingin kemewahan dan karena iseng. Didikan yang salah serta tiadanya nilai Kristiani juga digunakan sebagai keterangan. Bahwa kemiskinan belaka memaksa orang-orang perempuan tersebut menjadi Nyai dan bahwa mereka merupakan korban dari sistem kolonial, hampir tak pernah terdengar. Observasi yang dibuat berkenaan dengan pelacuran, yang juga dapat diterapkan pada pergundikan, merupakan asumsi pandangan lelaki bahwa perempuan masa bodoh terhadap seks, mereka tak ada seksualitas. Sementara seksualitas lelaki dibesar-besarkan dan di Hindia harus diperlancar hingga tingkat yang tiada taranya, seksualitas perempuan dihilangkan sama sekali. Penghapusan ini, khususnya pada perempuan Asia, merupakan peniadaan total dari kesadaran perempuan akan dirinya serta dari harga dirinya. Perempuan Asia di Hindia dijadikan komoditas dalam tangan lelaki kulit putih (Hellwig, 2007 : 47).

Tidak sedikit karya sastra yang mengangkat tentang kehidupan seorang Nyai dengan Tuannya. Tidak sedikit pula yang menggambarkan hubungan, Nyai pribumi dan Tuan totok, yang baik dan damai. Biasanya seorang Tuan akan mengajari gundiknya menulis, membaca bahkan ilmu pengetahuan dan bahasa Belanda. Meski Nyai tersebut sudah mendapatkan ajaran Belanda dari Tuannya, sifat perempuan Jawanya yang penurut tidak pernah lepas. Di sisi lain tidak sedikit pula karya sastra yang menggambarkan perempuan Belanda totok tidak lebih beradab dibandingkan seorang gundik.

(6)

gundik, piaraan, dan pajangan tuannya. Begitu pun tabiat suka serong yang dilekatkan pada Nyai dibantah Ontosoroh, ia tidak genit saat menerima tamu lelaki. Ontosoroh menjelmakan dirinya menjadi sosok Nyai yang berbeda. Ia merupakan harmonisasi dari paras dan rupa Timur yang elok dengan keuletan, keberanian, dan kepintaran seorang perempuan Eropa. Di titik inilah Ontosoroh menjelmakan dirinya sebagai bagian dari politik narasi kebangsaan. Ia hadir, mengiringi sekaligus mengambil bagian di dalam pergulatan kebangsaan sepanjang awal sampai pertengahan abad ke-19, masa awal (Wikipedia).

Tetralogi kisah pergerakan kebangkitan nasional Indonesia antara 1898-1918, ini bercerita tentang kehidupan Minke, putra seorang Bupati yang memperoleh pendidikan Belanda pada masa pergantian abad 19 ke abad 20. Latar utama tetralogi ini terjadi pada masa awal abad ke-20. Nama Minke adalah nama samaran dari seorang tokoh pers generasi awal Indonesia yakni Raden Tirto Adhi Soerjo. Cerita novel ini sebenarnya mengandung unsur sejarah, termasuk biografi Raden Tirto Adhi Soerjo tersebut yang juga nenek moyang penulis. Cerita lainnya diambil dari berbagai rekaman peristiwa yang terjadi pada lingkup waktu tersebut. Termasuk di antaranya rekaman pengadilan pertama pribumi Indonesia (Nyai Ontosoroh) melawan keluarga suaminya seorang warga Belanda totok yang terjadi di Surabaya.

Tetralogi Buru ditulis oleh Pram saat ia masih dipenjara di Pulau Buru. Karya Pram sempat dilarang peredarannya selama beberapa waktu oleh Jaksa Agung saat itu. Bahkan dua di antaranya langsung dilarang beredar hanya beberapa bulan setelah terbit. Kontras dengan apa yang terjadi di luar negeri. Tetralogi Buru diterjemahkan ke berbagai bahasa dan mendapatkan penghargaan. Kejadian sejarah dikemas menjadi roman dengan apik oleh Pram. Deskripsi peristiwa yang rapi membawa pembaca seakan ikut serta menjadi bagian dari cerita. Fakta-fakta sosial di masa lalu menjadi kajian yang sangat menarik untuk dibahas. Gambaran modern masa lalu.

(7)

sebuah perusahaan yang ia bangun. Sebuah gambaran seorang perempuan Jawa yang tidak tinggi derajat moralnya, mampu meninggikan derajatnya sendiri. Apakah ini benar terjadi pada masa lalu atau sebagai bentuk protes akan budaya dan keadaan yang tidak jauh berbeda dengan keadaan masa kolonial? Karena alasan inilah peneliti ingin melakukan penelitian terhadap representasi perempuan modern Jawa pada tokoh Nyai Ontosoroh dalam novel Anak Semua Bangsa.

1.2.Fokus Masalah

Berdasarkan konteks masalah yang diuraikan di atas, penelitian ini menarik fokus masalah yang dapat dirumuskan dalam pertanyaan pokok berikut : “Bagaimana kehidupan perempuan modern Jawa yang direpresentasikan tokoh Nyai Ontosoroh dalam novel Anak Semua Bangsa?”

1.3.Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai-nilai perempuan

modern jawa dalam tokoh Nyai Ontosoroh.

2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna dari tanda yang terkandung dalam novel Anak Semua Bangsa lewat tokoh Nyai Ontosoroh.

(8)

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah :

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menguji pengalaman teoritis penulis dan menambah cakrawala pengetahuan tentang media bercerita, khususnya novel yang diteliti dengan analisis semiotika 2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi

sumbangan pikiran bagi mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP USU dan pihak-pihak yang tertarik dalam penelitian bidang semiotika novel. 3. Secara akademisi, penelitian ini merupakan sumbangsih bagi

Referensi

Dokumen terkait

• Akseptasi negara terhadap kehadiran industri perbankan syariah sebagai representatif utama dari bisnis syariah semakin jelas dan tegas dengan terbitn.. ya UU

Tabel 4.18 Deskripsi Proses Mengakses menu Home 141 Tabel 4.19 Deskripsi Proses Mengakses Product Profile 141 Tabel 4.20 Deskripsi Proses Mengisi Form Follow Up 142 Tabel 4.21

Ini terlihat dari hasil pada proses pembelajaran menggunakan metode outbound sebagai berikut: (a) bersabar menunggu giliran total hasil observasi mencapai

Fit ur t am bah Pesert a didik di versi 3.0.1 ini m engalam i pem baharuan sesuai dengan

[r]

Pada hari ini Senin tanggal enam bulan Februari tahun dua ribu tujuh belas, bertempat di Sekretariat Pokja ULPD Kepulauan Riau, Pokja ULPD telah mengadakan Rapat Klarifikasi,

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang telah dilakukan, peneliti memberikan saran sebagai berikut: (1) penerapan model kooperatif picture and picture

REKAPITULASI RENCANA ANGGARAN BIAYA PEKERJAAN : REHAB PUSKESMAS BINEH KRUENG LOKASI : PUSKESMAS BINEH KRUENG KECAMATAN :