1 KEPERCAYAAN DAN KEKUASAAN DALAM OTORITAS PEMERINTAH SEBAGAI
DETERMINAN TINGKAT KEPATUHAN PAJAK DAN PENGGELAPAN PAJAK : PENGUJIAN ASSUMSI KERANGKA SLIPPERY SLOPE
YESI MUTIA BASRI Universitas Riau
ABSTRACT
Tax compliance depends on the factors perceived trust in the authorities and perceived power of the authorities. Trust on the one hand fosters voluntary compliance whereas power on the other hand leads to enforced compliance. This reaserch based on slippery slope framework that of tax compliance postulates that citizens‟ compliance depends on power of the authorities to enforce compliance and/or trust in the authorities and voluntary cooperation. While trust is widely recognized as a strong determinant of cooperation, empirical evidence is less clear on power: severe fines may lead towards compliance or even have the opposite effect. This study tested these main assumptions of the slippery slope framework in Riau. The respondents of the study are individual tax payer. 90 individual tax payers participated in this study. The data was analysed using Structural Equation Modeling (SEM) with Partial Least Square (PLS). The finding of this study show that power positively related to trust, trust is positively related to voluntary tax compliance, but trust not relation with tax evasion. Power was found to be positively related to enforce compliance, and negatively related to tax evasion. Voluntary compliance negatively related to tax evasion and enforce compliance not significant related to tax evasion
Key Word : Slippery slope framework, trust in authorities , power, voluntary compliance, enforce compliance, tax evasion
I. PENDAHULUAN
Pajak merupakan sumber pendapatan bagi pemerintah yang berguna untuk pembiayaan
Negara. Penerimaan pajak merupakan kontributor terbesar pendapatan Negara rata-rata
meningkat signifikan hingga 70 persen pada tahun 2011 dan 80 persen pada tahun 2012. Akan
2 2011 penerimaan pajak sebesar 99,3% dan pada tahun 2012 penerimaan pajak mengalami
penurunan yaitu hanya 91,3% dari target yang ditetapkan APBN (www.pajak.go.id).
Target pencapaian penerimaan pajak telah memberi peluang bagi oknum petugas pajak,
wajib pajak dan konsultan pajak untuk bekerjasama dan secara terencana melakukan tindak
kejahatan di bidang perpajakan (tax crime) seperti penggelapan, penghindaran, penyimpangan,
pemerasan dan pemalsuan dokumen yang tujuan pokoknya untuk mendapatkan keuntungan
illegal yang sebesar-besarnya atau memperkaya diri sendiri, sehingga pada gilirannya
menyebabkan distorsi penerimaan atau kekayaan Negara (Duaadji, 2010). Kejahatan di bidang
perpajakan harus ditangani secara serius dan dengan cara-cara yang efektif mengingat hasil
kejahatan dari pajak ini sangat material, yang apabila dibiarkan begitu saja akan mengganggu
stabilitas dan kesinambungan penyelenggaraan negara.
Hingga saat ini permasalahan pajak di Indonesia tidak henti-hentinya muncul. Banyak
contoh kasus penggelapan pajak seperti kasus PT Asian Agri Group yang diperkirakan mencapai
kerugian triliun, kasus penggelapan pajak pada tahun 2011 yang dilakukan oleh Gayus
Tambunan dan Dhana Widyatmika pada tahun 2012, serta banyak kasus penggelapan pajak lain
yang menimbulkan kerugian Negara.
Selain itu Dirjen Pajak mencatat tingkat kepatuhan para Wajib Pajak masih sangat
rendah, dimana tercatat hanya 19 juta orang dari 60 juta pemilik NPWP yang melakukan
kewajibannya, sedangkan potensi pembayar pajak sendiri mencapai 110 juta orang
(http://www.infobanknews.com).Tingkat kepatuhan pajak sendiri pada tahun 2011 yaitu 32,72
persen dari 1,5 juta Wajib Pajak Badan yang terdaftar dan kepatuhan pajak Wajib Pajak Orang
Pribadi yaitu sebesar 54,72 persen dari 16,10 juta wajib pajak yang terdaftar. Pada tahun 2012
3 Badan yang terdaftar dan sebesar 44 persen dari 8,8 juta Wajib Pajak Orang Pribadi yang
terdaftar (www.stpi-pajak.com).
Kasus kejahatan pajak yang terjadi di berbagai Negara telah menarik perhatian para
peneliti. Berbagai teori telah dikemukakan untuk merespon kejahatan pajak. Pendekatan
ekonomi klasik menyatakan bahwa pemeriksaan pajak, sanksi dan denda yang berat muncul
sebagai strategi yang paling ampuh untuk memerangi kejahatan pajak (Allingham & Sandmo,
1972; Srinivasan, 1973). Wajib Pajak berperilaku sebagai agen rasional yaitu keputusan untuk
melakukan penggelapan pajak tergantung pada besarnya risiko yang dihadapi. Artinya jika risiko
untuk tertangkap rendah mereka akan cenderung untuk melakukan penggelapan pajak.
Kirchler (2007) mengusulkan sebuah konsep teoritis sebagai penentu kepatuhan pajak
yang disebut kerangka Slippery Slope yang mengintegrasikan faktor ekonomis dan psikologis.
Kepatuhan pajak tergantung pada iklim integrasi faktor ekonomis dan psikologis antara
pemerintah dan pembayar pajak . Masyarakat perlu penegakan hukum agar mereka mematuhi
perpajakan atau mereka dapat bekerja sama secara sukarela. Kepatuhan pajak diasumsikan
tergantung pada kekuasaan otoritas dan kepercayaan warga negara dalam wewenang pemerintah.
Probabilitas audit dan denda merupakan hal yang penting untuk mengatur perilaku masyarakat,
begitu juga keadilan distribusi dari beban pajak yang dibayar, kesetaraan prosedur, dan norma
sosial.
Namun beberapa penelitian menunjukkan efek pencegahan terhadap kepatuhan pajak
hanya memiliki dampak yang kecil, bahkan kadang-kadang memiliki efek yang negatif (Frey,
1999; Kirchler, 2007). Hasil penelitian Wahl et.al (2010) dengan menggunakan teknik
experimen menunjukkan bahwa pengaruh kekuasaan dan penegakan terhadap kepatuhan dan
4 menunjukkan bahwa tuntutan yang berat dan pemaksaan menyebabkan munculnya perilaku
strategi untuk membayar pajak . Wajib Pajak akan membayar pajak jika mereka mencurigai
akan terdeteksi, namun segera menghindari pajak setelah mereka melihat kemungkinan tidak
tertangkap oleh aparat hukum.
Andreoni et.al (1998) menyatakan bahwa jika faktor ekonomi seperti probabilitas deteksi
dan keparahan hukuman merupakan satu-satunya faktor penentu kepatuhan pajak, tingkat
penggelapan pajak akan menjadi lebih tinggi dibadingkan yang benar-benar diamati (Alm,
1991). Oleh sebab itu beberapa tahun terakhir kepercayan dalam otoritas pemerintah, serta moral
dan motivasi telah diteliti berkaitan dengan pengaruhnya terhadap penggelapan pajak
(Braithwaite, 2003; Coleman, 1996; Lago-Peñas & Lago-Peñas, 2010; Lavoie, 2009; Torgler,
2005)
Van Dijke dan Verbon (2010) meneliti efek moderasi kepercayaan pada hubungan
keadilan dan kepatuhan sukarela dan menemukan bahwa kepercayaan penting ketika otoritas
fokus pada keadilan untuk meningkatkan kepatuhan sukarela. Percaya pada otoritas ini bisa
sangat relevan dan perlu dipertimbangkan dan mungkin menjadi alasan utama mengapa orang
peduli tentang keadilan prosedural (Colquitt et al, 2005) dan memiliki tempat sentral dalam teori
terbaru tentang kepatuhan sukarela (Kirchler et al., 2008)
Kogler et.al (2013) melakukan penelitian di Austria, Hungary, Romania dan Russia.
Mereka mengajukan dua dimensi dari kerangka slippery slope dalam penentu kepatuhan pajak
yaitu kepercayaan terhadap otoritas pemerintah dan kekuasaan dalam otoritas. Dalam konteks
ini, kepercayaan didefinisikan sebagai pendapat umum individu dan kelompok sosial bahwa
otoritas pajak bekerja untuk kebaikan bersama, sedangkan kekuasaan otoritas mengacu pada
5 al., 2008). Menurut kerangka kerja, kepatuhan pajak warga dapat dibina baik melalui
meningkatkan kepercayaan dalam otoritas atau dengan meningkatkan persepsi kekuasaan
otoritas. Namun, kualitas kepatuhan berbeda, tergantung pada dasar pembayar pajak yang jujur.
Meningkatkan kejujuran pajak melalui meningkatkan kepercayaan pemerintah mengarah ke
kepatuhan sukarela, sekaligus meningkatkan kekuasaan otoritas dan menimbulkan kepatuhan
yang ditegakkan . Hasil penelitian mereka mendukung asumsi slippery slope sekaligus
mengkonfirmasi peran kepercayaan dan kekuasaan sebagai penentu kepatuhan pajak.
Kastlunger et. al (2013) juga melakukan pengujian slipery slope di Italy dan menemukan
bukti bahwa kepercayaan berhubungan dengan kepatuhan pajak sukarela. Kepercayaan
berhubungan negatif dengan kekuasaan koersif dan berhubungan positif dengan kekuasaan yang
sah. Kekuasaan koersif dan kekuasaan yang sah berkorelasi dengan kepatuhan ditegakkan.
Namun, pengaruh kepatuhan yang ditegakkan meningkatkan penghindaran pajak. Hasil
penelitian membuktikan sifat kekuasaan dan kepercayaan berhubungan dengan kepatuhan pajak,
dan pentingnya kekuasaan dan kepercayaan dalam strategi regulasi politik.
Berdasarkan hal diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan
kepercayaan dan kekuasaan dalam otoritas pemerintah dengan tingkat kepatuhan pajak dan
penggelapan pajak yang dilakukan di Provinsi Riau dengan menggunakan Wajib Pajak Orang
Pribadi sebagai objek penelitian. Peneliti merasa perlu untuk mengkaji penyebab kepatuhan
pajak dan terjadinya penggelapan pajak yang sering terjadi di Indonesia khususnya di Provinsi
Riau.
Penelitian ini didasarkan pada kerangka teori slippery slope yang diajukan oleh Kirchler
(2007). Kerangka Slippery Slope terdiri dari dimensi (1) kepercayaan otoritas pajak, (2)
6 oleh kepercayaan dan kekuasaan otoritas. Jika kepercayaan dan kekuasaan berada pada tingkat
minimum, pembayaran pajak diasumsikan rendah, wajib pajak bertindak egoistically melalui
memaksimalkan keuntungan mereka dengan menghindari pajak. Jika kepercayaan otoritas
meningkat maka pembayar pajak juga diasumsikan meningkat. Selain itu, jika kekuasaan
pemerintah meningkat, pembayaran pajak yang diperkirakan akan meningkat juga.
Penelitian ini diharapakan mampu untuk membuktikan secara empiris mengenai
pengaruh keperacayaan pada pemerintah dan kekuasaan pemerintah terhadap tingkat kepatuhan
pajak dan terjadinya penggelapan pajak. Penelitian ini memberikan kontribusi kepada
pemerintah bahwa dalam penegakan hukum haruslah jelas dan dilaksanakan tanpa
membeda-bedakan, dengan demikian akan meningkatkan kepercayaan masyarakat pada pemerintah
sehingga diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pajak dan mengurangi terjadinya
penggelapan pajak.
II. KERANGKA TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1. Hubungan Kekuasaan dalam Otoritas dengan Kepercayaan
Kekuasaan dalam otoritas dimaksudkan disini adalah otoritas pajak untuk mendeteksi
dan menghukum kejahatan pajak (Kirchler et.al 2008). Jika kewenangan pemerintah memiliki
kekuasaan yang rendah untuk mengendalikan penggelapan pajak dalam suatu masyarakat
mungkin akan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Pemerintah
dipercaya mampu untuk melindungi pembayar pajak yang jujur dari eksploitasi bebas.
Kekuasaan untuk memerangi penggelapan pajak dapat meningkatkan kepercayaan melalui
perilaku kooperatif masyarakat (Mulder et.al, 2006). Di satu sisi, kekuasaan dapat mendorong
7 interaksi antara pembayar pajak dan otoritas pajak. Perubahan dalam satu dimensi mungkin
memiliki konsekuensi yang berbeda pada dimensi lain. Misalnya, adanya peningkatan kekuasaan
pemerintah ditafsirkan oleh pembayara pajak yang jujur sebagai pertanda ketidakpercayaan
terhadap otoritas pemerintah dan dengan demikian dapat merusak motivasi mereka untuk
memenuhi kewajiban pajaknya (Castelfranchi & Falcone, 2010; Frey, 1997; Feld & Frey, 2007).
Di sisi lain, pembayar pajak yang jujur mungkin menafsirkan dorongan dalam kekuasaan sebagai
upaya pemerintah untuk mengurangi penghindaran pajak, sehingga dapat meningkatkan
kepercayaan pembayar pajak dalam otoritas dan meningkatkan tingkat kepatuhan.
Turner (2005) membedakan antara kekuasaan koersif dan sah. Ketika warga menerima
otoritas, mereka cenderung untuk secara sukarela bekerja sama. Kekuasaan dianggap sebagai
strategi yang sah dan kekuasaan ini digunakan ketika diperlukan. Ketika kepercayaan rendah dan
kekuasaan pemerintah dianggap sebagai penindas, kekuasaan cenderung dianggap sebagai
pemaksaan. Kekuasaan yang sah dapat memicu kepercayaan, sedangkan kekuasaan koersif
mengurangi kepercayaan dalam otoritas.
French dan Raven (1959) mendefinisikan kekuasaan koersif dari perspektif orang yang
dipengaruhi sebagai harapan bahwa bagian mempengaruhi akan menghukum ketidakpatuhan.
kekuasaan pemaksa ditandai dengan kekerasan dan pelaku yang tidak patuh harus mengambil
risiko moneter, fisik, sosial, maupun biaya psikologis. Kekuasaan yang sah tidak didasarkan
pada tekanan dan pemaksaan tetapi pada legitimasi, pengetahuan, kemampuan dan identifikasi
dengan kekuasaan. Legitimasi, pengetahuan dan kemampuan otoritas pajak menyebabkan
keberhasilan dalam melakukan pekerjaan mereka, dan mendorong kepercayaan (Gangl et al.,
2012).
8 2.2. Hubungan Kepercayaan dalam Otoritas dengan Kepatuhan Sukarela dan Penggelapan Pajak
Kepercayaan terhadap otoritas pemerintah menurut Jackson & Milliron (1986) sebagai
determinan lain dari penggelapan pajak. Levi (1998) menyatakan bahwa jika orang percaya
bahwa pemerintah akan bertindak dalam kepentingan mereka, bahwa prosedur yang adil, dan
mereka percaya pada pemerintah menyebabkan mereka akan lebih cenderung bekerja sama
dalam membayar pajak. Feld & Frey (2002) berpendapat bahwa hubungan antara individu dan
pemerintah dianggap sebagai kontrak psikologis yang melibatkan ikatan emosional yang kuat
dan loyalitas. Seperti kontrak psikologis dapat dipertahankan dengan tindakan positif
berdasarkan kepercayaan. Lebih percaya pada pemerintah meningkatkan insentif bagi individu
untuk berkomitmen untuk taat dan mematuhi undang-undang pajak (Feld & Frey,
2002).
Survei awal oleh Vogel (1974) di Swedia dan Song & Yarbrough (1978) di AS
menunjukkan bahwa individu yang memiliki kepercayaan yang lebih besar dalam pemerintahan,
mereka cenderung untuk menghindari penggelapan pendapatan pajak. Penelitian yang dilakukan
oleh Wearing & Headey (1997) di Australia, dan Slemrod (2003) di Jerman dan AS juga
mendukung hubungan negatif antara kepercayaan pada pemerintah dan penggelapan pajak. Hasil
penelitian Kastlunger (2013) dan Korgel (2013) menunjukkan bahwa kepercayaan berhubungan
dengan kepatuhan pajak dan penggelapan pajak
H2 : Kepercayaan pada otoritas pemerintah berhubungan positif dengan kepatuhan sukarela
9 2.3. Hubungan Kekuasaan dalam Otoritas dengan Tingkat Kepatuhan Ditegakkan dan Penggelapan Pajak
Penegakan hukum merupakan penentu yang signifikan terjadinya penggelapan pajak
dalam studi sebelumnya. Penegakan legal berdasarkan aturan hukum memberikan landasan yang
penting untuk pencegahan menyimpang bentuk perilaku, seperti korupsi dan penggelapan pajak
(Schneider & Enste, 2000, 2002; Brunetti & Weder, 2003). Aturan hukum menganggap bahwa
otoritas pemerintah hanya dapat dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan tertulis yang
disahkan melalui prosedur yang telah ditetapkan (Joireman, 2001). Lebih dari itu, aturan hukum
dimaksudkan sebagai perlindungan terhadap keputusan sewenang-wenang oleh pemerintah
dalam kasus individual (Eigen, 2002; Brunetti & Weder, 2003). Hal ini memastikan bahwa
lembaga utama dari sistem hukum (misalnya, pengadilan, jaksa, dan polisi) menegakkan hukum
secara efektif dan cukup.
Hasil penelitian oleh Schneider & Enste (2000, 2002) menunjukkan bahwa penegakan
hukum yang lemah, ke sewenang-wenangan penegakan hukum dan lemahnya peraturan
perpajakan mendorong terjadinya korupsi dan penggelapan pajak. Secara khusus, hasil temuan
mereka menekankan pentingnya aturan hukum dalam mengurangi tingkat korupsi dan pajak
penggelapan di seluruh negara.
Scholz (2007) dan Cummings et al, (2009) menemukan bahwa dengan adanya risiko
sanksi hukum berupa penahanan dan sanksi denda akan menyebabkan berkurangnya
penggelapan pajak dan meningkatkan tingkat kepatuhan pajak melalui efek jera nya. Hasil
penelitian Kastlunger (2013) dan Korgel (2013) juga menunjukkan bahwa kekuasaan yang
koesif berhubungan positif dengan kepatuhan pajak dan negatif dengan penggelapan pajak.
10 H4 : Kekuasaan dalam otoritas berhubungan positif dengan kepatuhan yang ditegakkan
H5 : Kekuasaan dalam otoritas berhubungan negatif dengan penggelapan pajak
2.4. Kepatuhan Pajak dan Penggelapan Pajak
Kepatuhan perpajakan pada prinsipnya adalah tindakan wajib pajak dalam memenuhi
kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan dan peraturan
pelaksanaan perpajakan yang berlaku dalam suatu negara (Siahaan,2005). Suatu iklim kepatuhan
dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan, tercermin dalam situasi di mana 1)Wajib pajak
paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.2) Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas.3) Menghitung jumlah pajak
yang terutang dengan benar 4) Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya. Kepatuhan
berebeda dengan penggelapan pajak. Penggelapan pajak merupakan Penggelapan pajak (tax
evasion) merupakan usaha yang digunakan oleh wajib pajak untuk mengelak dari kewajiban
yang sesungguhnya, dan merupakan perbuatan yang melanggar undang-undang pajak. Misalnya
wajib pajak tidak melaporkan pendapatan yang sebenarnya (Siahaan, 2010).
Dalam penelitian ini juga menguji hubungan tingkat kepatuhan pajak dengan
penggelapan pajak. Wahl et al., (2010) menunjukkan bahwa kepatuhan ditegakkan
menyebabkan peningkatan penggelapan pajak. Semakin banyak pembayar pajak merasa
dipaksakan untuk membayar pajak mereka, semakin mereka mencoba untuk menghindari
mereka segera setelah mereka melihat suatu kebetulan. Sebaliknya kepatuhan sukarela
berhubungan negatif dengan penggelapan pajak. Jika pembayar pajak dengan sukarela
melakukan pembayaran pajak maka mereka tidak akan mencari cara untuk melakukan
11 kepatuhan yang ditegakkan menyebabkan terjadinya penggelapan pajak. Berdasarkan uraian
diatas maka dihipotesiskan :
H 6 : Kepatuhan sukarela berhubungan negatif dengan penggelapan pajak
H 7 : Kepatuhan ditegakkan berhubungan positif dengan penggelapan pajak
2.8. Model Penelitian
Model penelitian dapat dilihat pada gambar 1 berikut :
Gambar 1
III. METODE PENELITIAN 3.1. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki usaha
bebas yang terdaftar di KPP Pratama Tampan yang berada di Pekanbaru. Sampel dipilih dengan
teknik convenience nonprobability sampling. Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian
adalah sebanyak 90 sampel.
3.2. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini dilakukan dengan metode survei dengan cara menyebarkan kuesioner
kepada responden dalam penelitian. Kuisioner di kirimkan kepada Wajib Pajak yang menjadi
responden dalam penelitian dan pengumpulan kuisioner dilakukan sesuai dengan kesepakatan
dengan responden.
3.3. Definisi Operasional Variabel
12 Kirchler, Hoelzl, dan Wahl (2008) mendefinisikan kepercayaan (trust) sebagai pendapat umum
individu dan kelompok sosial bahwa otoritas pajak yang baik hati dan bekerja menguntungkan
untuk kebaikan bersama . Mereka mengacu pada relasional aspek kepercayaan (Eberl 2003) dan
konsep kepercayaan sosial, Untuk mengukur kepercayaan pada otoritas pemerintah digunakan 3
pertanyaan yang mengukur persepsi terhadap tindakan adil pemerintah, persepsi terhadap
kekuasaan yang lebih menonjol. Pertanyaan diukur dengkan sklala likert 5 poin dengan ranking
1= sangat tidak setuju sampai dengan 5= sangat setuju
Kekuasaan dalam Otoritas (Power in Authority)
Kekuasaan otoritas didefinisikan sebagai 'persepsi pembayar pajak terhadap otoritas pajak untuk
mendeteksi dan menghukum kejahatan pajak (Kirchler, Hoelzl, dan Wahl 2008). Untuk
mengukur kekuasaan dalam otoritas menggunakan 3 pertanyaan yang mengukur probabilitas
terdeteksinya penggelapan pajak dan keefektifan hukuman yang diberikan.. Pertanyaan diukur
dengkan sklala likert 5 poin dengan ranking 1= sangat tidak setuju sampai dengan 5= sangat
setuju
Kepatuhan Sukarela (Voluntary Compliance)
Kepatuhan sekarela berarti bahwa wajib pajak mempunyai kesediaan untuk memenuhi kewajiban
pajaknya sesuai aturan yang berlaku tanpa perlu diadakan pemeriksaan, investigasi seksama
(obtrusive investigasi) peringatan, ataupun ancaman dan penerapan sanksi baik hukum maupun
administrasi (James yang dikutip oleh Gunadi (2005) . Untuk mengukur kepatuhan sukarela
digunakan 5 item yang menanyakan sikap wajib pajak terhadap pembayaran pajak yaitu pajak
memang seharusnya dilakukan, membayar pajak merupakan kontribusi bagi Negara dan orang
13 Setiap pertanyaan diukur dengkan sklala likert 5 poin dengan ranking 1= sangat tidak setuju
sampai dengan 5= sangat setuju. Kuisioner dikembangkan dari penelitian Korgler et.al (2013)
Kepatuhahan yang ditegakkan (Enforce Compliance)
Kepatuhan yang ditegakkan berarti bahwa wajib pajak mempunyai kesediaan untuk memenuhi
kewajiban pajaknya disebabkan karena adanya pemeriksaan, peringatan, ataupun ancaman dan
penerapan sanksi baik hukum maupun administrasi. Untuk mengukur kepatuhan keterpaksaan
digunakan 5 item pertanyaan yang mengukur sikap pemabayar pajak yaitu kepatuhan dikarenakan
seringnya pemeriksaan dan hukuman yang diberlakukan oleh otoritas pajak. Setiap pertanyaan
diukur dengkan sklala likert 5 poin dengan ranking 1= sangat tidak setuju sampai dengan 5=
sangat setuju. Kuisioner dikembangkan dari penelitian Korgler et.al (2013)
Penggelapan Pajak (Tax Evasion)
Penggelapan pajak merupakan perilaku wajib pajak untuk tidak melaporkan pendapatan kena
pajaknya untuk mengurangi jumlah pajaknya. Penggelapan pajak dalam penelitian ini merupakan
penggelapan pajak dalam strategi untuk melakukan pembayaran. Penggelapan pajak diukur
dengan menggunakan 5 item pertanyaan yang menanyakan sikap wajib pajak dalam melakukan
transaksi pembayaran dengan indikator tidak melaporkan pendapatan, tidak melaporkan
keuntungan, melaporkan pengeluaran pribadi sebagi pengeluaran perusahaan. Setiap pertanyaan
diukur dengkan sklala likert 5 poin dengan ranking 1= sangat tidak setuju sampai dengan 5=
sangat setuju. Kuisioner dikembangkan dari penelitian Korgler et.al (2013)
3.4 Metode Analisis
Dalam penelitian ini teknis analisis yang digunakan adalah Structural Equation Modeling
14 analisis persamaan struktural (SEM) berbasis varian yang secara simultan dapat melakukan
pengujian model pengukuran sekaligus pengujian model struktural (Hartono, 2011).
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Responden
Dari 100 kuisioner yang disebarkan, jumlah kuisioner yang terkumpul dan diolah sebanyak 90
kuisioner. Gambaran umum responden dapat dilihat pada tabel 1 berikut :
Tabel 1 4.2 Pengujian outer model
Convergent validity
Convergent validity yang dilakukan dengan menggunakan evaluasi measurement (outer)
model yaitu melihat besarnya loading factor untuk masing-masing konstruk. Konstruk
dikatakan valid jika memiliki nilai cross loading ≥0,5. Tetapi jika nilai cross loading < 0,5 maka
harus dieksekusi. Berikut hasil cross lading setelah dilakukan eksekusi. Berdasarkan dari tabel 2
Tabel 2 Validitas Diskriminan (Discriminant Validity)
Model mempunyai discriminant validity yang cukup jika akar avearge variance extrated
(AVE) untuk setiap konstruk lebih besar daripada korelasi antara konstruk dan konstruk lainnya.
Tabel 3 menunjukkan nilai AVE dan akar AVE.
Tabel 3
Hasil analisis menunjukkan nilai AVE berada diatas 0.5 dan akar AVE memiliki nilai yang
tinggi yaitu berada diatas 0.8. Perbandingan antara akar avearge variance extrated (AVE)
15 Tabel 4
Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai akar AVE memiliki nilai yang lebih tinggi
dibandingakan nilai korelasi masing-masing variabel laten. Dapat disimpulkan bahwa model
memiliki validitas diskriminan yang tinggi.
Composite reliability
Penelitian ini menggunakan composite reliability sebagai metode uji realibilitas karena
lebih baik dalam mengestimasi konsistensi internal suatu konstruk (Hartono, 2011). Hasil
pengujian menunjukkan variabel memiliki nilai composite realibility yang tinggi yaitu berada
diatas 0.9. Hasil pengujian composite reliability dapat dilihat pada tabel 3 diatas.
Pengujian Model Struktural (Inner Model)
Pengujian inner model atau model struktural dilakukan untuk melihat hubungan antara
variabel, nilai signifikansi dan R-square dari model penelitian. Model struktural dievaluasi
dengan menggunakan R-square untuk variabel dependen, Stone-Geisser Q-square test untuk
predictive relevance dan uji t serta signifikansi dari koefisien parameter jalur struktural. R
square dapat dilihat pada Tabel 5
Tabel 5
Hasil pengujian menunjukkan nilai R-square konstruk kepercayaan (Trust) sebesar 0,68,
Kepatuhan sukarela (VOLCOMP) sebesar 0.375, Kepatuhan yang ditegakkan (ENVCOMP)
sebesar 0.356 dan konstruk penggelapan pajak (TAXEVAS) sebesar 0.511. Semakin tinggi nilai
R-square, maka semakin besar kemampuan variabel independen tersebut dapat menjelaskan
16 Structural Equation Model (SEM)
Metode analisis utama dalam penelitian ini dilakukan dengan Structural Equation Model
(SEM). Pengujian dilakukan dengan bantuan program SmartPLS. Hasil pengujian diperoleh
dilihat pada gambar 2.
Gambar 2
Pengujian Hipotesis dan Pembahasan
Pengujian hipotesis yang diajukan, dapat dilihat dari besarnya nilai t-statistik. Signifikasi
parameter yang diestimasi memberikan informasi yang sangat berguna mengenai hubungan
antara variabel-variabel penelitian. Batas untuk menolak dan menerima hipotesis yang diajukan
adalah ±1,645 ( 1-tailed) dan ±1,960 signifikan pada p<0.05 (2-tailed). Hasil estimasi
t-statistik dapat dilihat pada tabel 6 .
Tabel 6
Hasil Pengujian Hipotesis 1
Hasil pengujian hipotesis 1 yaitu kekuasaan dalam otoritas berhubungan dengan
kepercayaan pada pemerintah dapat dilihat pada tabel 6 dengan nilai t statistik 3.399 berada
diatas nilai kritis ±1,960 ( 2-tailed) dan original sample estimate positif 0.4 yang berarti
hipotesis dapat diterima. Hasil penelitian membuktikan bahwa meningkatnya kekuasaan
pemerintah dalam otoritas meningkatkan kepercayaan terhadap otoritas. Hasil penelitian ini
agak ambigu dengan hasil penelitian Kastlunger (2013). Mulder et.al (2006). Walaupun
kerangka slippery slope Kirchler, Hoelzl, and Wahl (2008) menyatakan bahwa kekuasan dapat
17 pada hukuman akan menurunkan kepercayaan sebaliknya kekuasaan legal yang melindungi
kepentingan pembayar pajak dapat meningkatkan kepercayaan ( Frey, 1997; Feld & Frey, 2007).
Dalam penelitian ini kekuasaan yang menekankan pada hukuman justru berhubungan positif
dengan kepercayaan. Di Indonesia kekuasaan pemerintah yang berhasil memberantas
penggelapan pajak dengan cara memberikan hukuman justru meningkatkan kepercayaan
masyarakat.
Hasil pengujian hipotesis 2
Hasil pengujian hipotesis 2 yaitu kepercayaan pada otoritas pemerintah berhubungan
positif dengan kepatuhan sukarela dapat dilihat pada tabel 6 dengan nilai t statistik 8.358 berada
diatas nilai kritis ±1,645 ( 1-tailed) dan original sample estimate positif 0.613 yang berari
hipotesis dapat diterima. Hasil penelitian membuktikan bahwa meningkatnya kepercayaan
terhadap otoritas pemerintah akan meningkatnya kepatuhan sukarela dalam pembayaran pajak.
Levi (1998) menyatakan bahwa jika orang percaya bahwa pemerintah akan bertindak dalam
kepentingan mereka, bahwa prosedur yang adil, dan mereka percaya pada pemerintah
menyebabkan mereka akan lebih cenderung bekerja sama dalam membayar pajak. Hasil
penelitian ini mendukung kerangka slippery slope dan konsisten dengan penelitian Kastlunger
(2013) dan Korgel (2013) menunjukkan bahwa adanya kepercayaan meningkatkan kepatuhan
pajak sukarela dan menurunkan penggelapan pajak
Hasil Pengujian Hipotesis 3
Hasil pengujian hipotesis 3 yaitu kepercayaan pada otoritas berhubungan negatif dengan
penggelapan pajakdapat dilihat pada tabel 6 dengan nilai t statistik 0.781 berada dibawah nilai
kritis ±1,645 ( 1-tailed) dan original sample estimate negatif -0.119 yang berari hipotesis
18 terhadap otoritas pemerintah akan menurunkan penggelapan pajak seperti asumsi kerangka
slippery slope (Kirchler, Hoelzl, and Wahl,2008). Berbeda dengan penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Kastlunger di Italy dan Korgler di Austria, Hungary, Romania and Russia, di
Indonesia, khususnya di Pekanbaru wajib Pajak melakukan penggelapan pajak tidak ada
hubungannya dengan kepercayaan kepada pemerintah. Bukti-bukti menunjukkan penggelapan
pajak dilakukan lebih banyak disebabkan masalah moral. Mustikasari (2007) dan Basri et.al
(2012) membuktikan bahwa norma moral sangat mempengaruhi kepatuhan pajak. Penelitian
Suminarsasi (2012) juga membuktikan keadilan yang merupakan bagian dari kepercayaan tidak
berpengaruh terhadap penggelapan pajak.
Hasil Pengujian hipotesis 4
Hasil pengujian hipotesis 4 yaitu kekuasaan dalam otoritas berhubungan dengan
kepatuhan ditegakkan dapat dilihat pada tabel 6 dengan nilai t statistik 5.792 berada diatas nilai
kritis ±1,645 ( 1-tailed) dengan original sample estimate positif 0.597 yang berari hipotesis
dapat diterima. Hasil penelitian membuktikan asumsi kerangka slippery slope bahwa
meningkatnya kekuasaan dalam otoritas pemerintah akan meningkatkan kepatuhan yang
ditegakkan . Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian Kastlunger (2013) dan Korgel
(2013) yang menunjukkan bahwa kekuasaan yang koesif berhubungan positif dengan kepatuhan
pajak. Jika hukum memberlakukan sanksi yang berat maka yang akan terjadi adalah kepatuhan
yang ditegakkan atau kepatuhan dikarenakan hukuman.
Hasil pengujian hipotesis 5
Hasil pengujian hipotesis 5 yaitu kekuasaan dalam otoritas berhubungan negatif dengan
19 kritis ±1,645 ( 1-tailed) dan original sample estimate negative -0.338 yang berarti hipotesis
diterima.
Hasil penelitian mendukung pendapat yang menyatakan bahwa penegakan hukum yang
lemah, kesewenang-wenangan penegakan hukum dan lemahnya peraturan perpajakan
mendorong terjadinya korupsi dan penggelapan pajak. Akan tetapi penelitian ini tidak sejalan
dengan penelitian Kastlunger (2013) dan Korgel (2013) yang menyatakan bahwa kekuasaan
yang koesif akan menyebabkan wajib pajak mencari cara untuk melakukan penggelapan pajak,
yang berarti kekuasaan yang menunjukkan hukuman malah akan meningkatkan penggelapan
pajak. Kerangka slippery slope sendiri menyatakan bahwa kekuasaan dapat mengurangi
penggelapan pajak atau malah meningkatkan penggelapan pajak. Dalam penelitian ini kekuasaan
yang ditegakkan dengan hukuman memiliki pengaruh yang negatif dengan penggelapan pajak.
Hasil pengujian hipotesis 6
Hasil pengujian hipotesis 6 yaitu kepatuhan sukarela berhubungan negatif dengan
penggelapan pajak dapat dilihat pada tabel 6 dengan nilai t statistik 4.138 berada diatas nilai
kritis ±1,645 ( 1-tailed) dan original sample estimate negatif -0.497 yang berarti hipotesis
diterima. Semakin tinggi kepatuhan sukarela maka semakin rendah penggelapan pajak. Hasil
penelitian ini mendukung penelitian Wahl et.al (2010) yang menyatakan bahwa kepatuhan
sukarela mengurangi terjadinya penggelapan pajak. Penelitian ini juga mendukung asumsi
kerangka slippery slope yang diajukan kirchler (2008) yang menyatakan bahwa kepatuhan
sukarela akan mengurangi terjadinya penggelapan pajak.
Hasil pengujian hipotesis 7
Sedangkan Hipotesis 7 yaitu kepatuhan yang ditegakkan berhubungan positif dengan
20 kritis ±1,645 ( 1-tailed) dan original sample estimate positif 0.099 . Hasil penelitian ini tidak
dapat membuktikan asumsi kerangka slippery slope dan tidak konsisten dengan penelitian
Wahl et.al (2010) dan Kastlunger et al., (2013) bahwa kepatuhan yang ditegakkan berhubungan
positif dengan penggelapan pajak. Penelitian ini tidak berhasil mendukung teori yang diajukan
oleh Kirchler bahwa kepatuhan yang ditegakkan akan mengurangi penggelapan pajak. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa yang menjadi penentu terjadinya penggelapan pajak selain
disebabkan oleh moral, kekuasaan pemerintah dalam bentuk pemeriksaan dan hukuman lebih
efektif dalam mengurangi tingkat penggelapan pajak.
V. SIMPULAN, KETERBATASAN DAN IMPLIKASI 5.1. Simpulan
Penelitian ini bertujuan untuk menguji asumsi kerangka slippery slope yang menyatakan
bahwa kepercayaan dan kekuasaan dalam otoritas pemerintah merupakan penentu tingkat
kepatuhan pajak dan penggelapan pajak (Kirchler, 2007;. Kirchler et al, 2008). Secara umum
hasil penelitian ini mendukung kerangka slippery slope bahwa kekuasaan dalam otoritas
pemerintah berhubungan positif dengan kepercayaan. Semakin tinggi kekuasaan pemerintah
dalam memberantas kejahatan pajak dan melindungi pembayar pajak maka akan meningkatkan
kepercayaan pembayar pajak.
Hasil penelitian juga membuktikan bahwa meningkatnya kepercayaan terhadap otoritas
pemerintah akan meningkatnya kepatuhan sukarela dan kepatuhan sukarela berhubungan negatif
dengan penggelapan pajak. Artinya jika wajib pajak dengan sukarela membayar pajak maka akan
21 Selain itu hasil penelitian juga membuktikan bahwa meningkatnya kekuasaan dalam
otoritas pemerintah akan meningkatnya kepatuhan yang ditegakkan dan meningkatnya
kekuasaan dalam otoritas pemerintah akan menurunkan penggelapan pajak, sebaliknya
menurunnya kekuasaan akan meningkatkan terjadinya penggelapan pajak. Sejalan dengan
(Schneider & Enste, 2000, 2002; Brunetti & Weder, 2003) bahwa penegakan legal berdasarkan
aturan hukum memberikan landasan yang penting untuk pencegahan menyimpang bentuk
perilaku, seperti korupsi dan penggelapan pajak. Hasil penelitian ini juga mendukung penelitian
sebelumnya Kastlunger (2013), Korgler (2013). Akan tetapi hasil penelitian tidak mendukung
bahwa Kepercayaan pada otoritas pemerintah menurunkan penggelapan pajak serta kepatuhan
yang ditegakkan juga tidak berhubungan positif dengan penggelapan pajak. Menurut kerangka
slippery slope kepercayaan pada otoritas dapat menurunkan penggelapan pajak, sedangkan
kepatuhan yang ditegakkan akan meningkatkan terjadinya penggelapan pajak. Dapat
disimpulkan di Indonesia khususnya di Riau terjadinya penggelapan pajak bukan disebabkan
faktor kepercayaan kepada pihak pemerintah serta karena adanya kepatuhan yang ditegakkan.
5.2. Keterbatasan
Penelitian ini dilakukan pada skop yang kecil yaitu hanya dilakukan pada Wajib Pajak
Orang Pribadi yang memiliki usaha dengan jumlah yang sangat terbatas. Sampel dalam
penelitian ini termasuk 90 sampel yang diambil hanya pada satu KPP di Kota Pekanbaru.
Penelitian ini menggunakan variabel kekuasaan yang hanya menggunakan satu ukuran yaitu
22 5.3. Implikasi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dua hipotesis tidak dapat dibuktikan yaitu tidak
terdapat hubungan kepercayaan pada otoritas pemerintah dengan penggelapan pajak serta tidak
terdapat hubungan kepatuhan pajak yang ditegakkan dengan terjadinya penggelapan pajak. Hasil
penelitian ini mengindikasikan bahwa perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang faktor apa
sebenarnya yang paling dominan menentukan terjadinya penggelapan pajak di Indonesia.
Kemungkinan untuk pengembangan kerangka slippery slope sangat terbuka disebabkan faktor
penentu kepatuhan pajak adalah faktor ekonomis dan psikologis yang masih banyak belum
diteliti seperti keadilan, moral dan religiusitas.
Penelitian berikutnya dapat mengembangkan variabel kekuasaan dengan menggunakan
kekuasaan koesif dan kekuasaan yang legal sehingga dapat dianalisis pengaruh jenis kekuasaan
ini terhadap tingkat kepatuhan pajak dan penggelapan pajak. Penelitian berikutnya juga dapat
memperbanyak sampel dan memperluas obyek penelitian sehingga hasilnya lebih dapat
digeneralisasi.
DAFTAR REFERENSI
Andreoni, J., B. Erard & J. Feinstein, 1998. “Tax Compliance”,Journal of Economic Literature, 36, pp. 818–860.
Allingham, M. G., & Sandmo, A. 1972. Income tax evasion: A theoretical analysis. Journal of Public Economics, 1, 323–338.
Basri Yesi Mutia, Surya R.A.S, Fitriasari R, Novriyan R, Tania T.S (2012) Studi Ketidakpatuhan Pajak : Faktor Yang Mempengaruhinya (Kasus Pada Wajib Pajak Orang Pribadi Yang Terdaftar Di Kpp Pratama Tampan Pekanbaru), SNA XV, Banjarmasin
23 Brunetti, A. & B. Weder, 2003. A free press is bad news for corruption. Journal of Public
Economics, 87, pp. 1801–1824.
Coleman, C. & L. Freeman, 1997. Cultural foundations of taxpayer attitudes to voluntary compliance. Australian Tax Forum, 13, pp. 311–336
Colquitt, J. A., Greenberg, J., & Scott, B. A. 2005. Organizational justice: Where do we stand? In J. Greenberg & J. A. Colquitt (Eds.), Handbook of organizational justice (pp. 589– 619). Mahwah, NJ, US: Lawrence Erlbaum.
Cummings, R., J. Martinez-Vazquez, M. McKee & B. Torgler, 2009.“Tax Morale Affects Tax Compliance: Evidence from Surveys and an Artefactual Field Experiment”, Journal of Economic Behavior & Organization, 70, pp. 447–457.
Duadji Susno, 2010. Penggelapan Pajak: Kejahatan Asal Praktik Pencucian Uang, di download 10 Juni 2014 di facebook.com
Eigen, P., 2002. Measuring and combating corruption. Journal of Policy Reform, 5, pp.187– 201.
Feld, L. P., & Frey, B. S. 2002a. The tax authority and the taxpayer: Exploratory analysis. Working Paper.
Feld, L. P., & Frey, B. S. 2002b. Trust breeds trust: How taxpayers are treated. IEW – Working Papers iewwp098, Institute for Empirical Research in Economics – University of Zurich.
French, J., & Raven, B. 1959. The bases of social power. In D. Cartwright (Ed.), Studies in social power (pp. 150–167). Ann Arbor: University of Michigan.
Feld, L. P., & Frey, B. S. 2007. Tax compliance as the result of a psychological tax contract: The role of incentives and responsive regulation. Law and Policy, 29, 102–120.
Frey, B. S. 1997. Not just for the money: An economic theory of personal motivation. Cheltenham: Edward Elgar.
Gangl, K., Hofmann, E., Pollai, M., & Kirchler, E. 2012. The dynamics of power and trust in the „„Slippery Slope Framework‟‟ and its impact on the tax climate.
Gunadi, 2002. Indonesian Taxation 2002; A Reference Guide. Jakarta: Multi Utama Publishing.
Jackson, B. R. & V. C. Milliron, 1986. Tax compliance research: Findings, problems and prospects. Journal of Accounting Literature, 5, pp. 125–165.
24 Kirchler, E.2007. The economic psychology of tax behaviour. Cambridge: Cambridge University
Press.
Kirchler, E., Hoelzl, E., & Wahl, I. 2008. Enforced versus voluntary tax compliance. The „„Slippery Slope‟‟ framework. Journal of Economic Psychology, 29, 210–225.
Kirchler, E., Muehlbacher, S., Kastlunger, B., & Wahl, I. 2010. Why pay taxes? A review of tax compliance decisions. In J. Alm, J. Martinez-Vazquez, & B.
Kogler C, Batrancea L, Nichita A , Jozsef P d, Alexis B e, Kirchler E . 2013. Trust and power as determinants of tax compliance: Testing the assumptions of the slippery slope framework in Austria, Hungary, Romania and Russia, Journal of Economic Psychology 34 (2013) 169–180
Levi, M., 1998. A State of trust. In V. Braithwaite & M. Levi (Eds.), Trust and governance. New York, NY: Russell Sage Foundation. pp. 77–101
Mustikasari E .2007. Kajian Empiris tentang Kepatuhan Wajib Pajak Badan di Perusahaan di Perusahaan Industri Pengolahan di Surabaya. SNA X, Makassar
Scholz, J. T., 2007. Contractual Compliance: Tax Institutions and Tax Morale in the U.S”. In N. Hayoz and S. Hug (Eds.), Tax Evasion, Trust, and State Capacities, Peter Lang, Bern.
Suminarsasi W & Supriyadi .2012. Pengaruh Keadilan, Sistem Perpajakan, Dan Diskriminasi Terhadap Persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Penggelapan Pajak (Tax Evasion), SNA XV, Banjarmasin
Torgler, B. 2005. Tax morale and direct democracy. European Journal of Political Economy, 21(2), 525–531.
Van Dijke, M., & Verboon, P. 2010. Trust in authorities as a boundary condition to procedural fairness effects on tax compliance. Journal of Economic Psychology, 31, 80–91.
Lago-Peñas, I., & Lago-Peñas, S. 2010. The determinants of tax morale in comparative perspective: Evidence from European countries. European Journal of Political Economy, 26, 441–453.
Lavoie, R. 2009. Flying above the law and below the radar: Instilling a taxpaying ethos in those playing by their own rules. Pace Law Review, 29(4), 637–687.
25 Schneider, F. and D. Enste, 2000. Shadow economies around the world: Size, causes and
consequences. IMF Working Paper WP/00/26, pp. 1–56.
Siahaan, Fadjar O.P., 2005. Faktor-Faktor yang Memepengaruhi Perilaku kepatuhan Tax Professional dalam Pelaporan Pajak Badan pada Perusahaan Industri Manufaktur di Surabaya. Disertasi Program Pascasarjana Universitas Airlangga. Tidak Dipublikasikan.
Srinivasan, T. N. 1973. Tax evasion: A model. Journal of Public Economics, 2, 339–346.
Song, Y. D. & T.E. Yarbrough, 1978. Tax ethics and tax attitudes: A survey. PublicAdministration Review, 38, pp. 442–452.
Van Dijke, M., & Verboon, P. 2010. Trust in authorities as a boundary condition to procedural fairness effects on tax compliance. Journal of Economic Psychology, 31, 80–91.
Verboon, P., & van Dijke, M. 2011. When do severe sanctions enhance compliance? The role of procedural fairness. Journal of Economic Psychology, 32, 120–130.
Vogel, Joachim. 1974. “Taxation and Public Opinion in Sweden: An Interpretation ofRecent Survey Data,” National Tax Journal 27: 499–513.
Wahl, I., Kastlunger, B., & Kirchler, E. (2010). Trust in authorities and power to enforce tax compliance. An empirical analysis of the „„Slippery Slope Framework‟‟. Law & Policy, 32, 383–406.
Wearing, A. & B. Headey, 1997. The would-be tax evader: A profile. Australian Tax Forum, 13,
pp. 3–17.
www.pajak.go.id
www. ceritaperpajakanindonesia.blogspot.com
26 LAMPIRAN
Gambar 1 : Model Penelitian
Tabel 1 : Profil Responeden
No Keterangan Responden
Frekuensi Persentase 1. Jenis Kelamin
a. Pria b. Wanita 63% 37% 57 33
Total 100% 90
2. Usia
a. 30 tahun b. 31-40 tahun c. 41-50 tahun d. >50 49% 20% 22% 9% 44 18 20 8
Total 100% 90
3. Pendidikan Terakhir a. SD - SMA
b.S1/D3 c. S2 49% 51% 0 44 46 0
Total 100% 90
27 4. Pekerjaan
a. Pegawai Swasta b.Wirausaha
29% 71%
26 64
Total 100% 90
5. Lama memiliki NPWP
a. 5 tahun b.6-10 tahun c. 11-15 tahun d.16-20 tahun e. > 20 tahun
76% 15% 0 9% 0 68 14 0 8 0
Total 100% 90
Sumber: Data olahan (2013)
Tabel 2 : Cross Loading
TRUST POWER VOLCOMP ENVCOMP TAXEVAS
Ecomp1 0.141 0.308 0.1 0.685 -0.145
Ecomp2 0.165 0.434 0.336 0.763 -0.233
Ecomp3 0.306 0.462 0.262 0.827 -0.282
Ecomp4 0.479 0.54 0.312 0.875 -0.226
Ecomp5 0.477 0.527 0.322 0.904 -0.25
power1 0.431 0.844 0.362 0.423 -0.456
power2 0.407 0.827 0.256 0.541 -0.453
power3 0.453 0.884 0.308 0.624 -0.393
TEv1 -0.583 -0.516 -0.656 -0.268 0.801
Tev2 -0.552 -0.426 -0.485 -0.259 0.865
TEv3 -0.418 -0.37 -0.553 -0.251 0.792
TEv4 -0.445 -0.289 -0.683 -0.223 0.75
TEv5 -0.593 -0.304 -0.68 -0.209 0.812
trust1 0.909 0.435 0.709 0.332 -0.546
trust2 0.887 0.421 0.733 0.353 -0.62
trust3 0.866 0.332 0.647 0.355 -0.426
Vcomp1 0.661 0.332 0.884 0.256 -0.703
Vcomp2 0.569 0.273 0.856 0.305 -0.567
Vcomp3 0.565 0.209 0.831 0.165 -0.492
Vcomp4 0.705 0.241 0.878 0.311 -0.527
Vcomp5 0.652 0.227 0.862 0.277 -0.502
28 Tabel 3 : Composite resliability, AVE dan Akar AVE
Composite Reliability
Average variance extracted (AVE)
Akar AVE
TRUST 0.918 0.788 0.88
POWER 0.888 0.726 0.852
VOLCOMP 0.936 0.744 0.863 ENVCOMP 0.907 0.664 0.815
TAXEVAS 0.902 0.648 0.805 Sumber : Output Smart PLS 2013
Tabel 4 : Korelasi antar konstruk
Variabel TRUST POWER VOLCOMP ENVCOMP
TRUST 0.88*
POWER 0.4 0.852*
VOLCOMP 0.613 0.3 0.863*
ENVCOMP 0.348 0.597 0.305 0.815* TAXEVAS -0.524 -0.475 -0.64 -0.295 Sumber : Output Smart PLS 2013
* Akar Ave
Tabel 5 : R square
Variabel
R-square
TRUST 0.16
POWER
29 ENVCOMP 0.356
TAXEVAS 0.511
Sumber : Output Smart PLS 2013
Tabel 6 : Result of Inner Weight Hipotesis
original sample estimate
mean of subsa mples
Standard deviation
T-Statistic
Kesimpulan
H1 POWER -> TRUST 0.4 0.429 0.118 3.399 Diterima
H2 TRUST -> VOLCOMP 0.613 0.632 0.073 8.358 Diterima H4 POWER -> ENVCOMP 0.597 0.61 0.103 5.792 Diterima H3 TRUST -> TAXEVAS -0.119 -0.134 0.152 0.781 Ditolak
H5 POWER -> TAXEVAS -0.338 -0.332 0.135 2.493 Diterima H6 VOLCOMP ->
TAXEVAS -0.497 -0.499 0.12 4.138
Diterima
H7 ENVCOMP ->
TAXEVAS 0.099 0.088 0.137 0.724
Ditolak
Sumber : Output Smart PLS 2013
30 KUISIONER PENELITIAN
Berilah pendapat Bpk/Ibu mengenai pernyataan berikut dengan memberikan tanda silang (X)
pada kolom yang disediakan dengan skala penilaian:
1= Sangat Tidak Setuju (STS)
2= Tidak Setuju (TS)
3= Netral (N)
4= Setuju (S)
5=Sangat Setuju (SS)
No Kepercayaan pada pemerintah STS TS N S SS
1 Pemerintah bertindak adil terhadap warga negara
2 Di Negara ini kepentingan sekelompok orang lebih kuat daripada kepentingan masyarakat*
3 Lembaga-lembaga pemerintahan bertindak atas kepentingan warga negara
Kekuasaan pemerintah
1 Kemungkinan bahwa penggelapan pajak akan terdeteksi sangat besar
2 Sangat mudah untuk menghindari pajak*
3 Pemerintah sangat efektif melakukan penindasan/hukuman terhadap kriminalitas pajak
Kepatuhan sukarela
Ketika saya membayar pajak seperti yang disyaratkan oleh peraturan, saya membayar pajak karena :
1 Bagi saya sudah jelas bahwa membayar pajak memang seharusnya saya lakukan
2 Membayar pajak untuk mendukung negara dan warga negara lainnya.
3 Karena saya ingin berkontribusi untuk semua orang baik 4 Karena bagi saya itu hal yang wajar untuk dilakukan. 5 Karena saya menganggapnya sebagai tugas saya sebagai
warga negara
Kepatuhan Ditegakkan
Ketika saya membayar pajak seperti yang dipersyaratkan oleh peraturan, saya melakukannya dikarenakan :
1 Banyak sekali pemeriksaan pajak yang dilakukan 2 Hukuman berat bagi yang menghindari pajak
3 saya tidak tahu persis bagaimana untuk menghindari pajak tanpa menarik perhatian.
31 Tax Evasion dalam strategi pembayaran
Jika Bapak/Ibu dihadapkan dengan kondisi pada pernyataan dibawah, berikan pendapat Bapak/Ibu dengan memberikan tanda silang (X) pada kolom yang disediakan dengan skala penilaian:
1= Sangat Tidak Setuju (STS)
2= Tidak Setuju (TS)
3= Netral (N)
4= Setuju (S)
5=Sangat Setuju (SS)
No
Kecendrungan Tax Evasion
STS TS N S SS
1 Jika Pelanggan membayar tunai dan tidak membutuhkan faktur, Bpk/Ibu bisa tidak melaporakan pendapatan . 2 Jika Bpk/Ibu membeli barang pribadi dan kemudian
menjualnya kembali, keuntungan yang diperoleh dari penjualan tersebut tidak perlu dilaporkan.
3 Bpk/Ibu bisa sengaja menyatakan tagihan restoran untuk makan dengan teman-teman sebagai pengeluaran bisnis perusahaan.
4 Bpk/Ibu ke luar negeri untuk bertemu kerabat dan melakukan pertemuan singkat dengan salah satu pemasok perusahaan. Terlepas dari ini Bpk/Ibu
bisa menyatakan pengeluaran untuk hotel dan makanan untuk mengundang kerabat sebagai perjalanan bisnis perusahaan