"
INOVASI DAN APLIKASI TEKNOLOGI PERTAMBANGAN
UNTUK NEGERI"
Banjarbaru Kalimantan Selatan, 30 Juli 2011
TIM REVIEWER:
Prof. Dr. Ir. H. Rusdi HA. M.Sc Prof. Fathurrazie Shadiq, MSc Dr. Ir. Syahril Taufik, M.Sc. Eng
TIM EDITOR:
Nurhakim, MT Riswan, MT
Penerbit :
Inovasi dan Aplikasi Teknologi Petambangan untuk Negeri
Hak Cipta ©2011 pada penulis Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Cetakan pertama, Juli 2012
Desain Cover : Rakhman Silvika Maksum
Penerbit :
Universitas Lambung Mangkurat Press
Jl. H. Hasan Basry, Kayutangi-Banjarmasin 70123 Telp./Fax. 0511-3304480
Bekerjasama dengan :
Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat
Jl. A. Yani Km 36, Kampus Fakultas Teknik UNLAM Banjarbaru 70714 Telp.0511-9259966
Dep. Energy & Mineral Resources, College of Engineering, Dong-A University, Korea
840, Hadan 2- Dong, Saha-gu Busan, 604-714, Korea
PERHAPI Perwakilan KALSEL
Jl. H. Hasan Basry, Kayutangi Kampus UNLAM Banjarmasin 70123 Banjarbaru: Universitas Lambung Mangkurat Press, 2012
256 + v hlm, 29 cm
ISBN : 978-602-992-44-8
"
INOVASI DAN APLIKASI TEKNOLOGI PERTAMBANGAN
UNTUK NEGERI"
Banjarbaru Kalimantan Selatan, 30 Juli 2011
TIM REVIEWER:
Prof. Dr. Ir. H. Rusdi HA. M.Sc Prof. Fathurrazie Shadiq, MSc Dr. Ir. Syahril Taufik, M.Sc. Eng
TIM EDITOR:
Nurhakim, MT Riswan, MT
Penerbit :
Banjarbaru Kalimantan Selatan, 30 Juli 2011 Mastiadi Tamjidillah, ST, MT (PD-III FT UNLAM) Penasehat : Ir. Eddy DS, M.App.Sc (Ketua PERHAPI Kalsel)
Ir. Adip Mustopa (Mantan KaPSTP 2005-2009) Penanggung Jawab : Nurhakim, ST, MT (Ketua PSTP FT UNLAM)
M. Hijrah Salam (Ketua BEM FT UNLAM) Yanuar Candra (Ketua HIMASAPTA)
Organizing Committee:
Ketua : Riswan, MT
Wakil Ketua : Bahrurrusydi Sekretaris : Hafidz Noor Fikri, ST Wakil Sekretaris : Indira Matahari Bendahara : Sari Melati, ST Wakil Bendahara : Edwin Noviansyah Sie Makala/Prosidnig/ISBN : Uyu Saimana, MT
Rizal Malik Sie Dokumentasi : BEM & UPK Fotografi Sie Perlengkapan/Dekorasi : Jossi Arizon Purba
Andi Pranata
Anton Ferlian Simamora Sie Umum/Perijinan/Keamanan : BEM FT UNLAM
M. Richy Ambadar Fantry Abdi Andreano Faisal Rijani
Sie Kesekretariatan/Pub/Humas : Duan Arpilanoor Lawrensa Jeriko Agus Arie Yudha Mitha Afryana Sie Usaha/Dana : M. Syafa Marwah
Kiki Indra Kurniawan Ariadi Prasetya Sie Konsumsi : Sriwahyuni, A. Ma
Mujaiyanah, A. Ma
Program Studi Teknik Pertambangan Fakultas Teknik UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
Jl. Jenderal Achmad Yani Km. 36 Banjarbaru-Kalimantan Selatan 70714 Telp. : 0511-4773858
Fax : 0511-4781730
254 Daftar Nama Pemakalah
No. Nama Pemakalah Judul Makalah Asal Instansi
1 Changwoo
Lee Asbestos particle dispersion in the atmosphere from closed down mine sites 2 Eddy Ibrahim Aplikasi Pemodelan Kedepan
3D Ground Penetrating Radar (GPR) Untuk Eksplorasi
Pertambangan Untuk Air Baku Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat
Indonesia 4 D.W. Kang The Study On Blasting Effect
With Pre-Assessment Borehole Status By Inserting Real Time
255
No. Nama Pemakalah Judul Makalah Asal Instansi
7 Irzal Nur Hydrothermal Alteration
Associated with the Baturappe Epithermal Silver-Base Metal
Ahmad Azizi Aplikasi Probabilistik Untuk Analisis Kestabilan Lereng Tunggal Menggunakan Metode Bishop (Studi kasus di PT. Tambang Batubara Bukit Asam tbk. Tanjung Enim, Sumatera
9 Nurkhamim Estimasi Distribusi Ukuran
Fragmen Batuan Hasil
10 Nurhakim Optimalisasi sumberdaya dan
teknologi dalam peningkatan 11 Adip Mustopa Prespektif Teknik Dan Ekologi
Pembangunan Mega Proyek
Di Indonesia Staf Pengajar pada Program Studi Teknik Pertambangan Fakultas Teknik
UNLAM
13 Uyu Saismana Perhitungan Sumberdaya
256
No. Nama Pemakalah Judul Makalah Asal Instansi
Sematu Jaya, Kab. Lamandau,
Kalimantan Tengah Fakultas Teknik UNLAM
14 Ibrahim Sota Analisa Batuan Bawah
Permukaan Untuk Lokasi Tempat Pembuangan Sampah Di Desa Kopi, Bone Bolango
Fakultas MIPA Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
15 Agus Mirwan Studi Awal Pemanfaatan Air Asam Tambang Batubara Sebagai Koagulan Air Sungai Martapura
Wicakso Pemurnian Etanol Dengan Proses Adsorbsi Menggunakan Fly Ash Batubara Teraktivasi 17 Isna Syauqiah Tinjauan Pengelolaan Lubang
Bekas Galian Tambang Sebagai
18 Rudi Siswanto Pemanfaatan Rongsokan
Assalamu‟alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillahi robbil „alamin. Segala puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah S.W.T., Tuhan yang Maha Esa, atas segala limpahan karunia-Nya kepada kita semua yang berupa kesehatan dan kesempatan untuk saling bertemu, bertukar ilmu, dan berdiskusi dalam kegiatan Seminar Nasional “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” yang dilaksanakan oleh Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat pada tanggal 30 Juli 2011 di Aula Kantor DPRD Kota Banjarbaru Propinsi Kalimantan Selatan.
Seminar Nasional dengan tema “Inovasi dan Aplikasi Teknologi Pertambangan untuk Negeri” , bertujuan untuk menghimpun inovasi dan aplikasi teknologi dibidang pertambangan untuk mendukung pertambangan yang berkelanjutan dan bewawasan lingkungan serta menyampaikan informasi teknologi hasil penelitian dan pengkajian atau inovasi teknologi baru antara peneliti, praktisi, pengawas pertambangan dan penentu kebijakan.
Prosiding ini disusun untuk mendokumentasikan dan mengkomunikasikan hasil seminar nasional tersebut yang terangkum dalam makalah-makalah yang disajikan dalam seminar. Pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada para penyaji dan penulis makalah, Tim reviewer dan Tim editor serta seluruh panitia pelaksana yang telah bekerja keras sehingga prosiding ini dapat diterbitkan. Mudah-mudahan prosiding ini bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan, utamanya akademisi, praktisi dan pengambil kebijakan pada bidang Pertambangan serta dapat bermanfaat bagi pembangunan bangsa Indonesia.
Wassalamu‟alaikum Wr. Wb
Banjarbaru, 30 Juli 2011
DAFTAR ISI
halaman
Kata Pengantar ... iii
Daftar isi ... iv
Daftar Lampiran ... vi
Asbestos particle dispersion in the atmosphere from closed down mine sites
(Changwoo Lee, Sewon Kil, Dooyoung Kim) ... 1
Aplikasi Pemodelan Kedepan 3D Ground Penetrating Radar (GPR) Untuk Eksplorasi Batubara
(Eddy Ibrahim) ... 20
Kajian Air Danau Pertambangan Untuk Air Baku
(H. Rusdi, H.A, Nurhakim) ... 30
The Study On Blasting Effect With Pre-Assessment Borehole Status By Inserting Real Time Borehole Endoscope Verification
(D.W. Kang, W.H. Hur) ... 45
Strategi Pengembangan Industri Besi/ Baja Hulu Nasional Berbasis Bahan Baku Lokal
(Nurul Taufiqu Rochman) ... 57
Review Of Gas Diffusivity In Coal: Part 1, Preliminary Characterisation And Novel High Pressure Multi-Component Diffusion Cell
(M. Elma, P. Massarotto, dan V. Rudolph) ... 75
Hydrothermal Alteration Associated with the Baturappe
Epithermal Silver-Base Metal Deposit, South Sulawesi, Indonesia: Mineralogy, Zoning, and Exploration Implications
(Irzal Nur, Arifudin Idrus, Subagyo Pramumijoyo,
Agung Harijoko, Sufriadin) ... 94
Aplikasi Probabilistik Untuk Analisis Kestabilan Lereng Tunggal Menggunakan Metode Bishop (Studi kasus di PT. Tambang Batubara Bukit Asam tbk. Tanjung Enim, Sumatera Selatan)
(Masagus Ahmad Azizi, Suseno Kramadibrata, Ridho K.Wattimen,
Estimasi Distribusi Ukuran Fragmen Batuan Hasil Peledakan Menggunakan Perhitungan Split-Desktop
(Nurkhamim, Hafiez Asnawi) ... 123
Optimalisasi sumberdaya dan teknologi dalam peningkatan pembangunan Di kawasan Timur Indonesia
(Nurhakim) ... 134
Prespektif Teknik Dan Ekologi Pembangunan Mega Proyek Pabrik Baja Krakatau Steel Di Batulicin Tanah Bumbu Kalimantan Selatan
(Adip Mustopa, Riswan) ... 144
Biaya Pertambangan Batubara Di Indonesia
(Riswan, Adip Mustopa) ... 160
Perhitungan Sumberdaya Potensi Bahan Galian Bijih Besi di Bukit Batu Hitam, Kec. Menthobi Raya dan Kec. Sematu Jaya, Kab. Lamandau, Kalimantan Tengah
(Uyu Saismana) ... 177
Analisa Batuan Bawah Permukaan Untuk Lokasi Tempat Pembuangan Sampah Di Desa Kopi, Bone Bolango
(Ibrahim Sota, Ahmad Zainuri) ... 197
Studi Awal Pemanfaatan Air Asam Tambang Batubara Sebagai Koagulan Air Sungai Martapura
(Agus Mirwan, Reni Indrawati) ... 211
Pemurnian Etanol Dengan Proses Adsorbsi Menggunakan Fly Ash Batubara Teraktivasi
(Doni Rahmat Wicakso, Aliyah Ervina Astuti) ... 219
Tinjauan Pengelolaan Lubang Bekas Galian Tambang Sebagai Reservoar Air
(Isna Syauqiah) ... 227
Pemanfaatan Rongsokan (Scrap) Paduan Al-Mg Sebagai Bahan Baku Produk Pengecoran Logam Menggunakan Metode Pengecoran Tuang
(Rudi Siswanto) ... 241
1
ASBESTOS PARTICLE DISPERSION IN THE ATMOSPHERE
FROM CLOSED DOWN MINE SITES
Changwoo Lee, Sewon Kil, Dooyoung Kim
Department of Energy and Mineral Resources Engineering Dong-A University
840 Hadan-dong, Saha-gu Busan, 604-714, Korea Phone : 051-200-7769
Fax : 051-200-7771 E-mail : cwlee@dau.ac.kr
ABSTRACT
Although all asbestos mines in Korea were closed years ago,
asbestos-containing rocks such as Serpentine near mine portals and crushing sites have
been exposed to weathering. In some cases those rocks were fragmented and
used for improving the soil quality in the farms. Asbestos fibers liberated from
the various sources now create concerns for environmental contamination,
particularly soil contamination through atmospheric dispersion over an extended
area. Application of the soil contamination remedy measures has been
considered as the solution.
This paper aims at predicting the distribution of asbestos soil pollution and
defining the area requiring remediation. Two stages of the study were carried
out; (1) particulate re-entrainment study in the wind tunnel and (2) atmospheric
contaminant transport simulation.
The planetary boundary layer was created to mimic the surface boundary
layer in which the settled particulates are re-entrained into the air stream. Since
turbulent intensity is known to be the most critical parameter to determine the
re-entrainment, it was controlled during the experiments. Also the effect of the
moisture content in soil samples was studied. The maximum strength of the
dispersion sources defined as grams across unit area per unit time was derived for the subsequent atmospheric transport simulation study. ISCST3, the US EPA’s regulatory model, was applied to predict the short-term as well as long-term
transport and settling amount. Meteorological and topographic data at the study
site were used for the analysis. The final outcome will be used for determining
the specific areas for soil treatment.
Keywords : Asbestos fiber; atmospheric dispersion; turbulence intensity;
2
1. INTRODUCTION
There were 36 asbestos mines in the southern part of Korea peninsula and in
2011 none of those mines is in operation. Most of them had been deserted and
systematic restoration project hade been applied only to few mines. At most of
the mines in the past, crushing and manufacturing facilities were built near the
mine portals and asbestos fiber-rich dust is believed to be generated, dispersed and
deposited on the nearby soil for quite some time. Fortunately, there has been no
concrete data showing the risk of asbestos particles either in the soil or in the air.
However, we have seen a rise in the awareness of environmental issues associated
with the mined areas and among them asbestos dust topped the list. Now, in
order to prevent the possible risk of human exposure, the government agencies are
working together with the academic community to identify the problem status and
plan the necessary restoration works.
This paper aims at studying the possibility of asbestos dust contained in the
soil near the closed down mine portals and ultimately specifying the region that
requires extensive restoration work. Wind tunnel was set up to simulate the
dynamics within the planetary boundary layer and a series of experiments have
been carried out to analyze the possibility of re-entrainment of asbestos fibers.
Asbestos dust re-entrained in the atmosphere will travel long distance and its
dispersion was simulated using an US EPA atmospheric dispersion model. The
simulated results based on the source strength gained from the wind tunnel
experiments show the amount of dust settled on the soil and the concentration in
the air.
2. DEFINITION AND REGULATIONS OF THE ASBESTOS FIBERS
Asbestos is defined as a commercial term applied to the asbestiform
varieties of six minerals; one Serpentine mineral Chrysotile, and five Amphibole
minerals, Amosite, Crocidolite, Anthophyllite, Tremolite and Actinolite. Fibers
3 Fibers are very thin, usually less than 0.5μm in diameter. In the meantime, fibers of airborne asbestos is defined by US EPA as fibers with the length longer than
0.5μm and the aspect ratio minimum 5:1, while OSHA’s definition is a little bit different with the aspect ratio greater than 3:1.
It is known that there are differences in human risk among these minerals;
Crocidolite is the most risky and Chrysotile is the least. Since Asbestos fibers
have relatively sharp shapes and are hardly soluble in the respiratory tract,
asbestos particles can cause numerous diseases such as lung cancer, Mesothelioma,
Asbestosis, Pleural diseases and so on.
In Korea, the threshold limit of asbestos fibers in the indoor air quality
regulated by the government agencies is 0.01fibers/ml. It was not until there
were reports of danger of human risk among the people, particularly residents
near the closed down mines portals that the asbestos fibers re-entrained in the
atmosphere from the mine area has caught the attention of everybody. Thus,
more strict atmospheric preservation standard for the airborne asbestos dust will
be soon formulated or revised aiming at the industries emitting asbestos into the
atmosphere.
3. RE-ENTRAINMENT STUDY
The study sites in this paper are three closed down asbestos mines located in
Seolakmyeon, Gapyong County, Gyeonggi-do, occupying a total area of 141km2.
Asbestos-containing rock is Serpentine formed in the deposit by thermal
processing. Since all three mines were closed down decades ago, nearby regions
are developed either as residential area or farmland. Asbestos-containing rock
abandoned near the portals has been weathered and has high potential to throw
asbestos fibers into the air. In addition, fine particulates generated by the
asbestos milling processes were often mixed with soil and used in farmland.
Figure 1 shows a typical SEM image of Chrysotile fibers found at the site
4 in Figure 2. Three mine portals located along a stream are approximately 0.8
~1.4km.
Figure 1. SEM Image of Chrysotile Fibers Sampled at the Study Site
a. Satellite Picture b. Topographic Map
Figure 2. Study Site Map and Topography
3.1 Soil Particle Size Distribution
In May 2010, 30 soil samples were sampled near the portals and along a
stream. Among them, one sample from the zone with higher contamination
5 experiment. Zones at the study site were divided by the results of a previous
preliminary study of soil contamination.
Sieving test for particles coarser than 100μm and Andreasen Pipette employing Stoke’s law for finer particles were applied for the analysis of all sizes. Its purpose was to quantify the weight of particles by size dispersed during the
wind tunnel experiment. No. 20, 30, 40, 60, 100, 170 sieves were used on the
basis of KS2309 Korean Test Standard, and Figure 3 shows cumulative size
distributions of a sample; two from the sieve test and Andreasen Pipette method,
respectively and the final combined distribution. The soil sample described in
Figure 3 was obtained from farmland and its size analysis shows particles less
than 500μm accounts for approximately 50%; minus 100μm, 1% and minus 10μm, 0.3%, respectively. The other two samples also show similar size characteristics.
a. by Sieving b. by Andreasen Pipette c. Complete Size
Distribution Figure 3. Cumulative Size Distribution of a Soil Sample
3.2 Wind Tunnel Dispersion Test
A wind tunnel can be designed to simulate the particle dispersion
phenomenon inside the planetary boundary layer. The planetary boundary layer
(PBL), also called as the atmospheric boundary layer (ABL), is the lowest layer of
6 is not constant. One of the characteristic of PBL is that wind is turbulent and
gusty within the PBL. Surface friction from vegetation and topography causes
turbulent eddies and chaotic wind patterns to develop, while above the PBL, the
wind speed is much more uniform and stronger due to a marked decrease in
friction.
The parameters governing particle dispersion in the PBL are known to be
wind speed and turbulent intensity, while separation of a particle from pile is
driven by the force acting on the pile surface through pressure fluctuation.
Pressure fluctuation increases with eddies and separation and is closely related to
the turbulent intensity (Ogawa et al., 1991).
3.2.1 Description of Wind Tunnel
The wind tunnel for dispersion test of the particles in soil samples is
designed to generate wind speed less than 15m/s which was the maximum instant
speed observed over the past 5-years, and simulate the dynamics of the PBL.
Figure 4 shows the 15m long wind tunnel and its cross section. An
inverter-controlled centrifugal fan and a water scrubber for eliminating the dispersed
particles at the discharge point are attached.
Figure 4. Schematic of The Wind Tunnel Layout
Floor mat, fence and vortex generator are installed in the 4.43m long middle
section of the tunnel to simulate the PBL as shown in Figure 5. These increase
surface friction and develop a boundary layer which has profiles of the vertical
velocity and the turbulent intensity similar those within the PBL. Turbulence
7 flow of air with absolutely no fluctuations in air speed or direction would have a
Turbulence Intensity value of 0%.
Turbulence Intensity (T.I.) is defined in the following equation(1):
T.I. = u’/U u’ = the Root-Mean-Square (RMS), or Standard Deviation, of the turbulent
velocity fluctuations at a particular location over a specified period of time U = the average of the velocity at the same location over same time period
Figure 5. Schematic of The PBL Simulator
3.2.2 Velocity and Turbulence Intensity Profiles in the Wind Tunnel
Four different wind speeds were generated in the wind tunnel; 3, 7, 10 and
14.5m/s. Figure 6 shows cross-sectional velocity variation with height without
and with the PBL simulator. The thickness of the PBL seems to be 12~14cm and
the velocity in it varies from 1.5 to 4m/s, much less than the range of 3~13.5m/s
measured above the PBL. The PBL thickness clearly decreases with increasing
wind velocity. Velocities were measured by Pitot tubes and hot-wire
8
a. Without the PBL Simulator b. With the PBL Simulator
Figure 6. Velocity Profiles without and with the PBL Simulator
Typical values of turbulence intensity measured within the PBL with the
velocity range similar to that in this study is reported to be 8~10% by
Barthelmie(1999). This was very well simulated within the wind tunnel as
shown in Figure 7; the simulated values were in the range of 4 to 14 %. The
lateral and vertical fluctuations of the wind speed at a single location were
assumed to be ignorable and only the axial component was taken into account to
calculate the turbulence intensity.
a. Measured by fixed hot-wire anemometer b. Measured with Pitot tube
9 3.2.3 Dust Dispersion Experiments
Approximately 1500 grams of the soil samples collected from the study site
were prepared in a sample container in the shape of a rectangular parallelopiped,
45cm long, 21cm wide and 2cm high. The container was placed on the tunnel
floor within the PBL simulator section, and the top surface of container had been
adjusted to the floor level during the dispersion experiment. A load cell was
placed under the container and measured the weight change of the container.
The subsequent weight changes in the container were interpreted as the amount of
dust dispersed in to the wind tunnel. The wind speeds were 3.3, 6.6, 9.8 and
13.3m/s and the total dispersion times of individual dispersion experiments ranged
from 10 to 30minutes depending on the wind speed.
Dispersion rates of the three samples expressed in terms of g/m2 hr were in
the range of 3.3 to 109.9. To derive the dispersion rate in each size interval, the
size distributions after the dispersion experiments were carried out by the identical
methods applied to the previous size analysis works. Figure 8 describes the two
size distributions obtained before and after the dispersion experiments for the
wind speed of 13.3m/s.
a. Sample A b. Sample B c. Sample C
Figure 8. Size Distributions before and after The Dispersion Experiments with the wind Speed of 13.3m/s
10 suspended particles in the atmosphere is 100μm, the amount of dust dispersed from the sample container was calculated with the weight differences in the size
range under 100μm. Table 1 shows the results and Figure 9 shows its summary. Dispersion rates of the fine particles of the three samples ranges from 0.2 to
6.1g/m2 hr.
Table 1. Dispersion Rates of Fine Particles under 100μm (Sample A) Wind Speed
(m/s)
Total Dispersion Weight (g)
Rate of Dispersion (g/m2 hr)
3.3 7 0.2
6.6 41 1.0
9.8 66 3.8
13.3 104 6.1
Figure 9. Changes in the Size Distributions by Dispersion Experiments
The effects of moisture content in soil were also tested by adjusting the
water contents to 0, 5 and 10%. The tests were performed in outside
environment with constant temperature and humidity in order to avoid the
influences of other variables. As shown in Figure 10, the results indicate soil
particles with higher water content are hard to be dispersed and fine particles in
the dry soil show a 4.5times higher dispersion rate compared with the case with
11
a. TSP b. Fine particles less than 100μm
Figure 10. Changes in the Dispersion Rate with the Moisture Content in Soil
3.3 The Results – Contamination Source Strength
Since a series of qualitative preliminary study with polarization microscope
shows the Asbestos concentrations in terms of the number, individual asbestos
fibers have to be characterized to convert them to the gravimetric concentration.
Identification of the mass of individual fiber can allow us to calculate the
dispersion weight of Asbestos fibers in the fine particle size range. A series of
SEM analysis were done to obtain the aspect ratio of fiber, the ratio of length to
diameter. Figure 11 shows the SEM images of Asbestos fibers, while Figure 12
includes distribution of fiber diameter and length. The average value of fiber
12
a. (x 500) b. (x 5000)
Figure 11. SEM Images of Asbestos Fibers
a. Length Distribution b. Diameter Distribution
Figure 12. Histograms of the Length and Diameter of Asbestos Fibers
Assuming the specific weight of Asbestos is 3, the average mass of Asbestos
fiber with the length of 17.5μm and the diameter of 1.5μm can be calculated to be 5.45E-23g/m2 s. Table 2 shows the dispersion rate of Asbestos fibers in the
13 samples were provided by the preliminary analysis with polarization microscope.
Therefore, the Asbestos fiber dispersion rates which is subsequently used as the
source strength in the following atmospheric dispersion simulation range from
1.46E-25 to 2.21E-23g/m2 s.
Table 2. Dispersion Rate of Asbestos Particles at the Study Site
Asbestos Concentration (% by number)
Contamination Source Strength (g/m2 s)
Sample containing 0.75%
Asbestos 1.46E-25
Sample containing 3%
Asbestos 2.21E-23
4. ATMOSPHERIC DISPERSION SIMULATION
A series of 3D atmospheric dispersion simulation using US EPA model
ISCLT3 were performed to estimate the short-term as well as long-term dispersion
of Asbestos particles. The simulation study can provide the Asbestos
concentration in the air and soil. All the topographical data such as Transverse
Mercator Coordinates and elevations were employed, while the past weather data
were obtained from the nearby meteorological observation station. Precipitation
data were used to estimate the moisture content in the soil and subsequently the
contamination source strength which has the moisture-dependent characteristics
shown in Figure 10. The size of contamination source was assumed to 30x30m2
which approximates the exposed area near the mine portals.
Figure 13 summarizes the distribution of wind direction and speed observed
at the nearby monitoring station in 2008. This was used for the simulation
14
a. Wind Direction b. Wind Speed
Figure 13. Annual Distribution of Wind Direction and Speed
4.1 Annual Deposition of Asbestos Particles
The first simulation analysis aims at estimating the average concentration
in the air and the deposition amount of Asbestos particles per year from all three
contamination sources. Figure 14 summarizes the simulation results, while the
values in contour maps for the airborne dust concentration and soil deposition rate
are in μg/m3 and g/m2, respectively and have to be multiplied by 10-18.
The regions within 260m, 300m, 280m from Portal A, B and C show the
deposition rate higher than 1 X 10-21g/m2 and these values are significantly less
than 0.4g/m2 at the depth of 2.5cm, NEN 5707 (Netherlands Standard for Asbestos
content). In the meantime, the Asbestos concentration in the air was not serious
at all since the concentrations within the air, 210m, 280m and 200m from the
portals are well below 5.45 x 10-14μg/m3 the converted TLV of NEN 5707.
15
a. Concentration in the Air b. Deposition Rate on the Surface
Figure 14. Annual Concentration in the Air and Deposition Rate of Asbestos Particles
4.2 Seasonal Deposition of Asbestos Particles from Three Closed Down Mine Portals
The seasonal variation of simulation results was also analyzed. Figure 15
describes the soil contamination rate by season. The results only for summer
with stronger wind and spring with lower humidity are included in the figure.
In summer, the regions within 300m, 290m and 240m from three mine
portals show deposition rate higher than 2.5x10-21g/m2, while less amount of Asbestos particles is shown to be deposited in spring. Regardless of the seasonal
variation, the soil in all the regions does not seem to be affected seriously by
16
a. In Summer b. In Spring
Figure 15. Seasonal Variation of Deposition Rate of Asbestos Particles
4.3 Deposition of Asbestos Particles for the Five-year Period from Three Closed
Down Mine Portals
A longer-term simulation was done for 5-years. All the scenario data were
identical to those in the previous simulations. Figure 16 illustrates the results;
the estimated deposition rate within the distance of approximately 400m from
three portals was 1.5x10-19g/m2, considerably less than NEN 5707, 0.4g/m2 at the depth of 2.5cm.
17 4.4 Deposition of Asbestos Particles under the Worst Scenario-All Three Mines
in Operation
Scenarios for the worst case would be the cases when three mines are
assumed to be in operation. These scenarios will provide information about the
soil contamination from three mines in the past. For the worst cases, all the fine
particles dispersed are assumed to be Asbestos fibers; the contamination strength
of 1.69x 10-3g/m2 s. The simulation results for 5-years period from the worst scenario are summarized in Figure 17. Within the distance, 300~320m from the
portals, the deposition rates are higher than NEN 5707 and indicate that soil in the
vicinity of portals had been contaminated in the past for a quite long period
through the atmospheric dispersion.
Figure 17. Deposition Rate of Asbestos Particles for 5-years Period
5. CONCLUSIONS
This paper aims at analyzing the possibility of human risk created by the
atmospheric dispersion of Asbestos particles from closed down mines. A wind
tunnel was used to simulate the dynamics within the planetary boundary layer
near the earth surface and the strength of Asbestos contamination source was
18 the regions near the mine portals contaminated by Asbestos particles carried by
the air.
The results can be summarized as follows:
(1) The PBL can be well created in the wind tunnel through characterizing the
vertical profiles of wind speed and turbulence intensity.
(2) The turbulence intensity, the governing variable for particle re-entrainment,
ranged from 4 to 14% in the wind tunnel, compared to those of 8~10% in
the PBL.
(3) With the wind speed less than 15m/s, the dispersion rate of fine particles
less than 100μm was in the range of 5.5x10-5 and 1.69x10-3 g/s m2.
(4) Asbestos fibers in the study site have the mean length of 17.5μm and the mean diameter of 1.5μm. Based on this aspect ratio, the Asbestos fiber dispersion rates range from 1.46E-25 to 2.21E-23 g/m2 s.
(5) The simulation results shows that after several decades since mines were
closed down, none of the regions near the mine portals was found to be
contaminated by Asbestos. However, another simulation with the scenario
of three mines in operation clearly indicates that the area within
approximately 300m from the portals would have been seriously
contaminated by the dispersed Asbestos particles.
(6) At present, in the vicinity of mine portals, there is no possibility of human
risk created by Asbestos. This is found to be true at least in the study site
of this paper.
6. ACKNOWLEDGMENTS
The authors gratefully acknowledge MIRECO (Mine Reclamation
Corporation) for providing financial support and necessary resources that have
19
7. REFERENCES
S.Y. Yoo, W.S. Shim and S.C. Kim, 2005. A Study on the Pollutant Dispersion over a Mountain Valley Region (Ⅰ) : Wind Tunnel Experiments. Journal of Society of Air-Conditioning and Refrigerating Engineers of Korea, vol.17, no.11, pp. 1050~1059.
J.G. Jhun, 1995. Characteristics of Turbulence Intensity in the Surface Layer for the Various Static Stabilities in South Korea. Journal of The Korean Meteorological Society, vol.31, no.2, pp. 169~185.
Ogawa, T., Nakayama, M., Murayama, S. and Sasaki, Y., 1991. Characteristics of Wind Pressure on Basic Structures with Curved Surfaces and Their Responses in Turbulent Flow. Journal of Fluid Mechanics, vol. 38, pp. 427~438.
J.G. Kim, K.H. Choi, S.J. Oh, Y.J. Chung, D.G. Kang and J.C. Lee, 1994. Classification of the Length of Ceramic Fibers by Settling Process. Journal of The Korean Ceramic Society, vol.3, no.2, pp. 161~170.
R. J. Barthelmie , 1999, Monitoring Offshore Wind and Turbulence Caracteristics
in Denmark, BWEA
T. Allen, 1997. Particle Size Measurement, fifth ed. Chapman, London, pp. 33~36.
C.K. Bong, S.D. Kim and H.K. Lee, 2000. The Effect of Similarity Condition for the Test Results in a Wind Tunnel Test. Journal of Korean Society for Atmospheric Environment, vol.16, no.4, pp. 351~361.
20
APLIKASI PEMODELAN KEDEPAN 3D
GROUND
PENETRATING RADAR
(GPR) UNTUK EKSPLORASI
BATUBARA
Eddy Ibrahim1
1
Jurusan Teknik Pertambangan, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya, Kota Inderalaya, Indonesia
eddy_ibrahim@yahoo.com
ABSTRAK
Pemodelan forward modeling 3D dengan melakukan variasi orientasi antena dengan arah dari bidang-bidang pecah dibuat kearah y dan arah polarisasi medan listrik dari antena sejajar dengan bidang-bidang pecah memperlihatkan batas batubara dengan lempung secara vertikal lebih tegas sedangkan jika arah dari bidang-bidang pecah dibuat kearah y dan arah polarisasi medan listrik dari antena tegak lurus dengan bidang-bidang pecah dapat memperlihatkan bidang-bidang pecah batubara secara lateral lebih tegas. Implementasi dilapangan antara hasil pengukuran lapangan telah sesuai dengan hasil pemodelan. Untuk kasus pemodelan batubara dan lempung fenomena ring down akan selalu ada dalam akuisisi data dikarenakan secara fisik batubara berlapis-lapis dan mempunyai bidang-bidang pecah secara tidak beraturan.
Kata kunci : Forward modeling 3D, orientasi antena, batubara dan lempung, bidang
21
1. PENDAHULUAN
Permasalahan dengan penggunaan variasi orientasi antena berkaitan dengan
munculnya fenomena ring down yang muncul di radargram terukur. Ring down
merupakan suatu fenomena yang ditimbulkan akibat adanya impedansi yang tidak
tepat antara antena (transmitter dan receiver) dan batubara. Polanya di radargram
terukur sangat mengganggu pada saat interpretasi. Kenampakannya hampir mirip
dengan lapisan-lapisan dengan intensitas medannya cukup kuat. Berkaitan dengan
timbulnya pola tersebut maka pemodelan kedepan 3D perlu dilakukan. Model 3D
dibuat untuk melihat pengaruh variasi arah antena (polarisasi) terhadap variasi arah
bidang-bidang pecah di batubara. Arah dari bidang-bidang pecah ditentukan sejajar
dan tegak lurus terhadap arah polarisasi dari antena dipole listrik. Untuk
bidang-bidang pecah yang dibuat dalam model 3D tersebut diisi dengan air.
Pemodelan 3D juga untuk mengkaji signature batubara pada radargram yang
tidak mudah dikenali dan untuk membuktikan apakah ada kesesuaian antara hasil
pemodelan dengan hasil pengukuran lapangan berdasarkan penggunaan variasi
orientasi antena. Pemodelan ini dapat digunakan untuk optimalisasi parameter
pengukuran di lapangan (orientasi antena dan frekuensi antena). Sehingga untuk
reduksi efek yang ditimbulkan dalam radargram hasil pengukuran dapat lebih
mudah. Pemodelan kedepan 3D untuk batubara dan lingkungannya menggunakan
program simulator Reflexwtmversi 3.05.
2. METODE
Tipe antena yang digunakan dalam pemodelan diasumsikan menghasilkan
orientasi polarisasi medan listrik linear tegak lurus terhadap arah perambatannya (k)
22 Gambar 1. Hubungan antara E , H , k
Sesuai dengan teori, transversalitas hubungan antara E dan H diperoleh dari
persamaan Maxwell, .E 0 maka diperoleh k E. 0 yang berarti k E. Dari
seperti diperlihatkan oleh gambar 1 (Jackson, 1975) :
Berdasarkan gambar 1, untuk gelombang yang merambat kearah x positif,
komponen medan listrik E dan komponen medan magnet H saling tegak lurus,
tegak lurus terhadap arah perambatan kˆ , dan selalu sefase pada setiap titik dengan
perbandingan magnitude : E v
medium. Karena v0, maupun , maka gelombang elektromagnetik tidak mungkin
hanya terdiri dari E atau H saja ( Jackson, 1975).
Pemodelan ini dilakukan karena pada pengukuran GPR skala lapangan pada
lapisan batubara terdapat banyak bidang-bidang pecah baik yang paralel maupun
tegak lurus terhadap bidang-bidang perlapisan batubara. Untuk posisi dari geometri
batubara dan lapisan lempung yang dimodelkan sesuai dengan lapangan. Dalam
23 lempung terletak dibawahnya. Sedangkan arah dari bidang-bidang pecah dibuat
kearah y dan arah polarisasi medan listrik dari antena sejajar dengan bidang-bidang
pecah (gambar 2).
Gambar 2. Gambaran arah polarisasi (arah y) dan arah perambatan medan Listrik (arah x) pada batubara (dengan bidang-bidang pecah ke arah y)
Dari kedudukan antena seperti gambar 2 dengan asumsi bidang-bidang pecah
dari batubara kearah sumbu y maka medan listrik akan tereksitasi (amplitudo
gelombang mengecil akibat teratenuasi oleh air yang mengisi bidang- bidang pecah).
Untuk pemodelan lapisan batubara terletak dipermukaan sedangkan lapisan lempung
terletak dibawahnya dan arah dari bidang-bidang pecah dibuat kearah y dan arah
polarisasi medan listrik dari antena tegak lurus dengan bidang-bidang pecah dapat
dilihat pada gambar 3.
24 Untuk kedudukan antena seperti gambar 3 dengan asumsi bidang-bidang pecah
dari batubara kearah sumbu y maka medan listrik tereksitasi (amplitudo gelombang
mengecil akibat energinya habis terpantulkan oleh bidang-bidang pecah dan
kandungan air yang mengisi bidang-bidang pecah).
3. HASIL
Untuk model 3D, panjang batubara kearah x = 3 m sedangkan lebarnya kearah
y = 4 m. Tebal batubara yaitu 0.6 m sedangkan tebal lempung yaitu 0.4 m. Pada
batubara terdapat bidang-bidang pecah berisi air dengan dimensi 0.1 m. Permitivitas
relatif batubara yaitu 5.86 sedangkan permitivitas relatif lempung yaitu 16.
Permitivitas air digunakan 80.0. Gambaran model batubara beserta bidang-bidang
pecah dan lapisan lempung dibawahnya dapat dilihat pada gambar 4.
G
Gambar 4. Model Batubara Beserta Bidang-bidang Pecah Dan lapisan Lempung dibawahnya
Untuk arah polarisasi listrik kearah y (sejajar dengan bidang-bidang pecah)
dengan dimensi dari model seperti gambar 4 maka hasil dari penggunaan program
25 Gambar 5 : Hasil simulasi terhadap gambaran model batubara beserta bidang- bidang pecah dan lapisan lempung dibawahnya dari gambar 4 (arah polarisasi ke Y)
Posisi lapisan batubara pada jendela waktu antara 0.6 ns sampai dengan 14.0
ns. Nilai intensitas dari batubara warna ungu sedangkan bidang-bidang pecah
berwarna biru tua. Medan listrik dalam pemodelan ini akan tereksitasi (amplitudo
gelombang mengecil akibat teratenuasi oleh air yang mengisi bidang-bidang pecah)
dan juga tidak terjadi kontras antara air yang mengisi bidang pecah dengan batubara.
Pemodelan dengan cara ini akan memperlihatkan batas batubara dengan lempung
secara vertikal lebih tegas.
Untuk arah polarisasi listrik kearah x (tegak lurus bidang-bidang pecah) dengan
dimensi dari model seperti gambar 4 maka hasil dari penggunaan program simulator
26 Gambar 6 : Hasil simulasi terhadap gambaran model batubara beserta bidang- bidang pecah dan lapisan lempung dibawahnya dari gambar 4 (arah polarisasi ke X)
Posisi lapisan batubara pada jendela waktu antara 0.6 ns sampai dengan 14.0
ns. Nilai intensitas dari batubara warna ungu sedangkan bidang-bidang pecah
berwarna biru tua. Medan listrik dalam pemodelan ini kurang tereksitasi (amplitudo
gelombang besar karena tidak teratenuasi oleh air yang mengisi bidang-bidang
pecah) dan juga terjadi kontras antara air yang mengisi bidang pecah dengan
batubara. Sehingga pemodelan dengan cara penempatan antena dengan model
batubara dan lempung tersebut akan dapat memperlihatkan bidang-bidang pecah
batubara secara lateral lebih tegas.
Sebagai perbandingan hasil pengukuran lapangan diterapkan pada model fisik
batubara seperti gambar 7 menunjukkan kesesuaiannya terhadap kedua hasil model
27 Gambar 7. Foto fisik singkapan batubara yang diukur
Adapun kedua radargram hasil pengukuran untuk kedua cara diatas dapat
dilihat pada gambar 8a dan 8b.
28
4. KESIMPULAN
Pemodelan 3D dengan forward modeling dengan melakukan variasi orientasi
antena dengan objek target batubara dan lempung dimana batubara dibuat adanya
bidang-bidang pecah telah menunjukkan hasil yang berbeda. Perolehan dari hasil
pemodelan untuk kedua kasus 3 D secara umum dapat memberikan informasi posisi
batas batubara dan lempung secara tegas berdasarkan signature nya (bentuk
gelombang) untuk kasus dimana orientasi antena adalah sejajar bidang pecah
batubara sedangkan untuk kasus dimana orientasi antena tegak lurus bidang pecah
akan lebih mempejelas posisi dan orientasi bidang pecah. Secara lapangan hasil
pengukuran lapangan telah sesuai dengan hasil pemodelan. Untuk kasus pemodelan
batubara dan lempung fenomena ring down akan selalu ada dalam akuisisi data
dikarenakan secara fisik batubara berlapis-lapis dan mempunyai bidang-bidang
pecah secara tidak beraturan.
5. UCAPAN TERIMA KASIH
Kerja yang telah dilakukan ini dibantu oleh Laboratorium Fisika Bumi ITB dan
Laboratorium Eksplorasi dan Hidrologi Jurusan Teknik Pertambangan Fakultas
Teknik Universitas Sriwijaya. Saya mengucapkan terimakasih kepada Dekan
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya, Rektor Universitas Sriwijaya Atas bantuan
keuangan untuk dapat menghadiri dan Mempresentasikan Tulisan ini dalam Seminar
Nasional. Khusus kepada Ir. Syaiful Islam, Gunawan Handayani, MSCE, Ph.D, DR.
Bagus Endar NH atas masukan- masukannya, DR. Surono, Muslim Nugraha, Ssi,
Karlan Ssi, Yonathan Ssi, Erlan Dan seluruh yang membantu dalam penyelesaian
29
6. DAFTAR PUSTAKA
Annan A, P, (2001) Ground penetrating radar, workshop notes, sensors & software, Ontario, Canada.
Engheta N. and Papas C.H, (1982) Radiation patterns of interfacial dipole antenna, Radio science 17, 1557-1566.
Giannopoulos. A. , (2003) GPRMAX2D/3D user’s manual version 1.5, University of
Edinburgh, School of engineering and electronics, institute for infrastructure and environment, Crew building, The King’s buildings, Edinburgh, EH9 3JN, Scotland.
Ibrahim E, and Hendrajaya. L and Handayani. G and Fauzi. U and Islam.S. (2003a), Determination study of coal seams thickness by using GPR method and presented a oral presentation at Joint Convention Jakarta 2003, The 32nd IAGI and the 28th HAGI annual convention and exhibition, Proceedings, 2003
Ibrahim, E., and Hendrajaya. L and Fauzi. U and Handayani. G and Islam. S. (2004c), Determination of geometry and bedding plane orientation in coal seam use of GPR method and presented a poster presentation in session T08.04, “Magnetotellurics” at 32nd International Geological Congress, Florence, Italy, Expanded abstract, August, 27, 2004.
Ibrahim, E., (2005) Studi penggunaan GPR multi konfigurasi pada tahap eksploitasi batubara (studi kasus pada tambang batubara Bukit Asam, Tanjung Enim, Sumatera Selatan), Disertasi Doktor (S 3), Program Studi Fisika, FMIPA, ITB (tidak dipublikasikan).
Interpex, (1996), The definitive solution for Ground Penetrating Radar processing and interpretation. GRADIX software ver. 1, Colorado.
K.J. Sandmeir,(2004), REFLEXW- The 2D processing and 2D/3D interpretation software for GPR, reflection seismics and refraction seismics for windows 9?/2000/NT/XP, Sandmeier scientific software, Zipser strabe 1 D-76227 Karlsruhe, Germany.
Ramac/GPR, (1997), Software manual version 2.28. MALA, Geoscience.
30
KAJIAN AIR DANAU PERTAMBANGAN UNTUK AIR BAKU
H. Rusdi, H.A1, Nurhakim2
1
Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat Indonesia
2
Dosen Program Studi Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat Email : nurhakim@ft.unlam.ac.id
ABSTRAK
Lubang-lubang itu berpotensi menimbulkan dampak lingkungan jangka panjang, terutama berkaitan dengan kualitas dan kuantitas air. Air asam tambang mengandung logam-logam berat berpotensi menimbulkan dampak lingkungan dalam jangka panjang, sehinggga salah satu permasalahan adalah bagaimana memanfaatkan air danau tambang tersebut. Industri pertambangan menghasilkan dan membuang jutaan meter kubik air setiap harinya bersumber dari air permukan dan air tanah. Air ini akan menjadi permasalahan pencemaran air di dalam dan di sekitar daerah pertambangan apabilah tidak dikeloladenganbaik karena pH 2-6, tetapi air ini juga akan bermanfat apabilah mutunya memenuhi standar mutu air baku (pH 7-9). Untuk menaikkan pH air asam tambang dilakukan proses pengapuran, yaitu mencampurkan antara kapur tohor dengan air asam tambang, sehingga menyebabkan pH air tambang menjadi naik sampai pada batas baku mutu air yang dapat digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Berdasarkan pengujian lapagan untuk menetralkan air sebanyak 1 m3 dari pH 2.78 menjadi pH 7 diperlukan kapur tohor sebanyak 0,7 kg. Dengan biaya pengolahan sebesar Rp. Rp. 444.4/m3maka sebenamya industri mampu untuk melakukannya, tinggal bagaimana kesadaran dari masyarakat industri terhadap lingkungan.
31
1. LATAR BELAKANG
Kegiatan pertambangan merupakan kegiatan usaha jangka panjang yang
kompleks dan sangat rumit, sarat risiko, melibatkan teknologi tinggi, padat modal,
dan aturan regulasi yang dikeluarkan dari beberapa sektor. Selain itu, kegiatan
pertambangan mempunyai daya ubah lingkungan yang besar, sehingga memerlukan
perencanaan total yang matang sejak tahap awal sampai pasca tambang. Industri
pertambangan pada pasca operasi akan meninggalkan banyak warisan yang memiliki
potensi bahaya dalam jangka panjang, antara lain; Lubang tambang (Pit), Air asam
tambang (Acid Mine Drainage) dan lain-lain.
Industri pertambangan di Indonesia Sebagian besar dilakukan dengan cara
terbuka. Ketika selesai beroperasi, perusahaan meninggalkan lubang-lubang raksasa
di bekas areal pertambangannya. Lubang-lubang itu berpotensi menimbulkan
dampak lingkungan jangka panjang, terutama berkaitan dengan kualitas dan
kuantitas air.
Air asam tambang mengandung logam-logam berat berpotensi menimbulkan
dampak lingkungan dalam jangka panjang. Ketika air asam tambang sudah terbentuk
maka akan sangat sulit untuk menghentikannya karena sifat alamiah dari reaksi yang
terjadi pada batuan mutu air tersebut tidak memenuhi syarat untuk dikonsumsi secara
langsung, sementara daerah tambang pada umumnya daerah yang berkekurangan,
khususnya sumberair bersih sehingga perlu inovasi dan teknologi untuk
memanfaatkan air danau pertambangan untuk air baku.
2. PERMASALAHAN
Apakah air danau dapat dimanfaatkan?
3. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan utama adalah meneliti/mengkaji usaha-usaha yang dapat dilakukan
untuk pengolahan air lubang pasca tambang (danau) untuk mengurai kandungan
32 mikroba patogen, dan senyawa organik yang tidak dapat diuraikan oleh
mikroorganisme yang terdapat di alam. Dengan usaha dan penanganan yang baik
maka diharapkan dampak negatif yang dikhawatirkan dapat diminimalisasi atau
bahkan dicegah sehingga kelestarian lingkungan tetap terjaga sehingga airdanau
tambang dapat dimanfaatkan sebagai sumber air baku.
4. KAJIAN PUSTAKA
Industri pertambangan menghasilkan dan membuang jutaan meter kubik air
setiap harinya bersumber dari air permukan dan air tanah. Air ini akan menjadi
permasalahan pencemaran air di dalam dan di sekitar daerah pertambangan apabilah
tidak dikeloladenganbaik karena pH 2-6, tetapi air ini juga akan bermanfat apabilah
mutunya memenuhi standar mutu air baku (pH 7-9).
Debit air permukaan yang masuk kedalam lubang bukaan tambang/danau
dalam kegiatan pertambangan dapat dihitung dengan persamaan rasional berikut:
Q = 0,278 x C x I x A
Dimana : Q = Debit rencana,(m3/det)
C = Koefisien material (Koeff. Limpasan)
I = Intensitas hujan rencana, mm/jam
A = Luas catchment area, ha
Perhitungan debit air tanah biasanya dilakukan pada kondisi pengontrolan air
tanah yang sulit di atasi. Persamaan Thiem sering digunakan untuk menghitung debit
air tanah yang dasar perhitungannya adalah pengurangan air dalam akuifer.
Asumsi-asumsi yang terlibat dalam persamaan ini adalah bahwa aliran air bersifat steady,
merata baik kearah horizontal maupun radial didalam akuifer, isotropis dan
walaupun terjadi penyebaran air kearah horizontal, tetapi tidak mengurangi penetrasi
terhadap sumur. Persamaan dibawah ini adalah persamaan Thiem.
33 Dimana :
Variable Keterangan MEINZER DARCY
Q Laju aliran gallon/menit ml/det
K Permeabilitas Meinzer Darcy
M Ketebalan penjenuhan
rata-rata dari akuifer yang diukur
S1 Penurunan air tanah pada titik
terdekat sumur pengamatan
feet Atm
S2 Penurunan air tanah pada titik
terjauh sumur pengamatan
feet Atm
a. Volume waduk
Volume waduk bekas galian tambang sangat bervariasi tergantung dari volume
lapisan tanah penutup, batuan penutup serta batubara atau mineral lainnya yang
dibuka atau ditambang hingga pada batas akhir penambangan dan menghasilkan
lubang bukaan yang terisi oleh air hujan atau air rembesan/airtanah sehingga lubang
bukaan tersebut akan menjadi waduk atau danau. Volume waduk ditentukan oleh
luas waduk beserta kedalaman air pada waduk tersebut.
34
Volume waduk = Luas waduk ((b’+ b)/2) x kedalaman air dalam waduk (h)
b. Curah Hujan
Curah hujan adalah jumlah air hujan yang jatuh pada satu satuan luas,
dinyatakan dalam milimeter.Curah hujan yang diperlukan untuk penyusunan
rancangan pemanfaatan air dan rancangan pengendalian banjir adalah curah hujan
rata-rata di seluruh daerah yang bersangkutan, bukan curah hujan pada suatu titik
tertentu.
Daerah Kalimantan Selatan termasuk daerah yang beriklim tropis, salah satu
wilayah perusahan pertambangan mempunyaicurah hujan bulanan maksimum 634,7
mm pada bulan Maret tahun 2008 dan curah hujan bulanan minimum mencapai 114
mm pada bulan Juni tahun 2008.
Tabel 1 Curah Hujan Maksimal Daerah Tambang xyz Periode 2004 - 2008
berlangsungtidak berbenti-henti dari permukaan air, permukaan tanah, padang
rumput,persawahan, hutan dan lain-lain. Penguapan ini terjadi pada tiap keadaan
35 dan jumlahpenguapan tergantung dari suhu, kelembaban, kecepatan angin dan
tekanan atmosfir.
Evaporasi dihitung dengan Rumus empiris Penman (Suyono S: 1999):
E = 0,35(ea–ed)(1 + v/100)
Keterangan:
E = evaporasi (mm/hari).
ea= tekanan uap jenub pada suhu rata-rata harian (mm/Hg).
ed= tekanan uap sebenarnya (mm/Hg).
V = kecepatan angin pada ketingginan 2m di atas permukaan tanah (mile/hari).
d. Transpirasi
Air dalam tanah juga dapat naik ke udara melalui tumbuh-tumbuhan. Peristiwa
inidisebut transpirasi. Banyaknya berbeda-beda, tergantung dari kadar
kelembabantanah dan jenis tumbuh-tumbuhan. Umumnya banyaknya transpirasi
yang diperlukanuntuk menghasilkan 1 gram bahan kering disebut laju transpirasi dan
dinyatakan dalamgram. Di daerah yang lembab, banyaknya adalah kira-kira 200
sampai 600 gram danuntuk daerah kering kira-kira dua kali lipat dari itu. Salah satu
persamaan yang digunakan untuk menghitung transpirasi adalah Blaney-Crinddle
(Suyono S: 1999) sebagai berikut:
Kc = Koefisien tanaman bulanan
36 e. Infiltrasi
Proses masuknya air hujan kedalam lapisan permukaan tanah dan turun ke
permukaan airtanah disebut infiltrasi. Air yang menginfiltrasi itu pertama-tama
diabsorsi untuk meningkatkan kelembaban tanah, selebihnya akan turun
kepermukaan airtanah dan mengalir kesamping (Suyono S: 1999). Untuk penentuan
kapasitas infiltrasi dapat digunakan cara menggunakan alat ukur infiltrasi dan cara
dengan menggunakan analisa hidrograf.
f. Kualitas Air Tambang
Fenomena air asam tambang akan timbul apabila senyawa sulfide terutama
pirit (FeS2) yang terdapat dalam batubara maupun pada lapisan tanah penutup, secara
langsung terdedah/terbuka oleh oksigen yang terdapat dalam air maupun udara
(Barton, 1978).
2FeS2 + 2H2O → FeSO4 + 2H2SO4
2FeSO4 + 2H2SO4 +H2O → 2Fe2(SO4)3 + H2O
Fe2(SO4)3 +6H20 → 2Fe(OH)3 + 3H2SO4
FeS2 + 14Fe3+ + 8H2O → 15Fe2+ + 2SO42- + 16H+
Disamping reaksi tersebut diatas, diketahui pula bakteri Thiobasillus juga
memegang peranan penting dalam oksidasi pirit. Reaksi kimia tersebut menunjukkan
oksida pirit akan menghasilkan sulfat, Fe2+, dan ion H+ bebas yang akan
menyebabkan pH air menjadi rendah serta kandungan besi dan sulfat akan menjadi
tinggi dalam air tirisan tambang.
Semakin rendah pH air dapat menyebabkan berbagai senyawa dan logam dari
batuan akan mudah terlarut. Terlarutnya senyawa dan unsur dari batuan selanjutnya
akan menyebabkan kandungan padatan terlarut total (garam-garam terlarut) dalam air
akan meningkat. Dengan demikian sifat kimia air akan meningkat. Karakteristik air
asam tambang (Smith, 1974) umumnyamempunyai pH 2-6, sehingga tidak dapat
dijadikan sebagi sumber air baku dan bahkan dapat mencemari lingkungan apabilah
37 Tabel 2. Karakteristik Limbah Air Asam Tambang
No. Parameter Angka Kisaran
1
Baku mutu limbah kegiatan penambangan batubara menurut Keputusan
Menteri Lingkungan Hidup No. 113 Tahun 2003 seperti pada table 3 berikut:
Tabel 3. Baku mutu limbah Kegiatan penambangan batubara*
Parameter Satuan Kadar Maksimum
pH 6-9
Residu tersuspensi mg/l 400
Besi (Fe) total mg/l 7
Mangan (Mn) total mg/l 4
*Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 113 Tahun 2003
4.1. Water Demand Pada Daerah Sekitar Tambang
Kebutuhan airbaku setiap harinya disekitar daerah pertambangan per orang
(Birdie G.S: 1990) seperti pada table 4 dalamliters per capita daily (LPCD)
Tabel 4. Kebutuhan Air (LPCD)*
No. Purpose Volume (LPCD)
1 Kebutuhan Rumah Tangga 135
2 Industri (tambang/sawit) 40
3 Fasilitas umum (tempat ibadah/sekolah) 2.5
4 Pemadam Kebakaran 15
5 Kebocoran (kehilangan) 55
Total 270
*Sumber: Birdie G.S
tetapi menurut WHO merekomendasikan kebutuhan air perharinyaserperti pada
38 Perhitung kebutuhan air, apabilah didasarkan atas pelayanan dengan
menggunakan Hidran Umum (HU) dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut
:
a. Hitung Kebutuhan Air Dengan Formula :
Q = P x q
Qmd = Q x fmd
Tabel 5. Kebutuhan air per hari rekomendasi WHO*
No Purpose WHO’s recommendation liter/person/day
1 Drinking/Cooking 15
2 Bathing/Personal Washing 60
3 Utensiles Washing 15
4 Cloth Washing, Washing 20
5 House Washing 10
6 Flushing/Refuse disposal Washing 60
7 Garden 10
8 Wastage 20
Total (litres) 210
*Sumber: Birdie G.S
Dengan pengertian:
Qmd = kebutuhan air (liter/hari)
q = kebutuhan air perorang perhari (Liter / orang /hari)
P = jumlah jiwa yang akan dilayani sesuai dengan tahun
perencanaan (jiwa)
fmd = faktor maksimum (1,05 – 1,15)
b. Hitung Kebutuhan Total Air Dengan Formula :
Qt = Qmd x 100/80
Dengan pengertian:
39
4.2. Prinsip Pengolahan Air Asam Tambang
Pengolahan air asam tambang bertujuan untuk menurunkan kadar polutan yang
terdapat didalam air asam tambang, terutama parameter-parameter pH, BOD dan
COD. Secara umum pengolahan air limbah dapat dilakukan dengan cara :
a. Pengolahan cara Fisika
b. Pengolahan cara Kimia
c. Pengolahan cara Biologi
Sistim apa yang dipilih tergantung dari karakteristik air asam tambang maupun
lahan yang tersedia untuk pengolahan air asam tambang.
a. Pengolahan cara Fisika
Adalah merupakan cara Pengolahan air limbah dengan cara seperti
pengendapan (tanpa penambahan bahan kimia ), penyaringan dan pengadukan, dll.
b. Pengolahan cara kimia
Adalah merupakan cara pengolahan dengan cara menambahkan bahan-bahan
kimia kedalam air limbah, antara lain meliputi, netralisasi, koagulasi dan lain-lain.
c. Pengolahan cara biologi
Adalah cara pengolahan dengan cara memecah bahan-bahan organik
biodegradable yang terdapat didalam air limbah untuk diubah menjadi senyawa-
senyawa lain yang stabil sehingga apabila dibuang ke lingkungan tidak
menyebabkan pencemaran lingkungan. Cara yang umum dikenal dan banyak
dipergunakan adalah dengan sistem lumpur aktif.
4.3. Analisis
a. Perhitungan Volume air netto
Studi kasus pada PT XYZ mempunyai salah satu lubang bukaan pasca tambang
dengan dimensi lubang bukaan yang tidak dapat di timbun kembali, yaitu 309.5 m x
154,8 m x 20.1, dimana debit air yang masuk ke lubang bukaan tersebut dengan
Intensitas curah hujan = 110,12 mm/jam, Luas daerah tangkapan hujan = 4,10 km2, Koefisien limpasan 0, 9, sehingga laju aliran air permukaan yang masuk (Qs) =
40 yang terbuka dan permeabilitas batuannya), sehingga total air yang masuk Qtot =
113,95 m3/det.
Air yang dapat tertampung pada kolam, jika tinggi muka air maksimum dalam
kolam 17,5 m karena ada saluran pembuangan, maka V = 838 435,05m3 (Volume
air netto) dan tinggi muka air minimum dalam kolam pada musim kemarau 15,3 m,
maka V = 737032,18m3
a. Kualitas Air Tambang
Air asam tambang pada daerah PT xyz, sebelum dilakukan perlakuan khusus
(pengolahan) masih belum memenuhi baku mutu limbah batubara yang ditetapkan
berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 113 Tahun 2003, berikut
adalah kualitas air tambang pada PT XYZ
Tabel 6 Kualitas Air Tambang PT XYZ
No. Parameter Angka rata-rata
1
Kebutuhan air total dihitung berdasarkan jumlah pemakai air yang telah
diproyeksikan untuk 5 tahun – 10 tahun mendatang dan kebutuhan rata-rata setiap pemakai setelah ditambahkan 20% sebagai faktor kehilangan air (kebocoran).
Disekitar daerah pertambangan PT xyz Jumlah penduduknya, Kecamatan A yaitu
91401 jiwa dengan luas wilayah 575 km2 . kebutuhan air per orang 210 liter/hari dengan factor maksimum 1,15, Sehingga kebutuhan air total perhari 22.073.341,5
liter/hari (22.073,34 m3/hari). Jika diasumsikan ada faktor kebocoran atau pemakaian tidak efektif 20% (kehilangan 20%), maka kebutuhan air total perhari 27.591.676,9
41 Berdasarkan table 7 bahwa daerah Kec. A disekitar tambang PT AKekurangan
air bersih sebanyak 72,86% atau sekitar 20.103,3 m3/hari khususnya pada musim kemarau.
Tabel 7 Persentase Kekurangan Air Disekitar Tambang PT xyz
No Purpose
c. Treatment Effort Yang Diperlukan Dan Biayanya
Sistem Pengolahan yang digunakan, sistem pengolahan air asam tambang
bermacarn - macam salah satu contohnya adalah dapat dilihat pada diagram alir berikut
ini.
Gambar 2.Sistem Pengolahan
1) Equalisasi
Fungsi dari bak equalisasi adalah untuk menyeragamkan kualitas air limbah
42 tambang, tergantung dari jenis proses dan jumlah produksinya.Dengan adanya bak
equalisasi maka kualitas air asam tambang menjadi seragam ( homogen ) sehingga
tidak akan mengganggu proses selanjutnya, terutama proses biologis.
2) Koagulasi
Salah satu cara yang paling sederhana untuk memisahkan polutan terutama
partikel - partikel yang ukurannya besar, dan zat warna ciari air limbah adalah dengan
koagulasi yaitu dengan menambahkan bahan -bahan kimia yang dikenal sebagai
koagulant kedalamnya. Dengan ditambahkannya koagulantmaka partikel-partikel
yang ukurannya kecil menjadi besar sehingga dapat dipisahkan.
3) Lumpur Aktif
Metode pengolahan air asam tambang dengan Lumpur aktif adalah salah
satu metode Biologis, yaitu merupakancara pernisahan polutan-polutan terutama
yang berupa bahan organik biodegradable.Metode ini sangat banyak
digunakan oleh industri, dikarenakan relatif lebih mudah dan efisien.
Air limbah yang berasal dan proses koagulasi setelah dipisahkan lumpurnya
dimasukkan ke bak lumpur aktif dan ditarnbahkan oksigen / udara dengan
menggunakan blower atau aerator.Didalam proses lumpur aktif ini akan terjadi
Lumpur yang merupakan massa dari microorganisme dan dapat dipisahkan
dengan menggunakan bak pengendap atau clarifier.
4.4. Studi Kasus Proses Pengapuran
Untuk menaikkan pH air asam tambang dilakukan proses pengapuran, yaitu
mencampurkan antara kapur tohor dengan air asam tambang, sehingga menyebabkan
pH air tambang menjadi naik sampai pada batas baku mutu air yang dapat digunakan
untuk kebutuhan sehari-hari. Berdasarkan pengujian laboratorium menggunakal alat
jar test, didapakan hubungan antara kebutuhan kapur tohor dengan perubahan pH air
asam tambang pada pengujian sample air asam tambang 500 ml dengan pH awal
43 Gambar 2 Perubahan pH Air Asam Tambang dengan penambahan Kapur Tohor
pada sample 500 ml
Untuk aplikasi dilapangan kapur tohor dicairkan didalam tangki dengan
campuran air asam tambang, diaduk menggunakan baling-baling, sehingga dengan
penambahan kapur dengan pengadukan tersebut pH air akan menjadi naik.
Berdasarkan pengujian lapagan untuk menetralkan air sebanyak 1 m3 dari pH 2.78 menjadi pH 7 diperlukan kapur tohor sebanyak 0,7 kg.
4.5. Biaya Operasional
Peralatan dirancang dengan sistem kontinyu dengan kapasitas 1.800 liter/jam.
Peralatan dioperasikan selama 4 jam/hari sehingga dalam 7 (tujuh) hari mampu
mengolah 50.400 liter. Dari hasil uji coba peralatan untuk mengolah air baku
setempat diperoleh data, bahwa untuk setiap 1000 liter air baku diperlukan 0,7 kg
kapur dan 15 gram tawas sehingga untuk mengolah 50400 liter (50,4 ton) air bersih,
diperlukan 35,8 kg kapur dan 0,75 kg tawas. Jika harga kapur dipasaran saat ini Rp
500,00 per Kg dan tawas Rp 2.000,00 per Kg maka biaya pengolahan untuk
mengolah 50.400 liter (50,4 ton) airbaku hanya Rp. 19.400 ditambah biaya listrik
44
5. KESIMPULAN
Dari uraian tersebut diatas air danau pertambangan untuk sumber air baku
dapat digunakan setelah melalui proses pengolahan untuk menetralkan pH, Fe dan
Mn. Biaya pengolahan air danau pertambangan ditentukan oleh besarnya debit,
kualitas air limbah serta sistem yang dipergunakan didalam pengolahan, sehingga
antara industri yang satu tidak sama besarnya dengan industri yang lainnya. Dengan
biaya pengolahan sebesar Rp. Rp. 444.4/m3maka sebenamya industri mampu untuk melakukannya, tinggal bagaimana kesadaran dari masyarakat industri terhadap
lingkungan.
6. DAFTAR PUSTAKA
Birdie G.S and Birdie J.S. 1990. Water supply and Sanitary Engineering, Dhanpat Rai and Sons., New Delhi.
Barton, B.A. 1997. Short term effect of higway construction on limnology of small streem in Southern Ontario. Elsavier Applied Science, London and New York.
Suyono S dan Kensaku Takeda,1999. Hidrologi untuk Pengairan, PT Pradnya Paramita, Jakarta.
45
THE STUDY ON BLASTING EFFECT
WITH PRE-ASSESSMENT BOREHOLE STATUS BY
INSERTING REAL TIME BORE HOLE ENDOSCOPE
VERIFICATION
Prof. D.W. Kang1, W.H.Hur1
Dep. Of Energy & Mineral Eng. Dong-A Univ., Busan, Korea
ABSTRACT
By inserting a Borehole Endoscope beforehand charging explosives, could be sought overall status of boreholes and found weak points such as fractures or directions of joints. So it is possible to reflect weak points in some blasting work. In this study, using borehole endoscope to find typical weak points on some blasting work. In this study, using borehole endoscope to find typical weak points of boreholes first and considered each borehole condition to reflect blasting design. Each faulty zone, located in the interval of charge where in a mine, was replaced air deck charge method by self supportAir-Tubes.Reduction of charge with overall improvement of blast effects and economic benefit occurred. Thus this study has shown new possibilities throughout small-scale blasting to large-scale in limestone mine.