TUGAS HUKUM INTERNASIONAL
Basri Hasanuddin Latief
E131 11 258
Tentara Anak – Anak di Afrika
Tentara anak – anak merupakan fenomena yang cukup kental disetiap perang atau konflik. Mereka (anak – anak) dipercaya sebagai kekuatan yang dapat membantu dalam memenangkan perang. Di era teknologi sekarang ini, mereka dapat berpartisipasi dalam perang karena dalam perang sendiri menggunakan senjata yang bahkan anak kecilpun dapat menggunakannya. Fenomena yang cukup menjadi perhatian dunia internasional adalah tentara anak – anak dalam setiap konflik di Afrika.
dididik untuk berperang ketika umurnya telah mencapai umur berperang, setelah zaman itu anak – anak kemudian menjadi penggembira atau penyemangat bagi para tentara yang berperang. Setelah itu anak – anakpun sering sekali menjadi bagian dari perang atau konflik bersenjata. Mereka mendapat tugas seperti mengantarkan makanan, mencari informasi, menjadi budak seks, menjadi penyuplai logistic (peralatan perang), menjadi mata – mata sampai menjadi tentara yang memegang senjata di barisan paling depan.
Fenomena tentara anak adalah fenomena yang mendunia. Dari data yang dikeluarkan oleh UNICEF, terdapat lebih dari 300.000 anak – anak yang terlibat konflik bersenjata di lebih dari 30 negara di seluruh dunia. Dari jumlah tersebut, sekitar 40 persen atau 120.000 tentara anak – anak berjenis kelamin perempuan. Fenomena ini terjadi hampir disemua Negara yang mengalami konflik baik Amerika, Asia, Eropa dan Afrika. Terutama di Asia khususnya Myanmar yang dengan sengaja pemerintah junta militernya merekrut tentara anak. Di Afrika sendiri tentara anak yang berpartisipasi dalam konflik bersenjata sejak tahun 1975 sampai 2003 meningkat dari 0 menjadi 53 persen. Hal ini menjadi data yang cukup mencengangkan dimana terjadi peningkatan yang cukup drastic dalam pelibatan anak dalam konflik bersenjata. Di yaman pada 2009, sebanyak 187 tentara yang berusia kurang dari 18 tahun di kirim ke garis depan pertempuran. Hal ini dikarenakan anak tidak terlalu banyak berfikir sehingga mereka kebanyakan nekad. Dan hasilnya mencengangkan, 71% tewas saat pertempuran, sedangkan 29% lainnya tewas karena kekurangan makanan.
Penggunaan anak – anak dalam konflik bersenjata terjadi pula di Mali. Mali yang merupakan Negara yang mengalami konflik internal merekrut anak – anak dari usia 11 sampai 17 tahun sebagai tentara. Mereka merekrut mereka dengan berbagai macam cara, ada yang di culik, di rekrut secara formal dan ada yang di beli dengan harga sekitar 5 juta rupiah di keluarga anak tersebut. Hal inilah yang menjadi fenomena kotornya perang yang terjadi di Mali.
perlindungan baik itu dalam pasal 77 maupun 78. Bahkan hukum internasional mewajibkan Negara yang menandatangani konfensi Hak Anak 1989 untuk mematuhi semua peraturan yang mengatur anak yang terlibat dalam konflik.
Yang menjadi problematika dalam Hukum Humaniter ini adalah penerapan hukum tersebut. Walaupun sebuah Negara telah meratifikasi hukum tersebut belum tentu Negara tersebut menjalankan sepenuhnya peraturan yang telah dikeluarkan. Hal ini sejalan dengan Paradigma Realisme yang memandang bahwa dunia internasional adalah anarki yaitu kondisi dimana tidak ada kedaulatan tertinggi di atas Negara. Dengan konsep kedaulatan tersebut maka Negara berhak untuk menjalankan atau tidak menjalankan sebuah peraturan. Hal ini terjadi di Myanmar yang walaupun telah menandatangi perjanjian dengan PBB tentang pelarangan perekrutan anak sebagai tentara, masih saja menggunakan anak – anak sebagai tentara yang terus dilatih. Tetapi yang menjadi poin lebih adalah Myanmar mulai membebas tugaskan anak – anak yang menjadi tentara walaupun belum semuanya. Problematika kedua adalah penggunaan tentara anak – anak banyak dilakukan oleh para pemberontak yang secara tidak langsung mengindahkan peraturan dalam hukum humaniter. Para pemberontak yang pada umumnya melawan pemerintah yang berdaulat dengan seenak hati merekrut anak – anak sebagai tentara dikarenakan mereka tidak patuh terhadap hukum yang telah disepakati oleh pemerintah.