• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Ekranisasi Mengangkat Novel Menj

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sejarah Ekranisasi Mengangkat Novel Menj"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Sejarah Ekranisasi:

Mengangkat Novel Menjadi Film di Nusantara (1927–2014)

Christopher A. Woodrich

International Indonesia Forum / Universitas Gadjah Mada

Ekranisasi dan Masalah Sejarahnya

Ekranisasi merupakan proses di mana suatu karya diangkat dalam bentuk film, baik itu film layar lebar (film bioskop) maupun film atau serial layar kaca (film televisi). Proses ini dikenal dalam pelbagai bentuk. Dalam sejarah perfilman Indonesia sendiri, misalnya, terdapat film yang berdasarkan cerita rakyat (a.l. Loetoeng Kasaroeng [L. Heuveldorp, 1926]; Sangkuriang [Sisworo Gautama Putra, 1982]), film yang berdasarkan novel (a.l. Eulis Atjih [George Krugers, 1927]; Sang Penari [Ifa Isfansyah, 2011]), film yang berdasarkan cerita pendek (a.l. Harta Karun [Usmar Ismail, 1949]; Mereka Bilang, Saya Monyet! [Djenar Maesa Ayu, 2008]), film yang berdasarkan naskah drama (a.l. Tjitra [Usmar Ismail, 1949]; Dr Samsi [Ratna Asmara, 1952]), film yang berdasarkan komik (a.l. Si Buta dari Gua Hantu [Lilik Sudjio, 1970]), film yang berdasarkan lagu (a.l. Bengawan Solo [Jo An Tjiang, 1949]; Aku Cinta Kamu [Acha Septriasa dkk., 2014]), dan film yang berdasarkan kisah "non-fiksi" yang tetap ditambahkan unsur fiksi (a.l. Perawan Desa [Frank Rorimpandey, 1978]; Habibie & Ainun [Faozan Rizal, 2012]). Dari daftar judul di atas, tampak bahwa proses mengangkat karya menjadi film tergolong sangat produktif, terutama ekranisasi novel.

Proses ekranisasi, sebagaimana disebut di atas, juga dikenal sebagai filmisasi atau dengan istilah yang lebih umum alih wahana dan adaptasi. Namun, di sini istilah ekranisasi, yang merupakan gabungan dari kata dasar ekran (yang secara etimologis dapat dilacak ke istilah écran dalam bahasa Perancis, yang berarti 'layar') dan sufiks –isasi ('proses menjadi'), digunakan. Karena etimologi tersebut, ekranisasi sebagai konsep secara eksplisit tidak termasuk pengangkatan karya ke media non-film. Istilah ini pertama kali digunakan oleh Pamusuk Eneste dalam penelitian skripsinya pada tahun 1977, yang hasilnya diterbitkan secara ringkas dalam majalah Tifa Sastra pada tahun 1978 dengan judul "Ekranisasi: Kasus Anak Perawan di Sarang Penyamun, Salah Asuhan, dan Atheis".

Dalam artikel tersebut, Pamusuk—dengan merujuk kepada pernyataan Usmar Ismail —menyebutkan Anak Perawan di Sarang Penjamun (Usmar Ismail, 1963) sebagai hasil ekranisasi pertama di Nusantara. Sementara itu, menanggapi pernyataan Usmar Ismail di atas, Rosihan Anwar (1962) mengungkapkan bahwa Anak Perawan di Sarang Penjamun bukan film Indonesia pertama yang berdasarkan novel, melainkan Siti Noerbaja (Lie Tek Swie, 1941). Penelitian yang lebih sistematis (Woodrich, 2014) menunjukkan bahwa, bahkan sebelum Siti Noerbaja ditayangkan, sudah ada lebih dari sepuluh film domestik lain yang berdasarkan novel, mulai dari Eulis Atjih (George Krugers, 1927). Uraian singkat ini menunjukkan bahwa sejarah praktik ekranisasi kurang terdokumentasi, sehingga muncul banyak kesalahpahaman.

(2)

tersebut dipertimbangkan. Menurut penulusuran awal, di Nusantara tidak kurang dari 240 film dibuat berdasarkan novel, baik novel dari dalam negeri maupun novel dari luar negeri, antara tahun 1927 dan tahun 2014 (Bagan 1). Ini merupakan lebih dari 7 persen dari semua film Indonesia yang tercatat dalam Katalog Film Indonesia (Kristanto, 2007) dan penerusnya, filmindonesia.or.id. Sementara itu, di antara tahun 2000 dan 2015 tujuh film dari sepuluh film terlaris di Indonesia diangkat dari novel. Film-film yang dihasilkan melalui ekranisasi juga sering memperolehkan penghargaan, termasuk film Ca-Bau-Kan (Nia Dinata, 2001) dan Di Bawah Lindungan Ka'bah (Hanny R Saputra, 2011) yang diikutsertakan dalam kompetisi Academy Award for Best Foreign Language Film.

Bagan 1: Produksi film hasil ekranisasi di Indonesia dari tahun ke tahun

Dalam rangka lebih banyak mendokumentasi sejarah praktik ekranisasi, kuliah umum ini akan menyampaikan beberapa hasil penelitian awal dari disertasi yang berjudul "Indonesian Pages to Indonesian Screens: A Genealogy of Ekranisasi in Indonesia". Pembahasan dibagi menjadi dua topik utama. Pembahasan pertama akan menjelaskan beberapa kecenderungan umum dalam praktik ekranisasi novel di Indonesia, sebagaimana terwujud di antara tahun 1927 dan 2014. Sementara itu, pembahasan kedua akan melihat kecenderungan dalam lima periode dalam praktik ekranisasi di Indonesia, yaitu periode periode kolonial (1927–49), periode awal kemerdekaan (1950–69), zaman emas pertama (1970–93), periode transisi (1993–2000), dan zaman emas kedua (2001 – sekarang). Kuliah umum ini lalu ditutupi dengan beberapa kesimpulan.

Beberapa Catatan Umum

(3)

sudah masuk sastra kanon. Untuk beberapa contoh spesifis, dapat rujuk Boenga Roos dari Tjikembang (The Teng Chun, 1931), yang berdasarkan novel Kwee Tek Hoay yang cetakan pertamanya terjual habis; Badai Pasti Berlalu (Teguh Karya, 1977), yang berdasarkan novel Marga T. yang terjual 40.000 eksemplar; dan Ayat-Ayat Cinta (Hanung Bramantyo, 2008), yang berdasarkan novel Habiburrahman El Shirazy yang terjual 750.000 eksemplar.

Pengutamaan novel yang laris dalam praktik ekranisasi mencerminkan pemahaman bahwa film dibuat sebagai komoditas yang dijual kepada konsumen (penonton). Apabila novel sudah membuktikan dirinya popular dengan dijualnya ribuan eksemplar, maka pembuat film dapat mengasumsikan bahwa sudah ada penonton yang mau dan tertarik menonton film yang berdasarkan novel tersebut. Novel yang laris, terutama yang tergolong sastra popular, memiliki formula yang sudah teruji, sehingga karya yang berhasil sebagai novel diasumsikan sudah menggunakan formula yang dapat diterapkan dengan baik (meskipun dengan beberapa modifikasi) dalam film. Bahkan ada film yang, meskipun novelnya sendiri kurang terkenal, tetap dibuat karena genre atau penulisnya sangat popular. Karena itu, sejak tahun 1970-an nama pengarang sudah menjadi bagian penting dari pengiklanan.

Hampir semua (183 film) hasil ekranisasi dibuat dalam kurun waktu kurang dari 5 tahun sejak novel sumber pertama kali diterbitkan, dan sebagian besar (140 film) dalam kurun waktu 2 tahun sejak novel sumber pertama kali diterbitkan. Hal ini dapat dilihat, misalnya, dengan munculnya film Negeri 5 Menara (Affandi Abdul Rachman, 2012) dua tahun setelah novelnya terbit serta ditayangkannya Jang Djatuh Dikaki Lelaki (Nico Pelamonia, 1971) setahun setelah novelnya mulai beredar. Namun, ada pula novel yang jangka waktu antara terbitnya novel dan dibuatnya film cukup panjang; Di Bawah Lindungan Ka'bah (Hanny R. Saputra, 2011), misalnya, mulai ditayangkan 73 tahun setelah novelnya pertama kali terbit.

Singkatnya jangka waktu antara diterbitkannya novel dan diproduksinya film hasil ekranisasi sebenarnya masuk akal, mengingat bahwa novel yang baru terbit—apalagi novel popular—cenderung masih diingat oleh masyarakat umum yang menjadi sasaran para pembuat film. Karena itu, sudah ada calon penonton yang menyenangi novel yang difilmkan, sehingga diharapkan mereka tertarik untuk menonton filmnya. Bahkan novel yang baru mengalami ekranisasi setelah jedah waktu yang cukup panjang tetap dicetak ulang; ia tidak surut dari bacaan masyarakat. Selain itu, apabila film diproduksi hanya beberapa tahun setelah novel sumber diterbitkan, memperoleh bukunya (seandainya buku diacu) menjadi lebih mudah; pembuat film belum tentu mau repot-repot mencari novel yang sudah belasan tahun tidak terbit lagi, apalagi bilamana temanya sudah dianggap tidak topikal. Apabila film diproduksi tidak lama setelah novel sumbernya terbit, pengarang juga lebih mudah dihubungi untuk meminta izin atau bahkan untuk dilibatkan dalam proses produksi.

(4)

langsung dari novel The Blue Lagoon (Henry De Vere Stacpoole, 1908), melainkan film The Blue Lagoon (Randal Kleiser, 1980).

Kecenderungan ini dapat dilihat, antara lain, dari persoalan akses. Pembuat film lebih mudah mengakses novel yang ditulis dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia, baik dari segi pembelian bukunya maupun pemerolehan izin untuk mengefilmkannya. Meskipun novel asing juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, memperoleh izin untuk mengangkat novel tersebut ke dalam bentuk film jauh lebih sulit. Karena itu, lebih banyak novel berbahasa Indonesia yang dapat diangkat oleh pembuat film daripada novel berbahasa daerah atau berbahasa asing. Dari segi audiens, pengutamaan bahasa Indonesia juga memungkinkan film mencapai audiens yang paling luas; dalam beberapa puluh tahun terakhir, novel dalam bahasa daerah memiliki jangkauan yang lebih sempit (i.e. audiens pembaca yang lebih sedikit) daripada novel yang berbahasa Indoneisa.

Dari segi genre, sebagian besar—lebih dari 55%— film hasil ekranisasi di Indonesia kental dengan tema romansa. Film-film lain ada yang bersifat inspiratif (a.l. Laskar Pelangi [Riri Riza, 2008]) atau mengangkat kisah tragedy kemanusiaan (a.l. Atheis [Sjumandjaja, 1974]). Ada pula yang bersifat horor (a.l. Toilet 105 [Hartawan Triguna, 2010]), komedi (a.l. Poconggg Juga Pocong [Chiska Doppert, 2011]), laga (a.l. Dendam Anak Haram [Sisworo Gautama, 1972]), dan kriminal (a.l. Si Tjonat [Nelson Wong, 1929]). Namun, dalam film sedemikian rupa pun seringnya masih ada cerita cinta, seperti yang muncul di antara Hasa dan Kartini dalam Atheis.

Ada lebih dari seratus contoh cerita yang menekankan romansa, yang dapat dilacak sampai tahun 1931, ketika Boenga Roos dari Tjikembang karya Kwee Tek Hoay diangkat menjadi film oleh The Teng Chun. Pada tahun 1970-an dan 1980-an, cerita romansa ini didominasi oleh film yang diangkat dari novel Mira W., Marga T. Eddy Iskandar, serta puluhan penulis lain. Cerita cinta, baik yang bernuansa Islami maupun yang sekular, juga sering diangkat pada tahun 2000-an dan 2010-an, termasuk novel-novelnya Habiburrahman El Shirazy (Islami) dan Agnes Davonar (sekular). Keberhasilan genre ini bukanlah suatu kejuatan, mengingat bahwa ia merupakan salah satu jenis sastra popular yang paling banyak ditulis dan diterbitkan di Indonesia, dan bahwa escapism yang ditawarkan bukanlah sesuatu yang sangat berbahaya bagi rezim penguasa.

Kenyataan bahwa suatu cerita pernah diangkat dengan cara tertentu tidak berarti cerita tersebut akan diangkat dengan cara yang sama apabila difilmkan ulang. Misalnya, peran Edward William dalam Njai Dasima (Lie Tek Swie, 1929) dan Samiun dan Dasima (Hasmanan, 1971) sangat berbeda, meskipun kedua film tersebut sama-sama diangkat (secara tidak langsung) dari Tjerita Njai Dasima (G. Francis, 1896); tokoh Edward, misalnya, menjadi simpatetis dalam film Njai Dasima, tetapi dicitrakan sebagai orang yang bernafsu sex tinggi dalam Samiun dan Dasima. Juga terdapat perbedaan yang mencolok di antara film Boenga Roos dari Tjikembang (The Teng Chun, 1931) dan Bunga Roos dari Cikembang (Fred Young, 1975); Darah dan Mahkota Ronggeng (Yazman Yazid, 1983) dan Sang Penari (Ifa Isfansyah, 2011); serta Para Perintis Kemerdekaan (Asrul Sani, 1977) dan Di Bawah Lindungan Ka’bah (Hanny R Saputra, 2011).

(5)

tokoh Edward mengalami transformasi yang sangat drastis. Di era kolonial, orang Eropa memiliki status sosial yang paling tinggi serta kekuasaan yang memungkinkan mereka untuk menyensor segala sesuatu yang dianggap mengurangi martabat bangsa mereka. Sementara itu, di tahun 1970-an orang Eropa sudah tidak berkuasa di Indonesia, dan menjadi sasaran empuk untuk kritik dari orang Pribumi—termasuk kritik terhadap nafsu seksualnya yang dianggap berlebihan. Transformasi ini juga (ikut) disebabkan oleh perubahan dalam media sumber. Njai Dasima dibuat lebih dari tiga puluh tahun setelah novelnya diterbitkan, sewaktu cerita lenong yang paling terkenal dan berpengaruh. Sementara itu, ketika Samiun dan Dasima dibuat, sudah ada penceritaan ulang oleh SM Ardan yang mengubah pola kekuasaan dalam cerita tersebut; versi inilah yang menjadi dasar Misbach Yusa Biran dalam membuat scenario yang pada akhirnya menjadi Samiun dan Dasima (Kompas, 1971). Dua kemungkinan ini hanyalah contoh; masih ada banyak kemungkinan lain yang di luar scope tulisan ini.

Sejarah Ringkas Praktik Ekranisasi

Pengefilman novel di Nusantara sudah dimulai di periode kolonial. Ada setidaknya 11 novel yang dijadikan dasar film di antara tahun 1927, ketika Eulis Atjih (George Krugers) diproduksi, dan 1941, ketika Siti Noerbaja (Lie Tek Swie) difilmkan. Sebagian novel yang diangkat merupakan novel yang popular di daerah di mana film tersebut diproduksi; Eulis Atjih dan Karnadi Anemer Bangkong (George Krugers, 1931), misalnya, dibuat dengan cerita dari novel berbahasa Sunda dan diproduksi di Bandung, sementara ketiga film yang dibuat dengan cerita dari Tjerita Njai Dasima (Njai Dasima [Lie Tek Swie, 1929], Njai Dasima [Bachtiar Effendi, 1931], dan Dasima [Tan Tjoei Hock, 1941]) diproduksi di Batavia (Jakarta). Cerita juga tampaknya diangkat berdasarkan audiens sasaran; Boenga Roos dari Tjikembang (The Teng Chun, 1931), misalnya, dibuat oleh orang yang mengincar audiens Tionghoa, sementara produser Njai Dasima (Lie Tek Swie, 1929) secara eksplisit memilih cerita tersebut supaya dinikmati penonton Pribumi.

Rata-rata novel yang difilmkan sudah pernah diangkat menjadi cerita panggung, sehingga sangat dimungkinkan novel tidak diangkat secara langsung, melainkan berdasarkan karya panggung—baik itu teater tradisional seperti lenong maupun teater popular seperti Padangsche Opera-nya Andjar Asmara. Asumsi ini didukung oleh kenyataan bahwa, dalam periklanan, kaitan film dengan novel tidak diungkapkan. Tan Khoen Yauw, yang menjadi produser film Njai Dasima (Lie Tek Swie, 1929), bahkan tidak menggunakan istilah "novel" atau "buku" ketika dia menjelaskan bahwa filmnya didasarkan pada cerita terkenal (Kwee, 1929). Apabila memang film-film ini diangkat bukan dari novelnya, melainkan dari cerita yang sudah beredar di masyarakat, implikasinya bahwa perfilman awal tersebut berkaitan erat dengan budaya oralitas.

(6)

(Nico Pelamonia, 1967). Kenyataan ini kontras secara signifikan dengan tren dalam produksi film cerita, yang tergolong cukup tinggi antara tahun 1950 dan 1957.

Ada beberapa factor yang mempengaruhi rendahnya tingkat ekranisasi ini. Pada tahun-tahun itu, masih banyak anggota masyarakat yang buta huruf, sehingga dunia sastra popular kurang berkembang (meskipun tetap ada). Film yang dibuat berdasarkan novel pun tidak mendapatkan pengakuan sebagai adaptasi karya sastra; dalam satu artikel di majalah Kentjana, Ajip Rosidi (1955) membahas praktik ekranisasi tetapi hanya menggunakan film dari luar Indonesia yang diangkat dari karya sastra kanon sebagai contoh.1 Iklan pun, seperti

di periode kolonial, tidak menekankan bahwa suatu film dibuat berdasarkan novel.

Selain itu, ada beberapa faktor umum yang bukan hanya mempengaruhi rendahnya tingkat ekranisasi ini, tetapi juga rendahnya produksi film pada umumnya dari tahun 1957 hingga akhir tahun 1960. Karena persaingan yang ketat dari film impor, terutama yang dari India dan Filipina (untuk kelas menengah-bawah) dan film Amerika (untuk kelas atas), film Indonesia kurang bisa menghasilkan uang, sehingga banyak tenaga kreatif yang beralih profesi dan studio yang tutup. Setelah itu, guncangan ekonomi pada tahun 1960-an mengurangi modal yang dapat digunakan untuk memproduksi film, dan persaingan politik antara kelompok kiri (kubu LEKRA) dan kanan (kubu Usmar Ismail) semakin mempersulit keadaan. Setelah peristiwa G30S, beberapa tokoh perfilman ditangkap atau mengundurkan diri, sehingga tenaga kreatif pun berkurang.

Berbeda dengan praktik ekranisasi pada periode colonial, di tahun 1950-an dan 1960-an novel y1960-ang di1960-angkat buk1960-anlah novel y1960-ang berbahasa Melayu pasar atau bahasa daerah, melainkan novel yang berbahasa Indonesia. Ini termasuk novel yang kemudian diakui sebagai sastra kanon (Anak Perawan di Sarang Penjamun, Sendja di Djakarta) serta novel yang terus diakui sebagai sastra popular (a.l. Solo Diwaktu Malam dan Arni). Novel yang diangkat juga tidak mesti difilmkan setelah ceritanya diadaptasi untuk pentas, meski juga ada beberapa (seperti Solo Diwaktu Malam) yang pernah dipentaskan. Terakhir, pada tahun 1950-an dan 1960-an sudah tidak ada pembedaan eksplisit antara audiens dengan etnisitas tertentu; film hasil ekranisasi dibuat untuk umum.

Seiring dengan meningkatnya produksi film nasional, yang didukung oleh kebijakan yang membatasi jumlah film impor, serta menjamurnya sastra popular pada awal tahun 1970-an, produksi film melalui proses ekranisasi meningkat. Adanya dukung1970-an, dalam bentuk dana dari importir (melalui kebijakan yang sudah disebutkan di atas, yang mewajibkan pembuatan satu film untuk setiap tiga film yang dimpor) serta sumber inspirasi (novel), mendorong produser dan sutradara untuk memilih novel yang sudah populer dan membuat filmnya. Keuntungan yang dapat diperoleh dibuktikan dengan berhasilnya film Karmila (Ami Prijono, 1974), yang memperoleh 213,036 penonton di Jakarta dan menembus bioskop kelas atas.

Tujuan komersiil dari praktik ekranisasi tercermin dari pemilihan novel yang diangkat. Penulis-penulis yang karyanya paling banyak difilmkan pada tahun 1970-an dan 1980-an adalah Mira W. Eddy Iskandar, dan Marga T., dan, yang kesemuanya penulis novel romantika popular. Ada pula penulis seperti Abdullah Harahap, Motinggo Busye, dan Kho Ping Hoo yang novelnya juga sering diangkat, meskipun mereka bukanlah penulis cerita cinta. Ada pula film yang dibuat berdasarkan sastra kanon dan tidak sepenuhnya dimaksud

(7)

untuk mencari keuntungan, seperti Salah Asuhan (Asrul Sani, 1972) dan Atheis (Sjumandjaja, 1974). Dalam pengiklanan film-film ini, kaitan antara novel dan film yang dihasilkan mulai ditekankan, baik itu dengan tulisan (seperti Perisai Kasih yang Terkoyak [Hadi Poernomo, 1986]), gambar buku-bukuan (seperti Terminal Cinta [Abrar Siregar, 1977]), atau gambar novel yang diangkat (seperti Bunga-Bunga SMA [Matnoor Tindaon, 1980]).

Beberapa fenomena di periode ini meneruskan fenomena yang mulai berkembang di tahun 1950-an. Praktik ekranisasi semakin meninggalkan oralitas, dan sebagian besar film yang dihasilkan tidak dijadikan cerita panggung (baik sebelum maupun setelah novelnya difilmkan). Film hasil ekranisasi pada umumnya ditujukan untuk penonton umum, tanpa memandang etnisitas. Mengingat beberapa perkembangan dalam kebijakan nasional yang semakin menekankan kebudayaan Tionghoa, ini terjadi bahkan ketika sutradara keturunan Tionghoa mengangkat novel karya pengarang Tionghoa. Dalam film Bunga Roos dari Cikembang (Fred Young, 1975), misalnya, nama tokoh utama diubah dari Aij Tjeng dan Gwat Nio menjadi Wiranta dan Salmah.

Pelbagai genre dan tema dicerminkan dalam praktik ekranisiasi pada tahun 1970-an. Muncul, antara lain, adaptasi novel remaja untuk remaja dan anak–anak (a.l. Petualang Cilik [Dhira Soehoed, 1977] dan serial Lupus [Achiel Nasrun dan Edi Siswanto, 1987–1990]) serta adaptasi cerita horor (a.l. Mistik (Punahnya Rahasia Ilmu Iblis Leak) [Tjut Djalili, 1981]). Beragam tema seperti modernisasi, keluarga, perceraian, dan pembangunan muncul. Ada pula kritik terhadap masalah sosial seperti jugun ianfu (seperti Kadarwati [Sophan Sophiaan, 1983]) atau hubungan Belanda–Indonesia (seperti Oeroeg [Hans Hylkema, 1992]).

Dalam periode transisi, yaitu dari tahun 1993 hingga 2000, produksi film Indonesia mengalami penurun drastis. Penyebabnya banyak dan beragam, sehingga tidak dapat diuraikan secara mendetail di sini. Ada banyak persaingan dengan film-film dari luar Indonesia, mengingat bahwa sejak tahun 1980-an pemerintah sudah tidak membatasi impor film asing. Selain itu, jumlah penonton menurun karena munculnya teknologi Betamax dan VCD di akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an. Munculnya televisi swasta juga ikut berperan; banyak tenaga kreatif meninggalkan dunia perfilman untuk mulai terlibat dalam pembuatan acara televisi baru. Selain itu, Indonesia mulai mengalami masalah ekonomi, yang memuncak dengan krisis moneter pada tahun 1997 dan 1998.

Dalam situasi sedemikian rupa, jumlah film yang dihasilkan melalui ekranisasi novel menurun; menurut penelitian awal ini, selama tujuh tahun hanya ada enam film yang diproduksi berdasarkan novel di Indonesia. Sebagian di antaranya, seperti Pergaulan Intim (Willy Wilianto, 1994), bersifat seksploitasi dan mengikuti tren "esek-esek" yang di tahun-tahun tersebut menjadi semakin dominan. Ada pula film seperti Perawan Lembah Wilis (Tommy Burnama, 1993), yang merupakan film laga dan diangkat dari novel laga pula. Namun, ada satu film yang diangkat dari karya sastra kanon, yaitu Telegram (Slamet Rahardjo, 1997), yang produksinya baru selesai pada tahun 2000 karena ada halangan dana. Pada umumnya, film-film yang diangkat dari novel dalam periode ini kurang memuaskan secara finansial.

(8)

3,581,947 penonton, sementara Laskar Pelangi (Riri Riza, 2008) memperoleh 4.719.453 penonton. Sejak tahun 2008, produksi film yang dihasilkan melalui ekranisasi terus meningkat, sehingga belasan setiap tahunnya.

Peningkatan produksi ini diikuti oleh beberapa fenomena baru dalam praktik ekranisasi. Ada diversifikasi genre lagi, dengan beberapa genre baru (seperti romansa Islami dan sastra perjalanan) berkembang cukup pesat, dan beberapa film dibuat melalui ekranisasi dalam genre yang sebelumnya didominasi oleh film non-ekranisasi (seperti komedi). Film kembali diangkat dari novel yang dianggap "sastra kanon", termasuk dua novel Hamka (Di Bawah Lindungan Ka'bah [Hanny R Saputra, 2011] dan Tenggelamnya Kapal van der Wijck [Sunil Soraya, 2013]) serta Ronggeng Dukuh Paruk-nya Ahmad Tohari (Sang Penari [Ifa Isfansyah, 2011]).

Novelis yang karyanya diangkat cenderung penulis baru, seperti Habiburrahman El Shirazy, Andrea Hirata, dan Agnes Davonar. Karya kadang diangkat oleh novelisnya sendiri, seperti yang terjadi dalam kasus Lost in Love (Rachmania Arunita, 2003) dan Rumah di Seribu Ombak (Erwin Arnada, 2012). Sementara itu, ada juga beberapa penulis lama yang karyanya difilmkan. Sebagaimana dinyatakan di atas, misalnya, ada dua film yang diangkat dari novel Hamka, dan satu film yang diangkat dari novel Ahmad Tohari. Namun, film yang diangkat dari penulis lama—terutama yang dari genre sastra popular (seperti True Love [Dedi Setiadi, 2011], yang diangkat dari novel Mira W. Cinta Sepanjang Amazon [2008])—kurang laku.

Di antara semua karya yang dihasilkan melalui ekranisasi, ada beberapa film—rata-rata yang berdasarkan novel karya penulis baru—yang tergolong cukup laris di pasar atau disambut dengan baik oleh kritikus. Dari segi komersil, ini termasuk, misalnya, Ayat-Ayat Cinta (Hanung Bramantyo, 2008) dan Laskar Pelangi (Riri Riza, 2008) yang sudah disebutkan di atas, serta Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (1.724.110 penonton) dan 99 Cahaya di Langit Eropa (Guntur Soeharjanto, 2013; 1.189.709 penonton). Dari segi kritikal, ada film seperti Ca-Bau-Kan (Nia Dinata, 2001) dan Di Bawah Lindungan Ka'bah (Hanny R Saputra, 2011) yang, sebagaimana sudah dinyatakan di awal tulisan ini, diikutsertakan dalam kompetisi Academy Award for Best Foreign Language Film, serta film seperti 3 Hati Dua Dunia Satu Cinta (Benni Setiawan, 2010) dan Sang Penari (Ifa Isfansyah, 2011) yang memperoleh Piala Citra untuk Film Terbaik.

Gaya pengiklanan, dari segi pemosisian novel dalam konteks film yang dihasilkan, masih mengikuti pola yang dibangun pada tahun 1970-an. Ada poster film—bukan selebaran lagi—yang mencantumkan sampul bukunya secara langsung, seperti yang terjadi dalam poster Test Pack: You're My Baby (Monty Tiwa, 2012). Ada pula yang hanya menyebut nama novel yang diangkat, seperti Assalamualaikum Beijing (Guntur Soeharjanto, 2014). Novel yang diangkat juga terus diterbitkan ulang dengan sampul yang menekankan filmnya; ada pula yang diberikan keterangan "segera difilmkan", bahkan apabila novelnya masih cetakan pertama.

Kesimpulan

(9)

novel yang belum lama terbit, tetapi tidak selalu; film yang dihasilkan cenderung mengangkat novel popular, tetapi tidak selalu; dan film yang dihasilkan cenderung diangkat dari novelnya langsung, tetapi tidak selalu. Kecenderungan umum dalam praktik ekranisasi bahkan dapat berubah dari zaman ke zaman, sebagaimana halnya muncul-tidaknya novel sumber dalam iklan untuk film hasil ekranisasi.

Mengingat panjang dan dinamisnya sejarah praktik ekranisasi di Nusantara, uraian singkat di atas sangat tidak cukup untuk menyumbangkan suatu pemahaman yang mendetail mengenai asal usul dan perkembangan praktik ekranisasi. Karena itu, masih diperlukan uraian yang lebih mendalam tentang praktik ekranisasi sebagaimana terwujud di Indonesia, yang tidak melihat pelbagai aspeknya secara sekilas mata, tetapi benar-benar mengeksplorasi aspek-aspek tersebut serta sebab-akibatnya. Tulisan sedemikian rupa, yang diharapkan dapat terwujud melalui disertasi yang sedang ditulis, akan memungkinkan pemahaman yang lebih utuh tentang praktik ekranisasi dan membuka kesempatan untuk penelitian yang lebih mendalam lagi.

Daftar Pustaka

Anwar, Rosihan. 1962. "Kerjasama Sastrawan dan Sinemawan Dirintis: ‘Anak Perawan di Sarang Penjamun’". Madjalah Purnama. 1:17.

Eneste, Pamusuk. 1978. "Ekranisasi: Kasus Anak Perawan di Sarang Penyamun, Salah Asuhan, dan Atheis". Tifa Sastra. VII:38–39. hal. 17–20.

Kwee, Tek Hoay. 1929. "Film Njaie Dasima, productie dari Tan's Film Company". Panorama. 3(153), 1199–1201. Kliping diakses di Sinematek Indonesia. Rosidi, Ajip. 1955a. "Tentang Sastera dan Tjeritera Film". Kentjana, 3:7. 6–7, 32. "Samiun dan Dasima". 1971. Kompas. 17 May. hal. V–VI.

Referensi

Dokumen terkait

%elain rumah sehat dan jamban, sarana sanitasi lain yag diperiksa di antaranya %/B, %/L dan tempat pengolahan sampah. Dari hasil pemeriksaan yang

Berdasarkan hasil analisis faktor terhadap lima dimensi jasa Restoran Sangkuriang yang mempengaruhi preferensi konsumen dapat diketahui faktor yang memiliki kontribusi yang

Dalam melaksanakan pelayanan di bidang pengelolaan kekayaan negara, pengurusan piutang negara dan lelang, KPKNL Dumai memberikan kontribusi penerimaan negara dalam bentuk

Dengan demikian hipotesis keempat yang menyatakan bahwa “Citra merek, Harga yang Dirasa, dan Promosi secara simultan mempunyai pengaruh signifikan terhadap Niat Pembelian Sepatu

Dengan nilai tingkat keakuratan selisih tersebut sistem kontrol dapat menstabilkan tetesan infus, sedangkan dengan nilai tingkat keberhasilan pengiriman data

Indikator Kinerja Kegiatan 001 Jumlah Penyelesaian Administrasi Perkara (yang Sederhana, dan Tepat Waktu) Ditingkat Pertama dan Banding di Lingkungan Peradilan Agama (termasuk

Optimal design untuk regresi polynomial terboboti ini hanya bisa digunakan apabila peneliti telah mengetahui / menetapkan bentuk hubungan fungsional antara variabel respon

Kepala sekolah juga mempunyai peranan penting dalam membangun serta melestarikan budaya mutu di sekolah, untuk membentuk karakter lembaga sebagai identitas yang dapat