1
1.1 Latar Belakang
Sebagai negara agraris yang sedang giat-giatnya membangun di segala bidang,
sektor pertanian masih merupakan tulang punggung yang menunjang
subsektor lain. Oleh karena Pemerintah Indonesia melalui Departemen
Pertanian selalu berupaya menggalakkan peningkatan hasil produksi
nasional. Salah satu subsektor pertanian yang digalakkan sejak satu
dasawarsa yang lewat adalah subsektor hortikultura. Penggalakan
peningkatan produksi tanaman hortikultura tersebut antara lain bertujuan
meningkatkan pendapatan petani sehingga diharapkan dapat meningkatkan
kesejahteraan hidup petani dan keluarganya. Sedangkan tujuan yang lebih
luas adalah untuk menggalakkan ekspor non migas yang merupakan
pemasukan devisa bagi negara (Mulyanto,2003).
Menurut Setiawan (1995), hortikultura adalah produk buah-buahan dan
sayuran yang tidak tahan lama pasca panen. Sayuran dapat digolongkan
menjadi dua jenis, yaitu tanaman sayuran dataran tinggi dan sayuran
dataran rendah. Tanaman sayuran dataran tinggi memerlukan suhu
lingkungan pertumbuhan yang rendah (dingin). Penanamannya di daerah
dataran tinggi sangat mendukung pertumbuhannya sebab semakin tinggi
suatu tempat dari permukaan laut maka semakin rendah suhunya.
Dataran tinggi Karo adalah sebua
Utara menyebabkan dataran tinggi berhawa sejuk ini menjadi sebuah
daerah yang cocok untuk usaha pertanian, seperti usaha pertanian
buah-buahan dan sayur-sayuran. Menurut data BPS (2013) sayuran yang
diproduksi di Kabupaten Tanah Karo dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah Produksi Dan Luas Lahan Komoditas Sayuran
No Kecamatan Jumlah Produksi (Ton) Luas Lahan (Ha)
Kol Sawi
Putih
Wortel Kol Sawi
Putih
Wortel
1 Mardingding 0 0 0 0 0 0
2 Laubaleng 0 0 0 0 0 0
3 Tigabinanga 0 0 0 0 0 0
4 Juhar 0 0 0 0 0 0
5 Munte 443 0 0 23 0 0
6 Kutabuluh 0 0 0 0 0 0
7 Payung 0 2700 0 0 250 0
8 Tiganderket 0 930 0 0 45 0
9 Simpang Empat
8128 4744 4 042 269 245 175
10 Naman Teran 13 225 10 946 404 640 635 20 11 Merdeka 5 124 2 622 10 420 238 173 471 12 Kabanjahe 17 240 4 350 5 355 480 290 256 13 Berastagi 7 920 3 131 5 100 226 200 179 14 Tigapanah 10 976 2 353 2 468 691 432 259 15 Dolat Rayat 2 434 1 481 1 284 108 98 78
16 Merek 5 688 467 420 168 39 28
17 Barusjahe 4534 8620 1 200 221 58 59
TOTAL 75 712 34 587 30 693 3064 2465 1516
Sumber:BPS,2013
Dalam melakukan usahatani petani menghadapi resiko hasil produksi, resiko
harga pasar, resiko institusi, resiko manusia, resiko kelembagaan. Maka
dalam menghadapi resiko usahatani tersebut petani harus memiliki strategi
manajemen resiko dalam menjalankan usahataninya. Manajemen usahatani
adalah kemampuan petani menentukan, mengorganisir dan
sebaik-baiknya dan mampu memberikan produksi pertanian sebagaimana yang
diharapkan. Ukuran dari keberhasilan pengelolaan itu adalah produktivitas
dari setiap faktor maupun produktivitas dari usahanya (Hernanto, 1989).
Harga komoditi pertanian umumnya menurun pada musim panen raya,
sehingga petani mengalami kerugian. Rendahnya harga jual membuat
petani berhadapan dengan pilihan sulit, yaitu antara menjual komoditi
tetapi rugi karena harus mengeluarkan biaya pemanenan dan transportasi
atau membiarkan komoditi tidak dipanen. Di sisi lain, petani harus
memiliki uang tunai untuk modal usaha tani pada musim tanam berikutnya
dan juga untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sebaliknya, pada
saat tertentu harga komoditi bisa meningkat, karena barang yang tersedia
hanya sedikit (Hilmanto,2011).
Salah satu upaya yang umumnya dapat dilakukan adalah mengembangkan
usaha tani dengan pola agroforestri, yaitu mengkombinasikan tanaman
pangan setahun maupun tahunan dengan pepohonan, baik pohon
buah-buahan maupun kayu-kayuan. Pengkombinasian berbagai jenis komoditi
pada satu lahan melalui sistem agroforestri diharapkan dapat mereduksi
kerugian usaha tani. Pada sistem ini, produk pertanian tidak hanya satu
jenis dan waktu pemanenanyapun dapat dilakukan secara bergiliran.
Apabila harga salah satu produk dalam sistem agroforestri turun, maka
masih ada produk lain yang memilki nilai jual. Selain diniliai dari aspek
ekonomi, secara ekologi sistem agroforestri juga mampu memberikan
rantai makanan sebagai indikator kelestarian dan baiknya suatu lahan.
Sistem agroforestri ini sebenarnya telah diterapkan oleh masyarakat
Indonesia sejak jaman dahulu, namun ada beberapa kendala yang masih
dihadapi oleh petani. Sistem agroforestri terkadang masih belum
memberikan keuntungan optimal bagi petani, karena kurang tepat dalam
menentukan komposisi dan kombinasi komoditi yang ditanam pada satu
lahan (Hilmanto,2011).
Upaya yang umumnya dilakukan petani di Kabupaten Tanah Karo antara lain
pola tanam tumpang sari dan pola tanam tumpang gilir. Menurut Aak
(1993), tumpang sari merupakan salah satu cara pola tanam yang
melakukan penanaman lebih dari satu tanaman, baik dalam arti umur sama
ataupun umur tanaman berbeda. Menurut Wahyudi (2008), tumpang sari
menjamin keberhasilan pertanaman yang terganggu akibat iklim yang
tidak menentu dan faktor-faktor lainnya (serangan hama penyakit serta
fluktuasi harga). Selain itu, dengan pola ini distribusi tenga kerja bisa
berlangsung baik sehingga sangat berguna untuk daerah yang padat
tenaga, luas lahannya terbatas, kepemilikann modal untuk membeli sarana
produksi yang terbatas. Dengan kata lain, usaha tumpang sari bertujuan
untuk meminimumkan resiko untuk memaksimumkan keuntungan.
Menurut Aak (1993), tumpang gilir merupakan pola tanam yang dilakukan
secara beruntun sepanjang tahun dengan mempertimbangkan faktor-faktor
lain untuk memperoleh keuntungan maksimum. Faktor-faktor lain untuk
− Pengolahan yang bisa dilakukan dengan menghemat tenaga kerja, biaya
pengolahan tanah dapat ditekan dan kerusakan tanah sebagai akibat terlalu
sering diolah dapat dihindari.
− Hasil panen secara beruntun dapat memperlancar penggunaan modal dan
meningkatkan produktivitas lahan.
− Pola tanam dengan cara tumpang gilir dapat mencegah serangan hama dan
penyakit yang meluas.
− Kondisi lahan yang selalu tertutup tanaman, sangat membantu mencegah
terjadinya erosi.
− Sisa komoditi tanaman yang diusahakan dapat dimanfaatkan sebagai
pupuk hijau.
Kebijakan dalam perancangan teknologi di tingkat petani merupakan upaya
yang dapat dilakukan dalam menghadapi resiko usaha tani yang dihadapi
oleh petani. Dengan adanya teknologi yang sesuai dengan resiko-resiko
yang dihadapi diharapkan resiko tersebut dapat diminimalisir, seperti
penggunaan bibit unggul yang digunakan untuk meningkatkan jumlah
produksi komoditas yang diusahakan, ataupun rencana penggunaan
teknologi lainnya.
Kelembagaan usahatani memiliki potensi untuk meningkatkan produktivitas
dan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan pelaku usahatani.
Namun, fakta di lapangan menyatakan bahwa masih terdapat kesenjangan
antara kelembagaan yang dibentuk secara top down oleh Pemerintah,
pendekatan kelembagaan juga telah menjadi komponen pokok dalam
pembangunan pertanian dan pedesaan. Namun, kelembagaan usahatani,
terutama kelompok petani cenderung hanya diposisikan sebagai alat untuk
mengimplementasikan proyek belaka, belum sebagai upaya untuk
pemberdayaan yang lebih mendasar (Wahyuni, 2003).
Kelembagaan dan lembaga pada hakekatnya mempunyai beberapa perbedaan.
Dari aspek kajian sosial lembaga merupakan pola perilaku yang selalu
berulang dan bersifat kokoh serta dihargai oleh masyarakat Dalam
pengertian lain lembaga adalah sekumpulan norma dan perilaku yang telah
berlangsung dalam waktu yang lama dan digunakan untuk mencapai
tujuan bersama. Sedangkan kelembagaan adalah suatu jaringan yang
terdiri dari sejumlah orang atau lembaga untuk tujuan tertentu, memiliki
aturan dan norma, serta memiliki struktur (Kompasiana, 2013)
Dalam hal ini lembaga dapat memiliki struktur yang tegas dan formal, dan
lembaga dapat menjalankan satu fungsi kelembagaan atau lebih.
Kelembagaan pertanian memiliki delapan jenis kelembagaan, yaitu 1)
kelembagaan penyedia input, 2) kelembagaan penyedia modal, 3)
kelembagaan penyedia tenaga kerja, 4) kelembagaan penyedia lahan dan
air, 5) kelembagaan usaha tani, 6) kelembagaan pengolah hasil usaha tani,
7) kelembagaan pemasaran, 8) kelembagaan penyedia informasi
(Kompasiana,2013).
Persepsi adalah proses yang digunakan individu mengelola dan menafsirkan
mereka. Meski demikian apa yang dipersepsikan seseorang dapat berbeda
dari kenyataan yang obyektif (Robbins, 2006). Persepsi petani terhadap
resiko usaha tani merupakan pandangan / persepsi mengenai resiko usaha
tani yang dihadapi oleh petani.
Berdasarkan uraian latar belakang yang sudah diuraikan, peneliti tertarik
untuk meneliti strategi yang digunakan oleh petani untuk mengatasi resiko
harga komoditas kol,wortel,dan sawi putih di Tanah Karo.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas,maka dapat dirumuskan beberapa
masalah sebagai berikut:
1) Bagaimana persepsi petani komoditas kol, wortel dan sawi putih tentang
resiko usahatani?
2) Bagaimana rekomendasi kebijakan dalam perancangan teknologi dan
pengembangan kelembagaan?
3) Bagaimana strategi petani komoditas kol, wortel dan sawi putih dalam
pengelolaan resiko usahatani?
1.3Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1) Untuk mengetahui persepsi petani komoditas kol, wortel dan sawi putih
2) Untuk merumuskan rekomendasi kebijakan dalam perancangan teknologi
dan pengembangan kelembagaan.
3) Untuk menganalisis strategi petani komoditas kol, wortel dan sawi putih
dalam pengelolaan resiko usahatani.
1.4Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:
1) Sebagai bahan informasi bagi petani dalam melakukan strategi manajemen
resiko dalam menghadapi resiko harga jual komoditas kol,sawi
putih,wortel.
2) Sebagai bahan informasi bagi dinas pertanian untuk membuat kebijakan
dalam mengendalikan harga jual komoditas kol,sawi putih,wortel.