• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARANG PENERBIT DAN PEMBACA CERPEN IN (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENGARANG PENERBIT DAN PEMBACA CERPEN IN (1)"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Dimuat dalam bukuPROSIDING Forum Penelitidi Lingkungan Kemendiknas, Balitbang, 2011, hlm. 424--446

SISTEM PENGARANG, PENERBIT, DAN PEMBACA CERPEN INDONESIA DI YOGYAKARTA

PADA MASA AWAL ORDE BARU

Tirto Suwondo Balai Bahasa Yogyakarta

Abstrak

Penelitian ini mengkaji sistem sosial cerpen Indonesia di Yogyakarta pada masa awal Orde Baru (1966—1980). Tujuannya untuk mem-peroleh gambaran yang signifikan tentang keberadaan sistem sastra (cerpen) pada masa itu dalam rangka penyusunan (buku) sejarah sastra Indonesia di Yogyakarta. Teori yang digunakan adalah teori makro-sastra seperti yang dikembangkan oleh Tanaka. Dari pembahasan terhadap sistem sosial (pengarang, penerbit, pembaca) dapat diketahui bahwa ketiga sistem itu berjalan berdampingan membangun keberadaan cerpen Indonesia di Yogyakarta. Hanya saja, dari ketiganya, kekuatan masing-masing sistem itu tidak berimbang dan kekuatan dominan terletak pada sistem pengarang. Hal itu terjadi karena keberadaan penerbit/pengayom amat bergantung pada situasi sosial-ekonomi, sedangkan masyarakat pembaca sebagai mata rantai kehidupan sastra masih terbatas sehingga sastra cenderung terping-girkan. Karena itu, jika dikehendaki perkembangan sastra dapat berjalan dengan baik, masing-masing sistem dan subsistem itu harus dibangun secara seimbang, dalam arti baik pengarang, penerbit, maupun pembaca tidak boleh saling mendominasi atau mengobjek-tivikasi.

Kata kunci: cerpen, sistem makro, sejarah sastra.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

(3)

berperan penting membangun kehadiran karya sastra, yaitu pengarang, penerbit, dan pembaca; sedangkan yang dimaksud ”cerpen Indonesia di Yogyakarta” adalah karya-karya sastra berbentuk cerita pendek (cerpen) yang dipublikasikan di media cetak yang terbit di Yogyakarta. Sementara itu, yang dimaksud ”pada masa awal Orde Baru” adalah masa paroh pertama zaman Orde Baru, yakni 1966--1980, karena zaman Orde Baru tidak hanya sampai 1980, tetapi sampai 1997 (menjelang masa Reformasi).

Penelitian tentang sistem sosial cerpen Indonesia di Yogyakarta pada masa awal Orde Baru perlu dilakukan karena melalui penelusuran sistem sosial itu fakta-fakta sejarah yang membangun keberadaan cerpen Indonesia di Yogyakarta dapat digambarkan dalam rangka penyusunan (buku) sejarah sastra Indonesia. Dalam penyusunan (buku) sejarah sastra Indonesia di Yogyakarta, idealnya sistem sosial yang diteliti tidak hanya sistem yang membangun keberadaan cerpen, tetapi juga puisi, novel, dan drama yang hadir dari masa ke masa. Akan tetapi, karena penelitian ini serba terbatas, baik ruang, waktu, tenaga, biaya, dan sejenisnya, penelitian ini akhirnya hanya memfokuskan pada sistem yang membangun cerpen yang terbit pada 1966--1980. Terlebih lagi, dalam rangka penyusunan sejarah sastra tersebut, penelitian terhadap genre sastra lain telah dilakukan beberapa ahli, di antaranya puisi oleh Widati dkk. (2003, 2004, 2005), cerpen periode 1945— 1965 oleh Mardianto dkk (2003), novel oleh Mardianto dkk. (2004, 2006), drama oleh Mardianto dkk. (2005) dan Prabowo dkk. (2005).

Di samping hal di atas, dalam rangka penyusunan sejarah sastra Indonesia di Yogyakarta, idealnya penelitian juga tidak hanya terbatas pada sistem sosial, tetapi juga sistem formal atau sistem yang berada di dalam karya sastra itu sendiri seperti tokoh, alur, latar, dan sarana-sarana sastra seperti sudut pandang, bahasa, gaya cerita, dan sejenisnya. Akan tetapi, karena sistem formal itu secara dominan telah dibahas pada beberapa penelitian di atas, sehingga penelitian ini hanya membahas sistem sosial. Sesungguhnya, di dalam sistem sosial sastra itu juga masih ada sistem lain, yaitu subsistem kritik, tetapi karena kritik secara khusus telah diteliti oleh Suwondo (2004, 2005, 2006), subsistem kritik akhirnya tidak menjadi subjek kajian dalam penelitian ini. Jadi, penelitian ini secara khusus membahas sistem sosial (pengarang, penerbit, pembaca) cerpen Indonesia di Yogyakarta pada masa awal Orde Baru.

1.2 Permasalahan

(4)

masyarakat yang menjadi pembaca cerpen-cerpen pada masa itu. Namun, sebelum berbagai sistem itu dibahas, terlebih dahulu dibahas perihal mobil-itas sosial-budaya karena bagaimana pun seluruh subsistem itu berada dalam dinamika sosial-budaya masyarakat yang terus berubah.

1.3 Tujuan dan Hasil yang Diharapkan

Penelitian ini secara khusus bertujuan mengetahui, memahami, dan mendeskripsikan tiga persoalan yang telah disebutkan dalam permasalahan, yakni sistem pengarang, penerbit, dan pembaca cerpen-cerpen Indonesia di Yogyakarta pada masa awal Orde Baru (1966—1980). Selain itu, penelitian ini secara umum ingin memberikan sumbangan pemikiran bagi upaya penyusunan (buku) sejarah sastra Indonesia di Yogyakarta sejak awal per-tumbuhannya hingga sekarang. Oleh karena itu, hasil yang diharapkan dari penelitian ini ialah berupa rumusan sebuah bangunan sistem sosial (makro) cerpen Indonesia di Yogyakarta pada masa awal Orde Baru.

II. KAJIAN LITERATUR

Karya sastra, baik berupa puisi, cerpen, novel, maupun drama, tidaklah datang dengan tiba-tiba, tetapi merupakan hasil karya manusia (pengarang). Sebagai hasil karya manusia, karya sastra ditulis tidak tanpa maksud, tetapi selalu dimaksudkan agar dinikmati masyarakat (pembaca). Karena masyarakat yang diharapkan membaca karya itu begitu luas dan beragam, diperlukanlah peran penerbit sebagai lembaga penghubung karya sastra dengan pembacanya. Demikian realitas hubungan karya sastra dengan pengarang, penerbit, dan pembaca yang secara bersama-sama membangun sistem tertentu, yaitu sistem sastra, baik sistem sosial maupun sistem formal (Tanaka, 1976).

(5)

(Tanaka, 1976). Tugas utama pendekatan ini adalah mengungkapkan berbagai aspek (sistem) sosial yang menyangkut hubungan karya sastra dengan faktor di luarnya seperti yang dilakukan oleh kaum Marxis atau Strukturalis-Genetis.

Karena masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah hal-hal yang berkaitan dengan sistem sosial (pengarang, penerbit, pembaca), jelas bahwa pendekatan yang digunakan adalah sosiologis (sosio-kultural) berdasarkan konsep teori sosiologi atau makro sastra. Jadi, konsep teori sosiologi (makro sastra) digunakan sebagai landasan analisis terhadap bagaimana pengarang, penerbit, dan pembaca cerpen Indonesia di Yogyakarta pada masa awal Orde Baru itu membangun sistem kepengarangan, kepenerbitan, dan kepemba-caannya. Namun, seperti telah dikatakan di depan, sebelum masuk ke pembahasan tiga sistem itu, terlebih dahulu dibahas perihal mobilitas sosial-budaya karena secara tak terelakkan sistem-sistem tersebut berada dalam konteks sosial-budaya yang terus berubah.

III. METODE DAN TEKNIK

Dalam penelitian ini dipergunakan metode kualitatif yang memper-hatikan keurgensian data. Data dianggap sangat signifikan dalam rangka menjelaskan tujuan penelitian. Analisis data dilaksanakan dengan memper-gunakan metode sosial dalam rangka memahami makro sastra dan juga untuk menjelaskan mobilitas sosial budaya Yogyakarta pada masa itu. Keadaan pengarang, penerbit, dan pembaca sudah sewajarnya jika dipahami dengan bantuan analisis sosial karena persoalan-persoalan tersebut berada dan lekat dengan bingkaian sosial. Sementara itu, hasil penelitian ini disajikan dengan teknik deskriptif agar mudah dipahami pembaca mengenai permasalahan yang berkaitan dengan sistem pengarang, penerbit, dan pembaca cerpen Indonesia di Yogyakarta pada masa itu. Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan dengan teknik baca dan catat. Artinya, berbagai aspek sosial yang melingkupi keberadaan cerpen–cerpen pada masa itu dibaca, dicatat, kemudian dianalisis. Pada akhirnya, generalisasi atau pengambilan simpulan dilakukan dengan kerangka berpikir deduktif-induktif-deduktif.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Mobilitas Sosial-Budaya

(6)

merebaknya korupsi, cepatnya laju pertumbuhan penduduk (dari 77,2 juta jiwa pada 1950 menjadi 97,02 juta jiwa pada 1961), membengkaknya pengangguran, merajalelanya kejahatan, dan tidak tercukupinya pangan bagi rakyat. Hal itu terjadi karena pemerintah masa itu menentukan kebijakan yang otoriter, mengembangkan wacana anti-Barat, memihak pada negara sosialis, dan menjadikan “politik” sebagai “panglima.” Sebenarnya saat itu pemerintah telah mencoba menjalankan berbagai program perbaikan ekonomi, misalnya melalui Program Benteng, tetapi hasilnya belum sesuai dengan harapan. Sebab, program tersebut justru semakin memperkuat pengusaha Cina dan India, bukan pengusaha Indonesia. Hal itu terjadi karena para pengusaha Indonesia ternyata lebih suka menjual lisensinya kepada berbagai perusahaan asing dengan “kedok” melakukan kerja sama dengan mereka (Budiman, 1996:31).

Bertolak dari kenyataan itulah, setelah terjadi pergantian kekuasaan, Orde Baru dengan slogan politis yang bernama “pembangunan” ingin mela -kukan perubahan mendasar berkaitan dengan persoalan ekonomi sehingga diciptakan berbagai program, salah satunya program pengentasan kemis-kinan. Pada saat itu kebijakan ekonomi diarahkan pada strategi yang berorientasi ke luar. Strategi ini memberi peluang bagi swasta untuk ikut aktif dalam sistem pasar bebas. Langkah itu diharapkan segera memberikan hasil tanpa perlu perombakan radikal struktur sosial-ekonomi (Mas’oed, 1990). Hal ini tampak pada diberlakukannya peraturan 3 Oktober 1966 yang memuat pokok-pokok usaha, yaitu (1) penyeimbangan anggaran belanja, (2) pengekangan ekspansi kredit untuk usaha produktif, (3) penundaan pemba-yaran utang luar negeri dan upaya mendapatkan kredit baru, dan (4) penanaman modal asing guna memberi kesempatan kepada negara lain untuk membuka alam Indonesia, membuka kesempatan kerja, dan membantu usaha peningkatan pendapatan nasional.

(7)

hubungan dengan negera-negara nonkomunis. Perbaikan terhadap hubungan dengan Amerika dan Jepang, misalnya, terbukti merupakan suatu langkah strategis bagi upaya rehabilitasi ekonomi tersebut.

Ricklefs (1994:433) lebih lanjut menjelaskan sejak semula Orde Baru memang berupaya keras menjalankan kebijakan stabilisasi ekonomi, menyan-darkan legitimasi pemerintah pada kemampuan meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi rakyat. Salah satu upaya penting yang dilakukan ialah pemerintah mencanangkan strategi Pelita sejak 1969 (Harnoko, 2003:76— 77). Strategi ini yang kemudian melahirkan konsep pembangunan pedesaan sehingga muncul tiga tipologi desa (swadaya, swakarya, swasembada). Konsep tersebut dinilai tepat karena saat itu sebagian besar (73,8%) masyarakat desa masih berada di bawah garis kemiskinan. Sesuai dengan berbagai tipologi desa itu pemerintah berusaha keras meningkatkan taraf hidup rakyat dengan menerapkan program Bimas, Inmas, Padat Karya, Bantuan Kabupaten, Bantuan Desa, Kredit Candak Kulak, Kredit Investasi Kecil, dan sejenisnya. Melalui program itu akhirnya terbukti kondisi masyarakat pada 1970--1980-an lebih baik jika dibandingkan pada masa Orde Lama, lebih-lebih pada zaman kolonial Belanda.

Kenyataan di atas menunjukkan Orde Baru telah berhasil mendu-dukkan birokrasi sebagai agent of change, yaitu birokrasi sebagai kekuatan efektif bagi pelaksanaan program pembangunan/modernisasi. Walaupun, kalau dicermati lebih jauh, sesungguhnya yang terjadi tidaklah demikian. Sebab, secara tidak disadari, konsep “persatuan dan kesatuan” dengan proyek “pembangunanisme” yang dicanangkan pemerintah sejak awal Orde Baru telah menimbulkan ekses tertentu karena keutuhan/kesatuan wilayah Indonesia dicapai/dipertahankan dengan cara represif dan dominasi ideologis (hegemoni) oleh sebuah rezim yang birokratik, militeristik, dan teknokratik yang mengombinasikan ideologi nasionalisme dan kapitalisme.

Kondisi tersebut selanjutnya memunculkan kenyataan bahwa peme-rintah yang dalam tataran wacana selalu ingin menegakkan demokrasi justru sangat tidak demokratis. Di bidang politik, misalnya, hal itu tampak jelas, yaitu dari 10 partai yang eksis pada Pemilu 1971 akhirnya hanya tinggal dua partai dan satu golongan (PDI, PPP, dan Golkar) sejak Pemilu 1977. Karena pada waktu itu seluruh sepak terjang PDI dan PPP dapat “dikuasai” oleh Golkar, akhirnya terjadi dominasi kemenangan Golkar terus-menerus. Karena komponen Golkar terdiri atas birokrat-birokrat pemerintah mulai dari pucuk pimpinan sampai ke pimpinan terendah di pedesaan, Golkar pun akhirnya identik sebagai “Partai Pemerintah”.

(8)

dan ideologi pembangunanisme. Itulah sebabnya, pers dan penerbitan (koran, majalah, dan buku) yang tidak sehaluan dengan konsep dan ideologi dominan (negara) tidak diberi hak hidup. Oleh sebab itu, berbagai jenis media cetak yang banyak muncul pada awal 1950-an harus mati pada masa Orde Baru. Hal itu terbukti pada 1970-an banyak koran, majalah, dan buku yang dilarang peredarannya; bahkan ada beberapa personalnya ditangkap/dipenjarakan.

Khususnya di Yogyakarta, media massa yang bertahan hidup (hingga kini) tinggal beberapa, di antaranya Minggu Pagi (Kedaulatan Rakyat), Basis,Suara Muhammadiyah, Masa Kini (sebelum akhirnya mati juga), dan Bernas. Realitas ini tidaklah hanya menciptakan suasana yang “tenang karena ketakutan”, tetapi juga memampatkan kreativitas dan ide-ide cemerlang dari masyarakat, termasuk seniman-sastrawan, sehingga hal itu berpengaruh pada perkembangan seni, sastra, dan budaya. Meski demikian, karena sejak tahun 1950-an Yogyakarta telah tercipta menjadi kota budaya dan pendidikan, sehingga banyak intelektual dan calon intelektual dari luar datang ke Yogya-karta, dan mereka itulah yang kemudian membangun berbagai kelompok atau komunitas penulis sehingga memberi warna tersendiri bagi perkembangan sastra, termasuk perkembangan cerpen di Yogyakarta. Mengenai hal ini dapat dicermati pada pembahasan terhadap berbagai sistem (pengarang, penerbit, dan pembaca) berikut.

4.2 Sistem Pengarang

(9)

semakin meningkat dalam setiap dasawarsa, demikian halnya dengan pengarang cerpen wanita di Yogyakarta.

Seperti diketahui Yogyakarta dikenal sebagai kota budaya dan kehidupan sastranya telah tumbuh sejak lama. Sejak saat itu bermunculan kelompok-kelompok pengarang yang merupakan bagian tak terpisahkan dari kehadiran puisi, cerpen, novel, dan drama. Di samping itu, posisi Yogyakarta sebagai kota pendidikan mendorong masyarakat dari berbagai daerah untuk datang dan menetap di Yogyakarta atau menempuh studi di Yogyakarta, termasuk di antaranya para pengarang cerpen. Di Universitas Gajah Mada, misalnya, terdapat nama-nama besar seperti Umar Kayam, Budi Darma, Rendra, Sapardi Djoko Damono, Bakdi Sumanto, Iskasiah Soemarto, Nugroho Notosusanto, Karno Hadian, kemudian disusul Kuntowijoyo dan Rachmat Djoko Pradopo. Selain itu, di fakultas ini juga ada Mohammad Diponegoro, Motinggo Bosje, Kirdjomuljo, Umbu Landu Paranggi, Jussac M.R., Darmadji Sosropuro, Jajak MD, Darmanto Jatman, Jaso Winarto, dan sejumlah nama lain yang sebagian besar bukan asli Yogyakarta. Mereka menjadi motor perkembangan sastra di fakultas sekaligus turut meramaikan Yogyakarta dengan berbagai jenis karya. Teeuw (1989) mengemukakan bahwa pada pertengahan 1950-an telah muncul beberapa sastrawan besar (Rendra, Ajib Rosidi, Subagio Sastrowardojo) dan mereka tetap eksis menulis karya sampai tahun 1970-an.

Pada 1970-an Umbu Landu Paranggi mencuat di dunia komunitas sastra Yogyakarta. Lebih dari 15 tahun menetap di Yogyakarta (1959— 1975). Bersama Ragil Suwarno Pragolapati, Iman Budhi Santosa, dan Teguh Ranu Sastraasmara, Umbu mendirikan kelompok Persada Studi Klub (PSK) pada 5 Maret 1969 dan bermarkas di Jalan Malioboro 175. Kelompok PSK merupakan ajang kreativitas para pengarang dan penyair pemula yang kehadirannya bernaung di Mingguan Pelopor. Dengan adanya kelompok PSK iklim berkesenian di Malioboro pada 1970-an menjadi kian semarak. Mereka adalah Emha Ainun Nadjib, Ahmad Munif, Faisal Ismail, Linus Suryadi, F. Rahardi, Korrie Layun Rampan, Agnes Yani Sarjono, Atas Danusubroto, Bambang Indra Basuki, Darwis Khudori, Fauzi Absal, dan Joko S. Passandaran. Umbu lewat PSK telah berhasil memproses para penyair besar seperti di atas. Setelah Umbu hengkang ke Denpasar (1975), Ragil Suwarna Pragolapati mendapat surat kuasa penuh untuk mengelola PSK. Namun, hal itu tidak pernah direalisasi karena ia lebih memilih mengelola Sanggar Sastra Pragolapati dan berkiprah di dunia sastra Yoga. PSK selanjutnya dikelola Linus Suryadi (1975—1976) dan Teguh Ranu Sastraasmara (1976—1977).

(10)

atau Renas di Berita Nasional dan Linus Suryadi sebagai redakturnya. Kemudian ada juga Insani yang hadir bersama rubrik sastra di Masa Kini asuhan Emha Ainun Nadjib. Lalu ada pusat pergaulan sastra yang bermarkas di majalah Semangat. Selain itu, di kampung-kampung, muncul pula pusat pergaulan sastra. Misalnya di Kotagede, yang generasi awalnya muncul bersama departemen seni budaya dari Pelajar Islam Kotagede. Generasi kedua, muncul bersama dengan bagian seni budaya Pemuda Muhammadiyah. Generasi ketiga, lebih independen, pusat pergaulan sastranya bernama Sanggar Sastra Kotagede (Sasako). Di Bantul dan Godean pun muncul hal serupa. Pusat pergaulan sastra lain muncul di tengah dinamika kampus, atau muncul bersama suburnya radio swasta ketika menggelar acara lembar sastra dan baca puisi (Hasjim, 1997). Munculnya kelompok-kelompok sastra itu semakin menambah semarak kehidupan sastra di Yogyakarta. Banyak pemuda ikut bergabung sehingga banyak bermunculan pengarang pemula termasuk pengarang cerpen seperti yang dimuat di Suara Muhammadiyah (SM), Basis, Budaya, Seriosa, Gadjah Mada (GM), Pelopor, Minggu Pagi (MP), Masa Kini (MK),dan lain sebagainya.

Keberadaan pengarang cerpen di Yogyakarta pada masa awal Orde Baru tidak terlepas dari pengarang pada masa sebelumnya. Hal itu terbukti dengan munculnya pengarang yang tetap produktif mempublikasikan karyanya (cerpen) sampai periode berikutnya, misalnya Mohammad Diponegoro. Pengarang ini tetap aktif menulis sampai 1980. Ia dikenal sebagai penulis cerpen, puitisasi Alquran, penulis dramaIblis, pendiriTeater Muslim, dan penulis novel Siklus. Sampai akhir hayatnya (9 Mei 1982) ia menjabat Wakil Pemred SM, jabatan yang dipegang sejak 1965. Sebelum meninggal, ratusan cerpen telah ia tulis. Kumpulan cerpen religiusnyaOdah dan Cerita Lainnya (1986) diterbitkan Shalahuddin Press, demikian juga bukunya Yuk Nulis Cerpen (1985). Selain itu, Pekabaran (1977) merupakan kumpulan cerpennya yang diterbitkan Budaya Jaya. Beberapa cerpen lainnya terbit diHorisondanSM.

(11)

Terhor-mat Nama Saya (1992) adalah kumpulan cerpen yang ia tulis pada 1977--1981 yang semula terbit diKompas, Zaman,danHorison.

Budi Darma, cerpenis kelahiran Rembang, 25 April 1937, pernah pula mewarnai kehidupan cerpen di Yogyakarta. Budi Darma mulai menulis tahun 1968 di majalah Indonesia, Basis, dan Cerita. Kedudukannya yang kuat sebagai cerpenis menyebabkan karyanya banyak dijadikan bahan seminar dan kajian di perguruan tinggi. Cerpennya “Sang Anak” yang dimuat Horison oleh Satyagraha Hoerip dimasukkan ke dalam antologi Cerita Pendek Indonesia jilid ke-3 (1980). Kumpulan cerpen Orang-Orang Bloomington telah diterbitkan Sinar Harapan (1980). Selain itu, novel Budi DarmaOlenka pernah menjadi Pemenang Utama Sayembara Roman DKJ 1980. Dalam cerpen dan novelnya ia banyak mengungkap nilai kehidupan yang dihayatinya selama tinggal dengan penduduk setempat di Amerika.

Selain itu, karya Kuntowijoyo (lahir 18 September 1943 di Yogyakarta) juga banyak mewarnai kehidupan sastra di Yogyakarta tahun 1960-an. Pengarang yang juga dosen sejarah UGM ini banyak menulis puisi, cerpen, lakon, novel, dan esai. Bukunya yang terbit adalah Suluk Awang-Awang(puisi, 1975), Isyarat(puisi, 1976), Pasar(novel, 1972), Khotbah Di Atas Bukit (novel, 1976), dan “Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari” dimuat di harian Jihad (1966). Sejumlah puisinya masuk dalam buku Laut Biru Langit Biru (1977) dan Tugu. Selain itu, naskah lakonnya antara lain Tidak Ada Waktu bagi Nyonya Fatma, Barda, Cartas, dan Topeng Kayu (1972--1973). Karya-karya cerpennya kemudian dibukukan dalam Dilarang Mencintai Bunga-BungadanHampir Sebuah Subversi.

Pengarang lain yang cukup produktif adalah Adjib Hamzah. Sebagian besar cerpennya terbit diSMdanMP. Di antaranya “Penunjuk Jalan (1974), “Ayah dan Anak” (1975), “Air Mata di Hari Nahar” (1975), “Hari Ke Delapan” (1976), “Pakaian” (1977), “Perintah” (1979). Hadjid Hamzah (saudara kandung Adjid Hamzah) juga termasuk pengarang yang cukup produktif. Beberapa karyanya juga terbit di SM dan MP, di antaranya “Matahari” (1966), “Dia Bergaun Hitam” (1969), “Kaliurang” (1971), “Hujan” (1971), “Kosong” (1971), “Angin Kopeng” (1972). Selain itu juga ada nama Kirjomulyo. Kirjomulyo menulis sejak 1950-an. Hanya saja, meski menulis beberapa cerpen, ia lebih dikenal sebagai penyair dan penulis drama. Demikianlah gambaran beberapa pengarang cerpen di Yogyakarta dan pengarang lain yang banyak berkiprah pada masa Orde Lama (sebelum 1966) tetapi masih aktif pada masa Orde Baru (1970-an).

(12)

Abdulhafiz Rafie, Santosa, Suwastinah Md., Enny Sumargo, Anto Hastoro, Koesworo, Titien Handayani, dan Asmoro. Selanjutnya, pengarang yang kurang produktif di antaranya, Joko Sulistyo Kahhar, Nasril Zainun, Abbas, Ahmad Basuni, Sadewa, Hasmana, Hawari Siddik, Dandung, Mohtar Pabottinggi, Mohammad Sjoekoer, Ikranegara, Hartono, Prayoga, Moh. Joko Santosa, Mira Sato, Siswandani, Achmad Roosni Noor, Idrus Ismail, Machmud Taimur, Abdul Hadi, Tukimin, Iman Soetrisno, Eddy Santosa, Krisna Anam, Berliantinah, Kencana Mina, Slamet Haditomo, Yoyok Aryo Tedjo, Jun Harningsih, Sri Ajati, Achmad Abdullah, Acum Syubanhur Ahmad, Santi Santosa, Nushrat Abdul Rahman, Ali Hasan Sy’raji, Sururi, Masykur Wiratmo, Ketut Aryana, Arno SW, Tuti Nonka, Abdul Karim Husain, Munawar Sjamsudin, Abdulhafiz Rafie, Leo Amelia, Bambang Indra Basuki, Zabdi Mustafa, Nismah Arief, Soejanto Js., Moh. Sidik Sadali, Darwis Khudori, Ahmad Rivai Nasution, M. Arifin Siregar, Amri Sanur, Masyotoh Noor, Hana Eli, Abud, Amru Hm., Zainal Abdi, Al Fauzi Sofi Salam, Ketut Aryana, Muchlas Am., Hendro Wijatno, Putu Arya Tirtawirya, dan Surjanto Sastroatmodjo.

Banyaknya pengarang yang kurang produktif tersebut disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, mereka masih tergolong penulis pemula sehingga karyanya yang terbit merupakan satu-satunya karya pilihan berdasarkan seleksi redaktur penerbit. Kedua, para pengarang itu secara formal bukan sebagai penulis cerpen sehingga ia lebih produktif menulis karya lain (puisi, novel, atau drama). Ikranegara tergolong kurang produktif menulis cerpen. Pada masa itu hanya ditemukan satu cerpennya, yaitu “Setelah Pintu-Pintu Kurungan Dibuka” (SM, Juni 1967). Ia memang bukan cerpenis. Karena itu, ia lebih dikenal sebagai dramawan dan penyair. Karyanya berupa drama, misalnya “Topeng” (1972), “Saat-saat Drum Band Mengerang-ngerang” (1973), “Para Narator”, “Gusti”, “Rang Gni”, “Ssst”, “Prit”, “Ahim Pong -pong”, dan “Tok Tok Tok”. Sedangkan kumpulan puisinya “Angkat Puisi” (1979).

Selain Ikranegara, Abdul Hadi pun kurang produktif sebab ia memang lebih dikenal sebagai penyair. Pengarang kelahiran Madura 1946 ini pernah menjadi redaktur Gema (majalah mahasiswa UGM) dan Mingguan Maha-siswa Indonesia edisi Jawa Tengah dan Yogyakarta (1967—1970). Tahun 1971 pindah ke Bandung menjadi redaktur Mingguan Mahasiswa Indonesia edisi Jawa Barat sampai 1973. Pada periode ini karya cerpennya hanya ditemukan di SM berjudul “Raja yang Bijaksana” (Feb 1968). Hal serupa terjadi juga pada pengarang seperti Linus Suryadi dan Rendra. Keduanya, walaupun kadang menulis cerpen, tetapi lebih produktif menulis puisi. Oleh sebab itu, mereka lebih dikenal sebagai penyair.

(13)

ditulis untuk ditujukan kepada orang-orang tertentu, misalnya, sahabat, kekasih, adik, kakak, bapak dan ibu, dan sebagainya. Pencantuman kete-rangan kepada siapa cerpen itu ditujukan dimaksudkan untuk menarik perhatian pembaca agar mau membaca dan memahami perasaan (pengarang) melalui cerpen itu. Hal itu biasanya diletakkan di bawah judul cerpen atau di akhir baris (bagian bawah). Cerpen yang mencantumkan model penulisan jenis ini, di antaranya, “Setelah Pintu-pintu Kurungan Dibuka” (Titip salam untuk N.L.’Etta) karya Ikranegara (SM, Juni 1967), “Ramalan” (Buat Rekan -rekan di SMA II M) karya Rusly S. Purma (MK, 4 Okt 1972), “Beta” (Buat Papa, Mama, dan Beta) karya Hendro Wiyanto (MP, 31 Agt 1980), ”Menentang Matahari” (Buat Ibunda, di Kota M) karya Susilomurti (MP, 10 April 1966), “Aku Akan Kembali” (Dik Enny, cerita ini untukmu) karya Siti Nurjanah Sastrosubagjo (MP, 27 Agt 1967), “Akhir Dari Segalanya” (Ter -sangkut salam buat orang tercinta) karya Tut Sugyarti Sayoga (MP, 3 April 1966), “Sebuah Cerita Buat Chambaly” (Titip salam manis pada suamiku tercinta) karya Koen Brotosasmito (MP, 14 Mei 1967), “Awan Tidak Selalu Hitam” (Dede, Kau boleh baca) karya Budi Santosa (MP, 25 Mei 1969), “Awan Menyibaklah” (Untuk Si Kombor) karya Krisna Anam (MP, 31 Agt 1969), “Di Ujung Kegelapan” (Buat Bunda tercinta) karya Abimanyu (MP, 22 Maret 1970), “Suara” (Untuk Roberto) karya Yoyok Aryo Tedjo (MP, 17 Okt 1971), dan “Di Suatu Saat Nanti” (Buat Kamu) karya Titien Handayani (MP, 10 Feb 1980).

Beberapa pengarang cerpen Indonesia yang pernah memperoleh hadiah sastra pada masa itu, di antaranya, Kuntowijoyo, memperoleh hadiah dari majalah Sastra lewat cerpennya “Di Larang Mencintai Bunga-Bunga” (1968), Wildan Yatim, meraih hadiah dari Horison untuk cerpen “Surau Baru” (1969), Djajanto Supra, meraih hadiah Sayembara Penulisan Cerpen majalah Sastra lewat cerpen “Binatang-Binatang” (1969), dan A.A. Navis, memperoleh hadiah sastra dari Femina untuk cerpen “Kawin” (1979). Pemerolehan hadiah sastra oleh beberapa pengarang tersebut membuktikan bahwa cerpen yang ditulis para pengarang yang berkiprah di Yogyakarta telah dapat diperhitungkan kualitasnya serta diakui keberadaannya dalam kancah sastra Indonesia pada umumnya.

4.3 Sistem Penerbit

(14)

sesuai dengan oplah media yang memuatnya. Memang tidak semua pembaca media itu akan membaca cerpen yang dimuat di dalamnya. Akan tetapi, dapat diperkirakan bahwa pembacanya cukup banyak meskipun mereka bukan pembaca yang aktif.

Beberapa media (surat kabar) di Yogyakarta memuat cerpen pada hari-hari tertentu. Hari-hari yang dimaksud biasanya jatuh pada hari Minggu. Media massa mingguan secara tetap juga memuat cerpen sebagai salah satu rubriknya. Surat kabar Masa Kini, misalnya, yang merupakan kelanjutan Mercu Suar memuat cerpen seminggu sekali setiap Rabu. Harian terbitan Yayasan Mercu Suar itu terbit pertama tahun 1966 dengan motto “Melaksanakan Pancasila dan Dakwah”. Pada Rabu, 5 Januari 1972, Mercu Suar berganti nama menjadi Masa Kini. Dalam Masa Kini ditambahkan rubrik “Pos Konsultasi” untuk menjawab dan membimbing penulisan cerpen/sajak. Format dan teknik penulisan dibahas secara luas dalam rubrik tersebut. Dengan cara demikian surat kabar itu telah bertindak sebagai pengayom para penulis yang mengirimkan naskahnya. Tepat pada saat peralihan nama menjadiMasa Kinitampilcerpen “Lagu Malam” karya Moh. Harijadi. Media ini menempatkan cerpen bersama dengan puisi di bawah rubrik ”INSANI: Lembar Kreasi dan Aspirasi” yang sekaligus menampung dan mengekspresikan aspirasi anggota INSANI CLUB.

Harian Masa Kini memang bermoto sebagai harian independen. Pimpinan redaksi (Ahmad Basuni) dan stafnya adalah para aktivis Muham-madiyah. Oleh karena itu, sedikit banyak Muhammadiyah memiliki andil sebagai pengayom. Kepengayoman Muhammadiyah di situ tidak harus terlibat langsung dalam pendanaan, pengayoman moral pun sangat diperlukan untuk keberadaan media massa. Keindependenannya itu merupakan langkah mengantisipasi situasi setelah 1965 yang cenderung terjadi depolitisasi. Berbagai media yang sebelumnya merupakan corong politik partai tertentu mulai melepaskan diri menjadi media massa yang bebas. Dengan demikian, mereka bebas berekspresi tanpa harus memikirkan induknya.

(15)

operasi inteligen dia dilibatkan untuk kepentingan TNI AD.

Pelopor Jogja yang terbit 7 kali seminggu itu menempatkan rubrik SABANA sebagai rubrik “sastra dan seni” dan muncul setiap Rabu. Rubrik ini diasuh oleh Umbu Landu Paranggi. Isinya berkisar pada filsafat, seni, kronik, budaya, cerpen, dan puisi. Sejak 2 Februari 1969 rubrik SABANA yang muncul setiap Rabu berpindah ke hari Minggu. Kecuali rubrik SABANA, Pelopor Jogja edisi Minggu juga menyediakan rubrik “PERSA -DA STUDI CLUB asuhan Kak Par” yang memuat puisi, berita diskusi, dan kontak surat antara redaksi dengan para penulis. Telah diuraikan di depan bahwa Umbu Landu Paranggi bersama Ragil Suwarno Pragolapati telah mendirikan sanggar “Persada Studi Klub”. Kelompok PSK tersebut aktif mengadakan pelatihan dan pembahasan puisi dan karya-karya mereka dimuat dalam rubrik “PERSADA STUDI KLUB”. Sanggar PSK betul-betul merupakan tempat berlatih kreatif dan rubrik “PERSADA STUDI KLUB” merupakan wadah penerbitan hasil kreasi mereka.

Persoalan pengayom yang dilakukan oleh Pelopor Jogja bersifat politis dan kultural. Artinya, sesuai tujuan dan motto koran tersebut dapat ditangkap sikap kepengayoman politik yang berhubungan dengan Pancasila dan Ampera. Sistem pemberitaan redaksi sudah terarah untuk memper-tahankan dan memperkuat kedudukan Pancasila yang sempat digoyahkan oleh pemberontakan G 30 S PKI pada 1965. Di samping itu, juga ingin meluruskan dan memurnikan implementasi Pancasila sesuai dengan interpre-tasi kelompok otoritas dalam Angkatan Darat. Sesuatu yang tak kalah penting adalah memberikan pengayoman kepada masyarakat untuk dapat menikmati kehidupan yang sejahtera sesuai amanat penderitaan rakyat. Pemerintah diharapkan dapat bertindak sesuai cita-cita kemerdekaan untuk menyejah-terakan kehidupan bangsa. Pergolakan politik harus segera diakhiri karena rakyat sudah cukup lama menderita. Pembangunan dan pengembangan ekonomi harus mendapatkan perhatian prima agar masyarakat adil makmur dan sejahtera dapat segera dinikmati oleh bangsa Indonesia.

(16)

Namun, upaya itu tidak dapat menolongnya sehingga pada 1980-an media itu berhenti terbit.

Minggu Pagi dengan moto “Enteng Berisi” mengarah pada penyajian bacaan untuk masyarakat luas sebagai bacaan ringan. Minggu Pagi diayomi oleh Kedaulatan Rakyat. Pada awalnya Minggu Pagi terbit dalam bentuk majalah. Namun, perkembangannya sebagai usaha bisnis dirasakan kurang memberikan keuntungan yang signifikan. Oleh karena itu, sejak tahun 70-an Minggu Pagiterbit dalam bentuk tabloit. Memang ada kecenderungan mulai 1970-an muncul berbagai tabloit terbitan Jakarta dan kota-kota lainnya. Pengubahan Minggu Pagi dalam bentuk tabloit itu menyebabkan ia dapat bertahan sampai kini. Manajemen baru dan tampilnya orang-orang muda dalam jajaran redaksi dapat meningkatkan oplah Minggu Pagi. Sampai saat ini Minggu Pagi merupakan bacaan “enteng dan berisi” yang dipoles oleh redaksinya dengan menyesuaikan perkembangan zaman. Sementara rubrik budaya terus dipertahankan sebagai wadah tulisan para sastrawan dan budayawan. Seni sastra yang selalu tampil adalah cerpen dan puisi. Penulis-penulis ternama seperti Motinggo Boesye, Idrus, Nasjah Jamin, Eny Sumargo, Adjid Hamzah, dan Mayon Sutrisno sering muncul bersama karyanya. Yang menarik juga ialahMinggu Pagi menampilkan ruang khusus untuk remaja MP. Dalam ruang tersebut terjadilah komunikasi dan pembimbingan atas penulisan cerpen maupn sajak-sajak remaja. Di situlah kelihatan niat MPsebagai pengayom kepada calon-calon penulis yang kelak menjadi penulis yang dapat diandalkan dalam percaturan sastra Indonesia.

Kalau Muhammadiyah secara tidak langsung memberikam penga-yoman pada Mercu Suar/Masa Kini, ternyata secara langsung memberikan pengayoman pada majalah Suara Muhammadiyah. Mottonya adalah “Pem -bawa Cita Persyarikatan dan Dakwah Islamiyah”. Majalah Suara Muham-madiyah secara rutin memuat cerpen dalam setiap penerbitannya. Masa penerbitan yang sudah lama memungkinkan majalah tersebut telah menga-yomi sejumlah pengarang cerpen Indonesia. Pengayoman tersebut berupa penerbitan karya dan sekaligus memberikan honorarium bagi penulis. Baik majalah maupun surat kabar di Yogyakarta memang mempunyai andil besar bagi kehidupan cerpen di Yogyakarta. Penyediaan lahan pemuatan dan pemberian honorarium jelas merupakan langkah menarik dalam rangka bentuk pengayoman. Untuk kehidupan media tersebut lebih banyak bergan-tung pada kemampuan pendanaan dari penerbit (pengayom) dan juga dari pelanggan. Sebab, iklan tidak terlalu besar porsinya sehingga dana yang masuk dari iklan yang mestinya dapat menopang kehidupannya ternyata belum dapat diandalkan.

(17)

Mottonya berbunyi ”Majalah Persatuan Taman Siswa” yang berisi berita, artikel kebudayaan, dan tulisan ilmiah populer. Rubriknya terbagi atas pendidikan, kebudayaan, dan budi pekerti. Rubrik khusus cerpen tidak tersedia, tetapi di sana tersedia rubrik puisi. Kadang-kadang muncul pula tulisan yang berkaitan dengan kritik sastra dan drama. Majalah ini tersebar di kota-kota yang ada cabang Taman Siswanya. Memang penyebaran Pusara mengandalkan mekanisme organisasi Taman Siswa. Majalah bulanan itu dapat berjalan rutin karena pendanaan yang tetap dari Majelis Luhur Taman Siswa. Di samping itu, pendanaan masih ditambah dengan masuknya uang langganan dari pelanggan. Penerbitan sekitar 2500 eks merupakan oplah yang cukup kuat untuk sebuah penerbitan pada waktu itu.Pusara pernah berhenti terbit tahun 1966-1968 karena peristiwa G 30 S/PKI. Tahun 1969 terbit lagi dengan orientasi dan sasaran yang sesuai dengan misi Taman Siswa.

Bernas juga mempunyai akses pada perkembangan cerpen di Yogyakarta. Bernas merupakan perubahan nama dari Suluh Indonesia dan Suluh Marhaen. Koran itu menyediakan ruang (hari Minggu) untuk sastra dan budaya di bawah asuhan Suryanto Sastroatmojo, Rudatan, dan Linus Suryadi. Pada awalnya Suluh Indonesia berubah nama menjadi Suluh Marhaen,sebuah koran yang diayomi oleh kekuatan politik PNI. Oleh karena itu, banyak penulis yang dulu tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Nasional dibesarkan oleh koran tersebut. Dalam perkembangannya, ketika koran berubah nama menjadi Bernas, bentuk pengayoman berpindah dari pengayoman politik menjadi pengayoman bisnis. Orang tertentu (Kusfandi) merupakan seorang nasionalis yang bermodal yang kemudian mengelola Bernas. Orientasinya berubah menjadi orientasi bisnis dan rubrik sastra dimunculkan sebagai sesuatu yang diperhitungkan dan dibutuhkan oleh masyarakat.

4.4 Sistem Pembaca

Sebagaimana terjadi pada sistem makro sastra Indonesia umumnya, ketidakseimbangan sistem makro sastra Indonesia di Yogyakarta pada masa awal Orde Baru antara lain juga disebabkan oleh sulitnya membangun masyarakat yang cinta (senang membaca) karya sastra. Kesulitan mem-bangun masyarakat yang senang membaca sastra tersebut barangkali dipengaruhi oleh masih berurat-berakarnya budaya oral (lisan) di dalam masyarakat kita (Indonesia). Di tengah masa “represif” pada masa awal Orde Baru itu sebagian besar masyarakat masih dilanda oleh persoalan mendasar yang berkaitan dengan kebutuhan ekonomi. Oleh karena itu, orang cenderung tidak tertarik pada bacaan, apalagi bacaan sastra yang masih dianggap sebagai pemborosan waktu belaka.

(18)

masyarakat (pembaca) sehingga yang terjadi karya sastra hanya dibaca oleh kemunitas kecil, yang biasanya para pengarang, kritikus, atau sekelompok kecil mahasiswa dan guru sastra. Itu sebabnya, sastra tidak laku di pasaran, ruang-ruang sastra dan budaya pun jarang muncul dalam surat kabar/majalah. Konsekuensinya, penerbit enggan menerbitkan buku-buku karya sastra. Kalau ada penerbit bersedia menerbitkan buku sastra, biasanya, pengarang yang seharusnya menerima fee seusai kontrak justru harus rela tidak menerima apa-apa. Kota Yogyakarta memang merupakan kota budaya dan pendidikan, tetapi realitas menunjukkan bahwa predikat tersebut tidak menjamin masyarakat yang berpendidikan membaca dan menyukai karya sastra.

Berbagai upaya untuk meraih sebanyak-banyaknya pembaca sesung-guhnya telah dilakukan oleh berbagai pihak, misalnya oleh penerbit melalui pemasangan iklan atau oleh beberapa media cetak melalui penawaran berlangganan dan penyediaan rubrik sastra-seni-budaya. Akan tetapi, upaya tersebut tampak tidak mengubah kondisi lemahnya minat baca sastra. Kalau dirasakan, ini memang bagai lingkaran setan, dalam arti sisi mana yang lebih dulu harus ditangani sulit ditentukan. Akan tetapi, satu hal yang dirasa menjadi penghambat kemungkinan “hubungan cinta” antara pembaca dan karya sastra --baik di Yogyakarta khususnya maupun di Indonesia pada umumnya-- adalah lemahnya sistem kritik.

Seperti diketahui bahwa tradisi kritik sastra belum berkembang dengan baik. Kalau dilihat di sekitar produksi sastra, misalnya, baik dalam bentuk buku maupun yang dimuat di media massa, kehadiran karya sastra (puisi, cerpen) jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan karya kritik. Contoh nyata misalnya dapat diamati padaMercu Suar (Masa Kini), Minggu Pagi,Gadjah MadadanGama(sebelum mati),Pelopor, atauBasis.Di dalam berbagai media itu hampir dapat dipastikan selalu memuat karya puisi, bahkan sampai tiga atau empat buah, tetapi kritik tentang puisi hanya sesekali saja muncul. Kenyataan ini menjadi bukti kuat bahwa kritik sastra memang kurang berkembang. Hal ini sekaligus juga membuktikan bahwa tradisi membaca sastra belum berkembang.

(19)

bahkan memiliki banyak agen di berbagai kota di Indonesia, tetapi jika dilihat dari sajian-sajiannya tampak bahwa pembaca majalah itu bukan masyarakat kelas bawah atau orang kebanyakan. Apalagi para pengelola, redaktur, dan penulis di majalah tersebut adalah sekelompok kaum muda yang berpikiran maju; dan beberapa orang dapat disebutkan, misalnya, Budi Darma, Subagio Sastrowardoyo, Rendra, Wiratmo Sukito, Muhardi, Amir Prawiro, dan sebagainya. Bahkan, sasaran pembaca kaum intelektual juga dapat dilihat dari suatu kenyataan bahwa majalah ini memiliki beberapa perwakilan (semacam reporter) di luar negeri.

Sementara itu, Suara Muhammadiyah berisi tulisan-tulisan yang bernapas Islam karena majalah itu diterbitkan oleh Muhammadiyah. Hal ini menunjukkan bahwa majalah itu sengaja ditujukan kepada pembaca (masya-rakat pemeluk) Islam. Seperti halnya Gadjah Mada dan Gama, majalah Suara Muhammadiyah juga dipasarkan bebas kepada masyarakat sehingga diasumsikan majalah dwimingguan itu akan dibaca oleh masyarakat umum, tetapi jika ditilik sajian-sajiannya majalah tersebut barangkali hanya menarik minat dan perhatian para pembaca Islam. Hal serupa tampak padaMasa Kini karena penerbitan harian ini juga didukung oleh Muhammadiyah. Meskipun penampilan harian ini tampak bersifat umum, secara implisit jelas para pembacanya sebagian besar adalah muslim. Kenyataan itu terlihat pada sajiannya yang memberi porsi lebih luas bagi tulisan-tulisan yang bernuansa Islam.

Agak berbeda dengan beberapa penerbitan di atas, Basis memiliki pembaca tersendiri yang umumnya terdiri kaum ilmuwan-rohaniawan. Hal ini terlihat pada pemuatan tulisan yang lebih memberi peluang pada berbagai bidang ilmu (sosial-budaya-agama) dan filsafat. Majalah ini berlabel “majalah kebudayaan umum” dan dipasarkan bebas pula kepada masyarakat. Akan tetapi, dilihat sajiannya terasa majalah kebudayaan itu bukan konsumsi remaja atau anak-anak. Kenyataan tersebut berbeda lagi dengan mingguan Pelopor. Majalah ini diterbitkan dengan maksud untuk “menyatukan” berbagai-bagai kelompok yang pada masa itu terjadi ketidaksepahaman. Oleh karena itu, majalah yang berlabel “mingguan politik populer” ini memiliki jangkauan pembaca yang lebih beragam, dalam arti tidak dibatasi oleh isme, paham, atau ideologi tertentu. Jangkauan pembaca yang sama agaknya juga tampak pada harianBernas.

(20)

“Pelangi” majalah Gadjah Mada dan lembaran seni-sastra “Bunga dan Bintang” majalah Gama jarang ditemukan karya-karya yang tendensius atau “memihak” pada isme tertentu. Kalaupun ditemukan karya semacam itu, porsinya pun sangat sedikit. Kecenderungan itu lebih diperkuat oleh banyak munculnya karya-karya terjemahan dari sastra Barat.

Hal tersebut berbeda dengan karya-karya sastra yang dimuat di Suara Muhammadiyah. Terasa kental ruang seni-sastra dalamSuara Muham-madiyah sering menampilkan karya yang tendensius, khususnya yang bernuansa religius-Islami. Hal ini wajar karena majalah itu memang diayomi oleh sebuah organisasi sosial-keagamaan (Muhammadiyah) yang berasaskan Islam; apalagi majalah ini sejak semula dimaksudkan sebagai wahana membangun kesadaran umat (manusia) atau mengembangkan iman, ilmu, dan amal. Hal yang sama terlihat padaMasa Kini. Karya-karya yang muncul dalam rubrik “Kulminasi” dan “Insani” harian ini didominasi oleh karya -karya yang bernapaskan Islam. Jadi, jelas bahwa pembaca -karya--karya sastra yang dimuat di dalamnya adalah mereka yang sepaham dengan itu (beragama Islam).

MajalahBasisagaknya memiliki sedikit kekecualian. Meski dikelola oleh sekelompok ilmuwan di bawah payung Gereja, karya-karya sastra yang ditampilkan tidak selalu berorientasi Gereja. Bahkan, sesekali majalah ini juga memuat karya-karya yang bernuansa Islam; terbukti beberapa puisi Emha Ainun Najib pernah muncul di dalamnya. Hal ini menandai bahwa sesungguhnya Basis hendak konsekuen terhadap apa yang telah disepakati sebagai sebuah “majalah kebudayaan umum” sehingga tidak terlalu eksklusif dan tidak membatasi ruang geraknya di tengah masyarakat. Dengan cara demikian terbuka peluang bagi majalah itu untuk mencapai sasaran pembaca yang lebih luas dan beragam. Hanya saja, karena peredaran majalah itu sebagian besar mengarah ke sekelompok masyarakat tertentu, yaitu masyarakat Kristiani, akhirnya karya-karya sastra yang dimuat pun hanya mencapai sasaran pembaca tertentu pula.

Berbeda dengan karya-karya sastra di beberapa majalah dan koran di atas, tampaknya karya sastra dalam Minggu Pagi lebih mencapai sasaran yang beragam. Sebab, mingguan yang diayomi oleh Badan Penerbit KR itu menyajikan tulisan-tulisan yang beragam mulai dari hal yang ringan dan lucu sampai pada masalah-masalah supranatural. Oleh karena itu, mingguan ini tidak hanya dibaca oleh sekelompok masyarakat tertentu, tetapi dibaca oleh masyarakat dari berbagai usia dan golongan. Label “Enteng Berisi” yang terdapat dalam mingguan itu menjadi semacam daya tarik bahwa siapa pun dapat dan mampu membaca dan mencerna apa yang disajikan di dalamnya.

(21)

Akan tetapi, kenyataan itu belum menjadi jaminan bahwa karya-karya sastra (cerpen dan puisi) yang dimuat dibaca pula oleh pembaca dari semua golongan itu. Sebab, karya sastra termasuk wilayah eksklusif yang tidak semua orang dapat menikmatinya. Oleh sebab itu, karya sastra dalamMinggu Pagi pun tampak hanya dibaca oleh komunitasnya sendiri, yakni para seniman, sastrawan (penyair, cerpenis), dan budayawan. Hal serupa tampak pula pada Bernas. Harian yang tidak terikat oleh kelompok tertentu ini jelas memiliki sasaran pembaca yang luas dan beragam. Akan tetapi, seperti halnya Minggu Pagi, karya sastra yang muncul dalam rubrik “Renas” juga cenderung hanya dibaca oleh komunitasnya sendiri (seniman, sastrawan, budayawan).

Rubrik “Sabana” dalam Pelopor agaknya sedikit memiliki keisti-mewaan. Sebab, pada waktu itu, penjaga gawangnya, Umbu Landu Paranggi, bersama beberapa kawan dari berbagai cabang seni di Yogyakarta, tidak hanya seni sastra tetapi juga seni lukis, patung, dan sebagainya, berhasil mendirikan sebuah grup PSK. Melalui PSK inilah Umbu Landu Paranggi banyak memberikan bimbingan kepada calon-calon sastrawan (penyair) untuk berkarya dan berproses kreatif. Apabila karya-karya mereka dinilai baik dan kemudian dimuat di rubrik “Sabana”, itu berarti mereka (penulisnya) telah “diwisuda” dan “dinyatakan” layak untuk disebut sebagai penyair (dengan nomor induk tertentu). Berkat upaya Umbu Landu Paranggi inilah, PSK dan rubrik “Sabana” pernah menjadi populer dan menjadi ajang bagi berkumpulnya berbagai kelompok atau paham. Atau dengan kata lain, PSK menjadi wahana kultural bagi masyarakat tanpa sekat. Oleh karena itu, karya-karya sastra yang dimuat di rubrik “Sabana” memiliki peluang atau kecenderungan untuk dibaca dan dinikmati oleh masyarakat luas.

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Fakta menunjukkan mobilitas sosial-budaya yang selalu berubah memiliki pengaruh besar terhadap sistem yang melingkupi perkembangan cerpen Indonesia di Yogyakarta pada awal Orde Baru. Hal itu terbukti, berkat perkembangan ekonomi pada masa itu, banyak intelektual muda dari luar datang ke Yogyakarta sehingga menyebabkan tumbuhnya para penulis, kelompok-kelompok penulis, sekaligus menyebabkan tumbuhnya berbagai penerbitan baik koran maupun majalah walau sebagian darinya tidak berumur panjang.

(22)

pada masa sebelumnya (sejak 1950-an). Berkat adanya kelompok-kelompok (komunitas) penulis, jumlah pengarang pada masa itu kian bertambah. Berkat kreativitas para pengarang kemudian banyak karya sastra, termasuk cerpen, menghiasi media cetak di Yogyakarta. Hanya saja, karena media cetak saat itu memiliki ketergantungan yang kuat terhadap organisasi atau media lain, akhirnya banyak media yang mati. Media yang dapat bertahan hingga kini hanyalahMinggu Pagi, Suara Muhammadiyah, Basis,danBernas,sedangkan Pelopor, Pusara, Mercu Suar, Masa Kini, Nasional, dan Suluh Marhaen telah mati. Sebenarnya media-media itu juga telah berusaha mempertahankan hidupnya dengan membangun pelanggan, tetapi karena minat baca masyarakat belum (tidak) terbangun, akhirnya media-media itu mati. Demikian juga karya sastra, ia tersisih oleh hal-hal lain seperti berita politik, ekonomi, iklan, dan sebagainya sehingga sastra seolah hanya dibaca dan menjadi konsumsi di lingkungan kelompok atau komunitas sastra saja.

5.2 Saran

Dalam rangka pemberian sumbangan bagi penyusunan (buku) sejarah sastra Indonesia di Yogyakarta, penelitian ini hanya memiliki kontribusi yang kecil karena penelitian hanya terfokus pada sistem sosial cerpen Indonesia pada masa awal Orde Baru. Padahal, buku sejarah sastra yang baik adalah buku yang memberikan gambaran lengkap, tidak hanya sistem sosial tetapi juga sistem formal. Oleh karena itu, penelitian sejenis perlu segera dilakukan, yang mencakupi berbagai sistem, lebih-lebih sistem yang membangun sastra Indonesia pada masa akhir Orde Baru dan diteruskan pada masa Reformasi (1997 hingga 2000-an). Melalui berbagai penelitian lanjutan itu diharapkan buku sejarah sastra Indonesia di Yogyakarta segera tersusun.

DAFTAR PUSTAKA

Budiman, Arief. 1996. Teori Negara: Negara, Kekuasaan, dan Ideologi. Jakarta: Gramedia.

Damono, Sapardi Djoko. 1999. Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

(23)

Hasyim, Mustofa W. dan Iman Budhi Santoso (ed.). 1997.Begini Begini dan Begitu. Yogyakarta: Panitia FKY IX-1997.

Mas’oed, Mohtar. 1990. “Negara, Masyarakat, dan Pembangunan Ekonomi di Indonesia”. Dalam AkhmadZaini Abar (ed.).Orde Baru.Solo: Ramadhani.

Mardianto, Herry dkk. 2003. “Cerita Pendek Indonesia di Yogyakarta Periode 1945--1965”. Yogyakarta: Balai Bahasa.

---. 2004. "Novel Indonesia di Yogyakarta Periode 1966--1980". Yogyakarta: Balai Bahasa.

---. 2005. "Drama Indonesia di Yogyakarta Periode 1981--2000". Yogyakarta: Balai Bahasa.

---. 2006. "Novel Indonesia di Yogyakarta Periode 1981--2000". Yogyakarta: Balai Bahasa Yogyakarta.

Prabowo, Dhanu Priyo, dkk. 2005. "Drama Indonesia di Yogyakarta Periode 1966--1980". Yogyakarta: Balai Bahasa.

Ricklefs, M.C. 1994. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sumardjo, Jakob. 1999. Konteks Sosial Novel Indonesia: 1920—1977. Bandung: Alumni.

Suwondo, Tirto dkk. 2004. “Kritik Sastra Indonesia di Yogyakarta Periode 1945—1965”. Yogyakarta: Balai Bahasa.

---. 2005. "Kritik Sastra Indonesia di Yogyakarta Periode 1966--1980". Yogyakarta: Balai Bahasa.

---. 2006. "Kritik Sastra Indonesia di Yogyakarta Periode 1981--2000". Yogyakarta: Balai Bahasa.

Tanaka, Ronald. 1976. Systems Models for Literary Macro Theory. Lisse: The Peter de Ridder Press.

(24)

Wellek, Rene & Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.

Widati, Sri dkk. 2003. “Puisi Indonesia di Yogyakarta Periode 1945--1965”. Yogyakarta: Balai Bahasa.

---. 2004. “Puisi Indonesia di Yogyakarta Periode 1966--1980”. Yogyakarta: Balai Bahasa.

Referensi

Dokumen terkait

Hal tersebut ditunjukkan dari hasil penelitian yaitu semakin tinggi tingkat varian konsentrasi perlakuan, maka semakin banyak kandungan florida yang terdapat

Upaya meningkatkan kualitas pelayanan Bank dapat dilakukan dengan penyempurnaan standar operational prosodure (SOP) tentang pelayanan Bank secara komprehensif serta

Gaya pengasuhan authorithative sangat berperan dalam pembentukan perilaku remaja, Ulasan dari berbagai penelitian tentang hubungan gaya pengasuhan dan konsumsi minuman

Hasil dari penelitian ini menunjukan kemampuan dari para mahasiswa yang telah mengikuti mata kuliah morphologi mengenai derivative forms yang cenderung mengetahui beberapa

(2011) menunjukkan bahwa cadangan karbon pada gambut mencapai 8 hingga 20 kali karbon pada vegetasi hutan. Kemampuan bentang lahan dalam membentuk tanah gambut merupakan

Sud se po Zakonu odlučuje da izvede dokaz veštačenjem ukoliko je radi utvrđivanja ili razjašnjenja neke činjenice u sporu potrebno stručno znanje kojim ne raspolaže. 21 Stranka

Kesimpulan: Dari faktor penduduk bahwa ia suka buah manga dan hanya sayur tertentu yang ia makan karena mama nya hanya sering memasak itu, ia juga jarang mengonsumsi sayur dan

[r]