• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kampung Susuk (Etnografi Mengenai Kehidupan Pemukim di Pinggiran Kampus)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kampung Susuk (Etnografi Mengenai Kehidupan Pemukim di Pinggiran Kampus)"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pertambahan penduduk dalam suatu wilayah perkotaan selalu diikuti oleh

peningkatan kebutuhan akan ruang. Kota secara geografis selalu mengalami

perubahan dari waktu ke waktu. Namun, tanah yang ada selalu mempunyai luas yang

tetap dan karena secara administratif wilayah kota terbatas, maka dalam

perkembangannya untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin bertambah

maka pembangunan akan bergerak kepinggiran kota. Sebagai daerah pemekaran,

sehingga pinggiran kota berada dalam tekanan kegiatan perkotaan yang meningkat

dan berdampak pada perubahan fisik di sekitarnya.

Perluasan sifat kekotaan ini banyak mengubah tata guna lahan di daerah

pinggiran, terutama yang langsung berbatasan dengan kota, akibatnya banyak daerah

hijau yang berubah menjadi pemukiman. Pada perkembangannya, pembangunan ke

arah pinggiran kota mengakibatkan adanya penambahan ruang yang bersifat kekotaan

di daerah pinggiran kota yang disebut dengan perkembangan horizontal sentrifugal

(Yunus :2005), mengemukakan bahwa perkembangan daerah pinggiran kota

dipengaruhi oleh enam deteremin, yaitu aksesibilitas, pelayanan publik, karakteristik

(2)

Keberadaan kota1 dikenali dengan adanya berbagai macam kondisi dan hal-hal yang membuat kota menjadi wilayah yang dinamis dan dikenal dengan

heterogen2. Defenisi yang mendukung keheterogenan kota juga dinyatakan oleh Louis Wirth (dalam Suparlan, 1994) merumuskan kota sebagai “a relatively large,

dense, and permanent settlement of socially heterogenous individuals”. Kota

ditentukan oleh ukurannya yang cukup besar, kepadatan penduduknya dan

heterogenitas masyarakatnya. Sejalan dengan kehidupan kota yang keadaannya begitu

kompleks serta beranekaragam, maka keberadaan kota pun dinamakan heterogen.

Sebagai salah satu daerah otonom berstatus sebagai Ibukota di Provinsi

Sumatera Utara, kedudukan, fungsi, dan peranan Kota Medan cukup penting dan

strategis secara regional. Bahkan Kota Medan sering digunakan sebagai barometer

dalam pembangunan dan penyelenggaraan pemerintah daerah. Kota Medan juga

sebagai kota sentral ekonomi di Provinsi Sumatera Utara oleh karena itu mempunyai

perkembangan cukup pesat. Seiring perkembangannya, Kota Medan membutuhkan

ruang untuk tempat tinggal penduduk. Hal ini pun mengakibatkan peralihan

(konversi) lahan sangat cepat dan tinggi seperti peralihan lahan pertanian menjadi

rumah pemukim.

1

Menurut Yunus (2005) Kota adalah sebuah istilah atau kata yang sudah sangat populer di kalangan masyarakat baik masyarakat awam maupun masyarakat yang memperdalam studinya mengenai kota, karena hal inilah bagi masyarakat awam kata kota ini seolah-olah tidak memerlukan pembahasan lebih lanjut. Namun, manakala seseorang memasuki wacana ilmiah, pengertian kta ini ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan sebelumnya. Dalam pemahaman awam, sesuatu kota merupakan suatu tempat yang berasosiasi dengan kompleks pertokoan besar yang berjajar-jajar keramaian lalu lintas yang luar biasa dan bangunan yang berjubel.

2

(3)

Alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah

perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti

yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang dapat membawa dampak negatif

terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan juga dapat

diartikan sebagai perubahan untuk penggunaan lain disebabkan oleh faktor-faktor

yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk

yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan

yang lebih baik. Alih fungsi lahan biasanya terkait dengan proses perkembangan

wilayah, bahkan dapat dikatakan bahwa alih fungsi lahan merupakan konsekuensi

dari perkembangan wilayah itu sendiri.

Sebagian besar alih fungsi lahan yang terjadi, menunjukkan adanya

ketimpangan dalam penguasaan lahan yang lebih didominasi oleh para pengusaha

dengan mengantongi izin mendirikan bangunan yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Tindakan alih fungsi lahan pertanian sebenarnya telah terjadi sejak adanya manusia di

dunia dengan mengenal bermacam-macam sesuatu yang dikehendaki demi

mempertahankan dan memperoleh kepuasan hidupnya seperti sandang, pangan, dan

papan. Namun, kebutuhan itu terus bertambah baik macam, corak, jumlah, maupun

kualitasnya seiring dengan bertambahnya populasi manusia.

Oleh karenanya dengan kebutuhan ini berarti menghendaki lebih banyak lagi

lahan pertanian yang perlu dirubah baik fungsi, pengelolaan, dan sekaligus

menyangkut kepemilikannya. Maka dengan demikian, peranan pembangunan

(4)

fungsi lahan merupakan keadaan yang akan dan telah menimbulkan berbagai dampak

yang tidak diinginkan, antara lain berkurangnya lahan pertanian. Utomo (1992)

menyatakan bahwa lahan sebagai modal alami yang melandasi kegiatan kehidupan

dan penghidupan, lahan memiliki dua fungsi dasar yakni :

Fungsi kegiatan budaya; suatu kawasan yang dapat dimanfaatkan untuk

berbagai penggunaan, seperti pemukiman, baik sebagai kawasan perkotaan maupun

perdesaan, perkebunan, hutan produksi dan lain-lain, Fungsi lindung; kawasan yang

ditetapkan dengan fungsi utamanya untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup

yang ada, yang mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan, dan nilai sejarah

serta budaya bangsa yang bisa menunjang pemanfaatan budidaya. Clifford Geertz

melakukan penelitian di Mojokuto, kota kecil di bagian Jawa melihat bahwa diantara

lima jenis mata pencaharian utama (petani, pedagang kecil, pekerja tangan yang

bebas, buruh kasar, dan pegawai), petani adalah jenis mata pencaharian yang paling

banyak.

Perlu dicermati pula bahwa penelitian ini bukan terfokus kepada alih fungsi

lahan dari aspek ekologi, melainkan bagaimana perubahan kehidupan masyarakat

pasca dibangunnya pemukiman penduduk demi mendukung kehidupan perkuliahan

terutama di Universitas Sumatera Utara.Daerah yang mengalami perkembangan yang

cukup signifikan tersebut adalah darah Kampung Susuk. Kampung Susuk merupakan

daerah pinggiran yang terletak di Kelurahan Padang Bulan Selayang 1, Kecamatan

Medan Selayang, Kota Medan. Daerah Kampung Susuk merupakan daerah padat

(5)

sewa ataupun tempat kos-kosan. Kepadatan di Kampung Susuk ini mengakibatkan

lahan yang dulunya merupakan lahan pertanian kini sebagian besar sudah menjadi

bangunan–bangunan permanen seperti perumahan, kos-kosan, rumah makan, café, sekolah/kampus, rumah ibadah, dan perkantoran.

Munculnya bangunan-bangunan seperti perumahan, kos-kosan, café dan

sebagainya tersebut juga mempengaruhi banyak sektor yang ada di daerah tersebut

seperti sector ekonomi, religi, budaya dan sosial. Keberadaan perguruan tinggi di

daerah pinggiran ini tentu saja akan membawa perubahan yang tidak kecil terhadap

daerah sekitar tempat perguruan tinggi tersebut berdiri. Perubahan itu tidak saja

menyangkut satu atau dua aspek kehidupan, tetapi banyak aspek kehidupan akan

terpengaruh dengan keberadaan perguruan tinggi tersebut (Purwaningsih, 1994: 1).

Aspek yang sangat nyata dapat terlihat dan dapat diukur adalah adanya perubahan

tingkat status sosial ekonomi penduduk sekitar. Karena pembangunan perguruan

tinggi di daerah akan diikuti pula pembangunan sarana lainnya, seperti banyak

dibangunnya dan kos-kosan para mahasiswa dari luar daerah. Banyaknya mahasiswa

atau kaum pendatang dari luar daerah akan berpengaruh langsung terhadap pola dan

pandangan hidup penduduk asli daerah tersebut.

Dalam periode terakhir Kampung Susuk dapat dikatakan berada di pinggiran

kampus. Hal ini karena ada dua kampus yang dekat dengank kampus-kampus yaitu

Universitas Sumatera Utara dan Universitas Metodist, juga ada sekolah dan akademi

kebidanan. Keberadaan bangunan sarana pendidikan ini akan sangat berpengaruh

(6)

Susuk yang menjadi dan sebagian menambah penghasilan dari berdagang, penarik

becak, pengusaha, dan lain-lain.

Ditinjau dari segi pendapatan penduduk, menurut hasil penelitian Haribowo

dalam Sri Purwaningsih, dkk (1994: 2) terdapat hubungan yang positif antara

keberadaan perguruan tinggi dengan tingkat kenaikan pendapatan penduduk. Selain

merubah pola kehidupan penduduk di Kampung Susuk juga sangat berpengaruh

terhadap mahasiswa-mahasiwa yang kuliah di kampus tersebut karena dekat dengan

kampus sehingga menjadi tempat pemukiman yang strategis.

Keberadaan kampus-kampus di daerah ini juga telah mendorong

pembangunan secara fisik di daerah tersebut terutama menjadi menarik bagi

pengusaha-pengusaha untuk membangun “kos” diseputaran Kampung Susuk tersebut. Melihat latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk mengangkat judul

penelitian yaitu Kampung Susuk (Etnografi Mengenai kehidupan Pemukim Di

Pinggiran Kampus). Keinginan peneliti adalah ingin menggambarkan secara detil

mengenai kehidupan masyarakat di Kampung Susuk yang sangat heterogen.

1.2.Tinjauan Pustaka

1.2.1. Wujud Kebudayaan

Pengertian Kebudayaan secara umum dapat dirumuskan (Koentjaraningrat;

1997) bahwa Masyarakat dan kebudayaan manusia telah berevolusi dengan sangat

lambat dalam 1 (satu) jangka waktu beribu-ribu tahun lamanya, dari tingkat-tingkat

(7)

Kebudayaan berarti keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus

dibiasakannya dengan belajar keseluruhan dari hasil budi dan karyanya. Kemudian

Koentjaraningrat membuat konsep wujud kebudayaan untuk membantu merincikan

pemahaman terhadap bagaimana melihat kebudayaan tersebut. Tiga wujud

kebudayaan menurut Koentjaraningrat, ialah :

1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan,

nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya (wujud idéel)

2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola

dari manusia dalam masyarakat (wujud kelakuan),

3. Wujud kebudayaan sebagai benda- benda hasil karya manusia (wujud

fisik).

Ketiga wujud dari kebudayaan tersebut di atas, dalam kenyataan kehidupan

masyarakat tentu tidak terpisah satu dengan yang lain. Kebudayaan ideel dan

adat-istiadat mengatur dan memberi arah kepada perbuatan dan karya manusia. Baik

pikiran-pikiran dan ide-ide, maupun perbuatan dan karya manusia, menghasilkan

benda-benda budaya fisiknya. Sebaliknya, kebudayaan fisik itu membentuk suatu

lingkaran hidup tertentu yang makin lama makin menjauhkan manusia dari lingkaran

alamiahnya, sehingga mempengaruhi pula pola-pola perbuatannya, bahkan juga

mempengaruhi cara berpikirnya.

Inti kebudayaan terdiri dari sektor ekonomi masyarakat, ciri-ciri itulah yang

“paling dekat dengan kegiatan-kegiatan subsistensi dan tatanan ekonomi” (Steward,

(8)

a. Hubungan antara lingkungan dan teknologi eksploitatif atau

deduktif.

b. Hubungan antara pola-pola “perilaku” dan teknologi eksploitatif. c. Seberapa jauh pola-pola “perilaku” itu mempengaruhi sektor

-sektor lain dari kebudayaan (Steward, 1955: 40-41).

Steward mengemukakan tujuan utamanya adalah penjelasan tentang asal-usul

ciri-ciri kebudayaan tertentu. Akan tetapi, pendekatannya adalah; pertama untuk

menunjukkan bagaimana suatu ciri kebudayaan dan ciri lingkungan saling berkaitan

secara fungsional, dan kedua, untuk menunjukkan bahwa hubungan yang samadapat

berulang di daerah-daerah yang secara historis berlainan. Semua orang mengakui

bahwa sebagai manusia memiliki kedudukan yang tinggi bahkan sebagian besar

manusia menganggap sebagai makhluk yang tertinggi. Kedudukam yang tinggi itu

juga telah mengakibatkan munculnya beberapa karya mausia yang hebat dan takkan

ada makhluk lainnya yang sanggup menyamainya. Manusia adalah makhluk yang

ada dan keberadaannya didunia ini untuk mengadakan sesuatu, ataudengan istilah

lebih singkat, manusia ada untuk berbuat. Manusia adalah makhluk yang memiliki

kebebasan dalam hidup, yang mampu berkreasi, bebas dan terbuka, bertanggung

jawab, namun memiliki keterbatasan

1.2.2.Pinggiran Kota

Kota menurut definisi universal adalah sebuah area urban yang berbeda dari

desa ataupunkampong berdasarkan ukuranya, kepadatan penduduk, kepentingan atau

(9)

kuno, tuiin, bisa berarti pagar. Jadi dengan demikian kota adalah batas. Selanjutnya

masyarakat perkotaan sering disebut juga urban community. Pengertian masyarakat

kota lebih ditekankan pada sifat-sifat kehidupanya serta cirri-ciri kehidupanya yang

berbeda dengan masyarakat pedesaan.

Membahas masyarakat perkotaan sebetulnya tidak dapat dipisahkan dengan

masyarakat desa karena antara desa dengan kota ada hubungan konsentrasi penduduk

dengan gejala-gejala sosial yang dinamakan urbanisasi, yaitu perpindahan penduduk

dari desa kekota. Masyarakat perkotaan merupakan masyarakat urban dari berbagai

asal/desa yang bersifat heterogen dan majemuk karen terdiri dari berbagai jenis

pekerjaan/keahlian dan datang dari berbagai ras, etnis, dan agama.

Mereka datang ke kota dengan berbagai kepentingan dan melihat kota sebagai

tempat yang memiliki stimulus (rangsangan) untuk mewujudkan keinginan. Maka

tidaklah aneh apabila kehidupan di kota diwarnai oleh sikap yang individualistis

karena mereka memiliki kepentingan yang beragam. Lahan pemukiman di kota relatif

sempit dibandingkan di desa karena jumlah penduduknya yang relatif besar maka

mata pencaharian yang cocok adalah disektor formal seperti pegawai negeri, pegawai

swasta dan di sektor non-formal seperti pedagang, bidang jasa dan sebagainya. Sektor

pertanian kurang tepat dikerjakan di kota karena luas lahan menjadi masalah apabila

ada yang bertani maka dilakukan secara hidroponik. Kondisi kota membentuk pola

perilaku yang berbeda dengan di desa, yaitu serba praktis dan realistis.

(10)

1. Kehidupan keagaam berkurang, karena cara berpikir yang rasional dan

cenderung sekuler

2. Sikap mandiri yang kuat dan tidak terlalu tergantung pada orang lain sehingg

cenderung individualistis

3. Pembagian kerja sangat jelas dan tegas berdasarkan tingkat kemampuan/

keahlian

4. Hubungan antar individu bersifat formal dan interaksi antar warga

berdasarkan kepentingan.

5. Sangat menghargai waktu sehingga perlu adanya perencanaan yang matang.

6. Masyarakat cerderung terbuka terhadap perubahan di daerah tertentu (slum)

7. Tingkat pertumbuhan penduduknya sangat tinggi

8. Kontrol sosial antar warga relatif rendah

9. Kehidupan bersifat non agraris dan menuju kepada spesialisasi keterampilan

10.Mobilitas sosialnya sangat tinggi karena penduduknya bersifat dinamis,

memamanfaatkan waktu dan kesempatan, kreatif, dan inovatif.

Sementara itu daerah Kampung Susuk yang menjadi fokus penelitian ini

merupakan daerah pinggiran kota. Daerah pinggiran kota (urban fringer)

didefenisikan sebagai daerah pinggiran kota yang berada dalam proses transisi dari

daerah pedesaan menjadi perkotaan. Sebagai daerah transisi, Kampung Susuk ini

berada dalam tekanan kegiatan-kegiatan perkotaan yang meningkat yang berdampak

pada perubahan fisikal termasuk konvensi lahan pertanian dan non pertanian dengan

(11)

 Kawasan dimana tata guna lahan rural dan urban bertemu dan mendesak, di

periferi kota modern

 Suatu kawasan yang letaknya terletak di luar perbatasan kota yang resmi,

tetapi masih dalam jarak melaju (commuting distance)

 Kawasan di luar kota yang penduduknya berkiblat ke kota (urban oriented

residents)

 Suatu kawasan pedesaan yang terbuka yang dihuni oleh orang-orang yang

bekerja di dalam kota

 Suatu daerah tempat pertemuan orang-orang yang memerlukan kehidupan di

kota dan di desa

Russwurm 1987 (dalam Koestoer 1997) mengatakan bahwa daerah pinggiran

kota mempunyai konotasi yang luas. Secara keruangan dalam batasan fisik, wilayah

ini mencakup radius sekitar 50 km pada suatu kota. Daerah pinggiran kota atau urban

fringe ditandai oleh beberapa karakteristik seperti, peningkatan harga tanah,

perubahan fisik penggunaan tanah, perubahan komposisi penduduk dan tenaga kerja,

serta berbagai aspek sosial lainnya. Jelasnya, pengertian dasar daerah pinggiran kota

termasuk didalamnya suatu region sebagai wilayah peralihan, sebagai tempat

bermukim masyarakat daerah pinggiran kota dan dengan demikian mencakup semua

aspek interaksi, perilaku social, dan struktur fisik secara spasial sistem yang lebih

(12)

sistem konurbasi3 suatu kota. Diantara daerah perkotaan, daerah pedesaan, dan daerah pinggiran kota, ternyata daerah daerah pinggiran kota memberikan peluang paling

besaruntuk usaha-usaha produktif maupun peluang paling menyenangkan untuk

bertempat tinggal.

Whynne Hammond (dalam Muhlisin:2003) mengemukakan lima alasan

tumbuhnya pinggiran kota sebagai berikut:

1. Peningkatan pelayanan transportasi kota, baik itu berupa pelayanan angkutan

umum ataupun jaringan jalan yang memadai.

2. Pertumbuhan penduduk, diaman pertumbuhan disebabkan oleh berpindahnya

sebagian penduduk dari bagian pusat kota ke bagian pinggiran dan masuknya

penduduk dari pedesaan.

3. Meningkatnya taraf hidup masyarakat.

4. Gerakan pendirian bangunan pada masyarakat. Pemerintah membantu mereka

yang ingin memiliki rumah sendiri melalui pemberian kredit lewat jasa suatu

bank yang ditunjuk.

5. Dorongan dari hakikat manusia sendiri, dimana merupakan sifat dasar

manusia untuk mendapatkan yang terbaik.

Pada wilayah Kampung Susuk kelima alasan di atas juga menjadi faktor yang

mempengaruhi pesatnya pemukiman yang terjadi di wilayah tersebut baik pada

pemukiman teratur maupun pemukiman tidak teratur. Hal ini mengingat daerah

3

(13)

tersebut berada berbatasan dengan kampus sebagai daerah ideal bagi pemukim di

wilayah tersebut.

1.2.3. Pemukiman

Pemukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung,

baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaab yang berfungsi sebagai

lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunia dan tempat kegiatan yang

mendukung perikehidupan dan penghidupan (Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1992 tentang perimahan dan pemukiman Bab I, Pasal 1 ayat 5).

Pemukiman yang dimaksudkan dalam Undang- Undang ini mempunyai lingkup

tertentu yaitu kawasan yang didominasi oleh lingkungan hunian dengan fungsi utama

sebagai tempat tinggal yang dilengkapi dengan prasarana, sarana lingkungan, dan

tempat kerja terbatas untuk mendukung perikehidupan dan penghidupan sehingga

fungsi pemukiman tersebut dapat berdaya guna dan berhasil guna.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pemukiman berarti daerah tempat

bermukim. Pemukiman dapat digambarkan sebagai suatu tempat atau daerah dimana

mereka membangun rumah-rumah, jalan-jalan dan sebagainya guna kepentingan

mereka. Pemukiman yang menempati areal paling luas dalam pemanfaatan tata ruang

mengalami perkembangan yang selaras dengan perkembangan penduduk dan

mempunyai pola tertentu yang menciptakan bentuk dan struktur tata ruang yang

berbedasatu dengan lainnya. Perkembangan pemukiman pada bagian-bagian

kotatidaklah sama, tergantung pada karakteristik kehidupan masyarakat, potensi

sumber daya (kesempatan kerja) yang tersedia, kondisi fisik alami serta fasilitas kota

(14)

Pola penyebaran pemukiman di daerah pinggiran kota yang mempunyai sifat

desa – kota ini pembentukannya berakar dari pola campuran antara ciri perkotaan dan ciri pedesaan. Wilayah pemukiman di daerah perkotaan memiliki memiliki

keteraturan bentuk secara fisik. Artinya sebagian besar pemukiman menghadap

secara teratur kearah kerangka jalan yang ada dan sebagian besarterdiri dari bangunan

permanen.

1.2.4. Pola Penyebaran Pembangunan Perumahan dan Permukiman

Pola penyebaran pembangunan perumahan dan permukiman di wilayah desa

kota menurut Koestoer (1995), pembentukannya berakar dari pola campuran antara

ciri perkotaan dan perdesaan. Ada perbedaan mendasar pola pembangunan

permukiman di perkotaan dan perdesaan. Wilayah permukiman di perkotaan sering

disebut sebagai daerah perumahan, memiliki keteraturan bentuk secara fisik. Artinya

sebagian besar rumah menghadap secara teratur ke arah kerangka jalan yang ada dan

sebagian besar terdiri dari bangunan permanen, berdinding tembok dan dilengkapi

dengan penerangan listrik. Kerangka jalannya pun ditata secara bertingkat mulai dari

jalan raya, penghubung hingga jalan lingkungan atau lokal. Karakteristik kawasan

permukiman penduduk perdesaan ditandai terutama oleh ketidakteraturan bentuk fisik

rumah. Pola permukimannya cenderung berkelompok membentuk perkampungan

yang letaknya tidak jauh dari sumber air, misalnya sungai. Pola permukiman

perdesaan masih sangat tradisional banyak mengikuti pola bentuk sungai, karena

sungai disamping sebagai sumber kehidupan sehari-hari juga berfungsi sebagai jalur

transportasi antar wilayah. Perumahan di tepi kota (desa dekat dengan kota)

(15)

kota menjangkau wilayah ini, pola permukiman cenderung lebih teratur dari pola

sebelumnya. Selanjutnya pembangunan jalan di wilayah perbatasan kota banyak

mempengaruhi perubahan pola penggunaan lahan dan pada gilirannya permukiman

perdesaan berubah menjadi pola campuran. Ada bagian kelompok perumahan yang

tertata baik menurut kerangka jalan baru yang terbentuk, tetapi dibagian lain masih

ada pulayang tetap berpola seperti sediakala yang tidak teratur dengan bangunan semi

permanen.

1.2.5. Konsep Antropologi Perkotaan

Antropologi diawal perkembangannya memusatkan perhatiannya kepada

masyarakat yang primitif. Perhatian ini timbul karena ada sesuatu yang dianggap

sebagai keganjilan pada tingkah laku masyarakat tertentu, yaitu pada masyarakat

pedalaman-pedalaman. Akan tetapi lama - kelamaan, mereka tidak lagi melihat

tingkah laku itu sebagai sesuatu yang ganjil, melainkan sebagai sesuatu yang masih

dekat dengan alam, dan masih berada dalam tahap perkembangan. Dan pada saat itu

Antropologi memusatkan perhatiannya pada masyarakat tersebut. Karena ternyata

masyarakat primitif itu telah semakin maju dan teradaptasi ke dalam masyarakat

modern, maka perhatian antropologi selanjutnya beralih pada masyarakat pedesaan.

Hampir seluruh aspek kehidupan desa telah diteliti dan diungkapkan. Karena itu,

perhatian para antropolog pada tahap berikutnya, mulai beralih ke kota. Ada beberapa

alasan yang digunakan untuk mengalihkan dan memperluas perhatian mereka ke

kota-kota, yaitu: Pertama, masyarakat kota mempunyai pola-pola budaya dan tingkah

(16)

maupun masyarakat desa. Kedua, terjadinya urbanisasi yang semakin meningkat.

Pada umumnya mereka pergi ke kota tanpa membawa bekal ketrampilan kecuali

tenaga. Setibanya di kota, mereka dapati dirinya berada pada situasi dan kondisi yang

berbeda dari pada sewaktu berada di desa. Ketiga, semakin luasnya pengaruh

kehidupan kota atas kehidupan daerah pedesaan yang berada di sekitarnya, baik

positif maupun negatif. Keempat, semakin merosotnya nilai-nilai manusiawi oleh

berkembangnya teknologi di kota.

Pada awal abad ke-20, antropologi perkotaan mulai dikembangkan oleh

seorang antropolog yang bernama Clifford Geertz, dalam penelitiannya disebuah

daerah yang berada di Jawa Timur yang dalam hasil penelitiannya disamarkan dengan

nama Mojokuto. Dalam penelitiannya itu Gertz mencoba menganalisis sistem

stratifikasi sosial masyarakat Jawa yang didasarklan pada kepercayaannya.

Masyarakat Jawa dalam kaca mata Gertz terbagi dalam tiga golongan yaitu Priayi,

Santri, dan Abangan. Dengan diterbitkannya hasil penelitiannya yang dilakukan

kurun waktu 1940, antropologi perkotaan di Asia umumnya dan di Indonesia mulai

berkembangan. Clifford Geertz (1989:8)

Antropologi perkotaan merupakan dua konsep yang dihubungkan antara

antropologi dan perkotaan. Makna dari konsep antropologi perkotaan adalah

pendekatan-pendekatan antropologi mengenai masalah-masalah yang terjadi di

perkotaan. Pendekatan-pendekatan antropologi mengenai masalah-masalah perkotaan

(17)

1. Pedekatan Holistik, yaitu pendekatan yang memahami kebudayan secara

menyeluruh.

2. Pendekatan Emik, yaitu pendekatan yang memandang sudut pandang dari

masyarakat itu sendiri. Pendekatan emik dalam hal ini memang menawarkan

sesuatu yang lebih obyektif. Karena tingkah laku kebudayaan memang sebaiknya

dikaji dan dikategorikan menurut pandangan orang yang dikaji itu sendiri, berupa

definisi yang diberikan oleh masyarakat yang mengalami peristiwa itu sendiri

3. Pendekatan Etik, yaitu pendekatan yang memandang sudut pandang dari para ahli

4. Pendekatan komperatif, yaitu perbandingan dan membandingkan data dari yang

satu dengan yang lain.

5. Pendekatan Historis, yaitu faktor-faktor dari kesejarahannya seperti sejarah

terbentuknya sesuatu.

Parsudi Suparlan (1984) mengemukakan bahwa kajian utama mengenai

kebudayaan perkotaan dan pranata-pranata sosial yang hidup dan berkembang di kota

yakni :

- Kehidupan sehari-hari

- Pola-pola kelakuan

- Kehidupan komunitas, seperti komunitas supir angkot

- Kehidupan Ekonomi

- Hubungan antar sukubangsa dalam perkotaan

- Kemunculan dan mantapnya golongan-golongan sosial tertentu yang baru

(18)

- Hierarki dan stratifikasi sosial

- Kemiskinan yang terjadi dalam perkotaan

- Perkumuhan

- Permasalahan permukiman, rumah dan hunian serta berbagai masalah lain

yang dapat dilihat keberadaan, hakekat, dan

kecenderungan-kecenderungannya yang mengacu pada kondisi-kondisi kota yang

merupakan lingkungan hidup perkotaan.

Masyarakat kota merupakan masyarakat yang anggota-anggotanya terdiri dari

manusia yang bermacam-macam lapisan atau tingkatan, pendidikan dan kebudayaan.

Mayoritas penduduknya hidup berjenis-jenis dan usaha yang bersifat non-agraris.

Sikap kehidupan masyarakat kota cenderung pada individuisme/egoisme yaitu

masing-masing anggota masyarakat berusaha sendiri-sendiri tanpa terikat oleh

anggota masyarakat lainnya, setiap individu melakukan aktivitas dan kegiatannya

dengan sendiri-sendiri tanpa melibatkan anggota masyarakat yang lainnya.

1.3. Perumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

bagaimana kehidupan masayarakat di Kampung Susuk, Kelurahan Padang Bulan

Selayang I, Kecamatan Medan Selayang, Kota Medan !

1.4. Lokasi Penelitian

Untuk membatasi wilayah operasional penelitian maka peneliti menetapkan

(19)

Padang Bulan Selayang I, Kecamatan Medan Selayang, Kota Medan. Saya memilih

daerah ini berdasarkan fakta yang ada bahwa di lokasi tersebut banyak perubahan di

bidang penggunaan lahan yang beralih fungsi menjadi non pertanian.

1.5. Tujuan dan Luas Penelitian

Penetapan tujuan penelitian merupakan hal yang sangat penting karena setiap

penelitian yang dilakukan haruslah mempunyai tujuan tertentu. Adapun tujuan dari

penelitian ini adalah untuk mengetahui serta menjelaskan tentang kehidupan

pemukim di pinggiran kampus di Kampung Susuk, Kelurahan Padang Bulan

Selayang I, Kecamatan Medan Selayang, Kota Medan, baik secara sosial, ekonomi

maupun budaya serta memberikan saran yang berguna sebagai bahan analisa dan

pedoman bagi pimpinan dimasa yang akan datang.

Dalam karya klasiknya, The Thick Description : Towards an Interpretative

Theory of Culture (1973), Clifford Geertz menyatakan bahwa analisis

kebudayaan-yang dalam hal ini ia samakan dengan antropologi-bukanlah “ilmu eksperimental dalam upaya menemukan hukum melainkan kajian interpretif dalam upaya

menemukan hukum melainkan suatu kajian interpretif dalam upaya menemukan

makna” (Greetz, 1973:5).

Luas penelitian yang akan dilakukan terbatas pada pembahasan tentang

perubahan tata guna lahan di Kelurahan Padang Bulan Selayang I, Kecamatan Medan

(20)

1.6. Metode Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data

1.6.1. Teknik Pengumpulan Data

Dalam hal mendeskripsikan tentang kehidupan masyarakat di Kampung

Susuk, maka dilakukan penelitian lapangan sebagai suatu upaya untuk memperoleh

data primer. Selain itu diperlukan juga penelitian dari berbagai sumber kepustakaan

sebagai upaya untuk memperoleh data sekunder. Dalam penelitian kualitatif, untuk

memperoleh data primer tersebut, metode yang digunakan adalah metode observasi

atau pengamatan dan wawancara.

a. Data Primer

Untuk mendapatkan data primer dalam penelitian ini dilakukan dengan cara

penelitian lapangan, yaitu : Metode observasi dilakukan guna mengetahui situasi

dalam konteks ruang dan waktu pada daerah penelitian (Spreadley : 1980). Menurut

penulis, data yang diperoleh dari hasil wawancara saja tidaklah cukup untuk

menjelaskan fenomena yang terjadi, oleh karena itu diperlukan suatu aktivitas dengan

langsung mendatangi tempat penelitian dan melakukan pengamatan. Pengamatan

akan dilakukan pada setiap kegiatan atau peristiwa yang dianggap perlu atau

berhubungan dengan tujuan penelitian.

Metode yang dipakai adalah observasi (partisipasi maupun non-partisipasi)

observasi partisipasi membantu untuk memahami lingkungan dan menilai keadaan

yang terlihat ataupun keadaan yang tersirat (tidak terlihat, hanya dapat dirasakan)

(21)

jenis ini peneliti tidak hanya sebatas melakukan pengamatan, tetapi juga ikut serta

dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dimana penelitian ini dilakukan, seperti

bergabung dalam kegiatan berkumpul warga masyarakat di warung makan ataupun

cafe, hal ini tidak tidak terlalu sulit bagi peneliti dikarenakan peneliti merupakan

pendatang di Kampung Susuk. Observasi diharapkan dapat berjalan dengan baik oleh

karena sebelumnya telah dilakukan pra-penelitian dan peneliti telah membangun

rapport yang baik. Walaupun demikian peneliti akan berusaha berfikir secara objektif

sehingga data yang diperoleh dilapangan adalah benar dan sesuai dengan kenyataan

yang ada dilapangan.

Metode wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam (depth

interview) kepada beberapa informan yang sesuai dengan tujuan penelitian.

Wawancara mendalam ini dilakukan dengan mendatangi para individu yang dianggap

mempunyai dan memiliki pengetahuan yang luas dan lengkap tentang sejarah,

asal-usul, ataupun siapa saja yang bersangkut paut dalam kehidupan masyarakat di

Kampung Susuk. Hal ini perlu dilakukan karena pengetahuan akan sejarah, asal-usul

Kampung Susuk tersebut memberikan sumbangan yang berarti dalam memahami

fakta dan merupakan tema pokok penelitian yang akan dilakukan.

Teknik wawancara juga dilakukan dengan cara komunikasi verbal atau

langsung dengan informan utama maupun informan biasa dengan berpedoman pada

interview guide yang telah dipersiapkan sebelumnya untuk mendapatkan data konkrit

yang lebih rinci dan mendalam. Perlengkapan yang digunakan pada saat wawancara

(22)

wawancara dan tape recoder serta video kamera yang digunakan untuk merekam

proses wawancara dalam rangka antisipasi terhadap keabsahan data yang diperoleh

ketika melakukan wawancara serta sebagai bahan video lapangan etnografi (field

video ethnography).

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang bersifat tidak langsung, akan tetapi memiliki

keterkaitan fungsi dengan salah satu aspek pendukung bagi keabsahan suatu

penelitian. Data sekunder berupa sumber-sumber atau referensi tertulis yang

berhubungan dengan permasalahan penelitian, data sekunder dalam penelitian ini

adalah : Studi kepustakaan sebagai teknik pengumpul data selanjutnya, dimaksudkan

peneliti sebagai suatu sarana pendukung untuk mencari dan mengumpulkan data dari

beberapa buku dan hasil penelitian para ahli lain yang berhubungan dengan masalah

penelitian guna lebih menambah pengertian dan wawasan peneliti demi

Referensi

Dokumen terkait

Perkembangan Kota Surakarta dicirikan sebagai daerah transisi antara kegiatan perumahan dan kegiatan komersil, di daerah pusat Kota dan fasilitas umum berkembang di

Daerah perkotaan tidak berarti mutlak di pusat kota, namun daerah pinggiran kota besar yang memiliki akses layak ke pusat kota juga menjadi lokasi incaran

Pengaruh tersebut adalah: (1) Aspek kependudukan: terjadi pergeseran mata pencarian penduduk daerah pinggiran kota dari pertanian ke non pertanian; (2) aspek

PKKMB bertujuan untuk memperkenalkan, mempersiapkan dan mengakselerasi mahasiswa baru dalam proses transisi menjadi mahasiswa yang sadar akan hak dan kewajibannya,

Urbanisme dapat disebut juga sebagai suatu proses perubahan masyarakat dari yang semula berciri pedesaan menjadi masyarakat berciri perkotaan.. Perkembangan Kota Ungaran saat ini

Dalam rangka menyiapkan mahasiswa baru melewati proses transisi menjadi mahasiswa dengan lingkungan yang baru dan memberikan bekal untuk keberhasilannya menempuh pendidikan

Permukiman masyarakat pinggiran sungai di Kelurahan Kampung dalam sudah terbentuk secara turun temurun dari proses aktifitas masyarakat di pinggiran sungai yang

Model Pemekaran Kota Daerah Pinggiran Kota Beesly dalam Subroto, 1997 menyebutkan empat karakter yang dipakai untuk mengklasifkasikan suatu daerah dapat disebut sebagai urban