• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower Dalam Sistem Peradilan Pidana Pada Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Chapter III IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower Dalam Sistem Peradilan Pidana Pada Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Chapter III IV"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WHISTLEBLOWER TINDAK

PIDANA KORUPSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

A. Pengaturan mengenai Whistleblower dalam Peraturan

Perundang-undangan di Indonesia

Imam Thurmudi berpendapat bahwa seseorang dapat dikatakan sebagai Whistleblower pada dasarnya adalah orang yang melihat sendiri, mendengar sendiri atau mengalami sendiri suatu tindak pidana atau pelanggaran, sehingga dengan itikad baik mengungkapkan kepada publik atau melaporkan kepada pejabat yang berwenang.111 Jadi seorang Whistleblower memiliki hak yang sama seperti yang diatur dalam KUHAP, bahwa Whistleblower adalah saksi seperti apa yang dimaksud dalam KUHAP. Jadi Whistleblower juga merupakan salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana di Indonesia.

Dalam bab sebelumnya sudah dipaparkan beberapa negara yang mengatur masalah Whistleblower dan hal tersebut dimuat dalam undang-undang tersendiri. Seperti di negara Amerika Serikat, Afrika Selatan, Jerman, Albania, Hong Kong, Italia, Kolumbia, Belanda, Kanada, Australia, dan Inggis, semua negara ini memiliki aturan khusus terhadap Whistleblower yang diatur dalam undang-undang. Namun berbeda halnya dengan Indonesia, sampai saat ini belum ada undang-undang khusus yang mengatur tentang Whistleblower secara khusus.

111

(2)

Namun ada beberapa aturan yang mengatur selintas saja mengenai Whistleblower tersebut.

Perlindungan hukum dan segala aspeknya merupakan hak korban dan saksi, dan itu juga merupakan hak seorang Whistleblower. Dan itu merupakan Hak Asasi Manusia seorang Whistleblower yang harus dijunjung tinggi oleh setiap orang. Jadi hal inilah menjadi urgensi pentingnya perlindungan tersebut, agar setiap Whistleblower bebas menyuarakan setiap hal yang menyimpang dan merupakan tindak pidana tanpa rasa takut atas ancaman dan serangan balik yang akan dialaminya.

Di Indonesia, pengaturan tentang Whistleblower termuat dalam beberapa aturan sebagai berikut:

1. Pengaturan Whistleblower atau Saksi dalam KUHP

Dalam KUHP istilah Whistleblower (pengungkap fakta) belum dikenal, karena istilah Whistleblower ini baru muncul sekitar tahun 1996 di dalam hukum pidana di Amerika Serikat. Sementara KUHP adalah warisan Belanda yang berlaku di Indonesia sudah sangat lama, tentu saja istilah tersebut belum dikenal. Namun, dari kedudukan dan posisinya jika disepadankan dalam satu sisi dapat dipersamakan dengan saksi. Saksi dalam KUHP dapat ditelusuri pengaturannya dalam Pasal 165, Pasal 166, Pasal 185, Pasal 186 dan Pasal 522.

(3)

Dalam KUHAP istilah Whistleblower juga belum dikenal, namun KUHAP hanya mengenal istilah saksi dan juga pelapor. Walaupun demikian dalam KUHAP pun pelapor sebagai subjek hukum yang melakukan laporan dugaan terjadinya tindak pidana tidak didefinisikan, KUHAP dalam Pasal 1 Angka 24 hanya mendefinisikan tentang laporan 112 . Dalam KUHAP menurut Lilik Mulyadi,113 Whistleblower berdasarkan perannya dapat dibedakan menjadi dua

yaitu sebagai “pelapor” dan sebagai “saksi”.

Pertama Whistleblower hanya berperan sebagai “Pelapor”, artinya dalam dimensi ini Whistleblower, tidak secara langsung mendengar, melihat ataupun mengetahui pelaksanaan tindak pidana. Tegasnya, Whistleblower hanya sebatas mengetahui informasi yang selanjutnya bermanfaat terhadap suatu pengungkapan fakta tindak pidana oleh penegak hukum. 114 Pelapor adalah seorang yang memberitahukan karena hak atau kewajiban yang ada padanya berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadi peristiwa pidana.115

Apabila Whistleblower diposisikan sebagai pelapor maka sebagai pelapor Whistleblower merupakan manifestasi dari peran serta perorangan ataupun masyarakat dalam membantu melakukan upaya optimalisasi penegakan hukum pidana dan pemberantasan tindak pidana. Selain dalam KUHAP, beberapa peraturan perundang-undnagan juga mengatur mengenai pelapor secara khusus

112

Menurut KUHAP “Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadi peristiwa pidana”.

113

Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower.…, Op.cit, hal. 57

114 Ibid. 115

(4)

diantaranya, Pelapor Tindak Pidana Korupsi, Pelapor Tindak Pidana Pelanggaran HAM yang berat, Pelapor Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Pelapor Tindak Pidana Narkotika, Psikotropika, Terorisme, dan lain sebagainya.116

Undang Tindak Pidana Korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 memberikan pengertian kepada Pelapor sebagai berikut:117 “yang dimaksud dengan pelapor adalah orang yang memberi suatu informasi kepada penegak

hukum atau Komisi mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi”. Dalam

Pasal 41 ayat (3), Pasal 42 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juga mengatur tentang peran serta masyarakat untuk ssecara aktif memberikan laporan atau informasi atau pemberitahuan kepada aparat penegak hukum akan, sedang atau telah terjadinya suatu tindak pidana korupsi.

Masyarakat sebagai pelapor ditingkatkan perannya menjadikan pelaporan tersebut sebagai hak dan tanggung jawab dalam uapaya pemebrantasan tindak pidana korupsi. Sebagai apresiasi pemerintah terhadap pelapor adalah dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi diberikan penghargaan.118 Whistleblower sebagai pelapor memiliki peran yang sangat penting dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, begitu juga dalam tindak pidana lain. Laporan sebagaimana diatur dalam KUHAP dimaksud secara hukum statusnya

116

Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower…., Op.cit, hal. 58

117 Ibid.

118

(5)

ada dua hal yaitu, hak dan kewajiban. Yang selanjutnya hal tersebut diatur dalam Pasal 103 KUHAP dan Pasal 108 KUHAP.

Selain menjadi Pelapor, KUHAP juga meberikan peran kepada Whistleblower sebagai “saksi”. Dimensi ini berarti yang bersangkutan adalah

“pengungkap fakta yang melaporkan dan secara langsung mengetahui, melihat

dan mengalami sendiri telah, sedang, atau akan terjadinya suatu tindak pidana

yang secara aktif melaporkannya pada aparat penegak hukum yang berwenang”.

Saksi Pelapor dapat diartikan sebagai pelapor yang juga berperan sebagai saksi. Saksi jenis ini pada asasnya berbeda dengan yang hanya berperan sebagai saksi tanpa berperan sebagai pelapor.

Kualifikasi Whistleblower yang merangkap sebagai saksi dan sebagai pelapor ini harus dipahami terlebih dahulu perbedaannya.119 Saksi sebagaimana

diatur dalam Pasal 1 Angka 26 KUHAP dikatakan bahwa “saksi adalah orang

yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri,

dan ia alami sendiri”.120

Dalam tindak pidana korupsi, mengenai saksi diatur dalam Pasal 35, 36 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang mengatur bahwa pada dasarnya setiap orang wajib memberikan keterangan sebagai saksi tindak pidana korupsi kecuali ayah, ibu, nenek, kakek, saudara kandung, istri atau suami, anak dan cucu dari terdakwa korupsi. Dan

119

Ibid. hlm 64-65

120

(6)

dalam undang-undang tersebut juga diatur tentang perlindungan hukum terhadap saksi.

Status hukum bagi saksi untuk memberikan keterangan saksi antara hak

dan kewajiban dimaksud dalam perngertian dikatakan “Hak” dimaksud dalam hal

laporan terhadap tindak pidana bersifat aduan, sehingga pelapornya berhak untuk

melaporkan ataupun tidak. Sedangkan “Kewajiban” dimaksud dalam hal

pelaporan terhadap tindak pidana biasa, kepada setiap orang yang mengetahui adanya suatu peristiwa tindak pidana secara hukum diwajibkan untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib.121

Hal yang sedemikian rupa dalam KUHAP yang mengatur tentang

“Pelapor” dan “Saksi”, namun hal tersebut bisa diartikan dan menjadi acuan

perlindungan bagi seoarang Whistleblower, dimana seorang Whistleblower bisa diposisikan sebagai Pelapor dan juga sebagai saksi. Namun memang tidak menutup kemungkinan, bahwa sangat diperlukannya aturan yang memang khusus mengatur tentang Whistleblower itu sendiri. seperti yang terdapat dinegara-negara asing.

3. Pengaturan Whistleblower atau Saksi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

Dalam undang-undang ini setiap orang diwajibkan untuk memberikan keterangan sebagai saksi kecuali keluarga tersangka, namun apabila dikehendaki oleh saksi dan mendapat persetujuan terdakwa ia boleh menjadi saksi namun tidak

121

(7)

disumpah. Bahkan jabatan-jabatan khusus yang menurut peraturan perundang-undangan dilindungi untuk menyimpan rahasia, berdasarkan undang-undang tindak pidana korupsi ini diwajibkan. Kecuali dalam hal pemuka agama. Hal-hal ini ditegaskan dalam Pasal 35.

Dalam Pasal 36 dijelaskan bahwa kewajiban memberikan kesaksian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 berlaku juga terhadap mereka yang menurut pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, kecuali petugas agama menurut keyakinannya harus menyimpan rahasia.

Hal ini berarti setiap orang yang mengetahui, melihat, mendengar, sendiri dugaan tindak pidana korupsi berkewajiban untuk memberikan keterangan saksi. Namun yang menjadi masalah adalah dalam undang-undang ini tidak diatur secara jelas apakah saksi tersebut berarti berkewajiban untuk melaporkan, ataukah sekedar jika dipanggil untuk memberikan keteragan sebagai saksi. Karena secara tekstual dapat dipahami bahwa yang diwajibkan adalah untuk memberikan keterangan sebagai saksi,artinya setiap orang yang dipanggil untuk bersaksi wajib menghadiri panggilan tersebut.122

Dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi masyarakat juga diberi hak untuk berperan serta dalam membantu pencegahan dan pemberantasan korupsi. Peran serta masyarakat tersebut diatur dalam bab V Pasal 41. Peran serta tersebut yaitu berupa hak-hak yang diberikan kepada masyarakat, seperti hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan teah terjadi tindak pidana korupsi. Kemudian hak memperoleh pelayanan, dan

122

(8)

perlindungan dalam hal mencari, memperoleh, dan memberikan informasi. Ada juga hak menyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi, dan hak memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum.123

Selain itu, dalam Pasal 42 dikatakan bahwa pemerintah juga memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat yang telah berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana korupsi. Dan tentang penghargaan tersebut lebih lanjut diatur dalam PP 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam PP ini juga mengatur hak dan kewajiban penegak hukum setelah mendapat laporan atau informasi saran dan pendapat tentang dugaan tindak pidana korupsi dari masyarakat.124

4. Pengaturan Whistleblower atau Saksi dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Dalam undang-undang ini dapat dilihat diatur secara nyata perlindungan korban dan saksi, hal itu bisa dilihat pada Bab V, Pasal 34. Dalam Pasal 34 ini di jelaskan bahwa korban dan saksi dalam pelanggaran HAM berat berhak mendapatkan perlindungan fisik dan mental dari ancaman,, gangguan, teror dan kekerasan dari pihak manapun, dan perlindungan tersebut diperoleh dari aparat penegak hukum dan aparat keamanan secara cuma-cuma. Dan bentuk-bentuk perlindungan perlindungan lebih lanjut diatur dalam PP Nomor 2 Tahun 2002,

123

Bambang Waluyo , Victimologi Perlindungan Korban dan Saksi, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hal. 62

124

(9)

dalam Pasal 4 PP ini dijabarkan tentang bentuk-bentuk perlindungan yaitu, sebagai berikut:125

a. Perlindungan atas keamanan pribadi korban atau saksi-saksi dari ancaman fisik dan mental;

b. Perahasiaan identitas korban dan saksi;

c. Pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka.

Dan atas setiap perlindungan tersebut, korban dan saksi tidak dikenakan biaya apapun.

5. Pengaturan Whistleblower atau Saksi dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

Dalam undang-undang tindak pidana pencucian uang terdapat istilah pihak

pelapor dan pelapor, sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 angka 11 “Pihak

Pelapor adalah setiap orang yang menurut undang-undang ini wajib menyampaikan laporan kepada PPATK”. Pihak pelapor yang dimaksud dalam undang-undang yaitu, dalam Pasal 17 dinyatakan sebagai berikut:126

a. Penyedia jasa keuangan meliputi: bank, perusahaan pembiayaan, perusahaan asuransi dan perusahaan pialang asuransi, dana pensiun lembaga keuangan, perusahaan efek, manajer investasi, kustodian, wali alamat, pegadaian, koperasi sinpan pinjam, dan lain sebagainya;

b. Penyedia barang dan/atau jasa lain, meliputi: perusahaan properti/ agen properti, pedagang kendaraan bermotor, pedagang permata dan perhiasan/ logam mulia, pedagang barang seni dan antik, atau balai lelang;

c. Dan pihak-pihak lain sebagaimana diatur dalam PP.

Pengungkap fakta yang hendak ditelusuri perlindungannya dalam undang-undang ini adalah mereka yang adalah karena kesadarannya mengungkapkan fakta

125

Bambang Waluyo , Op.cit, hal. 65

126

(10)

dugaan tindak pidana, dalam konteks tindak pidana pencucian tersebut hanyalah pelapor. Keberadaan pelapor dalam tindak pidana pencucian uang tidak didefinisikan secara tegas, namun dalam beberapa ketentuan pelapor ini dilindungin keberadaannya. Perlindungan tersebut diantaranya:127

a. Perahasiaan identitas

Hal ini diatur dalam Pasal 83 ditegaskan bahwa Pejabat dan pegawai PPATK, Penyidik, Penuntut Umum, atau hakim wajib merahasiakan Pihak Pelapor dan Pelapor. Kemudian Pasal 85 juga ditegaskan bahwa di sidang pengadilan, saksi, penuntut umum, hakim dan orang lain yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang yang sedang dalam pemeriksaan dilarang menyebutkan nama atau alamat pelapor atau hal-hal lain yang memungkinkan mengungkapkan identitas pelapor.

b. Perlindungan dari ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, termasuk keluarganya. Perlindungan ini diatur dalam pasal 84, yang menegaskan bahwa setiap orang melaporkan terjadinya dugaan tindak pidana pencucian uang wajib diberi perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, termasuk keluarganya. Dan Pasal 86 juga menyatakan bahwa setiap orang yang memberikan kesaksian melaporkan terjadinya dugaan tindak pidana pencucian uang wajib diberi perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, termasuk keluarganya. Dan Pasal 87 dinyatakan pelapor dan/atau saksi tidak

127

(11)

dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, atas laporan dan/atau kesaksian yang diberikan oleh yang bersangkutan.

Dalam undang-undang ini perlindungan bagi pelapor dan saksi diatur dalam Pasal 39-Pasal 41. Dalam pasal-pasal ini mengatur jenis dan bentuk perlindungan serta siapa yang wajib memberikan perlindungan. Pada intinya, perlindungan yang dimaksud adalah sebagai berikut:128

a. PPATK, Penyidik, Penuntut Umum, ataun Hakim wajib merahasiakan identitas pelapor. Jika dilanggar, maka pelapor atau ahli warisnya mempunyai hak untuk menuntut ganti kerugian;

b. Setiap orang yang melaporkan terjadinya dugaan tindak pidana pencucian uang, wajib diberi perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya termasuk keluarganya;

c. Di sidang pengadilan, saksi, penuntut umum, hakim, dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana pencucian uang yang sedang dalam pemeriksaan dilarang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memungkinkan dapat terungkapnyaidentitas pelapor;

d. Setiap orang yang memberi kesaksian dalam pemeriksaan tindak pidana korupsi, wajib diberi perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya termasuk keluarganya;

e. Pelapor dan/atau saksi tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana atas pelapor dan/atau kesaksian yang diberikan oleh yang bersangkutan.

6. Pengaturan Whistleblower atau Saksi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, perlindungan terhadap saksi dan korban baru diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlidungan saksi dan korban. Dalam undang-undang ini saksi didefinisikan masih

128

(12)

relatif sama dengan yang diatur dalam KUHAP yaitu sebagaimana diatur dalam

Pasal 1 angka 1, “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna

kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri”. Definisi saksi yang demikian tidak mengalami perubahan dan sama halnya yang diatur dalam KUHAP.

Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan perlindungan adalah segala upaya pemebuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan undang-undang.

Dalam undang-undang ini kepada saksi dan korban diberikan perlindungan secara langsung atau konkret dan secara tidak langsung atau abstrak. Perlindungan konkret atau langsung dalam Pasal 5 ayat (1), diantaranya:129

a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenan dengan kesaksian yang sedang, akan atau telah diberikannya;

b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;

k. Mendapat penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; l. Mendapat nasihat hukum;

m. Mendapat bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir;

129

(13)

n. Mendapat bantuan medis dan rehabilitasi psiko-sosial dalam pelanggaran HAM berat;

o. Melalui LPSK berhak mengajukan pengadilan berupa hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran HAM berat dan hak atas restitusi/ ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana (Pasal 7)

p. Dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung dipengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa kemudian dapat memberikan kesaksiannya secara tertulis yang disampaikan dihadapan pejabat yang berwenang dan membutuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksian tersebut serta dapat pula didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik (pasal 9).

Hal yang sangat diapresiasi dan merupakan implementasi dari undang-undang ini adalah dengan terbentuknya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahu 2006 dan Pasal 1 angka 6 PP Nomor 44 Tahun 2008 dijelaskan bahwa LPSK adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi dan/atau korban. Penjelasan singkatnya sebagai berikut:130

a. LPSK merupakan lembaga mandiri, berkedudukan di ibu kota negara RI dan dapat mempunyai perwakilan-perwakilan di daerah sesuai keperluan. b. LPSK bertanggung jawab menangani pemberian perlindungan dan bantuan

kepada saksi dan korban, LPSK bertanggung jawab kepada Presiden, LPSK membuat laporan secara berkala tentang pelaksanaan tugasnya kepada DPR paling sedikit sekali dalam setahun.

c. Keanggotaan terdiri dari 7 (tujuh) orang yang berasal dari unsur profesional yang mempunyai pengalaman di bidang hukum, HAM, Akademisi dan sebagainya, masa jabatan anggota LPSK 5 tahun, dimana anggotanya diangkat oleh persiden dengan persetujuan DPR, dan dapat diajukan kembali hanya 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. LPSK terdiri dari Pimpinan (Ketua dan Wakil Ketua merangkap anggota) dan anggota.

d. Sekretariat, yang membantu LPSK dalam pelaksanaan tugasnya.

Dalam undang-undang ini sebenarnya sedikit banyak sudah mengatur tentang Whistleblower, namun istilah Whistleblower atau padanan kata yang sesuai dengan Whistleblower dalam bahasa Indonesia juga belum diatur secara

130

(14)

spesifik. Namun dengan lahirnya undang-undang ini dianggap mewakili suara-suara mereka yang menajdi seorang pengungkap fakta, meskipun masih belum begitu efektif.

7. Pengaturan Whistleblower atau Saksi dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 076/KMA/SK/VI/2009 tentang Hak-hak Pelapor dan Terlapor

Dalam Surat Keputusan Mahkamah Agung ini yang langsung berisi beberapa poin penting tentang hak pelapor dan terlapor yaitu, sebagai berikut:131 a. Hak Pelapor, meliputi:

1) Mendapatkan perlindungan kkerahasiaan identitas;

2) Mendapatkan kesempatan untuk memberikan keterangan secara bebas tanpa paksaan dari pihak manapun;

3) Mendapatkan informasi mengenai tahapan laporan pengaduan yang didaftarkan;

4) Mendapatkan perlakuan yang sama dan setara dengan terlapor dalam pemeriksaan.

b. Hak-hak Terlapor, meliputi:

1) Membuktikan bahwa ia tidak bersalah dengan mengajukan saksi dan alat bukti lain;

2) Meminta berita acara pemeriksaan (BAP) dirinya.

8. Pengaturan Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Nota Kesepahaman serta Peraturan Bersama

131

(15)

a. Nota Kesepahaman antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dengan Kejaksaan RI

Pengaturan Nota Kesepahaman antara Lembaga Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dengan Kejaksaan RI Nomor NK-003/1.6/LPSK/IV/2011, Nomor Kep-069/A/JA/04/2011 tanggal 20 April 2011 tentang perlindungan saksi dan korban. Adapun tujuan nota kesepahaman ini adalah untuk mewujudkan terlaksananya aktivitas perlindungan, yaitu segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban dalam peradilan pidana serta penyelesaian bersama permasalahan hukum dibidang perdata dan tata usaha negara.132

b. Nota Kesepahaman antara Komisi Pemberantasan Korupsi RI dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

Pengaturan Nota Kesepahaman antara Komisi Pemberantasan Korupsi RI (KPK) dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Nomor: SPJ-12/01/08/2010, Nomor: Kep-066/1.6/LPSK/08/2010 tanggal 09 Agustus 2010 tentang Kerjasama dalam Pelaksanaan Perlindunga Saksi atau Pelapor. Adapun tujuan nota kesepahaman ini adalah agar para pihak (KPK dan LPSK) dapat bekerjasama dan berkoordinasi dalam memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor sebagai kewenangan yang ditentukan kewenangan undang-undang.133

132

Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower.…, Op.cit, hal. 86

133

(16)

c. Nota Kesepahaman antara Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

Pengaturan Nota Kesepahaman antara Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Nomor: NK-46/1.02/PPATK/04/2011, Nomor: NK 002/1.6/LPSK/IV/2011 tanggal 18 April 2011 tentang Kerjasama Pemberian Perlindungan kepada Pelapor, Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Pencucian Uang. Adapun maksud dan tujuan nota kesepahaman ini sebagai kerangka kerja sama dalam ragka pemberian perlindungan serta untuk menyiapkan, mensinkronisasikan, dan memberdayakan kemampuan guna melakukan pemberian perlindungan bagi pelapor, saksi dan/atau Korban tindak pidana pencucian uang.

d. Nota Kesepahaman antara Badan Narkotika Nasional dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

(17)

antara BNN dan LPSK dalam mewujudkan perlindungan kepada saksi, korban dan/atau pelapor secara konsisten guna memberikan rasa aman kepada saksi, korban dan/atau pelapor pada setiap tahap pada proses peradilan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika.

e. Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM RI, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian RI, Komisi Pemberantasan Korupsi RI, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor: M.HH-11.HM.03.02.th. 2011 Nomor: PER-045/A/JA/12/2011, Nomor: 1 Tahun 2011, Nomor: KEPB-02/01-55/12/2011 Nomro: 4 Tahun 2011 Tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.

B. Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower Tindak Pidana Korupsi

Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia

Hukum dibangun dan diciptakan oleh manusia atau negara dalam masyarakat, pasti mempunyai tujuan tertentu sebagai dasar filosofis pembentukannya. Begitu juga dengan hukum untuk melindungi Whistleblower, sebenarnya begitu banyak dasar filosofis dan juga mengingat begitu banyak hal yang menuntut pembentukan undang-undang untuk memberikan perlindungan bagi Whistleblower.

(18)

saksi, banyak kasus yang tidak terungkap akibat akibat tidak adanya saksi yang mendukung tugas penegak hukum. Padahal adanya saksi dan korban merupakan unsur yang sangat menentukan dalam proses peradilan pidana. Kasus-kasus yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan banyak disebabkan oleh saksi an korban yang takut memnerikan kesaksisan kepada penegak hukum karena mendapat ancaman dari pihak tertentu.134

Dalam banyak kasus, pelapor tidak dapat diketagorikan sebagai saksi (mendengar dan mengalami sendiri) namun laporannya sangat bermanfaat untuk mengungkap kejahatan. Dalam konteks mafia dalam sistem peradilan (Mafia in the judiciary system) atau mafia hukum pengungkapan suatu kejahatan yang

terorganisir atau kejahatan yang dilakukan oleh “orang dalam” yang turut serta

dalam kejahatan tersebut.135

Dan terkhusus untuk Whistleblower yang melaporkan tindak pidana korupsi, dimana dapat diketahui bersama bahwa yang terlibat dalam kasus-kasus korupsi adalah mereka orang-orang besar. Dan apabila ada yang melaporkan perbuatan pidana mereka, maka bagi sang pelapor akan sangat besar resikonya. Sehingga memang benar-benar diperlukan kekebalan dan dukungan hukum bagi para pengungkap fakta ini terkhususnya kasus-kasus karupsi. Dan seperti kasus yang sudah pernah terjadi pada Susno Duaji, niat baiknya untuk melaporkan kecurangan dan tindak pidana suap di Kepolisian RI, malah dibalas dengan

134 Dikutip Siswanto Sunarso dari pendapat Ahcmad Santoso, “Perlindungan Pemukul

Kentongan (Whistleblower), Urgensi Perubahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006” pada

FGD dan Kolsultasi Daerah, Revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Makasar, 28 September 2010.

135

(19)

menjadikan dia sebagai tersangka pada kasus lain. Dan akhirnya, bukan menyelesaikan laporannya, malah ia yang terlebih dahuli yang diproses.Contoh diatas menunjukkan adanya hal yang besar yang harus dihadapi oleh pengungkap fakta yaitu menghadapi ketidakpastian dan resiko dari pengungkapan informasi tentang dugaan kejahatan.

Hal dasar yang harus dipahami bersama adalah mengapa para pengungkap fakta ini perlu diberi perlindungan136, tentunya karena ada ancaman137. Dan perlindungan seperti apa yang diberikan oleh hukum dan siapa yang memberikan perlindungan tersebut. Perlindungan terhadap saksi dan/atau korban menurut Undang-Undang LPSK diberikan kepada saksi dan/atau korban dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan, untuk melindungi atas segala ancaman baik fisik maupun psikis.138 Berdasarkan aturan ini, maka perlindungan tersebut dilaksanakan pada tahap penyelidikan dan penyidikan oleh kepolisian RI, tahap penuntutan oleh Kejaksaan, dan tahap pemeriksaan sidang pengadilan oleh hakim. Peranan LPSK dalam memberikan perlindungan kepada saksi dan korban dilakukan dalam semua tahap proses peradilan pidana.139

Dan untuk para pengungkap fakta terkhususnya mereka yang mengungkap kasus korupsi harus mendapat perhatian khusus. Karena melihat kasus-kasus di

136

Dalam Pasal 1 angka 8 dijelaskan bahwa Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan undang-undang.

137

Pengertian Ancaman diatur dalam Pasal 1 angka 6 yang menjelaskan bahwa Ancaman adalah segala bentuk perbuatan yang menimbulkan akibat, baik langsung maupun tidak langsung sehingga Saksi dan/atau korban merasa takut atau dipaksa untuk melakukan sesuatu hal yang berkenaan dengan pemberian kesaksiannya dalam suatu proses peradilan pidana.

138

Dan dalam Pasal 8 Undang-Undang LPSK dikatakan bahwa perlindungan terhadap saksi dan/atau korban diberikan sejak tahap penyelidikan dimulai dan berakhir. Dan dalam keadaan tertentu perlindungan dapat diberikan sesaat setelah permohonan diajukan kepada LPSK.

139

(20)

Indonesia bisa sama-sama disaksikan bagaimana serangan balik dan ancaman yang diterima para pengungkap fakta tersebut.

Perlindungan hukum dapat diartikan sebagai setiap bentuk perlindungan yang diatur dan didasarkan oleh peraturan perundang-undangan berdasarkan kepastian hukum.secara umum makna atau pengertian perlindungan hukum dalam beberapa peraturan perundang-undangan diatur secara berbeda, diantaranya: menurut Pasal 1 PP Nomor 2 Tahun 2002 menyatakan bahwa,140“perlindungan adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik secara fisik maupun mental, yang diberikan pada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan/atau pemeriksaan di sidang pengadilan”. Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 2003 menyebutkan bahwa,141

“perlindungan adalah jaminan rasa aman yang diberikan oleh negara kepada

Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dari kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam perkara tindak pidana terorisme”.

Perlindungan hukum terhadap Whistleblower secara komprehensif seharusnya berlaku baik pada semua tahap peradilan (mulai dari tahap pelaporan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di persidangan) maupun setelah proses peradilan selesai. Hal ini disebabkan terkadang dalam kondisi tertentu pada suatu tindak pidana tertentu, ancaman dan teror bagi Whistleblower akan tetap mengikuti setelah proses peradilan pidana selesai. Munculnya dendam

140

Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower.…, Op.cit, hal. 99

(21)

kesumat terdakwa atau terpidana yang telah dilaporkan tindak pidananya, relatif dimungkinkan memunculkan ketidaknyamanan dan membuat bahaya bagi kehidupan Whistleblower yang terkait. Selain itu perlindungan hukum juga perlu diberikan tidak hanya kepada Whistleblower akan tetapi juga diberikan kepada keluarganya, karena keamanan dan kenyamanan keluarga mereka juga akan berpengaruh langsung bagi ketenangan dalam menjalankan fungsinya sebagai pengungkap fakta.

Dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

ditegaskan bahwa: “perlindungan terhadap saksi dan/atau korban diberikan sejak

tahap penyelidikan dimulai sampai berakhir.” Dimana dalam pasal ini diberikan

ketegasan bahwa setiap aparat penegak hukum berkewajiban untuk memberikan perlindungan kepada saksi dan/atau korban.

Dalam implementasi di lapangan khususnya dalam kegiatan penyidikan dan penyelidikan, menunjukkan kendala tertentu, yakni penegak hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana sering mengalami kesulitan karena tidak dapat menghadirkan saksi dan/atau korban, disebabkan adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu.142 Berdasarkan hal ini juga penting adanya undang-undang yang memberikan perlindungan bagi saksi dan korban di dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

142

(22)

Jaminan perlindungan kepada saksi (baik sebagai saksi sebagai korban maupun saksi bukan sebagai korban) sebagai bagian dari warga negara waji b diberikan oleh negara dalam proses penegakan hukum. Pasal 9 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik tahun 1966 mengajukan hak atas kebebasan dan keamanan seseorang. Hak ini diperkuat oleh pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (bersama dengan hak atas hidup) pasal 5 Konvensi Eropa dan pasal 7 Konvensi Amerika.

Istilah “hak atas kebebasan” yang dalam kata-kata lain seperti “kebebasan

untuk kebebasan”, terdengar seperti slogan abstrak. Tetapi istilah ini

mengimplikasikan kebebasan fisik dan meliputi kebebasan yang benar-benar konkret dan khusus dari penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang, hak yang sama kritisnya dengan sesuatu yang biasa dipermalukan di zaman sekarang. Setiap masyarakat menggunakan hukum dan lembaga-lembaga pidana untuk

mempertahankan ketertiban dan keadilan maupun untuk melindungi hak dari gangguan orang lain.

(23)

Kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan salah satu tonggak dari hak asasi manusia dan memiliki posisi penting bagi berbagai jenis hak dan kebebasan lainnya. Untuk hal itulah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB)

mengesahkan sebuah

Kovenan khusus mengenai ini dalam Konfrensi Kebebasan Informasi di Jen ewa 1948. Pembuatan formulasi dari pasal yang memuat kebebasan berpendapat dan berekspresi dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia itu melibatkan proses pengumpulan semua formulasi yang ada dalam konstitusi-konstitusi nasional seperti layaknya rancangan-rancangan yang dipersiapkan oleh asosiasi-asosiasi dan organisasi-organisasi umum, privat dan ilmiah; abstraksi dari semua elemen-elemen itu tidak hanya terlihat penting dalam sebuah instrument dunia tetapi kelihatannya juga dapat diterima secara menyeluruh.143

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pelapor dalam tindak pidana korupsi berbeda dengan pelapor dalam tindak pidana umum.144 Untuk tindak pidana korupsi diberikan kewenangan satu badan yang menerima informasi secara khusus yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dalam Pasal 41 ayat (3) diatur mengenai peran serta masyarakat untuk secara aktif memberkan laporan atau informasi atau pemberitahuan kepada

143

Rani A, “Perlindungan Hukum Bagi Saksi Pengungkap Fakta (Whistleblower) Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban”, Tesis, Pasca Sarjana Program Magister Universitas Sumatera Utara, 2012.

144

(24)

aparat penegak hukum akan, sedang atau telah terjadinya suatu tindak pidana korupsi. Secara fungsional masyarakat ditingkatkan perannya guna didistribusikan hak dan tanggung jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Sebagai apresiasi pemerintah terhadap pelibatan masyarakat yang berperan sebagai pelapor dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupi diberi penghargaan. Pelibatan masyarakat sebagai pelapor ini,secara normatif diatur secara terperinci dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang menyebutkan bahwa:145

(1) Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi;

(2) Peran serta dapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan dalam bentuk:

a. Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi;

b. Hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, mempeoleh dan memberikan informasi adanya dugaann telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;

c. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang mengani perkara tindak pidana korupsi; d. Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya

yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari;

e. Hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal:

1) Melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a,b, dan c;

2) Diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 3) Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai

tanggung jaab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi;

4) Hak dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam dalam ayat (2) dan (3) dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas

145

(25)

atau ketentuan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan menaati norma agama dan norma lainnya;

5) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masyarkat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Selain dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Pelapor tindak pidana korupsi juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak pidana

Korupsi, sebagaimana dalam Pasal 15 huruf (a) yang berbunyi: “memberikan

perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun

memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi”.146

1. Syarat Whistleblower Tindak Pidana Korupsi untuk Mendapat Perlindungan Hukum

Membahas mengenai syarat seorang Whistleblower (saksi pelapor/saksi pengungkap fakta) mendapat Perlindungan maka perlu dibahas kembali apa yang dimaksud Whistleblower. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014, mendefinisikan Whistleblower yaitu, orang yang memberikan informasi kepada penegak hukum mengenai terjadinya suatu tindak pidana (lihat penjelasan pasal 10 ayat 1). Sedangkan menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Whistleblower adalah seseorang yang melaporkan perbuatan yang berindikasi tindak pidana korupsi yang terjadi didalam organisasi tempat ia bekerja bekerja,

146

(26)

dan ia memiliki akses informasi yang memadai atas terjadinya indikasi tindak pidana korupsi tersebut.

Dari pengertian maka dapat disimpulkan bahwa apa yang dilakukan oleh orang yang berperan sebagai Whistleblower bukanlah merupakan suatu tindakan yang membocorkan rahasia jabatan tapi murni untuk menyelamatkan perekonomian Negara dari perilaku-perilaku koruptif. Lihat ketentuan pasal 322 KUHP yang berbunyi, barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencariannya, baik yang sekarang maupun yang terdahulu diancam dengan pidana penjaran paling lama 9 bulan. Bila dikaitkan dengan tugas Polri maka tujuan dilarangnya membocorkan rahasia jabatan agar operasi yang mereka lakukan dapat berjalan sesuai target sebagaimana ketentuan pasal 6 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota POLRI menyebutkan dalam pelaksanaan tugas dilarang membocorkan operasi kepolisian.147

Sepadan dengan itu mengenai profesi dokter dimana dokter dilarang membocorkan rahasia jabatan tujuan yaitu berkaitan dengan hak-hak pasien sebagaimana diatur dalam pasal 53 ayat 2 Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan dimana dijelaskan bahwa dokter dan perawat dalam melaksanakan tugasnya harus menghormati hak pasien yaitu hak informasi, hak untuk memberikan persetujuan, hak atas rahasia dokter.

147

(27)

Maka letak perbedaannya adalah kalau orang yang berperan sebagai Whistleblower murni untuk membongkar mafia, perilaku koruptif dan pelanggaran hukum, oleh karenanya apa yang dilakukan Whistleblower bukanlah merupakan tindakan membocorkan rahasia jabatan, karena rahasia jabatan merupakan perlindungan hak-hak yang dilindungi oleh Negara bukan melindungi kejahatan. Jadi intinya apa yang dilakukan oleh sang Whistleblower selama itu dalam rangkan membongkar mafia, melakukan pelanggaran hukum maka itu bukan merupakan tindakan membocorkan rahasia jabatan. Agar apa yang dilaporkan oleh sang Whistleblower tidak menjadi boomerang buatnya maka apabila ada ancaman terhadap dirinya yang maha dahsyat maka segera memohon perlindungan kepada lembaga perlindungan saksi dan korban.

Bila Whistleblower dalam ancaman yang sangat besar baik terhadap diri, keluarga maupun harta bendanya maka yang bersangkutan segara mungkin melaporkan kepada LPSK sebagai lembaga yang betugas dan memiliki kewenangan untuk memberikan perlindungan kepada saksi maupun korban dengan tata cara sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 29 Undang-Undang PSK yang berbunyi:148

1) Saksi dan/atau korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan secara tertulis kepada LPSK;

2) LPSK segera melakukan pemeriksaan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a;

3) Keputusan LPSK diberikan secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari sejak permohonan perlindungan diajukan

148

(28)

Setelah permohonan sampai ke LPSK, maka LPSK akan segera melakukan beberapa hal antara lain:

1) Menelaah dokumen;

2) Hasil penelaahan akan diputuskan dalam rapat paripurna lpsk yang dihadiri oleh seluruh anggota lpsk;

3) Apabila dinyatakan diterima, maka permohonan perlindungan akan ditindaklanjuti oleh bidang perlindungan atau bidang bantuan, kompensasi dan restitusi LPSK;

4) Sebelum mendapatkan pelayanan perlindungan, pemohon diminta untuk menandatangani surat penyataan kesediaan dan perjanjian perlindungan.

Sementara untuk mendapatkan layanan tersebut, pemohon harus mengikuti syarat-syarat yang sudah ditentunkan oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, syarat-syarat itu antara lain:149

1) Menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan saksi dan Korban;

2) Kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk memberikan kesaksian dalam proses peradilan;

3) Kesediaan saksi dan/atau korban untuk menaati aturan yang berkenaan dengan keselamatannya;

149

(29)

4) Kesediaan saksi dan/atau Korban untuk tidak berhubungan dengan cara apapun dengan orang lain selain atas persetujuan LPSK, selama ia berada dalam perlindungan LPSK;

5) Kewajiban saksi dan/atau korban untuk tidak memberitahukan kepada siapa pun mengenai keberadaannya di bawah perlindungan LPSK;

6) dan hal-hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK.

Upaya-upaya yang dilakukan oleh Whistleblower patut diacungkan jempol dan pantas mendapat penghargaan (reward) dan mendapat perlindungan secara hokum, hal ini dilakukan untuk membangkitkan semangat masyarkat agar mau dan tidak takut untuk membongkar kejahatan-kejahatn.Upaya yang dilakukan Whistleblower bisa dijadikan alasan untuk meringankan hukuman sebagaimana ketentuan pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 yang berbunyi, seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.

(30)

disampaikan oleh pelapor didahulukan disbanding laporan dari terlapor. Itulah bentuk perlindungan hukum bagi Whistleblower.

2. Perlindungan Whistleblower dalam Sistem Peradilan Pidana

Dalam Pasal 2 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dikatakan bahwa, undang-undang ini memberikan perlindungan kepada saksi dan korban pada setiap tahap proses peradilan pidana. Hal ini berarti bahwa setiap korban wajib dilindungi oleh setiap Aparat Penegak Hukum mulai dari tahap penyidikan oleh Kepolisian maupun Penyidik lainnya, kemudian pada tahap Penuntutan oleh Kejasaan ataupun Penuntut Umum dan pada tahap peradilan oleh Pengadilan. Dan selain itu, saksi dan korban juga berhak dilindungi setelah putusan pengadilan.

Dan dalam pasal 4 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dijelaskan bahwa yang menjadi tujuan pemberian Perlindungan Saksi dan Korban bertujuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan. Dan kembali lagi ditegaskan bahwa perlindungan itu wajib pada setiap proses peradilan pidana.150 Menurut Prof. Teguh wakil ketua LPSK mengatakan bahwa konsep Sistem Peradilan Pidana di Indonesia adalah sebagai berikut:151

a) Tujuan hukum pidana adalah untuk memberikan pengayoman dan kesejahteraan bagi masyarakatnya, sehingga pertanggungjawaban pidana

150

Siswanto Sunarso, Op.cit, hal. 255

151

(31)

selain melakukan penjatuhan sanksi hukuman yang relavan kepada pelaku kejahatan, juga memberikan perlindungan dan mengembalikan kondisi korban akibat tindak pidana yang terjadi;

b) Politik pemidanaan pada dasarnya selalu bertolak pada upaya perlindungan terhadap masyarakat dan individu, dalam hal ini perlindungan tertuju kepada korban kejahatan yang bersifat actual maupun potensial beserta keluarganya; dan

c) Oleh karena itu, proses peradilan pidana hendaknya selalu ditujukan pada upaya mencegah faktor kriminogen dan aspek viktimogen yang terjadi, serta upaya dan aktivitas untuk memberikan perlindungan serta reparasi dan/atau rehabilitasi kepada korban maupun lingkungannya.

Dari konsep yang disampaikan oleh Prof. Teguh tersebut menunjukkan bahwa peran Sistem Peradilan Pidana dalam mencapai suatu keadilan sangat penting. Dan terkhusus dalam memberikan perlindungan kepada Whistleblower perlu adanya keterpaduan kinerja dalam setiap proses.

Dan menurut Junimart Girsang ia juga memberikan tanggapan bagaimana seharusnya keterpaduan antara penegak hukum dalam membrikan perlindungan kepada Whistleblower dan Justice Collaborator, menurut beliau:152

152

(32)

a) Terlepas istilah yang dipakai, keterpaduan antaraparat penegak hukum itu kunci penting dalam penegakan hukum, termasuk dalam penanganan whistleblower dan justice collaborator.

b) Keterpaduan aparat penegak hukum roh criminal justice system atau Sistem Peradilan Pidana yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan/pemasyarakatan dan KPK untuk perkara korupsi.

c) Kepolisian memiliki tugas dan kewenangan dalam penyidikan, Kejaksaan melakukan penuntutan, KPK melakukan penyidikan-penuntutan, berlanjut di pengadilan, berakhir di lembaga pemasyarakatan.

Dan menurut Pasal 8 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini dinyatakan bahwa perlindungan dan hak saksi dan korban diberikan sejak tahap penyidikan dimulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan sebagaimana dalam undang-undang ini.

3. Bentuk-Bentuk Perlindungan Hukum terhadap Whistleblower

Berikut adalah Bentuk-Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Whistleblower tindak pidana korupsi dalam sistem peradilan pidana:

a. Perlindungan Terhadap Fisik dan Psikis

(33)

mereka, karena segala kenyamanan dan keamanan diri dan keluarganya akan menjadi taruhannya. Apalagi jika tindak pidana yang diungkapkannya adalah tindak pidana yang tergolong sebagai tindak pidana berat dan merupakan kejahatan terorganisir, yang notabenenya para aktornya utama dan intelektualnya adalah orang-orang berpengaruh dan memiliki massa atau pengikut yang besar serta memiliki kedudukan atau jabatan yang strategis di pemerintahan, sehingga sudah tentu intimidasi tidak hanya berasal dari pelaku maupun orang-orang yang tidak terima akan tindakan pengungkapan fakta oleh para Whistleblower.153

Oleh karena itu, merupakan sebuah koneksi logis bahwa pengorbanan para Whistleblower harus diapresiasi oleh hukum melalui kebijakan formulasi perlindungan terhadap rasa aman bagi mereka. Selain itu, mengingat pembongkaran fakta tentang tindak pidanan yang dilaporkan mereka akan menjadi sarana efektif bagi penegak hukum untuk menangani tindak pidana tersebut, terkhususnya kasus korupsi yang mengungkapkannnya begitu sulit. Dengan demikian komitmen penegak hukum untuk menangani dalam hal memberikan perlindungan terhadap rasa aman bagi para Whistleblower akan berdampak bagi efektifitas dan efesiensinya proses penyelesaian perkara pidana.

Perlidungan terhadap rasa aman yang dapat diberikan kepada Whistleblower dapat berupa perindungan terhadap fisik, dan psikis mereka. Perlindungan fisik dan psikis tersebut tidak hanya diberlakukan untuk keamanan pribadi berupa perlindungan dari segala macam teror, ancaman, kekerasan, tekanan, gangguan terhadap diri, jiwa, dan harta mereka dari pihak manapun,

153

(34)

tetapi juga harus meliputi jaminan perlindunan fisik dan psikis bagi keluarga mereka. Tegasnya, Whistleblower dapat lebih aman, tenang, nyaman serta tanpa beban/tekanan selama proses penyampaian laporan, informasi, kesaksian pada semua tahapan pemeriksaan peradilan. Dalam konteks perlindungan terhadap rasa aman, secara teknis diperlukan perlindungan fisik dan psikis Whistleblower serta keluarganya sedapat mungkin dapat disesuaikan dengan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 yang menegaskan bahwa seorang saksi dan korban berhak:

1) Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenan dengan kesaksian yang sedang, akan atau telah diberikannya;

2) Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;

12) Mendapat penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; 13) Mendapat nasihat hukum;

14) Mendapat bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir;

15) Mendapat bantuan medis dan rehabilitasi psiko-sosial dalam pelanggaran HAM berat;

16) Melalui LPSK berhak mengajukan pengadilan berupa hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran HAM berat dan hak atas restitusi/ ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana154;

154

(35)

17) Dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung dipengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa kemudian dapat memberikan kesaksiannya secara tertulis yang disampaikan dihadapan pejabat yang berwenang dan membutuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksian tersebut serta dapat pula didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik.

b. Penangan Khusus

Selain diberikan fasilitas perlindungan terhadap fisik dan psikis sebagaimana telah dijelaskan diatas, untuk mendukung upaya pemberian rasa aman terhadap Whistleblower yang memberikan kesaksian dipersidangan dimungkinkan diberikan penanganan khusus sebagaimana ketentuan Pasal 10 dan Pasal 10A Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.155

Ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 menyatakan bahwa:

1) Saksi, korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;

2) Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia tertanyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam rangka meringankan pidana yang akan dijatuhkan;

3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap sakksi, korban, dan pelapor yang memberikan keterangan tidak dengan itikad baik;156

155

Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower.…, Op.cit, hal. 102-103

156Dalam penjelasan Pasal 10, yang dimaksud dengan “itikad baik” adalah keterangan yang

(36)

Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Pasal 31 ayat (1) menyatakan bahwa dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana korupsi dilarang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahui identitas pelapor.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, dalam Pasal 15 menentukan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi berkewajiban memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi.

Dalam beberapa ketentuan yang disebutkan diatas, belum memadai mengatur bagaimana mekanisme pemberian perlindungan kepada pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerja sama karena Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sendiri tidak dapat menjangkau penegak hukum yang lain seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan serta Lembaga Pemasyarakatan.

(37)

sama dapat memberikan perlakuan khusus dengan antara lain memberikan keringanan pidana dan/atau bentuk perlindungannya lainnya.157

Whistleblower dapat berperan besar besar dalam mengungkap praktik-praktik koruptif lembaga publik, pemerintah maupun swasta. Oleh karena itu, implikasinya tanpa adanya sistem pelaporan dan perlindungan Whistleblower, partisipasi publik untuk membongkar dugaan tindak pidana menjadi rendah sehingga praktik penyimpangan, pelanggaran, atau kejahatan pun semakin meningkat. Akan tetapi, sebenarnya dimensi Whistleblower tidak hanya berorientasi sesuai konteks di atas.

Aspek ini lebih luas dapat dikatakan Whistleblower dari perspektif formulasi serta praktik menimbulkan dilema yaitu dalam posisi bagaiman seseorang ditempatkan sebagai Whistleblower. Hal ini berarti, dari perspektif sistem peradilan pidana Indonesia pada posisi dimanakah eksistensi seseorang dapat disebutkan sebagai Whistleblower apakah parsial ditingkat penyidikan, penuntutan, peradilan, ataukah kolaboratif pada semua tingkat tersebut dimungkinkan. Selain itu, dalam tataran kebijakan formulatif dan aplikatif pada masa kini (ius constitutum) terdapat adanya kekurangjelasan, kekurangtegasan, dan kekurangsempurnaan perlindungan hukum terhadap Whistleblower, pengaturan dibeberapa negara baik mengenai lembaga yang mengatur Whistleblower, pengaturan legislasi, mekanisme, dan lain sebagainya. Sehingga, konsekuensi logis dimensi demikian untuk masa mendatang (ius constituendum) diperlukan adanya sebuah konsep ideal perlindungan hukum terhadap

157

(38)

Whistleblower dalam rangka menanggulangi tindak pidana korupsi di Indonesia.158

c. Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum yang dimaksud dalam sub bab ini adalah

perlindungan terhadap “status hukum”, sebagaimana yang dimaksud dalam PP

Nomor 71 Tahun 2000. Adapun bentuk perlindungan terhadap status hukum ini secara teknis diantaranya adalah tidak dilanjutkannya terlebih dahulu laporan pencemaran nama baik oleh tersangka tindak pidana korupsi terhadap saksi pelapor sebelum ada proses hukum terhadap kasus korupsi itu selesai terlebih dahulu.

Tegasnya, dengan kata lain proses hukum kasus korupsi harus didahulukan daripada tuntutan pencemaran nama baik oleh tersangka terhadap saksi pelapor tindak pidana korupsi. Namun perlindungan terhadap “status hukum” tersebut dibatalkan apabila dari hasil penyelidikan dan penyidikan terdapat bukti cukup yang memperkuat keterlibatan saksi pelapor dalam tindak pidana korupsi yang dilaporkan dan disaksikannya tersebut. Dalam hal ini terhadap saksi pelapor yang demikian hanya diberikan perlindungan terhadap rasa aman selama proses pemeriksaan peradilan pidana korupsi.159

Pengaturan perlindungan terhadap status hukumyang diatur dalam PP Nomor 71 Tahun 2000 senada dengan pengaturan yang ada dalam Pasal 10 ayat

158

Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower.…, Op.cit, hal. 107

159

(39)

(1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun

2014, yang menyebutkan bahwa: “Saksi, korban, dan pelapor tidak dapat dituntut

secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya”. Menurut Iman Thurmudi, Pasal ini menerapkan konsep protection of cooperating yang merupakan kebijakan hukum pidana (penal policy) yang sudah sangat tepat mengingat untuk pembuktian suatu tindak pidana yang dilakukan modus operandi yang sistematis dan terorganisir. Tugas yang dirasa berat oleh penuntut umum atau polisi jikalau dalam suatu tindak pidana sangat sulit untuk mengumpulkan alat bukti berupa saksi yang melihat sendiri, mendengar sendiri, dan mengalami sendiri suatu tindak pidana bahwa pelaku melakukan perbuatannya dengan rapi dan terorganisir. Selain itu, sering kai terjadi serangan balik dari pelaku utama suatu tindak pidana ketika mereka dilaporkan oleh Whistleblower dengan jalan melaporkan tindak pidana pencemaran maupun tindak pidana kurang menyenangkan, bahkan ada juga yang dilaporkan baik secara pidana maupun perdata.

(40)

laporan yang disampaikan oleh pelapor tindak pidana didahulukan dibanding laporan dari terlapor.

Didalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 telah memberikan mandat kepada LPSK untuk memastikan perlindungan terhadap Whistleblower agar kesaksian dan laporannya tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata. Akan tetapi, dalam praktiknya rumusan pasal ini belum memberikan pengertian jelas, baik persyaratannya maupun implementasinya. Selama ini beberapa persoalan yang biasa muncul antara lain, sering muncul pertanyaan, dalam hal ini apa saja saksi pelapor tidak dapat dituntut secara hukum pidana maupun perdata atas laporan yang telah diberikannya? Pengertian soal persyaratan seorang pelapor yang dilindungi atau dalam pengungkapan atau pelaporan, atau persyaratan menyangkut kriteria kasus dan mengenai kontribusi dari pelapor tersebut, juga belum jelas diatur.

d. Penghargaan

(41)

pelaku, penghargaan terhadap mereka yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, salah satunya dalam PP Nomor 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Pasal 42 disebutkan bahwa:160

1) Pemerintah memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat yang telah berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana korupsi.

2) Ketentuan mengenai penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal ini menjelaskan bagaimana berharganya seorang Whistleblower dan patut diberikan penghargaan atas apa yang telah mereka lakukan.

Hakikat Whistleblower di Indonesia terdapat dalam PP Nomor 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan sebagai orang yang memberi informasi kepada penegak hukum atau komisi mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi dan bukan pelapor. Quentin Dempster menyebut Whistleblower sebagai orang yang mengungkapkan fakta kepada publik mengenai sebuah skandal, bahaya malpraktik, atau korupsi.161

Penghargaan yang diberikan terhadap Whistleblower telah sesuai sebagaimana yang diamanatkan Pasal 10 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13

160

Nurul Ghufron, Op.cit, hal. 75

161

(42)

Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang dilaksanakan oleh LPSK, walaupun masih belum sesuai dengan harapan banyak pihak, yang menginginkan bahwa seorang Whistleblower dibebaskan dari segala tuntutan pidana atau divonis dengan seringan-ringannya sebagai wujud penghargaan atas pengorbanan yang telah dilakukan dengan mengungkapkan adanya tindak pidana ke publik atau kepada pihak yang berwenang (penegak hukum).162

162

(43)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Kesimpulan yang diperoleh dari skripsi ini dan pembahasan terhadap 2 (dua) masalah pokok tersebut di atas adalah sebagai berikut:

1. Adapun peran Whistleblower dalam memberantas tindak pidana baik di Indonesia maupun di luar negeri, memang sangat berperan penting. Di Indonesia sendiri, banyak kasus-kasus yang terungkap dengan kehadiran seorang Whistleblower yang membantu aparat penegak hukum dalam memberantas tindak pidana korupsi tersebut. Seperti Whistleblower Susno Duaji, Vincentius, dan lain-lain. Sedangkan peran Whistleblower di luar negeri bisa dilihat peran dari Whistleblower di Amerika Serikat ada Pengungkap Skandal Enron yaitu Sherron Watskin dan di Australia ada John McLennan sang Pengungkap Fakta Surat-surat Westpac Banking Corporation Australia, dan masih banyak tokoh-tokoh lainnya yang berhasil membongkar kejahatan-kejahatan besar dan juga melibatkan orag-orang penting.

2. Perlindungan hukum yang diberikan terhadap Whistleblower dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia terdapat dalam:

a. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban;

(44)

c. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi;

d. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang;

e. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuaan Bagi Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku;

f. Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 076/KMA/SK/VI/2009 tentang Hak-hak Pelapor dan Terlapor;

g. Nota Kesepahaman serta Peraturan Bersama, yaitu:

1) Nota Kesepahaman antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dengan Kejaksaan RI;

2) Nota Kesepahaman antara Komisi Pemberantasan Korupsi RI dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban;

3) Nota Kesepahaman antara Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban;

4) Nota Kesepahaman antara Badan Narkotika Nasional dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban;

(45)

Tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.

B. Saran

Adapun saran dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Perlu mengatur dengan tegas Selain apa yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban untuk memberikan perlindungan terhadap saksi pelapor (Whistleblower) tindak pidana korupsi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juga perlu mengatur dengan tegas dalam pasal tersendiri mengenai eksistensi perlindungan hukum terhadap Whistleblower tindak pidana Korupsi;

Referensi

Dokumen terkait

Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi , Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, h.1... mengungkapkan fakta suatu tindak pidana korupsi jika dirinya, keluarganya dan

Kendala dalama Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pelapor dalam Peradilan Tindak Pidana Korupsi. Kendala

Saksi dan atau korban berhak didampingi oleh penasihat hukum untuk mendapatkan nasihat-nasihat hukum (Pasal 5 Ayat (1) i); bentuk perlindungan hukum bagi saksi, korban,

Dalam memberantas korupsi, Indonesia telah memiliki sejumlah payung hukum yang menjadi dasar legitimasi bagi pemberantasan korupsi di Indonesia, diantaranya, Undang-undang

Abdul Haris Semendawai, Revisi Undang-Undang No.13 tahun 2006, Momentum Penguatan Perllindungan Saksi dan Korban, Perlindungan Jurnal saksi dan Korban, Volume 1 Tahun

Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi , Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, h.1... mengungkapkan fakta suatu tindak pidana korupsi jika dirinya, keluarganya dan

Hambatan-hambatan perlindungan hukum bagi keberadaan Whistleblower dan Justice Collaboratos pada pengungkapan korupsi yang berbasis nilai keadilan, diketahui dari sisi substansi

31 Tahun 2014 menyebutkan dalam rangka menumbuhkan partisipasi masyarakat yang mengungkap tindak pidana, perlu diciptakan iklim kondusif dengan cara memberikan perlindungan hukum