TINJAUAN PUSTAKA
Hutan Mangrove
Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, dan merupakan komunitas yang hidup di dalam kawasan yang lembap dan berlumpur serta
dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove disebut juga sebagai hutan pantai, hutan payau atau hutan bakau. Pengertian mangrove sebagai hutan pantai adalah pohon-pohonan yang tumbuh di daerah pantai (pesisir), baik daerah yang
dipengaruhi pasang surut air laut maupun wilayah daratan pantai yang dipengaruhi oleh ekosistem pesisir. Sedangkan pengertian mangrove sebagai
hutan payau atau hutan bakau adalah pohon-pohonan yang tumbuh di daerah payau pada tanah alluvial atau pertemuan air laut dan air tawar di sekitar muara sungai. Pada umumnya formasi tanaman di dominasi oleh jenis-jenis tanaman
bakau. Oleh karena itu istilah bakau digunakan hanya untuk jenis-jenis tumbuhan dari genus Rhizophora. Sedangkan istilah mangrove digunakan untuk segala
tumbuhan yang hidup di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut. Dengan demikian pada suatu kawasan hutan yang terdiri dari berbagai ragam tumbuhan atau hutan tersebut bukan hanya jenis bakau yang ada,
maka istilah hutan mangrove lebih tepat digunakan (Harahab, 2010).
Menurut Kustanti (2011), sebagian mangrove dijumpai di sepanjang pantai
terlindung yang berlumpur, bebas dari angin yang kencang dan arus (misalnya di mulut muara sungai besar). Mangrove juga dapat tumbuh di atas pantai berpasir dan berkarang, dan di pulau-pulau kecil. Sementara itu, air payau bukanlah hal
dengan subur jika terdapat persediaan endapan yang baik pada air tawar yang melimpah.
Sumberdaya pesisir hutan mangrove tersebut dapat menyediakan berbagai produk dan layanan jasa lingkungan yang menunjang berbagai kebutuhan hidup dan macam aktivitas ekonomi. Potensi daerah tersebut dapat memberikan harapan
kecukupan kebutuhan hidup dan macam aktivitas ekonomi. Potensi daerah tersebut dapat memberikan harapan kecukupan kebutuhan hajat hidup masyarakat.
Hal ini terletak pada pemeliharaan integritas fungsional dari sistem alami dan tidak pada konversi terhadap maksud penggunaan tunggal. Oleh karena itu kawasan pesisir pantai menjadi bagian yang sangat penting dalam kegiatan
pembangunan dan perekonomian (Harahab, 2010).
Fungsi dan Manfaat Mangrove
Menurut Wibisono (2005) secara ekologis ekosistem mangrove mempunyai beberapa fungsi penting bagi wilayah pesisir, diantaranya:
a. Sebagai penahan erosi dan abrasi pantai akibat hempasan ombak.
b. Merupakan tempat ideal untuk perlindungan dan pembesaran (nursery ground)
dari berbagai jenis larva udang dan ikan.
c. Sebagai cadangan sumber alam (bahan mentah) untuk dapat diolah menjadi komoditi perdagangan.
Kegunaan hutan mangrove yang dapat diberikan terhadap kehidupan manusia dibedakan berdasarkan tingkatan ekosistem, yaitu berdasarkan tingkat
biotic component. Kusmana, dkk (2005), membagi manfaat hutan mangrove sebagai berikut:
1. Tingkat ekosistem mangrove secara keseluruhan a. Lahan tambak, lahan pertanian, dan kolam garam
Lahan mangrove di beberapa daerah di Indonesia banyak dikonversi
menjadi areal pertambakan tradisional udang dan bandeng, lahan pertanian padi dan holtikultura, dan pembuatan garam.
b. Lahan pariwisata
Potensi ekosistem hutan mangrove sebagai lahan pariwisata menawarkan keindahan alam dan hasil-hasil yang bisa diandalkan. Keindahan alam yang
dapat dinikmati bagi wisata alam antara lain adalah terbit dan terbenamnya matahari, bentuk perakaran yang khas dari vegetasi hutan mangrove, buah
mangrove yang bergelantungan pada pohon induknya, berbagai jenis flora dan fauna, atraksi adat istiadat masyarakat setempat -ngruwat laut- berkaitan dengan hutan mangrove, zonasi mangrove, dan lain sebagainya.
Bentuk-bentuk wisata yang bisa dinikmati di hutan mangrove antara lain adalah memancing, fotografi, berperahu, pengamatan satwa afivauna,
berjalan sepanjang track trail mangrove, pengamatan matahari terbit (sunrise) dan terbenam (sunset).
2. Tingkat komponen ekosistem sebagai Primary Biotic Component
a. Flora mangrove
Keberadaan flora mangrove dari vegetasi tumbuhan bawah sampai dengan
tetumbuhan yang ada di hutan mangrove sebagai bahan makanan, kayu bangunan, kayu bakar, dan obat-obatan.
b. Fauna mangrove
Fauna yang terdapat di ekosistem mangrove terdiri atas 5 kelas, yaitu mamalia, reptilia, aves, amphibi, dan pisces. Selain keindahan bentuk fisik
fauna, dapat juga dinikmati keindahan suara dan keunikan habitatnya. Manfaat ekonomi yang langsung dapat dinikmati antara lain adalah:
keberadaan ikan, kerang-kerangan, udang, dan kepiting, dan burung-burung.
Evaluasi ekonomi sumberdaya alam adalah penilaian (to value) atau
penentuan nilai sumberdaya alam terhadap manfaat dan fungsi yang dihasilkan. Manfaat sumberdaya yang dimaksud adalah manfaat baik secara langsung
maupun tidak langsung, sedangkan fungsi sumberdaya yang dimaksud adalah fungsi sumberdaya dalam menghasilkan jasa-jasa lingkungan bagi kehidupan baik secara fisik, biologi, dan kimia. Bermacam-macam teknik penilaian dapat
digunakan untuk mengkuantifikasi konsep nilai. Konsep dasar dalam penilaian ekonomi yang mendasari semua teknik penilaian tersebut adalah kesediaan
membayar dari individu untuk jasa-jasa lingkungan atau sumberdaya, dan atau mungkin juga kesediaan untuk menerima kompensasi atas kerusakan lingkungan yang dialami (Harahab, 2010).
Pengelolaan Hutan Mangrove Secara Berkelanjutan
Kalaulah manfaat yang dan fungsi hutan mangrove dikategorikan secara umum pada dua bagian yaitu fungsi ekologis dan ekonomisnya maka sewajarnya pulalah
pendekatan yang akan dilakkan dalam pengelolaannya ditarik dari kedua fungsi tersebut. Mengingat keadaan yang ada saat ini terhadap hutan mangrove seharusnya upaya yang harus dilakukan disamping rehabilitasi ataupun pemulihan
kembali terhadap hutan mangrove yang sudah rusak itu dilakukan, tentunya tidak kalah pentingnya diperlukan suatu strategi atas perlindungan untuk mengamankan
mangrove itu dari segala bentuk gangguan yang akan terjadi.
Pengelolaan ekosistem mangrove adalah untuk kepentingan manusia, maka faktor-faktor terkait kepentingan tersebut harus dipertimbangkan. Juga tidak
hanya satu faktor saja, tetapi harus secara keseluruhan untuk menghindari gesekan kepentingan yang satu dan lainnya.Faktor-faktor penting tersebut adalah ekologi,
ekonomi, dan sosial-budaya (Kordi, 2012).
Menurut Mahmud (2002) diacu oleh Harahab (2010) beberapa justifikasi untuk mengelola ekosistem mangrove secara berkelanjutan adalah:
1. Mangrove merupakan sumberdaya alam (SDA) yang dapat dipulihkan (renewable resources atau flow resources) yang mempunyai manfaat ganda
(manfaat ekonomis dan ekologis). Hutan mangrove merupakan penyedia berbagai keperluan hidup berbagai masyarakat lokal. Selain itu sesuai dengan perkembangan IPTEK, hutan mangrove menyediakan berbagai jenis
sumberdaya sebagai bahan baku industri dan berbagai komoditas perdagangan yang bernilai ekonomis tinggi yang dapat menambah devisa negara.
volume (20 ton/ha/th, 9 m3/ha/th pada hutan tanaman bakau umur 20 tahun). Besarnya nilai produksi primer ini cukup berarti bagi penggerak rantai pangan
kehidupan berbagai jenis organisme akuatik di pesisir dan kehidupan masyarakat pesisir itu sendiri.
3. Dalam skala internasional, regional, dan nasional, hutan mangrove luasnya
relatif kecil bila dibandingkan, baik dengan luas daratan maupun luasan tipe hutan lainnya, padahal manfaatnya (ekonomis dan ekologis) sangat penting
bagi kelangsungan kehidupan masyarakat (khususnya masyarakat pesisir), sedangkan di pihak lain ekosistem mangrove bersifat rentan (fragile) terhadap gangguan dan cukup sulit untuk merehabilitasi kerusakannya.
4. Ekosistem mangrove, baik secara sendiri maupun bersama dengan ekosistem padang lamun dan terumbu karang berperan penting dalam stabilisasi suatu
ekosistem pesisir, baik secara fisik maupun biologis.
5. Ekosistem mangrove merupakan sumber plasma nutfah yang cukup tinggi yang saat ini sebagian besar manfaatnya belum diketahui.
Ekowisata
Ekowisata merupakan perjalanan wisata ke suatu lingkungan baik alam yang alami maupun buatan serta budaya yang ada yang bersifat informatif dan partisipatif yang bertujuan untuk menjamin kelestarian alam dan sosial-budaya.
Ekowisata menitikberatkan pada tiga hal utama yaitu; keberlangsungan alam atau ekologi, memberikan manfaat ekonomi, dan secara psikologi dapat diterima dalam
kepada semua orang untuk melihat, mengetahui, dan menikmati pengalaman alam, intelektual dan budaya masyarakat lokal (Satria, 2009).
Kegiatan ekowisata dapat memberikan efek positif dan efek negatif. Kedua efek ini sering berinteraksi secara kompleks. Hal ini menjadi tanggung jawab pengelola agar dapat memaksimalkan efek positif atau manfaat, dan
menimalkan efek negatif atau dampak (Tuwo, 2011).
Keberlangsungan alam atau ekologi merupakan suatu upaya terhadap
pelestarian terhadap alam dan budaya. Pengertian keberlangsungan alam atau ekologi sama dengan halnya tujuan konservasi (United Nations Environment Program, (1987) diacu oleh Kurnianto, (2008) adalah sebagai berikut:
1. Menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis yang tetap mendukung sistem kehidupan.
2. Melindungi keanekaragaman hayati.
3. Menjamin kelestarian dan pemanfaatan spesies dan ekosistemnya.
Dengan merujuk pada definisi di atas, dapat dilihat bahwa ekowisata
menawarkan kegiatan berwisata yang menonjolkan keseimbangan antara menikmati keindahan alam dan upaya konservasi. Karenanya ekowisata menjadi
pilihan yang paling awal untuk dapat dijadikan pilar utama dalam pengelolaan lingkungan dan pengembangan pariwisata di Indonesia.
Pengembangan Ekowisata
Pada prinsipnya, pariwisata berkelanjutan adalah pariwisata yang
pengelolaannya haruslah dapat memberikan keuntungan secara ekonomi bagi seluruh pihak terkait baik itu pemerintah, sektor swasta, serta masyarakat
setempat (Mahdayani dan Rafiani, 2009).
Pengembangan ekowisata pesisir dan laut harus mempertimbangkan dua aspek, yaitu aspek tujuan wisata dan aspek pasar. Pengembangan ekowisata
menganut konsep produk atau pasar dan pengembangan produk wisata yang menjamin kelestarian sumberdaya alam dan budaya masyarakat pesisir dan laut.
Pengembangan ekowisata pesisir dan laut lebih dekat kepada aspek pelestarian, karena didalamnya sudah terkandung aspek keberlanjutan. Pelestarian sumberdaya alam dan budaya masyarakat akan menjamin terwujudnya
keberlanjutan pembangunan. Dalam pelaksanaanya, ekowisata pesisir dan laut hampir tidak dilakukan eksploitasi sumberdaya alam, tetapi hanya menggunakan
jasa alam dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan, fisik, dan psikologis wisatawan (Tuwo, 2011)
Pengembangan ekowista bahari yang hanya terfokus pada pengembangan
wilayah pantai dan lautan sudah mulai tergeser, karena banyak hal lain yang bisa dikembangkan dari wisata bahari selain pantai dan laut. Salah satunya adalah
konsep ekowisata bahari yang berbasis pada pemandangan dan keunikan alam, karakteristik ekosistem, kekhasan seni budaya dan karakteristik masyarakat sebagai kekuatan dasar yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Selanjutnya
kegiatan ekowisata lain yang juga dapat dikembangkan, antara lain: berperahu, berenang, snorkling, menyelam, memancing, kegiatan olahraga pantai dan piknik
Menurut Springuel (2000) diacu oleh Wahyudi (2008) perencanaan ekowisata yang baik harus meliputi 4 (empat) hal, yaitu:
a. Kerja sama antara pemerintah dengan lembaga non profit untuk melaksanakan pendidikan bagi masyarakat, pengawasan terhadap lingkungan yang sehat dari pengunjung serta penerapan dari perencanaan perlindungan habitat.
b. Identifikasi daya dukung sosial dan daya dukung ekologi.
c. Penetapan duta lingkungan yang bertujuan untuk mempromosikan sesuatu yang
berhubungan dengan menjaga lingkungan seperti: “pergi tanpa sampah”. d. Inovasi dari pengusaha setempat agar pasar ekowisata semakin bertambah.
Kelayakan Pengembangan Ekowisata Mangrove
Metode pengumpulan data dan informasi yang sering digunakan untuk
keperluan analisis kondisi ekosistem mangrove adalah teknik survei.Survei kondisi ekosistem mangrove bertujuan untuk mendapatkan data dasar tentang kondisi sumberdaya mangrove, khususnya komponen tumbuhan atau flora dan
satwa atau fauna mangrove. Teknik survei flora yang sering digunakan adalah analisis tumbuhan, sedangkan survei fauna adalah inventarisasi satwa, khususnya
satwa berupa burung, primate, herbivore besar (Tuwo, 2011).
Kelayakan pengembangan ekowisata mangrove ditentukan berdasarkan analisis ekologi, sosial-ekonomi, dan faktor penunjang. Menurut Tuwo (2011)
Kriteria ekologi mencakup keanekaragaman (kerapatan jenis, keragaman spesies, dan keberadaan fauna), keunikan, biota berbahaya, keaslian, karakteristik kawasan
dan tenaga kerja. Sedangkan kriteria faktor penunjang mencakup aksesbilitas dan air bersih.
Partisipasi Masyarakat Lokal
Ekowisata berbasis masyarakat merupakan usaha ekowisata yang
menitikberatkan peran aktif komunitas. Hal tersebut didasarkan kepada kenyataan bahwa masyarakat memiliki pengetahuan tentang alam serta budaya yang menjadi
potensi dan nilai jual sebagai daya tarik wisata, sehingga pelibatan masyarakat menjadi mutlak. Pola ekowisata berbasis masyarakat mengakui hak masyarakat lokal dalam mengelola kegiatan wisata di kawasan yang mereka miliki secara adat
ataupun sebagai pengelola. Ekowisata berbasis masyarakat dapat menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat setempat, dan mengurangi kemiskinan, di mana
penghasilan ekowisata adalah dari jasa-jasa wisata untuk turis: fee pemandu; ongkos transportasi; homestay; menjual kerajinan, dan lain-lain. Ekowisata membawa dampak positif terhadap pelestarian lingkungan dan budaya asli
setempat yang pada akhirnya diharapkan akan mampu menumbuhkan jati diri dan rasa bangga antar penduduk setempat yang tumbuh akibat peningkatan kegiatan
ekowisata (Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata, 2009).
Untuk meningkatkan pengelolaan ekosistem mangrove, partisipasi masyarakat lokal sangat diperlukan dalam menyusun proses perencanaan dan
pengelolaan ekosistem ini secara berkelanjutan. Kekuatan pengelolaan hutan mangrove salah satunya adalah adanya kelembagaan yang kuat. Kelembagaan
perekonomian wilayah pesisir seperti perikanan dapat dikembangkan sebagai media pengembangan perekonomian masyarakat.
Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Secara astronomis Kota Langsa terletak pada 04°24’35,68’’-04°33’47,03’’
Lintang Utara dan 97°53’14,59’’- 98°04’42,16’’ Bujur Timur. Luas wilayah Kota Langsa yaitu 262,41 Km2. Secara administrasi, Kota Langsa dibagi menjadi 5
wilayah kecamatan. Kota Langsa mempunyai batas wilayah sebagai berikut: Sebelah Timur : Kabupaten Aceh Tamiang,
Sebelah Selatan : Kabupaten Aceh Timur dan Kabupaten Aceh Tamiang,
Sebelah Barat : Kabupaten Aceh Timur,
Sebelah Utara : Kabupaten Aceh Timur dan Selat Malaka,
Berdasarkan pembagian administratif pemerintahan, kawasan Kuala Langsa berada di Kecamatan Langsa Barat, Kotamadya Langsa, Provinsi Aceh. Kecamatan Langsa Barat terdiri dari 13 Desa, yaitu Kuala Langsa, Lhok Banie,
Payabujok Beuramo, Payabujok Teungoh, Simpang Lhee, Seuriget, Matang Seulimeng, Sungai Pauh, Telaga Tujuh, Serambi Indah, Sungai Pauh Pusaka,
Sungai Pauh Firdaus, dan Sungai Pauh Tanjong. Luas total Kecamatan Langsa Barat yaitu 5.038 Ha.
Jumlah penduduk Kecamatan Langsa Barat pada tahun 2012 mencapai
31.877 jiwa, dengan kepadatan penduduk sekitar 531 jiwa per km2. Kepadatan penduduk yang paling besar berada di Desa Matang Seulimeng.
2.017 orang dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 483 KK. Berdasarkan jenis kelamin, penduduk di Desa Kuala Langsa mayoritas berjenis kelamin laki-laki