• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lokasi Industri dan Fenomena Aglomerasi di Indonesia: Perspektif Ekonomi Regional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Lokasi Industri dan Fenomena Aglomerasi di Indonesia: Perspektif Ekonomi Regional"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Rian Hilmawan

Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman Email: hilmawan.feunmul@gmail.com

Abstract

This paper describes the behavior of economic actors in Indonesian manufacturing industries. They are several question which was focused: (1) an overview and trends on Indonesian industrial area especially in the era of decentralization (regional authonomy) from 2001 until 2010, (2) whether it has spread (dispersion) or concentrated in some geographic area (aglomeration)? and (3) what are the main determinant factor which build industrial areas during the periods? The results find that considerations of cost and expected profit are dominant factors for the industry players when choosing a business location. Urban or regional growth pole, usually became a top choice for industry players, because its region offer minimizing cost and accessibility due to the presence of the city's infrastructure. This phenomenon was referred to as localization economies. In Indonesia, the concentration of manufacturing industries scattered areas in the major cities on the island of Java and Sumatra, creating a striking imbalance related to the development of the industrial sector in the area of Java and non-Java. The impact of industrial agglomeration, from the company side is profitable due to its proximity to the near location and resources (infrastructure and labor). But for a larger area, agglomeration adversely affected at least is unequal distribution of industrial activities and urbanization of the area to the area of non-agglomerating agglomeration. Governments, have an important role to create regulation to supports a new industrial park. The era of regional autonomy, provide opportunities to minimize the glaring inequalities between regions which was agglomerated and which was not.

(2)

Working Paper LPEB Faculty of Economics, Mulawarman University - 2013

PENDAHULUAN

Sektor industri merupakan salah satu sektor penting dalam perekonomian. Selain berfungsi sebagai engine of growth (mesin pertumbuhan), mengingat hampir setengah dari produksi barang bertumpu pada sektor ini, kemajuan dan kesinambungan industri juga merupakan suatu prestise dari negara, terlebih bagi negara-negara maju. Amerika Serikat (AS), Jerman, dan Jepang merupakan negara-negara maju yang bertumpu pada sektor industri ini. Sementara Cina, kini hampir menguasai pangsa pasar dunia berkat kemajuan dari sektor industrinya.

Di Indonesia sendiri, peranan sektor industri terhadap perekonomian negara tidak bisa dipandang remeh. Meskipun terkenal sebagai negara agraris, tetapi pada masa orde baru, khususnya pada era deregulasi, sumbangan sektor ini terhadap produk domestik bruto (PDB) selalu melampaui sektor pertanian. Data menunjukkan semenjak tahun 1991 hingga 2000 (lihat Gambar 1), kontribusi sektor industri mengungguli kontribusi sektor pertanian yang memang pada era sebelumnya kontribusinya senantiasa dominan. Kontribusi ini menimbulkan perubahan struktural yang gemilang bagi perekonomian Indonesia. Mengutip pendapat Chenery (1975) dalam Kuncoro (2001), bahwa suatu perekonomian yang maju ditandai oleh meningkatnya pendapatan per kapita yang seiring dengan adanya transisi dari perekonomian yang bertumpu di sektor pertanian menuju sektor industrialisasi.

Peranan penting sektor industri memang sempat menurun ketika krisis ekonomi melanda perekonomian pada 1997-1998. Namun, mulai menunjukkan performa yang membaik pada tenggat tahun 1999 - 2000. Sayangnya, perbaikan performa ini tidak mampu dipertahankan dalam jangka panjang. Pertumbuhan dan penyerapan tenaga kerja sektor industri manufaktur terhadap PDB terus menurun. Pertanda buruk

(3)

Working Paper LPEB Faculty of Economics, Mulawarman University - 2013

memang tengah menghinggapi kinerja industrialisasi di Indonesia, sehingga muncul apa yang disebut gejala “deindustrialisasi” (Basri, 2007). Daya saing industri Indonesia pun kian merosot tajam terlebih semenjak pemberlakuan CAFTA (China Asean Free Trade Area) pada pertengahan tahun 2010.

Gambar 1. Prosentase Pangsa Sektor Pertanian dengan Sektor Industri terhadap PDB Indonesia (1985 – 2000)

Sumber: BPS (dikutip dari Hidayati dan Kuncoro, 2002).

Terlepas dari fluktuasi perkembangan industri, tidak bisa dipungkiri bahwa sektor industri memegang peran vital. Aktivitas industri memberi dampak positif melalui penciptaan aktivitas-aktivitas ikutan yang memperluas daya serap tenaga kerja sekaligus memberi nilai tambah (value added) bagi perekonomian suatu daerah. Namun dalam perkembangannya, aktivitas industri terutama industri besar dan menengah (IBM) secara spasial/lokasional bersifat selektif.

Paper ini akan mengkaji bagaimana perilaku pelaku ekonomi industri manufaktur di Indonesia, dengan fokus masalah pemilihan lokasi industri dimaksud. Hal ini terutama untuk memberikan gambaran perilaku keputusan ekonomi dan bisnis dipengaruhi oleh aspek lokasi dan ruang. Sehingga tujuan tulisan ini di antaranya ialah (a) Untuk menggambarkan kecenderungan kawasan industri di Indonesia sendiri setidaknya ketika era

(4)

Working Paper LPEB Faculty of Economics, Mulawarman University - 2013

otonomi daerah berjalan tahun 2002 – 2010, (b) untuk mengetahui apakah terjadi penyebaran (dispersi) atau konsentrasi geografis (aglomerasi) di Indonesia; dan (c) Untuk mengetahui faktor apa yang yang menjadi determinan utama terjadinya kawasan industri ditinjau selama periodisasi tersebut.

PEMILIHAN LOKASI INDUSTRI: FAKTOR-FAKTOR YANG DIPERTIMBANGKAN?

Memilih suatu lokasi industri sebenarnya berkaitan dengan penilaian atau pengkajian di mana sebaiknya suatu industri ditempatkan. Keberhasilan dalam menentukan lokasi yang tepat ini, tidak jarang berdampak pada eksistensi dan profitabilitas perusahaan. Sebaliknya, gagal dalam memilih lokasi terbaik menyebabkan kerugian yang berujung kepada kebangkrutan industri tersebut. Lokasi yang dipilih sebagai lokasi aktivitas industri merupakan lokasi yang secara ekonomis memberi keuntungan/laba maksimal melalui kombinasi berbagai faktor pertimbangan. Lokasi optimal dari sisi pelaku industri tersebut terutama didasarkan pada penghematan yang dapat diperoleh dalam melakukan aktivitas industri, baik aktivitas produksi maupun pemasaran komoditi hasil industri.

Suatu industri pengolahan bahan makanan misalnya, tentu akan memilih menempatkan lokasi industrinya yang dekat dengan pasar (konsumen). Mengingat sifat produk makanan umumnya tidak tahan lama, mudah basi, dan rusak. Demikian juga, jika industri tersebut sangat dipengaruhi oleh biaya transport yang mahal dari tempat di mana bahan baku diambil ke lokasi pengolahan. Maka industri ini cenderung menempatkan kegiatan industrinya terletak pada wilayah yang dekat dengan bahan baku (untuk meminimalkan ongkos angkut).

(5)

Working Paper LPEB Faculty of Economics, Mulawarman University - 2013

Mengacu kepada Djojodipuro (1992) dalam Kusumaningrum (2006) setidaknya terdapat 6 faktor yang menjadi pertimbangan perusahaan dalam menetapkan lokasi kegiatan industrinya.

Gambar 2.1. Faktor Penentu Lokasi Industri

Pertama, faktor endowment yaitu meliputi faktor produksi input yaitu tanah, modal, tenaga kerja. Kedua, pasar dan harga, mengingat struktur pasar yang kaku dan cenderung dimonopoli akan menyebabkan rigiditas bagi pemain baru untuk memasuki kawasan tersebut. Ketiga, bahan baku dan energi.

Keempat, aglomerasi, yaitu penghematan yang diperoleh dari adanya industri sejenis atau industri yang berhubungan pada lokasi yang sama, serta penghematan yang diperoleh dari lokasi industri di daerah perkotaan. Hal ini juga relevan dari apa yang disampaikan oleh Kuncoro (2004), bahwa para penanam modal swasta (investor) cenderung lebih menyukai melakukan ekspansi ekonomi pada daerah perkotaan atau daerah yang telah memiliki fasilitas penunjang kegiatan ekonomi mereka, seperti sarana perhubungan, infrastruktur listrik, dan ketersediaan tenaga kerja. Kuncoro (2004), mengatakan bahwa investor juga lebih suka memilih kawasan perkotaan yang menawarkan penghematan biaya akibat kemudahan aksesibilitas dan keberadaan infrastruktur kota. Fenomena ini disebut oleh Kuncoro sebagai localization economies.

Lokasi Industri

Pasar dan Harga Endowment Aglomerasi Kebijakan Pemerintah Bahan Baku/Energi Transport

(6)

Working Paper LPEB Faculty of Economics, Mulawarman University - 2013

Kelima, adalah faktor kebijakan pemerintah. Ini sangat terkait dengan perizinan atau regulasi yang memberikan kemudahan dan insentif bagi pelaku ekonomi industri. Sementara faktor yang terakhir, atau keenam, adalah biaya transport/angkutan. Kesimpulannya, jika dibuatkan bagan skema, maka kita dapat menggambarkannya seperti ini:

Dari kesekian faktor yang turut menjadi bahan pertimbangan bagi seorang pelaku industri dalam menentukan lokasi usahanya, menimbulkan adanya kecenderungan karakteristik lokasi terhadap masing-masing jenis industri (Tabel 1).

Tabel 1. Kecenderungan Karakteristik Lokasional Pelaku Industri: Mengacu ke Faktor yang Mempengaruhi

Kecenderungan Penempatan Lokasi Industri Bahan Baku Sumber

Tenaga/Energi Tenaga Kerja Pemasaran Industri pengolahan hasil pertanian; peternakan; perikanan; kehutanan Industri baja; Industri alumunium Industri tekstil; Industri garmen; Industri rokok Industri perakitan mobil; Industri makanan.

Sumber: Nuryadin, et al (2007), Hayter (2000), Kuncoro (2002); Kresna (2005),

KAWASAN INDUSTRI DI INDONESIA: FENOMENA AGLOMERASI DAN KECENDERUNGANNYA

Kawasan industri di Indonesia pertama kalinya dikembangkan untuk mewadahi peran BUMN milik pemerintah. Setidaknya sejak tahun 1970-an hingga tahun 1988, dominasi kawasan industri masih merupakan domain dari pemerintah. Baru pada tahun 1989 dan 1990-an awal, ketika aliran investasi swasta dibuka karena pemerintah membuat kebijakan deregulasi1, kawasan industri mulai dipengaruhi oleh peran swasta dan seiring perjalanannya semakin meluas (Kwanda, 2000). Kebijakan ini

1

Sebelumnya, melalui Permendagri No.5 Tahun 1974, diatur bahwa lahan untuk usaha kawasan industri diperuntukkan bagi badan hukum yang seluruh modalnya berasal dari pemerintah. Baru setelah Keppres No. 53 Tanggal 27 Oktober 1989 terbit, pemerintah mengijinkan usaha kawasan industri dikembangkan oleh pihak swasta, baik swasta domestik maupun asing, juga dengan atau tanpa BUMN.

(7)

Working Paper LPEB Faculty of Economics, Mulawarman University - 2013

menimbulkan keleluasaan yang besar bagi pihak swasta dalam membuat strategi dan preferensi lokasi usahanya. Umumnya, perilaku mereka adalah menempatkan lokasi usaha industri di wilayah pusat pertumbuhan regional, salah satunya ialah di Jabotabek (Kwanda, 2000).

Kuncoro (2002) dalam studinya menemukan bahwa pusat konsentrasi industri manufaktur Indonesia terkumpul di pulau Jawa dengan konsentrasi yang membentuk pola dua kutub (bipolar pattern). Pola konsentrasi yang ditemukan oleh Kuncoro yaitu di ujung barat pulau Jawa yang meliputi Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi) dan Bandung. Sedangkan di ujung timur pulau Jawa berpusat di kawasan Surabaya (lihat Gambar 3 dan 4). Kresna (2005) sendiri lebih memerinci bahwa di Propinsi Jawa Timur pada tahun 2001, terbentuk suatu fenomena koridor utara-selatan (North-south corridor) yang dihuni oleh konsentrasi kawasan industri IBM (lihat Gambar 5). Daerah itu meliputi Kabupaten Gresik, Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Mojokerto, Kota Malang, dan Kabupaten Malang.

Gambar 3. Konsentrasi IBM di Pulau Jawa Berdasarkan Tenaga Kerja, Tahun 1995

(8)

Working Paper LPEB Faculty of Economics, Mulawarman University - 2013

Penelitian perluasan yang dilakukan Kuncoro (2002), semakin menguatkan kebenaran bahwa perkembangan industri di Indonesia menunjukkan gejala ketimpangan yang mencolok. Konsentrasi kawasan Industri hanya berkutat di Jawa dan Sumatera, dan keadaan ini setidaknya terus berlangsung mulai 1976 hingga 2004. Sementara pulau-pulau lain di luar itu (Jawa dan Sumatera), tidak memegang peran penting, misalnya apabila diukur dari penyerapan tenaga kerja sektor

Gambar 5.

Konsentrasi Lokasi IBM di Jawa Timur

Sumber: Kresna (2005)

Gambar 4. Distribusi Tenaga Kerja Menurut Pulau di Indonesia (1976 dan 2001)

(9)

Working Paper LPEB Faculty of Economics, Mulawarman University - 2013

manufaktur.2 Harmadi dan Santoso (2007), menguatkan temuan Kuncoro

(2002), bahwa kawasan industri di Indonesia, umumnya terkonsentrasi pada kota-kota besar. Di antaranya Medan, Batam, Palembang, Jakarta, Surabaya, Banjarmasin, dan Makassar.

Symptom (gejala) ini setidaknya membenarkan hipotesis munculnya konsentrasi spasial banyak perusahaan (industri) dalam satu wilayah. Kecenderungan konsentrasi ini, pada akhirnya membentuk suatu kawasan yang sangat produktif yang semakin membesar yang kemudian dikenal dengan wilayah perkotaan. Amerika Serikat misalnya memiliki wilayah konsentrasi industri manufaktur yang dinamakan “sabuk manufaktur” atau apa yang juga dinamakan “Sillicon Valley” (Krugman, 1991, dalam Harmadi dan Santoso, 2007). Di Inggris ada kawasan Axial Belt, di Jerman ada Ruhr (Hayter, 2000). Di Indonesia sendiri wilayah konsentrasi industri manufaktur tersebar di kota-kota besar yang berada di Pulau Jawa dan Sumatra, di antaranya Medan, Batam, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya.

Literatur yang menjelaskan mengenai ekonomi regional dan perkotaan, hingga kini masih berupaya untuk mengungkapkan mengapa aktivitas ekonomi, khususnya berkaitan dengan industri manufaktur, cenderung terkonsentrasi pada beberapa tempat saja. Menurut Isard (1959), Weber (1909), dalam Kuncoro (2004), berkaitan dengan teori-teori lokasi tradisional menyatakan bahwa pengelompokkan tersebut dikarenakan minimisasi biaya transport dan biaya produksi. Sehingga kita dapat membuat suatu alasan yang logis, tentang faktor apa yang menjadi pertimbangan bagi seorang pelaku industri dalam menempatkan lokasi perusahaannya pada suatu kawasan tertentu.

2

Kuncoro mengatakan setidaknya 82% dari total distribusi industri besar dan menengah (IBM) terpusat di kota-kota besar terutama Pulau Jawa. Namun, di Jawa sendiri distribusi IBM ini tidak merata, dan hanya berkumpul di beberapa tempat seperti Jabodetabek, Bandung, Semarang, dan Surabaya.

(10)

Working Paper LPEB Faculty of Economics, Mulawarman University - 2013

Fenomena terkonsentrasinya industri pada suatu kawasan inilah yang dinamakan dengan aglomerasi. Dan terdapat setidaknya beberapa faktor yang menyebabkan munculnya fenomena pemusatan industri ini, di antaranya adalah sebagaimana dirumuskan berikut:

1. Kesamaan lokasi usaha yang didasarkan pada salah satu faktor produksi;

2. Adanya kerja sama dalam menghasilkan suatu produk;

3. Terkonsentrasinya beberapa faktor produksi pada suatu lokasi; 4. Kebutuhan sarana, prasarana, dan bidang pelayanan lain yang lebih

lengkap;

5. Adanya wilayah pusat pertumbuhan industri yang sesuai dengan tata ruang dan fungsi wilayah.

Hal yang patut disimpulkan di sini, bahwa fenomena aglomerasi ini timbul tidaklah lain akibat hasil dari pertimbangan pelaku industri dalam memilih lokasi yang terbaik. Kecenderungan seorang pelaku industri dalam menentukan lokasinya sehingga menimbulkan aglomerasi umumnya didorong oleh pertimbangan utama yaitu biaya. Seorang pelaku industri akan selalu berpikir untuk meminimumkan (penghematan) biaya pada tingkat yang paling kecil, sehingga keuntungannya bisa optimal. Dan dalam kegiatan industri terdapat dua biaya yang memainkan peran paling besar, yaitu biaya transportasi dan biaya produksi.

Beberapa penelitian misalnya Farid (2004) menemukan preferensi pelaku industri sekarang ini mulai mengubah orientasi pertimbangannya dari faktor kedekatan dengan bahan baku, menuju kepada pertimbangan kelengkapan dan kelayakan pelayanan fasilitas dan infrastruktur. Pelaku industri juga lebih memilih daerah perkotaan mengingat potensi jumlah penduduk yang besar. Besarnya jumlah penduduk ini dari adalah potensi baik dari sudut sebagai sumber tenaga kerja maupun sebagai pasar bagi

(11)

Working Paper LPEB Faculty of Economics, Mulawarman University - 2013

komoditi hasil industri. Fenomena inilah yang mendorong terjadinya kecenderungan pemusatan lokasi aktivitas industri pada daerah perkotaan. Daerah perkotaan tidak berarti mutlak di pusat kota, namun daerah pinggiran kota besar yang memiliki akses layak ke pusat kota juga menjadi lokasi incaran aktivitas industri. Hal tersebut juga didorong oleh semakin padatnya aktivitas di pusat kota yang berdampak pada meningkatnya harga lahan di pusat kota. Sementara penelitian Kresna (2005) menemukan bahwa biaya transportasi adalah variabel kunci (key variable) yang menyebabkan terbentuknya fenomena konsentrasi spasial koridor Utara-Selatan di Jawa Timur.

DAMPAK AGLOMERASI: SISI POSITIF DAN NEGATIF, DAN APA YANG PERLU DILAKUKAN PEMERINTAH?

Dari sisi perusahaan (industri), dampak dari aglomerasi atau konsentrasi spasial ini membawa manfaat akibat lokasi yang berdekatan dengan perusahaan sejenis dan sekaligus pemenuhan sumber daya. Harmadi dan Santoso (2007) menerangkan bagaimana teknis dari dampak aglomerasi ini dapat membawa sisi positif bagi perusahaan. Output (hasil produksi) dari sebuah perusahaan akan meningkat walaupun menggunakan jumlah input yang tetap. Keadaan ini disebabkan adanya Eksternalitas Marshallian (Marshallian Externalities), yaitu efek limpahan ilmu pengetahuan (knowledge spillover) yang bisa berbentuk eksternalitas modal manusia (human capital externalities), atau kerap dinamakan efek limpahan modal manusia (human capital spillover). Ilmu pengetahuan dapat melimpah baik melalui proses interaksi formal ataupun non-formal antar-pekerja akibat dari kedekatan secara geografis tadi.

Efek limpahan modal manusia bisa diproksi menggunakan: Pertama, membandingkan gaji pekerja di kota yang memiliki tingkat modal manusia tinggi dengan gaji pekerja di kota yang memiliki tingkat modal manusia

(12)

Working Paper LPEB Faculty of Economics, Mulawarman University - 2013

rendah; Kedua, membandingkan output perusahaan di kota yang memiliki tingkat modal manusia tinggi dengan output perusahaan di kota yang memiliki tingkat modal manusia rendah.

Secara teoritis, adanya efek limpahan, menyebabkan fungsi produksi agregat dengan skala pengembalian yang konstan atau menurun (constant or decreasing return to scale) berubah naik menjadi increasing return to scale. Akibatnya pertumbuhan berkesinambungan dalam jangka panjang akan terjadi (Romer, 1986; Raut dan Srinivasan, 1993) dalam Harmadi dan Santoso (2007). Secara empiris, beberapa kelompok memberikan argumen tentang efek limpahan terhadap produktivitas perusahaan ini. Kelompok pertama, menyatakan efek limpahan dapat muncul akibat hubungan input dan paten antar perusahaan/industri. Kelompok kedua, efek limpahan terjadi akibat imitasi teknologi hasil research and development (R/D) perusahaan A oleh perusahaan B (Bernstein dan Nadiri, 1988) dalam Harmadi dan Santoso (2007). Kelompok ketiga, mengatakan kalau efek limpahan ilmu pengetahuan muncul akibat adanya interaksi-interaksi para pekerja karena kedekatan lokasi perusahaan secara geografis (Marshall, 1920) dalam Harmadi dan Santoso (2007).

Namun demikian, meskipun dampak aglomerasi secara teknis dari sisi perusahaan relatif menguntungkan, tidak demikian bagi suatu wilayah yang lebih luas. Salah satu sisi negatif akibat aglomerasi ini bahwa peta persebaran sumber daya mengalami ketimpangan---khususnya ketimpangan distribusi aktivitas industri---akibat konsentrasi kegiatan ekonomi di wilayah-wilayah tertentu saja. Memang menurut Martin dan Octavianno (2001) dalam Nuryadin dkk (2007), menyebutkan semakin teraglomerasi secara spasial suatu perekonomian maka akan semakin meningkat pertumbuhannya. Daerah-daerah yang banyak industri pengolahan tumbuh lebih cepat dibandingkan daerah-daerah yang hanya

(13)

Working Paper LPEB Faculty of Economics, Mulawarman University - 2013

mempunyai sedikit industri pengolahan. Pertanyaannya sekarang, bagaimana kondisi wilayah yang tidak teraglomerasi, atau penempatan lokasi industri sangat minim di sana?

Hal ini dapat dengan gamblang kita jawab. Pertama, kondisi wilayah yang tidak teraglomerasi akan dirugikan, mengingat konsentrasi sumber daya (infrastruktur, tenaga kerja) tidak berkembang. Hal ini dikuatkan oleh Myrdal dalam Arsyad (1999), di mana daerah yang mengalami kerugian akibat adanya ekspansi ekonomi dari daerah lain menciptakan apa yang dinamakan backwash effects, dan munculnya pengaruh yang menguntungkan bagi daerah lain, seperti terjualnya hasil produksi daerah, dan kesempatan kerja baru disebut spread effects. Kedua, akibat tidak teraglomerasinya suatu wilayah, dapat dipastikan terjadi arus urbanisasi dari daerah non-aglomerasi ke wilayah aglomerasi. Akibatnya wilayah yang ditinggalkan akan semakin sulit mengalami perkembangan.

Untuk mengantisipasi dampak negatif tersebut diperlukan peran pemerintah yang memiliki kewenangan dalam mengarahkan perkembangan lokasi industri. Dalam hal ini pemerintah memiliki instrumen regulasi melalui arahan lokasi peruntukan industri dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) untuk mengarahkan perkembangan lokasi industri. RTRW ini sangatlah penting mengingat “letak wilayah” atau dalam hal ini “posisi geografis” sangat mempengaruhi preferensi perusahaan industri. Oleh karena itulah maka penentuan arahan tersebut, selaiknya pemerintah mempertimbangkan preferensi pelaku industri terhadap lokasi industri. Hal ini dapat dilakukan dengan mengkondisikan lokasi yang diarahkan sehingga mampu mengakomodasi preferensi pelaku industri terhadap lokasi industri. Misalnya dengan mempercepat pembangunan infrastuktur jalan yang melewati atau menuju ke wilayah dimaksud. Kebijakan yang tidak mempertimbangkan hal tersebut hanya akan berakibat pada tidak optimalnya pemanfaatan lokasi industri karena

(14)

Working Paper LPEB Faculty of Economics, Mulawarman University - 2013

lokasi tersebut tidak menarik bagi pelaku industri sehingga para pelaku industri akan mencari lokasi lain yang berpotensi bagi terjadinya penyimpangan lokasi. Dengan demikian diperlukan adanya suatu pedoman dalam penentuan arahan lokasi industri oleh pemerintah.

Era otonomi daerah setidaknya membuka peluang bagi pemerintah daerah untuk menciptakan suatu regulasi dan infrastruktur yang memadai bagi pengembangan dan pemanfaatan kawasan industri baru, yang dapat menciptakan aglomerasi kawasan industri di luar Pulau Jawa. Misalnya dengan membangun sentra-sentra baru kawasan industri. Hal ini dikuatkan dengan studi Nuryadin dkk (2007) tentang dampak aglomerasi di Indonesia tahun 1994-2003, dimana mereka menemukan konsentrasi aglomerasi yang terpusat di Jawa tidak membawa banyak manfaat bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Namun, jika aglomerasi ini dikembangkan ke luar daerah (non-Pulau Jawa), maka bisa memberikan kontribusi yang cukup besar dalam mendukung meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi daerah.

Untuk memperlancar tujuan tersebut, memang harus dibutuhkan kerjasama yang baik antara propinsi, kabupaten/kota mengenai koordinasi regulasi tingkat vertikal (antara pemerintah pusat-propinsi-kabupaten/kota) dan pada tingkat horisontal (antar kementerian, badan, maupun perusahaan industri), sehingga diperlukan reformasi mendasar perbaikan iklim bisnis, ekspor dan investasi di Indonesia. Jika kerja sama ini tidak terjalin dengan baik, sulit untuk berharap bahwa pelaku industri mau menentukan preferensinya sesuai dengan keinginan pemerintah, mengingat salah satu pertimbangan utama bagi perusahaan adalah sisi biaya dan ekspektasi profit. Jika ini terjadi, maka tidak bisa dipungkiri bahwa ketimpangan konsentasi industri di Indonesia akan terus ada dan tidak membawa perubahan signifikan apapun.

(15)

Working Paper LPEB Faculty of Economics, Mulawarman University - 2013 PENUTUP

Beberapa kesimpulan yang dapat dituliskan di akhir paper ini adalah: 1. Pertimbangan biaya dan ekspektasi profit (keuntungan), merupakan

faktor dominan bagi suatu pelaku industri dalam memilih lokasi usahanya.

2. Kawasan perkotaan atau pusat pertumbuhan, umumnya menjadi pilihan utama bagi pelaku industri, mengingat kawasan ini yang menawarkan penghematan biaya akibat kemudahan aksesibilitas dan keberadaan infrastruktur kota. Fenomena ini disebut sebagai localization economies. Di Indonesia sendiri wilayah konsentrasi industri manufaktur tersebar di kota-kota besar yang berada di Pulau Jawa dan Sumatra, sehingga menimbulkan ketimpangan yang mencolok terkait perkembangan sektor industri di wilayah Pulau Jawa dan non-Pulau Jawa.

3. Dampak dari aglomerasi industri, dari sisi perusahaan memang menguntungkan akibat faktor kedekatan lokasi dengan perusahaan sejenis dan kemudahan sumber daya (infrastruktur dan tenaga kerja). Namun bagi suatu wilayah yang lebih luas, aglomerasi menimbulkan dampak yang merugikan setidaknya adalah ketimpangan distribusi kegiatan industri dan urbanisasi dari wilayah yang non-aglomerasi ke wilayah aglomerasi.

4. Pemerintah, punya andil penting dalam membuat suatu regulasi yang meng-create sentra kawasan industri baru. Era otonomi daerah, memberi peluang meminimalkan ketimpangan yang mencolok antar wilayah yang teraglomerasi dan tidak. 

(16)

Working Paper LPEB Faculty of Economics, Mulawarman University - 2013

Referensi :

Arsyad, Lincolin. 1999. Pengantar Perencanaan Pembangunan Ekonomi

Daerah. Penerbit BPFE, Yogyakarta.

Basri, Faisal. 2009. Catatan Satu Dekade Krisis: Transformasi, Masalah

Struktural, dan Harapan Ekonomi Indonesia. Penerbit Erlangga, Jakarta.

Farid, Fahrial. 2004. Identifikasi Faktor Penentu Lokasi Industri di Kota

Semarang dan Daerah yang Berbatasan. Tesis tidak dipublikasikan. Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Diponegoro, Semarang.

Harmadi, Sonny Harry B. dan Ardhi Santoso. Analisis Efek Limpahan

Modal Manusia Terhadap Produktivitas Industri Manufaktur. Jurnal

Ekonomi Indonesia No. 2 Desember 2007: 27-44.

Hayter, R. 2000. The Dynamic of Industrial Location: The Factory, the

Firm, and the Production System. Chichester: John Wiley & Sons.

Hidayati, Amini dan Mudrajad Kuncoro. 2002. Konsentrasi Geografis

Industri Manufaktur di Greater Jakarta dan Bandung Periode 1980 – 2000: Menuju Satu Daerah Aglomerasi? www.mudrajad.com.

Kresna, R. 2005. Analisis Spasial Industri Besar Menengah Jawa

Timur: Studi Kasus Koridor Utara Selatan Tahun 1990 – 2001. Tesis Tidak Dipublikasikan. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Kuncoro, M. 1999. Ekonomi Pembangunan. Penerbit STIE YKPN,

Yogyakarta.

Kuncoro, M. 2002. Adakah Perubahan Konsentrasi Spasial Industri

Manufaktur di Indonesia, 1976-2001? www.mudrajad.com.

Kuncoro, M. 2002. Analisis Spasial dan Regional Studi Aglomerasi & Kluster Industri Indonesia. Cetakan Pertama, Penerbit UPP AMP YKPN, Yogyakarta.

Kusumaningrum, Retno. 2006. Perancangan Model Pendukung Keputusan Untuk Penentuan Lokasi Industri Berdasarkan Proses

Hierarki Analitik. Jurnal Matematika, Vol. 9, No.1, April 2006: 139

– 143.

Kwanda, Timoticin. 2000. Pengembangan Kawasan Industri di

Indonesia. Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 28, No. 1 Juli 2000: 54

– 61.

Nuryadin, Didi., Jamzani Sodik, dan Dedi Iskandar. 2007. Aglomerasi

dan Pertumbuhan Ekonomi : Peran Karakteristik Regional di Indonesia. Parallel Session IVA : Urban & Regional 13 Desember 2007, Kampus UI – Depok.

Sjafrizal. 2009. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Penerbit Rajawali Press.

Gambar

Gambar  1.    Prosentase  Pangsa  Sektor  Pertanian  dengan  Sektor  Industri  terhadap  PDB Indonesia (1985 – 2000)
Gambar 2.1. Faktor Penentu Lokasi Industri
Tabel 1. Kecenderungan Karakteristik Lokasional Pelaku Industri: Mengacu  ke Faktor yang Mempengaruhi
Gambar 3. Konsentrasi IBM  di Pulau Jawa Berdasarkan Tenaga Kerja, Tahun  1995

Referensi

Dokumen terkait

Penetapan Kota Salatiga sebagai salah satu dari delapan daerah yang termasuk dalam kawasan industri cukup beralasan karena, dalam merencanakan suatu kawasan

Bagian Barat Kecamatan Kota yaitu Kecamatan Gebog dan Kecamatan Kaliwungu sebagai sektor pemukiman dan industri, juga terdapat 5 lokasi industri besar di Kecamatan Gebog dan 12

Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan jumlah dan lokasi halte rute I BRT di Kota Surakarta sehingga dapat memberikan akses yang layak ke halte terdekat kepada

Fenomena pulau bahang ( urban heat island ) terjadi di Kota Semarang dibuktikan dengan suhu permukaan rata-rata yang turun dari daerah pusat kota ke pinggiran kota.. Kata Kunci

Daerah yang menjadi incaran para investor untuk melakukan penanaman modal yaitu Kabupaten Nganjuk karena akses jalan utama yang mudah dan UMK (Upah

Hal ini berarti bahwa titik pusat kegiatan pemasaran didasarkan pada suatu aplikasi penetapan lokasi dan bauran promosi pada perpustakaan umum kota Payakumbuh agar konsumen

Mampu menjelaskan gejala desakota sebagai ciri perkotaan di Asia setelah mendapat informasi tentang pertumbuhan kota di daerah pusat pertumbuhan

Tabel 2.1 Kriteria Tipologi Wilayah Peri-Urban Tipologi Karakteristik Pinggiran Dominan kota permukiman kepadatan tinggi kawasan perdagangan dan jasa industri ringan/manufaktur