41 METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross-sectional (potong lintang) dengan pendekatan kuantitatif. Desain penelitian cross-sectional adalah penelitian yang dilakukan pada satu waktu dan satu kali untuk mencari hubungan antara variabel independen (faktor resiko) dengan variabel dependen (efek). Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berasal dari data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan. Variabel independennya adalah karakteristik balita (usia, jenis kelamin, berat badan lahir, panjang lahir, imunisasi dasar, riwayat infeksi, dan riwayat diare), karakteristik rumah tangga (usia ibu, tinggi ibu, jumlah anggota keluarga, pendidikan ayah, pendidikan ibu, pekerjaan ayah, pekerjaan ibu, wilayah tempat tinggal, dan kebiasaan merokok, sumber air minum, dan fasilitas sanitasi).
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi Penelitian dilakukan di Provinsi Sumatera Utara. Penelitian ini dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI melakukan penelitiannya sejak bulan Mei sampai Juni 2013.
3.3 Populasi dan Sampel Riskesdas
Populasi dalam Riskesdas 2013 adalah seluruh rumah tangga biasa yang mewakili 33 provinsi. Sampel rumah tangga dalam Riskesdas 2013 dipilih berdasarkan listing Sensus Penduduk (SP) 2010. BPS memilih Blok Sensus (BS) untuk Riskesdas 2013 berdasarkan sampling frame SP 2010. Daftar 12.000 BS berikut dengan 300.000 daftar Bangunan Sensus (bangsen) yang telah dilengkapi dengan nama-nama kepala rumah tangga saat SP 2010 dilakukan.
a. Kerangka Sampel
Kerangka sampel yang digunakan terdiri dari dua jenis, yaitu kerangka sampel untuk penarikan sampel tahap pertama dan kerangka sampel untuk penarikan sampel tahap kedua.
1. Kerangka sampel pemilihan tahap pertama adalah daftar primary sampling unit (PSU) dalam master sampel. Jumlah PSU dalam master sampel adalah 30.000 yang dipilih secara probability proportional to size (PPS) dengan jumlah rumah tangga hasil sensus penduduk (SP) 2010. PSU adalah gabungan dari beberapa blok sensus (BS) yang merupakan wilayah kerja tim pencacahan SP2010. PSU juga dilengkapi informasi jumlah dan daftar nama kepala rumah tangga, alamat, tingkat pendidikan kepala rumah tangga berdasarkan klasifikasi wilayah urban/rural.
pencacahan lengkap SP2010 (SP2010-C1). Bangunan sensus terpilih dan rumah tangga di dalam bangunan sensus terpilih terlebih dahulu dilakukan pemutakhiran. Pemutakhiran dilakukan oleh enumerator Riskesdas 2013 sebelum mulai melakukan wawancara.
b. Desain Sampel
Metode sampling yang digunakan yaitu penarikan sampel dua tahap berstrata dan merupakan sub sampel dari estimasi kabupaten/kota. Tahapan dari metode ini diuraikan sebagai berikut:
- Tahap pertama, memilih sejumlah BS secara sistematik dari BS terpilih estimasi
kabupaten/kota sesuai alokasi domain kabupaten/kota.
- Tahap kedua, dari setiap BS terpilih dipilih sejumlah bangunan sensus (m=25)
secara sistematik berdasarkan data bangunan sensus hasil SP2010-C1.
- Tahap ketiga, dari setiap bangunan sensus terpilih terlebih dahulu dilakukan
pengecekan keberadaan di lapangan. Selanjutnya memilih 1 (satu) rumah tangga sebagai sampel secara acak. Rumah tangga di dalam bangunan sensus terlebih dahulu dimutakhirkan.
3.4 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian yaitu seluruh anak di wilayah Blok Provinsi Sumatera Utara. Sampel penelitian ini adalah seluruh sampel anak usia 24-59 bulan yang digunakan dalam Riskesdas Provinsi Sumatera Utara tahun 2013, serta mempunyai data lengkap sesuai dengan variabel penelitian. Berikut ini uraian singkat dalam penarikan sampel pada penelian ini.
1) Sampel pada BS
Blok Sampel diambil dari rumah tangga/anggota rumah tangga di Sumatera Utara Pemilihan BS dilakukan oleh BPS dengan cara PPS (Probability Proportional to Size).
2) Sampel pada RT
Sampel pada rumah tangga dari 25 dari setiap blok sensus yang telah terpilih diambil secara acak sederhana. Pada Provinsi Sumatera Utara jumlah sampel yang dipilih untuk kesehatan masyarakat sebesar 11.675 RT. Namun yang berhasil dikunjungi hanya 11.617 RT dengan presentase keberhasilan 99,5 persen.
3) Sampel pada ART
Gambaran sampel dalam penelitian dapat dilihat pada bagan berikut ini.
Gambar 3.1 Alur Penarikan Sampel Penelitian
3.5 Metode Pengumpulan Data
Data sekunder diperoleh dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI melalui pengajuan proposal penelitian. Data tersebut berbentuk data mentah hasil survei Riskesdas 2013 untuk wilayah provinsi Sumatera Utara, meliputi data pengenalan tempat, keterangan rumah tangga, keterangan
Provinsi Sumatera Utara
Blok Sensus (BS) - Dikunjungi : 756BS
- Respon rate : 100%
RumahTangga (RT) - Sampel : 11.675 RT
- RT yang dikunjungi :11.617 RT (99,5%)
AnggotaRumahTangga (ART) - Sampel : 75.547 ART
anggota rumah tangga. Selanjutnya, agar dapat dianalisis, data mentah yang diperoleh diolah dengan program komputer melaui tahapan-tahapan berikut :
1. Editing
Yaitu memastikan bahwa seluruh pertanyaan di dalam kuisioner dijawab oleh responden. Hal ini dilakukan agar semua data yang dibutuhkan oleh peniliti dapat diperoleh dengan lengkap.
2. Coding
Setiap jawaban diberi kode berbentuk huruf/alphabet kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk angka untuk mempermudah proses pengolahan data.
3. Cleaning
Data yang telah dimasukkan selanjutnya diperiksa untuk memastikan apakah ada data yang salah ataupun tidak. Setelah itu, data yang salah tersebut kemudian dibersihkan.
4. Processing
Adalah pemasukan data hasil kuisioner ke dalam komputer menggunakan software komputer untuk selanjutnya diproses.
3.6 Variabel dan Definisi Operasional 3.6.1 Variabel
1. Variabel terikat (dependent variabel) yaitu stunting (pendek) pada anak usia 24-59 bulan.
berat badan lahir, panjang badan lahir, riwayat imunisasi dasar, riwayat terkena diare, riwayat ISPA, tinggi badan ibu, usia ibu, jumlah anggota keluarga, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, pekerjaan ayah, wilayah tempat tinggal, kebiasaan merokok, sumber air minum dan fasilitas sanitasi.
3.6.2 Definisi Operasional
1. Stunting (Pendek) pada anak usia 24-59 bulan adalah suatu indikator keadaan gizi anak umur 24-59 bulan yang ditentukan secara antropometri berdasarkan indeks TB/U atau PB/U (untuk anak usia 12-23 bulan) dengan menggunakan klasifikasi WHO-NCHS.
2. Usia balita adalah usia atau lama waktu hidup responden dihitung dalam bulan sejak lahir sampai ulang bulan terakhir.
3. Jenis Kelamin adalah identitas yang dibedakan secara fisik berdasarkan organ genitalis eksternal.
4. Berat badan lahir (BBL) adalah bobot badan bayi pada saat dilahirkan dalam gram yang tercatat dalam KMS.
5. Panjang lahir adalah panjang badan bayi pada saat dilahirkan dalam sentimeter yang tercatat dalam KMS.
6. Riwayat imunisasi adalah lengkap tidaknya anak mendapatkan imunisasi yang dijadwalkan sesuai dengan usianya.
7. Riwayat Diare adalah adanya riwayat terkena diare dalam dua minggu terakhir.
(batuk, pilek, dan demam) dalam dua minggu terakhir.
9. Tinggi badan Ibu adalah jarak vertikal dari lantai sampai bagian atas kepala, diukur saat Ibu dalam posisi berdiri tegak lurus ke depan.
10. Usia ibu adalah usia atau lama waktu hidup ibu / responden dihitung dalam bulan sejak lahir sampai ulang bulan terakhir.
11. Pendidikan ibu adalah tingkat pendidikan formal tertinggi yang pernah dicapai ibu balita.
12. Pekerjaan ayah adalah jenis aktifitas (profesi) yang ditekuni oleh ayah responden dan bersifat menetap yang memperoleh hasil baik berupa pendapatan maupun non-materi untuk memenuhi kebutuhan hidup.
13. Pekerjaan ibu adalah jenis aktifitas (profesi) yang ditekuni oleh ibu balita responden dan bersifat menetap yang memperoleh hasil baik berupa pendapatan maupun non-materi untuk memenuhi kebutuhan hidup.
14. Wilayah tempat tinggal adalah klasifikasi tempat tinggal responden tinggal di perkotaan atau pedesaan.
15. Sumber air minum adalah sumber air minum dengan mempertimbangkan sumbernya dan jarak sumber pencemaran sertamemperhitungkan sumber air minum kemasan atau dari depot.
16. Fasilitas sanitasi adalah fasilitas sanitasi meliputi penggunaan fasilitas buang air besar (BAB), jenis tempat BAB, dan tempat pembuangan akhir tinja. 17. Kebiasaan merokok adalah perilaku merokok yang dilakukan oleh anggota
3.7 Metode Pengukuran Data
Data yang diperoleh pada penelitian ini berdasarkan data yang dikumpulkan pada kuesioner Riskesdas 2013. Metode pengukuran data dapat dilihat pada tabel 3.1.
Tabel 3.1 Metode pengukuran data
Variabel Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Usia Balita Kuesioner : RKD 13.RT
Tabel 3.1 (lanjutan)
Tabel 3.1 (lanjutan)
- sumur gali terlindung - mata air terlindung
3.8 Metode Analisis Data 3.8.1 Analisis Data Univariat
Analisis data univariat dimaksudkan untuk melihat gamabaran deskriptif baik pada variabel independen maupun dependen. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan. Sedangkan variabel independen dalam penelitian ini adalah usia balita, berat badan lahir, panjang badan lahir, riwayat imunisasi dasar, riwayat terkena diare, riwayat ISPA, tinggi badan ibu, usia ibu, jumlah anggota keluarga, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, pekerjaan ayah, wilayah tempat tinggal, kebiasaan merokok, sumber air minum dan fasilitas sanitasi.
3.8.2 Analisis Data Bivariat
Analisis data bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel, yaitu variabel independen meliputi usia balita, berat badan lahir, panjang badan lahir, riwayat imunisasi dasar, riwayat terkena diare, riwayat ISPA, tinggi badan ibu, usia ibu, jumlah anggota keluarga, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, pekerjaan ayah, wilayah tempat tinggal, kebiasaan merokok, sumber air minum dan fasilitas sanitasi, dengan variabel dependen kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan.
bermakna. Sedangkan jika nilai p>0,05 menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh tidak memiliki hubungan yang bermakna.
Pengujian hipotesis penelitian dilakukan dengan menentukan derajat kepercayaan atau Confidence Interfal (CI) untuk penelitian cross-sectional menggunakan interpretasi Rasio Prevalens (RP) sebagai berikut : RP = 1, artinya tidak ada hubungan antar faktor resiko dengan penyakit; RP>1, artinya terdapat hubungan positif antara faktor resiko dengan penyakit; RP<1, artinya terdapat hubungan negatif antara faktor resiko dengan penyakit.
3.8.3 Analisis Multivariat
55 HASIL PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Provinsi Sumatera Utara berada di bagian barat Indonesia, terletak pada 1˚- 4˚ Lintang Utara dan 98˚ - 100˚ Bujur Timur. Sebelah utara perbatasan dengan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), sebelah timur dengan Negara Malaysia di selat Malaka, sebelah selatan berbatasan dengan Provinsi Riau dan Sumatera Barat, dan di sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia.
Luas wilayah Provinsi Sumatera utara mencapai 71.680,68 km2 atau 3,72 persen dari luas wilayah Republik Indonesia. Provinsi Sumatera Utara tergolong ke dalam daerah beriklim tropis, kisaran suhu antara 13,4˚ C – 33,9˚ C, mempunyai
musim kemarau (Juni s/d September) dan musim hujan (Nopember s/d Maret), diantara kedua musim itu diselingi oleh musim pancaroba. Jumlah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera utara pada tahun 2013 sebanyak 25 kabupaten dan 8 kota.
ini sudah dapat diturunkan secara signifikan sejak tahun 1999, namun data terakhir menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin tahun 2012 berdasarkan data Badan Pusat Statistik mengalami kenaikan dari tahun 2013 yaitu 1.400.400 jiwa atau 9,85 persen menjadi 1.416.400 jiwa (10,53%). Persentase penduduk miskin tertinggi berada di Kota Gunung Sitoli di Kepulauan Nias yaitu 30,94 persen, dan terendah di Kabupaten Deli Serdang yaitu 4,71 persen.
Angka kesakitan (morbiditas) di Sumatera Utara tahun 2013 seperti diare masih ditemukan kasus diare dengan insiden diare balita cukup tinggi yakni 6,7 persen. Namun lebih rendah dibandingkan provinsi sekitar seperti Aceh (10,2 %) dan Sumatera Barat 7,1 persen. Prevalensi kasus ISPA pada balita juga cukup rendah yakni 12,4 persen dibandingkan dengan angka nasional 18,5 persen.
Data terkait status gizi masyarakat, balita dengan KEP (Kurang Energi Protein berdasarkan tinggi badan terhadap umur (TB/U) atau stunting, berat badan terhadap umur (BB/U) atau kurus (wasting) berdasarkan hasil survei dalam 6 (enam) tahun masih fluktuatif (Profil Kesehatan Sumatera Utara, 2012). Tahun 2013 prevalensi stunting berdasarkan laporan riskesdas 2013 adalah 42,5 persen. Selain masalah balita
dengan gizi buruk dan kurang, fenomena obesitas balita juga sudah naik ke permukaan. Inilah yang disebut masalah gizi ganda (double-burden malnutrition).
4.2. Analisis Univariat
kelamin, berat lahir, panjang lahir, riwayat imunisasi, riwayat diare, riwayat ISPA), karakteristik rumah tangga (tinggi badan ibu, jumlah anggota keluarga, pendidikan ibu, pekerjaan ayah, pekerjaan ibu, wilayah tempat tinggal, dan kebiasaan merokok, sumber air minum dan fasilitas sanitasi).
Tabel 4.1 Hasil Analisis Univariat Antara Karakteristik Balita Terhadap Kejadian Stunting di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013
Variabel Jumlah
(orang)
Persentase (%) Status Gizi berdasarkan Tinggi Badan
menurut Umur (TB/U) Panjang lahir pendek <48 cm
84
Tidak ada riwayat ISPA Ada riwayat ISPA
472 101
Pevalensi stunting pada penelitian ini sebesar 40,3 persen. Angka tersebut menurut WHO dalam Global database on Child Growth and Malnutririon, klasifikasi tingkat keparahan masalah malnutrisi dalam kategori stunting jika prevalensinya lebih dari 40 persen, masuk dalam kategori sangat tinggi. Ini berarti angka tersebut termasuk dalam masalah kesehatan masyarakat yang serius untuk segera di tangani.
Balita yang menjadi sampel pada penelitian ini berusia 24-59 bulan. Balita pada penelitian ini lebih banyak usia 37-59 bulan yakni 65,3 persen. Jumlah balita lebih banyak dikarenakan rentang umur sampel pada kategori tersebut lebih luas yakni 24 bulan, sedangkan balita usia 24-36 bulan rentang usia 12 bulan. Anak usia 24-36 bulan atau lebih sering disebut batita, sedangkan usia 37-59 bulan disebut tooddler atau usia pra-sekolah. Pembagian dikategorikan berdasarkan perkembangan
motorik kemandirian anak. Anak pada usia batita sudah dapat menggunakan sendok untuk makan dan minum dari cup gelas. Anak sudah mulai mengerti makanan yang disuka dan tidak suka. Anak usia pra-sekolah sudah dapat memilih makanan sendiri dan lebih percaya diri dalam menggunakan alat makan serta pada usia ini anak sudah mulai tepengaruh terjadap ikan media TV dan grup teman-temannya (USDA, 2015).
Hasil penelitian ini sebagian besar bayi lahir dengan berat badan lebih dari 3000 gram yakni 76,4 persen. Prevalensi bayi dengan berat dan lahir rendah (BBLR) yakni kurang dari 2500 gram, menurut data Riskesdas berkurang dari 11,1 persen tahun 2010 menjadi 10,2 persen tahun 2013. Provinsi Sumatera Utara menjadi provinsi terendah bayi lahir dengan BBLR (7,2%). Bayi berat lahir rendah mempunyai kecenderungan ke arah peningkatan terjadinya infeksi dan mudah ter-serang komplikasi. Masalah pada BBLR yang sering terjadi gangguan pada sistem pernafasan, susunan saraf pusat, kardiovaskular, hematologi, gastro intestinal, ginjal, termoregulasi. (Profil Kesehatan Indonesia,2012).
Prevalensi balita dengan panjang lahir pendek (<48 cm) sebanyak 85,3 persen. Angka persentase panjang badan lahir balita untuk provinsi Sumatera Utara sebesar 19,6 persen hampir mendekati angka nasional (20,2%). Jika dibandingkan dengan provinsi tetangga seperti Aceh (13,7%) dan Sumatera Barat (15,5%), persentase provinsi Sumatera Utara lebih tinggi memiliki balita dengan panjang lahir pendek. Lahir dengan panjang badan lahir pendek berpeluang lebih tinggi untuk tumbuh pendek dibanding anak panjang badan lahir normal (Kusharisupeni, 2002).
suatu penyakit. Penyakit yang dapat dicegah melalui imunisasi seperti tuberkulosis, difteri, pertusis, campak, polio, tetanus, serta hepatitis B (Depkes RI, 2013).
Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dinegara berkembang seperti Indonesia, karena masih sering timbul dalam bentuk kejadian luar biasa (KLB), dan disertai dengan kematian yang tinggi, terutama di Indonesia Bagian Timur. Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa penyakit diare merupakan penyebab utama kematian balita. Kasus diare pada penelitian ini hanya 4 persen. Provinsi Sumatera Utara tidak termasuk provinsi dengan angka kejadian diare tinggi yakni karena sama dengan angka nasional (6,7%). Angka kesakitan dikhawatirkan bukan merefleksikan menurunnya kejadian penyakit diare pada masyarakt tetapi lebih dikarenakan kasus yang tidak terdata (under-reporting cases) (Profil Kesehatan Sumatera Utara, 2012).
Tabel 4.2 Hasil Analisis Univariat Antara Karakteristik Rumah Tangga Terhadap Kejadian Stunting di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013
Variabel Jumlah
(orang)
Persentase (%) Tinggi badan ibu
Tinggi badan ibu <145 cm Tinggi badan 145-150 cm
Pendidikan Tinggi (tamat SMP ke atas) Pendidikan Rendah (tidak sekolah, tamat SD)
495 78
86,4 13,6 Pekerjaan ibu
Penghasilan tetap (POLRI/TNI dan PNS/Pegawai) Penghasilan tidak tetap (Tidak bekerja, sekolah, wiraswasta,buruh,lainnya)
Penghasilan tetap (POLRI/TNI dan PNS/Pegawai) Penghasilan tidak tetap (Tidak bekerja, sekolah, wiraswasta,buruh,lainnya) Fasilitas Sanitasi yang tidak baik
407 166
Ibu dan anak dalam keluarga merupakan anggota keluarga yang paling rentan mengalami masalah kesehatan, seperti kesakitan (morbiditas), gizi (malnutrisi), yang bisa saja mengakibatkan terjadinya kecacatan (disability) atau bahkan kematian (mortilitas). Masalah kesehatan ibu dan anak sedikit banyak turut dipengaruhi oleh umur sangat mempengaruhi tingkat kematangan mental dan fisik seseorang (Profil Kesehatan Ibu dan Anak, 2012).
Tinggi badan merupakan salah satu bentuk dari ekspresi genetik, dan merupakan faktor yang diturunkan kepada anak serta berkaitan dengan kejadian stunting. Anak dengan orang tua yang pendek, baik salah satu maupun keduanya,
lebih berisiko untuk tumbuh pendek dibanding anak dengan orang tua yang tinggi badannya normal (Supariasa, 2002). Pada data Riskesdas disajikan prevalensi wanita hamil berisiko tinggi yaitu wanita hamil dengan tinggi badan kurang dari 150 cm (WHO, 2007). Prevalensi wanita hamil berisiko tinggi tertinggi ada di Sumatera Barat (39,8%), Provinsi Sumatera Utara juga termasuk provinsi dengan angka wanita hamil berisiko tinggi diatas prevalensi angka nasional (31,3%).
Lebih dari 700 juta perempuan yang hidup saat ini menikah ketika masih anak-anak, dimana satu dari tiga diantaranya menikah sebelum usia 15 tahun (United Nations Children’s Fund, 2014). Perkawinan usia anak menyebabkan kehamilan dan
tahun. Usia ibu muda (<24 tahun) merupakan usia ibu yang belum siap untuk me-ngurus anak. Sementara itu, peningkatan risiko anak malnutrisi pada usia ibu tua (>35 tahun) risiko tinggi untuk melahirkan anak dengan berat lahir rendah.
Rata-rata jumlah anggota keluarga dalam suatu keluarga di Provinsi Sumatera Utara bersadarkan dapat Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2014 sebesar 4,3. Artinya rata-rata jumlah anggota keluarga dalam satu keluarga terdiri atas empat anggota keluarga. Jumlah anggota keluarga yang besat berpengaruh terhadap dalam hal pembatasan jumlah makanan yang dikonsumsi dalam satu keluarga dengan makanan yang tersedia dalam rumah tangga terutama pada keluarga dengan perndapatan rendah. Pendapatan yang tinggi pun tidak mencerminkan pengeluaran untuk makan menjadi tinggi pula. Seperti Ernst Engel, yang dikenal dengan hukum engel menyebutkan bahwa naiknya proporsi pendapatan yang dibelanjakan untuk makanan akan turun, sedangakan pengeluaran untuk pendidikan, kesehatan, rekreasi, barang mewah dan tabungan semakin meningkat (Timmer, C.P., Falcon,W.P., Pearson, S.R., 1983).
Menurut data Riskesdas 2013, balita yang lahir sangat pendek dan pendek jumlah di pedesaan (42,1%) lebih banyak dibandingkan perkotaan (32,5%). Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar balita tinggal di daerah pedesaan (62,8 %). Ini menunjukkan bahwa pedesaan erat kaitannya dengan akses terhadap pekerjaan dan juga makanan yang lebih baik di perkotaan.
untuk membeli rokok menempati peringkat tertinggi (22%) bahkan lebih besar daripada pengeluaran untuk makanan pokok yaitu beras (19%). Perilaku merokok kepala rumah tangga miskin berhubungan secara bermakna dengan gizi buruk pada balita (Richard D Semba, Leah M. Kalm, Saskia de Pee, Mayang Sari, dan Martin W Bloem, 2007).
Indonesia adalah negara dengan 13 persen dari penduduk Indonesia tidak me-miliki akses terhadap air bersih dan 51 juta penduduk melakukan praktik buang air besar sembarangan. Indonesia merupakan negara kedua tertinggi di dunia yang melakukan praktik buang air besar sembarangan. Rumah tangga tidak menggunakan fasilitas sanitasi yang baik sebanyak 39 persen (UNICEF, 2013). Dari tabel 4.3 dapat dilihat masyarakat di Provinsi Sumatera Utara sebagian besar telah memiliki sumber air minum yang terlindungi (92,8%) dan fasilitas sanitasi yang baik (71%). Data Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa Provinsi Sumatera Utara belum sepenuhnya baik karena masih dibawah rerata nasional (70,1%) namun untuk fasilitas sanitasi sudah masuk kategori baik karena diatas retata nasional (66 %). Semakin baik sumber air minum dan fasilitas sanitasi berdampak pada menurunnya kasus-kasus penyakit infeksi penularan melalui air (water borned disease) serta mempengaruhi peningkatan status kesehatan.
4.3. Analisis Bivariat
hubungan kejadian stunting pada balita pada balita dengan Karakteristik Balita dapat dilihat pada pada tabel 4.3.
Tabel 4.3 Hubungan Karakteristik Balita Terhadap Kejadian Stunting di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013
Variabel Status Gizi RP p
Normal Stunting Total
n % N % n %
p<0,05 yang berarti bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara usia balita
dengan kejadian stunting. Nilai RP (Rasio Prevalens) diperoleh sebesar 1,2 artinya balita pada usia 24-36 bulan berpeluang 1,2 stunting dibandingkan dengan balita usia 37-59 bulan.
Prevalensi balita stunting dengan jenis kelamin laki – laki sebesar 38,5 persen dari balita normal, sedangkan balita dengan jenis kelamin perempuan yang mengalami stunting sebesar 42,2 persen dari balita normal. Secara statistik didapatkan p≥0,05 yang berarti bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin balita dengan kejadian stunting.
Prevalensi balita stunting dengan berat lahir rendah sebesar 37,9 persen dari balita normal, sedangkan balita dengan berat lahir normal yang mengalami stunting sebesar 41,1 persen dari balita normal. Secara statistik didapatkan p≥0,05 yang berarti bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara berat lahir balita dengan kejadian stunting.
Prevalensi panjang badan lahir balita pendek yang mengalami stunting sebesar 41,3 persen dari balita normal, sedangkan balita dengan panjang badan lahir normal yang mengalami stunting sebesar 34,5 persen dari balita normal. Secara statistik di-dapatkan p≥0,05 yang berarti bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara panjang badan lahir balita dengan kejadian stunting.
Prevalensi balita dengan riwayat tidak pernah imunisasi yang mengalami stunting 50 persen dari balita normal, sedangkan balita yang pernah imunisasi namun
didapatkan p≥0,05 yang berarti bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara balita dengan riwayat imunisasi dengan kejadian stunting.
Prevalensi balita dengan riwayat pernah terkena diare yang mengalami stunting 39,1 persen dari balita normal, sedangkan balita yang tidak pernah terkena
diare namun mengalamai stunting sebesar 40,4 persen dari balita normal. Secara statistik didapatkan p≥0,05 yang berarti bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara balita dengan riwayat diare dengan kejadian stunting.
Prevalensi balita dengan riwayat pernah terkena infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) yang mengalami stunting 35,6 persen dari balita normal, sedangkan balita yang tidak pernah terkena ISPA dan mengalami stunting sebesar 41,3 persen dari balita normal. Secara statistik didapatkan p≥0,05 yang berarti bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara balita dengan riwayat ISPA dengan kejadian stunting.
Tabel 4.4 menunjukkan hasil analisis bivariat antara kejadian stunting pada balita pada balita dengan karakteristik rumah tangga .
Tabel 4.4 Hubungan Karakteristik Rumah Tangga Terhadap Kejadian Stunting di Sumatera Utara Tahun 2013
Variabel Status Gizi RP p
Normal Stunting Total
Tabel 4.4 (lanjutan)
Prevalensi tinggi badan ibu pendek yang memiliki balita stunting sebanyak 44,4 persen dari balita normal. Sedangkan prevalensi tinggi ibu normal yang memiliki balita stunting sebanyak 32,8 persen. Secara statistik didapatkan p<0,05 yang berarti bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tinggi badan ibu dengan kejadian stunting. Nilai RP (Rasio Prevalens) diperoleh sebesar 1,3 artinya ibu dengan tinggi
badan pendek berpeluang 1,3 kali lebih besar memiliki anak dengan kejadian stunting dibandingkan dengan balita dengan ibu tinggi normal.
Prevalensi rumah tangga dengan jumlah anggota keluarga yang besar mempunyai balita stunting sebesar 42,4 persen dari balita normal. Sedangkan pada rumah tangga dengan jumlah anggota keluarga kecil mempunyai prevalensi balita stunting sebesar 37,1 persen dari balita normal. Secara statistik didapatkan p≥0,05 yang berarti bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah anggota keluarga dalam rumah tangga dengan kejadian stunting.
Prevalensi pekerjaan ibu yang berpenghasilan tidak tetap memiliki balita stunting sebesar 42,5 persen dari balita normal. Sedangkan prevalensi ibu dengan
penghasilan tetap memiliki anak stunting 31,6 persen dari balita balita normal. Secara statistik didapatkan p<0,05 yang berarti bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pekerjaan ibu dengan kejadian stunting. Nilai RP (Rasio Prevalens) diperoleh sebesar 1,3 artinya ibu dengan penghasilan tidak tetap berpeluang 1,3 kali lebih besar memiliki anak dengan kejadian stunting dibandingkan dengan balita yang memiliki ibu yang berpenghasilan tetap.
Prevalensi pekerjaan ayah yang berpenghasilan tidak tetap memiliki balita stunting sebesar 41,9 persen dari balita normal. Sedangkan prevalensi ayah dengan
penghasilan tetap memiliki anak stunting 30,9 persen dari balita balita normal. Secara statistik didapatkan p≥0,05 yang berarti bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pekerjaan ayah dengan kejadian stunting
Hubungan antara variabel karaktertistik higienis dan sanitasi dengan kejadian stunting. Prevalensi rumah tangga dengan sumber air minum tidak terlindungi memiliki anak stunting sebesar 39 persen dari balita normal. Sedangkan sumber air minum yang terlindungi pada keluarga dengan balita stunting memiliki prevalensi sebesar 40,4 persen. Secara statistik didapatkan p≥0,05 yang berarti bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara sumber air minum dengan kejadian stunting.
Prevalensi rumah tangga dengan fasilitas sanitasi yang tidak baik memiliki balita stunting sebesar 42,8 persen dari balita normal. Sedangkan pada rumah tangga dengan fasilitas sanitasi baik memiliki balita stunting sebesar 39,3 persen. Secara statistik didapatkan p≥0,05 yang berarti bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara fasilitas sanitasi dengan kejadian stunting.
4.4. Analisis Multivariat
4.4.1. Pemilihan Kandidat Multivariat
Langkah awal yang dilakukan dalam analisis multivariat adalah membuat pemodelan lengkap. Pemilihan variabel independen tersebut menggunakan seleksi bivariat. Berdasarkan hasil seleksi bivariat, terpilih tujuh variabel independen yang dapat masuk ke dalam model multivariat. Variabel tersebut diantaranya adalah usia balita, tinggi badan ibu, jumlah anggota keluarga, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, pekerjaan ayah, dan wilayah tempat tinggal. Hasil seleksi bivariat dapat dilihat dalam tabel 4.5 berikut ini.
Tabel 4.5 Pemilihan Kandidat Multivariat
Variabel p
Usia Balita 0,044
Jenis kelamin 0,414*
Berat lahir 0,557*
Panjang lahir 0,293*
Riwayat imunisasi 0,438*
Riwayat diare 1,000*
Riwayat ISPA 0,346*
Usia ibu 0,903*
Tinggi badan ibu 0,010
Jumlah anggota keluarga 0,235
Pendidikan ibu 0,013
Pekerjaan ibu 0,044
Pekerjaan ayah 0,080
Wilayah tempat tinggal 0,001
Kebiasaan merokok 0,588*
Sumber air minum 0,992*
Fasilitas sanitasi 0,502*
*nilai p >0,25 tidak dimasukkan ke permodelan multivariat
lahir, panjang lahir, riwayat imunisasi, riwayat diare, riwayat ISPA, usia ibu, kebiasaan merokok, sumber air minum, dan fasilitas sanitasi.
4.4.2. Model Lengkap
Model awal untuk analisis multivariat dapat dilihat pada tabel 4.6.
Tabel 4.6 Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik Ganda Tahap Pertama
Variabel Nilai p Exp (B) 95% CI for Exp (B)
Lower Upper
Usia Balita 0,024 1,514 1,056 2,172
Tinggi Ibu 0,015 1,578 1,092 2,280
Jumlah anggota keluarga 0,753 1,060 0,738 1,523
Pendidikan Ibu 0,013 1,886 1,146 3,105
Pekerjaan Ibu 0,645 1,135 0,662 1,944
Pekerjaan Ayah 0,456 1,259 0,687 2,308
Wilayah Tempat tinggal 0,009 1,651 1,133 2,406 Setelah model awal analisis multivariat terbentuk, dilakukan pengeluaran variabel secara bertahap dimulai dari variabel yang memiliki nilai p terbesar. Variabel yang memiliki nilai p terbesar, yaitu jumlah anggota keluarga sebesar 0,753 akan dikeluarkan dari model. Setelah variabel jumlah anggota keluarga dikeluarkan dari model, terlihat bahwa hasil perbandingan OR tidak ada yang lebih dari 10 persen. Dengan demikian variabel jumlah anggota keluarga dikeluarkan dari model. Hasil analisis multivariat tahap kedua dapat dilihat pada tabel 4.7.
Tabel 4.7 Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik Ganda Tahap Kedua
Variabel Nilai p Exp (B) 95% CI for Exp (B)
Lower Upper
Usia Balita 0,024 1,515 1,056 2,172
Tinggi Ibu 0,015 1,580 1,093 2,283
Tabel 4.7 (lanjutan)
Variabel Nilai p Exp (B) 95% CI for Exp (B)
Lower Upper
Pekerjaan Ibu 0,612 1,148 0,673 1,957
Pekerjaan Ayah 0,456 1,259 0,687 2,307
Wilayah Tempat tinggal 0,008 1,660 1,141 2,415 Hasil analisis multivariat selanjutnya diperoleh variabel dengan nilai p terbesar adalah pekerjaan ibu yaitu 0,612. Oleh karena itu, variabel pekerjaan ibu dikeluarkan dari model. Setelah variabel pekerjaan ibu dikeluarkan dari model, terlihat bahwa hasil perbandingan OR tidak ada yang lebih dari 10 persen. Dengan demikian variabel pekerjaan ibu dikeluarkan dari model. Hasil analisis multivariat tahap selanjutnya dapat dilihat pada tabel 4.8
Tabel 4.8 Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik Ganda Tahap Ketiga
Variabel Nilai p Exp (B) 95% CI for Exp (B)
Lower Upper
Usia Balita 0,025 1,509 1,053 2,163
Tinggi Ibu 0,014 1,588 1,100 2,294
Pendidikan Ibu 0,009 1,928 1,177 3,168
Pekerjaan Ayah 0,253 1,360 0,803 2,304
Tabel 4.9 Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik Ganda Tahap Keempat
Variabel Nilai p Exp (B) 95% CI for Exp (B)
Lower Upper
Usia Balita 0,031 1,484 1,037 2,123
Tinggi Ibu 0,012 1,601 1,110 2,311
Pendidikan Ibu 0,007 1,961 1,198 3,208
BAB 5 PEMBAHASAN
5.1 Gambaran Kejadian Stunting pada Balita usia 24-59 Bulan
Stunting merupakan masalah global yang masih mendapatkan perhatian
khusus. Stunting (pendek) adalah status gizi yang didasarkan pada indeks panjang badan menurut umut (PB/U) atau tinggi badan menurut umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah stunted (pendek) dan severely stunted (sangat pendek). Z-score untuk kategori pendek adalah -3 SD sampai dengan <-2 SD dan sangat pendek
adalah <-3 SD (Kemenkes,2010). Penyebab dari stunting adalah tidak adekuatnya asupan makan, penyakit infeksi, atau kombinasi keduanya dalam kurun waktu yang cukup lama. Tingginya angka balita stunting pada suatu negara erat kaitannya dengan keadaan perekonomian yang buruk pada negara tersebut.
Indonesia termasuk negara dengan prevalensi balita stunting tinggi. Menurun-kan prevalensi balita pendek (stunting) merupaMenurun-kan salah satu fokus utama dari empat sektor lainnya untuk mencapai Indonesia Sehat tahun 2015-2019 dengan sasaran pendekatan keluarga.
5.2 Hubungan Karakteristik Balita terhadap kejadian Stunting 5.2.1 Usia Balita
Usia adalah faktor internal anak yang memengaruhi kejadian stunting. Usia anak yang sering ditemukan dengan kejadian stunting adalah usia 24 bulan keatas. Prevalensi stunting pada balita di Indonesia masih tinggi terutama pada usia 2-3 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa usia anak memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian stunting dengan nilai RP (Rasio Prevalens) sebesar 1,24 yang artinya balita usia 24-36 berpeluang 1,2 menjadi balita stunting dibandingkan dengan balita usia 37-59 bulan . Hal ini sejalan dengan penelitian Linda Adair (1997) kejadian stunting paling banyak terjadi pada anak usia 2-3 tahun.
Proses pertumbuhan pada usia 2-3 tahun cenderung mengalami perlambatan sehingga peluang untuk terjadinya kejar tumbuh lebih rendah dibanding usia 0-2 tahun. Usia 2-3 tahun merupakan usia anak mengalami perkembangan yang pesat dalam kemampuan kognitif dan motorik. Diperlukan kondisi fisik yang maksimal untuk mendukung perkembangan agar tidak terganggu. Anak pada usia ini, kebutuhan energi yang diperlukan lebih tinggi dan kebutuhan makanan yang lebih bervariasi dibanding usia 0-2 tahun (Supartini, 2004).
5.2.2 Jenis Kelamin
78
Kebutuhan gizi anak laki-laki lebih besar dari perempuan (Kartasapoetra dan Marsetyo, 2008).
Gershwin (2004) pada tahun pertama laki laki lebih berisiko malnutrisi karena ukuran tubuh lebih besar dan membutuhkan asupan lebih besar, jika tidak terpenuhi dalam jangka waktu lama akan meningkatkan risiko gangguan pertumbuhan. Pada tahun pertama kehidupan, laki-laki lebih rentan mengalami malnutrisi daripada perempuan karena ukuran tubuh laki-laki yang besar dimana membutuhkan asupan energi yang lebih besar pula sehingga bila asupan makan tidak terpenuhi dan kondisi tersebut terjadi dalam jangka waktu lama dapat meningkatkan gangguan per-tumbuhan.
Jenis kelamin bukan menjadi faktor risiko stunting diduga karena faktor kecemasan atau kekhawatiran ibu serta kedekatan ibu terhadap anak perempuan. Anak perempuan dianggap anak yang lemah sehingga mendapatkan perhatiaan ekstra dibandingkan dengan anak laki-laki yang dianggap lebih kuat. Sehingga anak perempuan lebih diperhatikan dibandingkan anak laki-laki.
5.2.3 Berat Badan Lahir
Menurut WHO (2003), BBLR dibagi menjadi tiga group yaitu prematuritas, intra uterine growth restriction (IUGR) dan karena keduanya. Berat lahir yang
dikategorikan normal (≥2500 gram) dan rendah (<2500 gram) (Kemenkes RI, 2010).
Defisiensi energi kronis atau anemia selama kehamilan dapat menyebabkan ibu melahirkan bayi dengan berat lahir rendah (Keef, 2008). Tingginya angka BBLR diperkirakan menjadi penyebab tingginya kejadian stunting di Indonesia.
80
5.2.4 Panjang Badan Lahir
Panjang badan lahir yang rendah merupakan cerminan dari gagalnya proses pertumbuhan yang berkelanjutan atau stunting, sedangkan anak-anak ini mencermin-kan pernah kegagalan pertumbuhan atau menjadi stunted. Panjang badan diukur setiap setiap bulannya selama enam bulan. Sedangkan saat bayi usia 6-12 bulan, panjang badan diukur setiap dua bulan sekali. Defisit panjang badan merupakan hasil dalam waktu yang lama, jadi penilaian status gizi pengukuran antrorpmetri panjang badan terhadap umur saja dapat mencerminkan terjadinya malnutrisi pada bayi dalam beberada keadaan. Kemungkinan pengaruh genetik dan ras terhadap terjadinya defisit tinggi badan terhadap umur (Gibson, 2005).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara panjang badan lahir balita dengan kejadian stunting. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian oleh Rahayu (2011) di Tangerang yang menemukan bahwa panjang badan lahir merupakan faktor risiko stunting yang masih dapat diatasi. Anak dengan panjang badan lahir pendek akan tetap stunting sampai usia 6-12 bulan, namun dapat mencapai tinggi badan normal pada usia 3-4 tahun.
sehingga pertumbuhan janin tidak optimal yang mengakibatkan bayi yang lahir memiliki panjang badan lahir yang rendah.
Faktor asupan dan penyakit berperan penting dalam menentukan apakah anak yang lahir dengan panjang badan lahir rendah akan tetap stunting selama masa hidupnya atau berhasil mencapai catch-up grow yang optimal. Anak yang lahir dengan panjang badan lahir pendek memang lebih berisiko untuk tumbuh stunting dibanding anak yang lahir dengan panjang badan normal, tetapi selama anak tersebut mendapatkan asupan yang memadai dan terjaga kesehatannya, maka kondisi panjang badan lahir yang pendek dapat dikejar dengan pertumbuhan seiring bertambahnya usia anak.
5.2.5 Riwayat Imunisasi
Imunisasi adalah suatu cara untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak ia terpapar denganpenyakit tersebut tidak akan sakit atau sakit ringan. (Depkes RI, 2005). Kelengkapan imunisasi merupakan imunisasi yang diberikan kepada bayi seseuai dengan anjuran pemerintah yang disesuaikan menurut kelompok umur bayi.
82
tahan terhadap penyakit yang sedang mewabah atau berbahaya bagi seseorang. Dengan adanya imunisasi dapat mencegah pernyakit infeksi seperti TB, polio, difteri, pertusis, tetanus, campak, hepatitis, dan sebagainya.
Hasil penelitian ini adalah tidak terdapat hubungan yang signifikan antara balita dengan riwayat imunisasi dengan kejadian stunting. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan pada batita di Puskesmas Siloam Tamako yang menunjuk-kan bahwa tidak ada hubungan antara status imunisasi dengan kejadian stunting. (Sedu, Nancy, & Nova, 2014). Hasil penelitian di Makassar juga menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara kelengkapan imunisasi status. Tidak adanya hubungan antara riwayat imunisasi tidak lengkap dengan balita stunting mungkin disebabkan oleh cukupnya asupan yang adekuat sehingga dapat meningkatkan kekebalan tubuh balita tersebut dalam melawan penyakit infeksi.
5.2.6 Riwayat ISPA
Kejadian ISPA yang tinggi disebabkan karena ISPA umum terjadi dan mudah menular, atau bisa dikarenakan penyembuhan ISPA pada anak yang tidak tuntas (Nashikah R dan Margawati A, 2012). ISPA yang diderita oleh anak biasanya disertai dengan kenaikan suhu tubuh, sehingga terjadi kenaikan kebutuhan zat gizi. Kondisi tersebut apabila tidak diimbangi asupan makan yang adekuat, maka akan timbul malnutrisi dan gagal tumbuh (Wahdah S, 2012).
Hasil penelitian ini adalah tidak terdapat hubungan yang signifikan antara balita dengan riwayat ISPA dengan kejadian stunting. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian oleh (Anshori, 2013) yakni dengan riwayat penyakit ISPA berisiko 4 kali lebih besar untuk terjadi stunting dibandingkan anak yang tidak memiliki riwayat ISPA. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Kecamatan Semarang Timur yang menunjukkan bahwa riwayat penyakit infeksi dalam hal ini infeksi saluran pernapasan atas akut merupakan faktor risiko kejadian stunting yang tidak bermakna (Nasikhah, 2012). ISPA bukan faktor risiko stunting mungkin disebabkan oleh infeksi tersebut tidak terjadi dalam waktu yang lama dan tidak terjadi berulang sehingga tidak berpengaruh terhadap kejadian stunting.
5.2.7 Riwayat Diare
84
diperkirakan 2,5 miliar kejadian diare pada anak balita. Anak-anak adalah kelompok usia rentan terhadap diare, insiden diare tertinggi pada kelompok anak usia dibawah dua tahun, dan menurun dengan bertambahnya usia anak. (Parashar, U.D., Hummelman, E.G., Bresee, J.S., Miller, M.A., & Glass,RI, 2003).
Diare dalam waktu yang lama dan berulang pada anak meningkatkan terjadinya kejadian stunting. Studi yang dilakukan di sembilan penelitian dari lima negara (Bangladesh, Brazil, Ghana, Guinea-Bissau dan Peru) menunjukkan bahwa 25 persen balita stunting usia 24 bulan terkena diare 5 kali bahkan lebih di 2 tahun pertama kehidupannya (Checkley, W., Buckley, G., Gilman, R. H., Assis, A.M., Guerrant, R. L., Morris, S. S., & Black, R. E., 2008). Diare dihubungkan dengan gagal tumbuh karena terjadi karena malabsorbsi zat gizi selama diare. Jika zat gizi seperti zink dan tembaga serta air yang hilang selama diare tidak diganti, maka akan timbul dehidrasi parah, malnutrisi, gagal tumbuh bahkan kematian (Dewey dan Mayers, 2011).
Hasil penelitian ini menemukan bahwa diare bukanlah faktor risiko kejadian stunting. Hal ini sama dengan hasil penelitian di Semarang (Anshori, 2013) yang
5.3 Hubungan Karakteristik Rumah Tangga terhadap kejadian stunting 5.3.1 Tinggi Badan Ibu
Tinggi badan merupakan salah satu bentuk dari ekspresi genetik, dan merupakan faktor yang diturunkan kepada anak serta berkaitan dengan kejadian stunting. Orang tua yang pendek karena gen dalam kromosom yang membawa sifat
pendek kemungkinan besar akan menurunkan sifat pendek tersebut kepada anaknya. Tetapi bila sifat pendek orang tua disebabkan karena masalah nutrisi maupun patologis, maka sifat pendek tersebut tidak akan diturunkan kepada anaknya (Amigo H, Buston P, & Radrigan ME, 1997).
Hasil penelitian ini terdapat hubungan yang signifikan antara balita dengan dengan tinggi badan ibu yang pendek dengan kejadian stunting. Sejalan dengan penelitian di Sri Lanka yang menunjukkan bahwa tinggi badan ibu merupakan faktor determinan yang paling besar terhadap anak dengan kejadian stunting. (Rannan-Eliya et al, 2013).
5.3.2 Usia Ibu
86
anak lahir dengan malnutrisi seperti underweight, stunting dan wasting. Usia ibu muda (<24 tahun) merupakan usia ibu yang belum siap untuk mengurus anak. Sementara itu, peningkatan risiko anak malnutrisi pada usia ibu tua (>35 tahun) risiko tinggi untuk melahirkan anak dengan berat lahir rendah. Usia ibu bukan merupakan faktor risiko kejadian stunting disebabkan karena bertambahnya usia tidak memiliki korelasi meningkatnya pengetahuan tentang kesehatan.
5.3.3 Jumlah Anggota Keluarga
Jumlah anggota keluarga dalam rumah tangga memiliki hubungan yang signifikan terhadap kejadian stunting pada balita. Anak stunting berasal dari keluarga yang jumlah anggota rumah tangga lebih banyak (Tshwane et al, 2006). Penelitian menunjukkan bahwa besarnya jumlah anggota keluarga berpengaruh terhadap sedikitnya jumlah distribusi makanan yang dikonsumsi masing-masing anggota keluarga dalam rumah tangga. Rumah tangga dengan jumlah anggota keluarga yang besar berpeluang memiliki anak malnutrisi dibandingkan rumah tangga yang lebih sedikit anggota keluarganya (Ajao et al, 2000).
sehingga dapat mengurangi kemampuan dalam penyediaan makanan bagi tiap-tiap anggota keluarga dalam rumah tangga tersebut, termasuk balita (Hidayah, 2011).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi rumah tangga dengan jumlah anggota keluarga yang besar mempunyai balita stunting sebesar 42,4 persen dari balita normal. Sedangkan pada rumah tangga dengan jumlah anggota keluarga kecil mempunyai prevalensi balita stunting sebesar 37,1 persen dari balita normal. Secara statistik didapatkan p≥0,05 yang berarti bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah anggota keluarga dalam rumah tangga dengan kejadian stunting. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Oktarina
(2012) yang menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga memiliki hubungan signifikan dengan kejadian stunting.
5.3.4 Pendidikan Ibu
Tingkat pendidikan ibu berhubungan positif dengan status gizi anak yang lebih baik. Pendidikan ibu akan memengaruhi pengetahuan mengenai praktik kesehatan dan gizi anak sehingga anak berada dalam keadaan status gizi yang baik. Penelitian yang dilakukan Hadad dan Smith (2000) pada anak dengan malnutrisi kronis paling tinggi terjadi pada ibu yang buta huruf. Penelitian dilakukan di 63 negara berkembang selama lebih dari 25 tahun untuk mengidentifikasi determinan malnutrisi kronis. Dari enam faktor penyebab salah satunya adalah pendidikan ibu.
88
peluang 1,89 kali lebih besar memiliki anak stunting dibandingkan dengan ibu yang pendidikan tamat SD keatas. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung lebih baik dalam pola asuh anak serta lebih baik dalam pemilihan jenis makanan anak. Hal ini dikarenakan ibu dengan pendidikan tinggi memiliki peluang lebih besar dalam mengakses informasi terkait gizi dan kesehatan.
Hasil penelitian yang dilakukan di Nairobi pada 40 persen anak stunting menunjukkan bahwa pendidikan ibu menjadi faktor yang paling kuat untuk memprediksi status gizi anak di penduduk daerah pedesaan yang berpenghasilan rendah. ( Abuya, Ciera & Kimani-Murage, 2012). Orang tua dengan pendidikan yang lebih baik cenderung memiliki pengetahuan dan kemampuan mengimplementasikan pengetahuan yang lebih baik dibanding orang tua dengan pendidikan rendah.
5.3.5 Pekerjaan Ibu
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi pekerjaan ibu yang berpenghasilan tidak tetap memiliki balita stunting sebesar 42,5 persen dari balita normal. Sedangkan prevalensi ibu dengan penghasilan tetap memiliki anak stunting 31,6 persen dari balita balita normal. Secara statistik didapatkan p<0,05 yang berarti bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pekerjaan ibu dengan kejadian stunting. Nilai RP (Rasio Prevalens)diperoleh sebesar 1,6 artinya ibu dengan
antara pekerjaan ibu dengan status gizi dimana ibu yang bekerja mempunyai anak pendek (<-2 SD) lebih banyak di bandingkan dengan ibu yang tidak bekerja.
Ibu bekerja akan mempengaruhi pendapatan keluarga. Pendapatan yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak, karena orang tua dapat memenuhi semua kebutuhan primer maupun sekunder anak. Sebaliknya pada ibu yang tidak bekerja banyaknya anak pendek disebabkan karena tingkat ekonomi yang rata-rata berada pada tingkat ekonomi rendah, dan rendahnya pengetahuan ibu tentang gizi. Asupan gizi yang adekuat berkaitan dengan kuantitas dan kualitas makanan yang diberikan di dalam rumah tangga. Pemenuhan gizi yang adekuat dipengaruhi pula oleh status ekonomi keluarga. Status ekonomi yang rendah berdampak pada ketidakmampuan mendapatkan pangan yang cukup dan berkualitas karena rendahnya kemampuan daya beli (Ulfani DH, Martianto D, & Baliwati YF, 2011).
5.3.6 Pekerjaan Ayah
Ayah sebagai kepala keluarga menjalankan tugasnya terkait pemenuhan kebutuhan pangan dan non-pangan keluarga melalui pendapatan. Pekerjaan ayah menjadi faktor penting sebagai tolak ukur kemampuan sosial dan ekonomi dalam rumah tangga. Penghasilan dalam keluarga yang tinggi selaras dengan kemampuan rumah tangga tersebut dalam menyediakan makanan.
90
atas ibu dan ayah. Sehingga perekonomian keluarga tidak hanya dibebankan kepada ayah namun ibu turut membantu pendapatan keluarga.
5.3.7 Wilayah tempat tinggal
Faktor risiko lainnya terhdap kejadian stunting adalah wilayah tempat tinggal. Riskesdas 2013 menjelaskan bahwa persentase rumah tanga di pedesaan yakni 42,1 persen lebih tinggi jumlah balita yang mengalami stunting dibandingkan dengan perkotaan yaitu 32 persen.
5.3.8 Kebiasaan Merokok
Merokok adalah bagian dari gaya hidup sebagian besar orang. Tidak hanya mereka dengan gaya hidup dengan pendapatan tinggi, begitu pula bagi mereka dengan pendapatan rendah. Indonesia menduduki peringkat ketiga jumlah perokok terbesar di dunia. Lebih dari 60 juta orang membelanjakan uang setiap hari untuk membeli rokok (WHO Report on Global Tobacco Epidemic, 2008). Tahun 2013 rata-rata jumlah bantang rokok yand dihisap 12,3 batang per hari. Pengeluaran untuk rokok di rumah tangga termiskin jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pengeluaran penting seperti pengeluaran untuk pendidikan, kesehatan, telur, dan susu. Biaya untuk rokok 6,5 kali lebih besar dari biaya pendidikan, dan 6,5 kali lebih besar dari biaya kesehatan, serta 9 kali lebih banyak dari pengeluaran untuk daging (Infodatin Kemenkes RI, 2015).
Merokok dapat menghambat kemajuan status gizi anak melalui kejadian infeksi saluran pernafasan bawah. Anak-anak yang terekspos lingkung-an dengan asap rokok lebih banyak mengalami infeksi saluran pernapasan bawah (Hawamdeh A, Kasasbeh FA, & Ahmad MA, 2003). Ditemukan abnormalitas fungsi leukosit pada anak yang orangtuanya merokok. Nikotin yang ada dalam rokok secara langsung bereaksi dengan kondrosit (sel tulang rawan) melalui reseptor khusus nikotin sehingga menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tulang (Kyu HH, Georgiades K, & Boyle MH, 2009).
92
Berbeda dengan hasil penelitian di Bangladesh oleh Cora M, B. , Kaisun, Saskia, D., Martin W, B., Gudrun, S, & Richard D, S. (2007) disebutkan bahwa orangtua yang merokok berkaitan dengan risiko yang lebih tinggi anak mengalami stunting, hal ini dikarenakan merokok memperburuk kondisi kurang gizi pada anak dan mengalihkan uang yang dimiliki rumah tangga dari memenuhi makanan keluarga dan berbagai kebutuhan lain. Pendapatan dan pengeluaran rumah tangga semakin tidak tahan pangan suatu rumah tangga, semakin tinggi proporsi pengeluaran untuk tembakau, atau rumah tangga rawan pangan mempunyai alokasi pengeluaran tembakau yang paling banyak dibanding dengan kelompok rumah tangga lainnya (Saliem dan Ariningsih, 2012). Pendapatan untuk rokok jika dibandingkan makanan bergizi akan lebih baik, seperti halnya jika pengeluaran keluarga merokok 1 bungkus per harinya, sebanding dengan memberi telur 1 kilogram.
5.3.9 Sumber Air
Indonesia adalah negara dengan 13 persen dari penduduk Indonesia tidak memiliki akses terhadap air bersih (UNICEF, 2013). Sementara itu, air adalah sumber utama kehidupan manusia terutama digunakan untuk kebutuhan minum dan menjaga kebersihan tubuh. Air yang bersih menjadi faktor lingkungan yang berpengaruh pada kesehatan. Dua sampai lima juta orang meninggal setiap tahun akibat penyakit yang ditularkan melalui air. Penularan penyakit infeksi dapat terjadi melaui air yang terkontaminasi oleh mikroorganisme seperti diare, cholera, disentri, tifoid, dan hepatitis. Anak – anak yang bertahan hidup dengan air minum yang terkontaminasi kemuungkinan besar akan menderita malnutrisi, stunted, dan perkembangan otak (intelektual) yang terhambat (Clean water changed lives).
94
hampir seluruh rumah tangga penduduk di provinsi Sumatera utara di penelitian ini memiliki sumber air minum yang aman.
5.3.10 Fasilitas Sanitasi
Lima Puluh lima juta orang masih menggunakan fasilitas sanitasi terbuka dan indonesia menempati urutan kedua di dunia. Dari data riskesdas 2013 ditemukan fasilitas sanitasi yang tidak terlindungi sangat kuat korelasinya dengan kejadian stunting. Data dari Water Sanitation Program (WSP) World Bank tahun 2008 menunjukkan bahwa masih tingginya angka kematian bayi dan balita, serta kurang gizi sangat terkait dengan masalah kelangkaan air bersih dan sanitasi. Telah dibuktikan bahwa cuci tangan dengan air bersih dan sabun mengurangi kejadian diare 42-47 persen. Dengan demikian program air bersih dan sanitasi tidak diragukan sangat sensitif terhadap pengurangan risiko infeksi. Kualitas lingkungan hidup terutama adalah ketersediaan air bersih, sarana sanitasi, perilaku hidup sehat seperti kebiasaan cuci tangan dengan sabun, buang air besar di jamban, tidak merokok, sirkulasi udara dalam rumah dan sebagainya (Bappenas, 2012).
5.4 Faktor Dominan yang berhubungan dengan kejadian stunting
Faktor dominan yang berhubungan dengan stunting diperoleh berdasarkan analisis multivariat. Analisis multivariat yang digunakan adalah analisis regresi logistik karena variabel dependen bersifat kategorik. Dari proses analisis multivariat hanya ada 4 variabel yang secara bermakna berhubungan sengan stunting pendidikan ibu (OR = 1,9), wilayah tempat tinggal (OR = 1,7), tinggi badan ibu (OR = 1,6), dan usia balita (OR = 1,4).
Hasil analisis keempat variabel tersebut dengan melihat nilai Odds Rasio (OR) dari setiap variabel maka dapat disimpulkan bawa variabel yang paling dominan berhubungan dengan stunting pada balita usia 24-59 bulan adalah variabel pendidikan ibu nilai OR yang paling besar yaitu 1,9 artinya Ibu dengan pendidikan rendah berpeluang 1,9 kali lebih besar memiliki anak pendek dibandingkan dengan ibu yang berpendidikan tinggi setelah di kontrol variabel jenis kelamin, tinggi ibu dan wilayah tempat tinggal.
96
97 BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang determinan kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi Sumatera Utara, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Prevalensi kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi Sumatera Utara sebesar 40,3 persen.
2. Tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin, berat badan lahir, panjang badan lahir, riwayat imunisasi, riwayat ISPA, riwayat diare, usia ibu, jumlah anggota keluarga, pekerjaan ayah, kebiasaan merokok, sumber air dan fasilitas sanitasi dengan kejadian stunting.
3. Determinan kejadian stunting pada balita adalah pendidikan ibu dengan nilai OR=1,9 yang artinya ibu dengan pendidikan rendah memiliki peluang 1,9 kali lebih besar berisiko memiliki anak dengan kejadian stunting, selanjutnya determinan stunting berikutnya adalah wilayah tempat tinggal dengan nilai OR=1,7 yang artinya balita yang tinggal di pedesaan 1,7 kali berisiko memiliki anak yang stunting, tinggi badan ibu dengan nilai OR=1,6 yang artinya ibu dengan tinggi badan pendek 1,6 kali berisiko memiliki anak yang stunting ; dan usia balita dengan nilai OR=1,4 yang artinya yang artinya balita
98
6.2. Saran
1. Memberikan perhatian terhadap pendidikan anak perempuan agar dapat berkontribusi memutus lingkaran kemiskinan pada seluruh lapisan masyarakat terutama yang tinggal di pedesaan.
2. Mengikutsertakan pengetahuan tentang kesehatan khususnya gizi di dalam kurikulum pendidikan sekolah guna perbaikan status kesehatan masyarakat secara langsung pada anak perempuan yang nantinya akan menjadi ibu baik berupa peningkatan pengetahuan hingga perilaku sehat.
3. Revitalisasi Posyandu baik program maupun kader dalam rangka pemantauan pertumbuhan balita sehingga dapat mencapai tinggi badan yang optimal. 4. Meningkatkan promosi dan edukasi kesehatan kepada ibu hamil yang
berhubungan dengan informasi pangan dan gizi serta kesehatan sehingga dapat mencegah faktor determinan bayi stunting.