• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunikasi Persuasif Dan Prestasi Belajar (Studi Korelasional Tentang Komunikasi Persuasif Pengajar Terhadap Prestasi Belajar Anak Didik Di Slb-E Negeri Pembina Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Komunikasi Persuasif Dan Prestasi Belajar (Studi Korelasional Tentang Komunikasi Persuasif Pengajar Terhadap Prestasi Belajar Anak Didik Di Slb-E Negeri Pembina Medan)"

Copied!
138
0
0

Teks penuh

(1)

(Studi Korelasional tentang Komunikasi Persuasif Pengajar terhadap Prestasi Belajar Anak Didik di SLB-E Negeri Pembina Medan)

SKRIPSI

PERMATA SARI MELIALA

100904028

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

(2)

Prestasi Belajar Anak Didik di SLB-E Negeri Pembina Medan)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Program Strata 1 (S1) pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

PERMATA SARI MELIALA

100904028

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

(3)

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

LEM BAR PERSET U J U AN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh:

Nama : PERMATA SARI MELIALA

NIM : 100904028

Departemen : ILMU KOMUNIKASI

Judul : KOMUNIKASI PERSUASIF DAN PRESTASI BELAJAR

(Studi Korelasional tentang Komunikasi Persuasif Pengajar

terhadap Prestasi Belajar Anak Didik di SLB-E Negeri Pembina Medan)

Dosen Pembimbing Ketua Departemen Ilmu Komunikasi

Dr. Humaizi, M.A. Dra. Fatma Wardy Lubis, M.A NIP.195908091986011002 NIP. 196208281987012001

Dekan FISIP USU

(4)

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya cantumkan sumbernya dengan benar. Jika di

kemudian hari saya terbukti melakukan pelangaran (plagiat) maka saya bersedia diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.

Nama : PERMATA SARI MELIALA

NIM : 100904028

(5)

Skripsi ini diajukan oleh :

Nama : PERMATA SARI MELIALA

NIM : 100904028

Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul Skripsi : KOMUNIKASI PERSUASIF DAN PRESTASI BELAJAR

(Studi Korelasional tentang Komunikasi Persuasif Pengajar terhadap Prestasi Belajar Anak Didik di SLB-E Negeri Pembina Medan)

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Majelis Penguji

Ketua Penguji : (………..)

Penguji : (………..)

Penguji Utama : (………..)

Ditetapkan di : Medan

(6)

Puji dan syukur saya haturkan ke hadirat Allah Bapa di Surga yang selalu menyertai, membimbing, dan memberkati saya setiap saat selama proses penulisan skripsi ini. Atas berkat dan kasih-Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Komunikasi Persuasif dan Prestasi Belajar (Studi Korelasional tentang Komunikasi Persuasif Pengajar dan Prestasi Belajar Anak Didik di SLB-E Negeri Pembina Medan)”. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Ucapan terima kasih juga saya persembahkan secara khusus kepada kedua orang tua yang sangat saya cintai dan sayangi yaitu Ibu Rosalina Br. Karo dan Alm. Bapak Muli Sembiring serta kedua saudara kandung saya, Kakak Wachyu Anggrainy dan Princess, Adek Putri Handayani Inesta Meliala dan abang ipar saya David Deodjan Ginting atas doa, dukungan materi dan moril yang diberikan untuk memotivasi saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini, diantaranya:

1. Bapak Prof. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara serta seluruh jajarannya.

2. Ibu Dra. Fatma Wardy Lubis, M.A, selaku Ketua Departemen Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Dayana, M.Si, selaku Sekretaris Departemen Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Humaizi, M. A, selaku Dosen Pembimbing, terima kasih atas waktu, tenaga dan kesabaran serta masukan yang telah diberikan untuk mengarahkan saya dalam penyusunan skripsi ini.

(7)

dan pengalaman hidup yang dibagikan selama masa perkuliahaan.

7. Seluruh staff Departemen Ilmu Komunikasi dan Bagian Pendidikan yang telah membantu dalam proses administrasi.

8. Bapak selaku kepala sekolah dan Ibu Maya Rusmiati selaku kepala PKS Sekolah Luar Biasa E Negeri Pembina Medan yang telah menerima dan mengarahkan saya selama kegiatan penelitian berlangsung.

9. Bapak Fransiskus Sitepu, Bapak Turino, Ibu Fariyeni, Ibu Srimulyani dan Ibu Brita Tarigan selaku pengajar yang membantu saya menjelaskan ketika proses pengisian kuesioner berlangsung serta seluruh Keluarga Besar Sekolah Luar Biasa E Negeri Pembina Medan dan responden yang telah bersedia memberikan waktu, tenaga, dan informasi yang diperlukan dalam penelitian ini.

10.Teman-teman baik saya, Dora, Artha, Bawana, Rere, Debby, Dewi, Indra CM, Laura, Yuanita, Kak Eva, Kak Saidah, Hagai dan Debora serta seluruh teman-teman komunikasi terkhusus angkatan 2010 yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu, terima kasih atas bantuannya untuk mengajari dan memberikan dorongan semangat kepada saya.

11.Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu yang juga telah ikut membantu saya dalam menyelesaikan skripsi ini, saya ucapkan

banyak terima kasih.

Saya menyadari bahwa tulisan ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu dengan segala kerendahan hati saya berharap pembaca dapat memberikan saran dan kritik yang sifatnya membangun untuk perbaikan skripsi ini serta memperdalam pengetahuan dan pengalaman saya. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang ilmu komunikasi.

Medan, Oktober 2015 Peneliti,

(8)

Sebagai civitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : PERMATA SARI MELIALA NIM : 100904028

Departemen : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas : Sumatera Utara

Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non exclusive Royalty – Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

KOMUNIKASI PERSUASIF DAN PRESTASI BELAJAR (Studi Korelasional tentang Komunikasi Persuasif terhadap Prestasi Belajar Anak Didik di SLB-E Negeri Pembina Medan)

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),

merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/ pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Medan

Pada tanggal : Oktober 2015 Yang Menyatakan,

(9)

pengajar terhadap prestasi belajar anak didik di SLB (Sekolah Luar Biasa) E Negeri Pembina Medan. Komunikasi persuasif ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana strategi penggunaan komunikasi persuasif yang dilakukan pengajar dalam usaha pencapaian prestasi anak didik serta perubahan perilaku dan skill. Penelitian ini menggunakan metode korelasional dengan pendekatan kuantitatif. Penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauh mana variasi sebuah variabel berhubungan dengan variasi variabel lain. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan menyebarkan kuesioner. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 66 orang anak didik. Untuk melihat sejauh mana komunikasi persuasif pengajar dalam pencapaian prestasi belajar anak didik SLB-E Negeri Pembina Medan, digunakan teknik analisis tabel tunggal, analisis tabel silang dan uji hipotesis melalui uji statistik “Spearman’s Rho Rank Order Correlations”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat tinggi; kuat sekali; dapat diandalkan antara komunikasi persuasif pengajar dan prestasi belajar anak didik SLB-E Negeri Pembina Medan.

Kata Kunci: Prestasi Belajar, Komunikasi Persuasif, Sekolah Luar Biasa

ABSTRAC

This research aims to know about the influence of teachers persuasive communication toward learning achievement of students on the government SLB (Extraordinary School) E Pembina Medan. This persuasive communication aims to determine how the strategy made use of persuasive communication teacher in achieving student achievement and behavior change and skill. This research use correlation method with quantitative approach. This research aims to see the extent to which variation of a variable associated with a variety of other variables. Data collection techniques used by spread questionnaires. The number of respondents of this research were 66 students. To see the extent to which teachers persuasive communication in the learning achievement of the students SLB-E Negeri Pembina Medan, used a single table analysis techniques, cross table analysis and test hypotheses through statistical tests "Spearman's Rho Rank Order Correlations". The results of this research indicate that there is a very high; very strong; reliable between teachers persuasive communication and students learning achievement on SLB-E Negeri Pembina Medan.

(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………. i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ………... ii

HALAMAN PENGESAHAN ………. iii

KATA PENGANTAR ………. vi

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ……..…… viii

ABSTRAK ……….…….. ix

DAFTAR ISI ……… x

DAFTAR TABEL ………...……….. xiii

DAFTAR GAMBAR ………..………...…….. xv

DAFTAR LAMPIRAN .………...……. xvi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ………. 1

1.2 Batasan Masalah ………. 6

1.3 Rumusan Masalah ……….…………..6

1.4 Tujuan Penelitian ………....7

1.5 Manfaat Penelitian ………..………7

BAB II URAIAN TEORITIS 2.1 Kerangka Teoritis ………... 8

2.1.1 Model AIDDA ………... 8

2.1.2 Komunikasi Persuasif ...……… 10

2.1.3 Komunikasi Interpersonal ……… 19

2.1.4 Anak Berkelainan Perilaku (Tunalaras) ………... 22

2.1.5 Remaja ……….. 25

2.1.6 Prestasi Belajar ………. 27

2.2 Kerangka Konsep ………..31

2.2.1 Model Teoritis ………...32

2.3 Variabel Penelitian ………...….33

(11)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ……….. 43

3.1.1 Sejarah Singkat Sekolah Luar Biasa E Negeri Pembina Medan .. 43

3.1.2 Program Sekolah Luar Biasa E Negeri Pembina Tingkat Provinsi45 3.1.3 Visi dan Misi Sekolah Luar Biasa E Negeri Pembina Medan .… 45 3.1.4 Tugas Pokok dan Fungsi ………..…… 47

3.1.5 Tujuan Sekolah ……….… 48

3.1.6 Motto Bekerja UPT SLB-E Negeri Pembina Tingkat Provinsi ... 49

3.1.7 Struktur Organisasi UPT SLB-E Negeri Pembina Medan ……... 50

3.2 Metode Penelitian ……… 51

3.3 Populasi dan Sampel ……… 51

3.3.1 Populasi ……… 51

3.3.2 Sampel ………..…… 52

3.4 Teknik Penarikan Sampel ....……… 52

3.5 Teknik Pengumpulan Data ………... 53

3.6 Teknik Analisis Data ……… 53

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tahapan Pelaksanaan Penelitian ……….. 56

4.2 Pembahasan ……….. 57

4.3 Analisis Tunggal ………...…. 58

4.3.1 Karakteristik Responden ……….. 58

4.3.2 Komunikasi Persuasif ………...… 61

4.3.3 Prestasi Belajar ………. 79

4.4 Analisis Silang ………...…… 87

4.5 Uji Hipotesis ………...….. 93

(12)

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ……….... 104

5.2 Saran ………..……. 104

5.2.1 Saran dalam Kaitan Akademis ………...… 106

5.2.2 Saran dalam Kaitan Praktis ………...……. 106

(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Variabel Penelitian ………...……… 33

3.1 Populasi ………...……….……… 52

4.1 Jenis Kelamin ………...……… 58

4.2 Usia ……….……. 58

4.3 Suku ……….….… 59

4.4 Pendidikan Terakhir Orangtua ………... 59

4.5 Pekerjaan Orangtua ………..… 60

4.6 Penghasilan Orangtua ……….….…. 61

4.7 Kesesuaian Materi Pelajaran ………...………….…… 62

4.8 Mengerti Pelajaran yang Diajarkan ……….….… 63

4.9 Menanyakan Pealajaran yang Tidak dipahami ………….….….. 64

4.10 Guru Tidak Mengetahui Jawaban Pertanyaan yang Diajukan ... 65

4.11 Guru Berbicara dengan Cepat ……….………. 67

4.12 Mendengar atau Mengerti dengan Jelas ……….…….. 68

4.13 Guru Mengajar dengan Wajah Sedih atau Marah …………..….. 69

4.14 Guru Menyapa Ketika Berada di Luar Lingkungan Sekolah .….. 70

4.15 Guru Datang Tepat Waktu ………... 71

4.16 Guru Orang yang Menyenangkan ……….... 71

4.17 Guru dapat Mengendalikan Keadaan Kelas ………... 73

4.18 Memperhatikan Guru Menjelaskan ……….…. 74

4.19 Guru Memperhatikan Penampilan ………... 75

4.20 Penampilan Guru Mempengaruhi Suasana Hati ………... 75

4.21 Guru Mengingatkan tentang Pekerjaan Rumah (PR) …………... 76

4.22 Guru Mengingatkan untuk Menghormati Warga Sekolah ……... 77

4.23 Guru Memberikan Hukuman ………...… 78

4.24 Guru Memberikan Ganjaran atau Pujian ……….…. 79

4.25 Berbicara Bahasa Asing ………... 80

(14)

4.28 Menyelesaikan Soal yang Diberikan Guru ……….…... 82

4.29 Mengulang Pelajaran di Rumah ……….………...……. 83

4.30 Mampu Menerima Setiap Pelajaran ……….…… 84

4.31 Pengoperasian Alat Portable ………... 84

4.32 Gerakan Senam Lantai ……….… 85

4.33 Jam Belajar ……….….…. 86

4.34 Keinginan untuk Memperbaiki Nilai ………... 87

4.35 Hubungan antara Menanyakan Pelajaran yang Tidak Dipahami dengan Mengungkapkan Pendapat ……….….. 88

4.36 Hubungan antara Memperhatikan dan Mendengarkan Guru di Kelas dengan Menyelesaikan Soal di Kelas ………...….. 90

4.37 Hubungan antara Pengajar Mengingatkan Mengerjakan PR dengan Memiliki Jam Belajar di Rumah ……….……. 92

(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Model Teoritis ………..………… 32

(16)

DAFTAR LAMPIRAN - Surat Izin Penelitian

- Kuesioner - Foltron Cobol

- Dokumentasi Penelitian

(17)

pengajar terhadap prestasi belajar anak didik di SLB (Sekolah Luar Biasa) E Negeri Pembina Medan. Komunikasi persuasif ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana strategi penggunaan komunikasi persuasif yang dilakukan pengajar dalam usaha pencapaian prestasi anak didik serta perubahan perilaku dan skill. Penelitian ini menggunakan metode korelasional dengan pendekatan kuantitatif. Penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauh mana variasi sebuah variabel berhubungan dengan variasi variabel lain. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan menyebarkan kuesioner. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 66 orang anak didik. Untuk melihat sejauh mana komunikasi persuasif pengajar dalam pencapaian prestasi belajar anak didik SLB-E Negeri Pembina Medan, digunakan teknik analisis tabel tunggal, analisis tabel silang dan uji hipotesis melalui uji statistik “Spearman’s Rho Rank Order Correlations”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat tinggi; kuat sekali; dapat diandalkan antara komunikasi persuasif pengajar dan prestasi belajar anak didik SLB-E Negeri Pembina Medan.

Kata Kunci: Prestasi Belajar, Komunikasi Persuasif, Sekolah Luar Biasa

ABSTRAC

This research aims to know about the influence of teachers persuasive communication toward learning achievement of students on the government SLB (Extraordinary School) E Pembina Medan. This persuasive communication aims to determine how the strategy made use of persuasive communication teacher in achieving student achievement and behavior change and skill. This research use correlation method with quantitative approach. This research aims to see the extent to which variation of a variable associated with a variety of other variables. Data collection techniques used by spread questionnaires. The number of respondents of this research were 66 students. To see the extent to which teachers persuasive communication in the learning achievement of the students SLB-E Negeri Pembina Medan, used a single table analysis techniques, cross table analysis and test hypotheses through statistical tests "Spearman's Rho Rank Order Correlations". The results of this research indicate that there is a very high; very strong; reliable between teachers persuasive communication and students learning achievement on SLB-E Negeri Pembina Medan.

(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945, setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Oleh karenanya, pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang harus diterima oleh anak di Indonesia. Dengan sistem pendidikan yang baik, hasil pendidikan yang berkualitas tentunya akan mudah diraih.

Banyak sistem pendidikan yang sudah dirancang untuk mendidik anak-anak pada umumnya. Tetapi tidak untuk sistem pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus (ABK). Kurangnya tenaga pengajar untuk pendidikan luar biasa menyebabkan sistem pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus kurang berkembang. Menurut Kompas.com (2010) berdasarkan pengakuan Menteri Pendidikan Nasional saat itu, jumlah tenaga pendidik dengan siswa didik adalah satu berbanding empat (edukasi.kompas.com

Di Indonesia, sistem pendidikan yang mengatur penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik berkebutuhan khusus baru diberi perhatian pada tahun 1970an setelah keberhasilan proyek pendidikan terpadu melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Budaya No. 002/U/1986 tentang Pendidikan Terpadu

bagi Anak Cacat. Pada intinya keputusan tersebut mengatur bahwa anak berkebutuhan khusus yang memiliki kemampuan akademis dapat diterima bersekolah di sekolah regular (Rahardja, 2005:1).

).

(19)

Menurut pasal 15 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, bahwa jenis pendidikan bagi Anak berkebutuan khusus adalah Pendidikan Khusus. Pasal 32 (1) UU No. 20 tahun 2003 memberikan batasan bahwa Pendidikan khusus adalah pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

Teknis layanan pendidikan jenis pendidikan khusus untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa dapat diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Menurut pasal 130 (1) PP No. 17 tahun 2010 pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan dapat diselenggarakan pada semua jalur dan jenis pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.

Konsep anak berkebutuhan khusus sebagai peserta didik adalah anak yang mengalami hambatan dalam mengikuti pembelajaran sebagaimana peserta didik umumnya. Hambatan atau gangguan tersebut dapat berupa hambatan yang bersifat temporer yang berarti peserta didik tidak harus menerima layanan pendidikan khusus secara terus-menerus maupun permanen, peserta didik perlu mendapatkan layanan khusus berdasarkan tingkat kebutuhannya. Hal ini dikatakan sebagai hambatan permanen karena fisik dan mental mereka tidak bisa diubah seperti anak pada umumnya (Sugiarmin, Jurnal Peserta Didik Berkebutuhan Khusus dalam

Perspektif Pendidikan Inklusif).

(20)

Dalam suatu negara demokrasi, usaha mempengaruhi pendapat, sikap atau tingkah laku hanya boleh dilakukan berdasarkan bujukan-bujukan atau ajakan (persuasive), tetapi tidak berdasarkan pemaksaan atau penekanan (coersion). Berbeda dengan sistem yang digunakan di negara otoriter, dimana pemaksaan lebih banyak menonjol daripada ajakan. Jika pun ajakan itu dilakukan, maka hal tersebut biasanya berdasarkan landasan kegiatan pemaksaan (Roekomy, 1992:1).

Lebih lanjut Roekomy (1992) meyatakan bahwa usaha mempengaruhi pendapat, sikap dan tingkah laku di negara demokratis merupakan hal yang lebih berat daripada di negara otoriter, oleh karena kegiatannya harus dilakukan secara persuasi. Oleh karena hal tersebut, persuasi memerlukan kiat dalam pelaksanaan yang bersumber pada pengetahuan ilmiah.

Metode ini dianggap tepat dalam menangani anak didik yang mengalami hambatan emosi, pendidik atau guru sebaiknya tidak menggunakan paksaan karena hal itu hanya akan membuat anak didik semakin agresif. Pendidik atau guru juga diharapkan memiliki pengetahuan dasar yang cukup dan metode mengajar yang tepat diterapkan untuk mendidik anak berkebutuhan khusus dengan hambatan emosi sehingga pesan atau pelajaran yang akan disampaikan dapat di terima dengan baik oleh anak didik.

Saat ini pendidikan sekolah luar biasa ditangani unit Direktorat Pendidikan Luar Biasa di bawah naungan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah untuk tingkat nasional. Di tingkat daerah pendidikan luar biasa berada

di bawah naungan Subdin Pendidikan Luar Biasa atau Subdin yang menangani Pendidikan Luar Biasa pada Dinas Pendidikan Propinsi. Lembaga pendidikan luar biasa yang ada saat ini adalah Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu.

(21)

Tunalaras untuk anak dengan gangguan tingkah laku (SLB E), dan Sekolah Luar Biasa bagian Tunaganda untuk anak dengan gangguan lebih dari satu (SLB G)

Namun secara luas, anak berkebutuhan khusus atau anak luar biasa tidak hanya seperti yang telah disebutkan tetapi juga termasuk anak berbakat atau supernormal (SLB F, di mana penelitian tentang anak dengan kemampuan intelektual yang tinggi ini di mulai pada tahun 1980) dan anak berkesulitan belajar (SLB H). Penelitian ini akan membahas mengenai anak berkebutuhan khusus bagian tunalaras.

Secara umum tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial dan mengalami gangguan emosi. Masyarakat justru lebih mengenal mereka sebagai anak nakal, anak yang sulit diatur, anak pelanggar hukum, anak jahat, dan lain sebagainya daripada mengenal mereka sebagai anak yang mengalami hambatan emosi. Oleh sebab itu, tidak jarang anak tunalaras diabaikan bahkan dijauhi oleh orang-orang sekitarnya.

Anak tunalaras memiliki kecerdasan yang tidak berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Prestasi yang rendah di sekolah disebabkan mereka kehilangan minat dan konsentrasi belajar karena masalah gangguan emosi yang mereka alami. Kegagalan dalam belajar di sekolah seringkali menimbulkan anggapan bahwa mereka memiliki inteligensi yang rendah. Walaupun memang di antara anak

tunalaras juga ada yang mengalami keterbelakangan mental. Kelemahan dalam perkembangan kecerdasan ini justru yang menjadi penyebab timbulnya gangguan tingkah laku. Masalah yang dihadapi anak dengan inteligensi yang rendah di sekolah adalah ketidakmampuan untuk menyamai teman-temannya, sedangkan pada dasarnya seorang anak tidak ingin berbeda dengan kelompoknya terutama yang berkaitan dengan prestasi belajar (Somantri, 2007:149).

(22)

inteligensi ini terhadap timbulnya gangguan tingkah laku adalah ketidakmampuan anak untuk memperhitungkan sebab akibat dari suatu perbuatan, mudah dipengaruhi sehingga mudah pula terperosok ke dalam tingkah laku yang negatif.

Walaupun memiliki hambatan, anak berkebutuhan khusus tetap dapat berprestasi baik di bidang akademis, olahraga dan kesenian. 24 hingga 26 Mei 2012, Dinas Pendidikan Pemprov Sumatera Utara mengadakan perlombaan yang ditujukan bagi seluruh sekolah luar biasa (SLB) se-Sumatera Utara. 37 orang dari 13 SLB se-Sumatera Utara mengikuti perlombaan seni (mencakup desain grafis komputer, menyanyi solo, pantomime, melukis, tata rias dan tari kreasi daerah), olahraga (lari 100 meter, lompat jauh, lempar cakram, bulu tangkis, catur khusus anak berkebutuhan khusus tunanetra) dan sains (matematika, fisika dan biologi) (sumutpos.com).

Sistem pengajaran yang tepat, tentunya sangat diperlukan anak yang mengalami gangguan emosi. Sekolah Luar Biasa E Negeri Pembina di Medan, merupakan salah satu sekolah yang menyelenggarakan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus, khususnya untuk anak tunalaras. Sekolah negeri tingkat provinsi ini didirikan pada tahun 1983. Diawali dengan 5 anak didik dan 2 tenaga pendidik, saat ini SLB-E Negeri Pembina tidak hanya menyelenggarakan pendidikan untuk anak tunalaras, tetapi juga untuk penyandang tunarungu (penyandang hambatan pendengaran), tunagrahita (penyandang gangguan perkembangan inteligensi), autis, dan cacat ganda (penyandang hambatan fisik

dan mental) (profil UPT SLB-E Negeri Pembina Tingkat Provinsi Sumatera Utara).

(23)

Sekolah ini juga memiliki prestasi mulai dari akademis, olahraga (salah satu anak didik bahkan sudah ke Athena untuk mengikuti lomba lari), dan seni (salah satu anak didik tunarungu menjadi peserta dibidang seni tari). Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang ”Komunikasi Persuasif terhadap Prestasi Belajar Anak Didik di SLB-E Negeri Pembina Medan”.

1.2 Batasan Masalah

Untuk menghindari ruang lingkup penelitian yang terlalu luas sehingga dapat mengaburkan penelitian yang akan dilaksanakan, maka peneliti merasa perlu membuat pembatasan masalah yang lebih jelas, fokus dan spesifik. Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Persuasif difokuskan pada kesungguhan anak didik untuk belajar.

2. Pelaksanaan Komunikasi Persuasif di lakukan oleh guru kelas secara menyeluruh.

3. Penelitian ini difokuskan pada Komunikasi Persuasif yang dilakukan pengajar di SLB-E Negeri Pembina Medan.

1.3 Rumusan Masalah

Rumusan masalah merupakan serangkaian pertanyaan yang dijadikan dasar pijakan bagi peneliti untuk menentukan berbagai desain dan strategi penelitiannya. Harus dituliskan dalam wujud kalimat tanya dengan bahasa yang singkat dan jelas (Idrus, 2009:48). Perumusan masalah adalah konteks penelitian

(24)

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian merupakan jawaban mengapa penelitian tersebut harus dilakukan (Idrus, 2009:49). Tujuan penelitian ini:

1. Untuk mengetahui bagaimana strategi penggunaan komunikasi persuasif di SLB-E Negeri Pembina Medan.

2. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh komunikasi persuasif yang diberikan terhadap prestasi belajar siswa/siswi SMP di SLB-E Negeri Pembina Medan.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian merupakan kegunaan yang bisa didapatkan setelah penelitian tersebut dilaksanakan (Idrus, 2009:50). Manfaat penelitian bukanlah manfaat yang dirasakan oleh peneliti tetapi merupakan manfaat yang didapatkan setelah penelitian dilakukan. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan dan menjadi referensi di bidang komunikasi, khususnya bagi mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang positif bagi pihak-pihak yang berkepentingan, baik untuk SLB-E Negeri

Pembina Medan maupun pihak atau organisasi lainnya yang memiliki tujuan untuk memajukan dunia pendidikan di Indonesia.

(25)

BAB II

URAIAN TEORITIS

2.1 Kerangka Teori

Menurut Kelinger, teori adalah himpunan konstruk (konsep), definisi dan proposisi yang mengemukan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi antara variabel, untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut (Rakhmat, 2005:6). Untuk itu, setiap penelitian memerlukan kerangka teori untuk memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah tersebut akan disoroti (Nawawi, 2001:39). Adapun kerangka teori dalam penelitian ini adalah:

2.1.1 Model AIDDA

Model AIDDA merupakan suatu pendekatan dalam kegiatan persuasi. Hal pertama yang harus dilakukan adalah menumbuhkan perhatian komunikan. Wilbur Schramm manyatakan bahwa terdapat tiga elemen yang juga menentukan efektivitas komunikasi yaitu situasi di mana komunikan berada, keadaan kepribadian komunikan serta ikatan norma-norma kelompok.

Model ini juga biasa disebut sebagai A-A Procedure atau from Attention to Action. A-A procedure adalah proses pentahapan persuasi

yang dimulai dari usaha menumbuhkan perhatian (attention) hingga pada

akhirnya berusaha menggerakkan seseorang atau orang banyak agar berbuat (action) seperti yang komunikator harapkan (Roekomy, 1992:22).

Komunikasi persuasif didahului dengan upaya membangkitkan perhatian (attention) komunikan. Hal tersebut dapat berupa kata-kata yang merangsang pendengaran komunikan, penampilan komunikator, atau raut wajah komunikator saat menyampaikan pesan. Disusul dengan upaya menumbuhkan minat (interest) pendengar.

(26)

Kemudian komunikator memunculkan hasrat (desire) komunikan untuk melakukan ajakan, bujukan/rayuan komunikator. Saat itu imbauan emosional perlu ditampilkan oleh komunikator, sehingga pada tahap berikutnya komunikan dapat mengambil keputusan (decision) untuk melakukan suatu kegiatan (action) sebagaimana diharapkan daripadanya (Effendi, 2004:25-26).

AIDDA juga dikemukakan oleh Dorwin Cartwright yang mengemukakan empat prinsip dalam penyelenggaraan suatu kampaye persuasi terhadap massa (Roekomy, 1992:24). Cartwright menyatakan bahwa prinsip pertama, isi komunikasi hendaknya dilancarkan dengan membangkitnya emosi (emotional appeal). Kedua, isi komunikasi tersebut diusahakan agar dapat di terima sebagai salah satu bagian dari pendapat dan kepercayaannya. Ketiga, kegiatan (action) yang dianjurkan tersebut hendaklah di anggap komunikan sebagai salah satu jalan ke arah tercapainya suatu tujuan. Prinsip keempat, kegiatan persuasi tersebut benar-benar cukup terkontrol oleh motivasi, sikap dan opini dalam waktu yang tepat.

Ian Harvey juga menyatakan dalam suatu kegiatan persuasi seorang persuader harus membiasakan diri berbicara dalam kata-kata yang dimengerti oleh orang banyak (Roekomy, 1992:25). Harvey menyatakan bahwa dalam mengadakan persuasi seseorang harus mengemukakan empat

keharusan, yaitu: pertama, masalah harus dijelaskan sejelas mungkin; kedua, persuasi yang digunakan hendaknya intelektual; ketiga, bahasa yang dipergunakan hendaknya sesederhana mungkin sehingga dapat dipahami dengan mudah; keempat, pernyataan hendaknya di susun secara jelas dan di ulang berkali-kali.

(27)

Ketiga, persuader hendaknya dapat menumbuhkan perhatian karena komunikan tidak akan mendengarkan atau membaca sesuatu yang menjemukan. Keempat, persuader hendaknya menjelaskan dan member keterangan sebaik mungkin karena komunikan yang kekurangan informasi (misinformation) atau bersikap masa bodoh dapat berubah menjadi orang yang berprasangka.

Kelima, persuader hendaknya dapat menjadikan kenyataan dan alasan-alasan yang masuk akal dalam memperkuat sesuatu kesimpulan. Keenam, persuader hendaknya mampu menjawab tantangan serta penolakan karena komunikan yang perhatian serta pikirannya berlawanan dengan persuader akan mengabaikan permasalahan yang diajukan. Ketujuh, persuader hendaknya memikat hati pihak yang ragu-ragu, masa bodoh atau yang menentang sekalipun. Kedelapan, persuader hendaknya dapat menggerakkan komunikan untuk bersikap dan berbuat seperti yang diharapkan, manakala komunikan sudah terpengaruh dan meyakini hal-hal yang diajukan (Roekomy, 1992:26-27).

2.1.2 Komunikasi Persuasif

Olson dan Zanna (1993) menjelaskan persuasi adalah perubahan sikap akibat paparan informasi dari orang lain (Severin dan Tankard, 2005:177). Persuasif menurut Applbaum dan Anatol (Malik dan Iriantara,

1994:v) adalah proses komunikasi yang kompleks ketika individu atau kelompok mengungkapkan pesan (sengaja atau tidak sengaja) melalui cara-cara verbal dan nonverbal untuk memperoleh respons tertentu dari individu atau kelompok lain.

(28)

Roekomy (1992) berpendapat bahwa ada empat faktor yang harus diperhatikan dalam kegiatan pernyataan antar manusia yang bertujuan mempengaruhi pendapat, sikap dan tingkah laku yaitu kebutuhan, keinginan (wants and desire), dorongan dasar (drive) dan motivasi. Roekomy mengumpamakan persuasi bagaikan sebuah kendaraan. Faktor-faktor kebutuhan, keinginan dan dorongan dasar merupakan motor atau katalisator yang menggerakkan kendaraan menaiki atau menuruni jalan melewati segala liku-likunya dengan peningkatan (eskalasi).

Hal tersebut juga dapat menjadi penghambat kecepatan sesuai dengan intensitas faktor-faktor tersebut di atas, sedangkan motivasi adalah kemudi yang dikendalikan oleh seseorang yang ditujukan ke arah tercapainya sesuatu. Persuasi memerlukan serangkaian proses yang harus dicetuskan dari dalam orang yang hendak dipengaruhi, oleh karena tingkah laku ditentukan oleh pendapat, kepercayaan dan sikap yang sudah dimiliki oleh orang yang bersangkutan.

Mempengaruhi tingkah laku seseorang atau orang banyak “dari luar” memerlukan cara-cara yang khusus dan kemampuan untuk menembus fakta-fakta pembatas intern (yang juga harus diperhatikan keberadaannya misalnya hal-hal yang bersifat rohaniah atau batiniah yang menentukan) yang bersembunyi “di dalam” manusia itu (Roekomy, 1992:3).

(29)

Malik dan Iriantara (1994:33-35) menyimpulkan komunikasi persuasi kedalam lima bagian, yaitu: pertama, persuasi adalah suatu proses komunikasi. Manusia tidak dapat tidak berkomunikasi. Dalam proses tersebut pesan yang diterima bukan berarti pesan yang dikirimkan, setiap pesan memiliki suatu aspek substantif dan interpersonal, suatu pesan yang sama banyaknya dengan suatu respons adalah suatu stimulus, dan persuasi tersebut terjadi melalui tahap-tahap itu yang tidak lebih kuat dibandingkan hubungannya yang paling lemah.

Kedua, persuasi merupakan proses belajar. Sikap, kepercayaan dan nilai dipelajari dan untuk itu dapat tak dipelajari (belajar mungkin berlangsung melalui pengondisian atau melalui aktivitas pemrosesan-informasi yang lebih kompleks, belajar dari respons sikap yang diharapkan dipermudah ketika respons itu diberi ganjaran atau ketika yang dibujuk percaya bahwa ia akan diberi ganjaran), dan pada level tertentu, pesan-pesan dipelajari ketika pesan-pesan itu di sandi (decoded); misalnya, ketika pesan-pesan itu diikuti atau dipahami. Penyandian tidak perlu menyebabkan perubahan sikap dan perubahan sikap tidak perlu menyebabkan perubahan perilaku.

Ketiga, persuasi adalah suatu proses perseptual. Manusia adalah binatang pencari-makna yang memantau stimuli yang masuk. Apa yang manusia terima adalah suatu fungsi dari sejumlah faktor eksternal dan kebutuhan, keinginan, nilai, harapan mereka dan lain-lain. Di antara

persepsi yang paling penting dimiliki orang adalah sifat-sifat yang menyebabkan mereka cenderung mengabaikan sifat layak dipercaya dari para pembujuk ketika mereka menyifati pesan-pesan mereka terhadap kasus-kasus eksternal. Mereka juga cenderung menduga sikap, kepercayaan dan nilai melalui tindakan mereka ketika memiliki alas an untuk percaya bahwa tindakan tersebut bukan disebabkan kasus-kasus eksternal.

(30)

“belum mengambil keputusan” atau on the fence termasuk orang yang apatis, tak mengetahui atau ambivalen, mereka yang setuju atau melakukan tindakan yang menyenangkan dan pada waktu yang bersamaan, para pembujuk mungkin berusaha mengurangi permusuhan, mengubahnya berdasarkan ketidaksetujuan sebagaimana mereka yang “belum memutuskan” atau mengintensifkan komitmen-komitmen yang menyenangkan).

Kepercayaan dan nilai merupakan komponen afektif dan kognitif dari sikap, berturut-turut (Sebagian besar sikap merupakan fungsi gabungan dari kemungkinan-kemungkinan yang ditunjuk dari kepercayaan yang relevan dan dari perasaan yang dihasilkan oleh nilai-nilai yang relevan dan proposisi-proposisi kepercayaan dan nilai mendukung proposisi-proposisi kebijakan, tetapi para pembujuk memfokuskan pada pembelaan kepercayaan atau nilai tunggal di dalam upaya persuasi seseorang).

Kelima, persuasi adalah suatu proses ketidakseimbangan dan penyeimbangan kembali. Manusia berupaya untuk memelihara keseimbangan psikologis atau konsistensi (unsur-unsur psikologis, yaitu: kognisi, evaluasi sumber dan proposisi yang dianjurkan serta nilai-nilai, satu sama lain mungkin seimbang, tidak seimbang atau tidak relevan satu sama lain; inkonsistensi di antara unsur-unsur psikologis mungkin logis

atau psikologis; serta ketidakseimbangan seperti ketidakseimbangan sikap-perilaku, ketidaksesuaian proposisi-sumber, ketidaksesuaian komponen sikap).

(31)

Ketidakseimbangan mungkin dikurangi atau diseimbangkan kembali dengan berbagai cara, satu diantaranya adalah sikap atau perilaku perubahan berdasarkan tujuan yang diharapkan oleh komunikator (penyeimbangan kembali mungkin terjadi melalui perubahan-perubahan unsur psikologis, termasuk perubahan-perubahan yang diharapkan sebagaimana degorasi-degorasi sumber dan efek-efek “boomerang”; penyeimbangan kembali mungkin terjadi melalui berbagai bentuk pertarungan psikologis, misalnya pencarian informasi baru atau dukungan sosial; penyeimbangan kembali mungkin terjadi melalui berbagai bentuk pelarian psikologis, misalnya rasionalisasi). Pembujuk tidak hanya menciptakan ketidakseimbangan, ia juga mesti menutup diri dari bentuk-bentuk ketidakseimbangan kembali yang tidak diharapkan.

Ada tiga faktor yang mempengaruhi efektivitas komunikasi persuasif yang tujuannya merubah sikap yaitu: karakteristik sumber komunikasi (komunikator), karakteristik pesan, karakteristik audiens (komunikan).

1. Karakteristik Sumber (Komunikator)

Ada tiga karakteristik sumber komunikasi (komunikator) yang mempengaruhi yaitu kredibilitas, daya tarik (likability) dan kekuasaan. Kredibilitas atau dipercaya (believability) dari komunikator tergantung terutama pada dua faktor yaitu keahlian (expertise) dan keterandalan (trustworthiness). Keahlian adalah luasnya pengetahuan yang

kelihatan/tampak dimiliki komunikator, sedangkan keterandalan merujuk pada niat komunikator yang nampaknya tulus dan tidak memiliki keinginan untuk memperoleh sesuatu untuk kepentingan pribadinya yang berasal dari perubahan sikap audiens yang mungkin terjadi.

(32)

(audiens), maka orang tersebut akan menyetujui dan dapat dipengaruhi adalah mungkin terjadi bahwa perubahan sikap yang karena terpaksa (compliance), lama kelamaan dapat menjadi terinternalisasi dan diterima secara pribadi.

2. Karakteristik Pesan

Pesan yang disampaikan jika itu sesuai dengan pandangan atau nilai-nilai dari audiens akan cenderung lebih diterima. Namun adanya kesenjangan antara isi pesan yang disamnpaikan dengan pendapat audiens dapat pula menimbulkan perubahan sikap. Hal ini sesuai dengan teori disonansi kognitif, bahwa semakin besar kesenjangan, semakin besar tekanan potensial untuk berubah. Meskipun demikian, tekanan yang semakin kuat dengan semakin besarnya kesenjangan, tidak selalu menghasilkan lebih banyak perubahan. Ada dua faktor yang menyulitkan: (1) sejalan dengan semakin besarnya kesenjangan, komunikan (audiens) menemukan kesulitan yang semakin besar untuk mengubah sikap mereka guna menghilangkan kesenjangan; (2) kesenjangan yang terlalu besar juga cenderung menyebabkan individu meragukan kredibilitas sumber. Sehingga pada tingkat kesenjangan yang tinggi, tekanan cenderung menurun, yang biasanya disebabkan oleh adanya penghinaan terhadap sumber dan bukannya karena perubahan sikap. Dengan kata lain, penghinaan terhadap sumber

(33)

enam jam setiap malam. Jadi tingkat kredibilitas tidak mengubah dasar hubungan U terbalik antara kesenjangan dan perubahan sikap.

3. Karakteristik Audiens (Komunikan)

Harga diri dan intelegensi berhubungan dengan perubahan sikap. Orang dengan harga diri tinggi pada umumnya sulit dipersuasi, karena mereka memiliki keyakinan dengan pendapat mereka. Evaluasi diri mereka yang tinggi membuat komunikator yang kredibel dipersepsi menjadi kurang kredibel dalam perbandingannya; orang yang memiliki harga diri tinggi mungkin berpikir mereka mengetahui sebanyak yang disampaikan oleh komunikator. Sedangkan subyek dengan harga diri rendah cenderung lebih mudah dipengaruhi, karena biasanya mereka memberikan penilaian yang rendah pada opininya sehingga tidak menghargai opininya sendiri, agak segan mempertahankannya dan kemungkinan besar akan mengubahnya bila dipersuasi.

Brigham (1991) menyatakan orang yang intelegensinya tinggi lebih baik dalam memahami pesan yang kompleks tetapi mungkin kurang bersedia untuk menerima pengaruh pesan. Beberapa penelitian juga menunjukkan adanya pengaruh usia terhadap perubahan sikap setelah mendengar suatu pesan dari komunikator. Pada umumnya perubahan tertinggi pada subyek remaja akhir atau dewasa dini, dan semakin tua akan semakin sulit untuk berubah (Dayakisni & Hudaniah,

2003:115-119).

Hovland, Janis dan Kelley (Baron & Byrne, 2004:138-142) juga mengemukakan hal yang serupa. Efektivitas komunikasi persuasif dilihat berdasarkan:

1. Karakteristik komunikator, berkaitan dengan komunikator yang kredibel, daya tarik komunikator serta kemampuan berbicara komunikator.

(34)

3. Karakteristik komunikan, yaitu komunikan yang lebih mudah dipersuasi jika mendapat dukungan dari orang sekitar mengenai pesan yang disampaikan.

Rakhmat menjelaskan ketika komunikator berkomunikasi, yang berpengaruh bukan saja apa yang ia katakan tetapi juga keadaan dia sendiri. Berdasarkan tulisan Aristoteles, Rahkmat menyatakan bahwa terkadang siapa lebih penting dari apa. Komunikator tidak dapat menyuruh pendengar hanya memperhatikan apa yang ia katakan. Pendengar juga akan memperhatikan siapa yang mengatakan. Aristoteles menyebut karakter komunikator sebagai ethos. Dimensi-dimensi ethos tersebut adalah:

1. Kredibilitas

Dua komponen kredibilitas yang paling penting adalah keahlian dan kepercayaan. Keahlian adalah kesan yang dibentuk komunikan tentang kemampuan komunikator menyangkut topik yang dibicarakan. Kepercayaan adalah kesan tentang komunikator yang berkaitan dengan wataknya. Koehler, Annatol dan Applbaum menambahkan empat komponen, yaitu: dinamisme (cara komunikator berkomunikasi), sosiabilitas (kesan komunikan tentang komunikator sebagai orang yang periang dan senang bergaul), koorientasi (kesan komunikan tentang komunikator

sebagai orang yang mewakili kelompok yang memiliki nilai-nilai yang dimiliki komunikan), karisma (sifat yang dimiliki komunikator yang menarik dan dapat mengendalikan komunikan). 2. Atraksi

(35)

3. Kekuasaan

Kekuasaan menyebabkan seorang komunikator dapat “memaksakan” kehendaknya kepada orang lain karena ia memiliki sumber daya yang sangat penting. Raven (1974) mengklasifikasikan kekuasaan ke dalam lima jenis yaitu kekuasaan koersif, kekuasaan keahlian, kekuasaan informasional, kekuasaan rujukan dan kekuasaan legal (Rahkmat, 2005:254-267).

Rakhmat menyatakan bahwa penelitian persuasi mengalami pergeseran dalam penekanannya. Awalnya penelitian persuasi berusaha untuk menemukan imabauan yang menimbulkan perubahan skap atau perilaku, kemudian penelitian persuasi berusaha mencari faktor-faktor yang menerangkan penolakan atau penerimaan usaha untuk mengubah sikap. Rakhmat juga menyatakan bahwa penelitian tentang ethos atau kredibilitas sumber memperlihatkan penekanan pada kapasitas pengolahan informasi dari individu. Karakteristik atau dimensi kredibilitas sumber tersebut yang ditangkap oleh penafsir yang mengolah informasi (Rakhmat, 1986:220-222).

Dalam melakukan komunikasi persuasi terdapat hambatan-hambatan yang harus diperhatikan yaitu noise-factor (hambatan-hambatan berupa suara-suara yang mengganggu komunikasi sehingga tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya), semantik (hambatan berupa

pemakaian kata atau istilah yang menimbulkan salah paham atau salah paham), faktor kepentingan atau interest yang membuat seseorang atau

banyak orang selektif memberikan pengahayatan atau tanggapannya (bukan hanya mempengaruhi perhatian tetapi juga menentukan daya tanggap, perasaan, pikiran dan tingkah laku), motivasi (pendorong yang membuat seseorang berbuat sesuatu yang sesuai dengan keinginan, kebutuhan dan kekurangannya) dan prasangka atau prejudice (hambatan yang membuat komunikan sudah merasa was-was

(36)

2.1.3 Komunikasi Interpersonal

Komunikasi interpersonal menurut Joseph A. Devito dalam bukunya “The Interpersonal Communication Book” yaitu proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau di antara sekelompok kecil orang-orang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika (Fajar, 2009:78).

Komunikasi antarpribadi menurut Littlejohn (1999) merupakan komunikasi antara individu-individu. Bentuk khusus dari komunikasi antarpribadi ini adalah komunikasi diadik yang melibatkan hanya dua orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal maupun nonverbal, seperti suami-isteri, dua sejawat, dua sahabat dekat, seorang guru dengan seorang muridnya, dan sebagainya (Surip, 2011:27).

Komunikasi interpersonal adalah interaksi tatap muka antar dua atau beberapa orang, di mana pengirim dapat menyampaikan pesan secara langsung, dan penerima pesan dapat menerima dan menanggapi secara langsung pula (Hardjana, 2003:85).

Fungsi komunikasi antarpribadi adalah berusaha untuk meningkatkan hubungan kemanusiaan di antara pihak-pihak yang berkomunikasi, menghindari dan mengatasi konflik-konflik pribadi,

mengurangi ketidakpastian sesuatu, serta berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan orang lain (Cangara, 2007:60).

(37)

interpersonal adalah kegiatan yang aktif; komunikasi interpersonal saling mengubah (Hardjana, 2003:86-90).

Liliweri (1997) menyebutkan beberapa ciri komunikasi antarpribadi, yaitu: arus pesan dua arah; konteks komunikasi adalah tatap muka; tingkat umpan balik yang tinggi; kemmapuan untuk mengatasi tingkat selektivitas yang tinggi; kecepatan untuk menjangkau sasaran yang besar sangat lamban; efek yang terjadi antara lain perubahan sikap (Surip, 2011:24).

Adapun karakteristik-karakteristik efektivitas komunikasi interpersonal atau antar pribadi menurut Joseph A. Devito dilihat dari dua perspektif. Perspektif pertama adalah humanistis yang meliputi sifat-sifat: keterbukaan, yaitu kita harus terbuka pada orang-orang yang berinteraksi dengan kita serta dari keterbukaan menunjuk pada kemauan kita untuk memberikan tanggapan terhadap orang lain dengan jujur terus terang tentang segala sesuatu yang dikatakannya.

Sifat kedua adalah perilaku suportif. Jack R. Gibb menyebutkan tiga perilaku yang menimbulkan perilaku suportif, yaitu: deskriptif (suasana yang deskriptif akan menimbulkan sikap suportif dibanding dengan suasana yang evaluatif), spontanitas (orang yang spontan dalam berkomunikasi adalah orang yang terbuka dan terus terang tentang apa yang dipikirkannya), dan provisionalisme (seseorang yang memiliki sifat

berpikir terbuka, ada kemauan untuk mendengar pandangan yang berbeda dan bersedia menerima pendapat orang lain bila memang pendapatnya keliru).

(38)

bahwa dalam komunikasi antar pribadi harus ada kesamaan dalam hal mengirim dan menerima pesan.

Aspek yang kedua adalah pragmatis yang meliputi sifat-sifat: bersikap yakin (komunikasi antar pribadi akan lebih efektif bila seseorang mempunyai keyakinan diri karena manusia yang mempunyai sifat ini akan bersikap luwes dan tenang baik secara verbal maupun nonverbal); kebersamaan (seseorang bisa meningkatkan efektivitas komunikasi antar pribadi dengan orang lain bila ia bisa membawa rasa kebersamaan karena manusia yang memiliki sifat ini akan memperhatikan dan merasakan kepentingan orang lain). Sikap kebersamaan ini dapat dikomunikasikan baik secara verbal maupun nonverbal.

Sifat selanjutnya adalah manajemen interaksi (seseorang yang menginginkan komunikasi yang efektif akan mengontrol dan menjaga interaksi agar dapat memuaskan kedua belah pihak). Hal ini diperlihatkan dengan mengatur isi, kelancaran dan arah pembicaraan serta konsistensi. Sifat selanjutnya adalah perilaku ekspresif. Perilaku ekspresif memperlihatkan keterlibatan seseorang secara sungguh-sungguh dalam berinteraksi dengan orang lain.

Sifat yang terakhir adalah orientasi pada orang lain. Kemampuan seseorang untuk beradaptasi dengan orang lain selama melakukan komunikasi antar pribadi. Seringkali dalam berkomunikasi, kita

berorientasi pada diri kita sendiri. Seseorang harus memiliki sifat yang berorientasi pada orang lain untuk dapat mencapai komunikasi yang efektif (Fajar, 2009:84-86).

(39)

2.1.4 Anak Berkelainan Perilaku (Tunalaras)

Pemberian sebutan tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa penderita mengalami problem intrapersonal dan atau interpersonal secara ekstrem (Hallahan & Kauffman, 1991) sehingga mereka mengalami kesulitan dalam menyelaraskan perilakunya dengan norma umum yang berlaku di masyrakat. Dokumen SLB bagian E tahun 1977, menjelaskan tunalaras adalah pertama, anak yang mengalami gangguan atau hambatan emosi dan tingkah laku sehingga tidak atau kurang menyesuaikan diri dengan baik, baik terhadap lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat; kedua, anak yang mempunyai kebiasaan melanggar norma umum yang berlaku di masyarakat; ketiga, anak yang melakukan kejahatan (Efendi, 2006:142-143).

Sedangkan Kauffman (1977) mengemukakan batasan mengenai anak-anak yang mengalami gangguan perilaku “sebagai anak yang secara nyata dan menahun merespon lingkungan tanpa ada kepuasan pribadi namun masih dapat diajarkan perilaku-perilaku yang dapat diterima oleh masyarakat dan dapat memuaskan pribadinya. Anak tunalaras juga disebut anak tunasosial karena tingkah laku anak ini menunjukkan penentangan terhadap norma-norma sosial masyarakat yang berwujud seperti mencuri, mengganggu, dan menyakiti orang lain (Somantri, 2006:139-140).

Dengan kata lain tingkah lakunya menyusahkan orang lain.

(40)

Secara garis besar, anak tunalaras dapat diklasifikasikan menjadi anak yang mengalami kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, dan yang mengalami gangguan emosi. William M. Cruickshank (1975) mengemukakan anak yang mengalami hambatan sosial diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori, yaitu:

1. The semi-socialize child

Anak yang termasuk kelompok ini dapat mengadakan hubungan sosial, tetapi terbatas pada lingkungan tertentu, misalnya: keluarga dan kelompoknya. Keadaan ini terjadi pada anak yang dating dari lingkungan yang menganut norma-norma tersendiri, yang mana norma tersebut bertentangan dengan norma yang berlaku di masyarakat. Di lingkungan sekolah, karena perilaku mereka sudah diarahkan oleh kelompoknya, maka seringkali menunjukkan perilaku memberontak karena tidak mau terikat oleh peraturan di luar kelompoknya. Dengan demikian anak selalu merasakan ada suatu masalah dengan lingkungan di luar kelompoknya.

2. Children arrested at a primitive level or socialization

Anak pada kelompok ini dalam perkembangan sosialnya berhenti pada level atau tingkatan yang rendah. Mereka adalah anak yang tidak pernah mendapat bimbingan ke arah sikap

sosial dan terlantar dari pendidikan, sehingga ia melakukan apa saja yang dikehendakinya. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya perhatian dari orang tua, yang berakibat pada perilaku anak kelompok ini cenderung dikuasai oleh dorongan nafsu saja. Meskipun demikian mereka masih dapat memberikan respon pada perlakuan yang ramah.

3. Children with minimum socialization capacity

(41)

hubungan kasih sayang sehingga anak pada golongan ini banyak bersikap apatis dan egois.

Demikian pula anak yang mengalami ganggguan emosi. Anak-anak ini mengalami kesulitan adalam menyesuaikan tingkah laku dengan lingkungan sosialnya karena ada tekanan-tekanan dari dalam dirinya. Adapun anak yang mengalami gangguan emosi diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Neurotic Behavior (Perilaku Neurotik)

Anak pada kelompok ini masih bisa bergaul dengan orang lain, akan tetapi mereka mempunyai permasalahan pribadi yang tidak mampu diselesaikannya. Mereka sering dan mudah sekali dihinggapi perasaan sakit hati, perasaan marah, cemas dan agresif, serta rasa bersalah disamping juga kadang-kadang mereka melakukan tindakan lain seperti yang dilakukan oleh anak unsocialized (mencuri, bermusuhan). Anak pada kelompok ini dapat dibantu dengan terapi seorang konselor. Keadaan neurotik ini biasanya disebabkan oleh keadaan atau sikap keluarga yang menolak atau sebaliknya, terlalu memanjakan anak serta pengaruh pendidikan yaitu karena kesalahan pengajaran atau juga adanya kesulitan belajar yang berat.

2. Children with Psychotic Processes

(42)

harus disesuaikan dengan kemajuan terapi dan dilakukan pada setiap kesempatan yang memungkinkan.

Pada kelompok neurotik, anak mengalami gangguan yang sifatnya fungsional. Sedangkan pada kelompok psikotis disamping mengalami gangguan fungsional, anak juga mengalami gangguan yang sifatnya organis. Oleh karena itu, anak-anak yang termasuk kelompok psikotis kadang-kadang memerlukan perawatan medis (Somantri, 2006:141-143).

Patton (1991) mengklasifikasikan penyebab terjadinya ketunalarasan menjadi dua, yaitu faktor penyebab bersifat internal dan faktor penyebab yang bersifat eksternal. Faktor penyebab yang bersifat internal adalah faktor-faktor yang langsung berkaitan dengan kondisi individu itu sendiri, seperti keturunan, kondisi fisik, dan psikisnya. Sedangkan faktor penyebab eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar individu terutama lingkungan, baik lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah (Efendi, 2006:148-151).

Lebih lanjut Patton menjelaskan bahwa ciri-ciri yang menonjol pada kepribadian anak tunalaras, antara lain kurang percaya diri, menunjukkan sikap curiga terhadap orang lain, rendah diri, dan sebaliknya menunjukkan sikap permusuhan terhadap lingkungan atau otorita, mengisolasi diri, kecemasan yang berlebihan, tidak memiliki ketenangan jiwa, sering melakukan perkelahian atau bentrokan.

2.1.5 Remaja

Masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa anak menuju masa dewasa. Pada masa ini individu mengalami berbagai perubahan, baik fisik maupun psikis. Perubahan yang tampak jelas adalah perubahan fisik, dimana tubuh berkembang pesat sehingga mencapai bentuk tubuh orang dewasa yang disertai pula dengan berkembangnya kapasitas reproduktif (Agustiani, 2006:28).

(43)

remaja awal (11-15 tahun), remaja madya (16-18 tahun) dan remaja akhir (19-22 tahun). Masa praremaja biasanya berlangsung singkat dan ditandai dengan sifat-sifat negatif. Masa remaja madya ditandai dengan mencari sesuatu yang dipandang bernilai, pantas dijunjung tinggi dan dipuja-puja. Masa remaja akhir ditandai dengan kemampuan menentukan pendirian hidup (2011:219-242).

Lebih lanjut Jahja menyatakan ciri-ciri remaja meliputi peningkatan emosional yang terjadi secara cepat, perubahan yang sangat cepat secara fisik yang disertai kematangan seksual, perubahan dalam hal yang menarik bagi dirinya dan hubungan dengan orang lain, perubahan nilai (dimana pada masa kanak-kanak dianggap tidak penting menjadi penting karena telah mendekati dewasa) dan adanya sikap ambivalen (satu sisi remaja menginginkan kebebasan tetapi takut mengambil tanggung jawab dan meragukan kemampuan mereka sendiri).

Menurut Spear (2000), ada tiga masalah yang cenderung muncul pada masa remaja dibandingkan pada masa kanak-kanak atau dewasa, yaitu konflik dengan orang tua, suasana hati yang berubah-ubah (mood swings) dan tindakan berisiko. Teman sebaya memegang peranan paling

penting karena mereka mewakili nilai dan gaya generasi yang termasuk dalam kelompok usia remaja tersebut, yakni generasi di mana remaja akan berbagi pengalaman sebagai orang dewasa nantinya (Wade & Tavris,

2007:268).

Selanjutnya Wade dan Tavris (2007:281) menyimpulkan masa remaja sebagai berikut: masa remaja diawali dengan perubahan fisik saat pubertas. Anak laki-laki dan anak perempuan yang memasuki pubertas lebih awal cenderung memiliki kesulitan untuk menyesuaikan diri di tahapan berikutnya dibandingkan dengan mereka yang memasuki pubertas terlambat dibandingkan anak-anak pada umumnya.

Otak remaja mengalami pemangkasan sinapsis besar-besaran terutama di bagian prefrontal cortex dan sistem limbri, dan juga myelinization, yang meningkatkan efisiensi transmisi saraf dan

(44)

ini mungkin belum selesai sampai usia seseorang menginjak usia 20 tahun awal, yang mungkin dapat membantu menjelaskan mengapa emosi kuat dalam masa remaja seringkali membuat remaja tidak dapat mengambil keputusan secara rasional dan mengapa remaja berperilaku lebih impulsif dibandingkan dengan orang dewasa. Bukti ini mungkin memiliki implikasi penting bagi penanganan remaja oleh pihak berwajib saat mereka melakukan tindakan kejahatan.

Kebanyakan remaja tidak mengalami gejolak emosional, kemarahan, atau pemberontakan yang ekstrem, tidak membenci orang tua mereka dan tidak menderita karena rendahnya harga diri. Namun, konflik dengan orang tua, mood swing dan depresi serta perilaku sembrono memang meningkat pada masa remaja. Teman sebaya berperan sangat penting. Anak laki-laki cenderung untuk mengekspresikan masalah emosional mereka dalam bentuk agresivitas dan perilaku antisosial lainnya; anak perempuan cenderung untuk menginternalisasi masalah mereka dan menjadi depresi atau mengembangkan gangguan makan.

2.1.6 Prestasi Belajar

Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalamannya sendiri dalam interaksinya dengan

lingkungannya (Slameto, 2013:2).

(45)

Pada kenyataannya proses belajar dan hasil belajar atau prestasi belajar tidak dapat dipisahkan. Winkel menyatakan prestasi (performance)

menampakkan hasil belajar. Hasil belajar seseorang tidak langsung terlihat, tanpa seseorang tersebut melakukan sesuatu yang menampakkan kemampuan yang telah diperoleh melalui belajar. Kemampuan yang dimaksudkan oleh Winkel adalah kemampuan kognitif yang meliputi pengetahuan dan pemahaman; kemampuan sensorik-motorik yang meliputi ketampilan melakukan rangkaian gerak-gerik badan dalam urutan tertentu; kemampuan dinamik-afektif yang meliputi sikap dan nilai, yang meresapi perilaku dan tindakan.

Belajar adalah suatu aktivitas mental/psikis, berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, menghasilkan perubahan dalam pengetahuan-pemahaman, keterampilan dan nilai-sikap. Perubahan ini bersifat relatif konstan dan berbekas. Perubahan itu dapat berupa suatu hasil yang baru atau penyempurnaan terhadap hasil yang telah diperoleh. Hasil belajar dapat berupa hasil yang utama; dapat juga berupa hasil sebagai efek sampingan. Proses belajar dapat berlangsung dengan penuh kesadaran, dapat juga tidak (Winkel, 1996:51-55).

Pengertian belajar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002:895) adalah penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran yang lazimnya ditunjukkan dengan

nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh guru. Berdasarkan hal itu, prestasi belajar siswa dapat dirumuskan sebagai berikut:

a. Prestasi belajar siswa adalah hasil belajar yang dicapai siswa ketika mengikuti dan mengerjakan tugas dan kegiatan pembelajaran di sekolah.

b. Prestasi belajar siswa tersebut terutama dinilai aspek kognitifnya karena bersangkutan dengan kemampuan siswa dalam pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesa dan evaluasi.

(46)

siswa dan ulangan-ulangan atau ujian yang ditempuhnya (Tu’u, 2004:75).

Terdapat dua faktor yang mempengaruhi proses dan hasil belajar: 1. Faktor luar, terdiri dari lingkungan (alam dan sosial) dan instrumental

(kurikulum/bahan pembelajaran, guru/pengajar, sarana dan fasilitas, administrasi/manajemen).

2. Faktor dalam, terdiri dari fisiologi (kondisi fisik dan kondisi panca indera) dan psikologi (bakat, minat, kecerdasan, motivasi dan kemampuan kognitif) (Purwanto, 2013:107).

Pada awalnya, Gagne mengklasifikasikan jenis-jenis belajar ke dalam sistematika yang dikenal dengan “Delapan Tipe Belajar”. Sistematika ini memusatkan perhatian pada hasil belajar yang diperoleh, bukan pada proses belajar yang yang dilalui untuk sampai pada hasil belajar tersebut. Sistematika ini memuat tahapan belajar mulai dari belajar sinyal, belajar perangsang-reaksi dengan mendapatkan penguatan, belajar membentuk rangkaian gerak-gerik, belajar asosiasi, belajar diskriminasi yang jamak, belajar konsep, belajar kaidah dan belajar memecahkan masalah (Winkel, 1996:90-97).

Gagne kemudian mengganti sistematika ini dengan sistematika lain

yang hanya mengenal lima jenis belajar. Hasil belajar yang diperoleh masih menjadi pusat perhatian, tetapi hasil itu di pandang sebagai

(47)

Dalam sistematika “Lima Jenis Belajar”, Gagne tidak menyusunnya secara hierarkis, di mana jenis belajar yang satu menjadi landasan bagi jenis belajar yang lain. Kelima kategori hasil belajar yang dikemukakan oleh Gagne adalah (Winkel, 1996:97-105):

1. Informasi verbal (verbal information), kemampuan seseorang untuk menuangkan pengetahuannya ke dalam bentuk bahasa yang memadai, sehingga dapat dikomunikasikan dengan orang lain.

2. Kemahiran intelektual (intellectual skill), kemampuan berhubungan dengan lingkungan dan diri sendiri dalam bentuk suatu representasi, khususnya konsep dan lambang/simbol. Kemahiran intelektual ini terbagi lagi ke dalam empat subkemampuan yaitu:

• Diskriminasi jamak (multiple discrimination), kemampuan

membedakan suatu obyek dengan obyek lainnya dengan cara mengamati. Selama mengamati, dibentuk berbagai persepsi atau hasil mental dari pengamatan.

• Pengertian (concept), kemampuan memberikan satuan arti

mewakili sejumlah obyek yang mempunyai ciri-ciri sama. Orang yang memiliki konsep akan mampu menempatkan obyek ke dalam golongan tertentu (kalsifikasi).

• Kaidah (rule), kemampuan menggabungkan dua konsep atau lebih yang dapat menghasilkan suatu ketentuan yang merepresentasikan suatu keteraturan atau penguasaan

beberapa konsep yang relevan.

• Prinsip (higher-order rule), kemampuan menggabungkan

beberapa kaidah yang dapat dijadikan prinsip pemecahan masalah.

(48)

suatu masalah. Orang yang memiliki kemampuan ini akan dapat belajar secara efisien dan efektif.

4. Keterampilan motorik (motor skill), kemampuan untuk melakukan suatu gerak-gerik jasmani secara terpadu. Ciri khas dari keterampilan motorik adalah otomatisme yaitu rangkaian gerak-gerik berlangsung teratur dan berjalan dengan lancar dan supel. 5. Sikap (attitude), kemampuan mengambil tindakan terutama saat

kemungkinan untuk bertindak sedang terbuka.

2.2 Kerangka Konsep

Konsep atau variabel merupakan abstraksi dari gejala atau fenomena yang akan diteliti (Adi, 2004:27). Kerangka konsep merupakan abstraksi tentang fenomena sosial yang dirumuskan melalui generalisasi dari sejumlah karakteristik peristiwa atau keadaan fenomena sosial tertentu.

Konsep di bentuk melalui proses abstraksi, yaitu proses menarik intisari dari ide-ide dan gambar tentang fenomena sosial (Silalahi, 2009:112). Adapun variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Variabel Bebas (X)

Variabel bebas merupakan variabel yang menjadi sebab berubahnya atau timbulnya variabel terikat (Idrus, 2009:79). Variabel bebas dalam

penelitian ini adalah komunikasi persuasif pengajar di SLB-E Pembina Medan.

2. Variabel Terikat (Y)

(49)

2.2.1. Model Teoritis

Berdasarkan variabel-variabel penelitian dalam kerangka konsep di atas, maka model teoritis dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.1 Model Teoritis

Variabel Bebas (X) Variabel Terikat (Y) Komunikasi Persuasif Prestasi Belajar

(50)

2.3 Variabel Penelitian

Variabel adalah satu konsep atau konstruk yang memiliki variasi (dua atau lebih) nilai. Nilai yang melekat dalam variabel dapat berupa angka dan kategori (Silalhi, 2009:114-117). Berdasarkan kerangka teori dan kerangka konsep yang telah diuraikan maka di buat variabel penelitian sebagai berikut:

Tabel 2.1 Variabel Penelitian

Variabel Teoritis Variabel Operasional Descriptor Pertanyaan Teknik Skor

Variabel Bebas (X)

7. Apakah guru menjelaskan pelajaran sesuai dengan materi yang sedang Anda pelajari?

8. Apakah Anda mengerti pelajaran yang diberikan oleh guru di kelas?

9. Apakah Anda menanyakan

(51)

• Dinamisme

kepada guru di kelas tentang pelajaran yang tidak Anda pahami?

10.Apakah guru Anda pernah

menjawab tidak tahu ketika Anda bertanya tentang

pelajaran yang sedang dijelaskan di kelas?

11.Apakah guru berbicara dengan cepat ketika menjelaskan pelajaran di kelas?

12.Apakah Anda dapat

mendengar dengan jelas apa yang dikatakan oleh guru di kelas?

(52)

• Koorientasi

mengajar dengan wajah yang sedih atau marah?

14.Apakah pernah guru Anda menyapa Anda ketika sedang

berada di luar lingkungan sekolah (misalnya bertemu di

dalam angkutan umum)? 15.Apakah guru Anda datang

tepat waktu?

16.Apakah guru Anda orang yang menyenangkan?

(53)

b. Daya tarik ketika terjadi kericuhan pada saat menjelaskan?

18.Apakah Anda

memperhatikan dan mendengarkan ketika guru

sedang menjelaskan di kelas?

19.Apakah guru Anda

memperhatikan

penampilannya sebelum masuk ke dalam kelas (misalnya merapikan pakaian atau rambut)?

20.Apakah penampilan guru Anda mempengaruhi suasana hati Anda untuk mengikuti pelajaran di kelas?

(54)

c. Kekuasaan yang

22.Apakah guru Anda

mengingatkan Anda untuk menghormati semua guru

dan karyawan di sekolah?

23.Apakah guru Anda

memberikan hukuman ketika

Anda melakukan pelanggaran di sekolah?

24.Apakah guru Anda memberikan ganjaran ketika Anda melakukan tugas Anda

(mengerjakan PR, membuang sampah pada

(55)

kejuaraan)?

a. Belajar di bidang kognitif

25.Apakah Anda dapat

berbicara bahasa asing (misalnya bahasa Inggris)?

26.Apakah Anda dapat

mengungkapkan pendapat dengan baik?

27.Apakah Anda dapat membuat garis besar untuk setiap pelajaran yang sudah

Anda ikuti?

(56)

• Pengaturan

kegiatan kognitif (Cognitive

strategy)

b. Belajar di bidang sensorik-motorik

diri sendiri yang direpresentasikan diberikan oleh guru di kelas?

29.Apakah Anda mengulang

kembali di rumah pelajaran yang sudah Anda terima di sekolah?

30.Apakah Anda mampu

(57)

• Keterampilan

motorik (Motor skill)

(sensorik) maupun bergerak dan menggerakkan

(motorik).

• Kemampuan

merangkai

gerakan secara teratur dan berjalan dengan lancar tanpa dibutuhkan

banyak refleksi tentang apa yang harus dilakukan dan mengapa harus mengikuti urutan gerakan tertentu.

31.Apakah Anda dapat

mengoperasikan komputer atau alat portable sejenis

(misalnya laptop, projector, smartphone)?

32.Apakah Anda dapat

(58)

c. Belajar di bidang

33.Apakah Anda memiliki dan mengikuti jam belajar secara teratur di rumah?

34.Apakah Anda memiliki

keinginan untuk

1. Laki-laki atau Perempuan. 2. 11-12, 13-14, 15-16, di atas

(59)

c. Suku

3. Batak, Jawa, Melayu, Lainnya.

4. SD, SMP, SMA, Akademi/ Sarjana.

5. Pegawai Negeri, Pegawai

Swasta, Wiraswasta,

Lainnya.

(60)

2.4 Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, di mana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Jadi hipotesis juga dapat dinyatakan sebagai jawaban teoritis terhadap rumusan masalah penelitian, belum jawaban yang empirik dengan data (Sugiyono, 2008:96). Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap hasil penelitian yang akan dilakukan (Bungin, 2001:90). Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini sebagai berikut:

Ho: Tidak terdapat hubungan antara komunikasi persuasif yang dilakukan

pengajar terhadap prestasi belajar anak didik SMP di SLB-E Negeri Pembina Medan.

Ha: Terdapat hubungan antara komunikasi persuasif yang dilakukan pengajar

Gambar

Tabel 2.1
Gambar 3.1 Struktur Organisasi
Tabel 4.3 Suku
Tabel 4.4 Pendidikan Terakhir Orangtua
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proses pembelajaran ekstrakurikuler vokal pada anak berkebutuhan khusus (tunagrahita) di UPT SLB- E Negeri Pembina Medan,

Sekolah Luar Biasa-E Negeri Pembina tingkat Propinsi di Kota Medan akan dapat memberikan layanan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus di kota Medan, yang dapat

Masalah yang dibahas disini adalah sejauh mana Peranan Unit Pelaksana Teknis Sekolah Luar Biasa (UPT.SLB-E) Negeri Pembina Medan Dalam Memberikan Kegiatan

Untuk itu pertanyaan penelitiannya adalah bagaimana bentuk komunikasi yang digunakan pengajar di Sekolah Luar Biasa Nusantara dalam meningkatkan kemampuan intelektual

PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN PERPUSTAKAAN SEKOLAH LUAR BIASA (SLB)-E NEGERI PEMBINA MEDAN..

Masalah yang dibahas disini adalah sejauh mana Peranan Unit Pelaksana Teknis Sekolah Luar Biasa (UPT.SLB-E) Negeri Pembina Medan Dalam Memberikan Kegiatan

Masalah yang dibahas disini adalah sejauh mana Peranan Unit Pelaksana Teknis Sekolah Luar Biasa (UPT.SLB-E) Negeri Pembina Medan Dalam Memberikan Kegiatan

HUBUNGAN KETERAMPILAN SOSIAL DENGAN HASIL BELAJAR PKn SISWA SMA LUAR BIASA TUNAGRAHITA DI SLB PEMBINA MEDAN SKRI Diajukan Kepada Faktdtas Psikologi U:nivenitas Medan Area Guna