BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Dalam memenuhi kebutuhan hidup, tindak kriminal semakin marak terjadi.
Hal tersebut tidak lepas dari berbagai aspek sosial, lingkungan, dan aspek lainnya khususnya pada aspek ekonomi sehingga tidak menutup kemungkinan modus pelaku
tindak kriminal itu sendiri semakin berkembang, baik itu dari segi pemikiran maupun dari segi teknologi. Dalam hukum di Indonesia pemalsuan terhadap sesuatu merupakan salah satu bentuk tindak pidana yang telah diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).1 Memang pemalsuan sendiri diatur dalam BAB XII (Pemalsuan Surat) Buku II KUHP (Kejahatan), buku tersebut mencantumkam bahwa
yang termasuk pemalsuan hanyalah berupa tulisan-tulisan saja, termasuk di dalamnya pemalsuan surat yang diatur dalam Pasal 263 KUHPidana s/d pasal 276 KUHPidana. Tindak pidana yang sering terjadi adalah berkaitan dengan Pasal 263 KUHP
(membuat surat palsu atau memalsukan surat), dan Pasal 264 KUHP (memalsukan akta-akta otentik) dan Pasal 266 KUHPidana (menyuruh memasukkan keterangan
palsu ke dalam suatu akta otentik).2
Perbuatan membuat surat palsu adalah perbuatan membuat sebuah surat yang sebelumnya tidak ada/belum ada, yang sebagian atau seluruh isinya palsu. Surat yang
dihasilkan dari perbuatan ini disebut dengan surat palsu. Sementara perbuatan
1
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 11.
2
memalsukan, adalah segala wujud perbuatan apapun yang ditujukan pada sebuah
surat yang sudah ada, dengan cara menghapus, mengubah atau mengganti salah satu isi surat sehingga berbeda dengan surat semula.3
Pemalsuan merupakan suatu bentuk kejahatan yang diatur dalam Bab XII
Buku II KUHPidana, dimana pada buku tersebut dicantumkan bahwa yang termasuk pemalsuan hanyalah berupa tulisan-tulisan saja, termasuk didalamnya pemalsuan
tanda tangan yang diatur dalam pasal 263 KUHPidana. s/d Pasal 276 KUHPidana.
Tindak Pidana yang sering terjadi adalah berkaitan dengan Pasal 263 KUHPidana (membuat surat palsu atau memalsukan surat); dan Pasal 264
(memalsukan akta-akta otentik) dan Pasal 266 KUHPidana (menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik).
Adapun Pasal 263 KUHPidana, berbunyi sebagai berikut:4
1) Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang atau yang diperuntukkan sebagai
bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, diancam jika
pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun;
3
Ibid, hal. 13. 4
2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat
palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Sedangkan Pasal 264 KUH-Pidana berbunyi sebagai berikut:5
1) Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap:
1. Akta-akta otentik;
2. Surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau bagiannya atau pun dari suatu lembaga umum;
3. Surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari sesuatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai;
4. Talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu;
5. Surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan.
2) Diancam dengan pidana yang sama barangsiapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang dipalsukan
seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Pasal 266 ayat (1) KUHP, berbunyi: “Barang siapa menyuruh memasukkan
keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang
kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau
5
menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan
kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana
penjara paling lama tujuh tahun.”6
Memperhatikan ketentuan Pasal 266 ayat (1) KUHP, adapun yang
menjadi unsur-unsurnya yaitu: a. Barang siapa ; b Menyuruh memasukkan keterangan
palsu ke dalam suatu akta otentik ; c. dengan maksud untuk memakai atau menyuruh
orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran.
Kemudian memperhatikan bunyi Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, menetapkan bahwa
sebagai pelaku tindak pidana yaitu : a. mereka yang melakukan, b. mereka yang
menyuruh melakukan, dan c. mereka yang turut serta dalam melakukan perbuatan,
maka dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur hukumnya, yaitu:
a. Barang siapa ;
b. Menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik ;
c. Dengan maksud memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu
seolah-olah keterangan sesuai dengan kebenaran ;
d. Pelakunya:
a. Mereka yang melakukan ;
b. Mereka yang menyuruh melakukan ;
c. Mereka yang turut melakukan.
Ketentuan Pasal 266 ayat (1) KUHP, yang menjadi subyek ( pelaku ), yaitu “yang menyuruh memasukkan keterangan palsu”, dan kata “menyuruh” merupakan
6
bagian yang sangat penting (bestanddeel) dari Pasal 266 ayat (1) KUHP. Pembuat
akte dalam hal ini Notaris, ia (Notaris) bukan sebagai subyek (pelaku) dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP, akan tetapi Para Pihak pembuat akte otentik tersebutlah yang sebagai subyek (pelaku), karena merekalah yang sebagai menyuruh memasukkan
keterangan palsu.
Pejabat Notaris tidak dapat dinyatakan sebagai pelaku (menyuruh melakukan)
menurut Pasal 266 ayat (1) KUHP, akan tetapi ia hanyalah “orang yang disuruh melakukan”. Kemudian, berdasarkan Pasal 266 ayat (1) KUHP, tindakan subjek (pelaku) yaitu menyuruh memasukkan suatu keterangan palsu ke dalam suatu akte
otentik, sehingga kata “menyuruh” dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP ditafsirkan bahwa kehendak itu hanya ada pada si penyuruh (pelaku/subjek), sedangkan pada yang
disuruh tidak terdapat kehendak untuk memasukkan keterangan palsu dan seterusnya7
Dalam dunia Notaris, dikenal adagium: “setiap orang yang datang menghadap
Notaris telah benar berkata tidak berbanding lurus dengan berkata benar, yang artinya suatu kebohongan atau memberikan keterangan palsu, hal itu menjadi tanggung
jawab yang bersangkutan (para pihak)”. Kemudian, akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sehingga para pihak yang membaca akta tersebut harus melihat apa adanya dan Notaris tidak perlu membuktikan apa pun
atas akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris. Karenanya, orang lain yang .
menilai atau menyatakan akta Notaris itu tidak benar, maka mereka yang menilai atau
menyatakan tersebut, wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya sesuai prosedur hukum yang berlaku.8
Notaris, berdasarkan Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN) merupakan pejabat umum yang diantaranya mempunyai kewenangan untuk membuat akta otentik.9
Berdasarkan konstruksi Hukum Kenotariatan, salah satu tugas jabatan Notaris yaitu “memformulasikan keinginan/tindakan para penghadap dalam bentuk akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku”.
Selanjutya,
Notaris dalam menjalankan tugasnya perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum, sehingga dalam menjalankan tugasnya Notaris diatur dalam ketentuan UUJN, sehingga UUJN merupakan lex specialis dari KUHP,
dan bentuk hubungan Notaris dengan para penghadap harus dikaitkan dengan Pasal 1869 KUHPerdata.
Yurisprudensi Mahkamah Agung (Putusan Mahkamah Agung No. 702 K/Sip/1973, tanggal 5 September 1973) menyatakan: “Notaris fungsinya hanya
pada hari selasa, tanggal 29 april 2014, jam 15.30
9
Lihat Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 yaitu “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangann lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya. Dalam pasal 15 ayat (1) dikatakan “ Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dintyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semua itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang telah ditetapkan oleh undang-undang.
10
mencatat/menuliskan apa-apa yang dikehendaki dan dikemukakan oleh para pihak
yang menghadap Notaris tersebut. Tidak ada kewajiban bagi Notaris untuk menyelidiki secara materil apa-apa (hal-hal) yang dikemukakan oleh penghadap di hadapan Notaris tersebut”;
Perbuatan Notaris dalam melaksanakan kewenangan membuat akta sebagai perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP, tanpa
memperhatikan aturan hukum yang berkaitan dengan tata cara pembuatan akta, menunjukkan telah terjadi kesalah pahaman atau salah menafsirkan tentang kedudukan Notaris dan juga akta Notaris adalah sebagai alat bukti dalam Hukum
Perdata.
Keterangan atau pernyataan dan keinginan para pihak yang diutarakan
dihadapan Notaris merupakan bahan dasar bagi Notaris untuk membuat akta sesuai dengan keinginan para pihak yang menghadap Notaris, tanpa ada keterangan atau pernyataan dan keinginan dari para pihak tidak mungkin Notaris untuk membuat akta.
Kalaupun ada pernyataan atau keterangan yang diduga palsu dicantumkan dimasukkan ke dalam akta otentik, tidak menyebabkan akta tersebut palsu, serta tidak
berarti Notaris memasukkan atau mencantumkan keterangan palsu ke dalam akta Notaris. Secara materil kepalsuan atas hal tersebut merupakan tanggungjawab para pihak yang bersangkutan, dan tindakan hukum yang harus dilakukan adalah
membatalkan akta yang bersangkutan melalui gugatan perdata.
Akta Notaris lahir karena adanya keterlibatan langsung dari pihak yang
sebuah akta sehingga tercipta sebuah akta yang otentik. Akta Notaris adalah akta
otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Akta yang dibuat Notaris menguraikan secara otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang disaksikan oleh
para penghadap dan saksi-saksi.11
Beberapa tahun terakhir ini masalah pemalsuan surat-surat berharga semakin
meningkat. Akta Notaris misalnya, merupakan salah satu jenis akta yang mempunyai kedudukan hukum yang penting. Namun disadari, bahwa akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris itu amat beraneka ragam. Akta tersebut misalnya akta Perjanjian
Jual Beli, Akta Penetapan Warisan, Akta Pendirian Badan Usaha, dan lain sebagainya. Pemalsuan terhadap berbagai jenis akta seperti inilah yang diatur dalam
Buku II Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pada Bab XII dari Pasal 263 sampai dengan Pasal 276. Menurut S.R. Sianturi, bahwa berbicara mengenai pemalsuan, maka pemalsuan surat ini didahului dengan pemalsuan uang (Bab X),
serta pemalsuan meterai dan merk (Bab XI). Sedangkan mengenai pemalsuan surat keterangan perahu/kapal diatur di Bab XXIX Buku II KUHP, Pasal 451 bis, 451 ter
dan 452. Juga dalam pemalsuan surat ini sangat mengemukakan terancamnya kepentingan masyarakat (terutama yang sudah melek huruf) berupa kepercayaan terhadap surat-surat yang mempunyai akibat hukum.
12
11
Wawan Tunggal Alam, Hukum Bicara Kasus-kasus dalam Kehidupan Sehari-hari, (Jakarta: Milenia Populer, 2001, hal .85.
12
Notaris dengan kewenangan yang diberikan oleh perundang-undangan itu,
memegang peranan yang penting dalam pembuatan akta-akta yang resmi (otentik). Peranan dan kedudukan Notaris yang demikian penting artinya ini karena akta-akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris itu selain mempunyai kekuatan hukum, juga
membawa akibat-akibat hukum tertentu kepada para pihak. KUHP menjaga kepentingan dan kepercayaan atas surat-surat dan akta-akta yang dibuat oleh yang
berwenang, seperti halnya dengan Akta Notaris. Pada Pasal 263 dan 264 KUHP mengancam pidana terhadap barang siapa yang melakukan pemalsuan surat. Dalam Pasal 263 KUHP misalnya, terkandung maksud untuk memberikan perlindungan atau
kepercayaan umum terhadap surat atau akta yang bersangkutan. Bahwa pekerjaan atau tugas-tugas seorang Notaris itu sangat penting artinya, oleh karena menyangkut
dengan soal kepercayaan yang dilimpahkan oleh perundang-undangan kepadanya. Tetapi dalam kenyataan, tugas-tugas atau karya dari Notaris itu pun tidak luput dari pemalsuan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Pemalsuan terhadap Akta
Notaris bukan hanya menyebabkan kerugian bagi pihak lain, tetapi juga merupakan suatu tindak pidana.13
Begitu pentingnya peranan Notaris yang diberikan oleh Negara, dimana Notaris sebagai pejabat umum dituntut bertanggung jawab terhadap akta yang dibuatnya. Karena seorang Notaris haruslah tunduk kepada peraturan yang berlaku
yaitu Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) dan taat kepada kode etik profesi hukum. Kode etik yang dimaksud disini adalah kode etik Notaris. Apabila akta yang
13
dibuat ternyata dibelakang hari mengandung sengketa maka hal ini perlu
dipertanyakan, apakah akta ini merupakan kesalahan Notaris dengan sengaja untuk menguntungkan salah satu pihak penghadap atau kesalahan Para Pihak yang tidak memberikan dokumen ataupun keterangan yang sebenarnya. Apabila akta yang
dibuat/diterbitkan Notaris mengandung cacat hukum karena kesalahan Notaris baik karena kelalaian (culpa) maupun karena kesengajaan Notaris itu sendiri maka Notaris
harus memberikan pertanggungjawaban secara moral dan secara hukum. Hal ini harus terlebih dahulu dapat dibuktikan. Jika Notaris terbukti melakukan kesalahan-kesalahan, baik yang bersifat pribadi maupun yang menyangkut profesionalitas dalam
suatu pembuatan akta yang mengandung unsur melawan hukum maka beberapa tahap prosedur yang dapat dikemukakan dilapangan adalah antara lain pemanggilan Notaris
sebagai saksi, kemudian ditingkatkan sebagai tergugat di Pengadilan perdata menyangkut pertanggungjawaban akta yang dibuat untuk dijadikan alat bukti yang sebelumnya adanya toleransi dari Majelis Pengawas Notaris, selanjutnya
ditindaklanjuti dengan pemidanaan yakni Notaris dapat dijadikan saksi dan tersangka dalam kasus pidana serta penyitaan bundel minuta yang disimpan oleh Notaris.14
Pelanggaran adalah perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh subjek hukum yang melanggar ketentuan atau peraturan yang telah ditetapkan. Notaris sebagai subjek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban sekaligus sebagai anggota
dari Perkumpulan/organisasi Ikatan Notaris Indonesia memiliki kewajiban yang harus dipatuhi dan larangan yang harus dihindari dalam menjalankan tugas jabatannya.
14
Kewajiban dan larangan Notaris diatur dalam UUJN (Pasal 16 ayat (1) dan
Pasal 17) serta Kode Etik Notaris (Pasal 3 dan Pasal 4) sebagai berikut: Pasal 16 :
(1) Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban:
a. Bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan yang terkait dalam perbuatan hukum;
b. Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari protokol Notaris;
c. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan
minuta akta;
d. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini,
kecuali ada alasan untuk menolaknya;
e. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji
jabatan, kecuali undnag-undang menentukan lain;
f. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat
tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, dan mencatat jumlah minuta akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku;
h. Membuat daftar yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu
pembuatan akta setiap bulan;
i. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf hak tanggungan atau daftar nihil yang berkenaan wasiat ke Daftar Pusat Wasiat Departemen
yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenotariatan dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya;
j. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan;
k. Mempunyai cap/stempel yang memuat lambang Negara Republik Indonesia
dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan;
l. Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan Notaris;
m. Menerima magang Notaris. Pasal 17 :
(2) Notaris dilarang:
a. Menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;
b. Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut
tanpa alasan yang sah;
c. Merangkap sebagai pegawai negeri;
e. Merangkap jabatan sebagai Advokat;
f. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai Badan Usaha Milik Negara,
Badan Usaha Milik Daerah atau badan usaha swasta;
g. Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar wilayah jabatan
Notaris;
h. Menjadi Notaris Pengganti;
i. Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan,
atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan jabatan Notaris.
Notaris rawan terkena jeratan hukum bukan hanya karena faktor internal yang berasal dari dalam dirinya sendiri misalnya kecerobohan, tidak mematuhi prosedur, tidak menjalankan etika profesi dan sebagainya. Namun juga dikarenakan
faktor eksternal seperti moral masyarakat dimana Notaris dihadapkan pada dokumen-dokumen palsu padahal dokumen-dokumen tersebut mengandung konsekuensi hukum
bagi pemiliknya.15
Pelanggaran yang menyebabkan penyimpangan dari hukum maka Notaris dapat dijatuhi sanksi yaitu berupa Sanksi Perdata, Administratif /Kode Etik Jabatan
Notaris. Sanksi-sanksi tersebut telah diatur sedemikian rupa baik sebelumnya dan sekarang dalam Undang-Undang Jabatan Notaris terkait Kode Etik profesi Jabatan
Notaris dimana tidak adanya keterangan sanksi pidana melainkan organisasi Majelis Pengawas Notaris yang berkewenangan memberikan hukuman kepada Notaris.
15
Demikian disimpulkan bahwa walaupun didalam Undang-Undang Jabatan
Notaris (UUJN) tidak menyebutkan adanya penerapan sanksi pemidanaan tetapi suatu tindakan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris tersebut mengandung unsur-unsur pemalsuan atas kesengajaan/kelalaian dalam pembuatan
surat/akta otentik yang keterangan isinya palsu maka setelah dijatuhi sanksi administratif/kode etik profesi jabatan notaris dan sanksi keperdataan kemudian dapat
ditarik dan dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris yang menerangkan adanya bukti keterlibatan secara sengaja melakukan kejahatan pemalsuan akta otentik.16
Hukum Pidana merupakan bagian dari hukum publik yang mengutamakan tekanan dari kepentingan umum pada masyarakat. Menurut doktrin adanya
suatu pertanggungjawaban pidana harus terpenuhinya syarat yaitu dengan melihat adanya perbuatan yang dapat dihukum dengan menyebutkan unsur-unsurnya secara tegas dan berdasarkan undang-undang yang mengatur bahwa perbuatan tersebut
telah bertentangan dengan hukum yang menimbulkan kejahatan pidana, dimana harus mempertanggungjawabkan sebab-akibat dari pada perbuatan tersebut.17
Dalam hal-hal yang berkaitan dengan Notaris mengingat telah diatur dalam undang-undang khusus yakni Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Jabatan Notaris yang berhubungan dengan Kode Etik profesinya serta terdapat
Majelis Pengawas Notaris dimana berfungsi untuk mengawasi tugas dan
16
Habib Adjie, Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia (Kumpulan Tulisan), CV. Mandar Maju, Bandung, 2009, (Selanjutnya disebut Buku II), hal 15.
17
kewenangan Notaris, maka penerapan sanksi pidana dikesampingkan menjadi
terbatas kepada Notaris. Hal tersebut antara Penerapan Hukum Undang-Undang Jabatan Notaris dengan Penerapan Hukum Pidana yang diatur dalam (KUHP) menjadi tumpang tindih sehingga memberikan ketidakjelasan hukum bagi Notaris
jika terjadi kesalahan dalam bertindak berdasarkan tugas dan kewenangannya. Sebenarnya sanksi pidana dapat diterapkan apabila adanya bukti suatu pelanggaran
hukum yang menghubungkan dengan perbuatan pidana sebagai alternatif bagian dalam penyelesaian suatu perkara hukum. Karena Sanksi pidana merupakan Ultimum Remedium, yaitu obat terakhir, apabila sanksi atau upaya-upaya pada cabang hukum
lainnya tidak mempan. Oleh karena itu penggunaannya harus dibatasi.18
Salah satu contoh kasus pada tanggal 04 Maret 2008 bertempat di kantor PT.
Tulung Agung yang terletak di jalan Samanhudi No. 9 Medan, saksi Eveline Sago (Anak kandung terdakwa Ignasius Sago) membeli sebidang tanah seluas ± (kurang lebih) 515 Ha dari saksi Octo Berman Simanjuntak yang terletak di desa Sikapas,
kecamatan Muara Batang Gadis, Kabupaten Mandiling Natal, Propinsi Sumatera Utara Seharga Rp. 6.000.000.000,- (enam milyar rupiah) dan Saksi Eveline Sago
telah membayar secara bertahap sebesar Rp. 5.750.000.000,- (lima milyar tujuh ratus lima puluh juta rupiah) dan sisanya sebesar Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) dibayar Eveline Sago pada bulan Agustus 2009, namun saksi Octo
Berman Simanjuntak tidak mengakui uang Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) bukan pelunasan pembayaran harga tanah melainkan untuk pembayaran
18
pembelian tanah milik keluarga Manaon Sabar Siahaan, jual beli tanah tersebut dibuat
dalam surat perjanjian jual beli Ganti Rugi tanah tanggal 04 Maret 2008 dan alas hak yang dijual saksi Octo Berman Simanjuntak kepada Eveline Sago adalah akta jual beli yang dibuat dihadapan F. Zulkifli Nasution (Camat Muara Batang Gadis)
sebanyak 49 (empat puluh sembilan) eksemplar yang terdiri dari : 1. Tanah milik saksi Octo Berman Simanjuntak ;
2. Tanah milik saksi Elisabeth Treny Tambunan (isteri saksi Octo Berman Simanjuntak) ;
3. Tanah milik saksi Stephanie Aprilia Natasha Simanjuntak (anak saksi Octo
Berman Simanjuntak) ;
4. Tanah milik Eldo Steven Markus Simanjuntak (anak dari Octo Berman
Simanjuntak) ;
5. Tanah milik William Michael D Simanjuntak (anak saksi Octo berman Simanjuntak) ;
6. Kemudian sekitar bulan Oktober 2008, Terdakwa Ignasius Sago berencana menjadikan tanah seluas ± (kurang lebih) 515 ha tersebut menjadi kebun
plasma, dengan maksud untuk memperoleh sertifikat PRONA dari Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Mandailing Natal, untuk itu Terdakwa Ignasius Sago meminta saksi Octo Berman Simanjuntak agar menjual kembali
tanah yang di beli saksi Eveline Sago tersebut kepada 67 (enampuluh tujuh ) orang karyawan PT.SAGO NAULI dan saksi Octo Berman Simanjuntak
uang sebesar Rp.250.000.000,-(duaratus limapuluh juta rupiah) dilunasi oleh
Terdakwa Ignasius Sago, kemudian Terdakwa Ignasius Sago menghubungi saksi Sondang Matiur Hutagalung, (Notaris di Penyabungan) untuk membuat Akta Pelepasan Hak Atas Tanah Dengan Ganti Rugi kepada karyawan
PT.Sago Nauli.
7. Kemudian akhir bulan Oktober 2008, saksi Sondang Matiur Hutagalung,
bertemu dengan Terdakwa Ignasius Sago, Octo Berman Simanjuntak dan seorang karyawan Ignasius Sago. Terdakwa Ignasius Sago mengatakan Kepada Notaris Sondang Matiur Hutagalung, akan melakukan transaksi jual
beli tanah dan kebun kelapa sawit yang berada di Desa Sikapas, Kecamatan Muara Batang Gadis, Kabupaten Mandailing Natal dengan saksi Octo Berman
Simanjuntak dan mengatakan lagi kalau nanti jadi tolong dibuatkan aktanya dan saksi Sondang menanyakan kepada saksi Octo Berman Simanjuntak, surat-suratnya ada Pak? Dan oleh saksi Octo Berman Simanjuntak
menjawabnya ada. Berhubung banyak nama-nama pemilik tanahnya memakai kuasa No 45 tanggal 14 Maret 2008 yang dibuat Notaris Rubianto Tarigan,
dan surat kuasa diserahkan kepada Notaris Sondang yang menerangkan bahwa Stephanie Aprilia Nathasia Simanjuntak, Eldo Steven Markus Simanjuntak, dan William Michael Mathen Simanjuntak memberikan kuasa kepada saksi
Ignasius Sago memberikan nama-nama karyawan PT.Sago Nauli sebanyak 67
(enam puluh tujuh ) orang yang akan membeli tanah tersebut.
8. Terdakwa Ignasius Sago dan saksi Octo Berman Simanjuntak tidak memberitahukan kepada Notaris Sondang Hutagalung, bahwa tanah seluas ±
(kurang lebih) 515 ha tersebut sudah di jual saksi Octo Berman Simanjuntak kepada Saksi Eveline Sago seharga Rp.6.000.000.000,-(enam milyar rupiah).
9. Kemudian bulan Februari 2009 Notaris Sondang Matiur Hutagalung, membuat Akta Pelepasan Hak Atas Tanah dengan Ganti Rugi dari Saksi Octo Berman Simanjuntak kepada 67 (enam puluh tujuh) karyawan PT.Sago Nauli
dengan Nomor Akte 35 sd 107 yang menerangkan tanah seluas ± (kurang lebih) 515 ha tersebut telah di ganti rugi kepada saksi Octo Berman
Simanjuntak, saksi Elisabeth Treny Tambunan dengan harga Rp.428.000.000,-(empat ratus duapuluh delapan juta rupiah) lalu Para Pihak membubuhkan tanda tangan pada akta-akta pelepasan hak atas tanah dengan
ganti rugi tersebut namun sebenarnya saksi Octo Berman Simanjuntak tidak ada menerima uang sebesar Rp.428.000.000,-(empat ratus duapuluh delapan
juta rupiah).
10.Berdasarkan akte-akte tersebut di atas ternyata tidak berhasil mendapatkan PRONA (Program Nasional) karena lokasi tanah terlalu jauh dari tempat
tinggal karyawan PT.Sago Nauli, lalu Terdakwa Ignasius Sago bermaksud mengurus izin usaha Perkebunan dan izin Lokasi harus berbadan Hukum,
menjual kembali tanah tersebut kepada PT.Bahtera Srikandi dan saksi Octo
Berman Simanjuntak menyetujui permintaan Terdakwa Ignasius Sago tersebut.
11.Kemudian bulan September 2010 Sekretaris PT.Sago Nauli mendatangi
kantor Notaris soeparno di Medan mengatakan bahwa PT.Tri Bahtera Srikandi yang diwakili Edysa dan Terdakwa Ignasius Sago akan membeli
tanah dan kebun kelapa sawit yang terletak di Desa Sikapas, kecamatan Muara Batang Gadis, Kabupaten Mandailing Natal dari saksi Octo berman Simanjuntak, lalu saksi Evaline Senja Sinaga menyerahkan alas Hak berupa
akta Jual Beli yang dibuat dihadapan F Zulkifli Nasution sebanyak 49 (empat puluh sembilan) eksemplar dan akta surat kuasa no 45 tanggal 14 Maret 2008
yang dibuat dihadapan Notaris Rubianto Tarigan. Notaris Soeparno, akhirnya membuat draft akta sebanyak 18 (delapan belas).tanggal 24 September 2010 Terdakwa Ignasius Sago, saksi Octo Berman Simanjuntak dan Edysa datang
menghadap saksi Soeparno di Medan lalu Notaris Soeparno, menanyakan harga jual belinya lalu dijawab Terdakwa Ignasius Sago sebesar
Rp.31.568.000.000,- (tiga puluh satu milyar limaratus enampuluh delapan juta rupiah) lalu menuliskan angka tersebut ke dalam akte pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi, namun Terdakwa Ignasius Sago dan Octo Berman
Simanjuntak tidak memberitahukan kepada Soeparno, yang sebenarnya. 12.Kemudian Para Pihak membubuhkan tanda tangan dan cap ibu jari kiri pada
Atas Tanah Dengan Ganti Rugi No.18 sd 36 tanggal 24 September 2010
tanah seluas 526,1533 ha yang terletak di di Desa Sikapas, kecamatan Singkuang Kabupaten Mandailing Natal, namun yang sebenarnya saksi Octo Berman Simanjuntak tidak ada menerima pembayaran sebesar
Rp.31.568.000.000,- (tiga puluh satu milyar limaratus enampuluh delapan juta rupiah).
13.Kemudian Akta Pelepasan Hak Atas Tanah Dengan Ganti Rugi no. 19 sd 36 tanggal 24 September 2010 yang dibuat Notaris Soeparno, telah digunakan Terdakwa Ignasius Sago yaitu PT.Tri Bahtera Srikandi memperoleh Izin
Usaha Perkebunan sesuai dengan keputusan Bupati Mandailing Natal Nomor 525.25/037.a/K/2011 tanggal 14 Februari 2011 dan SK Bupati Mandailing
Natal Nomor 525/043/K/2011 tanggal 22 Februari 2011.
Pemakaian Keputusan Mandailing Natal dan Surat Keputusan Bupati Mandailing Natal tentang Izin Lokasi oleh PT.Tri Bahtera Srikandi telah
menimbulkan kerugian bagi :
1. PT.Madina Agro Lestari, yang menderita kerugian sebesar
Rp.4.966.418.400,-(empat milyar sembilan ratus enam puluh enam juta empat ratus delapan belas ribu empat ratus rupiah) karena luas areal Izin Lokasi milik PT tersebut berkurang, dimana seluas 6.500 ha berkurang menjadi 5.656,84 ha dan
2. Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal, yaitu hilangnya kepercayaan
masyarakat terhadap Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal karena tidak ada kepastian hukum, Terdakwa Ignasius Sago menggunakan Akta Pelepasan Hak Atas Tanah Dengan Ganti Rugi No 19 s/d 36 yang isinya tidak sesuai
dengan sebenarnya dalam pengurusan Izin Usaha Perkebunan ;
3. Notaris Secara Umum yaitu hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap
Pejabat Pembuat Akta (Notaris), karena Notaris Soeparno, menerbitkan Akta yang isinya tidak sesuai dengan yang sebenarnya ;
Sebagaimana diatur dan diancam Pidana dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP jo
Pasal 55 ayat (1) KUHP ;
Hal tersebut diataslah yang membawa terdakwa ke Pengadilan Negeri Medan,
dan Pengadilan Negeri Medan memutus perkara sebagai berikut :
1. Menyatakan terdakwa Ignasius Sago tersebut di atas telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan
yaitu “bersama-sama menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam akta autentik”
2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan.
3. Menetapkan masa penahanan yang telah dilakukan oleh terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana penjara yan g dijatuhkan. 4. Memerintahkan terdakwa ditahan.
A. 67 (enam pulub tujuh) lembar foto copy legalisir minut Akta Pelepasan hak
atas tanah dengan ganti rugi yang dibuat di hadapan Notaris Sondang Matiur Hutagalung yaitu :
1. Akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 35 s/d 39 tanggal
11 Februari 2009.
2. Akta Pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 40 s/d 48 tanggal
13 Februari 2009.
3. Akta Pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 55 s/d 64 tanggal 17 Februari 2009.
4. Akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 65 s/d 74 tanggal 18 Februari 2009.
5. Akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 75 s/d 84 tanggal 19 Februari 2009.
6. Akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 85 s/d 95 tanggal
20 Februari 2009.
7. Akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 96 s/d 100 tanggal
21 Februari 2009.
8. Akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 101 s/d 107 tanggal 23 Februari 2009.
Masing-masing lengkap terlampir dalam berkas perkara ini.
B. 18 (delapan belas ) lembar fotocopi legalisir minut Akta pelepasan hak atas
1. Akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 19 tanggal 24
september 2010.
2. Akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 20 tanggal 24 september 2010.
3. Akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 21 tanggal 24 september 2010.
4. Akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 22 tanggal 2010. 5. Akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 23 tanggal 24
september 2010.
6. Akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 24 tanggal 24 september 2010.
7. Akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 25 tanggal 24 september 2010
8. Akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 26 tanggal 24
september 2010.
9. Akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 27 tanggal 24
september 2010.
10.Akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 28 tanggal 24 september 2010.
12.Akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 30 tanggal 24
september 2010.
13.Akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 31 tanggal 24 september 2010.
14.Akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 32 tanggal 24 september 2010.
15.Akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 33 tanggal 24 september 2010.
16.Akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 34 tanggal 24
september 2010.
17.Akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 35 tanggal 24
september 2010.
18.Akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No. 36 tanggal 24 september 2010.
C. 2 (dua) lembar asli surat jual beli/ganti rugi tanggal 4 Maret 2008 anatara Octo Bermand Simanjuntak (penjual) dengan Eveline Sago (pembeli)
dikembalikan kepada saksi 7 Evelina Sago.
6. Membebankan biaya perkara sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) kepada terdakwa.
Putusan Pengadilan Negeri Medan tersebut, Penasehat Hukum terdakwa telah menyatakan banding pada tanggal 28 Desember 2012 dan permintaan banding
Sehingga permasalahan tersebut sampai kepada Pengadilan Tinggi Medan, dan
Pengadilan Tinggi Medan mengadili dan memutus perkara sebagai berikut:
1. Menyatakan terdakwa Ignasius Sago telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana bersama-sama menyuruh
menempatkan keterangan palsu ke dalam akta autentik;
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 8
(delapan) bulan;
3. Menetapkan pidana tersebut tidak perlu dijalankan kecuali dikemudian hari ada perintah lain dalam putusan Hakim yang telah berkekuatan hukum
tetap karena terdakwa telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebelum lewat masa percobaan selama 1(satu) tahun
4. Menguatkan putusan Pengadilan Negeri selain dan selebihnya;
Berdasarkan uraian diatas, sangat menarik untuk membahas persoalan ini menjadi sebuah penelitian tesis dengan judul : Tindak Pidana Menyuruh Memasukkan Keterangan Palsu Dalam akte otentik (Studi Putusan Nomor : 1545/PID.B/2012 PN. Medan. Jo Putusan Nomor :39/PID/2013/PT.MDN).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut :
2. Bagaimana upaya yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum untuk
membuktikan tindak pidana menyuruh memasukkan keterangan palsu dalam akte otentik dalam proses Peradilan terkait Putusan Nomor 1545/Pid.B/2012 PN. Medan Jo Putusan Nomor 39/PID/2013/PT.Medan ?
3. Apakah Pertimbangan hukum oleh Hakim terhadap tindak pidana menyuruh memasukkan keterangan palsu dalam akte otentik pada putusan Nomor
1545/Pid.B/2012 PN. Medan Jo Putusan Nomor 39/PID/2013/PT.Medan? C.Tujuan Penelitian
Mengacu pada judul dan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini
dapat dikemukakan tujuan penelitian sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengaturan hukum pidana terhadap tindak pidana menyuruh
memasukkan keterangan palsu dalam akta otentik.
2. Untuk mengetahui dan menjelaskan Upaya yang dilakukan oleh Jaksa penuntut umum untuk membuktikan tindak pidana menyuruh memasukkan keterangan
palsu dalam akte otentik dalam proses peradilan dalam Putusan Nomor.1545/Pid.B/2012PN.Medan Jo Putusan Nomor.39/PID/2013/PT.Medan.
3. Untuk mengetahui Pertimbangan hukum oleh Hakim terhadap Tindak Pidana menyuruh memasukkan keterangan palsu dalam akte otentik pada putusan Nomor 1545/Pid.B/2012 PN. Medan Jo Putusan Nomor
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat baik secara teoritis dan praktis. Adapun kedua kegunaan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan penambahan
ilmu pengetahuan yang dapat digunakan oleh pihak yang membutuhkan sebagai bahan
kajian pada umumnya, khususnya pengetahuan dalam hal mengetahui dan mempelajari
tentang Analisis Yuridis Normatif Terhadap Tindak Pidana Menyuruh Memasukkan
Keterangan Palsu dalam Akta Otentik yang dibuat oleh Notaris.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi Para Penegak Hukum dan masyarakat dalam hal mengetahui secara jelas tentang Perumusan Unsur-Unsur Perbuatan Tindak Pidana Menyuruh Memasukkan keterangan palsu dalam Akta
Otentik yang dibuat oleh Notaris dan Akibat Hukum Terhadap Pemalsuan Akta Otentik.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan data dan informasi serta penelusuran yang dilakukan di Perpustakaan Fakultas Hukum maupun Program Studi Magister Hukum Universitas
Sumatera Utara, maka penelitian dengan judul “ Tindak Pidana Menyuruh Memasukkan Keterangan Palsu Dalam Akte Otentik (Studi Kasus Putusan Nomor
adalah benar keaslianya baik dari materi, permasalahan, tujuan penelitian dan
kajiannya. Selain itu, penelitian ini dilakukan dengan menjunjung tinggi kode etik penulisan karya ilmiah sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Setelah dilakukan penelusuran, berikut ini ditemukan beberapa penelitian
yang mirip dengan tesis ini, diantaranya sebagai berikut :
1) Yusnani/057011100/MKn, dengan judul penelitian “ Analisis Hukum Terhadap
Akta Autentik yang Mengandung Keterangan Palsu dengan rumusan masalah “bagaimana pertanggungjawaban Notaris terhadap akte autentik yang mengandung keterangan palsu, bagaimana sanksi yang diberikan kepada penghadap yang
memberikan keterangan palsu terhadap akte autentik dan bagaimana akibat hukumnya terhadap bukti autentik yang mengandung keterangan palsu”.
2) Yulia, dengan judul penelitian “kajian yuridis tentang kewenangan Notaris dalam pembuatan akta tanah berdasarkan pasal 15 ayat (2) huruf f undang -undang no 30
tahun 2004 tentang jabatan Notaris, dengan rumusan masalah bagaimana pelaksanaan
jabatan Notaris berdasarkan pasal 15 ayat (2) huruf f undang -undang no 30 tahun
2004, dan bagaimanakah akibat hukum yang ditimbulkan dalam pelaksanaan jabatan
Notaris berdasarkan pasal 15 ayat (2) huruf f undang-undang no 30 tahun 2004 di
hubungkan dengan peraturan pemerintah no 37 tahun 1998 tentang Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT).
3) Santik Yuristiani, dengan judul penelitian “Analisis yuridis tentang penjatuhan sanksi pidana terhadap Notaris yang membuat akta otentik dengan memasukkan
k/pid/2010) dan permasalahan dalam penelitian ini adalah, mengenai akibat
hukum bagi Notaris dalam pembuatan akta yang tidak memasukkan keterangan para pihak dengan benar. Kemudian mengenai penjatuhan sanksi pidana terhadap keterlibatan notaris yang tidak memasukkan keterangan para pihak dengan benar.
4) Fitri Kesuma Zebua dengan judul penelitian“Pertanggungjawaban pidana Notaris terhadap akta yang dibuatnya (studi putusan Mahkamah Agung register no.
1099k/pid/2010), dan rumusan masalah adalah perihal bilakah Notaris dapat dikatakan telah melanggar Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris,
dan pertanggungjawaban pidana Notaris terhadap akta yang dibuatnya dikaitkan
dengan pertimbangan hukum dan putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim kepada
Notaris sebagai terdakwa.
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir–butir pendapat, teori mengenai kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi pertimbangan, pegangan teoritis. 19 Kerangka teori merupakan landasan berpikir yang digunakan untuk
mencari pemecahan masalah. Setiap penelitian membutuhkan titik tolak untuk memecahkan dan membahas masalahnya, untuk itu perlu disusun kerangka teori yang
memuat pokok pikiran yang menggambarkan dari mana masalah tersebut di amati.20
19
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung, Mandar Maju,1994), hal. 80 20
Tujuan hukum adalah tata tertib masyarakat yang damai dan adil.21 Hukum
dapat terdiri dari hukum tertulis22 dan tidak tertulis23. Proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi suatu kenyataan disebut sebagai penegakkan hukum.24 Penegakkan hukum adalah suatu proses dilakukannya upaya penerapan
norma-norma hukum secara nyata agar hukum dapat berfungsi dan ditegakkan sebagai pedoman perilaku dalam hubungan-hubungan hukum dalam hidup
bermasyarakat dan bernegara, baik oleh masing-masing warga negara maupun aparat penegak hukum yang mempunyai tugas dan wewenang berdasarkan undang-undang.25
21
L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT.Pradnya Paramita, 2001), hal.16 Penelitian ini berkaitan dengan proses penegakkan hukum pidana terhadap
pelanggaran norma-norma hukum pidana khususnya tindak pidana penipuan akte otentik. Tidak ada hukuman tanpa kesalahan merupakan asas penting dalam hukum
pidana untuk sampai kepada penjatuhan hukuman bagi seorang yang didakwa melakukan tindak pidana. Kesalahan tidaklah otomatis selalu harus dianggap ada dalam setiap terjadinya suatu tindak pidana, tetapi haruslah dibuktikan terlebih
22
Umumnya hukum tertulis itu tertuang dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Undang –undang Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang –undang pada pasal 1 angka (2) disebutkan bahwa peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk dan ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapakan dalam peratuan perundang-undang. Sedangkan pasal 7 ayat (1) disebutkan: jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan terdiri atas: a. UUD RI 1945, b. TAP MPR, c. UU/Perpu, d. Peraturan pemerintah, e. Peraturan presiden, f. PERDA, g. Peraturan daerah Kabupaten/kota.
23
Hukum tidak tertulis (unstatutery law) yaitu hukum yang dalam kenyataan masih hidup dalam keyakinan dan pergaulan masyarakat tetapi tidak tertulis namun berlakunya ditaati (living law). Lihat C.S.T.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), hlm. 70. Bandingkan dengan Hasim Purba, Suatu Pedoman Memahami Ilmu Hukum, (Medan:CV. Cahaya Ilmu, 2006), hal. 127.
24
Satjipto Rahardjo, Penegakkan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), hlm. 24.
25
dahulu, karena itu untuk sampai kepada pemidanaan maka pembuktian terhadap
kesalahan itu haruslah terlebih dahulu dilakukan. Mengingat itu maka teori pertanggungjawaban pidana beserta teori kesalahan memiliki relevansi yang urgen dengan penelitian ini, maka akan digunakan teori-teori sebagai berikut:
a. Teori pembuktian
Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa pembuktian termasuk salah satu
pokok bahasan penting dalam hukum apapun termasuk hukum pidana. Perihal pembuktian dalam bidang hukum pidana Indonesia secara umum diatur dalam Undang–undang No. 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana atau lebih dikenal
dengan sebutan Kitan Undang-undang Acara Hukum Pidana (KUHAP).
Andi Hamzah menyatakan bahwa tujuan hukum acara Pidana adalah
menemukan kebenaran materil.26 M. Yahya Harahap menyatakan bahwa kebenaran yang hendak dicari dan ditemukan dalam pemeriksaan perkara pidana adalah kebenaran sejati atau materil waarheid atau disebut juga dengan absulute truth.27
“Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menetapkan Secara lebih tegas dan lengkap formulasi tujuan hukum acara pidana dinyatakan dalam keputusan Menteri kehakiman Republik Indonesia: M.01.PW.07.03 Tahun
1982 tentang pedoman pelaksanaan KUHAP ditetapkan di Jakarta pada tanggal 4 Pebruari 1982, pada bidang umum BAB I Pendahuluan yang berbunyi:
26
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), (selanjutnya disingkat Andi Hamzah II) hal. 228
27
ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahakan.”
Beberapa ajaran teori penting terkait dengan pembuktian28
1. Conviction in Time
adalah sebagai
berikut:
Teori ini mengajarkan bahwa suatu hal dapat dinyatakan terbukti hanya atas dasar keyakinan Hakim semata timbul dari hati nurani dan sifat bijaksananya tanpa terikat dengan alat-alat bukti. Keyakinan Hakim dalam teori ini sangat absolut dan
independen sehingga sangat sulit untuk diprediksi dan diawasi. Sistem pembuktian
conviction in time adalah suatu sistem yang untuk menentukan salah tidaknya
seseorang terdakwa, semata–mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan Hakim”.29
2. Conviction Raisonnee
Berbeda dengan sistem conviction in time yang mengandalkan keyakinan
hakim semata, absolut dan independen tanpa terikat oleh alat bukti atau alasan apapun, dalam conviction raisonnee keyakinan Hakim dalam memberikan putusan
tetap dominan tetapi harus dilandasi oleh alasan–alasan yang logis atau diterima akal kenapa Hakim sampai pada pengambilan putusan dimaksud. Jadi tetap memprioritaskan keyakinan tetapi terbatas oleh alasan–alasan logis.
28
Beberapa literatur/ buku saling mempertukarkan istialh teori pembuktian atau sistem pembuktian. Andi Hamzah misalnya dalam bukunya Pengantar Acara hukum pidana Indonesia memperguanakan kata-kata sistem atau teori pembuktian
29
3. Pembuktian menurut Undang-Undang secara positif (Positief Wettelijke Bewijs
Theori)
Teori ini mengajarkan bahwa membuktikan sesuatu didasarkan semata–mata alat-alat pembuktian yang telah ditentukan oleh undang-undang tanpa membuka
ruang pada keyakinan Hakim. Alat bukti yang telah ditentukan oleh undang–undang dalam teori ini bersifat mengikat dan menentukan secara absolut serta independen
dalam membuktikan kebenaran sesuatu.
4. Pembuktian menurut Undang-undang secara negatif (Negatif Wettelijke Bewijs Theori)
Sistem pembuktian undang–undang secara negatif ini adalah sebuah sistem pembuktian yang mengajarkan bahwa pembuktian harus didasarkan atas alat–alat
bukti yang telah ditentukan dalam undang–undang diikuti oleh keyakinan Hakim. Jadi alat buktilah yang harus terlebih dahulu ada (didepan) baru memunculkan keyakinan hakim bukan sebaliknya (dibelakang). Keyakinan Hakim yang dimaksud
disini adalah kayakinan yang timbul berdasarkan alat–alat bukti yang ada, jadi keyakinan itu haruslah berkorelasi dengan alat–alat bukti. Sistem pembuktian ini
dengan demikian merupakan gabungan antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian keyakinan Hakim (conviction in time).
Sistem pembuktian yang dianut dalam hukum acara pidana Indonesia berdasarkan ketentuan KUHAP adalah sistem pembuktian berdasarkan
berbunyi: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Senada dengan itu Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman pada pasal 6 ayat (2) dinyatakan: ”Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut
undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.”
b. Teori Pertanggungjawaban Pidana
Menurut Romli Atmasasmita, pertanggungjawaban pidana (criminal liabilityi) diartikan sebagai suatu kewajiban hukum pidana untuk memberikan pembalasan yang
diterima pelaku terkait karena orang lain yang dirugikan. Sehubungan dengan hal tersebut, Romli Atmasasmita menyatakan sebagai berikut :
Berbicara tentang konsep liability atau pertangggungjawaban dilihat dari segi filsafat hukum, seorang filosof besar bidang hukum pada abad ke-20, Roscou Pound, dalam An Introduction to the philosophy of Law, telah mengemukakan pendapatnya” I...Use simple word”Liability”for the situation whereby one
exact legally and other is legally subjected to the exaction”30
Bertitik tolak pada rumusan tentang pertanggungjawaban (Liability) diatas, Pound membahasnya dari sudut pandang filosofis dan sistem hukum secara timbal
balik. Secara sistematis, Pound lebih jauh menguraikan perkembangan konsep
30
liabiltiy diartikan sebagai kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima
pelaku dari seseorang yang telah dirugikan.
Dalam hal kemampuan bertanggungjawab bila dilihat dari batin orang yang melakukan perbuatan pidana merupakan masalah kemampuan bertanggungjawab dan
menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya kesalahan, yang mana keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana haruslah sedemikian rupa sehingga
dapat dikatakan normal, sebab karena orang yang normal, atau sehat inilah yang dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan ukuran–ukuran yang dianggap baik oleh masyarakat.31
Menilik uraian diatas, jelas bahwa soal pertanggungjawaban pidana, tidak dapat dilepaskan dengan tindak pidana. Walaupun di dalam pengertian tindak pidana
tidak termasuk masalah pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya suatu perbuatan. Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah kesalahan (schuld). Ini
berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Berdasarkan hal tersebut diatas,
Sudarto menyatakan hal yang sama bahwa :
“Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telagh melakukan perbuatanyang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision),
namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk
31
pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Dengan perkataan lain, orang tersebut dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, baru dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut”.32
Selanjutnya, Sudarto menyatakan bahwa, disini berlaku asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (Keine strafe ohne schuld atau geen straf zonder schuld atau nulla
poene sine culpa). “Schuld” disini dalam arti luas meliputi juga kesengajaan.
Kesalahan (schuld) yang dimaksud adalah keadaan jiwa seseorang yang melakukan perbuatan dan perbuatan yang dilakukan itu sedemikian rupa, sehingga orang itu
dapat dicela.33 Roeslan Saleh menyatakan, seseorang mempunyai kesalahan, apabila waktu melakukan perbuatan pidana dilihat dari segi kemasyarakatan, dia dapat dicela
karenanya, sebab dianggap dapat berbuat lain, jika memang tidak ingin berbuat sedemikian.34
Pompe berpendapat bahwa pengertian kesalahan mempunyai tanda sebagai
hal yang tercela (verwijtbaarheid) yang pada hakikatnya tidak mencegah
(vermijdbaarheid) kelakuan yang bersifat melawan hukum (der wederrechhtelijke
gedraging). Kemudian dijelaskan pula tentang hakikat tidak mencegah kelakuan yang
bersifat melawan hukum didalam perumusan hukum positif, disitu berarti mempunyai kesengajaan dan kealpaan (opzet en wederrechteleijkeheid) dan kemampuan
bertanggungjawab (toerekenbaarheid).
35
32
Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang : Bahan Penyediaan Kuliah FH UNDIP, 1998) hal. 85 33
Ibid hal.86 34
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Dua Pengertian Dasar adalah Hukum Pidana, (Jakarta: Aksara Baru), hal. 77
35
Mengutip pendapat Alf Ross, Roeslan Saleh memberikan jawaban bahwa
bertanggungjawab atas sesuatu perbuatan pidana berarti yang bersangkutan secara sah dapat dikenai pidana karena perbuatan itu.36
Singkatnya dapat dikatakan bahwa tindakan (hukuman) itu dibenarkan oleh
sistem hukum tersebut. Hal itulah yang mendasari konsepsi liability menurut Roeslan Saleh. Perlu juga dicatat keterangan-keterangan Alf Ross yang dikutip Roeslan Saleh lebih jauh menegaskan mengenai pertanggungjawaban itu dinyatakan adanya
hubungan antara kenyataan-kenyataan yang menjadi syarat dan akibat-akibat hokum yang di syaratkan. Hubungan antara keduanya itu tidak bersifat kodrati atau bersifat
kausal, melainkan menurut hukum.
Pidana itu dapat dikenakan secara sah berarti untuk tindakan itu telah ada aturannya dalam suatu sistem hukum tertentu, dan
sistem hukum itu berlaku atas perbuatan itu.
Jadi dapat disimpulkan, pertanggungjawaban itu adalah pernyataan dari suatu keputusan hukum. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan
(vewijbaarheidi) yang objeknya terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak
pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak pidana yang
memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai karena perbuatannya.37
Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat tindak pidana adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat
36
Ibid. Hal. 35 37
tindak pidana hanya dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak
pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan merupakan hal yang menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana. Seseorang mempunyai kesalahan bila mana waktu melakukan tindak pidana, dilihat dari segi
kemasyarakatan ia dapat dicela oleh karena perbuatannya. Berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana itu, ada dua aliran yang selama ini dianut yaitu aliran
indetermenisme dan aliran determenisme. Kedua aliran tersebut membicarakan
hubungan antara kebebasan kehendak dengan ada atau tidaknya suatu kesalahan.
2. Landasan Konsepsi
Bagian landasan konseptual ini, akan dijelaskan hal-hal yang berkenaan dengan konsep yang digunakan oleh penelitian dalam penulisan tesis ini. Konsep
adalah suatu bagian yang terpenting dari perumusan suatu teori. Peranan konsep pada dasarnya dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi (generalisasi) dan realitas. Konsep diartikan sebagai kata yang
menyatakan abstraksi yang di generalisasikan dalam hal-hal yang khusus yang disebut dengan operasional. Pentingnya defenisi operasional adalah untuk
menghindarkan perbedaan pengertian antara penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini.
a. Tindak Pidana adalah suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu, yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh
bertanggungjawab atau perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum
larangan dimana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut.38
b. Penyelidik adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyelidikan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang.39
c. Pemalsuan surat adalah sebagai suatu perbuatan yang mempuyai tujuan untuk meniru, menciptakan suatu benda yang sifatnya tidak asli lagi atau membuat
surat palsu, pemalsuan surat dapat terjadi terhadap sebagian atau seluruh isi surat, juga ditanda tangani pada si pembuat surat.
40
d. Keterangan palsu adalah suatu keterangan yang dimana tidak sesuai atau bertentangan dengan kebenaran, keterangan mengenai sesuatu hal/kejadian yang harus dibuktikan terlebih dahulu.
41
e. Akta otentik adalah akta yang dibuat dan dipersiapkan oleh Notaris atau
pejabat resmi lainnya (misalnya
untuk kepentingan pihak-pihak dalam42 G. Metode Penelitian
38
Adami Chazawi, Pengantar Hukum Pidana Bag 1, Grafindo, Jakarta ,2002, hal 69 39
Lihat : Pasal 1 angka 5, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
40
Soenarto Soerodibro, KUHP dan KUHAP, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,1994), hal.154. 41
https://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20101023025003AAIV5Lj 42
Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami objek yang
menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Sedangkan penelitian merupakan suatu kerja ilmiah yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten.43 Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif dengan menggunakan yuridis normatif.44
1. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dimana mengatur
tentang sanksi yang terkait pemalsuan akta antara lain yaitu:
Penelitian Yuridis Normatif adalah metode penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka
atau bahan sekunder belaka. Penelitian ini merupakan Penelitian Yuridis Normatif tentang persoalan-persoalan yang menyangkut tentang Tindak Pidana menyuruh memasukkan keterangan palsu dalam akta otentik yang dibuat oleh Notaris ditinjau
Menurut Undang-undang antara lain yaitu:
a. Pasal 263 (Pemalsuan surat pada umumnya) b. Pasal 264 (Pemalsuan yang di perberat)
c. Pasal 266 (Menyuruh melakukan dan Memasukkan keterangan palsu kedalam akta otentik) .
2. Menurut BW KUHPerdata dan Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) Nomor 2 Tahun 2014 mengatur tentang;
1. Ganti kerugian,
43
Soerjono Soekanto dan Sri Mumadji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001), hal. 1.
44
2. Sanksi kode etik profesi Notaris, dan
3. Sanksi administrasi
Beberapa pasal yang disebutkan akan dianalisis lebih dalam sehingga dengan demikian, jenis penelitian ini adalah Penelitian Yuridis Normatif.45
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif,46
Adapun sifat penelitian ini adalah analisis preskriptif
yaitu
suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan dipandang dari sisi normatifnya yang terdapat dalam perundang-undangan (Pasal 266 KUHP) dan putusan Pengadilan Nomor 1545/Pid.B/2012 PN. Medan Jo
Putusan Nomor 39/PID/2013/PT.Medan.
47
dengan pendekatan
analitis (analytical approach)48
2. Sumber Data
dan pendekatan perundang-undangan (statute
approach) yaitu dengan menganalisa kasus (case study) yaitu dengan perkara nomor.
1545/PID.B/2012 PN-Medan.jo putusan nomor. 39/PID/2013/PT-Medan.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari data sekunder
yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier:
45
Soejono soekanto dan sri mamudji ”penelitian hukum normatif suatu tinjauan singkat”, (Jakarta: raja grafindo persada, 2007), hal.13.
46
Johny Ibrahim, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayumedia Publishing, 2005), hal. 46.
47
Deskriptif bertujuan untuk memberikan gambaran atau pemaparan atas subjek dan objek penelitian.
48
a. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai kekuatan
mengikat secara umum49
a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
dan sumber bahan hukum primer tersebut yang terkait dengan pokok masalah yang akan diteliti antara lain:
b) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
c) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Undang-Undang Jabatan
Notaris (UUJN).
d) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. e) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan.
f) Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1545/Pid.B/2012/PN-Medan.
Jo Putusan Pengadilan Tinggi Nomor 39 /Pid/2013/PT-Medan.
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang memberikan penjelasan seperti buku-buku teks
yang ditulis oleh para ahli hukum yang berpengaruh pada jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, yurisprudensi dan hasil-hasil simposium mutakhir atau
majalah hukum yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini. c. Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti
kamus umum, kamus hukum, kamus Bahasa Indonesia dan Inggris.50
49
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam Penelitian ini untuk pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui Studi Kepustakaan (Library Research), berupa dokumen-dokumen maupun Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan surat akta yang mengandung keterangan
palsu.51
Data sekunder yang didapat dari kepustakaan dipilih serta dihimpun secara
sistematis, sehingga dapat dijadikan acuan dalam melakukan analisis. Dari hasil data penelitian dilakukan pembahasan secara deskriptif analistis.
52
4. Analisis Data
Penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif yakni dengan cara pemilihan teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin, dan pasal-pasal di dalam
undang-undang yang relevan dengan permasalahan. Data tersebut diklasifikasikan lalu disistemasikan sesuai sesuai dengan permasalahan yang dibahas untuk mempermudah proses analisa dan untuk menjelaskan hubungan antara berbagai jenis
data.
Analisa data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja
dengan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan
50
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op. Cit, hal. 195-196. 51
Bambang Waluyo,ed II, Penelitian Hukum Dalam Praktek (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hal. 2.
52
apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.53
1. Memilih pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang kedudukan hukum pidana dalam menyuruh memasukkan
keterangan palsu dalam akte autentik.
Kegiatan yang dilakukan dalam analisis bahan hukum adalah sebagai berikut :
2. Membuat sistematik dari pasal-pasal tersebut sehingga menghasilkan
klasifikasi tertentu yang selaras dengan pasal menyuruh memasukkan keterangan palsu dalam akte autentik.
3. Bahan yang berupa peraturan perundang-undangan ini dianalisis secara
kwalitatif, dengan menggunakan logika berpikir dalam menarik kesimpulan secara metode deduktif, yaitu kerangka berfikir diarahkan
kepada normatif yang terkandung dalam hukum positif, sehingga dari analisis ini dapat menjawab permasalahan dari penulisan ini.
53