• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengawasan Otoritas Terhadap Bumn Yang Sudah Diprivatisasi Melalui Pasar Modal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengawasan Otoritas Terhadap Bumn Yang Sudah Diprivatisasi Melalui Pasar Modal"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PERLUNYA PENGAWASAN OTORITAS (PEMERINTAH)

TERHADAP BUMN YANG TELAH DIPRIVATISASI

A. Keterlibatan Otoritas (Pemerintah) di BUMN dan Dampaknya terhadap BUMN

Keberadaan BUMN sebagai badan usaha tidak terlepas dari campur tangan Otoritas

dalam menjalankan kegiatannya. BUMN sebagai Badan Usaha Milik Negara sering ditafsirkan

bahwa negara berkuasa penuh terhadap kinerja BUMN, sehingga BUMN menjadi tergantung

kepada siapa yang memerintah dan yang menjalankannya. Dominannya peran negara

menjadikan BUMN sebagai kepanjangan tangan penguasa yang sarat kepentingan politik

merupakan salah satu sebab BUMN tidak bisa berkembang sebagaimana layaknya badan usaha.

BUMN menjadi fokus perhatian masyarakat, karena adanya gap antara fasilitas yang

dimiliki BUMN dengan harapan masyarakat. BUMN berjalan dengan dukungan fasilitas penuh

dari negara, baik dari modal yang merupakan kekayaan negara yang dipisahkan serta

keberadaannya yang dibentuk oleh Negara, sehingga BUMN mendapat perlakuan yang berbeda

dengan usaha swasta lainnya. Sementara itu masyarakat sangat berharap mendapatkan manfaat

dari keberadaan BUMN yang belum bisa terpenuhi secara optimal.

Privatisasi BUMN diharapkan dapat memberikan angin segar bagi pertumbuhan ekonomi

nasional, sehingga manfaatnya dapat dirasakan secara langsung bagi kesejahteraan masyarakat.

Keterlibatan otoritas dalam pengelolaan BUMN yang telah diprivatisasi kerap memberikan

dampak negatif bagi perkembangan BUMN itu sendiri. Peran otoritas seyogianya melakukan

pengawasan atas keberlangsungan privatisasi BUMN, namun terkadang disusupi oleh

(2)

perjalanan BUMN tersebut. Disamping itu juga sistem yang birokratis menjadi penghambat bagi

kemajuan BUMN yang telah diprivatisasi, sehingga membuka ruang terjadinya penyimpangan

oknum-oknum tertentu yang mempunyai peluang untuk itu.

Sorotan-sorotan negatif di atas tentu berdampak terhadap rendahnya kepercayaan

investor dalam menanamkan modalnya di Indonesia, dengan demikian akan menghambat

pertumbuhan perekonomian nasional yang di lokomotifi oleh BUMN. Kondisi ini sangat

berpengaruh terhadap apa yang menjadi tujuan privatisasi BUMN, sasaran yang diharapkan bagi

pelaksanaan privatisasi akan sulit tercapai. sehingga pengawasan yang ideal terhadap

keberlangsungan privatisasi BUMN menjadi ujung tombak dalam memuluskan

pencapaian-pencapaian yang diharapkan dalam kebijakan privatisasi BUMN.

1. Pengelolaan BUMN yang Sentralistik dan Birokratis

Pengurusan BUMN dilaksanakan oleh Direksi berdasarkan ketentuan dan prinsip-prinsip

yang berlaku bagi perseroan terbatas, hal ini secara tegas disebutkan dalam ketentuan Pasall 5

Undang Undang Nomor 19 Tahun 2003 serta ketentuan Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 45

Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik

Negara. Dengan demikian dalam wujud usahanya, BUMN dikelola sebagai entity badan hukum

privat sebagaimana bentuk usaha swasta lainnya yang merujuk pada Undang-Undang Perseroan

Terbatas.

Prinsip-prinsip yang berlaku dalam pengelolaan perusahaan secara umum seyogianya

juga berlaku dalam pengelolaan BUMN. Abdulkadir Muhammad mengungkapkan bahwa setiap

anggota Direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab melaksanakan tugas dan

kewajiban untuk kepentingan dan tujuan perseroan. Apabila yang bersangkutan salah atau lalai

(3)

menyebabkan kerugian kepada perseroan, maka atas nama perseroan pemegang saham yang

memenuhi syarat tertentu dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri terhadap anggota

Direksi yang bersangkutan.85

Pengurusan perseroan oleh Direksi membentuk hubungan saling ketergantungan, dimana

kegiatan dan aktivitas perseroan bergantung pada Direksi sebagai organ yang dipercayakan

untuk melakukan pengurusan perseroan. Namun disisi lain keberadaan perseroan merupakan

sebab keberadaan Direksi, tanpa ada perseroan maka tidak pernah ada Direksi.86 Kondisi ini

menunjukkan adanya hubungan kepercayaan antara Direksi dengan perseroan, hubungan ini

dinamakan dengan fiduciary relation yang selanjutnya melahirkan fiduciary duty bagi Direksi

terhadap perseroan yang telah mengangkatnya sebagai pengurus dan perwakilan bagi perseroan,

dalam segala macam tindakan hukumnya untuk mencapai maksud dan tujuan serta untuk

kepentingan perseroan. Dengan demikian berarti syarat mutlak dari keberadaan hubungan fidusia

dan fiduciary duty adalah fairness.87

Berkaitan dengan prinsip kepercayaan (fiduciary duty), Paul L. Davis mengemukakan

pandangannya bahwa secara umum ada dua hal yang dapat dikemukan disisni. Pertama, Direksi

adalah trustee bagi perseroan. Sebagai trustee Direksi bertanggung jawab kepada perseroan

sehubungan dengan berkurangnya nilai harta kekayaan perseroan yang dipercayakan untuk

diurus olehnya. Kedua, direksi adalah agen bagi perseroan dalam mencapai tujuan dan

85

Abdulkadir Muhammad, “Hukum Perusahaan Indonesia”, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 114. Lihat juga Gunawan Wijaya, “Risiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris dan Pemilik PT”, (Jakarta : Forum Sahabat, 2008) Cet. II, hlm. 43, disebutkan bahwa Direksi hanya berhak dan berwenang untuk bertindak atas nama dan untuk kepentingan perseroan dalam batas-batas yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku dan anggaran dasar perseroan. Setiap tindakan yang dilakukan oleh Direksi di luar kewenangan yang diberikan tersebut tidak mengikat perseroan kecuali dalam hal diatur lain oleh undang undang. Ini berarti Direksi memiliki limitasi dalam bertindak atas nama dan untuk kepentingan perseroan.

86

Fred BG Tumbuan, “Tanggung Jawab Direksi dan Komisaris serta kedudukan RUPS Perseroan Terbatas”, Makalah Kuliah S2 Fakultas Hukum Universitas Indonesia T.A 2001-2002, hlm.6

87

(4)

kepentingannya. Sebagai agen Direksi mewakili perseroan dalam setiap hubungan hukum

perseroan dengan pihak ketiga. Direksi mengikat perseroan dan bukan pemegang saham

perseroan. Sebagai agen, Direksi juga tidak bertanggung jawab atas setiap perbuatan yang

dilakukan olehnya untuk dan atas nama perseroan.88

Dalam pengelolaan BUMN, dikhususkan bagi pengawasan BUMN dengan bentuk usaha

Persero juga dilakukan berdasarkan ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagiperseroan

terbatas. Sehingga otoritas dalam mengawasi keberlangsungan BUMN tetap berdasarkan apa

yang telah digariskan dalam mekanisme yang sudah diatur dalam Undang-Undang Perseroan

Terbatas. Kondisi ini terkadang bertolak belakang dengan praktik-praktik yang terjadi dalam

pengelolaan BUMN. Pengawasan yang dilakukan oleh Otoritas seyogianya mampu

meningkatkan performa BUMN menjadi lebih baik dan berkembang, namun kenyataannya tidak

sebagaimana yang diharapkan, sifat birokratis dan sentralistiknya otoritas mewarnai perjalanan

BUMN. Sehingga BUMN seperti tidak leluasa menjalankan organisasi perusahaan sebagaimana

usaha-usaha swasta lainnya yang juga sama menjalankan perusahaannya berdasarkan ketentuan

Undang-Undang Perseroan Terbatas.

Kepemilikan saham adalah hal paling mendasar terhadap pemberlakuan privatisasi

BUMN, hal ini akan berpengaruh terhadap dominasi otoritas dalam mengawasi keberlangsungan

BUMN yang di privatiasasi. Sistem pengambilan keputusan dalam RUPS adalah salah satu

bentuk pengawasan yang dapat dilakukan oleh otoritas. Arah kebijakan yang diinginkan otoritas

dalam perjalanan privatisasi disalurkan melalui forum RUPS ini. Menteri merupakan kuasa

pemegang saham yang punya andil dalam pengambilan keputusan RUPS, disamping itu

88

(5)

perangkat-perangkat negara lainnya seperti DPR, OJK, BPK, BPKP, Komite Privatisasi juga

turut serta mempengaruhi kebijakan dalam perjalanan privatisasi BUMN.

Jika pengelolaan BUMN mengikuti standar yang telah digariskan oleh mekanisme

Undang-Undang Perseroan Terbatas, maka selain organ dari Persero pihak lain manapun

dilarang turut melakukan atau campur tangan dalam pengurusan Persero. Hal ini dimaksudkan

agar Direksi dapat melakukan tugasnya secara mandiri dan tidak dicampuri oleh pihak-pihak

luar, maka tidak diperbolehkan adanya campur tangan terhadap pengurusan Persero. Termasuk

dalam pengertian campur tangan berupa tindakan atau arahan yang secara langsung yang

memberi pengaruh terhadap tindakan pengurusan Persero atau terhadap pengambilan keputusan

oleh Direksi.89

Kemandirian Persero sebagai badan usaha merupakan hal penting yang harus tetap

terjaga, sehingga Persero dapat dikelola secara profesional dan dapat berkembang dengan baik

sesuai dengan tujuan usahanya. Dalam hal pengelolaan BUMN juga tidak membenarkan adanya

hubungan keuangan lintas birokrasi, walaupun pada dasarnya merupakan badan penyelenggara

negara. Karena kebutuhan keuangan masing-masing instansi pemerintah telah diatur dan

ditetapkan tersendiri, maka instansi pemerintah tidak dibenarkan membebani Persero dengan

segala bentuk pengeluaran, dan sebaliknya Persero tidak dibenarkan membiayai keperluan

pengeluaran instansi pemerintahan dalam pembukuannya.90

Muchayat mengungkapkan bahwa BUMN tertentu lebih sibuk memainkan peran

birokrasi yang semestinya dilakukan oleh pemerintah, sehingga melupakan urusan utamanya

sebagai operator dalam pengelolaan dan pengembangan usaha. Dengan tambahan peran sebagai

regulator, BUMN terjebak pada birokratisasi sehingga tidak kompetitif ketika harus bersaing

89

I. G Ray Wijaya, “Hukum Perusahaan”, (Bekasi : Megapoin, 2005) hlm. 125

90

(6)

dengan perusahaan swasta yang memiliki kinerja yang efektif dan efisien. Sebagai contoh,

Pertamina menjadi satu-satunya perusahaan yang memiliki hak penuh untuk mengelola industri

perminyakan di Indonesia.91

Peter Drucker sebagaimana dikutip Riant Nugroho mengemukakan bahwa pemerintah

harus fokus dengan pekerjaan-pekerjaan pemerintah saja, tidak usah mengurus hal-hal yang

bukan core competence-nya atau bahwa tugas pemerintah hanya mengendalikan, tidak perlu ikut

mendayung. Dengan demikian hal-hal yang di luar kompetensi pemerintah atau yang tidak dalam

konteks “menyetir” (saja) harus dikeluarkan dari pemerintah.92

Lebih lanjut Riant Nugroho mengemukakan pemerintah menjalankan bisnis adalah

anomali. Hasilnya, perusahan-perusahaan negara tersebut lebih banyak mudhorat daripada

manfaat. Pada intinya tidak mungkin birokrat menjalankan bisnis dengan baik, karena birokrat

punya misi melayani secara adil. Dengan kompetensi melayani secara adil tidak mungkin ia

menjalani bisnis yang memang pada dasarnya sudah diskriminatif, yaitu melayani mereka yang

hanya mampu membayar saja.93

Hambra mengemukakan bahwa status Kementerian BUMN yang merupakan bagian dari

pemerintah sebenarnya sudah menjadi kendala untuk melaksanakan tugas pembinaan di

lingkungan BUMN secara profesional. Dalam menghadapi BUMN harus mempunyai mindset

korporasi, sementara itu disisi lain pemerintah tidak boleh melepaskan diri sebagai pegawai

negeri sipil yang masih berjalan dengan sistem yang birokratis dan tunduk dengan regulasi

terkait aparatur sipil negara. Hal ini sangat bertolak belakang dengan pekerjaan yang dihadapi,

91Muchayat

, Op.Cit, hlm. 29, selanjutnya disebutkan bahwa keberadaan dan kinerja BUMN mengalami kemudnduran bahkan menjadi tidak kompetitif. Pemerintah memberikan poteksi yang berlebihan, sehingga menjadikan BUMN berpuas diri, jalan ditempat, tidak kreatif dan tidak inovatif. BUMN juga mendapatkan semacam hak privilegeyang tidak saja memiliki fungsi sebagai pelaku usaha tetapi juga sekaligus memiliki peran regulator. Implikasi dari kebijakan itu BUMN di bidang tertentu benar-benar tidak mampu bersaing dengan swasta.

92

Ryant Nugroho Dwidjowijoto, “Analisa Privatisasi BUMN di Indonesia”, Op.Cit, hlm 288-289

93

(7)

yaitu berkoordinasi dengan pelaku-pelaku usaha yang bukan berstatus sebagai pegawai negeri

sipil. Keadaan yang sangat dilematis ini harus dapat disiasati agar bisa menjembatani pemikiran

yang birokratis dengan pemikiran yang berbasis korporasi, jika tidak demikian akan sulit

mengemban tugas pembinaan yang di emban oleh Kementerian BUMN.94

Kebijakan-kebijakan yang akan di berlakukan dalam pengelolaan BUMN juga tidak serta

merta dapat dilaksanakan dengan cepat, regulasi yang ada terkadang menjadi kendala dalam

mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang terkadang bersifat segera. Kewajiban untuk

berkoordinasi dengan instansi-instansi terkait bahkan sampai ke tingkat Presiden membutuhkan

waktu yang cukup lama untuk mendapatkan sebuah keputusan. Menghadapi kondisi seperti ini,

Kementerian BUMN berencana untuk merubah mekanisme yang ada di BUMN yang semulanya

mempunyai basic pemerintahan menjadi korporasi, walaupun rencana tersebut sampai saat ini

masih sebatas wacana.95

Jonathan G.S Koppell menawarkan Hibrida Organisasi96

94

Wawancara langsung penulis dengan Hambra, Kepala Biro Hukum Kementerian Badan Usaha Milik Negara di Jakarta, pada tanggal 24 Maret 2015

atau model organisasi campuran

yang dimaksudkan untuk membebaskan BUMN dari kontrol birokrasi yang menghambat

manajemen mereka.Ada tiga alasan utama mengapa model campuran yang diterapkan dalam

BUMN secara inheren tahan terhadap kontrol politik. Pertama, organisasi campuran memiliki

beberapa tujuan yangsering bertentangan satu sama lain. Kedua, organisasi campuran

mengandalkan pelaku pasar dalam mencapai tujuan mereka. Akibatnya, mereka dibatasi oleh

95I b i d 96

(8)

kekuatan pasar. Ketiga, dan yang paling mendasar, pemimpin politik harus memanfaatkan alat

kontrol regulasi bukan mekanisme administratif tradisional untuk kepatuhan birokrasi.97

Dalam wacana politik Barat, ada kekhawatiran lama bahwa birokrasi pemerintah dapat

menjadi tidak akuntabel, yang mempunyai kekuatan yang tidak terkendali. Hal ini berakibat pada

mekanis mestruktural perusahaan yang dimasukkan ke dalam desain instansi pemerintah, seperti

halnya pengawasan legislatif, eksekutif, pengangkatan kepemimpinan, tahunan anggaran biaya,

kesempatan untuk meninjau publik dan pengawasan, dan lain sebagainya.98

Faktor sentralistik sangat berpengaruh dalam pengelolaan BUMN, ruang gerak Direksi

tidak leluasa dalam melaksanakan setiap kebijakan perusahaan. Regulasi perseroan terbatas

menempatkan Direksi sebagai trustee dalam menjalankan fungsi eksekutif dalam mengelola

BUMN, namun kenyataannya sistem birokrasi yang sentralistik masih menempatkan Direksi

sebagai pejabat publik yang secara tidak langsung ikut dalam sistem pemerintahan yang sudah

mengakar. Kebijakan terpusat telah mematikan kreatifitas dan profesionalitas BUMN yang

seyogianya terbangun dalam mekanisme perseroan terbatas dan diharapkan mampu menjadikan

BUMN sebagai badan usaha yang terbebas dari dominasi birokrasi yang sejak awal

menginginkan sistem yang sentralistik.

Praktik seperti ini

akan menjadi penghambat dalam membuat suatu kebijakan dalam BUMN, sehingga birokrat

tetap sebagai sentral terhadap kebijakan yang akan diberlakukan bagi BUMN.

Birokrasi merupakan suatu sistem pengorganisasian negara dengan tugas yang sangat

kompleks dan hal ini jelas memerlukan pengendalian operasi manajemen pemerintahan yang

baik. Sangatlah disayangkan, apabila kerja rutinitas aparat birokrasi sering menyebabkan

97

Jonathan G.S Koppell, “Political Control for China’s State-OwnedEnterprises: Lessons from America’s Experiencewith Hybrid Organizations”, Governance: An International Journal of Policy, Administration, and Institutions, Vol. 20, No. 2,April 2007, hlm. 261

98

(9)

masalah baru yang menjadikan birokrasi statis dan kurang peka terhadap perubahan lingkungan

bahkan terkesan cenderung resisten terhadap pembaharuan. Kondisi seperti ini seringkali

memunculkan potensi praktik mal-administrasi yang mengarah pada korupsi, kolusi dan

nepotisme. Bermula dari kondisi tersebut maka pemerintah pusat maupun daerah perlu segera

melakukan reformasi birokrasi yang tidak hanya pada tataran komitmen saja tetapi juga dalam

tataran kehidupan nyata.99

Birokrasi saat ini dipandang sebagai sebuah sistem dan alat manajemen pemerintahan

yang belum dapat memenuhi harapan publik. Dikatakan demikian karena masih sering tercium

bahwa aroma birokrasi sudah melenceng dari tujuan semula sebagai medium penyelenggaraan

tugas-tugas kemanusiaan, yaitu melayani masyarakat (public service) dengan sebaik-baiknya.

Berbicara soal birokrasi, kita pasti teringat konsep yang digagas Max Weber, sosiolog ternama

asal Jerman, yang dikenal melalui ideal type birokrasi modern. Pada dasarnya, tipe ideal

birokrasi yang diusung oleh Weber bertujuan ingin menghasilkan efisiensi dalam pengaturan

negara. Tapi, kenyataan dalam praktik konsep Weber sudah tidak lagi sepenuhnya tepat

disesuaikan dengan keadaan saat ini, apalagi dalam konteks Indonesia. Perlu ada pembaharuan

makna dan kandungan birokrasi.

Konsep birokrasi Max Weber yang legal rasional, diaktualisasikan di Indonesia dengan

berbagai kekurangan dan kelebihan seperti terlihat dari perilaku birokrasi. Perilaku birokrasi

timbul manakala terjadi interaksi antara karakteristik individu dengan karakteristik birokrasi,

apalagi dengan berbagai isu yang berkembang dan penegakan hukum saat ini yang berkaitan

dengan patologi birokrasi.100

99

Agus Pramusinto dan Erwan Agus Purwanto, Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan, dan Pelayanan Publik. (Yogyakarta: Gava Media,2009).hlm.110.

Dikaitkan dengan pengelolaan privatisasi BUMN di Indonesia

100

Ali Abdul Wakhid, “Eksistensi Konsep Birokrasi Max Weber dalam Reformasi Birokrasi di Indonesia”,

(10)

seyogianya pengaruh birokrasi harus diminimalkan untuk mempercepat proses perubahan kearah

yang diharapkan, sebagai perusahaan privat yang berdimensi publik keterbukaan terhadap

pengelolaan BUMN merupakan hal penting untuk mencapai BUMN yang ideal.

Profesionalisme BUMN sangat dipengaruhi oleh tiga faktor utama, Pertama, status

hukum dari perusahaan tersebut, Kedua, kemandirian dari BUMN tersebut, dan Ketiga

kebebasan dari intervensi pihak manapun juga. Tanpa ketiga faktortersebut, maka BUMN yang

ada akan menjadi perusahaan yang bersifat birokratis karena keberadaannya sangat tergantung

kepada pihak lain dari perusahaan tersebut. Status hukum sebagai badan hukum perdata

mengakibatkan hubungan hukum antara Perseroan Terbatas milik negara dengan negara menjadi

hubungan hukum yang sifatnya perdata, sebatas hubungan antara pemegang saham dengan

Perseroan Terbatas tersebut. Hubungan bisnis di antara negara dengan Perseroan Terbatas milik

negara adalah hubungan bisnis yang dilandasi oleh profesionalisme dan kemandirian antara

kedua badan hukum yang berbeda tersebut.101

2. Pengaruh kepentingan politik terhadap BUMN

Bortolotti dan Faccio sebagaimana dikutip oleh Hadi menyebutkan bahwa dalam

privatisasi di negara maju, hak kontrol tetap berada ditangan pemerintah, artinya walaupun

banyak aset BUMN yang dijual ke swasta, hak kontrol pemerintah pada perusahaan masih

Indonesia dilakukan reformasi birokrasi dalam dimensi kelembagaan, sumberdaya aparatur dan ketatalaksanaan, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Apalagi dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 menetapkan bahwa: "Pembangunan aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparaturnegara dan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, di pusat maupun di daerah". Dalam rangka reformasi birokrasi tersebut, pemerintah pusat meregulasi perundang-undangan yang dikenal pilar reformasi birokrasi yaitu: 1) UU Pelayanan Publik; 2) UU Administrasi Pemerintahan; 3) UU Etika Penyelengara Negara; 4) UU Kepegawaian Negara; 5) UU Kementerian Negara; 6) UU Tata Hubungan Kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; 7) UU Badan Layanan Umum/Nirlaba; 8) UU Sistem Pengawasan Nasional; 9) UU Akuntabilitas Penyelenggara Negara.

101

(11)

tergolong besar atau disebut dengan fenomena reluctant privatization.102

Privatisasi menurut Savas merupakan suatu tindakan untuk mengurangi peran dari

pemerintah dan atau meningkatkan peran swasta dalam suatu aktivitas atau kepemilikan aset,

dengan tujuan mencapai kinerja yang lebih baik dimana salah satunya untuk meningkatkan cost

effective dari BUMN. Privatisasi timbul akibat adanya kegagalan perusahaan milik pemerintah

dalam pemenuhan masyarakat dimana dirasakan intervensi politikus dalam penentuan kebijakan

perusahaan milik negara sangat besar, sehingga dengan privatisasi tersebut campur tangan

politikus diharapkan berkurang dan mampu memisahkan tujuan sosial dan ekonomi karena

adanya transparansi dalam kebijaksanaan yang diambil oleh pihak manajemen perusahaan

tersebut.

Pelaksanaan privatisasi

diberbagai negara dipandang sebagai penguatan pasar dalam struktur perekonomian negara

tersebut. Privatisasi merupakan upaya mengembalikan aktivitas perekonomian kepada sektor

swasta dengan memperkecil campur tangan pemerintah dalam perekonomian nasional. Namun

pada kenyataannya, penetapan privatisasi diberbagai negara menuai hasil yang heterogen dalam

meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Terdapat perbedaan besar antara privatisasi

yang dilakukan di negara maju dan negara berkembang.

103

Bank Dunia merilis prasyarat untuk sukses privatisasi BUMN salah satunya adalah

dengan tata kelola perusahaan yang bebas dari pengaruh kepentingan politik.104

102

Hadi, S.et al,Post Washington Consensus dan Politik Privatisasi di Indonesia. (Tangerang : Marjin Kiri, 2007) hlm. 55

Dalam

pengelolaan BUMN selalu mengedapankan kontrol politik dan cenderung mengorbankan

efisiensi perusahaan. Agarusaha BUMN berfungsi efektif, kendali negara atas usaha BUMN

tersebut harus dilonggarkan. Namun dalam hal ini patut dipertanyakan apakah negara bersedia

103

E.S. Savas, Loc.Cit

104

(12)

atau tidak membuat kebijakan seperti yang diharapkan publik. Hasil penelitian terhadap BUMN

di China mengungkapkan bahwa salah satu eksekutif senior BUMN menyatakan apa yang

diharapkan publik sebenarnya sangat berbeda atas sikap dari pejabat, sesungguhnya mereka tidak

siap untuk melepaskan kendalinya terhadap BUMN.105

Hal yang terpenting adalah tentang sejauh mana tekanan politik merusak upaya seorang

pemimpin transformasi untuk menerapkan perubahan radikal dalam sebuah BUMN yang baru

diprivatisasi.106 Sehingga muncul pertanyaan sampai sejauh mana faktor-faktor seperti kendala

politik, kondisi ekonomi, dan pengaruh sosial membatasi efektivitas pemimpin transformasi?

Andrews & Dowling mengungkapkan bahwa setelah privatisasi BUMN dilakukan, ketika

pengaruh pemerintah tetap kuat, agen negara akan memiliki kekuatan lebih untuk melindungi

kepentingan pribadi dan politik mereka daripada ketika pemerintah memiliki sedikit pengaruh

atas kepemilikan terhadap BUMN.107

Boycko, Shleifer, dan Vishny mengemukakan bahwa politisi sengaja mengeluarkan

kebijakan yang tidak menguntungkan bagi perkembangan BUMN. Dalam pandangan mereka,

politisi menghargai BUMN karena mereka dapat menggunakannya untuk mendukung

pendukung politik mereka melalui kelebihan kerja, investasi regional yang ditargetkan, dan

dengan sengaja underpricing atau overpricing barang yang dibeli (dari pemasok politik

terhubung). Politisi memiliki dorongan untuk menyuap para manajer, dan sebaliknya manajer

memiliki insentif untuk menyuap para politisi untuk promosi atau kepemilikan di kantor,

105

Jonathan G.S Koppell, Loc.Cit Lihat juga William L. Megginsonand Jeffry M. Netter, “From State to Market: A Survey of Empirical Studies on Privatization”, NYSE Working Paper 98-05, Desember 1998, hlm. 7, disebutkan bahwa para politisi sebenarnya enggan untuk melaksanakan privatisasi karena mereka tidak ingin menyerah atas kemampuan mereka untuk mengoperasikan BUMN dengan cara yang memberikan kemanfaatan ekonomi bagi pendukung politik mereka.

106

Constant D. Beugre, “Post-Privatization Performance of State-Owned Enterprisesin Emerging Economies: A Transformational Leadership Framework”, New Philadelphia, Kent State University, hlm. 9

107

(13)

sehingga korupsi muncul secara endogen dalam model ini. Karena politisi menanggung beberapa

biaya inefisiensi ekonomi yang mereka promosikan, namun melihat sebagian besar manfaat

(politik), mereka memiliki sedikit dorongan untuk mengejar perubahan yang berarti.108

Boycko dan kawan-kawan juga menyimpulkan bahwa privatisasi adalah satu-satunya

cara untuk mematahkan lingkaran subsidi dan inefisiensi, karena privatisasi akan meningkatkan

biaya bagi para politisi dalam hal intervensi dan operasional perusahaan BUMN. Singkatnya,

BUMN sangat tidak efisien terutama karena mereka mengejar tujuan politik politisi yang

mengendalikan mereka, danini hanya bisa diselesaikan dengan merubah sistem dari pengelolaan

BUMN yang dikelola dengan mekanisme yang birokrasi kepada mekanisme privat.109

Salah satu prinsip dalam mekanisme publik adalah menargetkan tujuan sosial yang perlu

diberikan kepada kelompok atau komunitas masyarakat. Pemikiran dasar bahwa pemerintah

adalah sebagai penyelenggara publik memiliki insentif terkait dengan tujuan sosial. Negara

sebagai pemilik dapat mempunyai kepentingan yang berbeda dari tujuan negara dalam perannya

sebagai pelaku bisnis. Tantangan yang sebenarnya adalah untuk menemukan keseimbangan yang

tepat antara pengaruh politik dan kapasitas manajemen untuk bertindak.110 Kondisi ini hanya

untuk menggambarkan kompleksitas dari negara sebagai pelaku bisnis yang sudah seharusnya

memenuhi dua tujuan yang berbeda.111

Upaya untuk menjadikan BUMN di Indonesia sebagai entitas bisnis modern dan

profesional telah dilakukan sejak masa Presiden Soeharto. Akan tetapi, kebanyakan BUMN tetap

108

Boycko, Maxim, Andrei Shleifer, and Robert W. Vishny,Voucher privatization”, Journal of Financial Economics35, 1994, hlm 249.

109

Boycko, Maxim, Andrei Shleifer, and Robert W. Vishny,“A theory of privatisation”, Economic Journal 106, 1996, hlm. 309-319

110

Noetzli, U,Checks and Balances in Unternehmen. Daszweite Heft zur Corporate Governance”, (Zurich : NZZ-Fokus, 2004).

111

(14)

seperti wajahnya yang lama dengan kinerja seperti biasanya pula. Sebagian besar

perusahaan-perusahaan berplat merah tersebut masih dikelola dengan pola ekonomi politik feodal, dimana

kekuasaan raja-raja kecil di departemen sangat mempengaruhi badan usaha tersebut. tali temali

BUMN dengan politik dalam hubungan yang campur aduk, intervensi, dan ketidak profesionalan

ini sudah berlangsung lama, bahkan sampai sekarang. Oleh karenanya BUMN susah untuk

berkembang.112

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono - yang kemudian tampil sebagai Presiden setelah

Megawati, Abdurrahman Wahid dan B.J Habibie - mencoba berusaha membenahi BUMN

melalui Menteri yang membawahi BUMN. Namun, lagi-lagi BUMN menjadi instrumen

kekuasaan politik di pusat kekuasaan. BUMN berada di bawah kendali dan lingkaran Presiden di

luar Menteri. Ada jebakan etatisme yang lebih dalam melalui Instruksi Presiden No. 8 Tahun

2005 jo. Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Anggota Direksi dan/atau

Komisaris Dewan Pengurus BUMN, yang memberikan peranan besar kepada tim ad hoc di luar

Menteri. Peranan lingkaran Presiden dalam menentukan Direksi dan Komisaris BUMN terlalu

jauh dalam Instruksi Presiden tersebut, sehingga ada campur aduk profesionalisme dengan

politik. Semestinya, Presiden cukup mempercayakan pengelolaan BUMN kepada Menteri dan

mewajibkan Menteri untuk melapor dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden agar

menjadi lugas, tegas, dan jelas.113

112

Didik J. Rachbini, “Dilema Pengelolaan BUMN : Antara Bisnis dan Politik”, dalam Ishak Rafick dan

Baso Amir, “BUMN Expose : Menguak Pengelolaan Aset Negara Senilah 2.000 Triliun Lebih”, (Jakarta : Ufuk Press, 2010) hlm ix. Selanjutnya disebutkan bahwa ribuan calon Direksi dan Komisaris BUMN tidak mungkin di seleksi secara tekhnis oleh tim ad hoc dibawah Presiden. Kewenangan tersebut mesti deiserahkan kepada pembantunya, dalam hal ini adalah Menteri Negara BUMN. Ada ambivalensi ekonomi dan politik dalam pengelolaan BUMN karena hubungannya dengan politik mendua. Pada satu sisi, ada pejabat formal mewakili pengangku kepentingan utama pemerintah, yakni Menteri Negara BUMN. Sedangkan pada sisi lainnya, ada tim ad hoc di lingkaran Presiden yang mempunyai kekuasaan menetukan arah BUMN dan pimpinannya.

(15)

Sebagaimana diketahui BUMN merupakan entitas bisnis, sedangkan pemerintah adalah

institusi politik. Keberadaan Instruksi Presiden tersebut telah mengarahkan BUMN sebagai

organisasi birokrasi di bawah kekuasaan pemerintah. Hubungan yang paling ideal antara bisnis

dan politik adalah hubungan yang tidak langsung, sebagaimana yang sudah diatur oleh Undang-

Undang Perseroan Terbatas melalui RUPS, bukan melalui penunjukan politik sebagaimana yang

tertuang dalam Instruksi Presiden tersebut. Kondisi ini akan menyebabkan BUMN akan menjadi

badan usaha yang sulit untuk berkembang dan sangat terbatas ruang geraknya.

Presiden Joko Widodo terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia menggantikan Susilo

Bambang Yudhoyono melalui Pemilihan Umum Tahun 2014 yang lalu. Majalah Tempo

memberikan opini114

Kebiasaan yang seolah-olah “mentradisi” itu semestinya dilakukan dengan hati-hati.

Prinsip “the right man on the right place” haruslah tetap menjadi acuan utama. Walaupun tidak

ada pelanggaran aturan atas penunjukan tersebut karena pemerintah sebagai pemegang saham

BUMN dan berhak menetapkan orang pada posisi penting tersebut. Namun asas kepatutan akan

terganggu bila automaticly seseorang dari kalangan relawan atau partai politik menduduki posisi

penting di BUMN. Seyogianya penempatan tersebut memiliki persyaratan bahwa siapa saja yang

akan menduduki posisi penting di BUMN harus memiliki kompetensi sehingga layak menduduki terkait penunjukan jabatan-jabatan penting di BUMN sebagai politik balas

budi Joko Widodo pada pemilihan Presiden 2014. Jika Presiden Joko Widodo mengangkat

relawan dan orang-orang dari partai pendukungnya ke berbagai jabatan penting di BUMN adalah

sebagai cara membayar utang budi politik. Sebenarnya cara ini bukan hal yang baru, bahkan

sudah dianggap lazim. Presiden-Presiden sebelumnya pun selalu melakukan hal yang sama,

namun demikian lazim bukan selalu benar.

114

(16)

posisi tersebut. Apalagi untuk menduduki jabatan Komisaris yang mempunyai tugas mengawasi

kinerja Direksi perusahaan milik negara tersebut.

Uraian di atas menunjukkan bahwa menajemen perusahaan negara juga sangat

bergantung dengan sistem politik yang berlaku dalam suatu negara. Menurut Hilb, sistem politik

di negara itu sangat mempengaruhi ideologi dalam membentuk manajer. Negara-negara dengan

sistem presidensial cenderung membentuk pendekatan bisnis top-down diantara manajer,

sementara sistem non presidensial lebih cenderung mendorong untuk berprilaku bagaimana

mencari kesepakatan bersama.115 Sebuah contoh yang jelas adalah bagaimana sistem Amerika

Serikat dan Swiss berbeda dalam hal ini. Sistem politik konsensual Swiss, dimana para

pemimpin partai politik yang duduk bersama-sama di dewan federal, badan pemerintah tertinggi,

bergantian menjadi presiden federal negara itu, kondisi ini menyebabkan komitmen yang lebih

besar dengan konsep perusahaan dengan orientasi fungsional, serta otonomi dan orientasi

keuangan lebih sedikit dari pada sistem yang terbangun di Amerika.116

Privatisasi BUMN harus dilakukan secara berkesinambungan, dimana antara lain

pemerintah dan pemegang kekuasaan publik lainnya tidak boleh lagi melakukan berbagai

intervensi (campur tangan) dalam bentuk apapun terhadap perusahaan milik negara yang ada.

Intervensi dalam berbagai bentuknya hanya akan membuat hancurnya upaya privatisasi terhadap

BUMN yang ada, sebagaimana yang pernah terjadi di beberapa negara yang telah melakukan

privatisasi terhadap perusahaan milik mereka. Apabila privatisasi dilakukan secara penuh, maka

BUMN yang telah diprivatisasi tersebut kelakakan menjadi BUMN yang tangguh dan berdaya

saing global serta menghasilkan keuntungan (provit) yang maksimal bagi pemiliknya, yaitu

rakyat. Apabila BUMN telah go public, maka BUMN tersebut telah menjadi kepercayaan

115

Martin Hilb, “Integrierte Corporate Governance”, (New York : Springer, 2004)

116

(17)

investor baik di dalam maupun di luarnegeri dan menjadi sasaran investasi para investor

tersebut.117

Pengaruh politik sudah seharusnya tidak mendapatkan tempat dalam pengelolaan BUMN,

karena berimplikasi negatif terhadap pencapaian tujuan didirikannya BUMN tersebut. BUMN

yang merupakan badan usaha harus dikelola dengan profesional untuk kemanfaatan umum,

sehingga ia mampu menjadi pilar perekonomian bangsa Indonesia. Privatisasi BUMN yang

merupakan bagian dari mekanisme pengelolaan BUMN harus mampu mematahkan dominasi

politik dalam keberlangsungannya, sehingga pengawasan dalam pengelolaannya menjadi sangat

dibutuhkan agar perjalanan privatisasi BUMN sesuai dengan rel yang sudah ditetapkan.

3. Rendahnya kepercayaan investor

Privatisasi seyogianya mampu mendatangkan investor untuk menanamkan modalnya

pada bidang usaha BUMN yang di privatisasi. Menurut Purwoko privatisasi yang ideal sudah

seharusnya bermanfaat bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia apabila setelah privatisasi

BUMN mampu bertahan hidup dan berkembang di masa depan, mampu menghasilkan

keuntungan, dapat memberdayakan usaha kecil, menengah dan koperasi serta masyarakat yang

ada disekitarnya. Dengan demikian, privatisasi BUMN diharapkan (1) mampu meningkatkan

kinerja BUMN, (2) mampu menerapkan prinsip-prinsip good governance dalam pengelolaan

BUMN, (3) mampu meningkatkan akses ke pasar internasional, (4) terjadinya transfer ilmu

pengetahuan dan teknologi, (5) terjadinya perubahan budaya kerja, serta (6) mampu menutup

defisit APBN.118

117

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Op.Cit, hlm 64-65

118

(18)

Investor mempunyai keinginan untuk cenderung meletakkan investasinya pada pasar

yang dapat mencapai nilai-nilai objektif di atas, hal ini menjadi pemikiran investor dalam rangka

melindungi mereka dari resiko-resiko bisnis yang mungkin saja terjadi. Terkait privatisasi

BUMN yang pengelolaannya mengikuti mekanisme di pasar modal yang merupakan bagian dari

lembaga keuangan, Kenneth Kaoma Mwenda mengemukakan bahwa apabila ada pengaturan

yang jelas terhadap lembaga keuangan, pelaku pasar dan investor melalui cara seperti effective

chinese walls dan kode etik yang jelas, pasar akan cenderung terlindungi terhadap perilaku

penyalahgunaan dari pelaku pasar.119 Apabila digabungkan dengan pengaturan keterbukaan

informasi yang efisien, hal ini dapat membentuk pasar yang fair, efisien dan transparan yang

pada gilirannya akan menimbulkan kepercayaan dari pelaku pasar termasuk investor terhadap

pasar tersebut.120

Ketika sebuah perusahaan milik pemerintah tidak mengejar strategi bisnis yang efektif,

posisi ekonomi di pasar produk akhir dipengaruhi dengan cara yang sama seperti dalam kasus

perusahaan milik swasta. Namun, konsekuensi untuk perilaku diskresioner manajer berbeda.

Alasannya dapat ditemukan dalam kurangnya kekuatan sinyal pasar jika perusahaan ini dimiliki

oleh pemerintah, pemilik akhir (masyarakat selaku investor) tidak dapat memutuskan untuk

menjual saham mereka ketika korporasi berkinerja buruk. Hal yang sama berlaku untuk politisi

sebagai agen pemilik akhir. Bahkan jika ada kepemilikan minoritas swasta di sebuah perusahaan

milik pemerintah, sinyal dari pasar modal melemah, karena pembiayaan BUMN berbeda dengan

perusahaan swasta karena kepercayaan dalam likuiditas kepemilikan negara di negara-negara

industri. Dengan kata lain, ada harapan bahwa pemerintah akan datang untuk membantu

119

Kenneth Kaoma Mwenda, Loc.Cit

120

(19)

keuangan dari perusahaan -yang menghadapi kesulitan keuangan yang parah- sehingga

melemahkan efek pemantauan dari pasar modal.121

Masuknya investor baru dari proses privatisasi diharapkan dapat menimbulkan suasana

kerja baru yang lebih produktif, dengan visi, misi, dan strategi yang baru. Perubahan suasana

kerja ini diharapkan menjadi pemicu adanya perubahan budaya kerja, perubahan proses bisnis

internal yang lebih efisien, dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi baru yang

diadopsi BUMN setelah proses privatisasi.122 Riant Nugroho mengemukakan bahwa dalam

persepektif internal manajemen perusahaan, salah satu tujuan dari kebijakan privatisasi adalah

memperoleh investor strategis sehingga dapat memacu kinerja manajemen terutama terkait

dengan kemampuan teknis, marketing, dan managerial skills.123

Privatisasi yang paling banyak dipahami adalah privatisasi yang kebijakan-kebijakannya

mengizinkan negara melepas kepemilikan kepada perusahaan-perusahaan swasta, pihak-pihak di

luar negara atau investor asing. Secara umum, privatisasi memang cenderung dipahami sebagai

suatu proses untuk memindahkan status kepemilikan perusahaan negara/BUMN atau harta publik

lainnya, dari milik publik (negara) menjadi milik pemodal privat (swasta). Tetapi dalam

121

Arnold Picot and Thomas Kaulmann, “Comparative Performance of Government-ownedand Privately-owned Industrial Corporations -Empirical Results from Six Countries”, Journal of Institutional and Theoretical Economics (JITE), 145, 1989, Zeitschrift fiir die gesamte Staatswissenschaft, hlm. 300-301

122I b i d

, hlm. 11,lihat juga Erman Rajagukguk, “Penanaman Modal Asing di Indonesia : Development Theory V. Dependency Theory”, dalam “Butir-Butir Hukum Ekonomi : 65 Tahun Erman Rajagukguk”, (Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia : Jakarta, 2011) hlm. 401-402, disebutkan bahwa kedatangan investor khususnya pemodal asing juga diharapkan dapat membawa tekhnologi baru. Sehingga negara penerima modal mendapatkan teknologi tersebut. Tanpa disadari atau disengaja alih teknologi cepat atau lambat akan menguntungkan negara-negara berkembang. Datangnya investor juga membuka infrastruktur yang baru, seperti jalan, jembatan, pelabuhan dan lapangan terbang. Infrastruktur ini dibangun oleh negara tuan rumah dengan pinjaman negara maju,dibangun oleh tuan rumah sendiri atau dibangun oleh investor asing. Harus diakui penambahan infrastruktur ini membawa peningkatan pembangunan ekonomi negara yang bersangkutan. Dengan adanya infrastruktur tersebut perbaikan bidang transportasi, kesehatan dan pendidikan yang mengutungkan investor asing dan masyarakat lokal secara keseluruhan.

123

(20)

pengertian yang lebih luas, privatisasi sesungguhnya dapat pula diartikan sebagai suatu proses

untuk mentransformasikan metode pengelolaan perusahaan negara/BUMN dan harta publik

lainnya itu, agar lebih menyerupai metode pengelolaan yang terdapat di sektor swasta. Asas

utama privatisasi adalah kepemilikan individual secara mutlak dan mekanisme pasar. Karenanya

tidak dikenal public goods atau public services. Yang ada commercial goods atau commercial

services.124

William L Meginson menyebutkan bahwa ketidak berhasilan privatisasi terutama karena

struktur kepemilikan yang terkonsentrasi yang dihasilkan dari proses privatisasi. William

mengemukakan untuk lebih terkonsentrasi pada struktur kepemilikan post-privatization, yaitu

mengedepankan perusahaan yang profitabilitas dan penilaian pasar. Investor strategis tampaknya

sangat penting dalam meningkatkan tata kelola perusahaan dan kinerja keuangan, disamping itu

juga kepemilikan dominan melalui dana yang disponsori investasi perbankan juga hal yang tak

kalah penting.125

Sebelum menjual atau membeli BUMN dalam perekonomian suatu negara yang sedang

berkembang, pemerintah ataupun investor harus yakin memiliki seseorang untuk membuat suatu

terobosan yang berarti dalam mengelola BUMN. Kegagalan untuk menemukan pemimpin yang

mampu memimpin transisi dapat mengakibatkan kinerja yang buruk. Pengembangan dan

pelatihan terhadap manajerial untuk mengelola perusahaan yang baru diprivatisasi telah

diabaikan dalam literatur privatisasi di sebagian besar negara-negara berkembang.

Privatisasi akan mendatangkan investor jika dalam perjalanannya privatiasasi

mampu meyakinkan sesuatu yang menjanjikan bagi investor tersebut.

126

124

Ichsanuddin Noersy, Issues and Perspectives of Privatization, Global Justice Update- Volume VI - 2nd Edition - July 2008 and Global Justice Update, Volume 6, Special Edition2008

Dengan

125

William L. Megginsonand Jeffry M. Netter, Op.Cit, hlm. 17-18

126

(21)

demikian faktor leadership juga menjadi suatu hal yang tidak bisa dinafikan dalam pelaksanaan

privatisasi BUMN.

Manajemen BUMN harus memahami bahwa setelah privatisasi dilakukan, pengawasan

bukan hanya dari pihak pemerintah saja, tetapi juga dari investor yang akan menanamkan

modalnya ke BUMN tersebut. Sehingga dalam menjalankan tugasnya, manajemen BUMN

dituntut untuk lebih transparan serta mampu menerapkan prinsip-prinsip GCG. Pada masa-masa

yang akan datang, BUMN akan dihadapkan dengan persaingan global, dimana batas wilayah

suatu negara dapat dengan mudah dimasuki oleh produsen-produsen asing untuk menjual

produk-produk dengan kualitas yang baik dan dengan harga yang sangat kompetitif. Oleh

karenanya, BUMN harus meningkatkan kualitas produknya serta memperluas jaringan pasar,

bukan hanya pada tingkat nasional tetapi juga di pasar global. Dengan kebijakan privatisasi

BUMN, terutama dengan metode go public diharapkan BUMN mampu menarik investor baik

dari dalam maupun luar negeri sehingga mempunyai akses yang lebih baik di pasar global.127

Jean Jacques Rosa menyebutkan privatisasi sebagai sebuah misteri dalam sistem

pemerintahan. Misteri tersebut dapat diselesaikan jika pemerintah mempunyai motif yang sama

dengan motif dari investor swasta dalam mengawasai berlangsungnya privatisasi perusahaan

BUMN yang didasarkan kepada satu kepentingan untuk memberikan keuntungan kepada

pemegang saham dan mengelola dengan baik sumber daya yang ada. Namun kasus yang sering

terjadi dalam suatu pemerintahan adalah ketika nuansa kekuasaan dan politik lebih kental

127

(22)

dibandingkan pencapaian idealisme perusahaan, pemerintah banyak melakukan praktik berbagi

kepada para pendukung politiknya dengan harapan mendapatkan peluang untuk didukung dan

dipilih kembali sebagai pihak yang berkuasa di pemerintahan.128

Paparan yang diungkap Jean di atas tentu menjadi momok dalam pengelolaan privatisasi

BUMN, ketidaksamaan visi antara investor dan pemerintah tidak memberikan harapan terhadap

BUMN untuk mendapatkan investor yang diharapkan dapat membawa angin segar atas

keberlangsungan perusahaan. Prinsip-prinsip ideal dalam pengelolaan perusahaan yang tertuang

dalam GCG harus dijadikan komitmen bagi pemerintah sebagai ujung tombak dalam

mewujudkan apa yang menjadi tujuan pembentukan BUMN, dengan demikian pemerintah harus

mampu melepaskan belenggu politik dalam melaksanakan tugasnya dalam mengemban amanah

rakyat untuk mewujudkan kesejahteraan melalui pengelolaan BUMN yang baik.

Pengelolaan yang baik pada pelaksanaan privatisasi BUMN adalah wujud keberpihakan

pemerintah terhadap kesejahteraan rakyat, jika hal ini dapat terwujud akan berdampak terhadap

iklim investasi yang kondusif dalam dunia usaha di Indonesia khususnya terhadap

keberlangsungan usaha BUMN yang mempunyai dampak yang luas bagi rakyat Indonesia.

Namun realitas saat ini belum menunjukkan hal yang ideal untuk menuju ke arah yang

diinginkan, sehingga butuh sistem pengawasan yang sistematis dan terukur dalam upaya

mengarahkan pengelolaan BUMN yang pro rakyat. Dengan demikian kebijakan memprivatisasi

BUMN menjadi langkah yang optimal untuk menarik investor dalam menanamkan berbagai

128

(23)

bentuk investasi yang diharapkan dapat membawa kemajuan dan kesejahteraan perekonomian

Indonesia.

4. Potensi penyimpangan

Syarat utama agar pembangunan ekonomi bisa terus berjalan berkesinambungan adalah

dengan menciptakan kondisi stabilitas politik yang mantap. Dalam konteks ini intervensi

pemerintah menjadi sangat menonjol sehingga kekuasaan pemerintah relatif besar sehingga

rawan terhadap penyelewengan wewenang.129

Dibyo Sumantri mengungkapkan bahwa penyimpangan dalam pengelolaan BUMN

sejauh ini tampaknya memang masih menjadi “sympton”yang perlu segera diobati. Mengingat

sympton” ini potensial terjadi dikalangan pengelola perusahaan, jajaran manajemen maupun

dilakukan oleh pemegang saham dan karyawan, atau bahkan mungkin sekali terjadi akibat

campur tangan dari pihak-pihak luar perusahaan yang tidak dapat dicegah oleh direksi.

Selanjutnya Dibyo menyatakan bahwa sinyalemen dari Masyarakat Transparansi Indonesia

akhir-akhir ini memang perlu dicermati semua pihak. Ditegaskan bahwa selama ini proses

pemilihan direksi BUMN masih tersisa sistem KKN, antara lain berupa ‘titipan’ dari pejabat BUMN memainkan peran yang sangat strategis

dalam hal menjalankan fungsi produksi dan distribusi barang dan jasa, namun demikian perlu

disadari bahwa pada dasarnya BUMN hadir sebagai business entity yang memainkan peran

sebagai stabilisator perekonomian di Indonesia, disamping perannya sebagai agent of

development.

129

(24)

yang notabene tidak sesuai dengan kebijakan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test)

.130

Penyimpangan policy direction yang merugikan BUMN sering terjadi akibat keterlibatan

birokrasi dengan kepentingannya. Policy direction yang merugikan timbul karena adanya

kepentingan elite BUMN yang muncul melalui kebijakan-kebijakan yang formal. Tidak sedikit

birokrat di BUMN yang sulit membedakan dirinya sebagai birokrat atau profesional perusahaan,

sehingga menimbulkan political cost yang sulit diukur. Aset yang besar dan tidak disertai dengan

optimalisasi manfaat yang akan didapatkan akan berakibat over-investment dan pemborosan

yang membebani BUMN itu sendiri. Selanjutnya kemudahan dari negara dalam bentuk subsidi

yang diberikan kepada BUMN setara dengan cost bagi rakyat banyak.

Murat Cokgezen mengemukakan bahwa meskipun pembangunan ekonomi suatu bangsa

atau daerah adalah salah satu motivasi ekonomi utama di balik pembentukan BUMN, di banyak

negara mereka ditugaskan untuk target politik dan sosial baru oleh para politisi yang

bertentangan dengan orang-orang ekonomi. Mengejar beberapa tujuan dengan memaksa para

pengelola BUMN mengorbankan tujuan ekonomi untuk mencapai apa yang menjadi tujuan

kelompoknya. Oleh karena itu, di akhir tahun 1970-an, kontribusi perusahaan publik untuk

pembangunan ekonomi dan sosial telah dipertanyakan. Mereka dikritik sebagai sumber

inefisiensi ekonomi dan hambatan bagi pembangunan ekonomi dalam suatu negara.131

130

Dibyo Sumantri Priambodo,

wasangka” sebelumnya namun pemegang saham, direksi, manajemen maupun karyawan berpotensi memasukkan kepentingan individu. Misalnya saja dalam kontrak atas nama perusahaan melalui praktik pengutipan komisi atau

mark up nilai kontrak. Bahkan tidak jarang terjadi “perusahaan dalam perusahaan” sehingga kondisinya seperti yang kita rasakan saat ini bahwa hulu dari berbagai penyimpangan dalam pengelolaan perusahaan tidak lain adalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dan muaranya adalah uang dan kekuasaan.

131

(25)

Manajemen BUMN dapat memanfaatkan posisinya untuk keuntungan pribadi, karena

BUMN memiliki posisi yang strategis dan berstatus natural monopoli, sehingga pendapatan

bersumber dari captive market yang jarang dimiliki oleh swasta. BUMN sebagai agent of

development boleh boros atas nama pembangunan, hal ini membuka peluang besar terjadinya

penyimpangan dalam pengelolaan BUMN. Kebocoran dan penyimpangan yang sering terjadi di

BUMN antara lain (1) Munculnya pos pengeluaran fiktif untuk menampung political cost (2)

Lahirnya biaya yang tidak relevan dengan core business BUMN (3) Biaya-biaya yang

dikeluarkan tidak mengandung kewajaran dari aspek bisnis normal yang berakibat BUMN

terjebak bisnis berbiaya tinggi (4) Over investment yang terus menerus menimbulkan cost yang

terus menerus ditanggung selama hidup BUMN.132

Perlakuan istimewa negara kepada BUMN menjadikannya tidak peka terhadap

lingkungan usahanya, lemah dalam persaingan, tidak lincah dalam bertindak, lamban mengambil

keputusan, sehingga hilangnya momentum yang berakhir pada kerugian. Keistimewaan yang

diberikan birokrasi seharusnya dikompensasi dengan memberikan kemudahan kepada pihak lain

132I b i d

(26)

melalui policy direction yang menjadi political cost bagi BUMN. Keterlibatan birokrasi dalam

BUMN yang berlangsung lama sering menyulitkan direksi untuk bertindak objektif.133

Pengelolaan BUMN sebagai perusahaan negara hendaknya memperhatikan

prinsip-prinsip keadilan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas publik guna terwujudnya GCG.

Asas-asas umum tersebut merupakan ground idea dan harus menjadi kerangka acuan atau frame of

reference yang membatasi di dalam setiap pengelolaan keuangan Negara, agar dapat lebih

terarah dan dipertanggungjawabkan dari berbagai aspek hukum (situationsgebundenheit)134,

mengingat kesemua asas-asas umum tersebut telah diimplementasikan ke dalam regulasi yang

mengatur tentang pengelolaan keuangan negara. Marwan Effendi mengungkapkan bahwa

Khusus untuk lingkungan Badan Usaha Milik Negara, asas-asas umum tersebut tidak hanya

sekedar menjadi kerangka acuan dan pembatas di dalam pengelolaan keuangan negara, tetapi

lebih jauh lagi adalah dalam upaya untuk mewujudkan good governance dan clean goverment.135

Dari berbagai penyelewengan dan penyimpangan yang terjadi dalam pengelolan BUMN

dapat diambil pelajaran bahwa dalam menjalankan roda organisasi perusahaan negara harus

mampu menciptakan keseimbangan antara kepentingan pemilik atau pemegang saham dengan

kepentingan stakeholder lainnya. Sehingga pada masa-masa yang akan datang tidak terjadi

benturan kepentingan, dengan demikian para pemangku kepentingan yang terdiri dari

pemerintah, pemasok, pelanggan, pesaing, karyawan dan berbagai elemen lainnya termasuk

133

Artikel BUMN

134

Marwan Effendy, ”Penerapan Perluasan Ajaran Melawan Hukum dalam Undang-Undang Tindak

Pidana Korupsi (KajianPutusan No

Dictum,Jakarta,2005,hal.17.

135

(27)

masyarakat akan dapat berinteraksi secara sehat dalam meningkatkan kinerja perusahaan. Untuk

itu, pengawasan Otoritas dalam pengelolaan BUMN diharapkan mampu menciptakan

keseimbangan yang akan meredam benturan antara stakeholder yang ada.

Dibyo Sumantri dalam tulisannya bertajuk refleksi BUMN mengemukakan bahwa patut

dicermati oleh para stakeholder, aktivitas apapun jika tanpa sistem pengendalian dan

pengawasan yang baik, justru akan berbuntut pada terjadinya penyimpangan sehingga merugikan

kinerja BUMN termasuk didalamnya kredibilitas boord of director maupun boord of commission

dalam tata kelola dan sistem pengawasannya.136

B. Pertimbangan-Pertimbangan Tetap Diperlukannya Pengawasan Otoritas terhadap BUMN yang Diprivatisasi

Pasal 33 UUD 1945 secara tersirat telah memberikan tempat kepada BUMN untuk

mengelola kegiatan perekonomian yang manfaatnya harus dapat dirasakan oleh rakyat Indonesia.

Keterlibatan secara langsung uang negara dalam pendirian BUMN merupakan bentuk

keikutsertaan Otoritas dalam keberlangsungan BUMN, dengan demikian diharapkan BUMN

mampu menjadi agent of development bagi kemajuan bangsa Indonesia dimasa yang akan

datang.

Kajian hukum tentang BUMN oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional mengemukakan

bahwa secara sederhana Pasal 33 UUD 1945 juga bermakna bahwa negara harus menjaga apa

yang terkandung di dalam dirinya termasuk keselamatan, ketahanan ekonomi dan kekayaan

negara dari penguasaan golongan atau pribadi tertentu, serta menguasai cabang-cabang produksi

penting meliputi fasilitas umum yang kemanfaatannya digunakan untuk kepentingan dan

kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu selama Pasal 33 UUD 1945 masih tercantum dalam

136

(28)

konsitusi maka selama itu pula keterlibatan Otoritas dalam menata perekonomian Indonesia

masih tetap diperlukan.137

Didirikannya BUMN diharapkan dapat menjadi pilar perekonomian Indonesia. Peran dan

tugas pokok Otoritas terkait keberadaan BUMN dalam perekonomian Indonesia yakni

meningkatkan efesiensi, pemerataan dan mampu mewujudkan apa yang menjadi tujuan utama

dibentuknya BUMN tersebut.138 Konsistensi maksud dan tujuan didirikannya BUMN haruslah

tetap dilaksanakan baik oleh Otoritas maupun badan usaha yang dimiliki negara. Sebab

keterlibatan Otoritas dalam mengawasi pengelolaan cabang-cabang produksi yang strategis

dimaknai sebagai upaya mensejahterahkan rakyat.

1. Terdapatnya kekayaan Negara yang dipisahkan dalam BUMN

Keberadaan BUMN dimaknai sebagai badan usaha yang seluruh atau sebagian besar

modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan

negara yang dipisahkan. Hal ini secara tegas disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 angka (1)

Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Selanjutnya Pasal 1

angka (10) menyebutkan bahwa kekayaan negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang

berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan

modal negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas lainnya.

137137

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Op.Cit, hlm. 2, selanjutnya disebutkan bahwa Penguasaan untuk cabang-cabang produksi yang penting bagihajat hidup orang banyak tetap dikuasai oleh negara. Kekuasaandisini dalam arti luas adalah kekuasaan dalam pengendalian, kontrol,pengaturan dan pengelolaan. Peningkatan kesejahteraan masyarakatoleh negara sangat erat kaitannya dengan kebijakan sosial (socialpolicy) di mana pada banyak negara mencakup strategi dan upayaupayapemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan warganya,terutama melalui perlindungan sosial (social protection) yang mencakupjaminan sosial (baik berbentuk bantuan sosial dan asuransi sosial),maupun jaring pengaman sosial (social safety nets)

138

(29)

Terkait dengan pembinaan dan pengelolaan terhadap modal BUMN yang berasal dari

kekayaan negara yang dipisahkan, maka yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan

kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk dijadikan penyertaan

modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi

didasarkan pada sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, namun pembinaan dan

pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.139

Kekayaan negara yang dipisahkan merupakan bagian dari keuangan negara, hal ini secara

tegas diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Ketentuan tersebut menyebutkan bahwa Keuangan Negara meliputi kekayaan negara/kekayaan

daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang,

serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada

perusahaan negara/perusahaan daerah.

Hal ini dapat

dimaknai bahwa pengelolaan serta pembinaan BUMN yang modalnya berasal dari kekayaan

negara yang dipisahkan tersebut harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan bentuk usahanya, baik

itu Perum maupun Persero.

140

Historis yuridis pengaturan keuangan negara dimulai sejak Tahun 1864 pada saat

ditetapkan Indoneische Comptabiliteit Wet (ICW), yang berlaku pertama sekali pada tanggal 1

Januari 1887. Riwayat ICW tersebut terkait dengan perubahan paradigma Groundwet

Nedherland 1848, yang memberikan kewenangan lebih kuat kepada parlemen untuk melakukan

139

Lihat Penjelasan Pasal 4 ayat 1 Undang Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.

140

(30)

fungsi kontrol pada keuangan Negara. Di Hindia Belanda, pada Tahun 1917 Gubernur Jenderal

memiliki kewenangan menetapkan sementara anggaran. Kemudian setelah dibentuk volksraad

mulai dilakukan perintisan ke arah fungsi kontrol parlemen meskipun sampai dengan Tahun

1925 kewenangan dalam hal financiele beleid masih berada di tangan Gubernur Jenderal Hindia

Belanda.141

Pasca Indonesia Merdeka, ICW masih diberlakukan di Indonesia berdasarkan Pasal II

Aturan peralihan UUD 1945, sampai akhirnya diubah dengan diterbitkannya Undang-Undang

No. 6 Tahun 1968 tentang perbendaharaan Indonesia. Bergulirnya reformasi di Indonesia pada

tahun 1998 menghendaki adanya perubahan terhadap regulasi yang mengatur tentang Keuangan

Negara, amandemen ketiga UUD 1945 telah merubah aturan terkait Keuangan Negara. Arifin P.

Soeria Atmadja mengemukakan bahwa hal ini telah membawa dampak hukum yang sangat

serius bagi pemerintah maupun Badan Usaha Milik Negara, daerah maupun milik swasta.142

Dampak serius di bidang hukum terjadi karena disebabkan oleh perubahan UUD 1945

pada Bab VII dan Bab VIIA, maupun ketiga paket Undang- Undang yang mengatur pengertian

dalam ruang lingkup keuangan Negara. Diskusi dan perdebatan terkait pegertian Keuangan

Negara selalu menjadi topik yang hangat untuk diperbincangkan, bermula dari penafsiran yang Implikasi dari perubahan norma dasar terkait keuangan Negara tersebut telah melahirkan tiga

paket Undang-Undang yang mengatur terkait keuangan Negara, yaitu Undang-Undang No. 17

Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang

Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan

Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

141

Ahmad Fikri Hadin, Op.Cit, hlm 23

142

Arifin P. Soeria Atmadja,“Keungan Publik dalam Perspektif Hukum, Teori, Kritik dan Praktik”

(31)

berbeda terhadap bunyi Pasal 23 UUD 1945 sebelum perubahan, yang memberikan pengertian

yang tidak jelas mengenai Keuangan Negara.

Terkait penafsiran tentang keuangan Negara, Dian Puji Simatupang

mengklasifikasikannya menjadi tiga macam, yaitu :143

1. Keuangan Negara diartikan secara sempit, seperti dikemukakan oleh Harun Al-Rasyid, dia

berpendapat bahwa yang dimaksud dengan keuangan Negara dalam Pasal 23 ayat (5) UUD

1945 sebelum perubahan adalah keuangan Negara dalam arti sempit.

2. Keuangan Negara secara luas, seperti dikemukakan oleh mantan anggota BPK Hasan

Akman, bahwa dalam kaitan dengan pertanggung jawaban keuangan Negara sebagaimana

dimaksud oleh Pasal 23 ayat (5) UUD 1945, maka yang dimaksud dengan Keuangan

Negara adalah Keuangan Negara dalam arti luas. Jadi pertanggung jawaban Keuangan

Negara yang harus dilakukan oleh pemerintah tidak saja mengenai APBN, tetapi meliput

APBD, keuangan unit usaha Negara dan pada hakekatnya seluruh kekayaan Negara.

3. Dilakukan melalui pendekatan sistematik dan teleologis atau sosiologis terhadap Keuangan

Negara yang dapat memberikan penafsiran yang relatif lebih akurat sesuai dengan

tujuannya. Pendekatan tersebut mengandung makna Keuangan Negara didasarkan atas

tujuan atau fungsi ketentuan peraturan yang bersangkutan dalam konteks masyarakat

dewasa ini. Penafsiran ini paling tampak esensial dan dinamis dalam menjawab berbagai

perkembangan yang ada dalam masyarakat.

Terkait kekayaan negara yang dipisahkan di dalam pengelolaan BUMN, Tan Kamello

berpendapat bahwa adalah anggapan hukum yang keliru jika ada yang menyatakan bahwa

143

(32)

BUMN sebagai suatu korporasi yang modalnya berasal dari APBN dan menurut

Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 adalah termasuk Keuangan Negara. Tan Kamello menegaskan

bahwa keuangan BUMN bukan merupakan Keuangan Negara, BUMN berdasarkan

Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 adalah Perseroan yang bersifat khusus (lex specialis) dari Perseroan

Terbatas berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007, sehingga harus tunduk pada

ketentuan-ketentuan Undang-Undang Perseroan Terbatas.144

Diskusi-diskusi terkait Undang-Undang Keuangan Negara pun kerap dilakukan guna

mencari kejelasan unsur kekayaan negara dalam Undang-Undang Keuangan Negara. Saat ini

Mahkamah Konstitusi pun telah menyidangkan permohonan uji materiil Undang-Undang

Keuangan Negara, karena perdebatan tentang Undang-Undang Keuangan Negara yang

menyatakan aset BUMN menjadi bagian dari kekayaan negara masih terus bergulir.

Permohonan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi diajukan oleh Center for Strategic

Studies University of Indonesia (CSSUI) atau Pusat Kajian Masalah Strategis Universitas

Indonesia tentang Pengelolaan kekayaan Negara tercatat di Mahkamah Konstitusi Nomor

48/PUU-XI/2013. Pasal yang diminta untuk diuji materi adalah Pasal 2 huruf g dan huruf i

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Sedangkan permohonan uji

materiil tercatat Nomor 62/PUU-XI/2013 diajukan oleh Forum Hukum Badan Usaha Milik

Negara, pasal yang diminta untuk diuji materi adalah Pasal 2 huruf g dan huruf i

Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara serta Pasal 6 ayat (1), Pasal 9 ayat (1)

huruf b, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (3) huruf b, dan Pasal 11 huruf a Undang-Undang Nomor 15

Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Permohonan uji materiil tersebut pada intinya

144

(33)

menyatakan bahwa kekayaan BUMN tidak masuk dalam lingkup keuangan negara dan BPK

tidak dapat melakukan pemeriksaan terhadap BUMN.

Dalam amar putusannya Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pihak-pihak

tersebut secara seluruhnya, dengan pernyataan bahwa pengertian Keuangan Negara tersebut

tidak bertentangan dengan Konstitusi, karena pengertian tersebut tidak dapat dipahami hanya

berdasarkan Pasal 23 UUD 1945, tetapi juga harus dipahami secara komprehensif dengan

menggunakan Pasal-Pasal lainnya seperti Pasal 23C yang mengatur perlunya Undang-Undang

untuk mengatur hal-hal lain tentang Keuangan Negara (yang diperlukan), serta pemahaman

tentang konsep negara kesejahteraan (welfare state) yang secara eksplisit dianut dalam UUD

1945, yaitu dalam Pembukaan UUD 1945, dan Pasal-pasal yang ada di dalamnya. Keputusan

Mahkamah Konstitusi tersebut dibuat pada tanggal 3 Februari 2014.

Dalam pertimbangan hukumnya, hakim Mahkamah Konstitusi menyampaikan hal-hal

sebagai berikut:145

“Menimbang bahwa pemisahan kekayaan negara dalam BUMN, BUMD, atau nama lain yang sejenisnya, harus dikaitkan dengan kerangka pemikiran tersebut. pemisahan kekayaan negara tidak dapat diartikan sebagai putusnya kaitan negara dengan BUMN, BUMD, atau nama lain yang sejenisnya. Pemisahan kekayaan negara pada BUMN, BUMD, atau nama lain yang sejenisnya hanyalah dalam rangka memudahkan pengelolaan usaha dalam rangka bisnis sehingga dapat mengikuti perkembangan dan persaingan dunia usaha dan melakukan akumulasi modal, yang memerlukan pengambilan keputusan dengan segera, namun tetap dapat dipertanggungjawabkan kebenarnannya.”

“Menimbang bahwa terlepas dari permasalahan konstitusionalitas sebagaimana dipertimbangkan di atas, ternyata masih terdapat permasalahan lain yang harus dipertimbangkan, yaitu mengenai paradigma fungsi BUMN atau BUMD sebagai kepanjangan tangan dari negara, yang dilaksanakan berdasarkan paradigma bisnis (Business judgemenet rules) yang sungguh-sungguh berbeda dengan penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan berdasarkan paradigma

pemerintahan (government judgemenet rules).

145

(34)

Bahwa benar, kekayaan negara tersebut telah bertransformasi menjadi modal BUMN atau BUMD sebagai modal usaha yang pengelolaannya tunduk pada

paradigma usaha (Business judgemenet rules), namun pemisahaan kekayaan

negara tersebut tidak menjadikan beralih menjadikan kekayaan BUMN atau BUMD yang terlepas dari kekayaan negara, karena dari perspektif transaksi yang terjadi jelas hanya pemisahan yang tidak dapat sebagai pengalihan kepemilikan, oleh karennya tetap sebagai kekayaan negara dan dengan demikian kewenangan negara dibidang pengawasan tetap berlaku. Meskipun demikian, paradigma pengawasan negara dimaksud harus berubah, yaitu tidak lagi berdasarkan paradigma pengelolaan kekayaan negara dalam penyelenggaraan pemerintahan (government judgemenet rules), melainkan berdasarkan paradigma usaha (business judgemenet rules). Oleh karenanya, menurut Mahkamah, adalah merupakan ranah kebijakan pembentuk Undang-Undang sebagaimana pengawasan tersebut diatur secara tepat sesuai dengan hakikat dan kekhususan paradigma yang berbeda antara yang satu dengan yang lain, yang dengan demikian penyelenggaraan fungsi pengawasan dapat berjalan dengan baik dan masing-masing penyelenggara fungsi pemerintahan maupun bisnis dapat berjalan tanpa keraguan. Dengan demikian penyelenggaraan tugas negara, baik oleh pemeriksa maupun lembaga yang

diperiksa berjalan efektif dan efisien, yang pada gilirannya akan menciptakan good

corporate governance dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.”

Salah satu hakim Mahkamah Konstisusi, Harjono menyatakaan perbedaan pendapat

(dissenting opinion) terhadap perkara a quo, Hakim Harjono berpendapat bahwa hubungan

negara terhadap BUMN (Persero) adalah hubungan kepemilikan sebagai pemegang saham

Perseroan Terbatas yang hak dan kewajibannya tunduk pada UU Perseroan Terbatas. Negara

tidak lagi mempunyai kekuasaan yang bebas terhadap sebagian kekayaan negara yang

dipisahkan untuk menjadi modal perseroan karena telah dikonversi menjadi hak pemegang

saham sebagaiman diatur dalam UU Perseroan Terbatas.

Selanjutnya Hakim Harjono menyampaikan bahwa dengan telah dikonversi menjadi

kepemilikan pemegang saham dalam persentase yang tercermin sebagai hak suara dalam RUPS

dan hak untuk mendapatkan deviden, maka hubungan negara dengan kekayaan yang semula

dimilikinya menjadi putus. Apabila negara dalam pembentukan Persero memisahkan

(35)

yang kemudian dikonversi menjadi saham, maka hubungan kepemilikan negara dengan barang

atau benda tersebut telah putus, artinya barang atau benda tersebut tidak lagi milik negara tetapi

sebagian dari harta kekayaan persero, sebab apabila kepemilikan negara masih tetap melekat,

maka negara akan mempunyai dua titel hak atas satu barang atau benda yang sama. hak

pemegang saham menggantikan hak kepemilikan yang sebelumnya dipunyai oleh negara.

Hal senada disampaikan Hikmahanto Juwana dalam sidang yang dilaksanakan

Mahkamah Konstitusi dalam mata acara mendengarkan keterangan ahli. Berikut pendapat yang

disampaikan Hikmahanto terkait modal negara yang dipisahkan dalam pengelolaan BUMN:146

Pertama, kepada saya ditanya oleh Pemohon bagaimana secara doktrin bila uang negara dijadikan modal bagi BUMN? Apakah tetap merupakan uang negara atau telah menjadi uang BUMN yang terpisah dari uang negara? Atas pertanyaan ini

ada tiga alasan dan yang merupakan pendapat saya. Pertama, adalah uang negara

yang sudahdisetorkan kepada BUMN, maka tidak lagi menjadi uang negara karena negara telah mendapatkan “bukti” dari modal yang disetorkan itu dalam bentuk saham. Saya sudah sampaikan di dalam keterangan saya, visualisasi. Jika negara menyetorkan tidak dalam bentuk uang, tetapi dalam bentuk tanah (in breng) karena di situ akan mudah melihatnya secara nyata. Ketika negara mempunyai aset berupa tanah dan kemudian memasukkan sebagai modal, maka atas tanah tersebut BUMN dapat membaliknamakan atas nama Badan Usaha Milik Negara tersebut, dan sebagai kompensasi, maka negara akan mendapatkan saham. Adalah aneh atau janggal apabila tanah yang sudah menjadi milik dari BUMN tersebut kemudian diklaim sebagai milik dari negara. Artinya telah terjadi dua kali penghitungan, pertama adalah saham yang dimiliki oleh negara. Yang kedua adalah tanah yang memang asalnya dari negara tetapi kemudian sudah dimasukkan sebagai modal dalam Badan Usaha Milik Negara. Itu merupakan alasan pertama saya.”

“Alasan kedua, kenapa keuangan BUMN tidak bisa dianggap sebagai keuangan

negara? Karena keuangan BUMN tidak bisa diperlakukan sebagai keuangan negara. Secara alamiah, mengelola keuangan negara berbeda dengan mengelola keuangan BUMN. Dalam keuangan BUMN ada neraca laba dan rugi, tapi tidak badan negara. Dalam konteks negara, negara menganggarkan dan terpenting adalah bagaimana penyerapan dari apa yang telah dianggarkan. Namun dalam

146

Referensi

Dokumen terkait

(1) Pemanfaatan Tanah Desa untuk Pelungguh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b, adalah Tanah Desa yang digunakan untuk memberikan Penghasilan tambahan

yang digunakan untuk menilai kriteria apa yang paling penting serta mengukur kinerja dari kualitas layanan elektronik dari laman ( website ) rumah sakit, yaitu

Sistem pencatatan penjualan atau pesanan pelanggan masih dilakukan dengan. menggunakan aplikasi Microsoft Exceldapat menimbulkan resiko

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pola gangguan jiwa pada pelaku tindak pidana.. kekerasan yang dimintakan Visum et Repertum Psikiatri ke

Penimbangan Seluruh Bahan Berdasarkan Resep Dasar Kue Nastar.. Penimbangan Seluruh Bahan Berdasarkan Resep Dasar

Form master transaksi, berisi tampilan untuk admin menginput data pelanggan yang pesan, yang kemudian menginputkan data pesanan ke form proses transaksi. Form master

maternal dan p=0,177 untuk hubungan kadar albumin serum dengan mortalitas maternal pasien preeklampsia berat.. dan

Pengembangan Produk Turunan Nangka Melalui Pemanfaatan Biji Nangka Sebagai Bahan Baku Varonyil (Variasi Roti Unyil) yang Sehat.. Bahan Pangan, Gizi, dan