• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pemaparan Asap Rokok Herbal Dan Asap Rokok Mild Terhadap Mikrostruktur Hati Mencit (Mus musculus L.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Pemaparan Asap Rokok Herbal Dan Asap Rokok Mild Terhadap Mikrostruktur Hati Mencit (Mus musculus L.)"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rokok

2.1.1 Asal Usul Rokok

Rokok pertama kali ditemukan oleh suku bangsa Indian di Amerika, untuk keperluan ritual seperti memuja dewa atau roh. Pada abad 16, ketika bangsa Eropa menemukan benua Amerika, sebagian dari para penjelajah Eropa mencoba menghisap rokok dan kemudian membawa tembakau ke Eropa. Kebiasaan merokok mulai muncul dikalangan bangsawan Eropa. Tapi berbeda dengan bangsa Indian yang merokok untuk keperluan ritual, di Eropa orang yang merokok untuk kesenangan. Abad 17 Masehi, para pedagang Spanyol masuk ke negara Turki, dan pada saat itu kebiasaan untuk merokok mulai menyebar dan meluas sampai ke negara Asia (Jaya, 2009).

(2)

rokok filter (RF) yaitu rokok yang pada bagian pangkalnya terdapat gabus dan rokok non filter (RNF) yaitu rokok pada bagian pangkalnya tidak terdapat gabus.

Bentuk rokok seperti kronus merupakan bentuk rokok yang dimiliki Indonesia sejak zaman Mataram sampai zaman mulai diproduksi rokok kretek dan hingga sekarang untuk kretek tangan dan jenis rokok lainnya. Bentuk ujung rokok kronus yang dibakar sebagai dapur membesar, sedangkan ujung rokok yang diisap menyempit, bahkan tidak berisi tembakau atau cengkeh yang digunakan sebagai filter atau penyaring bahan yang berbahaya di dalam asap rokok yang diisap. Akibat adanya penyempitan rokok maka dengan berbagai proses fisik dan kimia terbentuk partikulat, semakin lama semakin tinggi sehingga dapat berbentuk seperti filter penyaring (Sitepoe, 2000).

2.1.2 Kandungan dan Bahaya Rokok

(3)

Nikotin dalam asap rokok tidak hanya masuk ke dalam tubuh perokok aktif tapi juga masuk ke dalam tubuh perokok pasif. Nikotin dalam asap rokok dengan cepat diabsorpsi dari paru-paru ke dalam darah dan hampir sama efisiensinya apabila diberikan secara intravena. Senyawa ini mencapai otak dalam waktu 8 detik setelah inhalasi. Nikotin dalam jangka waktu lama terakumulasi dalam pembuluh darah dan mengakibatkan terjadinya penyempitan pembuluh darah. Selain itu, kemungkinan Nikotin sudah termetabolisme di dalam hati, karena pembuluh darah saling berkaitan membawa darah yang terikat dengan senyawa Nikotin masuk ke dalam pembuluh darah hati dan menetralisir senyawa yang masuk ke dalam hati (Gilman et al., 1991).

2.1.3 Rokok Herbal

Rokok herbal terbuat dari ramuan herbal yang diolah menjadi campuran tembakau. Campuran ini mampu menetralkan kandungan Tar dan Nikotin dalam produk rokok herbal sehingga kandungan Tar dan Nikotin yang terdapat dalam rokok herbalrendah. Namun perbandingan antara Tar dan Nikotin sangat berbeda, kandungan Nikotin yang terdapat dalam rokok herbal hampir mencapai 0% sedangkan nilai Tar menunjukkan nilai yang tinggi. Tingginya angka Tar dalam produk bukan diukur berdasarkan berat material asap rokok serta kandungan racun yang terdapat dalam rokok herbal seperti standar pengukuran internasional, melainkan diukur dari kandungan herbal yang menjadi komposisi baku rokok herbal itu sendiri. Adapun kandungan yang terdapat di rokok herbal ini adalah daun sirih (Piper betle Lynn.), kayu siwak, madu, teh hijau (Green tea), jati Belanda, bunga Rosella, dan Srigunggu / Sengugu (Anonimus, 2010).

2.1.4 Rokok Mild

(4)

rendah. Namun bukti-bukti penyelidikan dari berbagai institusi kesehatan seperti National Cancer Institute dan Harvard School of Public Health, Amerika Serikat menunjukkan bahwa kandungan Nikotin yang dihisap oleh perokok dari rokok jenis ‘light’ tidak berbeda dibanding dengan rokok biasa (Razak, 2007).

2.1.5 Kandungan Rokok Herbaldan Rokok Mild

Rokok yang umum dikonsumsi memiliki campuran yang tidak dicantumkan, namun komposisi pada rokok herbaldicantumkan dan campuran yang digunakan. Berbeda halnya dengan rokok mild, yang dikatakan memiliki Nikotin yang rendah namun pada dasarnya, Nikotin yang rendah merupakan hal yang berbahaya karena dengan mengkonsumsi Nikotin dapat membawa kecanduan walau hanya dengan mengkonsumsi dengan kadar yang rendah. Berdasarkan komposisi yang terdapat pada bungkus rokok, perbedaan kandungan rokok dan asap rokok dapat dilihat pada Tabel 2.1 di bawah ini:

Tabel 2.1 Kandungan Rokok Herbaldan Rokok Mild

No. Sampel Yang Digunakan Komposisi

Tar Nikotin

1. Rokok Herbal 45,6 mg 0,1 mg

2. Rokok Mild 14 mg 0,8 mg

Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa kadar Tar dari rokok herbal lebih banyak daripada rokok mild. Jika dibandingkan berdasarkan kadar Tar antara rokok herbaldan rokok milddapat disimpulkan bahwa rokok herbal merupakan rokok yang berbahaya karena rokok yang mengandung tar lebih banyak, lebih berbahaya. Hal ini dikarenakan di dalam Tar dijumpai kanserogenik: polisiklik hidrokarbon aromatis yang memicu kanker paru. Tar ini berasal dari tembakau, cengkeh, pembungkus rokok, dan bahan organik lain yang dibakar, sebab Tar hanya dijumpai pada rokok yang dibakar (Sitepoe, 2000).

(5)

terdapat dalam rokok herbal, seperti standar pengukuran internasional, melainkan diukur dari kandungan herbal yang menjadi komposisi baku rokok herbal itu sendiri. Secara standar internasional, jika nilai Tar menunjukkan angka yang tinggi maka akan menimbulkan efek nafas yang terasa berat, sesak dan sakit di dada, sebaliknya dalam rokok herbal tingginya angka Tar justru memberikan efek terapi kesehatan, yaitu dengan membantu mengurangi racun yang terdapat di dalam paru-paru. Sedangkan kadar Nikotin pada rokok herbal lebih sedikit daripada rokok mild, hal ini dikarenakan Nikotin rendah pada rokok herbal dibuat untuk membantu mengurangi kecanduan merokok pada perokok (Aninomous, 2010). Jumlah Nikotin yang terdapat pada rokok dapat menyebabkan proses ketergantungan (ketagihan) pada perokok, hal ini dikarenakan Nikotin bersifat toksis terhadap jaringan syaraf, juga menyebabkan tekanan darah sistolik dan diastolik mengalami peningkatan (Sitepoe, 2000).

2.2 Organ Hati

2.2.1 Anatomi Dan Histologi Hati

Hati terdiri dari sejumlah besar lobulus hepatika yang tampak berbentuk heksagonal. Masing-masing berdiameter sekitar 1 mm dan mempunyai vena intralobular sentral kecil. Di sekitar tepi lobulus terdapat kanal portal, masing-masing berisi satu cabang arteri hepatika, dan satu duktus empedu kecil. Ketiga struktur ini bersatu dan disebut triad porta (Watson, 1995).

(6)

celah Disse, dan dengan permukaan hepatosit lain. Permukaan hepatosit yang menghadap celah Disse mengandung banyak mikrovili yang menonjol ke dalam celah antara vili tersebut dengan sel-sel dinding sinusoid yang dapat dilihat pada Gambar 2.1 (Junqueira dkk., 1997).

Gambar 2.1 Histologi Hati. Keterangan: a. Sel Kupffer, b. Sel hati, c. Sinusoid, d. Bile kanalikuli, e. Hepatic artery perifer, f. Duktus biliaris, g. Hepatic portal vein

Hepatosit memiliki banyak retikulum endoplasma kasar dan halus. Retikulum endoplasma kasar yang terdapat di dalam hepatosit membentuk agregat yang tersebar dalam sitoplasma, agregat ini seringkali disebut badan basofilik yang mensintesis protein seperti albumin darah dan fibrinogen. Sedangkan retikulum endoplasma halus dari hepatosit bertanggung jawab atas proses oksidasi, metilasi, dan konjugasi yang diperlukan untuk menonaktifkan atau mendetoksifikasi berbagai zat sebelum diekskresi tersebar secara difusi di dalam sitoplasma dan memiliki sistem labil yang segera bereaksi terhadap perubahan dalam lingkungan (Junqueira dkk., 1997).

Sitoplasma hepatosit bersifat eosinofilik, terutama karena banyaknya mitokondria dan sejumlah retikulum endoplasma halus. Hepatosit yang terletak pada jarak berbeda dari triad portal menampakkan ciri struktural, histokimia, dan biokimia yang bervariasi. Permukaan setiap sel hati berkontak dengan dinding a

(7)

sinusoid melalui celah Disse, dan dengan permukaan hepatosit lain. Tempat 2 hepatosit saling bertemu terbentuk celah tubular diantaranya yang dikenal sebagai kanalikulus biliaris. Kanalikuli merupakan bagian pertama dari sistem saluran empedu, yang dibatasi oleh membran plasma 2 hepatosit dan memiliki sedikit mikrovili pada bagian dalamnya (Junqueira dkk., 1997).

Hati memiliki kemampuan regenerasi yang besar. Daya regenerasi hati setelah mengalami luka sangat tinggi. Proses regenerasi tergantung pada sifat luka, tetapi sel-sel hati yang masih ada mempunyai daya hipertrofi dan hiperplasia. Duktus biliaris juga aktif berpoliferasi (Leeson dkk., 1996). Hilangnya jaringan hati akibat tindakan bedah atau oleh kerja substansi toksik memicu mekanisme yang merangsang sel-sel hati membelah, sampai massa jaringan aslinya pulih kembali. Akan tetapi, apabila kerusakan tersebut terjadi berulang-ulang atau terus menerus akan terbentuk banyak jaringan ikat bersama regenerasi sel hati. Kelebihan jaringan ikat berakibat kacaunya struktur hati, suatu keadaan yang dikenal sebagai sirosis. Pada keadaan tersebut fungsi hati terganggu karena jaringan parut (kolagen) tidak hanya mengambil tempat hepatosit fungsional tetapi juga mengacaukan sistem vaskular hati dan sistem saluran empedu (Junqueira dkk., 1997).

Struktur mikroskopis dari hepar meliputi lobulus hati, sinusoid hati, parenkim hati, dan kanalikuli biliaris.

a. Lobulus hati

(8)

didasarkan pada pola histologis non fungsional, sedangkan deskripsi zonal dari acinus didasarkan pada struktur mikro fisiologis (Douidar et al., 1992). Zona III merupakan zona pasif, aktivitas sel-selnya rendah dan tampak aktif bila kebutuhan meningkat. Lobulus hati sebagai kesatuan histologis berbentuk prisma poligonal, diameter 1-2 mm, penampang melintang tampak sebagai heksagonal dengan pusatnya vena sentralis dan sudut-sudut luar lobuli terdapat kanalis porta (Gambar 2.2) (Leeson dkk., 1996 & Junqueira dkk., 1997). Zona III merupakan daerah sekitar vena hepatik yang berisi sel-sel yang kurang aktif dalam sintesis protein dan sintesis glikogen. Zona III ini mengandung konsentrasi tinggi dari enzim biotransformasi dari sistem oksidase campuran (Douidar et al., 1992).

Gambar 2.2 Skema Lobulus Hati, Asini Hati, dan Lobulus Porta. Lobulus hati terdiri dari vena sentralis (CV), dan memiliki garis yang menghubungkan celah portal (PS). Zona-zona asinus hati diberi angka Romawi I, II, dan III. (Junqueira dkk., 1997)

(9)

bentuk lemak, dan tingkat keracunan dengan tingginya konsentrasi dari sistem enzim biotransformasi pada zona III (Douidar et al., 1992).

b. Sinusoid hati

Sinusoid hati merupakan pembuluh yang melebar secara tidak teratur, terdiri atas sel-sel endotel bertingkat yang membentuk lapisan tidak utuh. Diameter tingkat kira-kira 100 nm dan berkelompok membentuk lempeng penyaring (Junqueira dkk., 1997).

c. Parenkim hati

Parenkim atau sel-sel hati tersusun dalam rangkaian lempeng-lempeng, atau lembaran-lembaran bercabang-cabang dan beranastomosis membentuk labirin dan diantaranya terdapat sinusoid. Lempeng-lempeng ini secara radial bermula dari tepi lobulus menuju ke vena sentralis sebagai pusatnya. Sel hati berbentuk poligonal dengan enam atau lebih permukaan, berukuran sekitar 20-35 µm. Inti bulat atau lonjong dengan permukaan teratur dan besarnya bervariasi dari sel satu dengan lainnya. Masing-masing inti berbentuk vesikuler dengan granula kromatin tampak jelas dan tersebar dengan satu atau lebih anak inti (Lesson dkk., 1996).

d. Kanalikuli Biliaris

Kanalikuli biliaris kadang-kadang tampak pada sajian HE sebagai rongga kecil di antara sel hati yang bersebelahan, tetapi dapat lebih baik diperlihatkan dengan pulasan khusus, misalnya reaksi Gomori untuk fosfatase alkali atau dengan impregnasi perak. Kanalikuli biliaris berbentuk jala-jala tiga dimensi di antara sel-sel hati. Dinding kanalikuli biliaris terdiri atas sel-sel hati. Pada bagian perifer lobulus, sel-sel parenkim yang membentuk dinding kanalikuli biliaris secara bertahap diganti dengan sel kecil jernih dengan inti gelap dan organel yang tidak sempurna. Sel ini disebut sel duktus (Lesson dkk., 1996).

(10)

oksigen dari sistem arteri. Arteri dan vena hepatika ini bercabang menjadi pembuluh-pembuluh yang lebih kecil membentuk jaringan kapiler di antara sel-sel hati yang membentuk lamina hepatika. Jaringan kapiler tersebut kemudian mengalir ke dalam vena kecil di bagian tengah lobulus, yang mempunyai vena hepatik. Pembuluh ini membawa darah dari kapiler portal dan darah yang mengalami dioksigenasi yang telah dibawa ke hati oleh arteri hepatika sebagai darah yang telah dioksigenasi (Watson, 1995).

Selain dari sel-sel hati, sinusoid vena dilapisi oleh dua tipe sel yang lain yaitu sel endotel khusus dan sel Kupffer besar, yang merupakan makrofag jaringan, yang mampu memfagositosis bakteri dan benda asing lain dalam darah sinus hepatikus. Lapisan endotel sinusoid vena mempunyai pori yang sangat besar, beberapa diantaranya berdiameter hampir 1 µm. Di bawah lapisan ini, terletak di antara sel endotel dan sel hati, terdapat ruang jaringan yang sangat sempit yang disebut ruang Disse yang menghubungkan pembuluh limfe di dalam septum interlobularis. Ruang Disse memiliki mikrovili dari hepatosit yang mengakibatkan cairan darah dengan mudah mengalir dan menapis melalui dinding endotel dan berkontak langsung dengan permukaan hepatosit yang memungkinkan pertukaran makromolekul dengan mudah dari lumen sinusoid ke sel hati dan sebaliknya. Secara fisiologis banyak makromolekul yang dicurahkan ke dalam hepatosit oleh darah dan mengkatabolisasi molekul tersebut (Guyton & Hall 1997 dalam Dewi, 2010).

2.2.2 Metabolik Hati dan Kerusakannya

(11)

peka misalnya otak, mengolah makanan melalui pemecahan karbohidrat yang diabsorbsi sebagai glukosa dan disimpan dalam hati sebagai glikogen, dan mensintesa protein untuk membuat protein khusus seperti albumin dan fibrinogen yang berfungsi untuk pembekuan darah (Sibuea dkk., 1992).

Perubahan struktur yang terjadi pada kerusakan hati dapat berupa inflamasi (hepatitis), degenerasi dan penimbunan intaseluler, nekrosis, fibrosis, dan sirosis. Inflamasi merupakan jejas pada hepar karena masuknya sel radang akut atau kronik. Reaksi granuloma dapat dicetuskan oleh benda asing, organisme, atau akibat langsung toksin dari obat (Crawford 2005 dalam Amalina, 2009).

Degenerasi dan penimbunan intraseluler cedera karena toksik dapat menyebabkan pembengkakan dan edema hepatosit. Pada degenerasi hidropik tampak sel-sel yang sitoplasmanya pucat, bengkak dan timbul vakuola di dalam sitoplasma, karena penimbunan cairan. Hepatotoksik dan obat juga dapat menyebabkan penimbunan tetesan lipid (steatosis). Hati secara mikroskopis terlihat gambaran vakuola lemak kecil dalam sitoplasma di sekitar inti (mikrovesikular steatosis), yang dapat berlanjut membentuk vakuola besar yang mendesak inti ke tepi sel (makrovesikular steatosis). Dalam hati, penimbunan lemak ringan dapat tidak berpengaruh pada penampakan makro. Pada manusia bila penimbunan progresif, hepar membesar dan bertambah kuning, pada keadaan ekstrim, hati dapat seberat 3-6 kg dan berubah menjadi hepar yang kuning, lunak, dan berminyak (Robins & Kumar 1995 dalam Amalina, 2009).

(12)

Nekrosis, adalah kematian sel atau jaringan pada organisme hidup. Inti menjadi lebih padat (piknotik) yang dapat hancur bersegmen-segmen (karioreksis) dan kemudian sel menjadi kariolisis. Lesi mungkin bersifat nekrosis fokal yaitu kematian sebuah sel atau kelompok kecil sel dalam satu lobus; nekrosis zonal yaitu kerusakan sel hepar pada satu lobus. Nekrosis zonal dapat dibedakan menjadi nekrosis sentral, midzonal, dan perifer. Nekrosis masif, yaitu nekrosis yang terjadi pada daerah yang luas. Nekrosis pembentukan jembatan (bridging necrosis), yaitu dengan jejas inflamasi yang lebih berat, nekrosis hepatosit dapat

menjangkau lobus yang berdekatan dengan cara porta ke porta, porta ke sentral, atau sentral ke sentral (Crawford 2005 dalam Amalina, 2009).

Fibrosis terjadi sebagai respon terhadap radang atau akibat langsung toksin pada jaringan. Fibrosis yang berkepanjangan menyebabkan sirosis. Pada sirosis, morfologi hati tampak makronoduler, mikronoduler, atau campuran. Bila berlangsung progresif, hati menjadi berwarna coklat, tidak berlemak, mengecil, terkadang berat hati kurang dari 1 kg (Crawford 2005 dalam Amalina, 2009).

Gambar

Gambar 2.1  Histologi Hati. Keterangan: a. Sel Kupffer, b. Sel hati, c. Sinusoid, d. Bile kanalikuli, e
Gambar 2.2

Referensi

Dokumen terkait

Jika anak pada lingkungan orang-orang terpelajar yang baik, mereka mendidik dan menyokolahkan anak-anaknya, antusias dengan cita-cita yang luhur akan masa depan

Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa kemauan untuk meningkatkan keberadaan sistem dan mengembangkan sistem bagi pembuat keputusan berhubungan positif dengan kualitas

Sedangkan tujuan penelitianini adalah (1) Untuk mengetahui pengaruh tingkat pendidikan, status kepemilikan lahan, dan jam kerja secara signifikan terhadap pendapatan

Begitu juga saat saya mulai bertanya tentang konsep toboto yang dipelihara oleh bissu , beberapa tetuah adat sangat menyayangkan dengan isu yang digulirkan

Modul aplikasi ini dibuat sedemikian rupa, sehingga pemakai yang belum pernah menyentuh piano sekali pun akan dapat belajar piano dengan baik. Secara urut, menu utama terdiri

Dalam pembuatan aplikasi perhitungan pembagian harta warisan ini, penulis menggunakan bahasa pemrograman Visual Basic 6.0 yang terdiri dari beberapa form yaitu form pertama yaitu

SENSOR STRAIN GAUGE MELALUI MEDIA BLUETOOTH SMARTPHONE DESIGNING OF PULSE SENSOR USING STRAIN GAUGE WITH MEDIA,” e-Proceeding Eng.. Ratryana, “Monitoring Heart Rate dengan

Simpulan : Di Kelurahan Kleak Kecamatan Malalayang Kota Manado terdapat 5 jenis TDR dari famili Pyroglyphidae, Glycyphagidae, Acaridae, Cheyletidae, dan