• Tidak ada hasil yang ditemukan

Contoh BERITA ACARA PEMERIKSAAN TERSANGK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Contoh BERITA ACARA PEMERIKSAAN TERSANGK"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Contoh BERITA ACARA PEMERIKSAAN ( TERSANGKA )

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DAERAH SUMATERA BARAT

DIREKTORAT RESERSE KRIMINAL

PRO. JUSTITIA.

BERITA ACARA PEMERIKSAAN

( TERSANGKA )

—— Pada hari ini ……….. tanggal .… Agustus 2008 sekira jam 10.00 WIB Saya :

————————————————— : TANJUNG NASITUHANG, S.H. :

—————————————–Pangkat Briptu NRP. 69015993, Jabatan Selaku Penyidik Pembantu

pada kantor tersebut di atas, berdasarkan Surat Keputusan Sumbar No. Pol : Skep/06/I/2008, tanggal

06 Januari 2008, melakukan pemeriksaan terhadap seorang wanita yang belum saya kenal mengaku

bernama :

————————————————————- : EVA MAIDANI :

—————————————————

Lahir di Padang tanggal 6 Januari 1980, Umur 28 Tahun, Suku Tanjung, Pekerjaan Ibu Rumah

Tangga, Pendidikan terakhir SMP (Tamat), Negeri Asal Padang, Kewarganegaraan Indonesia, Agama

Islam, Alamat Jln. Parak Gadang No. 23 Kec. Padang Timur Kota Padang. Dia ( EVA MAIDANI )

diperiksa dan didengar keterangannya sebagai

Tersangka

dalam perkara Tindak Pidana Pembunuhan

secara berencana, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 KUHP, sehubungan dengan Laporan Polisi

No. Pol. : LP 14/VIII/2008 Poltabes Padang tanggal 14 Agustus 2008.

————————————————— Atas pertanyaan yang diajukan Pemeriksa kepada yang

diperiksa maka yang diperiksa menjawab dan menerangkan sebagai berikut di bawah ini :

—————————————————————————–

PERTANYAAN JAWABAN

1. Bagaimanakah keadaan kesehatan Sdr sekarang ini, bersediakah Sdr diperiksa dan memberikan

keterangan yang sebenar-benarnya?

——————————————————————————–

▸ Baca selengkapnya: contoh surat berita acara pemilihan ketua dkm

(2)

1. Mengertikah Sdr sebabnya Sdr ditangkap dan dimintai keterangan oleh Petugas Polisi saat

sekarang ini?—————————————————————————————————

——-2. Saya mengerti sebabnya Saya ditangkap Petugas Polisi, sehubung dengan Saya telah

melakukan pembunuhan secara berencana. ———————————————————–

1. Sudah pernahkah Sdr dihukum dalam perkara tindak pidana kejahatan atau pelanggaran

sebelum perkara ini, jika pernah dalam perkara apa? Jelaskan!

———————————————————-——-3. Saya belum pernah dihukum dalam perkara tindak pidana ataupun perkara pelanggaran

lainnya.————————————————————————————————————

1. Dalam perkara yang dipersangkakan kepada Sdr sekarang ini yang mana diancam hukuman

diatas 5 (lima) tahun, untuk itu sesuai dengan Pasal 56 KUHAP diwajibkan kepada Sdr untuk

didampingi oleh Penasihat Hukum, apakah saat sekarang ini Sdr ada mempunyai penasihat

hukum, Jika ada sebutkan nama dan identitasnya serta dari mana penasihat hukum atau

pengacara Sdr tersebut, Jika tidak ada maka penyidik menyediakan Penasihat Hukum atas

nama ——————————————————————– untuk mendampingi Sdr,

bagaimana selanjutnya? ———————————–4. Pada pemeriksaan sekarang ini

Saya sudah didampingi oleh seorang Penasihat Hukum yang bernama REFKI

SAPUTRA, S.H, L.LM yang berumur 31 Tahun yang berasal dari LBH Padang.

——————————————————————————————————————

1. Ceritakan riwayat hidup Sdr dengan singkat dan jelas?

———————————————————

——-5. Saya lahir di Padang tanggal 6 Januari 1980. Saya anak keempat dari 5 (lima) orang

bersaudara diantaranya 4 (empat) orang laki-laki 1 (satu) orang perempuan, ibu kandung saya bernama

SUHARTINI dan Bapak saya bernama yang beralamat di Jalan Parak Gadang No. 23 Kec. Padang

Timur.————————————————————————

Pendidkan: SMP ———————————————————————————————–

Pada Tahun 1995 saya tamat SMP 2 Padang ———————————————————-Karena

tidak ada biaya saya tidak melanjutkan sekolah ——————————————–

Pekerjaan : ——————————————————————————————————

Setelah berhenti sekolah saya bekerja sebagai TKI Ke Arab Saudi dan 5 (lima) bulan lalu saya bekerja

sebagai Ibu rumah tangga sampai

(3)

20. Adakah saksi yang meringankan Sdr dalam perkara yang dipersangkakan kepada Sdr saat ini?

—-——-20. Ada, tetangga saya.

——————————————————————————————-21. Masih adakah keterangan lain yang perlu Sdr tambahkan atau jelaskan sehubugan perkara

ini?—-——-21. Semua keterangan yang saya berikan diatas sudah cukup dan tidak ada lagi yang akan saya

jelaskan atau tambahkan.—————————————————————————–

22. Sudah sebenar-benarnyakah semua keterangan yang Sdr berikan di atas dan dalam hal memberikan

keterangan tersebut apakah Sdr merasa dipaksa, mendapat penekanan-penekanan atau anda

dipengaruhi oleh orang lain maupun oleh pemeriksa sendiri?———————————–

——22. Semuanya telah saya terangkan dengan sebenar-benarnya tanpa ada rasa paksaan,

penekanan-penekanan dan juga tidak ada dipengaruhi oleh orang lain maupun oleh pemeriksa sendiri dan apa

yang saya terangkan diatas adalah menurut apa yang saya lihat dan saya lakukan

—————————————————————————————-———- Setelah berita acara pemeriksaan tersangka ini selesai dibuat kemudian dibaca sendiri oleh

yang diperiksa (tersangka) dan yang diperiksa menyatakan setuju serta membenarkan kemudian untuk

menguatkannya yang diperiksa turut membubuhkan tanda tangannya di bawah ini.

———————————–

Yang diperiksa / Tersangka

( EVA MAIDANI)

———- Demikianlah Berita Acara Pemeriksaan tersangkan ini dibuat dengan sebenar-benarnya atas

kekuatan sumpah jabatan kemudian ditutup dan ditanda-tangani di Padang pada Hari dan tanggal

tersebut diatas.———

Penyidik Pembantu

TANJUNG NASITUHANG

BRIPTU/NRP. 69015993

Contoh BERITA ACARA PEMERIKSAAN DI TKP

Leave a comment

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DAERAH SUMATERA BARAT

DIREKTORAT RESERSE KRIMINAL

(4)

BERITA ACARA PEMERIKSAAN DI TKP

—— Pada hari ini ……….. tanggal .… Agustus 2008 sekira jam 10.00 WIB Saya :

——————————-————————————————— : TANJUNG NASITUHANG, S.H. :

—————————————–Pangkat Briptu NRP. 69015993, Jabatan Selaku Penyidik Pembantu

pada kantor tersebut di atas,

——-Bersama : 1. Adelia, Briptu/NRP.77121276

2. Romeo Denisa, Briptu/NRP.81011790

3. Sonnia Putri, Briptu/NRP.79091009

Berdasarkan Laporan Polisi No. Pol. : LP 14/VIII/2008 Poltabes Padang tanggal 14 Agustus 2008,

telah mendatangi tempat kejadian perkara di Jln. Parak Gadang No. 23 Kec. Padang Timur Kota

Padang.—–

1. Hasil-hasil yang ditemukan :

1) Satu buah piring makan

2) Bungkusan sisa racun tikus

1. Tindakan-tindakan yang telah diambil adalah sebagai berikut :

1) Mengamankan barang bukti berupa satu buah piring bekas makan korban

2) Mengamankan bungkus racun tikus yang tersisa

3) Membawa tersangka untuk di periksa lebih lanjut

(5)

Penyidik Pembantu

TANJUNG NASITUHANG

BRIPTU/NRP. 69015993

Contoh BAP (Berita Acara Pemeriksaan)

Sebagian besar orang, mungkin belum pernah melihat BERITA Acara Pemeriksaan, atau yang lazim disebut BAP. Ini adalah salah satu contoh BAP.

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH JAWA BARAT

WILAYAH KOTA BESAR BANDUNG “PRO JUSTITIA”

(lambang POLRI)

BERITA ACARA PEMERIKSAAN SAKSI PELAPOR

Pada hari ini Kamis tanggal 5 Juni Tahun 2008 waktu jam 09.00 WIB, saya-- RAMDHANI TRI saya---

---Pangkat BRIPTU/ NRP 65090137selaku penyidik pada kantor kepolisian tersebut diatas berdasarkan surat tugas No. pol. : SP. Gas/ 517/ VI/ 2008/ Reskrim tanggal 5 Juni 2008 telah melakukan pemeriksaan terhadap seorang perempuan yang belum saya kenal mengaku bernama

:--- SARAH RAMADHANI binti BAROKAH :---

---Umur 24 Tahun, dilahirkan di Bandung pada tanggal 5 Mei 1984, Agama Islam, Pekerjaan Sekertaris di PT. Abadi Mekar, Suku Sunda, Bangsa Indonesia. Pendidikan terakhir S1 Sarjana Ekonomi jurusan Management, Alamat sekarang Jln. Aceh No. 2 Bandung

---Ia diperiksa untuk dimintai keterangan selaku saksi pelapor dalam perkara Tindak Pidana Pembunuhan berencana atau Pembunuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 ayat atau 338 KUHPidana, sehubungan dengan adanya laporan polisi No. Pol

LP/778/VI/2008/SPK tanggal 5 Juni 2008

(6)

---Atas pertanyaan pemeriksa yang diperksa menerangkan secara Tanya jawab sebagai berikut dibawah ini :

---PERTANYAAN JAWABAN

1. Apakah saksi sekarang dalam keadaan sehat jasmani dan rohani serta bersediakah anda sekarang untuk diperiksa dan akan menerangkan dengan pernyataan dengan sebenar-benarnya.?

--- 01. Ya, sekarang saya dalam keadaan sehat jasmani dan rohani serta saya bersedia untuk diperiksa dan akan menerangkan dengan sebenar-benarnya.

2. Mengertikah saudara sekarang mengapa saudara sekarang dimintai keterangan oleh polisi. Kalau mengerti dalam perkara apa? Coba Jelaskan ?

--- 02. Ya, Saya mengerti sehingga diperiksa sekarang ini sehubungan sebagai saksi pelapor terkait dengan kematian Abdul Manan di PT. Abadi Mekar tepatnya di ruang kerja korban.

3. Kapan dan dimana kejadian itu terjadi ?

--- 03. Pada tanggal 4 Juni 2008 sekitar pukul 14.00 PT. Abadi Mekar Jl Merdeka No. 7 tepatnya di ruang kerja korban.

4. Apakah saudara mengetahui siapakah pelaku penganiayaan tersebut, coba saudara jelaskan?

--- 04. Tidak tahu, tapi yang saya tahu pada hari itu ada dua orang tamu terakhir yang bertemu dengan korban yaitu 1. Pa wisnutama 2. Pa Setiawan Putra dari PT. Mekar Jaya , tamu itu datang sekitar pukul 13.20 dan seingat saya mereka keluar dari ruangan korban pada pukul 14.30 WIB, dan satu hal saya ingat bahwa sebelumnya ia telah membuat janji sekitar tanggal 27 Mei 2008 via telepon

5. Apakah saudara kenal dengan kedua tamu itu dan apakah saudara tahu maksud dari kedatangan mereka, jelaskan?

--- 05. Tidak saya tidak kenal dengan mereka, dan seingat saya mereka datang untuk membicarakan suatu proyek dengan korban selaku rekanan bisnisnya, namun saya juga tridak mengetahui persis karena saya tidak berada didalam pada waktu mereka masuk ke ruang korban saya hanya mengantarkan mereka lalu kembali ke ruangan saya.

6. Bisa saudari jelaskan cirri-ciri dari kedua tamu itu?

--- 06. ke dua orang yang datang pada waktu itu memiliki ciri-ciri fsik yang satu orangnya berkulit gelap, berbadan tinggi besar sekitar 180 cm dan wajah penuh dengan cambang dan janggut dan model rambut botak dan pada waktu itu menggunakan jas hitam dan kemeja merah, yang satunya lagi tingginya sekitar 170 cm berkulit putih rambut model pendek dan lurus, dan pada waktu itu menggunakan jas hitam dengan kemeja biru tua dan itu semua juga dapat terlihat di rekaman kamera cctv yang berada di lift dan yang berada di depan pintu masuk ruangan korban.

7. Adakah orang lain setelah mereka yang masuk ke ruangan korban?

(7)

kebiasaannya pada pukul 08.00 pagi ia mengantar kopi untuk korban dan pukul 15.00 ia mengantarkan teh hangat untuk korban.

8. Berapa lama saudara Cecep berada di ruangan itu? --- 08. Ya di bawah lima menit seingat saya

9. Apa reaksi saudara Cecep ketika keluar dari ruangan korban? --- 09. Biasa saja dan tidak ada yang aneh pada waktu itu

10. Lalu apakah betul saudari yang mengetahui pertama korban telah meninggal, coba jelaskan?

--- 10. Ya, ketika itu pukul 16.20 ketika saya hendak pulang saya curiga kenapa korban tidak terlihat keluar dari ruangannya padahal kebiasaanya ia selalu pulang ketika telah pukul 04.00, sehingga saya memberanikan diri untuk masuk Lalu ketika saya masuk ke ruangan korban, terdengar lantunan melodi klasik kesukaan korban ketika sedang bersantai( suatu kebiasaannya) dan melihat posisi korban sedang terduduk membelakangi pintu masuk seolah seperti sedang tertidur, dengan terpaksa ia hendak membangunkan korban yang ia kira sedang tertidur, namun ketika didekati saya terperanjat kaget ketika melihat muka korban penuh dengan lebam dan kondisi baju yang tidak rapih seolah telah dipukuli dan ada luka di dahinya dan noda darah di bagian kerah baju bagian leher belakang. Lantas saya langsung menghubungi petugas

keamanan.

11. Sepengetahuan saudara apakah korban mempunyai musuh atau sedang mempunyai masalah dengan pihak lain?

--- 11. Setahu saya korban pernah terlihat berselisih dengan para pemegang saham lainnya ketika sedang diadakan RUPS pada tanggal 8 Mei 2008 hari Kamis di ruang rapat, yang dilatarbelakangi korban secara sepihak telah menjual asset-aset perusahaan PT. Abadi Mekar, kepada Rahardjo Slamet dan itu diketahui oleh Sulaeman dan ia

memberitahukan hal itu pada pemegang saham lainnya yaitu pa haryono dan pa ahmad hambali.

12. Apakah ada saksi lain yang dapat dimintai keterangan terkait meninggalnya Abdul Manan?

--- 12. Ada, yaitu: Asih Rahmayanti, Muhamad Alvian, Joko Pryanto, Dede Muharam, Cecep supriyatna.

13. Apakah masih ada keterangan lain yang akan saudara sampaikan selain keterangan diatas?

--- 13. Semua keterangan yang saya sampaikan cukup

14. Apakah semua keterangan yang sudah saudara sampaikan benar, tidak bohong, tidak ada penekanan dan dapat dipertanggungjawabkan?

--- 14. Semua keterangan yang sudah saya sampaikan benar dan tidak bohong, tidak ada penekanan dan dapat dipertanggungjawabkan.

Setelah selesai Berita Acara Pemeriksaan dibuat, kemudian dibacakan kembali kepada yang diperiksa dalam bahasa yang mudah dimengerti olehnya selanjutnya yang

diperiksa menyatakan setuju dan membenarkan semua keterangan yang diberikan, untuk menguatkannya membubuhkan tanda tangannya dibawah ini.

(8)

SARAH RAMADHANI

Demikianlah Berita Acara Pemeriksaan ini dibuat dengan sebenarnya mengingat atas kekuatan sumpah jabtan yang sekarang ini kemudian ditutup dan ditandatangani di Bandung, pada tanggal tersebut diatas.

Penyidik Pembantu Pemeriksa

RAMDHANI TRI

Desersi (kejahatan militer terhadap tugasnya)

Posted by lisa on Sunday, 23 October 2011

A. Pengertian Desersi dan Macam-Macam Tindak Pidana Desersi

Menurut kamus bahasa Indonesia desersi adalah (perbuatan) lari meninggalkan dinas ketentaraan; pembelotan kepada musuh; perbuatan lari dan memihak kapada musuh. Pengertian atau defnisi dari desersi tersebut dapat disimpulkan dari pasal 87 KUHPM, bahwa desersi adalah tidak hadir dan tidak sah lebih dari 30 hari pada waktu damai dan lebih dari 4 hari pada waktu perang. Ciri utama dari tindak pidana desersi ini adalah ketidakhadiran tanpa izin yang dilakukan oleh seorang militer pada suatu tempat dan waktu yang ditentukan baginya dimana dia seharusnya berada untuk melaksanakan kewajiban dinas.

Dalam perumusan pasal 87 KUHPM dapat disimpulkan bahwa terdapat dua macam jenis tindak pidana desersi yaitu :

1. Tindak pidana desersi murni diatur dalam pasal 87 ayat (1) ke-1 KUHPM.

2. Tindak pidana desersi sebagai peningkatan dari kejahatan ketidakhadiran tanpa izin, diatur dalam pasal 87 ayat 1 ke-2 dan ke-3 KUHPM.

B. Faktor-faktor yang Menyebabkan Tindak Pidana Desersi

Salah satu tindak pidana yang sering dilakukan dalam lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah tindak pidana desersi. Adapun tindak pidana desersi ini diatur dalam pasal 87 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) yang berbunyi :

1. Diancam karena desersi, Militer :

Ke-1, yang pergi dengan maksud menarik diri untuk selamanya dari kewajiban-kewajiban dinasnya, dihindari bahaya perang, menyeberang ke musuh atau memasuki dinas militer pada suatu negara atau kekuasaan lain tanpa dibenarkan untuk itu;

Ke-2, yang karena salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa ijin dalam waktu damai lebih lama dari tiga puluh hari, dalam waktu perang lebih lama dari empat hari;

Ke-3, yang dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa ijin dan karena tidak ikut melaksanakan sebagian atau seluruhnya dari suatu perjalanan yang diperintah.

(9)

3. Desersi yang dilakukan dalam waktu perang, diancam dengan pidana penjara maksimum delapan tahun enam bulan.

Apabila kita cermati substansi rumusan pasal tersebut, sesuai dengan penempatannya dibawah judul mengenai ketentuan cara bagi seorang prajurit untuk menarik diri dari pelaksanaan kewajiban dinas, maka dapat dipahami bahwa hakekat dari tindak pidana desersi harus dimaknai bahwa pada diri prajurit yang melakukan desersi harus tercermin sikap bahwa ia tidak ada lagi keinginannya untuk berada dalam dinas militer.

Sikap tersebut dapat saja terealisasikan dalam perbuatan yang bersangkutan pergi meninggalkan kesatuan dalam batas tenggang waktu minimal 30 hari secara berturut-turut atau perbuatan menarik diri untuk selamanya.

Bahwa dalam kehidupan sehari-hari, seorang militer dituntut kesiapsiagaannya ditempat dimana ia harus berada, tanpa itu sukar dapat diharapkan dari padanya untuk menjadi militer yang mampu menjalankan tugasnya.

Dalam kehidupan militer, tindakan-tindakan ketidakhadiran pada suatu tempat untuk menjalankan dinas, ditentukan sebagai suatu kejahatan, karena penghayatan disiplin merupakan hal yang sangat urgen dari kehidupan militer.

Lain halnya dengan kehidupan organisasi bukan militer, bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan suatu kejahatan, melainkan sebagai pelanggaran disiplin organisasi. Apabila kita mencermati makna dari rumusan perbuatan menarik diri untuk selamanya dari kewajiban-kewajiban dinasnya, secara sepintas perbuatan tersebut, menunjukkan bahwa ia tidak akan kembali lagi ketempat tugasnya.

Mungkin saja hal ini dapat dilihat dari suatu kenyataan bahwa ia telah bekerja pada suatu perusahaan, tanpa menyatakan pekerjaan tersebut hanya bersifat sementara. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dipahami bahwa hakikat dari tindak pidana desersi, bukan hanya sekedar perbuatan meninggalkan dinas tanpa izin dalam tenggang waktu tiga puluh hari. Melainkan harus di maknai bahwa hakikat dari perbuatan desersi tersebut, terkandung maksud tentang sikap dan kehendak pelaku untuk menarik diri dari kewajiban dinasnya dan karenanya harus ditafsirkan bahwa pada diri prajurit tersebut terkandung kehendak atau keinginan bahwa ia tidak ada lagi keinginannya untuk tetap berada dalam dinas militer. Hal ini harus dipahami oleh para penegak hukum

dilingkungan TNI, khususnya para hakim militer agar dalam memeriksa dan mengadili perkara desersi dapat menjatuhkan putusan yang tepat dan adil serta bermanfaat bagi kepentingan pembinaan kesatuan militer.

Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam kenyataan, sering terjadi motivasi seorang prajurit melakukan desersi, dikarenakan rasa takut kepada seniornya akibat suatu kesalahan, sehingga ia memilih untuk pergi meninggalkan dinas karena apabila ia ada di kesatuan akan menghadapi tindakan keras dari seniornya. Hal lainnya adalah dikarenakan banyak hutang disana-sini sehingga ia lebih memilih pergi meninggalkan kesatuan ketimbang menyelesaikan masalahnya itu, dan banyak juga motivasi lainnya.

Faktor-faktor yang menyebabkan tindak pidana desersi ada 2 macam yaitu: 1. Faktor ekstern meliputi :

a. Perbedaan status sosial yang mencolok

b. Terlibat perselingkuhan/mempunyai wanita idaman lain (WIL) c. Jenuh dengan peraturan/ingin bebas

d. Trauma perang

e. Mempunyai banyak hutang

f. Silau dengan keadaan ekonomi orang lain 2. Faktor intern meliputi :

(10)

b. Krisis kepemimpinan c. Pisah keluarga

Untuk mencegah terjadinya perkara tindak pidana di lingkungan TNI, maka setiap satuan hendaknya :

1. Meningkatkan efektiftas pengawasan melekat atau pengawasan internal sebagai salah satu fungsi komando.

2. Melaksanakan program pembinaan personel dan pembinaan mental untuk

meningkatkan kepatuhan, ketaatan dan kedisiplinan prajurit terhadap ajaran agama, etika dan moral serta peraturan hukum dan tata tertib.

3. Mengadakan evaluasi faktor penyebab terjadinya perkara, sehingga dapat digunakan sebagai bahan dalam upaya pencegahan dan penanggulangannya.

4. Menindak tegas prajurit TNI yang terlibat perkara pidana dengan ketentuan hukum yang berlaku serta menghindarkan proses penyelesaian yang berlarut-larut.

C. Hambatan Penyelesaian Perkara Desersi Ciri utama tindak pidana desersi ditunjukkan dengan perbuatan ketidakhadiran tanpa izin seorang militer pada suatu tempat yang ditentukan baginya, dimana ia seharusnya berada untuk melaksanakan kewajiban dinas.

Diluar organisasi militer, perbuatan ketidakhadiran ini tidak ditentukan sebagai suatu kejahatan, tetapi dalam kehidupan militer ditentukan sebagai kejahatan dan kepada pelakunya apat dijatuhi pidana penjara bahkan sampai pemidana-an yang paling berat yakni penjatuhan pidana pemecatan dari dinas militer. Pemberian sanksi tersebut, sesuai dengan hakikat dan akibat dari tindak pidana desersi, dimana kesatuan yang

bersangkutan tidak dapat mendayagunakan tenaga dan pikiran personel tersebut untuk melaksanakan tugas pokok.

Pelaksanaan persidangan tindak pidana desersi sering menemui hambatan dikarenakan pelakunya tidak kembali atau tidak berhasil ditangkap sehingga Terdakwa tidak bisa dihadirkan di persidangan. Akibatnya terjadi tunggakan penyelesaian perkara, dan bagi kesatuan dapat berpengaruh terhadap pembinaan satuan dan pencapaian tugas pokok satuan.

Dalam praktek peradilan, tindak pidana tersebut kerap menimbulkan kesulitan antara lain yang berkenaan dengan penentuan locus dan tempos delicti yang ada kaitannya dengan kompetensi pegadilan misalnya: seorang Kapten X anggota Kodam A mendapat perintah untuk mutasi ke Kodam Jayapura. Yang bersangkutan berdasarkan surat

perintah dari Pangdam A, telah melapor kepada atasannya untuk melaksanakan perintah mutasi ke Kodam Jayapura.

Namun dalam kenyataannya, Kapten X tidak segera berangkat ke Kodam Jayapura, baru setelah lewat waktu enam bulan, Kapten X berangkat ke Jayapura dan melapor kepada Komandan Satuan di Kodam Jayapura. Selanjutnya Kapten X oleh Atasannya diserahkan kepada Penyidik Polisi Militer, karena diduga tidak hadir tanpa izin lebih lama dari 30 hari.

Persoalan yang timbul dari posisi kasus tersebut adalah; apakah ia diduga melakukan desersi, dimana locus delicti dan sejak kapan menentukan awal tempos delictinya, atau apakah melakukan tindak pidana insubordinasi (pembangkangan terhadap perintah dinas, karena tidak melaksanakan perintah mutasi/pindah kesatuan ke Kodam Jayapura). Dilihat dari sudut tugas dan kewajiban Kapten X untuk berada dikesatuan guna

melaksanakan tugas kewajibannya sebagai Perwira di Kodam Jayapura, maka kepadanya dapat diterapkan tindak pidana desersi. Tetapi apabila penekanannya terhadap

(11)

kepadanya dapat diterapkan pembangkangan atau insubordinasi. Demikian pula dari aspek tempos, sejak kapan Kapten X melakukan ketidakhadiran, apakah setelah yang bersangkutan melapor kepada atasannya di Kodam A. Untuk penerapan tindak pidana desersi, penentuan tempos ini perlu diperhatikan karena untuk menentukan lama ketidakhadiran seorang prajurit di kesatuan. Demikian pula, harus ditentukan dimana kesatuan yang ia tinggalkan, karena yang bersangkutan belum melapor ke tempat satuan baru.

Kesulitan dalam praktek untuk menghadirkan para pelaku tindak pidana desersi ke muka sidang, telah disadari oleh pembuat undang, karenanya pembuat

Undang-undang telah merumuskan secara limitatif dalam sebuah pasal untuk menyidangkan perkara desersi secara in absensia.

1. Persidangan perkara desersi secara in absensia

Ketentuan ini dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997, dirumuskan dalam beberapa pasal, yakni:

a. Pasal 124 ayat (4) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997.

Ketentuan tersebut menegaskan bahwa: “Dalam hal berkas perkara desersi yang

Tersangkanya tidak diketemukan, berita acara pemeriksaan Tersangka tidak merupakan persyaratan lengkapnya suatu berkas perkara”.

Substansi dari rumusan pasal 124 ayat (4) tersebut:

1) Bahwa pemeriksaan Tersangka bukan merupakan syarat formal

2) Pemberkasan perkara desersi yang dilaporkan oleh Satuan kepada Penyidik dapat dilakukan meskipun Tersangka tidak ada.

Dengan demikian dari substansi tersebut, dapat disimpulkan bahwa penyidikan terhadap tindak pidana desersi ini dilakukan tanpa hadirnya Tersangka, karenanya dinamakan penyidikan perkara desersi in absensia.

Kemudian terhadap berkas hasil penyidikan ini akan disidangkan secara in absensia. Ketentuan formalitas tersebut terdapat permasalahan, yakni mengenai penentuan tempos delicti, yaitu sampai kapan waktu desersi tersebut, apakah berakhirnya tindak pidana desersi ditentukan pada saat kasusnya dilakukan penyidikan atau pada saat perkaranya disidangkan meskipun pelaku tindak pidana desersi belum kembali. b. Pasal 141 ayat (10) Undang-undang No. 31 tahun 1997.

Ketentuan tersebut menegaskan bahwa “Dalam perkara desersi yang Terdakwanya tidak diketemukan pemeriksaan dilaksanakan tanpa hadirnya Terdakwa”.

Apabila kita mencermati rumusan pasal tersebut, dapat dipahami bahwa rumusannya bersifat imperatif, artinya perintah yang tidak bisa dimaknai lain agar pengadilan

menyidangkan perkara desersi secara in absensia. Dari rumusan pasal 141 tersebut ada dua hal pokok yang substansial yakni Terdakwanya tidak diketemukan, dan persidangan dilaksanakan secara in absensia.

Apabila kita cermati rumusan kata-kata “Terdakwanya…….” maka dapat dipahami bahwa untuk berkas tersebut Terdakwanya tidak ada ketika perkaranya akan disidangkan, maka persidangan dilaksanakan secara in absensia. Berbeda dengan rumusan Pasal 124 ayat (4), yang menegaskan Tersangkanya yang tidak diketemukan maka penyidikan dilakukan secara in absensia.

Permasalahannya, bagaimana apabila Terdakwa hadir di persidangan apakah

pemeriksaan perkara tersebut bisa dilanjutkan dengan pemeriksaan desersi biasa (bukan in absensia) atau harus dihentikan?.

c. Pasal 143 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997

Ketentuan tersebut menegaskan bahwa: “Perkara tindak pidana desersi sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer, yang Terdakwanya

(12)

disidang tanpa suatu alasan, dapat dilakukanpemeriksaan dan diputus tanpa hadirnya Terdakwa”.

- Penjelasan Pasal 143

Ketentuan penjelasan tersebut merumuskan bahwa yang dimaksud dengan “Pemeriksaan tanpa hadirnya Terdakwa dalam pengertian in absensia” adalah

pemeriksaan yang dilaksanakan supaya perkara tersebut dapat diselesaikan dengan cepat demi tetap tegaknya disiplin prajurit dalam rangka menjaga keutuhan pasukan, termasuk dalam hal ini pelimpahan perkara yang Terdakwanya tidak pernah diperiksa karena sejak awal melarikan diri dan tidak

diketemukan lagi dalam jangka waktu enam bulan berturut-turut, untuk keabsahannya harus dikuatkan dengan surat dari keterangan Komandan atau Kepala Satuannya. Penghitungan tenggang waktu enam bulan berturut-turut terhitung mulai tanggal pelimpahan berkas perkaranya ke Pengadilan.

Substansi rumusan pasal 143 tersebut memberikan persyaratan untuk Persidangan desersi secara in absensia, yaitu:

1) Batas waktu berkas perkara adalah enam bulan dihitung tanggal pelimpahan ke Pengadilan.

2) Telah dipanggil menghadap persidangan sebanyak tiga kali.

3) Dapat dilaksanakan terhadap perkara desersi yang penyidikannya dilakukan secara in absensia.

Apabila dicermati, persyaratan yang dirumuskan dalam pasal 143 tersebut, sudah bersifat limitative dan imperative, sehingga pengadilan hanya melaksanakan yang diperintahkan oleh Undang-undang. Ternyata dalam prakteknya banyak permasalahan, utamanya dihadapkan pada tuntutan satuan yang menghendaki percepatan

penyelesaian agar cepat mendapatkan kepastian hukum dengan pertimbangan bahwa secara nyata prajurit tersebut sudah tidak

ada lagi di kesatuan. Oleh karenanya ada pemikiran untuk menyimpangi ketentuan acara demi untuk percepatan, yakni:

1) Apakah batas waktu enam bulan dan pemanggilan sidang tiga kali secara berturut-turut bersifat imperative atau bersifat tentative.

2) Bagaimana kemungkinan penyelesaian perkara desersi yang penyidikannya dilakukan secara in absensia dengan perkara desersi yang Terdakwanya tidak hadir saja dalam sidang, dikaitkan dengan ketentuan waktu?

3) Bagaimana untuk menentukan akhir dari pelaksanaan waktu desersi, apakah sampai pada saat perkara disidik atau ketika perkara disidangkan.

Dari uraian tersebut dapat dikemukakan inventarisasi permasalahan yang berkenaan dengan persidangan perkara desersi secara in absensia, yakni:

- Mengenai batasan tindak pidana desersi in absensia.

Apakah desersi in absensia sebagai perkara desersi yang penyidikannya dilakukan secara in absensia, atau juga perkara desersi yang Terdakwanya tidak hadir

dipersidangan?.

- Perkara desersi yang disidik secara in absensia, akan tetapi Terdakwa hadir di persidangan, dapatkah pemeriksaannya dilanjutkan?

- Penerapan limit waktu enam bulan, dan tenggang waktu pemanggilan tiga kali, dalam penyelesaian perkara desersi in absensia. Apakah dapat disimpangi, untuk alasan percepatan dan kepentingan pembinaan satuan?.

- Tentang akhir waktu penghitungan desersi.

Permasalahan tersebut di atas, ada kesamaan dengan bahan TOR (Terms Of Reference) yang disampaikan oleh Panitia untuk dibahas dalam pelaksanaan pembinaan teknis hakim pada bulan Juli 2010 di Surabaya.

(13)

disetiap pegadilan militer dalam menyidangkan perkara desersi secara in absensia, kerap menemukan perbedaan pendapat dalam membuat tafsir terhadap ketentuan persidangan perkara desersi secara in absensia.

2. Upaya mengatasi masalah

Untuk kesamaan pendapat, dalam memecahkan perbedaan pendapat selama ini mengenai ketentuan pelaksanaan sidang perkara desersi secara in absensia, dapat dikemukakan pendapat untuk dijadikan pedoman sebagai berikut:

a. Mengenai batasan tentang tindak pidana desersi in absensia:

Pada awal penerapan UU No. 31 Tahun 1997, ada pihak yang berpendapat bahwa untuk dapat disidangkan secara in absensia, adalah tindak pidana desersi yang pelakunya tidak diketemukan lagi, sehingga penyidikan perkara tersebut dilakukan tanpa hadirnya Tersangka. Atas dasar tindakan penyidikan inilah maka persidangannya juga dilakukan secara in absensia karena memang dari sejak awal sudah merupakan perkara in

absensia.

Pendapat ini mendasarkan pemahamannya terhadap pasal 124 danpenjelasan pasal 143 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997. Konsekuensi yuridis dari pendapat ini, apabila ternyata Terdakwa yang disidik secara in absensia, hadir dipersidangan maka

pemeriksaan harus ditunda, dan berkas perkara hasil penyidikan yang dilakukan secara in absensia tersebut di kembalikan kepada penyidik untuk memeriksa ulang Tersangka secara biasa.

Pendapat ini menegaskan bahwa perkara desersi yang bisa disidangkan secara in absensia hanya perkara desersi yang disidik secara in absensia.

Pendapat lainnya, menegaskan bahwa persidangan perkara desersi secara in absensia dapat juga dilaksanakan terhadap perkara-perkara desersi yang penyidikannya tidak dilakukan secara in absensia, tetapi Terdakwanya setelah itu tidak diketemukan lagi sehingga tidak bisa dihadirkan di persidangan.

Dengan demikian, menurut pendapat kedua ini, bahwa terhadap semua perkara desersi baik yang penyidikannya dilakukan secara in absensia maupun yang penyidikannya dilakukan secara biasa, dapat disidangkan secara in absensia, apabila Terdakwanya tidak bisa dihadirkan di persidangan.

Pendapat ini mendasarkan pemahamannya terhadap ketentuan pasal 141 ayat 10 dan penjelasan pasal 143 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997.

Sebagai pedoman dalam pelaksanaan tugas, saya meminta agar saudara memedomani pendapat yang kedua.

b. Persidangan perkara desersi yang disidik secara in absensia, dalam kenyataan Terdakwa hadir di persidangan.

Permasalahan ini, apabila dihadapkan dengan pendapat yang kedua, tidak ada permasalahan, karena pendapat ini meletakkan persoalan pada ketidakhadiran Terdakwa pelaku desersi di persidangan. Sehingga dengan hadirnya Terdakwa di persidangan, maka sidang dapat dilanjutkan karena sebelumnya Terdakwa pernah diperiksa pada saat penyidikan. Namun demikian, bagi pendapat pertama, persoalan-nya menjadi lain, karena sebelumnya ketika

dilakukan penyidikan, Tersangka belum pernah diperiksa. Oleh karena Terdakwa hadir di persidangan ketika perkaranya akan diperiksa, maka persidangan harus dihentikan, dalam keadaan ini apabila sidang belum dimulai maka kepala pengadilan membuat penetapan untuk mengembalikan berkas perkara tersebut kepada Kaotmil dengan permintaan penyidik melakukan pemeriksaan Tersangka yang bersangkutan. Namun apabila sidang sudah dibuka, maka Hakim ketua membuat penetapan

pengembalian berkas perkara tersebut kepada Oditur dengan permintaan diteruskan kepada penyidik untuk melakukan pemeriksaan kepada Tersangka.

(14)

tiga kali dalam persidangan desersi secara in absensia.

Pasal 143 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 dan penjelasannya telah merumuskan secara tegas persyaratan untuk dapatnya tindak pidana desersi disidangkan secara in absensia. Persyaratan tersebut adalah:

- Terdakwanya tidak diketemukan lagi dalam waktu enam bulan berturutturut. - Sudah dilakukan pemanggilan sebanyak tiga kali berturut-turut secara sah. Sebagai penjelasan dari syarat yang pertama bahwa tenggang waktu enam bulan tersebut dihitung mulai tanggal pelimpahan berkas perkaranya ke pengadilan. Selanjutnya untuk membuktikan kebenaran bahwa benar Terdakwa sudah tidak diketemukan lagi, harus dikuatkan dengan surat keterangan dari Komandan Kesatuannya.

Mengenai syarat formalitas yang dirumuskan dalam pasal 143 tersebut, ada perbedaan pendapat, pertama menyatakan bahwa syarat tersebut dapat diterobos. Aliran progresif ini menekankan bahwa efektiftas dan efsiensi suatu percepatan penyelesaian perkara menjadi pertimbangan utama, bukankah Komandan Kesatuan telah menyatakan

Terdakwa sejak pergi meninggalkan kesatuan tidak kembali lagi, dan kenyataannya Terdakwa tidak kembali. Apabila persidangan lebih cepat, akan ada kepastian hukum, dan kesatuan diuntungkan

karena persoalan tersebut tidak menjadi beban lagi. Karenanya tenggang waktu enam bulan tersebut, dipandang sebagai hal yang berlarut-larut dan tidak efektif.

Bukankah ada adagium bahwa “Menunda-nunda keadilan, sama dengan meniadakan keadilan itu sendiri (justice delayed is justice denied)”.

Pendapat kedua, bahwa rumusan pasal 143 dan penjelasannya sudah sangat jelas, rumusan tersebut bersifat limitative dan imperative karenanya kita hanya melaksanakan apa yang dinyatakan dan diperintahkan Undang-undang.

Pendapat ini dilandasi pemikiran, bahwa untuk menjamin adanya kepastian hukum dan juga muaranya pada keadilan, maka hakim dan penegak hokum harus melaksanakan Undang-undang. Penafsiran baru bisa dilakukan dalam rangka Rechts Vinding atau Rechts Schepping, apabila Undang-undangnya tidak jelas atau belum ada hukum yang mengaturnya. Persoalan tenggang waktu enam bulan yang dirumuskan dalam Undang-undang, bukan tidak ada makna

dan tujuannya.

Terhadap perbedaan pendapat tersebut, saya memedomani pendapat yang kedua, oleh karenanya dalam kesempatan ini, perlu saya tekankan bahwa untuk dapat

menyidangkan perkara desersi secara in absensia harus ditaati dan dipedomani persyaratan yang digariskan dalam pasal 143 tersebut di atas.

Ketentuan batas waktu enam bulan tersebut, berlaku juga bagi perkara desersi yang penyidikannya dilakukan secara in absensia. Dengan demikian, pemeriksaan perkara desersi secara in absensia yang dilakukan tidak sesuai ketentuan apapun alasan dan pertimbangannya, tidak dibenarkan karena bertentangan dengan persyaratan formal yang dirumuskan dalam Undang-undang.

Permasalahan lain yang berkaitan dengan pemanggilan yang ditentukan harus tiga kali, adalah apakah dimungkinkan melakukan pemeriksaan kepada saksi atau para saksi yang ternyata hadir dalam panggilan pertama atau kedua?.

Pertanyaan ini, sering disampaikan oleh hakim dari beberapa pengadilan militer yang pernah melakukan pemeriksaan saksi pada saat panggilan pertama.

(15)

keterangan Saksi tersebut.

Dalam hal pemeriksaan perkara desersi secara in absensia, pemeriksaan Saksi

dilaksanakan tanpa kehadiran Terdakwa, tentunya setelah sidang dinyatakan secara in absensia, dan karenanya pemeriksaan saksi tersebut dibenarkan pelaksanaannya oleh hukum acara. Kapan hakim ketua menyatakan bahwa pemeriksaan perkara desersi dilakukan secara in absensia, tentu saja sesudah Oditur melakukan pemanggilan tiga kali secara sah. Oleh karena itu, dalam

sidang pemanggilan yang pertama dan kedua bahwa sidang tersebut belum dinyatakan sebagai pelaksanaan sidang secara in absensia. Dengan demikian, pemeriksaan Saksi tersebut tidak bisa dilaksanakan pada siding pertama dan kedua. Hal yang dapat berakibat fatal apabila Saksi di periksa pada panggilan pertama adalah, jika ternyata pada panggilan yang kedua Terdakwa hadir di persidangan.

Ada contoh kasus yang berkenaan dengan ketentuan pemanggilan tiga kali ini, yaitu kasus desersi seorang Bintara suatu batalyon yang disidangkan pada pengadilan militer Bandung. Dalam panggilan sidang pertama, Terdakwa tidak hadir dan saat itu mendapat penjelasan dari Kasi Pers Batalyon bahwa Terdakwa masih desersi. Setelah lama

tertunda pada sidang kedua Oditur tidak melakukan pemanggilan ulang dengan anggapan bahwa keadaan Terdakwa

masih desersi, dan karenanya mohon kepada Majelis perkara desersinya disidangkan secara in absensia. Kemudian majelis menyidangkan perkara tersebut dan menjatuhkan hukuman kepada Terdakwa. Putusan tersebutdisampaikan oleh Oditur kepada Kesatuan Terdakwa, dan tanpa disangka mendapat penjelasan dari Kesatuan, bahwa Terdakwa sudah lama kembali dan pada saat sidang dilaksanakan Terdakwa saat itu sedang melaksanakan tugas operasi militer, sementara putusan telah berkekuatan Hukum Tetap.

d. Mengenai penghitungan jangka waktu desersi

Terhadap permasalahan ini ada pendapat, yang mengatakan bahwa penentuan waktu batas akhir desersi ketika perkara tersebut dilakukan pemeriksaan oleh penyidik. Pendapat lainnya adalah, menentukan batas waktu akhir desersi berdasarkan waktu ditandatanganinya surat keputusan penyerahan perkara (Skeppera) oleh Papera. Sedangkan pendapat ketiga, menyatakan bahwa batas waktu penentuan akhir desersi adalah pada saat pemeriksaan di Pengadilan.

D. Upaya-Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Desersi

Cara yang dapat ditempuh untuk menyelesaikannya. Cara-cara tersebut dapat ditempuh melalui Hukum Pidana Militer, yang akan diselesaikan melalui peradilan militer. Yang kedua yaitu melalui Hukum Disiplin militer yang proses penanganannya diserahkan pada Ankum. Dan yang ketiga yaitu melalui Hukum Administrasi Militer, dengan jalan

mengenakan tindakan administrasi seperti schorsing pada setiap prajurit yang melakukan perbuatan tersebut. Dan upaya yang dapat dilakukan dalam

menanggulanginya dapat dilakukan secara preventif, yaitu merupakan upaya

pencegahan timbulnya desersi tersebut. Dan dapat pula dilakukan secara Represif, yaitu upaya menanggulangi suatu peristiwa atau kejadian yang telah terjadi.

Untuk penyelesaian tindak pidana dalam lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI) diperlukan adanya peraturan guna mencapai keterpaduan cara bertindak antara para pejabat yang diberi kewenangan dalam penyelesaian perkara pidana di lingkungan TNI. Oleh karena itu, dikeluarkan Surat Keputusan KASAD Nomor : SKEP/239/VII/1996

mengenai Petunjuk Penyelesaian Perkara Pidana di Lingkungan TNI AD, sebagai

penjabaran dari Skep Pangab Nomor : Skep/711/X/1989 tentang penyelesaian perkara pidana di lingkungan ABRI.

(16)

Indonesia melewati beberapa tahap/tingkatan sebagai berikut : 1. Tingkat penyidikan

2. Tingkat penuntutan

3. Tingkat pemeriksaan di persidangan 4. Tingkat putusan

Tahapan-tahapan tersebut di atas hampir sama dengan tahapan penyelesaian perkara pidana di Peradilan Umum, hanya saja aparat yang berwenang untuk menyelesaikan perkara, yang berbeda. Jika dalam peradilan umum yang berhak menjadi penyidik adalah anggota Kepolisian Republik Indonesia atau pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang sebagaimana diatur dalam pasal 6 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi:

1. Penyidik adalah :

a. Pejabat polisi negara Republik Indonesia

b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.

2. Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.

Sedangkan di Peradilan Militer yang mempunyai hak menjadi penyidik adalah “pejabat yang berdasarkan peraturan perundang-undangan diberi wewenang untuk melakukan penyidikan terhadap anggota TNI dan atau mereka yang tunduk pada Peradilan Militer” yaitu Polisi Militer sebagai mana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang tata peradilan militer.

Dalam hal terjadinya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI, maka Polisi Militer wajib melakukan tindakan penyidikan sesuai dengan tata cara dan prosedur yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997. Pasal 69 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 Hak penyidik pada

1. Para Ankum Terhadap anak buahnya (Ankum) 2. Polisi militer (POM)

3. Jaksa-jaksa Militer di lingkungan Peradilan Militer (Oditur Militer)

Keputusan PANGAB Nomor : Skep/04/P/II/1984/tanggal 4 April 1984 tentang fungsi Penyelenggaraan ke POM di lingkungan ABRI (Skep/711/X/1989).

Dengan demikian Polisi Militer adalah salah satu tulang punggung yang menegakkan norma-norma hukum di dalam lingkungan ABRI. Sesuai fungsi Polisi Militer yang merupakan fungsi teknis, secara langsung turut menentukan keberhasilan dalam pembinaan ABRI maupun penyelenggaraan operasi Hankam. Selain itu untuk

meningkatkan kesadaran hukum, disiplin dan tata tertib yang merupakan syarat utama dalam kehidupan prajurit yang tercermin dalam sikap perilaku, tindakan dan

Referensi

Dokumen terkait

tertulis dalam surat perjanjian tersebut dengan ketentuan bahwa mobil tersebut tidak boleh dipindah tangankan kepada orang lain tanpa seijin dan sepengetahuan pihak PT.BPR

Kami yang bertandatangan dibawah ini sesuai dengan surat tugas dari Kepala Dinas Kesehatan Kota Depok atau yang mewakili telah melakukan pemeriksaan tempat terhadap :E.

BERITA ACARA PEMERIKSAAN IZIN OPERASIONAL RUMAH SAKIT UMUM TIPE D Pada hari ini ... Kami yang bertandatangan dibawah ini sesuai dengan surat tugas dari Kepala Dinas

Kami yang bertandatangan dibawah ini sesuai dengan surat tugas dari Kepala Dinas Kesehatan Kota.. Depok atau yang mewakili telah melakukan pemeriksaan tempat

Kami yang bertandatangan dibawah ini sesuai dengan surat tugas dari Kepala Dinas Kesehatan Kota.. Depok atau yang mewakili telah melakukan pemeriksaan tempat

Kami yang bertandatangan dibawah ini sesuai dengan surat tugas dari Kepala Dinas Kesehatan Kota.. Depok atau yang mewakili telah melakukan pemeriksaan tempat

Undang-Undang Republik Indonesia nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-Undang Republik Indonesia nomor 13 Tahun 1961 Tentang Ketentuan- Ketentuan

Namun saat salah satu pihak menarik diri dari Uni Eropa, hal tersebut dapat membuat hubungan antara negara yang menarik diri dan negara yang masih menjadi anggota dari Uni Eropa menjadi