• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Konsentrasi Spasial dan Faktor yang Memengaruhi Aglomerasi Industri Manufaktur di Kawasan Barat Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Konsentrasi Spasial dan Faktor yang Memengaruhi Aglomerasi Industri Manufaktur di Kawasan Barat Indonesia"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

ix

ANALISIS KONSENTRASI SPASIAL DAN FAKTOR YANG

MEMENGARUHI AGLOMERASI INDUSTRI MANUFAKTUR

DI KAWASAN BARAT INDONESIA

MEILANI PUTRI

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

ix

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Konsentrasi Spasial dan Faktor yang Memengaruhi Aglomerasi Industri Manufaktur di Kawasan Barat Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

(4)

ii

ABSTRAK

MEILANI PUTRI. Analisis Konsentrasi Spasial dan Faktor yang Memengaruhi Aglomerasi Industri Manufaktur di Kawasan Barat Indonesia. Dibimbing oleh WIWIEK RINDAYANTI

Ketimpangan regional terjadi akibat perbedaan sumberdaya dan kegiatan ekonomi yang dihasilkan oleh tiap daerah. Pengembangan potensi daerah yang dilakukan harus mendorong sektor-sektor perekonomian sesuai dengan keunggulan yang dimiliki oleh daerahnya. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis perkembangan ketimpangan regional, konsentrasi spasial dan aglomerasi industri manufaktur di wilayah Kawasan Barat Indonesia (KBI). Penelitian ini menggunakan alat analisis, yaitu Indeks Williamson, Sistem Informasi Geografi (SIG), Indeks Hoover Balassa dan data panel. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa terdapat ketimpangan regional yang relatif sedang antar wilayah dan terdapat beberapa provinsi dengan titik konsentrasi spasial industri manufaktur. Variabel-variabel yang secara signifikan memengaruhi aglomerasi sektor industri manufaktur adalah Indeks Persaingan Industri, ukuran perusahaan, Penanaman Modal Asing (PMA), panjang jalan, nilai tambah dan jumlah perusahaan Industri Besar dan Sedang (IBS). Peta distribusi lokasi industri manufaktur yang lebih merata dapat meningkatkan pendapatan serta kesejahteraan masyarakat daerah. Kata kunci: Indeks Williamson, Indeks Hoover Balassa, SIG, aglomerasi, data panel

ABSTRACT

MEILANI PUTRI. Analysis of Spatial Consentration and Agglomeration Factor of Manufacturing Industry in Western Region of Indonesia. Supervised by WIWIEK RINDAYATI

Regional inequalities can be occured because of differences in resources and the economic activity generated by each region. Manufacturing industry is important sector that can encourage growth and development of other sectors. The purposes of this research is to analyze the development of regional imbalances, spatial concentration and agglomeration factor of manufacturing industry in the western region of Indonesia. This research uses the analysis tool Williamson Index, Geography Information System (GIS), Hoover Balassa Index and panel data. Results of the study indicate that there is a relatively medium regional imbalances in the distribution income and there are regions have point of consentration spatial of manufacturing industries. Variables that constantly affect the agglomeration of manufacturing industry is Competition Industry Index, size of company, foreign investment, road, value added and number of large and medium manufacturing industries. Map of the distribution of the location of the manufacturing industry which is more evenly distributed can increase the income and welfare of society.

(5)

ix

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ilmu Ekonomi

ANALISIS KONSENTRASI SPASIAL DAN FAKTOR YANG

MEMENGARUHI AGLOMERASI INDUSTRI MANUFAKTUR

DI KAWASAN BARAT INDONESIA

MEILANI PUTRI

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

ix

Judul Skripsi : Analisis Konsentrasi Spasial dan Faktor yang Memengaruhi Aglomerasi Industri Manufaktur di Kawasan Barat Indonesia

Nama : Meilani Putri NIM : H14090029

Disetujui oleh

Dr. Ir. Wiwiek Rindayati Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim Ketua Departemen

(8)

vi

PRAKATA

Puji dan syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini ialah industri manufaktur di wilayah Kawasan Barat Indonesia (KBI), dengan judul Analisis Konsentrasi Spasial dan Faktor yang Memengaruhi Aglomerasi Industri Manufaktur di KBI. Masalah industri manufaktur dipilih menjadi topik penelitian karena dianggap penting terutama dalam kontribusinya dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) wilayah KBI yang semakin meningkat. Pembangunan industri manufaktur yang tidak merata di setiap daerah mengindikasikan adanya ketimpangan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi daerah. Selanjutnya, masalah ini akan menimbulkan titik-titik konsentrasi di wilayah tertentu karena perbedaan sumberdaya dan kemampuan yang dihasilkan tiap daerah. Titik-titik konsentrasi ini mengumpul dan membentuk aglomerasi dengan tujuan agar mendapatkan manfaat skala, lokasi dan urbanisasi.

Terima kasih juga diucapkan kepada orang tua dan keluarga penulis, yakni Bapak Hermawan SH MM dan Ibu Erwina SH serta kakak dari penulis, Ripal Agusta atas segala doa dan dukungan yang selalu diberikan. Selain itu ucapan terima kasih juga ditujukan kepada:

1. Ibu Dr Ir Wiwiek Rindayati selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan, bimbingan, saran dan motivasi dengan sabar dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Ibu Sahara Ph.D selaku dosen penguji utama dan Ibu Laily Dwi Arsyianti, M.Sc selaku dosen penguji dari komisi pendidikan atas kritik dan saran yang telah diberikan untuk perbaikan skripsi ini.

3. Para dosen, staf dan seluruh civitas akademik Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPN yang telah memberikan ilmu dan berbagai bantuan.

4. Teman-teman satu bimbingan Astrid, Alfi dan Rahmat yang telah banyak memberikan bantuan, saran, kritik, motivasi dan dukungannya dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Sahabat penulis Ilmu Ekonomi 46 Sonya, Manda, Gina, Srikandhi, Raisha, Anisaul, Irene, Nella, Merlyn yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Sahabat penulis “Kost Sinabung” Echi, Wewe, Bagas, Tesa, Anin, Vera, Vini, Vici, Yusi dan Rahma yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. 7. Sahabat penulis Ady Mentayadiputra yang telah banyak memberikan bantuan,

motivasi dan dukungannya dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013

(9)

ix

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 4

Tujuan Penelitian ... 5

Manfaat Penelitian ... 5

Ruang Lingkup Penelitian ... 6

TINJAUAN PUSTAKA ... 6

Ketimpangan Pembangunan Wilayah ... 6

Konsentrasi Spasial ... 8

Aglomerasi Sektor Industri Manufaktur ... 9

Penelitian Terdahulu ... 11

Kerangka Pemikiran ... 13

METODE ... 14

Jenis dan Sumber Data ... 14

Metode Analisis Data ... 14

Indeks Williamson ... 15

Analisis Sistem Informasi Geografi ... 15

Indeks Hoover Balassa... 16

Analisis Regresi Data Panel ... 17

Pemilihan Model Terbaik ... 18

Pengujian Asumsi ... 19

Spesifikasi Model ... 20

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21

Gambaran Umum ... 21

Ketimpangan Pembangunan Wilayah ... 31

(10)

viii

Faktor yang Memengaruhi Aglomerasi Industri Manufaktur ... 38

SIMPULAN DAN SARAN... 41

Simpulan ... 41

Saran ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 43

LAMPIRAN ... 45

RIWAYAT HIDUP ... 53

DAFTAR TABEL

1 PDRB Atas Dasar Harga Konstan Menurut Kawasan dan Lapangan

Usaha Tahun 2011 2

2 Luas wilayah KBI dan Persentase Terhadap Luas Indonesia Tahun

2011 3

3 Perkembangan Jumlah Perusahaan IBS Wilayah KBI Tahun 2007-2010 22 4 Jumlah Perusahaan IBS Menurut Subsektor dan Provinsi Wilayah KBI

Tahun 2011 23

5 Peringkat (rank) Menurut Tenaga Kerja IBS Wilayah KBI Tahun 2011 34 6 Peringkat (rank) menurut Rata-Rata Nilai Tambah IBS Menurut

Provinsi Tahun 2011 35

7 Indeks Hoover Ballasa menurut Provinsi Tahun 2009-2011 37 8 Hasil Estimasi Persamaan Faktor yang Memengaruhi Aglomerasi 39

DAFTAR GAMBAR

1 PDB Atas Dasar Harga Konstan tahun 2007-2012 1

2 PDRB Per Kapita Menurut Provinsi Tahun 2011 4

3 Hipotesis Teori Neo-klasik 7

4 Perkembangan Konsep dan Paradigma Mengenai Aglomerasi 10

5 Kerangka Pemikiran Penelitian 13

6 Indeks Persaingan Industri Menurut Provinsi Wilayah KBI Tahun 2011 24 7 Ukuran Perusahaan Menurut Provinsi Wilayah KBI Tahun 2011 25

8 PMA Menurut Provinsi Wilayah KBI Tahun 2011 26

9 PMDN Menurut Provinsi Wilayah KBI Tahun 2011 27

10 Panjang Jalan Menurut Provinsi Wilayah KBI Tahun 2011 28

11 UMP Menurut Provinsi Wilayah KBI Tahun 2011 29

(11)

ix

15 Indeks Williamson Intra Provinsi Wilayah KBI Tahun 2011 32 16 Perkembangan SIG menurut Jumlah Tenaga Kerja IBS Wilayah KBI

Tahun 2011 34

17 Perkembangan SIG Rata-Rata Nilai Tambah IBS Wilayah KBI Tahun

2011 36

DAFTAR LAMPIRAN

18 Indeks Williamson Antar Provinsi Wilayah KBI tahun 2002-2011 45 19 Indeks Williamson Intra Provinsi Wilayah KBI Tahun 2002-2011 45 20 Indeks Hoover Balassa (LQ TK) Provinsi Wilayah KBI Tahun

2009-2011 46

(12)
(13)

1

sumber: BPS, 2012 (diolah)

Gambar 1 PDB Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2007-2011 0

Indonesia memiliki rencana pembangunan secara terarah dan intensif melalui program Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional tahun 2010 sampai tahun 2014. Program ini bertujuan sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam menyusun atau menyesuaikan rencana pembangunan daerahnya masing-masing dalam rangka pencapaian sasaran pembangunan nasional. Rencana pembangunan sangat diperlukan oleh pemerintah daerah sebagai arahan dalam rangka mempercepat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi daerah. Arah pembangunan Indonesia sejak tahun 1990 telah bertransformasi dari negara berbasis pertanian menjadi negara berbasis industri, dimana kontribusi sektor industri manufaktur dalam PDB (Produk Domestik Bruto) telah melampaui kontribusi sektor pertanian (Shofiyana 2012). Hal ini sesuai dengan target Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II bahwa pertumbuhan ekonomi rata-rata 7%, tingkat pengangguran turun menjadi kisaran 5 sampai 6%, serta tingkat kemiskinan turun menjadi kisaran 8 sampai 10%. Tujuan tersebut dapat diwujudkan dengan kontribusi sektor industri manufaktur yang diharapkan dapat menjadi penggerak utama perekonomian nasional. Berikut merupakan gambar yang menunjukkan kontribusi lima sektor tertinggi dalam PDB nasional.

(14)

2

dan mengangkat pembangunan di sektor lainnya, seperti sektor pertanian, perdagangan dan jasa. Hal ini juga sejalan dengan Peraturan Presiden Nomor 28 tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional, yaitu untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara industri yang tangguh pada tahun 2025, menghadapi tantangan dan kendala yang ada, serta merevitalisasi industri nasional.

Pengembangan sektor industri manufaktur yang merata merupakan salah satu cara untuk meningkatkan pendapatan dan laju pertumbuhan ekonomi nasional. Pembangunan sektor industri manufaktur merupakan titik awal pengembangan perekonomian daerah dalam rangka untuk meningkatkan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) dan pertumbuhan ekonomi daerah. Dimulainya era otonomi daerah dan desentralisasi fiskal mendorong masing-masing daerah untuk meningkatkan daya saing dan keunggulan komparatif daerahnya.

Pemerataan hasil-hasil pembangunan adalah salah satu upaya untuk mewujudkan pembangunan melalui konsentrasi spasial melalui kontribusi sektor industri terhadap PDRB (Chollidah 2012). Pembangunan industri manufaktur yang tidak merata menimbulkan ketimpangan dalam pembangunan, karena perbedaan sumberdaya dan kegiatan ekonomi yang dihasilkan. Ketidakmerataan sumberdaya ini tercermin pada konsentrasi kegiatan ekonomi di daerah tertentu saja. Oleh karena itu, masalah lokasi dari setiap kegiatan pembangunan industri baik secara nasional maupun regional harus dipertimbangkan secara mendalam dan tepat.

Wilayah Indonesia diklasifikasikan menjadi dua kawasan, yaitu Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Setiap kawasan memiliki keunggulan komparatif yang terspesialisasi pada sektor tertentu sesuai dengan kemampuan daerahnya. Tabel 1 menunjukkan PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 pada wilayah KBI dan KTI.

Tabel 1 PDRB Atas Dasar Harga Konstan Menurut Kawasan dan Lapangan Usaha Tahun 2011 (miliar rupiah)

1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan 283 471 52 332

2 Pertambangan dan Penggalian 150 295 20 011

3 Industri Manufaktur 543 914 17 366

4 Listrik, Gas dan Air Bersih 26 100 85 347

5 Konstruksi 130 833 15 259

6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 468 654 30 530

7 Pengangkutan dan Komunikasi 175 319 17 144

8 Kuangan, Real Estat dan Jasa 198 245 11 198

9 Jasa-jasa 195 770 25 350

Total 2 172 601 274 537

Sumber: BPS, 2013 (diolah)

(15)

3 bagi pembentukan PDRB di wilayah KTI. Namun, sektor listrik, gas dan air bersih merupakan perusahaan negara yang pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah setempat, sehingga tidak digolongkan sebagai usaha pribadi masyarakat. Sektor kedua terbesar dalam pembentukan PDRB wilayah KTI adalah sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan yang merupakan sektor yang dikelola dan diolah oleh masyarakat. Sektor industri manufaktur dan pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam pembangunan dan pertumbuhan ekonomi daerah. Kedua sektor ini juga memiliki lokasi dan karakteristik tertentu dalam pembangunan dan perkembangannya. Sektor industri manufaktur umumnya berlokasi di daerah maju dan berkembang pesat (perkotaan), sedangkan sektor pertanian umumnya berlokasi di daerah perdesaan dimana masih terdapat lahan bagi aktivitas pertanian (Kurniawan dan Sugiyanto 2013).

Penelitian ini akan menganalisis sektor industri manufaktur sehingga objek lokasi yang akan diteliti adalah wilayah KBI. Wilayah KBI dipilih berdasarkan kontribusi sektor industri manufaktur yang lebih besar dibandingkan dengan sektor lainnya. Wilayah KBI memiliki potensi yang dibutuhkan untuk pembangunan industri manufaktur, didukung dengan letak geografisnya yang dekat dengan pusat pemerintahan dan kegiatan ekonomi. Potensi lainnya yang dimiliki oleh wilayah KBI dapat ditunjukkan dari luas wilayah total yang mencapai 995 778.58 km2.

Tabel 2 Luas Wilayah KBI dan Persentase Terhadap Luas Indonesia Tahun 2011

Provinsi Luas (km2) Perbandingan terhadap Luas Indonesia (%)

Sumatera Utara 72 981.2 3.82

Sumatera Barat 42 012.8 2.2

Riau 8 023.6 4.55

Jambi 50 058.1 2.62

Sumatera Selatan 91 592.4 4.79

Lampung 34 623.8 1.81

Kalimantan Barat 1 47307.0 7.71

Kalimantan Tengah 153 564.5 8.04

Kalimantan Timur 204 534.3 10.7

Sumber : BPS, 2010 (diolah)

(16)

4

yang dimiliki oleh wilayah KBI yang dapat ditingkatkan, sesuai dengan keunggulan komparatif masing-masing provinsi. Setiap provinsi memiliki sumber daya yang berbeda-beda, sehingga setiap kebijakan industri yang dibuat oleh pemerintah akan menimbulkan hasil yang tidak sama. Salah satu cara untuk mengatasinya adalah menciptakan spesialisasi sesuai dengan kemampuan dan keunggulan sektor yang dimiliki tiap provinsi. Sektor industri manufaktur diharapkan dapat mempercepat pemerataan dan pertumbuhan ekonomi daerah.

Perumusan Masalah

Pembangunan yang merata di setiap daerah merupakan target dan sasaran yang ingin dicapai oleh pemerintah pusat. Perbedaan sumber daya, faktor produksi dan kebijakan daerah menyebabkan pembangunan yang tidak merata dan terpusat hanya di beberapa titik tertentu. Provinsi yang memiliki banyak faktor produksi akan memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dibandingkan provinsi lain. Kondisi ini menyebabkan munculnya ketimpangan terutama pembangunan sektor industri manufaktur yang tidak merata. Hal ini terjadi karena wilayah maju memiliki daya tarik yang tidak dimiliki oleh wilayah pinggiran atau terbelakang. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur ketimpangan wilayah adalah PDRB per kapita. Berikut merupakan PDRB per kapita Atas Dasar Harga Konstan 2000 menurut provinsi wilayah KBI.

Sumber: BPS, 2013 (diolah)

Gambar 2 PDRB Per Kapita Menurut Provinsi Tahun 2011

Gambar 2 menunjukkan bahwa PDRB per kapita tertinggi dimiliki oleh provinsi DKI Jakarta dan PDRB per kapita terendah adalah provinsi Lampung. PDRB per kapita menunjukkan perbandingan pendapatan suatu daerah yang terhadap jumlah penduduk. Tingginya tingkat pendapatan per kapita mencerminkan tingginya jumlah barang dan jasa yang dihasilkan dan tingkat kemakmuran masyarakat pun relatif baik. Gambar 2 menunjukkan hanya ada dua provinsi yang memiliki PDRB per kapita yang tinggi, yaitu DKI Jakarta dan Kalimantan Timur, hal ini dikarenakan DKI Jakarta merupakan pusat kegiatan

(17)

5 ekonomi dan pemerintahan serta Kalimantan Timur yang memiliki kekayaan alam yang tidak dimiliki oleh daerah lainnya.

Sektor industri manufaktur akan lebih mudah ditingkatkan bila industri mengelompok dan berkumpul sehingga tercapai suatu peghematan, kegiatan ini disebut juga sebagai aglomerasi. Pengelompokkan ini akan meningkatkan kinerja sektor industri melalui beberapa keunggulan, seperti penghematan skala, lokasi dan urbanisasi. Menurut Purwaningsih (2011) bahwa semakin teraglomerasi secara spasial suatu perekonomian, maka akan semakin meningkat pertumbuhannya. Pembangunan sektor industri manufaktur dengan kebijakan yang berorientasi spasial dan regional merupakan salah satu faktor kunci yang dapat mendukung pemerintah pusat dan daerah dalam merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan pembangunan. Penelitian ini akan menganalisis konsentrasi daerah industri yang mengakibatkan terbentuknya aglomerasi sektor industri maufaktur pada lokasi tertentu. Oleh karena itu, penelitian ini juga akan menganalisis faktor-faktor apa saja yang memengaruhi terbentuknya aglomerasi.

Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan utama yang ingin dibahas dalam penelitian ini adalah:

1 Bagaimana kondisi ketimpangan wilayah antar dan intra provinsi di wilayah KBI?

2 Dimanakah titik-titik konsentrasi spasial industri manufaktur di wilayah KBI? 3 Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur di

wilayah KBI?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian pada latar belakang dan perumusan masalah, maka penelitian ini pada intinya bertujuan untuk:

1 Menganalisis kondisi ketimpangan wilayah antar dan intra provinsi di wilayah KBI.

2 Menganalisis letak titik-titik konsentrasi spasial industri manufaktur di wilayah KB.

3 Mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur di wilayah KBI.

Manfaat Penelitian

(18)

6

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mencakup periode 10 tahun, yaitu dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2011. Penelitian ini akan menganalisis wilayah KBI dengan yang dibatasi menjadi 16 provinsi, dimana provinsi Aceh, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Selatatan tidak diikutsertakan. Alasannya, karena terdapat beberapa provinsi baru sehingga dikembalikan pada daerah asalnya serta keterbatasan data yang dimiliki oleh penulis. Data yang terkaitan dengan industri manufaktur dibatasi hanya untuk perusahaan yang tergolong Industri Besar dan Sedang (IBS) tanpa mengikutsertakan industri kecil karena keterbatasan data. Kategori industri besar sedang mengikuti klasifikasi BPS, yaitu suatu perusahaan industri dikatakan berskala sedang jika mempunyai tenaga kerja 20 orang sampai dengan 99 orang dan berskala besar jika mempunyai tenaga kerja 100 orang atau lebih.

TINJAUAN PUSTAKA

Ketimpangan Pembangunan Wilayah

Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses kerja antara pemerintah daerah dan masyarakatnya dalam mengelola sumber daya dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut (Kuncoro 2004). Perbedaan tingkat pembangunan akan menyebabkan tingkat kesejahteraan yang berbeda antar daerah, dan akan menimbulkan ketimpangan regional. Ketimpangan wilayah adalah ketidakmerataan dalam hal penguasaan sumberdaya alam atau sumber penerimaan daerah satu dengan daerah lainnya, dan juga perkembangan sektor-sektor ekonomi setempat (Adisasmita 2006).

(19)

7

Ketimpangan pada negara sedang berkembang relatif lebih tinggi karena pada waktu proses pembangunan baru dimulai, kesempatan dan peluang pembangunan yang ada umumnya dimanfaatkan oleh daerah-daerah yang kondisi pembangunannya sudah lebih baik sedangkan daerah yang masih terbelakang tidak mampu memanfaatkan peluang ini karena keterbatasan prasarana dan saran serta rendahnya kualitas sumberdaya manusai. Oleh sebab itu, pertumbuhan ekonomi cenderung lebih cepat di daerah dengan kondisi yang lebih baik, sedangkan daerah yang terbelakang tidak banyak mengalami kemajuan. Pada negara yang telah maju di mana kondisi yang lebih baik dari segi prasarana dan sarana serta kualitas sumber daya manusia, setiap kesempatan peluang pembangunan dapat dimanfaatkan secara lebih merata antar daerah. Sehingga, proses pembangunan pada negara maju cenderung mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah.

Ukuran ketimpangan pembangunan antar daerah dapat digunakan dengan menggunakan alat analisis yang disebut Indeks Williamson. Indeks ini ditemukan oleh Williamson (1965) yang meneliti hubungan antara ketimpangan wilayah regional dan tingkat pembangunan ekonomi dengan menggunakan data ekonomi negara yang sudah maju dan negara yang sedang berkembang. Secara statistik, indeks ini sebenarnya adalah coefficient of variation yang lazim digunakan untuk mengukur suatu perbedaan. Tahap awal pembangunan, ketimpangan wilayah menjadi lebih besar dan pembangunan terkonsentrasi pada daerah-daerah tertentu. Pada tahap pertumbuhan ekonomi yang lebih maju, terdapat keseimbangan antardaerah dan ketimpangan akan berkurang secara signifikan.

Indikator yang juga dapat digunakan untuk menganalisis ketimpangan pembangunan antar wilayah antara lain PDRB, Konsumsi Rumah Tangga Perkapita, Kontribusi sektoral terhadap PDRB, Tingkat kemiskinan dan Struktur Fiskal. Alat analisis lain yang juga dapat digunakan untuk mengukur ketimpangan pembangunan (pendapatan) adalah Indeks Williamson, Gini Ratio, Kurva Lorentz, Kriteria Bank Dunia, dan Indeks Entrophy Theil.

Sumber: Sjafrizal, 2008

Gambar 3 Hipotesis Teori Neo-klasik Tingkat pembangunan nasional Tingkat

ketimpangan

(20)

8

Konsentrasi Spasial

Konsensus umum dalam paradigma geografi ekonomi baru adalah bahwa liberalisasi perdagangan mendorong penyebaran kegiatan manufaktur. Studi empiris mengenai distribusi geografi kegiatan manufaktur yang tidak merata dan terus-menerus berlangsung dalam jangka panjang telah banyak dilakukan di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa. Wilayah Amerika Serikat faktanya lebih terkonsentrasi secara geografis dibandingkan negara Uni Eropa. Negara Uni Eropa cenderung merupakan industri yang padat modal dan berlokasi pada daerah inti, sedangkan industri-industri padat karya relatif lebih tersebar secara geografis.

Derajat pengelompokkan industri secara geografis memainkan peranan penting dalam menentukan sektor manakah yang memiliki keunggulan kompetitif pada skala internasional. Dewasa ini, hipotesis bahwa kluster industri yang ditandai dengan konsentrasi geografis dari perusahaan-perusahaan dan institusi-institusi yang saling berkaitan satu sama lain pada suatu bidang tertentu. Konsentrasi spasial memperlihatkan kontribusi suatu wilayah dan distribusi lokasi dari suatu industri. Apabila ada distribusi spasial yang tidak merata dan terdapat wilayah yang mendominasi kawasan industri, maka hal ini menunjukkan adanya industri yang terkonsentrasi secara spasial di wilayah tersebut (Kuncoro 2004).

Konsentrasi spasial merupakan pengelompokkan setiap industri dan aktivitas ekonomi secara spasial, dimana industri tersebut berlokasi pada suatu wilayah tertentu. Hal ini sejalan dengan Teori Kutub Pertumbuhan oleh Perroux yang menyatakan bahwa pertumbuhan tidak muncul di berbagai tempat dan waktu yang sama. Pertumbuhan hanya terjadi di beberapa tempat yang merupakan pusat (kutub) pertumbuhan dengan intensitas yang berbeda. Perusahaan yang menguasai dominasi ekonomi pada umumnya adalah industri besar dan industri pendorong yang dianggap sebagai titik awal proses pembangunan dan merupakan elemen penting untuk tahapan pembangunan selanjutnya. Sehingga, industri dominan dan pendorong akan menimbulkan aglomerasi yang hanya terjadi pada kutub-kutub pertumbuhan tertentu (Adisasmita 2005).

Konsentrasi spasial tidak hanya disebabkan oleh perbedaan dari struktur industri dan eksternalitas, akan tetapi juga diperluas pada transaksi yang tidak melalui pasar. Ada tiga hal yang saling terkait dalam konsentrasi spasial, yaitu skala ekonomi, biaya transportasi dan permintaan. Untuk mendapatkan dan meningkatkan kekuatan skala ekonomis, perusahaan-perusahaan cenderung berkonsentrasi secara spasial dan melayani seluruh pasar dari suatu lokasi. Sedangkan untuk meminimalisasi biaya transportasi, perusahaan-perusahaan cenderung pada wilayah yang memiliki permintaan lokal yang besar, akan tetapi permintaan lokal yang besar cenderung berlokasi di sekitar terkonsentrasinya aktivitas ekonomi, seperti kawasan industri maupun perkotaan. Konsentrasi spasial akan menciptakan keuntungan yang berupa penghematan lokalisasi dan penghematan urbanisasi yang merupakan faktor pendorong terjadinya aglomerasi.

(21)

9 mengelompok secara spasial. Prosedur standar dalam merancang dan menggunakan SIG, yaitu pengumpulan data awal, konstruksi basis data, analisis dan kajian spasial dan penyajian grafis (Kuncoro 2002).

Konsentrasi spasial juga dapat diukur dengan menggunakan Indeks Hoover Balassa yang merupakan indikator dalam menentukan seberapa jauh suatu industri terkonsentrasi pada suatu daerah dibandingkan industri di seluruh wilayah. Metode penentuan konsentrasi spasial dilakukan dengan cara menghitung antara tenaga kerja sektor industri manufaktur pada terhadap tenaga kerja total semua sektor di daerah bawah dengan tenaga kerja sektor industri manufaktur pada daerah atas terhadap tenaga kerja total semua sektor di daerah atas (Priyarsono et al 2007). Peningkatan nilai LQ untuk suatu daerah industri menunjukkan adanya peningkatan spesialisasi industri dalam daerah tersebut. Sebaliknya penurunan nilai LQ untuk suatu daerah industri menunjukkan penurunan spasialisasi industri dalam daerah tersebut. Spesialisasi yang tinggi pada suatu daerah industri di daerah tertentu dapat mempercepat pertumbuhan industri di wilayah tersebut. Hal ini dikarenakan bahwa pengetahuan yang diperoleh sebuah perusahaan dapat menguntungkan perusahaan lainnya, khususnya perusahaan yang masih dalam suatu industri yang sama. Alat ukur untuk menganalisis konsentrasi spasial juga dapat menggunakan KSPEC, Gini lokasional, Indeks Entrophy Theil, Herfindahl Indeks, Indeks Ellison- Glaeser dan lain sebagainya.

Aglomerasi Sektor Industri Manufaktur

Istilah aglomerasi pertama kali diperkenalkan oleh Weber dan disempurnakan oleh Alfred Marshall (1920) mengenai penghematan aglomerasi (agglomeration economies) atau disebut juga sebagai industri yang terlokalisir (localized industries). Menurut Marshall, sebuah industri akan memilih lokasi yang memungkinkan untuk berlangsungnya kegiatan ekonomi dalam jangka panjang sehingga keuntungan akan meningkat apabila mendirikan usaha di sekitar lokasi tersebut. Perusahaan akan cenderung selalu mengelompok di lokasi tertentu. Hal ini mengindikasikan bahwa skala pengembalian yang meningkat dapat dicapai oleh perusahaan-perusahaan dalam kelompok tersebut, jika hal tersebut tidak tercapai maka pengelompokkan yang hanya bersifat sementara. Menurut McCann (2001) bahwa terdapat tiga sumber mengapa skala pengembalian meningkat selalu tercapai, yaitu:

1 Kelimpahan Informasi (Information Spillovers)

Jika banyak perusahaan pada industri yang tergolong sejenis, maka dengan beraglomerasi pada lokasi yang sama maka tenaga kerja pada perusahaan tertentu akan secara relatif mudah berhubungan dengan tenaga kerja dari perusahaan lokal lain. Dengan demikian, pertukaran informasi baik antar tenaga kerja maupun antar perusahaan akan lebih mudah dan berlangsung setiap saat.

2 Input Lokal yang Tidak Diperdagangkan (Non-traded local inputs)

(22)

10

di perusahaan-perusahaan tersebut dibandingkan jika input tersebut dibeli secara individu oleh perusahaan-perusahaan tersebut.

3 Ketersediaan Tenaga Kerja Terampil Lokal (Local skilled-labour pool)

Ketersediaan tenaga kerja terampil di wilayah tersebut akan menyebabkan turunnya biaya tenaga kerja bagi perusahaan-perusahaan di lokasi tersebut.

Tujuan dari adanya aglomerasi adalah agar mampu menciptakan manfaat-manfaat yang tidak diperoleh bila letak industri tersebut menyebar, antara lain:

1 Penghematan Skala (scala economies), yaitu adanya penghematan dalam produksi secara internal bila skala produksinya ditingkatkan. Sehingga dapat memberikan manfaat pada konsentrasi penduduk dalam jumlah besar daripada jumlah penduduk yang lebih sedikit, industri dan kegiatan lainnya. 2 Penghematan lokasi (lokalization economies), yaitu kekuatan yang

diasosiasikan dengan penghematan yang dinikmati oleh semua perusahaan dalam suatu industri yang sejenis pada suatu lokasi tertentu.

3 Penghematan urbanisasi (urbanization economies), yaitu jenis penghematan yang diasosiasikan dengan pertambahan jumlah total (penduduk, hasil industri, pendapatan dan kemakmuran) di suatu lokasi untuk semua kegiatan yang dilakukan bersama-sama.

Perkembangan konsep dan paradigma mengenai aglomerasi dapat dirangkum dalam Gambar 4. Gambar ini memperlihatkan bahwa studi atau teori mengenai aglomerasi dapat digolongkan dalam perspektif klasik dan modern.

sumber: Kuncoro, 2002

Gambar 4 Perkembangan Konsep dan Paradigma Mengenai Aglomerasi

(23)

11 Perspektif atau teori klasik berpendapat bahwa aglomerasi muncul karena para pelaku ekonomi berupaya mendapatkan penghematan aglomerasi (agglomeration economies), baik karena penghematan lokalisasi maupun penghematan urbanisasi, dengan mengambil lokasi yang saling berdekatan satu sama lain. Para ekonom biasanya membedakan antara dua pendekatan, yaitu penghematan internal dan eksternal serta penghematan akibat skala ekonomis dan cakupannya. Penghematan internal merupakan suatu pengurangan biaya secara internal di dalam suatu perusahaan atau pabrik. Beberapa faktor yang berperan dalam pengurangan biaya secara internal meliputi pembagian kerja (spesialisasi) dan penggantian tenaga manusia dengan mesin, melakukan subkontrak beberapa aktivitas proses produksi kepada perusahaan lain dan menjaga titik optimal operasi yang dapat meminimalkan biaya. Penghematan eksternal merupakan pengurangan biaya yang terjadi akibat aktivitas di luar lingkup perusahaan atau pabrik. Penghematan biaya terjadi karena terdapat perusahaan dalam industri yang sama bersaing satu sama lain dalam memperoleh pasar atau konsumen. Penghematan ini juga terjadi karena adanya tenaga terampil dan bahan baku dalam daerah tersebut yang menopang jalannya usaha perusahaan (Kuncoro 2002).

Perspektif modern menunjukkan ada tiga jalur pemikiran yang dapat diidentifikasi, yaitu teori-teori baru mengenai eksternalitas dinamis (dynamic externalities), mazhab pertumbuhan perkotaan dan paradigma berbasis biaya transaksi. Eksternalitas dinamis menyatakan bahwa akumulasi informasi pada suatu lokasi tertentu akan meningkatkan produkstivitas dan kesempatan kerja. Eksternalitas dinamis versi Marshall-Arrow-Romer (MAR) menekankan pada pentingnya transfer pengetahuan (knowledge spillovers) antarperusahaan lokal dalam industri yang sama. Pertumbuhan yang didorong oleh transfer pengetahuan pada industri yang berspesialisasi pada produk tertentu dan terkonklustersi secara spasial. Analisis biaya transaksi menyatakan bahwa dengan adanya biaya transaksi akan mendorong munculnya perusahaan baru.

Aglomerasi merupakan proses yang lebih kompleks jika dibandingkan dengan kluster industri. Salah satu ukuran yang menentukan dalam pembentukan aglomerasi sektor industri manufaktur adalah Indeks Spesialisasi. Indeks ini adalah ukuran konsentrasi suatu industri dalam suatu kluster, dimana banyak studi sebelumnya percaya mampu mendorong kemajuan teknologi dan pembentukan aglomerasi. Indeks Spesialisasi juga menunjukkan seberapa jauh spesialisasi industri dalam suatu kluster dibandingkan apabila industri tersebut tersebar secara random diseluruh wilayah.

Penelitian Terdahulu

Hasil penelitian dari Arifin (2006) yang berjudul “Konsentrasi Spasial Industri Manufaktur Berbasis Perikanan di Jawa Timur (Studi Kasus Industri

Besar Sedang)”. Penelitian ini menggunakan metode Sistem Informasi Geografi

(24)

12

yang terjadi di Jawa Timur yang dapat menimbulkan ketimpangan distribusi lokasi industri manufaktur antar pulau yang cukup besar. Pada penelitiaannya yang lain Zainal Arifin juga meneliti dengan menggunakan alat analisis SIG untuk mengukur dinamika spasial industri manufaktur. Indikator yang digunakan adalah jumlah tenaga kerja yang akan menunjukkan daerah industri dan non industri.

Hasil penelitian dari Shofiyana (2012) yang berjudul “Analisis Konsentrasi

Spasial Industri Manufaktur Besar dan Sedang di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2002-2008” menunjukkan bahwa letak konsentrasi spasial industri manufaktur di Jawa Tengah tertinggi berada di Kabupaten Kudus, Kota Semarang dan Kota Pekalongan. Hal ini menunjukkan bahwa pola pengembangan industri di Jawa Timur mengindikasikan adanya spesialisasi industri di beberapa wilayah tertentu. Sehingga memberikan keuntungan pada nilai tambah produksi dan penyerapan tenaga kerja. Metodologi yang digunakan adalah dengan Loqation Quotient (LQ) untuk menunjukkan daya saing dan keunggulan komparatif subsektor industri. Analisis konsentrasi kegiatan industri juga digunakan untuk menunjukkan konsentrasi kegiatan industri berdasarkan jumlah tenaga kerja dan nilai tambah yang dihasilkan oleh IBS.

Penelitian yang dilakukan oleh Mudrajat Kuncoro dan Sari Wahyuni (2009)

yang berjudul “FDI Impact On Industrial Agglomeration: The Case of Java, Indonesia” menganalisis tentang teori mana yang paling tepat untuk menjelaskan konsentrasi geografi pada sektor industri manufaktur di Pulau Jawa. Metode data panel digunakan untuk mengukur konsentrasi spasial subsektor industri di Pulau Jawa pada periode tahun 1991 sampai 2002. Variabel terikat yang digunakan adalah Indeks Spesialisasi dengan variabel bebasnya, yaitu skala ekonomi, intensitas sumber daya, kandungan impor, pendapatan per kapita, persaingan, biaya tenaga kerja, path dependency,orientasi ekspor, investasi asing serta dilengkapi oleh dummy industri, dummy regional dan dummy waktu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intensitas sumber daya dan investasi asing tidak berpengaruh secara signifikan terhadap Indeks Spesialisasi. Variabel-variabel yang berpengaruh secara signifikan pada taraf 5% adalah kandungan impor, skala ekonomi, orientasi ekspor, Indeks Persaingan, path dependency dan pendapatan per kapita. Variabel yang berpengaruh secara signifikan pada taraf 10% ditunjukkan oleh biaya tenaga kerja.

Penelitian yang dilakukan oleh Purwaningsih (2011) yang berjudul “Tren

Konsentrasi dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Aglomerasi Industri

Manufaktur Besar Sedang di Jawa Barat” menunjukkan bahwa ketimpangan

(25)

13 variabel bebas yang tidak signifikan memengaruhi aglomerasi industri, yaitu Indeks Persaingan Industri, Orientasi Ekspor dan Impor dan Infrastruktut Listrik.

Kerangka Pemikiran

Ketimpangan yang terjadi antar daerah di wilayah KBI disebabkan oleh perbedaan sumberdaya dan kegiatan ekonomi, terutama pembangunan sektor industri manufaktur. Pengembangan sektor industri manufaktur berpengaruh penting terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi wilayah KBI, karena merupakan salah satu indikator pendorong nilai tambah dan lapangan kerja. Secara keseluruhan kerangka pemikiran penelitian ini seperti pada yang di tunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 5 menunjukkan bahwa penelitian ini bertujuan untuk meninjau lokasi industri manufaktur yang cenderung terkonsentrasi dan faktor-faktor apa saja yang dapat memengaruhi pembentukan aglomerasi tersebut. Hal ini menyebabkan perlunya perencanaan yang mendalam terhadap lokasi industri agar

Gambar 5 Kerangka Pemikiran Penelitian Kawasan Barat Indonesia

Kesenjangan regional antar daerah :

Indeks Williamson

Perbedaan sumber daya dan kegiatan ekonomi

Konsentrasi spasial sektor industri manufaktur

Faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi

Sistem Informasi

Geografi

Pembangunan industri manufaktur di titik-titik tertentu saja

Indeks Persaingan Industri, Ukuran Perusahaan, Penanaman Modal Asing, Penanaman Modal Dalam

Negeri, Panjang Jalan, Upah Minimum Provinsi, Nilai Tambah,

dan Jumlah IBS Implikasi Kebijakan

Indeks Hoover

(26)

14

tidak terjadi konsentrasi dan menciptakan aglomerasi hanya pada titik-titik tertentu saja. Sehingga diperlukan analisis untuk melihat titik-titik lokasi industri manufaktur yang telah berkembang serta faktor-faktor apa yang menciptakan aglomerasi agar pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih merata di wilayah KBI.

METODE

Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder 16 provinsi di wilayah Kawasan Barat Indonesia (KBI) dengan periode tahun 2002 sampai dengan tahun 2011, yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Dalam penelitian ini data dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Berikut merupakan data-data yang diperlukan pada penelitian ini.

1 Data PDRB per kapita Provinsi Atas Dasar Harga Konstan 2000 KBI. 2 Data jumlah penduduk dan tenaga kerja tingkat provinsi di wilayah KBI. 3 Data tenaga kerja yang diserap Industri Besar dan Sedang (IBS) menurut

provinsi wilayah KBI.

4 Data nilai tambah dan ouput yang dihasilkan IBS menurut provinsi di wilayah KBI.

5 Data realisasi nilai Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) menurut provinsi di wilayah KBI.

6 Data Upah Minimum Provinsi (UMP), yaitu upah minimal yang seharusnya diterima oleh tenaga kerja industri besar dan sedang menurut provinsi Kawasan Barat Indonesia.

7 Data panjang jalan menurut kondisi baik di masing-masing provinsi di Kawasan Barat Indonesia.

8 Data jumlah perusahaan, yaitu banyaknya jumlah perusahaan Industri Besar dan Sedang (IBS) menurut provinsi wilayah KBI

Metode Analisis Data

(27)

15 wilayah KBI. Selanjutnya, analisis dilakukan dengan menggunakan data panel untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi aglomerasi industri manufaktur di tiap provinsi wilayah KBI. Berikut merupakan penjelasan lebih mendalam mengenai metode kuantitatif yang digunakan.

Indeks Williamson

Tujuan pertama akan dijawab dengan menggunakan Indeks Williamson, yaitu untuk mengukur ketimpangan ekonomi wilayah antar dan intra provinsi di wilayah KBI. Indeks Williamson yang diperoleh terletak antar 0 sampai dengan 1, semakin mendekati 0 maka ketimpangan wilayah semakin rendah, tetapi jika mendekati 1 maka ketimpangan wilayah akan semakin tinggi serta mengindikasikan adanya pertumbuhan ekonomi yang tidak merata.

Formulasi Indeks Williamson untuk mengukur ketimpangan antar provinsi wilayah KBI adalah sebagai berikut:

Formulasi Indeks Williamson untuk mengukur ketimpangan intra provinsi wilayah KBI adalah sebagai berikut:

Kusumantoro (2009) menetapkan sebuah kriteria yang digunakan untuk menentukan apakah ketimpangan ada pada ketimpangan rendah, sedang atau tinggi. Berikut ini adalah kriterianya:

Bila mendekati 0 - 0.34 Artinya ketimpangan ekonomi wilayah rendah Bila antara 0.35 - 0.80 Artinya ketimpangan ekonomi wilayah sedang Bila di atas 0.80 Artinya ketimpangan ekonomi wilayah tinggi

Analisis Sistem Informasi Geografi

(28)

16

Kuncoro (2002) bahwa kemampuan SIG dalam penyimpanan, analisis, pemetaan dan membuat model mendorong aplikasi yang luas dalam berbagai disiplin ilmu, dari teknologi informasi hingga sosial-ekonomi maupun analisis yang berkaitan dengan populasi. Pola konsentrasi spasial dapat diidentifikasi dengan menerapkan langkah-langkah sebagai berikut:

1 Memberikan peringkat (rank) untuk seluruh provinsi di wilayah KBI berdasarkan jumlah tenaga kerja dan nilai tambah yang dihasilkan oleh perusahaan Industri Besar dan Sedang (IBS);

2 Menyajikan data jumlah tenaga kerja dan nilai tambah yang dihasilkan oleh perusahaan IBS dalam bentuk peta untuk menunjukkan dimana lokasi daerah industri dan daerah non-industri.

3 Membedakan antara daerah industri dan daerah non-industri dengan membuat suatu kriteria tertentu, yaitu sangat tinggi, tinggi, serta menengah sampai rendah berdasarkan jumlah tenaga kerja dan nilai tambah yang dihasilkan masing-masing industri. Ciri utama daerah industri adalah daerah yang

memiliki tingkat kepadatan industri yang “tinggi” atau “sangat tinggi” baik

dalam jumlah pekerja maupun nilai tambah.

4 Menurut Kuncoro (2013) kriteria wilayah yang memiliki daerah kepadatan industri dengan menggunakan klasifikasi sangat tinggi, tinggi dan menengah sampai rendah, yaitu:

“Sangat Tinggi”, apabila jumlah pekerja lebih dari 125 ribu orang, “Tinggi”,

apabila memiliki jumlah tenaga kerja antara 25 ribu hingga 125 ribu orang

dan “Menengah sampai rendah”, apabila memiliki jumlah tenaga kerja

kurang dari 25 ribu orang.

“Sangat Tinggi”, apabila menghasilkan nilai tambah lebih dari Rp2 triliun, “Tinggi”, apabila menghasilkan nilai tambah antara Rp450 juta hingga Rp2 triliun dan “Menengah sampai rendah”, apabila menghasilkan nilai tambah kurang dari Rp450 juta

Indeks Hoover Balassa

Indeks Hoover Balassa juga digunakan untuk menjawab tujuan kedua, untuk menganalisis titik konsentrasi spasial industri manufaktur yang terjadi di wilayah KBI. Menurut Kuncoro (2004), Indeks Hoover Balassa atau Location Quotient (LQ) tenaga kerja juga digunakan untuk melihat rasio dari peranan sektor lokal tertentu terhadap sektor yang sama di tingkat ekonomi acuan yang lebih luas. Pendekatan ini menyatakan bahwa spesialisasi relatif (industri) pada suatu wilayah terjadi, apabila spesialisasi industri pada suatu wilayah lebih besar daripada spesialisasi pada wilayah agregat. Selanjutnya, dalam bentuk aljabar hubungan tersebut dapat dinyatakan dengan:

LQ = (Eij/)/( ∑ ∑ Keterangan:

LQ : Koefisien Spesialisasi Regional. Eij : Tenaga Kerja sektor i di daerah j

∑ : Total tenaga kerja sektor i di daerah j

(29)

17 Nilai LQ lebih dari satu (>1), menunjukkan bahwa sektor i terspesialisasi secara relatif di wilayah j dan sektor i merupakan sektor unggulan yang layak dikembangkan di wilayah j. Nilai LQ kurang dari satu (<1) menunjukkan sektor i tidak terspesialisasi secara relatif di wilayah j dan sektor i bukan merupakan sektor unggulan yang layak dikembangkan di wilayah j. Hal ini sejalan dengan Suharto (2002) yang menyatakan jika nilai LQ lebih dari satu (>1), berarti sektor i memiliki daya saing dibanding sektor lain pada wilayah yang dijadikan pembanding misalnya provinsi terhadap negara dan sebagainya.

Analisis Regresi Data Panel

Tujuan ketiga akan dijawab dengan menggunakan analisi data panel, yaitu data yang memiliki dimensi ruang (individu) dan waktu (Gujarati 2004). Secara umum, data panel dicirikan oleh t periode waktu (t=1,2,3,....,t) yang kecil dan n jumlah individu (i=1,2,3,...,n) yang besar. Namun, tidak menutup kemungkinan terjadi sebaliknya, yaitu data panel terdiri atas periode waktu yang besar dengan jumlah individu yang kecil. Menurut Baltagi (2005) ada beberapa keuntungan tentang penggunaan data panel, diantaranya sebagai berikut:

1 Mampu mengontrol heterogenitas individu. Dengan menerapkan metode ini, estimasi yang dilakukan dapat secara eksplisit memasukkan unsur heterogenitas individu.

2 Dapat memberikan data yang informatif, mengurangi kolinearitas antar peubah (variabel), serta meningkatkan derajat bebas (deegre of freedom) dan lebih efisien.

3 Lebih baik untuk studi dynamic of adjustment. Karena berkaitan dengan observasi cross section yang berulang, maka data panel baik dalam mempelajari perubahan dinamis.

4 Lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diatasi dalam data cross section saja atau data time series saja.

Data panel merupakan satu set observasi yang terdiri dari beberapa individu pada suatu periode tertentu. Observasi tersebut merupakan pasangan yit (variabel

terikat) dengan xit (variabel bebas) dimana i menunjukkan individu, t

menunjukkan waktu dan j menunjukkan variabel bebas yang dinyatakan dalam sebuah persamaan berikut:

Yit= α + βxijt+ εit

(30)

18

1. Pooled Least Square (PLS), pendekatan ini menggunakan gabungan seluruh data (pooled) atau menggabungkan data cross section dan time series murni. Unit observasi yang terbentuk adalah N x T observasi, dimana N menunjukkan jumlah unit cross section dan T menunjukkan jumlah series yang digunakan. Ketika data digabungkan menjadi pool data, regresi yang dihasilkan cenderung lebih baik dibandingkan regresi dengan menggunakan data cross section saja atau time series saja. Pendekatan ini juga memiliki kelemahan, yaitu penduga parameter cenderung akan bias karena variasi atau perbedaan antara individu dan waktu tidak dapat terlihat.

2. Within Group (WG) merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengatasi masalah bias pada PLS. Teknik yang digunakan adalah dengan menggunakan data deviasi dari rata-rata individu. Kelebihan dari WG adalah dapat menghasilkan parameter yang tidak bias, namun kelemahannya adalah nilai varian parameternya relatif lebih besar dari parameter PLS sehingga penduga WG relatif lebih tidak efisien. Kelemahan lainnya adalah pendekatan WG tidak memiliki intersep sehingga tidak mengakomodir karakteristik time-invariant pada FEM. 3. Least Square Dummy Variable (LSDV), pendekatan ini menggunakan

dummy variable untuk dapat merepresentasikan perbedaan intersep.

yit = αi+βxit+µit ; i= 1,2,...,N ; t=1,2,...,T

Dimana µit=µi+vit untuk one way error component dan ui=µi +

t+vt untuk two way error component dimana µi adalah efek individu λt adalah efek waktu dan vit adalah error. Kelebihan dari pendekatan LSDV adalah dapat menghasilkan dugaan parameter yang tidak bias dan efisien namun kelemahannya adalah jika jumlah unit observasinya besar maka terlihat cumbersome.

b. Random Effect Model (REM)

Pada REM, intersep α diintegrasikan dalam komponen error (εit) sehingga menjadi cross section error (αi), time series error (αt) dan combination error

(αit). REM akan lebih tepat digunakan jika memang benar tidak ada hubungan antara εit dan xit, karena jika εit dan xit berkorelasi maka estimasi menggunakan REM akan bias. REM digunakan ketika efek individu dan efek waktu tidak berkorelasi dengan xit. Asumsi ini membuat komponen error dari efek individu dan waktu dimasukkan ke dalam error. Model umum yang digunakan untuk one way error component adalah yit = αi+βxit+uit+ i+ t.

Pemilihan Model Terbaik

Berdasarkan asumsi model yang telah dijelakan sebelumnya akan dilakukan pemilihan model terbaik dengan menggunakan uji Hausman untuk menentukan apakah Random Effect Model (REM) atau Fixed Effect Model (FEM) adalah model yang paling tepat untuk digunakan.

a. Uji Hausman

(31)

19 memperhatikan ketiadaan pelanggaran asumsi dari setiap komponen galat. Untuk menguji asumsi ini dapat digunakan uji hausman. Hipotesis yang diuji adalah sebagai berikut:

H0 : E(τ│xit) = 0 atau REM adalah model yang tepat H1 : E(τ│xit) ≠ 0 atau FEM adalah model yang tepat

Kemudian, nilai statistik uji Hausman dibandingkan dengan nilai statistik Chi square. Statistik Hausman dirumuskan dengan:

H = (βREM–βFEM)’(MFEM-MREM)-1(βREM–βemFEM)~χ2(k)

Dimana M adalah matriks kovarian untuk parameter β dan k adalah derajat bebas. Jika nilai H lebih besar dari χ2tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0 sehingga model yang digunakan adalah model fixed effect begitu juga sebaliknya.

b. Uji Chow

Chow Test atau beberapa buku menyebutnya pengujian F-Statistics adalah pengujian untuk memilih apakah model yang digunakan Pooled Least Square atau Fixed Effect. Seperti yang kita ketahui, terkadang asumsi bahwa setiap unit cross section memiliki perilaku yang berbeda. Dalam pengujian ini dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut:

H0 : Model Pooled Least Square H1 : Model Fixed Effect

Dasar penolakan terhadap hipotesa nol adalah dengan menggunakan F-Statistik seperti yang dirumuskan oleh Chow.

CHOW = (RRSS-URSS)/(N-1) URSS/ (NT-N-K)

Keterangan:

RRSS : Restricted Residual Sum Square URSS : Unrestricted Residual Sum Square N : Jumlah data cross section

T : Jumlah data time series K : Jumlah variabel penjelas

Chow ini mengikuti distribusi F-statistik yaitu FN-1,NT-N-K. Jika nilai Chow

statistics (F-stat) hasil pengujian lebih besar dari F-Tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0, sehingga model yang digunakan adalah fixed effect, begitu juga sebaliknya.

Pengujian Asumsi

a. Uji Heteroskedastisitas

Salah satu asumsi yang harus dipenuhi agar dugaan parameter dalam model regresi bersifat BLUE (Best Linear Unbiased Estimated) adalah varian dari semua komponen error (uit) bernilai sama atau konstan. Kondisi demikian

(32)

20

unweighted statistics. Jika sum square residual pada weighted statistics lebih kecil dari sum square residual pada unweighted statistics, maka terjadi heteroskedastisitas.

b. Uji Autokorelasi

Autokorelasi terjadi jika terdapat korelasi antar observasi dalam satu peubah atau terdapat korelasi antar error masa lalu dengan error masa yang akan datang. Autokorelasi yang kuat dapat menyebabkan variabel yang tidak berhubungan menjadi berhubungan. Bila metode OLS digunakan, maka akan terlihat koefisien signifikansi atau R2 yang besar. Pengujian ada tidaknya autokorelasi dalam model dapat dilakukan dengan uji Durbin Watson. Statistik Durbin-Watson (DW) didefinisikan sebagai berikut:

DW = /

Nilai statistik DW dibandingkan dengan nilai DW tabel. Adapun kerangka identifikasi autokorelasi terangkum sebagai berikut.

4-dl < DW < 4 : Terdapat korelasi serial negatif 4-du < DW <4 : Hasil tidak dapat ditentukan 2 < DW < 4-du : Tidak terdapat korelasi serial du < DW < 2 : Tidak terdapat korelasi serial dl < DW < du : Hasil tidak dapat ditentukan 0 < DW < dl : Terdapat korelasi serial positif

Spesifikasi Model

Rancangan model yang akan diajukan adalah model data panel dengan delapan variabel bebas. Variabel independennya adalah Indeks Spesialiasi. Data yang diperoleh memiliki satuan yang berbeda. Oleh karena itu, untuk memudahkan dalam mengolah data dan interpretasi hasil akhirnya, kedelapan variabel ini akan diubah bentuknya sehingga menjadi bantuk satuan yang sama, yaitu dalam persentase. Beberapa variabel akan diubah menjadi bentuk logaritma natural sehingga koefisien hasil regresi diinterpretasikan sebagai elastisitas. Dengan model tersebut, diharapkan bahwa hasil regresi yang diperoleh akan lebih efisien dan mudah diinterpretasikan,

Sesuai dengan keterangan di atas, maka model tersebut secara ekonometrika akan menjadi:

Isit = αit+ β1 IPIit+ β2 Ln UKit+ β3 Ln PMAit+ β4 Ln PMDNit+ β5 Ln JALit + β6 Ln UMPit + β7 Ln NTit + β8 Ln JMLHit + εit

Definisi Operasional dari masing-masing variabel diatas adalah sebagai berikut: 1. Variabel IS merupakan Indeks Spesialisasi, yaitu menggambarkan adanya

(33)

21 IS = (Eij/∑ )/(∑ ∑ ∑

Dimana:

Eij : Tenga Kerja sektor i di daerah j ∑ : Total tenaga kerja sektor i di daerah j ∑ : Tenaga kerja di daerah j

∑ ∑ : Total tenaga kerja di daerah j

2. Variabel IPI merupakan Indeks Persaingan Industri yang digunakan untuk melihat struktur pasar di provinsi i dan tahun t, rumus yang digunakan adalah:

IPIit =

Dimana jumlah perusahaan menunjukkan jumlah IBS dan output menunjukkan total produksi yang dihasilkan oleh provinsi i pada tahun t. 3. Variabel UK adalah ukuran perusahaan berdasarkan rata-rata jumlah pekerja

di provinsi i dan tahun t. Variabel ini digunakan untuk mendekati skala ekonomi perusahaan di daerah tersebut, rumus yang digunakan adalah:

Ukit =

Dimana : Eit adalah tenaga kerja IBS dalam suatu provinsi i, IBSit adalah perusahaan IBS pada provinsi i dan tahun t.

4. Variabel PMA ($) merupakan realisasi nilai Penanaman Modal Asing yang berada di Indonesia berdasarkan provinsi i pada tahun t.

5. Variabel PMDN (Rp) merupakan realisasi nilai Penanaman Modal Dalam Negeri berdasarkan provinsi i pada tahun t.

6. Variabel JAL (km) merupakan panjang infrastruktur jalan yang terdapat di kabupaten, provinsi i dan tahun t dengan kondisi baik dan sedang.

7. Variabel UMP (Rp) merupakan upah minimum yang ditetapkan pemerintah daerah yang menunjukkan pengeluaran perusahaan untuk tenaga kerja di suatu provinsi i dan tahun t.

8. Variabel NT (Rp) merupakan nilai tambah yang dihasilkan perusahaan IBS provinsi i pada tahun t. Nilai tambah merupakan selisih yang dihasilkan dari besaran nilai output dan nilai input (antara).

Variabel JMLH (unit) merupakan jumlah perusahaan IBS yang dimiliki oleh perusahaan i pada tahun t. Klasifikasi IBS menggunakan definisi BPS (2012), yaitu industri yang memiliki jumlah pekerja 20 sampai dengan 99 orang pekerja dan 100 orang pekerja atau lebih.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum

(34)

22

Provinsi harus menyusun peta panduan mengenai pengembangan industri unggulan di wilayahnya. Pembangunan industri manufaktur bergantung pada faktor produksi yang dimiliki oleh tiap daerah, sehingga menimbulkan keunggulan komparatif yang berbeda-beda. Sektor industri manufaktur merupakan sektor yang terbukti sebagai penyumbang terbesar terhadap PDB nasional, sehingga diharapkan industri manufaktur dapat meningkatkan pendapatan negara. Industri manufaktur diharapkan dapat mendorong pertumbuhan sektor-sektor lain dan mempercepat pengembangan wilayah. Hasil akhir yang diharapkan adalah ketimpangan wilayah berkurang dan pembangunan dapat dinikmati oleh semua wilayah.

Industri manufaktur merupakan salah satu langkah yang ditempuh oleh negara berkembang yang mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Namun, hal ini seharusnya juga diikuti dengan pembangunan yang merata di setiap wilayah. Perkembangan sektor industri manufaktur di wilayah KBI ditunjukkan dari jumlah perusahaan Industri Besar dan Sedang (IBS) yang belokasi pada wilayah tertentu. Hal ini dapat menggambarkan kecenderungan para pelaku ekonomi industri manufaktur menentukan lokasi industrinya. Berikut merupakan gambar dari jumlah perusahaan IBS menurut provinsi wilayah KBI tahun 2011.

Tabel 3 Perkembangan Jumlah Perusahaan IBS Wilayah KBI Tahun 2007-2010

No Provinsi 2007 2008 2009 2010 2011

(35)

23 Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Hal ini menunjukkan bahwa provinsi-provinsi tersebut cenderung memiliki keunggulan pada sektor lain selain sektor industri manufaktur, seperti Jambi dan Kalimantan Tengah dengan sektor perkebunannya dan Kalimantan Timur dengan sektor pertambangannya. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya terpusatnya lokasi sektor industri manufaktur dan membentuk suatu aglomerasi.

Sektor industri manufaktur memiliki dua karakteristik, yaitu industri padat modal dan padat karya. Namun, pada dasarnya maupun industri padat modal atau karya akan terkonsentrasi pada titik yang memiliki keuntungan untuk berlokasi pada daerah yang mampu meminimumkan biaya produksi. Titik konsentrasi industri manufaktur tidak hanya terpusat berdasarkan pada lokasi tetapi juga berdasarkan subsektor yang berada di lokasi tersebut. Berikut merupakan gambaran subsektor terbanyak yang dimiliki oleh suatu provinsi wilayah KBI tahun 2011.

Tabel 4 Jumlah Perusahaan IBS Menurut Subsektor dan Provinsi Wilayah KBI Tahun 2011

No Provinsi Subsektor Jumlah

1 Jawa Barat Makanan dan minuman 1 143

2 Jawa Timur Makanan dan minuman 1 761

3 Jawa Tengah Makanan dan minuman 869

4 DKI Jakarta Pakaian jadi 382

5 Banten Karet dan barang dari karet dan barang dari plastik 223

6 Sumatera Utara Makanan dan minuman 469

7 DI. Yogyakarta Furnitur dan industri pengolahan lainnya 90

8 Bali Pakaian jadi 90

9 Riau Makanan dan minuman 136

10 Sumatera Selatan Makanan dan minuman 75

11 Lampung Makanan dan minuman 181

12 Sumatera Barat Makanan dan minuman 73

13 Kalimantan Timur Mesin lainnya dan perlengkapannya 35

14 Kalimantan Barat Makanan dan minuman 51

15 Jambi Makanan dan minuman 36

16 Kalimantan Tengah Makanan dan minuman 27

Sumber: BPS, 2013

(36)

24

dihasilkan juga tinggi, hal ini bergantung efisiensi dan skala ekonomi yang dihasilkan oleh masing-masing IBS.

Subsektor yang besar pada suatu wilayah akan menarik perusahaan IBS sejenis untuk berlokasi dan berproduksi di wilayah yang sama. Hal ini dikarenakan perusahaan sejenis cenderung membutuhkan faktor produksi yang sama, seperti tenaga kerja. Hal ini akan menguntungkan karena perusahaan akan memperoleh tenaga kerja terampil serta upah yang rendah. Hal ini berbeda, jika perusahaan sejenis pada lokasi yang sama berkompetisi dalam memperoleh faktor input, seperti bahan baku, maka keuntungan dari lokasi yang berdekatan tidak akan tercapai. Perusahaan baru sejenis akan cenderung mencari lokasi yang berjauhan untuk melakukan kegiatan ekonomi.

Titik konsentrasi baru perlu dikembangkan dengan menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi pembentukan aglomeras. Sehingga, daerah-daerah yang memiliki potensi juga dapat menikmati keuntungan dari aglomerasi yang pada akhirnya mampu mendistribusikan pendapatan secara lebih merata. Variabel-variabel yang dipilih berdasarkan pertimbangan analisis dan upaya untuk menguji model lokasi. Berikut merupakan beberapa variabel yang menentukan pembentukan aglomerasi dari aktivitas industri manufaktur.

Hubungan Indeks Persaingan Industri terhadap Aglomerasi

Persaingan merupakan suatu konsep yang sering digunakan dalam ilmu ekonomi tentang pembentukan harga pasar dan penetapan harga oleh suatu perusahaan atau produsen. IPI dihitung dari rata-rata jumlah perusahaan dan output yang dihasilkan suatu daerah dan dibandingkan secara agregat. Semakin tinggi persaingan maka setiap produsen akan menggunakan strategi aglomerasi dan membentuk kluster guna meningkatkan tingkat produksi. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar struktur pasar di suatu daerah maka akan tercipta suatu konsentrasi yang akan membentuk kluster-kluster untuk terus mengembangkan daya saing dan pangsa pasarnya. Berikut merupakan gambaran IPI menurut provinsi wilayah KBI tahun 2011.

Sumber: BPS, 2013 (diolah)

Gambar 6 Indeks Persaingan Industri Menurut Provinsi Wilayah KBI Tahun 2011

(37)

25

Gambar 6 menunjukkan bahwa daerah yang memiliki IPI terbesar adalah Jawa Tengah dengan indeks sebesar 2.46, diikuti oleh Provinsi Jawa Timur, Bali, Jawa Barat dan Sumatera Barat. Provinsi dengan IPI terrendah adalah Riau dengan nilai indeks 0.16. Hipotesi yang digunakan adalah semakin besar IPI maka menunjukkan bahwa pasar mendekati persaingan sempurna, sehingga dapat mempercepat pembentukkan aglomerasi di wilayah tersebut. DKI Jakarta dan Banten memiliki nilai indeks sebesar 0.66 dan 0.48, artinya wilayah tersebut masih cenderung menuju monopolistik yang dapat menghambat terbentuknya aglomerasi. Variabel ini akan dianalisis untuk melihat keterkaitannya secara signifikan terhadap pembentukan aglomerasi sektor industri manufaktur.

Hubungan Ukuran Perusahaan terhadap Aglomerasi

Ukuran perusahaan diukur dengan menggunakan rata-rata ukuran pabrik yang dilihat dari jumlah pekerja produksi. Ukuran perusahaan dapat menyediakan informasi mengenai penggunaan faktor produksi dan lokasi pada industri tertentu, yaitu fleksibilitas dan menyesuaikan skala operasi dapat beroperasi bahkan pada wilayah yang terisolasi di mana infrastruktur masih terbelakang. Perusahaan-perusahaan IBS cenderung akan mengelompok di sekitar wilayah kota metropolitan. Berdasarkan ukuran ini, kita menguji apakah skala ekonomi dapat menjelaskan konsentrasi industri di wilayah KBI. Kecenderungan bahwa skala perusahaan yang lebih besar akan berlokasi di sentra-sentra industri, dan perusahaan yang lebih kecil cenderung akan berlokasi jauh dari sentra industri. Berikut merupakan gambaran ukuran perusahaan menurut provinsi di wilayah KBI tahun 2011.

Sumber: BPS, 2013 (diolah)

Gambar 7 Ukuran Perusahaan Menurut Provinsi Wilayah KBI Tahun 2011 Gambar 7 menunjukkan bahwa ukuran atau skala yang terbesar adalah Provinsi Kalimantan Tengah dengan nilai 2 345.48, diikuti oleh Provinsi Lampung, Kalimantan Timur, dan Banten. Provinsi Bali memiliki ukuran atau

(38)

26

skala perusahaan yang terkecil, yaitu sebesar 79.69. Ukuran perusahaan ini dihitung berdasarkan tenaga kerja yang diserap dan jumlah perusahaan IBS yang berada di wilayah tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa daerah-daerah dengan jumlah perusahaan IBS yang besar memiliki daya serap tenaga kerja IBS yang juga besar sehingga ukuran atau skala perusahaannya tidak terlalu besar. Hipotesis yang digunakan adalah semakin besar ukuran atau skala perusahaan maka akan semakin mendorong terbentuknya aglomerasi. Variabel ini akan dianalisis untuk melihat keterkaitannya secara signifikan terhadap pembentukan aglomerasi sektor industri manufaktur.

Hubungan Penanaman Modal Asing terhadap Aglomerasi

Penanaman Modal Asing (PMA) dianggap juga sebagai sumber pembiayaan yang paling berkualitas karena bersifat berkelanjutan dan dapat menyerap ilmu dan teknologi. Pendapatan nasional Indonesia yang cenderung hasil dari penjumlahan konsumsi yang tinggi bersifat tidak tahan lama dan tidak mengatasi masalah pengangguran. PMA di wilayah KBI terkonsentrasi wilayah tertentu terutama pada wilayah pusat kegiatan ekonomi. Berikut merupakan gambaran PMA menurut provinsi wilayah KBI tahun 2011.

Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal, 2013 (diolah)

Gambar 8 PMA Menurut Provinsi Wilayah KBI Tahun 2011

Gambar 8 menunjukkan bahwa provinsi dengan nilai PMA tertinggi adalah DKI Jakarta sebesar 4.8 miliar dollar. Hal ini dikarenakan DKI Jakarta merupakan ibu kota negara sebagai pusat kegiatan ekonomi, pemerintahan dan politik sehingga PMA cenderung lebih terpusat pada daerah tersebut. Provinsi Jawa Barat, Banten dan Sumatera Utara merupakan provinsi selanjutnya dengan nilai PMA yang tertinggi. Hal ini menunjukkan adanya iklim positif dimana pengembangan PMA seiring dengan peningkatan nilai PMA di beberapa provinsi dekat pusat kota pemerintahan. Nilai PMA terendah adalah provinsi DI Yogyakarta sebesar 19 juta dollar. Pemerintah perlu melakukan perencanaan dan target yang sesuai agar dapat mempercepat pengembangan wilayah lainnya melalui spesialisasi dan aglomerasi. Hipotesis yang digunakan adalah nilai realisasi PMA yang semakin tinggi pada suatu wilayah akan mempercepat pembentukan aglomerasi sektor industri

(39)

27 manufaktur. Variabel ini akan dianalisis untuk melihat keterkaitannya secara signifikan terhadap pembentukan aglomerasi sektor industri manufaktur.

Penanaman Modal Dalam Negeri terhadap Aglomerasi

Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dianggap juga sebagai sumber pembiayaan yang berkualitas karena bersifat berkelanjutan dan mampu meningkatkan pendapatan nasional. Jika nilai keuntungan dari investasi PMA yang ditanamkan sebagian akan kembali ke negara asal, maka nilai keuntungan dari investasi PMDN akan dinikmati oleh warga negara indonesia. Sehingga, investasi yang ditanamkan akan lebih berkualitas karena aliran modal lancar dalam negeri. Berikut merupakan realisasi nilai PMDN menurut provinsi wilayah KBI.

Sumber: BKPM, 2013 (diolah)

Gambar 9 PMDN Menurut Provinsi Wilayah KBI Tahun 2011

Gambar 9 menunjukkan bahwa realisasi PMDN tertinggi dimiliki oleh Provinsi DKI Jakarta, yaitu sebesar 37 triliun rupiah. Selanjutnya adalah provinsi Jawa Timur, Jawa Barat dan Riau masing-masing dengan realisasi PMDN sebesar 9.6 triliun rupiah, 9.2 triliun rupiah, dan 7.4 triliun rupiah. Provinsi lainnya terlihat bahwa investasi dalam negeri masih belum begitu berkembang. Provinsi dengan PMDN terrendah dimiliki oleh Provinsi DI Yogyakarta sebesar 0.32 triliun rupiah. Hipotesis yang digunakan adalah nilai realisasi PMDN yang semakin tinggi pada suatu wilayah akan mempercepat pembentukan aglomerasi sektor industri manufaktur. Variabel ini akan dianalisis untuk melihat keterkaitannya secara signifikan terhadap pembentukan aglomerasi sektor industri manufaktur.

Panjang Jalan terhadap Aglomerasi

Jalan merupakan salah satu infrastruktur yang utama sebagai penghubungan antara satu wilayah ke wilayah lainnya. Penelitian ini menggunakan panjang jalan provinsi dan kabupaten dengan kondisi baik dan sedang. Hal ini akan menunjukkan kemampuan suatu daerah dalam penyediaan sarana infrastruktur dalam rangka pelayanan untuk masyarakatnya. Berikut merupakan gambaran panjang jalan menurut provinsi wilayah KBI tahun 2011.

Gambar

Tabel 1 PDRB Atas Dasar Harga Konstan Menurut Kawasan dan Lapangan Usaha
Tabel 2 Luas Wilayah KBI dan Persentase Terhadap Luas Indonesia Tahun 2011
Gambar 2  PDRB Per Kapita  Menurut Provinsi Tahun 2011
Gambar 4 Perkembangan Konsep dan Paradigma Mengenai Aglomerasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Variabel X3 pada pengujian regresi model random effect didapatkan nilai koefisiennya sebesar -857.8601 yang berpengaruh negative, dan probabilitas yang didapatkan

Berdasarkan Tabel 8 diatas dapat diketahui bahwa nilai koefisien determinasi yang diperoleh sebesar 0.495. atau sebesar 49.5 bahwa variabel loyalitas pelanggan dapat dijelaskan oleh

Kesimpulan: Penetapan paket pelayanan kesehatan dan premi yang rasional dalam Program BPKM diharapkan mampu mendorong pengembangan program asuransi kesehatan untuk mahasiswa

Tujuan penelitian ini adalah melakukan pengembangan dalam terknologi canvas pada HTML5 serta menggabungkannya dengan teknologi Node.JS untuk menghasilkan aplikasi yang dapat

praktikalitas guru dan siswa terhadap Lembar Kegiatan Siswa (LKS) bahasa Indonesia berbasis mediankarikatur pada materi menulis cerpen siswa kelas X menunjukkan bahwa

Dengan hasil diatas di Semi Final saling berhadapan UNTAN melawan UNBRAW Raja dan Universitas Gorontalo vs ITS, setelah menyelesaikan segmen pertama dari dua segmen

Setiap individu memproses maklumat dengan cara yang berlainan. Justeru itu, kepelbagaian dalam berfikir ini akan mempengaruhi pelajar untuk bertindak terhadap bahan

(3) menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya. Menentukan Alat, Bahan, Media, dan Sumber Belajar disesuaikan dengan kegiatan pembelajaran yang telah