• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunikasi Persuasif Dan Prestasi Belajar (Studi Korelasional Tentang Komunikasi Persuasif Pengajar Terhadap Prestasi Belajar Anak Didik Di Slb-E Negeri Pembina Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Komunikasi Persuasif Dan Prestasi Belajar (Studi Korelasional Tentang Komunikasi Persuasif Pengajar Terhadap Prestasi Belajar Anak Didik Di Slb-E Negeri Pembina Medan)"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

URAIAN TEORITIS

2.1 Kerangka Teori

Menurut Kelinger, teori adalah himpunan konstruk (konsep), definisi dan proposisi yang mengemukan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi antara variabel, untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut (Rakhmat, 2005:6). Untuk itu, setiap penelitian memerlukan kerangka teori untuk memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah tersebut akan disoroti (Nawawi, 2001:39). Adapun kerangka teori dalam penelitian ini adalah:

2.1.1 Model AIDDA

Model AIDDA merupakan suatu pendekatan dalam kegiatan persuasi. Hal pertama yang harus dilakukan adalah menumbuhkan perhatian komunikan. Wilbur Schramm manyatakan bahwa terdapat tiga elemen yang juga menentukan efektivitas komunikasi yaitu situasi di mana komunikan berada, keadaan kepribadian komunikan serta ikatan norma-norma kelompok.

Model ini juga biasa disebut sebagai A-A Procedure atau from Attention to Action. A-A procedure adalah proses pentahapan persuasi

yang dimulai dari usaha menumbuhkan perhatian (attention) hingga pada akhirnya berusaha menggerakkan seseorang atau orang banyak agar berbuat (action) seperti yang komunikator harapkan (Roekomy, 1992:22).

Komunikasi persuasif didahului dengan upaya membangkitkan perhatian (attention) komunikan. Hal tersebut dapat berupa kata-kata yang merangsang pendengaran komunikan, penampilan komunikator, atau raut wajah komunikator saat menyampaikan pesan. Disusul dengan upaya menumbuhkan minat (interest) pendengar.

(2)

Kemudian komunikator memunculkan hasrat (desire) komunikan untuk melakukan ajakan, bujukan/rayuan komunikator. Saat itu imbauan emosional perlu ditampilkan oleh komunikator, sehingga pada tahap berikutnya komunikan dapat mengambil keputusan (decision) untuk melakukan suatu kegiatan (action) sebagaimana diharapkan daripadanya (Effendi, 2004:25-26).

AIDDA juga dikemukakan oleh Dorwin Cartwright yang mengemukakan empat prinsip dalam penyelenggaraan suatu kampaye persuasi terhadap massa (Roekomy, 1992:24). Cartwright menyatakan bahwa prinsip pertama, isi komunikasi hendaknya dilancarkan dengan membangkitnya emosi (emotional appeal). Kedua, isi komunikasi tersebut diusahakan agar dapat di terima sebagai salah satu bagian dari pendapat dan kepercayaannya. Ketiga, kegiatan (action) yang dianjurkan tersebut hendaklah di anggap komunikan sebagai salah satu jalan ke arah tercapainya suatu tujuan. Prinsip keempat, kegiatan persuasi tersebut benar-benar cukup terkontrol oleh motivasi, sikap dan opini dalam waktu yang tepat.

Ian Harvey juga menyatakan dalam suatu kegiatan persuasi seorang persuader harus membiasakan diri berbicara dalam kata-kata yang dimengerti oleh orang banyak (Roekomy, 1992:25). Harvey menyatakan bahwa dalam mengadakan persuasi seseorang harus mengemukakan empat keharusan, yaitu: pertama, masalah harus dijelaskan sejelas mungkin; kedua, persuasi yang digunakan hendaknya intelektual; ketiga, bahasa yang dipergunakan hendaknya sesederhana mungkin sehingga dapat dipahami dengan mudah; keempat, pernyataan hendaknya di susun secara jelas dan di ulang berkali-kali.

(3)

Ketiga, persuader hendaknya dapat menumbuhkan perhatian karena komunikan tidak akan mendengarkan atau membaca sesuatu yang menjemukan. Keempat, persuader hendaknya menjelaskan dan member keterangan sebaik mungkin karena komunikan yang kekurangan informasi (misinformation) atau bersikap masa bodoh dapat berubah menjadi orang yang berprasangka.

Kelima, persuader hendaknya dapat menjadikan kenyataan dan alasan-alasan yang masuk akal dalam memperkuat sesuatu kesimpulan. Keenam, persuader hendaknya mampu menjawab tantangan serta penolakan karena komunikan yang perhatian serta pikirannya berlawanan dengan persuader akan mengabaikan permasalahan yang diajukan. Ketujuh, persuader hendaknya memikat hati pihak yang ragu-ragu, masa bodoh atau yang menentang sekalipun. Kedelapan, persuader hendaknya dapat menggerakkan komunikan untuk bersikap dan berbuat seperti yang diharapkan, manakala komunikan sudah terpengaruh dan meyakini hal-hal yang diajukan (Roekomy, 1992:26-27).

2.1.2 Komunikasi Persuasif

Olson dan Zanna (1993) menjelaskan persuasi adalah perubahan sikap akibat paparan informasi dari orang lain (Severin dan Tankard, 2005:177). Persuasif menurut Applbaum dan Anatol (Malik dan Iriantara, 1994:v) adalah proses komunikasi yang kompleks ketika individu atau kelompok mengungkapkan pesan (sengaja atau tidak sengaja) melalui cara-cara verbal dan nonverbal untuk memperoleh respons tertentu dari individu atau kelompok lain.

(4)

Roekomy (1992) berpendapat bahwa ada empat faktor yang harus diperhatikan dalam kegiatan pernyataan antar manusia yang bertujuan mempengaruhi pendapat, sikap dan tingkah laku yaitu kebutuhan, keinginan (wants and desire), dorongan dasar (drive) dan motivasi. Roekomy mengumpamakan persuasi bagaikan sebuah kendaraan. Faktor-faktor kebutuhan, keinginan dan dorongan dasar merupakan motor atau katalisator yang menggerakkan kendaraan menaiki atau menuruni jalan melewati segala liku-likunya dengan peningkatan (eskalasi).

Hal tersebut juga dapat menjadi penghambat kecepatan sesuai dengan intensitas faktor-faktor tersebut di atas, sedangkan motivasi adalah kemudi yang dikendalikan oleh seseorang yang ditujukan ke arah tercapainya sesuatu. Persuasi memerlukan serangkaian proses yang harus dicetuskan dari dalam orang yang hendak dipengaruhi, oleh karena tingkah laku ditentukan oleh pendapat, kepercayaan dan sikap yang sudah dimiliki oleh orang yang bersangkutan.

Mempengaruhi tingkah laku seseorang atau orang banyak “dari luar” memerlukan cara-cara yang khusus dan kemampuan untuk menembus fakta-fakta pembatas intern (yang juga harus diperhatikan keberadaannya misalnya hal-hal yang bersifat rohaniah atau batiniah yang menentukan) yang bersembunyi “di dalam” manusia itu (Roekomy, 1992:3).

(5)

Malik dan Iriantara (1994:33-35) menyimpulkan komunikasi persuasi kedalam lima bagian, yaitu: pertama, persuasi adalah suatu proses komunikasi. Manusia tidak dapat tidak berkomunikasi. Dalam proses tersebut pesan yang diterima bukan berarti pesan yang dikirimkan, setiap pesan memiliki suatu aspek substantif dan interpersonal, suatu pesan yang sama banyaknya dengan suatu respons adalah suatu stimulus, dan persuasi tersebut terjadi melalui tahap-tahap itu yang tidak lebih kuat dibandingkan hubungannya yang paling lemah.

Kedua, persuasi merupakan proses belajar. Sikap, kepercayaan dan nilai dipelajari dan untuk itu dapat tak dipelajari (belajar mungkin berlangsung melalui pengondisian atau melalui aktivitas pemrosesan-informasi yang lebih kompleks, belajar dari respons sikap yang diharapkan dipermudah ketika respons itu diberi ganjaran atau ketika yang dibujuk percaya bahwa ia akan diberi ganjaran), dan pada level tertentu, pesan-pesan dipelajari ketika pesan-pesan itu di sandi (decoded); misalnya, ketika pesan-pesan itu diikuti atau dipahami. Penyandian tidak perlu menyebabkan perubahan sikap dan perubahan sikap tidak perlu menyebabkan perubahan perilaku.

Ketiga, persuasi adalah suatu proses perseptual. Manusia adalah binatang pencari-makna yang memantau stimuli yang masuk. Apa yang manusia terima adalah suatu fungsi dari sejumlah faktor eksternal dan kebutuhan, keinginan, nilai, harapan mereka dan lain-lain. Di antara persepsi yang paling penting dimiliki orang adalah sifat-sifat yang menyebabkan mereka cenderung mengabaikan sifat layak dipercaya dari para pembujuk ketika mereka menyifati pesan-pesan mereka terhadap kasus-kasus eksternal. Mereka juga cenderung menduga sikap, kepercayaan dan nilai melalui tindakan mereka ketika memiliki alas an untuk percaya bahwa tindakan tersebut bukan disebabkan kasus-kasus eksternal.

(6)

“belum mengambil keputusan” atau on the fence termasuk orang yang apatis, tak mengetahui atau ambivalen, mereka yang setuju atau melakukan tindakan yang menyenangkan dan pada waktu yang bersamaan, para pembujuk mungkin berusaha mengurangi permusuhan, mengubahnya berdasarkan ketidaksetujuan sebagaimana mereka yang “belum memutuskan” atau mengintensifkan komitmen-komitmen yang menyenangkan).

Kepercayaan dan nilai merupakan komponen afektif dan kognitif dari sikap, berturut-turut (Sebagian besar sikap merupakan fungsi gabungan dari kemungkinan-kemungkinan yang ditunjuk dari kepercayaan yang relevan dan dari perasaan yang dihasilkan oleh nilai-nilai yang relevan dan proposisi-proposisi kepercayaan dan nilai mendukung proposisi-proposisi kebijakan, tetapi para pembujuk memfokuskan pada pembelaan kepercayaan atau nilai tunggal di dalam upaya persuasi seseorang).

Kelima, persuasi adalah suatu proses ketidakseimbangan dan penyeimbangan kembali. Manusia berupaya untuk memelihara keseimbangan psikologis atau konsistensi (unsur-unsur psikologis, yaitu: kognisi, evaluasi sumber dan proposisi yang dianjurkan serta nilai-nilai, satu sama lain mungkin seimbang, tidak seimbang atau tidak relevan satu sama lain; inkonsistensi di antara unsur-unsur psikologis mungkin logis atau psikologis; serta ketidakseimbangan seperti ketidakseimbangan sikap-perilaku, ketidaksesuaian proposisi-sumber, ketidaksesuaian komponen sikap).

(7)

Ketidakseimbangan mungkin dikurangi atau diseimbangkan kembali dengan berbagai cara, satu diantaranya adalah sikap atau perilaku perubahan berdasarkan tujuan yang diharapkan oleh komunikator (penyeimbangan kembali mungkin terjadi melalui perubahan-perubahan unsur psikologis, termasuk perubahan-perubahan yang diharapkan sebagaimana degorasi-degorasi sumber dan efek-efek “boomerang”; penyeimbangan kembali mungkin terjadi melalui berbagai bentuk pertarungan psikologis, misalnya pencarian informasi baru atau dukungan sosial; penyeimbangan kembali mungkin terjadi melalui berbagai bentuk pelarian psikologis, misalnya rasionalisasi). Pembujuk tidak hanya menciptakan ketidakseimbangan, ia juga mesti menutup diri dari bentuk-bentuk ketidakseimbangan kembali yang tidak diharapkan.

Ada tiga faktor yang mempengaruhi efektivitas komunikasi persuasif yang tujuannya merubah sikap yaitu: karakteristik sumber komunikasi (komunikator), karakteristik pesan, karakteristik audiens (komunikan).

1. Karakteristik Sumber (Komunikator)

Ada tiga karakteristik sumber komunikasi (komunikator) yang mempengaruhi yaitu kredibilitas, daya tarik (likability) dan kekuasaan. Kredibilitas atau dipercaya (believability) dari komunikator tergantung terutama pada dua faktor yaitu keahlian (expertise) dan keterandalan (trustworthiness). Keahlian adalah luasnya pengetahuan yang kelihatan/tampak dimiliki komunikator, sedangkan keterandalan merujuk pada niat komunikator yang nampaknya tulus dan tidak memiliki keinginan untuk memperoleh sesuatu untuk kepentingan pribadinya yang berasal dari perubahan sikap audiens yang mungkin terjadi.

(8)

(audiens), maka orang tersebut akan menyetujui dan dapat dipengaruhi adalah mungkin terjadi bahwa perubahan sikap yang karena terpaksa (compliance), lama kelamaan dapat menjadi terinternalisasi dan diterima secara pribadi.

2. Karakteristik Pesan

(9)

enam jam setiap malam. Jadi tingkat kredibilitas tidak mengubah dasar hubungan U terbalik antara kesenjangan dan perubahan sikap.

3. Karakteristik Audiens (Komunikan)

Harga diri dan intelegensi berhubungan dengan perubahan sikap. Orang dengan harga diri tinggi pada umumnya sulit dipersuasi, karena mereka memiliki keyakinan dengan pendapat mereka. Evaluasi diri mereka yang tinggi membuat komunikator yang kredibel dipersepsi menjadi kurang kredibel dalam perbandingannya; orang yang memiliki harga diri tinggi mungkin berpikir mereka mengetahui sebanyak yang disampaikan oleh komunikator. Sedangkan subyek dengan harga diri rendah cenderung lebih mudah dipengaruhi, karena biasanya mereka memberikan penilaian yang rendah pada opininya sehingga tidak menghargai opininya sendiri, agak segan mempertahankannya dan kemungkinan besar akan mengubahnya bila dipersuasi.

Brigham (1991) menyatakan orang yang intelegensinya tinggi lebih baik dalam memahami pesan yang kompleks tetapi mungkin kurang bersedia untuk menerima pengaruh pesan. Beberapa penelitian juga menunjukkan adanya pengaruh usia terhadap perubahan sikap setelah mendengar suatu pesan dari komunikator. Pada umumnya perubahan tertinggi pada subyek remaja akhir atau dewasa dini, dan semakin tua akan semakin sulit untuk berubah (Dayakisni & Hudaniah, 2003:115-119).

Hovland, Janis dan Kelley (Baron & Byrne, 2004:138-142) juga mengemukakan hal yang serupa. Efektivitas komunikasi persuasif dilihat berdasarkan:

1. Karakteristik komunikator, berkaitan dengan komunikator yang kredibel, daya tarik komunikator serta kemampuan berbicara komunikator.

(10)

3. Karakteristik komunikan, yaitu komunikan yang lebih mudah dipersuasi jika mendapat dukungan dari orang sekitar mengenai pesan yang disampaikan.

Rakhmat menjelaskan ketika komunikator berkomunikasi, yang berpengaruh bukan saja apa yang ia katakan tetapi juga keadaan dia sendiri. Berdasarkan tulisan Aristoteles, Rahkmat menyatakan bahwa terkadang siapa lebih penting dari apa. Komunikator tidak dapat menyuruh pendengar hanya memperhatikan apa yang ia katakan. Pendengar juga akan memperhatikan siapa yang mengatakan. Aristoteles menyebut karakter komunikator sebagai ethos. Dimensi-dimensi ethos tersebut adalah:

1. Kredibilitas

Dua komponen kredibilitas yang paling penting adalah keahlian dan kepercayaan. Keahlian adalah kesan yang dibentuk komunikan tentang kemampuan komunikator menyangkut topik yang dibicarakan. Kepercayaan adalah kesan tentang komunikator yang berkaitan dengan wataknya. Koehler, Annatol dan Applbaum menambahkan empat komponen, yaitu: dinamisme (cara komunikator berkomunikasi), sosiabilitas (kesan komunikan tentang komunikator sebagai orang yang periang dan senang bergaul), koorientasi (kesan komunikan tentang komunikator sebagai orang yang mewakili kelompok yang memiliki nilai-nilai yang dimiliki komunikan), karisma (sifat yang dimiliki komunikator yang menarik dan dapat mengendalikan komunikan). 2. Atraksi

(11)

3. Kekuasaan

Kekuasaan menyebabkan seorang komunikator dapat “memaksakan” kehendaknya kepada orang lain karena ia memiliki sumber daya yang sangat penting. Raven (1974) mengklasifikasikan kekuasaan ke dalam lima jenis yaitu kekuasaan koersif, kekuasaan keahlian, kekuasaan informasional, kekuasaan rujukan dan kekuasaan legal (Rahkmat, 2005:254-267).

Rakhmat menyatakan bahwa penelitian persuasi mengalami pergeseran dalam penekanannya. Awalnya penelitian persuasi berusaha untuk menemukan imabauan yang menimbulkan perubahan skap atau perilaku, kemudian penelitian persuasi berusaha mencari faktor-faktor yang menerangkan penolakan atau penerimaan usaha untuk mengubah sikap. Rakhmat juga menyatakan bahwa penelitian tentang ethos atau kredibilitas sumber memperlihatkan penekanan pada kapasitas pengolahan informasi dari individu. Karakteristik atau dimensi kredibilitas sumber tersebut yang ditangkap oleh penafsir yang mengolah informasi (Rakhmat, 1986:220-222).

Dalam melakukan komunikasi persuasi terdapat hambatan-hambatan yang harus diperhatikan yaitu noise-factor (hambatan-hambatan berupa suara-suara yang mengganggu komunikasi sehingga tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya), semantik (hambatan berupa pemakaian kata atau istilah yang menimbulkan salah paham atau salah paham), faktor kepentingan atau interest yang membuat seseorang atau banyak orang selektif memberikan pengahayatan atau tanggapannya (bukan hanya mempengaruhi perhatian tetapi juga menentukan daya tanggap, perasaan, pikiran dan tingkah laku), motivasi (pendorong yang membuat seseorang berbuat sesuatu yang sesuai dengan keinginan, kebutuhan dan kekurangannya) dan prasangka atau prejudice (hambatan yang membuat komunikan sudah merasa was-was

(12)

2.1.3 Komunikasi Interpersonal

Komunikasi interpersonal menurut Joseph A. Devito dalam bukunya “The Interpersonal Communication Book” yaitu proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau di antara sekelompok kecil orang-orang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika (Fajar, 2009:78).

Komunikasi antarpribadi menurut Littlejohn (1999) merupakan komunikasi antara individu-individu. Bentuk khusus dari komunikasi antarpribadi ini adalah komunikasi diadik yang melibatkan hanya dua orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal maupun nonverbal, seperti suami-isteri, dua sejawat, dua sahabat dekat, seorang guru dengan seorang muridnya, dan sebagainya (Surip, 2011:27).

Komunikasi interpersonal adalah interaksi tatap muka antar dua atau beberapa orang, di mana pengirim dapat menyampaikan pesan secara langsung, dan penerima pesan dapat menerima dan menanggapi secara langsung pula (Hardjana, 2003:85).

Fungsi komunikasi antarpribadi adalah berusaha untuk meningkatkan hubungan kemanusiaan di antara pihak-pihak yang berkomunikasi, menghindari dan mengatasi konflik-konflik pribadi, mengurangi ketidakpastian sesuatu, serta berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan orang lain (Cangara, 2007:60).

(13)

interpersonal adalah kegiatan yang aktif; komunikasi interpersonal saling mengubah (Hardjana, 2003:86-90).

Liliweri (1997) menyebutkan beberapa ciri komunikasi antarpribadi, yaitu: arus pesan dua arah; konteks komunikasi adalah tatap muka; tingkat umpan balik yang tinggi; kemmapuan untuk mengatasi tingkat selektivitas yang tinggi; kecepatan untuk menjangkau sasaran yang besar sangat lamban; efek yang terjadi antara lain perubahan sikap (Surip, 2011:24).

Adapun karakteristik-karakteristik efektivitas komunikasi interpersonal atau antar pribadi menurut Joseph A. Devito dilihat dari dua perspektif. Perspektif pertama adalah humanistis yang meliputi sifat-sifat: keterbukaan, yaitu kita harus terbuka pada orang-orang yang berinteraksi dengan kita serta dari keterbukaan menunjuk pada kemauan kita untuk memberikan tanggapan terhadap orang lain dengan jujur terus terang tentang segala sesuatu yang dikatakannya.

Sifat kedua adalah perilaku suportif. Jack R. Gibb menyebutkan tiga perilaku yang menimbulkan perilaku suportif, yaitu: deskriptif (suasana yang deskriptif akan menimbulkan sikap suportif dibanding dengan suasana yang evaluatif), spontanitas (orang yang spontan dalam berkomunikasi adalah orang yang terbuka dan terus terang tentang apa yang dipikirkannya), dan provisionalisme (seseorang yang memiliki sifat berpikir terbuka, ada kemauan untuk mendengar pandangan yang berbeda dan bersedia menerima pendapat orang lain bila memang pendapatnya keliru).

(14)

bahwa dalam komunikasi antar pribadi harus ada kesamaan dalam hal mengirim dan menerima pesan.

Aspek yang kedua adalah pragmatis yang meliputi sifat-sifat: bersikap yakin (komunikasi antar pribadi akan lebih efektif bila seseorang mempunyai keyakinan diri karena manusia yang mempunyai sifat ini akan bersikap luwes dan tenang baik secara verbal maupun nonverbal); kebersamaan (seseorang bisa meningkatkan efektivitas komunikasi antar pribadi dengan orang lain bila ia bisa membawa rasa kebersamaan karena manusia yang memiliki sifat ini akan memperhatikan dan merasakan kepentingan orang lain). Sikap kebersamaan ini dapat dikomunikasikan baik secara verbal maupun nonverbal.

Sifat selanjutnya adalah manajemen interaksi (seseorang yang menginginkan komunikasi yang efektif akan mengontrol dan menjaga interaksi agar dapat memuaskan kedua belah pihak). Hal ini diperlihatkan dengan mengatur isi, kelancaran dan arah pembicaraan serta konsistensi. Sifat selanjutnya adalah perilaku ekspresif. Perilaku ekspresif memperlihatkan keterlibatan seseorang secara sungguh-sungguh dalam berinteraksi dengan orang lain.

Sifat yang terakhir adalah orientasi pada orang lain. Kemampuan seseorang untuk beradaptasi dengan orang lain selama melakukan komunikasi antar pribadi. Seringkali dalam berkomunikasi, kita berorientasi pada diri kita sendiri. Seseorang harus memiliki sifat yang berorientasi pada orang lain untuk dapat mencapai komunikasi yang efektif (Fajar, 2009:84-86).

(15)

2.1.4 Anak Berkelainan Perilaku (Tunalaras)

Pemberian sebutan tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa penderita mengalami problem intrapersonal dan atau interpersonal secara ekstrem (Hallahan & Kauffman, 1991) sehingga mereka mengalami kesulitan dalam menyelaraskan perilakunya dengan norma umum yang berlaku di masyrakat. Dokumen SLB bagian E tahun 1977, menjelaskan tunalaras adalah pertama, anak yang mengalami gangguan atau hambatan emosi dan tingkah laku sehingga tidak atau kurang menyesuaikan diri dengan baik, baik terhadap lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat; kedua, anak yang mempunyai kebiasaan melanggar norma umum yang berlaku di masyarakat; ketiga, anak yang melakukan kejahatan (Efendi, 2006:142-143).

Sedangkan Kauffman (1977) mengemukakan batasan mengenai anak-anak yang mengalami gangguan perilaku “sebagai anak yang secara nyata dan menahun merespon lingkungan tanpa ada kepuasan pribadi namun masih dapat diajarkan perilaku-perilaku yang dapat diterima oleh masyarakat dan dapat memuaskan pribadinya. Anak tunalaras juga disebut anak tunasosial karena tingkah laku anak ini menunjukkan penentangan terhadap norma-norma sosial masyarakat yang berwujud seperti mencuri, mengganggu, dan menyakiti orang lain (Somantri, 2006:139-140).

(16)

Secara garis besar, anak tunalaras dapat diklasifikasikan menjadi anak yang mengalami kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, dan yang mengalami gangguan emosi. William M. Cruickshank (1975) mengemukakan anak yang mengalami hambatan sosial diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori, yaitu:

1. The semi-socialize child

Anak yang termasuk kelompok ini dapat mengadakan hubungan sosial, tetapi terbatas pada lingkungan tertentu, misalnya: keluarga dan kelompoknya. Keadaan ini terjadi pada anak yang dating dari lingkungan yang menganut norma-norma tersendiri, yang mana norma tersebut bertentangan dengan norma yang berlaku di masyarakat. Di lingkungan sekolah, karena perilaku mereka sudah diarahkan oleh kelompoknya, maka seringkali menunjukkan perilaku memberontak karena tidak mau terikat oleh peraturan di luar kelompoknya. Dengan demikian anak selalu merasakan ada suatu masalah dengan lingkungan di luar kelompoknya.

2. Children arrested at a primitive level or socialization

Anak pada kelompok ini dalam perkembangan sosialnya berhenti pada level atau tingkatan yang rendah. Mereka adalah anak yang tidak pernah mendapat bimbingan ke arah sikap sosial dan terlantar dari pendidikan, sehingga ia melakukan apa saja yang dikehendakinya. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya perhatian dari orang tua, yang berakibat pada perilaku anak kelompok ini cenderung dikuasai oleh dorongan nafsu saja. Meskipun demikian mereka masih dapat memberikan respon pada perlakuan yang ramah.

3. Children with minimum socialization capacity

(17)

hubungan kasih sayang sehingga anak pada golongan ini banyak bersikap apatis dan egois.

Demikian pula anak yang mengalami ganggguan emosi. Anak-anak ini mengalami kesulitan adalam menyesuaikan tingkah laku dengan lingkungan sosialnya karena ada tekanan-tekanan dari dalam dirinya. Adapun anak yang mengalami gangguan emosi diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Neurotic Behavior (Perilaku Neurotik)

Anak pada kelompok ini masih bisa bergaul dengan orang lain, akan tetapi mereka mempunyai permasalahan pribadi yang tidak mampu diselesaikannya. Mereka sering dan mudah sekali dihinggapi perasaan sakit hati, perasaan marah, cemas dan agresif, serta rasa bersalah disamping juga kadang-kadang mereka melakukan tindakan lain seperti yang dilakukan oleh anak unsocialized (mencuri, bermusuhan). Anak pada kelompok ini dapat dibantu dengan terapi seorang konselor. Keadaan neurotik ini biasanya disebabkan oleh keadaan atau sikap keluarga yang menolak atau sebaliknya, terlalu memanjakan anak serta pengaruh pendidikan yaitu karena kesalahan pengajaran atau juga adanya kesulitan belajar yang berat.

2. Children with Psychotic Processes

(18)

harus disesuaikan dengan kemajuan terapi dan dilakukan pada setiap kesempatan yang memungkinkan.

Pada kelompok neurotik, anak mengalami gangguan yang sifatnya fungsional. Sedangkan pada kelompok psikotis disamping mengalami gangguan fungsional, anak juga mengalami gangguan yang sifatnya organis. Oleh karena itu, anak-anak yang termasuk kelompok psikotis kadang-kadang memerlukan perawatan medis (Somantri, 2006:141-143).

Patton (1991) mengklasifikasikan penyebab terjadinya ketunalarasan menjadi dua, yaitu faktor penyebab bersifat internal dan faktor penyebab yang bersifat eksternal. Faktor penyebab yang bersifat internal adalah faktor-faktor yang langsung berkaitan dengan kondisi individu itu sendiri, seperti keturunan, kondisi fisik, dan psikisnya. Sedangkan faktor penyebab eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar individu terutama lingkungan, baik lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah (Efendi, 2006:148-151).

Lebih lanjut Patton menjelaskan bahwa ciri-ciri yang menonjol pada kepribadian anak tunalaras, antara lain kurang percaya diri, menunjukkan sikap curiga terhadap orang lain, rendah diri, dan sebaliknya menunjukkan sikap permusuhan terhadap lingkungan atau otorita, mengisolasi diri, kecemasan yang berlebihan, tidak memiliki ketenangan jiwa, sering melakukan perkelahian atau bentrokan.

2.1.5 Remaja

Masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa anak menuju masa dewasa. Pada masa ini individu mengalami berbagai perubahan, baik fisik maupun psikis. Perubahan yang tampak jelas adalah perubahan fisik, dimana tubuh berkembang pesat sehingga mencapai bentuk tubuh orang dewasa yang disertai pula dengan berkembangnya kapasitas reproduktif (Agustiani, 2006:28).

(19)

remaja awal (11-15 tahun), remaja madya (16-18 tahun) dan remaja akhir (19-22 tahun). Masa praremaja biasanya berlangsung singkat dan ditandai dengan sifat-sifat negatif. Masa remaja madya ditandai dengan mencari sesuatu yang dipandang bernilai, pantas dijunjung tinggi dan dipuja-puja. Masa remaja akhir ditandai dengan kemampuan menentukan pendirian hidup (2011:219-242).

Lebih lanjut Jahja menyatakan ciri-ciri remaja meliputi peningkatan emosional yang terjadi secara cepat, perubahan yang sangat cepat secara fisik yang disertai kematangan seksual, perubahan dalam hal yang menarik bagi dirinya dan hubungan dengan orang lain, perubahan nilai (dimana pada masa kanak-kanak dianggap tidak penting menjadi penting karena telah mendekati dewasa) dan adanya sikap ambivalen (satu sisi remaja menginginkan kebebasan tetapi takut mengambil tanggung jawab dan meragukan kemampuan mereka sendiri).

Menurut Spear (2000), ada tiga masalah yang cenderung muncul pada masa remaja dibandingkan pada masa kanak-kanak atau dewasa, yaitu konflik dengan orang tua, suasana hati yang berubah-ubah (mood swings) dan tindakan berisiko. Teman sebaya memegang peranan paling

penting karena mereka mewakili nilai dan gaya generasi yang termasuk dalam kelompok usia remaja tersebut, yakni generasi di mana remaja akan berbagi pengalaman sebagai orang dewasa nantinya (Wade & Tavris, 2007:268).

Selanjutnya Wade dan Tavris (2007:281) menyimpulkan masa remaja sebagai berikut: masa remaja diawali dengan perubahan fisik saat pubertas. Anak laki-laki dan anak perempuan yang memasuki pubertas lebih awal cenderung memiliki kesulitan untuk menyesuaikan diri di tahapan berikutnya dibandingkan dengan mereka yang memasuki pubertas terlambat dibandingkan anak-anak pada umumnya.

Otak remaja mengalami pemangkasan sinapsis besar-besaran terutama di bagian prefrontal cortex dan sistem limbri, dan juga myelinization, yang meningkatkan efisiensi transmisi saraf dan

(20)

ini mungkin belum selesai sampai usia seseorang menginjak usia 20 tahun awal, yang mungkin dapat membantu menjelaskan mengapa emosi kuat dalam masa remaja seringkali membuat remaja tidak dapat mengambil keputusan secara rasional dan mengapa remaja berperilaku lebih impulsif dibandingkan dengan orang dewasa. Bukti ini mungkin memiliki implikasi penting bagi penanganan remaja oleh pihak berwajib saat mereka melakukan tindakan kejahatan.

Kebanyakan remaja tidak mengalami gejolak emosional, kemarahan, atau pemberontakan yang ekstrem, tidak membenci orang tua mereka dan tidak menderita karena rendahnya harga diri. Namun, konflik dengan orang tua, mood swing dan depresi serta perilaku sembrono memang meningkat pada masa remaja. Teman sebaya berperan sangat penting. Anak laki-laki cenderung untuk mengekspresikan masalah emosional mereka dalam bentuk agresivitas dan perilaku antisosial lainnya; anak perempuan cenderung untuk menginternalisasi masalah mereka dan menjadi depresi atau mengembangkan gangguan makan.

2.1.6 Prestasi Belajar

Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalamannya sendiri dalam interaksinya dengan lingkungannya (Slameto, 2013:2).

(21)

Pada kenyataannya proses belajar dan hasil belajar atau prestasi belajar tidak dapat dipisahkan. Winkel menyatakan prestasi (performance) menampakkan hasil belajar. Hasil belajar seseorang tidak langsung terlihat, tanpa seseorang tersebut melakukan sesuatu yang menampakkan kemampuan yang telah diperoleh melalui belajar. Kemampuan yang dimaksudkan oleh Winkel adalah kemampuan kognitif yang meliputi pengetahuan dan pemahaman; kemampuan sensorik-motorik yang meliputi ketampilan melakukan rangkaian gerak-gerik badan dalam urutan tertentu; kemampuan dinamik-afektif yang meliputi sikap dan nilai, yang meresapi perilaku dan tindakan.

Belajar adalah suatu aktivitas mental/psikis, berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, menghasilkan perubahan dalam pengetahuan-pemahaman, keterampilan dan nilai-sikap. Perubahan ini bersifat relatif konstan dan berbekas. Perubahan itu dapat berupa suatu hasil yang baru atau penyempurnaan terhadap hasil yang telah diperoleh. Hasil belajar dapat berupa hasil yang utama; dapat juga berupa hasil sebagai efek sampingan. Proses belajar dapat berlangsung dengan penuh kesadaran, dapat juga tidak (Winkel, 1996:51-55).

Pengertian belajar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002:895) adalah penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran yang lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh guru. Berdasarkan hal itu, prestasi belajar siswa dapat dirumuskan sebagai berikut:

a. Prestasi belajar siswa adalah hasil belajar yang dicapai siswa ketika mengikuti dan mengerjakan tugas dan kegiatan pembelajaran di sekolah.

b. Prestasi belajar siswa tersebut terutama dinilai aspek kognitifnya karena bersangkutan dengan kemampuan siswa dalam pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesa dan evaluasi.

(22)

siswa dan ulangan-ulangan atau ujian yang ditempuhnya (Tu’u, 2004:75).

Terdapat dua faktor yang mempengaruhi proses dan hasil belajar: 1. Faktor luar, terdiri dari lingkungan (alam dan sosial) dan instrumental

(kurikulum/bahan pembelajaran, guru/pengajar, sarana dan fasilitas, administrasi/manajemen).

2. Faktor dalam, terdiri dari fisiologi (kondisi fisik dan kondisi panca indera) dan psikologi (bakat, minat, kecerdasan, motivasi dan kemampuan kognitif) (Purwanto, 2013:107).

Pada awalnya, Gagne mengklasifikasikan jenis-jenis belajar ke dalam sistematika yang dikenal dengan “Delapan Tipe Belajar”. Sistematika ini memusatkan perhatian pada hasil belajar yang diperoleh, bukan pada proses belajar yang yang dilalui untuk sampai pada hasil belajar tersebut. Sistematika ini memuat tahapan belajar mulai dari belajar sinyal, belajar perangsang-reaksi dengan mendapatkan penguatan, belajar membentuk rangkaian gerak-gerik, belajar asosiasi, belajar diskriminasi yang jamak, belajar konsep, belajar kaidah dan belajar memecahkan masalah (Winkel, 1996:90-97).

(23)

Dalam sistematika “Lima Jenis Belajar”, Gagne tidak menyusunnya secara hierarkis, di mana jenis belajar yang satu menjadi landasan bagi jenis belajar yang lain. Kelima kategori hasil belajar yang dikemukakan oleh Gagne adalah (Winkel, 1996:97-105):

1. Informasi verbal (verbal information), kemampuan seseorang untuk menuangkan pengetahuannya ke dalam bentuk bahasa yang memadai, sehingga dapat dikomunikasikan dengan orang lain.

2. Kemahiran intelektual (intellectual skill), kemampuan berhubungan dengan lingkungan dan diri sendiri dalam bentuk suatu representasi, khususnya konsep dan lambang/simbol. Kemahiran intelektual ini terbagi lagi ke dalam empat subkemampuan yaitu:

Diskriminasi jamak (multiple discrimination), kemampuan membedakan suatu obyek dengan obyek lainnya dengan cara mengamati. Selama mengamati, dibentuk berbagai persepsi atau hasil mental dari pengamatan.

Pengertian (concept), kemampuan memberikan satuan arti mewakili sejumlah obyek yang mempunyai ciri-ciri sama. Orang yang memiliki konsep akan mampu menempatkan obyek ke dalam golongan tertentu (kalsifikasi).

Kaidah (rule), kemampuan menggabungkan dua konsep atau lebih yang dapat menghasilkan suatu ketentuan yang merepresentasikan suatu keteraturan atau penguasaan beberapa konsep yang relevan.

Prinsip (higher-order rule), kemampuan menggabungkan beberapa kaidah yang dapat dijadikan prinsip pemecahan masalah.

(24)

suatu masalah. Orang yang memiliki kemampuan ini akan dapat belajar secara efisien dan efektif.

4. Keterampilan motorik (motor skill), kemampuan untuk melakukan suatu gerak-gerik jasmani secara terpadu. Ciri khas dari keterampilan motorik adalah otomatisme yaitu rangkaian gerak-gerik berlangsung teratur dan berjalan dengan lancar dan supel. 5. Sikap (attitude), kemampuan mengambil tindakan terutama saat

kemungkinan untuk bertindak sedang terbuka. 2.2 Kerangka Konsep

Konsep atau variabel merupakan abstraksi dari gejala atau fenomena yang akan diteliti (Adi, 2004:27). Kerangka konsep merupakan abstraksi tentang fenomena sosial yang dirumuskan melalui generalisasi dari sejumlah karakteristik peristiwa atau keadaan fenomena sosial tertentu.

Konsep di bentuk melalui proses abstraksi, yaitu proses menarik intisari dari ide-ide dan gambar tentang fenomena sosial (Silalahi, 2009:112). Adapun variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Variabel Bebas (X)

Variabel bebas merupakan variabel yang menjadi sebab berubahnya atau timbulnya variabel terikat (Idrus, 2009:79). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah komunikasi persuasif pengajar di SLB-E Pembina Medan.

2. Variabel Terikat (Y)

(25)

2.2.1. Model Teoritis

Berdasarkan variabel-variabel penelitian dalam kerangka konsep di atas, maka model teoritis dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.1

Model Teoritis

Variabel Bebas (X) Variabel Terikat (Y) Komunikasi Persuasif Prestasi Belajar

(26)

2.3 Variabel Penelitian

Variabel adalah satu konsep atau konstruk yang memiliki variasi (dua atau lebih) nilai. Nilai yang melekat dalam variabel dapat berupa angka dan kategori (Silalhi, 2009:114-117). Berdasarkan kerangka teori dan kerangka konsep yang telah diuraikan maka di buat variabel penelitian sebagai berikut:

Tabel 2.1

Variabel Penelitian

Variabel Teoritis Variabel Operasional Descriptor Pertanyaan Teknik Skor Variabel Bebas (X)

Komunikasi Persuasif: Kegiatan psikologis

dalam usaha mempengaruhi

pendapat, sikap dan tingkah laku seseorang atau orang banyak (Roekomy, 1992:2).

a. Kredibilitas komunikator

• Keahlian

• Kepercayaan

a. Seperangkat persepsi komunikan tentang sifat-sifat

komunikator.

• Kesan yang

terlihat mengenai luasnya

pengetahuan komunikator.

• Kesan jujur yang

7. Apakah guru menjelaskan pelajaran sesuai dengan materi yang sedang Anda pelajari?

8. Apakah Anda mengerti pelajaran yang diberikan oleh guru di kelas?

9. Apakah Anda menanyakan

(27)

• Dinamisme

• Sosiabilitas

terlihat ketika komunikator

menyampaikan pesan.

• Cara

komunikator berkomunikasi misalnya intonasi suara, tempo berbicara atau kejelasan

mengucapkan kata-kata.

• Kesan

kepada guru di kelas tentang pelajaran yang tidak Anda pahami?

10.Apakah guru Anda pernah menjawab tidak tahu ketika Anda bertanya tentang pelajaran yang sedang dijelaskan di kelas?

11.Apakah guru berbicara dengan cepat ketika menjelaskan pelajaran di kelas?

12.Apakah Anda dapat

mendengar dengan jelas apa yang dikatakan oleh guru di kelas?

(28)

• Koorientasi

• Karisma

komunikan tentang komunikator

sebagai orang yang periang dan senang bergaul.

• Kesan komunikan tentang komunikator

sebagai orang yang

menyenangkan karena memiliki nilai-nilai yang sama dengannya.

• Sifat

mengajar dengan wajah yang sedih atau marah?

14.Apakah pernah guru Anda menyapa Anda ketika sedang berada di luar lingkungan sekolah (misalnya bertemu di dalam angkutan umum)? 15.Apakah guru Anda datang

tepat waktu?

16.Apakah guru Anda orang yang menyenangkan?

(29)

b. Daya tarik komunikator

• Penampilan fisik

• Kesamaan

komunikator

yang menarik dan dapat mengendalikan

komunikan.

b. Penampilan

komunikator yang terlihat oleh komunikan

• Penampilan

tubuh yang menarik

perhatian komunikan.

• Persamaan yang

menenangkan keadaan kelas ketika terjadi kericuhan pada saat menjelaskan?

18.Apakah Anda

memperhatikan dan mendengarkan ketika guru

sedang menjelaskan di kelas?

19.Apakah guru Anda

memperhatikan

penampilannya sebelum masuk ke dalam kelas (misalnya merapikan pakaian atau rambut)?

20.Apakah penampilan guru Anda mempengaruhi suasana hati Anda untuk mengikuti pelajaran di kelas?

(30)

c. Kekuasaan yang dimiliki

komunikator

dimiliki

komunikator dan komunikan

dalam hal kepercayaan,

sikap, maksud dan nilai-nilai sehubungan dengan suatu hal.

c. Kekuatan yang

dimiliki oleh komunikator untuk

dapat memaksakan kehendaknya kepada komunikan, dapat berupa ganjaran atau hukuman.

mengingatkan Anda untuk mengerjakan pekerjaan rumah (PR)?

22.Apakah guru Anda

mengingatkan Anda untuk menghormati semua guru dan karyawan di sekolah?

23.Apakah guru Anda

memberikan hukuman ketika

Anda melakukan pelanggaran di sekolah?

24.Apakah guru Anda memberikan ganjaran ketika Anda melakukan tugas Anda

(mengerjakan PR, membuang sampah pada

(31)

kejuaraan)? Variabel Terikat (Y)

Prestasi Belajar:

Suatu aktivitas mental/psikis, yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, menghasilkan perubahan dalam pengetahuan-pemahaman, keterampilan dan nilai-sikap. Perubahan itu bersifat relatif konstan dan berbekas (Winkel, 1996:53).

a. Belajar di bidang kognitif

• Informasi verbal (Verbal

information)

• Kemahiran intelektual

(Intellectual skill)

a. Pembelajaran mental yang setidaknya mencakup aktivitas mengingat dan berpikir. • Kemampuan untuk mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa, lisan dan tertulis.

• Kemampuan untuk

berhubungan dengan

lingkungan dan

25.Apakah Anda dapat

berbicara bahasa asing (misalnya bahasa Inggris)?

26.Apakah Anda dapat

mengungkapkan pendapat dengan baik?

27.Apakah Anda dapat membuat garis besar untuk setiap pelajaran yang sudah Anda ikuti?

(32)

• Pengaturan

kegiatan kognitif (Cognitive

strategy)

b. Belajar di bidang sensorik-motorik

diri sendiri yang direpresentasikan dalam bentuk konsep dan berbagai

lambang/simbol. • Kemampuan

mengatur dan mengarahkan

aktivitas mental terutama bila menghadapi

suatu problem. b. Pembelajaran

dalam menghadapi dan menangani obyek-obyek secara fisik mencakup aktivitas mengamati

menyelesaikan soal yang diberikan oleh guru di kelas?

29.Apakah Anda mengulang kembali di rumah pelajaran yang sudah Anda terima di sekolah?

(33)

• Keterampilan motorik (Motor skill)

(sensorik) maupun bergerak dan menggerakkan

(motorik). • Kemampuan

merangkai

gerakan secara teratur dan berjalan dengan lancar tanpa dibutuhkan

banyak refleksi tentang apa yang harus dilakukan dan mengapa harus mengikuti urutan gerakan tertentu.

31.Apakah Anda dapat

mengoperasikan komputer atau alat portable sejenis (misalnya laptop, projector, smartphone)?

32.Apakah Anda dapat

(34)

c. Belajar di bidang dinamik-afektif

Sikap (Attitude)

c. Pembelajaran

berkehendak dan berkemauan secara wajar, menghayati nilai dari suatu

obyek dan mengungkapkan

perasaan dalam bentuk ekspresi yang wajar.

• Kemampuan

internal untuk mengambil

tindakan atau menentukan

pilihan.

33.Apakah Anda memiliki dan mengikuti jam belajar secara teratur di rumah?

34.Apakah Anda memiliki

keinginan untuk memperbaiki nilai Anda

yang kurang bagus? Karakteristik

Responden

a. Jenis kelamin

b. Usia

a. Jenis kelamin

responden.

b. Tingkatan umur

1. Laki-laki atau Perempuan. 2. 11-12, 13-14, 15-16, di atas

(35)

c. Suku

d. Pendidikan orangtua

e. Pekerjaan orangtua

f. Penghasilan orangtua

responden.

c. Daerah asal

(keturunan) responden.

d. Jenjang pendidikan orangtua/wali

responden.

e. Mata pencaharian orangtua/wali

responden. f. Penghasilan

orangtua/wali responden.

3. Batak, Jawa, Melayu, Lainnya.

4. SD, SMP, SMA, Akademi/ Sarjana.

5. Pegawai Negeri, Pegawai

Swasta, Wiraswasta, Lainnya.

(36)

2.4 Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, di mana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Jadi hipotesis juga dapat dinyatakan sebagai jawaban teoritis terhadap rumusan masalah penelitian, belum jawaban yang empirik dengan data (Sugiyono, 2008:96). Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap hasil penelitian yang akan dilakukan (Bungin, 2001:90). Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini sebagai berikut:

Ho: Tidak terdapat hubungan antara komunikasi persuasif yang dilakukan

pengajar terhadap prestasi belajar anak didik SMP di SLB-E Negeri Pembina Medan.

Ha: Terdapat hubungan antara komunikasi persuasif yang dilakukan pengajar

Gambar

Gambar 2.1 Model Teoritis
Tabel 2.1

Referensi

Dokumen terkait