• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP PENGELOLAAN RAJUNGAN BERBASIS SUA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KONSEP PENGELOLAAN RAJUNGAN BERBASIS SUA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

MATA KULIAH

SUKSESI DAN ADAPTASI IKAN (MSP 733)

KONSEP PENGELOLAAN RAJUNGAN

BERBASIS SUAKA RAJUNGAN DAN TINJAUAN ADAPTASI PADA PERUBAHAN IKLIM DI SULAWESI TENGGARA

DOSEN PENGAMPU

DR. IR. ISDRADJAD SETYOBUDIANDI, M.SC

OLEH ABDUL HAMID

C 261110021

PROGRAM STUDI PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERAIRAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan salah satu komoditas perikanan bernilai ekonomi dan permintaannya tinggi di dalam dan di luar negeri, dimana rajungan sebagai komoditas ekspor utama perikanan Indonesia setelah udang dan ikan. Pada tahun 2011 volume dan nilai ekspor rajungan dan kepiting Indonesia masing-masing mencapai 156.993 ton dan US$ 208,424 juta (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2012). Pengelolaan rajungan di Indonesia baru sampai pada menetapkan batas ukuran minium yang boleh ditangkap dan diperdagangkan, yaitu 8 cm dan baru berencana menyusun draf rencana pengelolaan rajungan untuk wilayah pengeloaan perikanan (WPP-NRI) 712, meliputi Provinsi Banten, Jawa Barat, Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur (http://www. sustainablefish.org/fisheries-improvement/crabs/indonesian-blue-swimming-crab.). Namun, sejauhmana efektivitas penerapan pembatasan ukuran minimum penangkapan rajungan tersebut di lapangan masih perlu dikaji.

Penangkapan rajungan di Provinsi Sulawesi Tenggara dilakukan oleh nelayan kecil dengan menggunakan alat tangkap bubu rajungan dan jaring insang dengan daerah penangkapan pada perairan pantai yang dangkal. Produksi rajungan dan kepiting Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun 2009 sekitar sekitar 1.500 ton (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tenggara, 2010). Hasil tangkapan rajungan di beberapa daerah di Sulawesi Tenggara saat ini semakin menurun dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya menurunnya hasil tangkapan rajungan tersebut antara lain tekanan penangkapan yang tinggi, degradasi habitat, dan pencemaran perairan serta tidak adanya upaya pengelolaan rajungan. Disamping itu, kondisi sosial ekonomi nelayan diduga berkontribusi pada penurunan hasil tangkapan rajungan di perairan Sulawesi Tenggara. Akibat desakan untuk memenuhi kebutuhan hidup, sehingga mendorong nelayan untuk menangkap rajungan yang berukuran kecil dengan tanpa menyadari bahwa hal tersebut akan berdampak buruk pada kelestarian rajungan.

(3)

dikembangkan di perairan Sulawesi Tenggara adalah pengelolaan berbasis suaka rajungan skala kecil, dan akan diimplemnetasikan pada desa-desa pesisir dan pulau kecil penghasilan rajungan di daerah ini. Konsep pengelolaan berbasis suaka ini merupakan model pengelolaan yang diadopsi dari model pengelolaan terumbu karang skala kecil atau daerah perlindungan laut (DPL) yang telah diterapkan pada beberapa perairan di Indonesia, termasuk diperairan SulawesiTenggara.

Pendekatan pengelolaan rajungan berbasis suaka disamping melindungi rajungan sebagai target sumberdaya yang dilindungi juga melindugi dan menjaga keutuhan ekosistem perairan sebagai habitat rajungan yang terkait dengan siklus hidup rajungan. Disamping itu juga memperhatikan kondisi sosial ekonomi nelayan atau masyarakat sehinga diharapkan dapat berperan serta dalam pengelolaan. Pengelolaan berbasis suaka rajungan merupakan suatu pendekatan pengelolaan yang mengintegrasikan tujuan konservasi yaitu melindungi kelestarian rajungan dan ekosistem serta untuk mempertahankan dan meningkatkan produksi rajungan untuk kesejahateraan nelayan dan masyarakat pesisir di Provinsi Sulawesi Tenggara.

Perubahan iklim yang sedang terjadi saat ini merupakan isu global akan menimbulkan yang luas organisme air termasuk rajungan, keutuhan ekosistem perairan serta aspek soaisil ekonomi masyarakat. Dalam pengelolaan rajungan di perairan Sulawesi Tenggara perlu diperhitungkan dampak potensial yang kemungkinan akan terjadi sehingga dapat memperkecil resiko yang ditimbulkan dan memperbesar peluang keberhasilan dalam pengelolaan rajungan di perairan Sulawesi Tenggara. Keberadaan Kawasan konservasi laut (KKL) di salah satu perairan merupakan suata upaya pengelolaan yang berperan penting untuk menghadapi ancaman perubahan iklim terkait dengan mempertahankan produktivitas ekosistem perairan laut pada umumnya (UNEP, 2009).

(4)

1.2 Tujuan

Substansi makalah ini bertujuan untuk mengkaji konsep pemikiran pengelolaan rajungan berbasis suaka rajungan dan kaitannya dengan adaptasi pada perubahan iklim di perairan Sulawesi Tenggara.

2 PERMASALAHAN PENGELOLAAN RAJUNGAN DI SULWESI TENGGARA

Dalam makalah ini hanya tiga permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini yang berhubungan dengan pengelolaan rajungan di Provinsi Sulawesi Tenggara, yaitu sebagai berikut :

2.1 Ketersediaan Data Terbatas

Pengelolaan sumberdaya yang baik perlu ditunjang dengan data dan informasi yang akurat. Disadari bahwa data dan informasi yang berkaitan dengan rajungan di perairan Sulawesi Tenggara masih sangat terbatas, sehingga hal ini menjadi persamalahan dalam upaya pengelolan rajungan di Sulawesi Tenggara. Ketersediaan data dan informasi rajungan perlu mendapat perhatian untuk mengoptimalkan pengelolaan rajungan di perairan Sulawesi Tenggara berbasis suaka rajungan dan perubahan iklim.

Data dan informasi yang berkaitan data rajungan di Provinsi Sulawesi Tenggara juga sangat terbatas. Dalam statisik perikanan data volume dan nilai rajungan masih disatukan dengan kepiting bakau sehingga hal menyulitkan untuk mendapatkan data rajungan secara aktual demikian juga data aspek biologi dan dinamika populasi rajungan di perairan ini masih terbatas. Kondisi ini akan menjadi hambatan dalam mengembangkan pengelolaan rajungan di perairan Sulawesi Tenggara.

(5)

dan menetapkan langkah-langkah strategis dan menerapkan implementasi pengelolaan rajungan berbasis konservasi dan adaptif pada perubahan iklim di Sulawesi Tenggara.

2.2 Pencemaran dan Degradasi Habitat Rajungan

Rajungan banyak ditemukan di perairan pesisir atau perairan dangkal yang ditumbuhi padang lamun mulai tahap larva (Rangpratanangsungk, 2010) sampai yang telah matang gonad (Hamid, 2011), dan juga dapat ditemukan di pulau berkarang dengan substrat pasir, pasir berlumpur. Rajungan yang hidup di perairan estuaria akan bermigrasi ke perairan yang bersalinitas lebih tinggi untuk menetaskan telurnya, dan setelah mencapai rajungan muda akan kembali ke estuaria (de Lestang et al.,2003; Dixon, 2011).

Beberapa perairan pesisir Sulawesi Tenggara saat ini mengalami pencemaran yang berasal dari akitivitas pertambangan nikel dan selain itu, adanya sedimentasi yang tinggi menyebabkan terjadinya kerusakan ekosistem pesisir di daerah ini. Padang lamun merupakan ekosistem yang mengalami kerusakan akibat pencemaran tersebut. Kerusakan dan degradasi padang lamun di perairan Sulawesi Tenggara juga dapat diakibatkan oleh penggunaan bom dalam menangkap ikan, dan kegiatan reklamasi pantai pada beberapa kota di daerah ini. Padang lamun sedapat ditemukan hampir di seluruh perairan dangkal dan pulau-pulau kecil di perairan Sulawesi Tenggara. Ada beberapa perairan pesisir Sulawesi Tenggara yang awalnya sebagai habitat lamun saat ini telah mengalami kerusakan berat akibat pencemaran dan ada juga berubah menjadi daratan.

Ekosistem pesisir yang ikut mengalami kerusakan dan degradasi akibat beberapa aktivitas yang merusak lingkungan tersebut adalah terumbu karang dan juga beberapa perairan estuaria di Sulawesi Tenggara mengalami pendangkalan. Terumbu karang memiliki nilai sangat penting bagi ekosistem dan lingkungan pesisir, karena di dalamnya hidup berbagai hewan laut di antaranya adalah rajungan, dan juga berfungsi sebagai pelindung pantai.

(6)

rajungan dan ikan secara signifikan. Kawasan suaka rajungan dilindungi berfungsi sebagai buffer untuk meminimalkan dampak manusia yang berpotensi membahayakan, seperti polusi dan efek dari penangkapan ikan berlebihan.

Alternatif pemecahan masalah tersebut antara mengendalikan aktivitas pertambangan dan reklamasi pantai yang berpotensi menimbulkan pencemeran perairan pesisir dan merusak habitat rajungan dan biota laut lainnya, menekan sumber-sumber sedimetnasi, dan melakukan rehabilitasi padang lamun dan terumbu karang, serta meningkatkan kegiatan pembinaan dan pengawasan. Untuk dapat mengimplementasikan beberapa alternatif untuk menjaga keutuhan habitat rajungan tersebut, maka diperlukan kemauan politik dari pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Sulawesi Tenggara dan dukungan dari lembaga legislatif di daerah ini.

2.3 Sosial Ekononi Masyarakat Pesisir dan Nelayan

Tingkat pendidikan nelayan dan masyarakat di Provinsi Sulawesi Tenggara yang mendiami pesisir dan pulau-pulau kecil masih rendah, umumnya didominasi oleh hanya tamatan sekolah dasar bahkan tidak tamat sekolah dasar. Kondisi tingkat pendidikan yang demikian akan mempengaruhi tindakan mereka dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya laut, salah satu diantaranya adalah rajungan.

Kemiskinan yang dialami oleh nelayan dan masyarakat pesisir pada umumnya merupakan salah satu masalah yang berkaitan dengan pengelolaan rajungan di Sulawesi Tenggara. Tingkat pendapat masyarakat pesisir di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Provinsi SulawesinTenggara berkisar < 1 juta sampai >1,5 juta perbulan, dan umumnya berkisar 0,5-1,0 juta bulan-1 (Bappeda Provinsi Sulawesi Tenggara, 2002). Akibat

kemiskinan yang dialami oleh nelayan maka tidak jarang dijumpai mereka menggunakan alat tangkap bom atau potas dalam menangkap ikan. Sedangkan untuk kasus penangkapan rajungan masih banyak dijumpai menangkap rajungan dengan ukuran sekitar 4-5 cm demi untuk memenuhi kebutuhan mereka sehar-hari. Masalah lain yang terkait dengan kebiasaan nelayan yang bersifat boros dan konsumerisme sehingga dengan sifat ini akan mendorong mereka untuk menangkap rajungan sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan kelestarian sumberdaya rajungan demi memenuhi kebutuhan mereka.

(7)

dan bahan beracun. Masalah perikanan tangkap yang berkembang selama ini untuk segera dicarikan solusinya adalah: rendahnya kegiatan pembinaan dan pengawasan; tidak terkontrolnya peningkatan jumlah dan jenis alat tangkap; adanya penggunaan alat tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan; belum memadainya sarana penampungan dan pengolahan hasil tangkap; rendahnya kemampuan pengelolaan ekonomi rumah tangga nelayan; dan program pembangunan sarana dan prasarana perikanan kurang sesuai dengan kebutuhan masyarakat nelayan; serta belum tersedianya teknologi informasi dalam kegiatan penangkapan ikan.

Alternatif pemecahan masalah tersebut antara lain dilakukan pemberdayaan dan peningkatan kapasitas bagi nelayan dan masyarakat pesisir di Sulawesi Tenggara melalui program peningkatan pengelolaan ekonomi keluarga nelayan dan pendidikan formal bagi nelayan dan masyarakat pesisir. Adanya program tersebut diharapkan dapat meningkatkan pemahaman nelayan dan masyarakat pesisir pentingnya menjaga kelestarian rajungan dan ekosistemnya demi menjaga keberlanjutan mata pencaharian nelayan. Disamping itu, juga merubah pandangan dan perilaku nelayan dan masyarakat pesisir dalam pemanfaatan rajungan secara bijaksana sesuai kaedah pengelolaan rajungan berbasis konservasi dan adpatif pada perubahan ikim demi kesejahteraan nelayan dan msayarakat pesisir di Provinsi Sulawesi Tenggara.

3. KONSEP PEMIKIRAN PENGELOLAAN RAJUNGAN BERBASIS SUAKA RAJUNGAN DI SULAWESI TENGGARA

3.1 Konsep Pengembangan Suaka Rajungan

(8)

merupakan upaya pelestarian dan pemanfaatan rajungan dan ekosistemnya secara berkelanjutan untuk kesejahateraan nelayan dan masyarakat pesisir di Sulawesi Tenggara.

Pengelolaan rajungan berbasis konservasi (suaka rajungan) yang dimaksud dalam makalah ini adalah kawasan konservasi dengan skala kecil. Model kawasan konservasi ini diadopsi dari model pengelolaan kawasan terumbu karang (daerah perlindungan laut-DPL) dan telah banyak diterapkan pada beberapa desa pesisir atau pulau kecil di Indonesia, termasuk di perairan Sulawesi Tenggara. Prinsip pengelolaan rajungan berbasis konservasi dapat melibatkan satu (1) desa pesisir atau lebih tergantung pada kondisi geografi dari sebaran habitat rajungan (berbasis potensi kawasan dan sebaran habitat rajungan), dan dalam implementasinya mulai dari tahap perencanan sampai tahap pengelolaan serta pengawasan sepenuhnya melibatkan nelayan atau masyarakat setempat (berbasis masyarakat).

Kawasan suaka rajungan merupakan lokasi yang digunakan dalam upaya pengelolaan sumberdaya rajungan untuk pelestarian rajungan dan peningkatan produksi rajungan (Pet dan Mous, 2002). Oleh kerena itu dalam penetapan lokasi suaka perikanan berdasarkan informasi dan data aspek biologi, dinamika populasi, genetika dan kondisi ekosistem padang lamun serta perairan sekitarnya sebagai lokasi pemijahan rajungan sehingga diharapkan dapat berfungsi sebagai tempat perlindungan rajungan dan juga dapat mengahasilkan benih secara alami ke daerah sekitarnya, yaitu melalui spill-over dan produksi larva rajungan akan meningkat.

(9)

rajungan dengan daerah penangkapan nelayan dan kepentingan lainnya, seperti alur transportasi laut.

Para ahli yang mengategorikan terumbu karang dalam yang berkaitan dengan kawasan konservasi laut penyebaran larva organisme laut menjadi dua (2) kelompok, yaitu terumbu “penampung” (sink) dan terumbu “sumber” (source) (Knight dan Tighe, 2003). Dengan mengadopsi pendapat tersebut maka dapat dianalogikan pada padang lamun sebagai lokasi kawasan konservasi atau suaka rajungan. Padang lamun sebagai lokasi penyabaran larva rajungan, yaitu padang lamun sebagai lokasi ”penampung” adalah hamparan padang lamun yang menerima atau memampung banyak larva rajungan yang berasal dari padang lamun atau lokasi pemijahan rajungan letaknya jauh, lalu terbawa arus sebagai efek dari spill-over dan produksi larva rajungan dan selanjutnya menetap dan berkembang di padang lamun ini. Padang lamun “sumber” adalah padang lamun yang menjadi sumber larva rajungan bagi padang lamun lainnya. Tidak semua larva rajungan yang berasal dari padang lamun “sumber” atau lokasi pemijahan rajungan akan menetap dan pindah ke hamparan padang lamun lainnya, karena sebagian terbawa ke laut lepas dan mati, sementara yang lainnya dimakan oleh ikan dan organisme kecil lainnya.

Daerah Perlindungan Laut (DPL) seperti yang telah diamati oleh beberapa peneliti membuktikan bahwa usaha ini efektif bagi pelestarian sumberdaya hayati dan non-hayati, serta dapat digunakan meningkatkan produksi perikanan disekitarnya (Cote et al. 2001; Pet dan Mous, 2002). Selain itu DPL juga berpotensi untuk dijadikan daerah tujuan wisata, dengan dampak turunannya dapat membuka mata pencaharian baru bagi masyarakat setempat. Diharapkan dengan adanya suaka rajungan di perairan Sulawesi Tenggara dapat memberikan dampak positif pada pelestarian, peningkatan produksi serta pemanfaatan rajungan secara berkelanjutan di perairan Sulawesi Tenggara. Untuk mencapai hasil diharapkan tersebut maka diantaranya perlu keterlibatan masyarakat setempat dalam pengelolaan kawasan suaka rajungan.

3.2 Pengelolaan Suaka Rajungan dan Pelibatan Masyarakat

(10)

ekonomi lingkungan desa pesisir atau pulau kecil dimana model pengelolaan ini diterapkan. Pendekatan pengelolaan dengan suaka rajungan di perairan Sulawesi Tenggara pada tahap awal akan diuji cobakan pada daerah atau desa-desa pesisir dan pulau kecil yang secara potensial sebagai desa penghasil rajungan. Dalam menerapkan pengelolaan suaka rajungan akan melibatkan stakeholder terkait, seperti tokoh masyarakat, aparat desa atau kecamatan dan instansi terkait pada tingkat kabupaten. Pengelolaan suaka rajungan akan diterapkan desa-desa pesisir dan pulau-pulau kecil yang merupakan daerah penghasil rajungan dan memiliki berpotensi mendapat dukungan dilihat aspek sosial masyarakatnya.

Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa prinsip pengelolaan suaka rajungan di perairan Sulawesi Tenggara adalah berbasis masyarakat, artinya pengelolaan daerah suaka ini dilakukan oleh sepenuhnya oleh masyarakat bersama-sama dengan aparat desa atau tokoh masyarakat. Disadari bahwa masyarakat pesisir, khususnya sangat besar kepentingan mereka terhadap kelestarian sumberdaya rajungan karena berhubungan langsung degan mata pencaharian mereka. Oleh karena itu dalam pengelolaan suaka rajungan di perairan Sulawesi Tenggara sangat dibutuhkan keterlibatan masyarakat, khususnya nelayan dalam desa lokasi suaka rajungan berada maupun nelayan pada desa tetangga (dari luar desa).

Implementasi pengembangan pengelolaan rajugan berbasis suaka rajungan di perairan Sulawesi Tenggara dilakukan secara bertahap. Pada tahap awal pengembangan pengelolaan rajungan berbasis suaka perikanan rajungan di perairan Sulawesi Tenggara pada desa-desa pesisir tertentu seperti disebutkan di atas hanya merupakan media percontohan dan pembelajaran bagi desa lain di daerah ini sebagai upaya melindungi dan meningkatkan produksi rajungan. Selanjutnya diharapkan desa-desa pesisir lain yang ada di Sulawesi Tenggara juga dapat membentukan kawasan suaka rajungan berdasarkan insiatif dan dukungan dari instansi terkait dalam memfasilitasi pembentukannya serta melakukan pembinaan dan pendampingan kepada masyarakat sehingga pengelolaan suaka rajungan di perairan Sulawesi Tenggara dapat berjalan secara eketif.

(11)

rajungan, zona ini ditujukan hanya untuk perindungan sumberdaya rajungan. Sedangkan penyangga adalah merupakan zona yang mendukung keutuhan zona inti dan kawasan suka rajungan secara keselurahnnya. Sedangkan pemanfaatan rajungan oleh nelayan atau masyarakat pesisir dapat dilakukan dengan menggunakan alat tangkap yang bersifat tidak merusak lingkungan dan ukuran rajungan dibatasi sesuai informasi kondisi biologi rajungan dan ditetapkan secara bersama antara pengelola suaka rajungan dengan nelayan dan disaksikan oleh tokoh masyarakat dan aparat desa atau kecamatan.

Gambar 1. Ilustrasi zona inti dan penyangga kawasan suaka rajungan diadopsi dari daerah perlindungan laut terumbu karang

(Sumber : http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://2.bp.blogspot.com/)

(12)

anggota masyarakat atau kelompok nelayan untuk melindungi dan memanfaatkan rajungan secara lestari.

Pelibatan masyarakat dan nelayan sejak awal kegiatan pengelolaan suaka rajungan di perairan Sulawesi Tenggara sehingga akan menciptakan kedasaran bagi masyarakat dan rasa memiliki terhadap kawasan suaka rajungan yang akan di kembangkan di daerah ini dan berdampak pada kepedulian mereka akan pentingnya untuk mendukung pengelolaan suaka rajungan daerah ini. Untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat pesisir dan nelayan dalam pengelolaan suaka rajungan di perairan Sulawesi Tenggara maka perlu dilakukan sosialisasi secara luas kepada masyarakat.

3.3 Pengelolaan Suaka Rajungan dan Pemberdayaan Masyarakat

Pengelolaan suaka rajungan di perairan Sulawesi Tenggara sebaiknya terintegrasi dengan kegiataan pemberdayaan bagi nelayan atau masyarakat pesisir pada setiap desa lokasi sasaran program. Sasaran dari kegiatan pemberdayaan tersebut adalah untuk meningkatkan kapasitas dan kelembagaan sosial ekonomi untuk menunjang perbaikan kesejahteraan nelayan dan masyarakat pesisir. Diharapkan dengan adanya kegiatan pemberdayaan tersebut dapat meningkatkan pengentahuan dan pemahaman tentang penting menjaga kelestarian rajungan melalui pengelolaan berbasis suaka yang adaptif pada perubahan iklim. Selain itu, juga kegiatan pemberdayaan dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat pesisir, khusus nelayan pada desa sasaran program pengelolaan suaka rajungan di Sulawesi Tenggara.

(13)

informasi pasar, termasuk penyediaan sarana produksi dan peningkatan sarana produksi serta peningkatan keterampilan berusaha, dan (5) akses terhadap sumber pembiayaan.

Pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir dan nelayan di Sulawesi Tenggara yang dianggap penting, yaitu mengembangkan mata pencaharian alternatif yang ramah lingkungan terhadap masyarakat yang potensial melakukan kegiatan merusak sumberdaya dan ekosistem laut, seperti penambang batu karang, serta pengguna bom dan potas dalam menangkap ikan. Dalam jenis kegiatan mata pencaharian alternatif nelayan tersebut perlu mempertimbangkan aspek sosial budaya dan kemampuan ekonomi nelayan sehingga dapat berjalan dengan efektif dan diperoleh hasil optimal. Contoh jenis usaha yang mungkin dapat dilakukan dalam alih mata pencaharian tersebut antara lain budidaya rumput laut atau biota laut lainnya, kegiatan pengolahan (pasca panen) dan kegiatan penangkapan ikan lainnya. Dalam pelaksanaan program alih pekerjaan harus disertai dengan pelatihan dan pemberian bantuan sarana produksi.

Bila hal ini dapat dilakasanakan secara efektif maka akan terjadi keseimbangan antara upaya pelestarian rajungan dan ekosistemnya dengan usaha perbaikan ekonomi nelayan yang sebelumnya berpotensi merusak eksostem perairan. Untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat pengelolaan suaka rajungan dan terintegrasi dengan pemberdayaan masyarakat pesisir dan nelayan maka perlu dilakukan sosialisasi secara terbuka terhadap masyarakat.

3.4 Pengelolaan Rajungan Suaka dan Adaptasi pada Perubahan Iklim

Perubahan iklim akan berdampak negatif pada kondisi lingkungan perairan dan biota air, serta berpotensi menurunkan produktivitas ekosistem laut. Beberapa berberhasilan pembentukan dan pengelolaan kawasan konservasi laut dalam upaya untuk mendorong pertumbuhan populasi ikan Adanya kawasan konservasi laut sebagai upaya menghadapi ancaman perubahan iklim terkait dengan mempertahankan produktivitas ekosistem terumbu karang dan lautan pada umumnya (UNEP, 2009).

(14)

ekosistemnya (UNEP, 2009). Suaka rajungan merupakan kawasan lindung laut untuk memperbaiki kondisi populasi rajungan dan pola pemanfaatannya berkaitan dengan perubahan iklim, karena strategi pengelolaan dengan model ini merupakan pola pengelolaan terbaik untuk melindungi populasi biota laut di seluruh dunia (Pet dan Mous, 2002; Roberts et al., 2005).

Rajungan merupakan jenis biota air yang memenuhi kriteria untuk dikembangkan melalui kegiatan penangkapan dan budidaya yang adaptif terhadapt perubahan iklim karena memiliki pertumbuhan cepat, reproduksi tinggi, tahan terhadap perubahan suhu, pH, dan salinitas, rantai makanan pendek, kualitas daging baik, dan hasilnya tinggi (Hosseini et al., 2012; Guo et al., 2012). Rajungan sebagai biota air berpotensi dikembangkan dalam pola pengelolaan berbasis budidaya yang adaptif terhadap perubahan iklim.

Pengelolaan rajungan berbasis suaka yang adaptif pada perubahan iklim dapat menerapkan berbagai bioteknologi untuk meningkatkan kebugaran populasi rajungan untuk dipelihara melalui budidaya skala terkontrol maupun untuk perbaikan stok alami rajungan melalui sea ranching, pemacuan stok, dan restoking yang dapat beradaptasi pada kondisi perubahan iklim dan perubahan lingkungan perairan. Beberapa metode bioteknologi yang dapat digunakan untuk menghasilkan benih rajungan unggul meliputi pembiakan selektif, persilangan dan hibridisasi, manipulasi kromosom dan populasi monoseks, dan genomik, penemuan gen dan transgenesis (Pullin dan White, 2011). Semua potensi tersebut tergantung pada konservasi keragaman genetik seluas mungkin untuk sifat yang ditargetkan pada spesies penting pada saat ini dan berpotensi untuk dikembangkan di masa depan (Pullin dan White, 2011).

(15)

dan suatu perairan dijumpai rajungan dengan keragaman tinggi maka perlu ditetapkan ditetapkan sebagai kawasan suaka rajungan.

Kemungkinan dari hasil indentifikasi keragaman genetik rajungan di perairan Sulawesi Tenggara dapat ditemukan suatu lokasi perairan tertentu dapat ditemukan induk rajungan dan mampu memproduksi benih-benih (larva) rajungan unggul dengan keragaman genetik tinggi dan tahaan terhadap perubahan kondisi lingkungan perairan yang ekstrim akibat perubahan iklim. Selain itu, kemungkinan akan ditemukan kondisi keragaman genetik rajungan yang kritis akibat tekanan penangkapan tinggi sehingga perlu segera dilakukan restocking untuk memperbaiki keragaman genetik populasi rajungan untuk menghindari ancaman tekanan perubahan iklim. Informasi keragaman genetik rajungan juga berguna untuk menentukan luas kawasan perairan yang akan dijadikan sebagai lokasi sea ranching rajungan.

Pengelolaan rajungan berbasis budidaya yang berhubungan dengan upaya pengelolaan rajungan dan khususnya suaka perikanan dan adaptif pada perubahan iklim di perairan Sulawesi Tenggara dapat dilakukan melalui domestikasi, sea ranching, pemacuan stok, restoking, dan transplansi dengan tujuan untuk memperbaiki stok alami dan peningkatan produksi rajungan. Salah satu kendala yang saat ini dihadapi dalam pendekatan pengelolaan ini di Sulawesi Tenggara adalah sumber benih dibutuhkan jumlah besar sehingga dibutuhkan teknologi produksi benih rajungan yang diproduksi secara masal seperti teknologi yang telah diterapkan pada pembenihan udang. Sementara produksi massal benih rajungan di Indonesia sampai saat ini tingkat keberhasilannya masih rendah, yaitu kelangsungan hidup larva rajungan rata-rata sebesar 15% (Warta Penelitian Perikanan Indonesia, 2004). Oleh karena itu, masih perlu dilakukan penelitian untuk mendapat pemecahan masalah yang dihadapi dalam teknologi pembenihan rajungan sehingga kelangsungan hidup larva rajungan meningkat dan dapat mendukung keberhasilan produksi larva rajungan secara masal di panti pembenihan (hatchery).

4 PENUTUP

(16)

degradasi habitat rajungan, serta masalah sosial ekononi masyarakat pesisir dan nelayan. Model suaka rajungan yang akan dikembangkan di perairan Sulawesi Tenggara diadopasi dari model pengelolaan DPL terumbu karang telah dikembangkan di Sulawesi Tenggara. Dalam pengelolaan suaka rajungan di perairan Sulawesi Tenggara melibatkan masyarakat setempat dan implementasi model pengelolaan ini terintegrasi dengan pemberdayaan masyarakat pesisir dan khususnya nelayan di daerah ini.

Pengembangan suaku rajungan mempunyai kaitan dengan adaptasi rajungan terhadap perubahan iklim. Rajungan sangat pontesial untuk dikembangkan sebagai biota budidaya terkontrol ataupun melalui sea ranching karena mampu beradaptasi terhadap kondisi lingkungan ekstrim akibat perubahan iklim.

Perlu dukungan hasil penelitian aspek biologi, dinamika populasi, keragaman genetik, dan kondisi ekosistem habitat rajungan, aspek sosial ekonomi dan teknologi pembenihan atau domestikasi rajungan agar diperoleh hasil optimal dalam mengembangkan model pengelolaan rajungan berbasis suaka yang adaptif pada perubahan iklim di Sulawesi Tenggara.

DAFTAR PUSTAKA

Bappeda Provinsi Sulawesi Tenggara. 2002. Identifikasi aktivitas bagi peningkatan masyarakat pesisir dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di lokasi MCMA Provinsi Sulawesi Tenggara. Bappeda Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari

Cote IM, I Mosqueira and JD Reynolds. 2001. Effects of Marine Reserve Characteristics On The Protection Of Fish Populations: a Meta-Analysis. Journal of Fish Biology. 59:178-189

de Lestang S, NG Hall, IC Potter. 2003. Reproductive biology of the blue swimmer crab (Portunus pelagicus, Decapoda: Portunidae) in five bodies of water on the west coast of Australia. Fishery Bulletin US, 101: 745-757

Dixon C. 2011. Blue swimmer crab Portunus pelagicus in pp: 63-75: Pecl GT, Doubleday Z, Ward T, Clarke S, Day J, Dixon C, Frusher S, Gibbs P, Hobday A, Hutchinson N, Jennings S, Jones K, Li X, Spooner D, and Stoklosa R. Risk Assessment of Impacts of Climate Change for Key Marine Species in South Eastern Australia. Part 2: Species profiles. Fisheries and Aquaculture Risk Assessment. Fisheries Research and Development Corporation, Project 2009/070.Hobart, Tasmania

(17)

Hamid A, La Sara, Halili. 2007. Identifikasi potensi sumberdaya Pulau Lara sebagai dasar pengembangan kawasan konservasi laut daerah di Kabupaten Konawe Selatan. Konsorsium Mitra Bahari Sulawesi Tenggara. Kendari

Hamid A. 2011. Kondisi kepiting rajungan di Teluk Lasonko Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara. Jurnal Mitra Bahari, 5 (2) :75-86

Hosseini M, A Vazirizade, Y Parsa and A Mansori. 2012. Sex ratio, size distribution and seasonal abundance of blue swimming crab, Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758) in Persian Gulf Coasts, Iran. World Applied Sciences Journal 17 (7): 919-925

http://www.sustainablefish.org/fisheries-improvement/crabs/indonesian-blue-swimming-crab Diakses tanggal 14 September 2012

http://dunia-budidaya.blogspot.com/2009/08/pengamatan-aspek-biologi-rajungan.html. Aspek Biologi Rajungan dalam Menunjang Teknik Perbenihannya. 2004. Warta Penelitian Perikanan Indonesia, 10 (1). Diaksaes tanggal 22 Desember 2012.

http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://2.bp.blogspot.com/. Diakses tanggal 25 Desember 2012

Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2012. Statistik ekspor hasil perikanan, Buku 1. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Knight, M dan S. Tighe (editor). 2003. Panduan Pembentukan dan Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat. Koleksi Dokumen Proyek Pesisir 1997-2003. Coastal Resources Center, University of Rhode Island, Narragansett, Rhode Island, USA

Pet JJ dan PJ Mous, 2002. Kawasan konservasi laut dan manfaatnya bagi perikanan (Diterjemahkan oleh S. Paramita B.U dan Hesti Widodo), The Nature Conservancy – Southeast Asia Center for Marine Protected Areas, Sanur, Bali, Indonesia

Pullin R and P White. 2011. Climate change and aquatic genetic resources for food and agriculture: State of knowledge, risks and opportunities. Commission On Genetic Resources For Food And Agriculture, FAO, Roma

Roberts CM, PJ Hawkins and FR Gell. 2005. The role of marine reserves in achieving sustainable fisheries Phil. Trans. R. Soc. B. 360, 123-132

Sukuso, 2008. Peran Bioteknologi Molekuler dalam Pembangunan Bidang Perikanan dan Kelautan Indonesia. Makalah disampaikan dalam rangka Dies Natalis XXXIX Universitas Brawijaya, Malang tanggal 20 Januari 2008

Gambar

Gambar 1.  Ilustrasi zona inti dan penyangga kawasan suaka rajungan diadopsi dari daerahperlindungan laut terumbu karang  (Sumber : http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://2.bp.blogspot.com/)

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian diketahui bahwa pada metode relatif dengan menggunakan perangkap yellow sticky trap pada area anorganik individu serangga yang diperoleh adalah

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa dalam pengimplementasiannya bauran pemasaran baik dari segi produk, harga, tempat, promosi, manusia,

[r]

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan penyusunan laporan penelitian

DAFTAR KEPUTUSAN DIREKTUR UTAMA RSJ PROF... Inst RM pada RSJS Magelang

Kemudian pada tahun 1875 Darboux berhasil memodifikasi integral Riemann dengan mendefinisikan Integral atas dan integral bawah sehingga terdefinisi suatu

Kotler (2001:179) menerjemahkan persepsi sebagai proses di mana kita memilih, mengatur, dan menerjemahkan masukan informasi untuk menciptakan gambaran dunia yang

Berdasarkan penjabaran tersebut diatas lahirlah pertanyaan apakah ketentuan tentang bukti kepemilikan hak atas tanah sebagai dasar ganti kerugian pada Pasal 41 ayat (3)