• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Judul PERLINDUNGAN HUKUM HAK CIPTA AT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "A. Judul PERLINDUNGAN HUKUM HAK CIPTA AT"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

A. Judul

PERLINDUNGAN HUKUM HAK CIPTA ATAS TARI TRADISIONAL B. Pendahuluan

Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sebenarnya bukanlah suatu hal yang baru di

Indonesia. Istilah hak kekayaan intelektual dalam literatur hukum Anglo Saxon

dikenal dengan istilah Intellectual Property Right (IPR) yang apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia memiliki dua macam istilah hukum. IPR dapat berarti Hak

Milik Intelektual dan dapat pula berarti Hak kekayaan Intelektual.1

Perbedaan kedua istilah tersebut hanya terletak pada terjemahannya saja, bukan

pada artinya, sehingga siapapun diberikan kebebasan dalam menggunakan kedua

istilah tersebut. Di Indonesia, pembentuk undang-undang lebih memilih

menggunakan istilah Hak Kekayaan Intelektual sebagai istilah resmi dalam

perundang-undangan Indonesia, sehingga masyarakat Indonesia pada umumnya lebih

mengenal istilah hak kekayaan intelektual dibandingkan dengan hak milik intelektual.

Pada masa sekarang ini, pentingnya peranan hak kekayaan intelektual dalam

mendukung perkembangan teknologi kiranya telah semakin disadari. Hal ini

tercermin dari tingginya jumlah permohonan hak cipta, paten, dan merek, serta cukup

banyaknya permohonan desain industri yang diajukan kepada Direktorat Jenderal

Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Hal ini

pula yang sangat disadari oleh pemerintah bahwa implementasi sistem hak kekayaan

(2)

intelektual merupakan suatu tugas besar. Terlebih lagi dengan keikutsertaan Indonesia

sebagai anggota WTO dengan konsekuensi melaksanakan ketentuan Agreement on

Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (Persetujuan TRIPS), sesuai

dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Berdasarkan pengalaman selama ini, peran serta berbagai

instansi dan lembaga, baik dari bidang pemerintahan maupun dari bidang swasta,

serta koordinasi yang baik di antara senua pihak merupakan hal yang mutlak

diperlukan guna mencapai hasil pelaksanaan sistem hak kekayaan intelektual yang

efektif. Pelaksanaan sistem hak kekayaan intelektual yang baik bukan saja

memerlukan peraturan perundang-undangan di bidang hak kekayaan intelektual yang

tepat, tetapi perlu pula didukung oleh administrasi, penegakan hukum serta program

sosialisasi yang optimal tentang hak kekayaan intelektual.

Pada saat ini Indonesia telah memiliki perangkat peraturan

perundang-undangan di bidang hak kekayaan intelektual yang cukup memadai dan tidak

bertentangan dengan ketentuan sebagaimana yang dipersyaratkan dalam Persetujuan

TRIPS, yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (UU No. 19

Tahun 2002). UU No. 19 Tahun 2002 bukanlah produk undang-undang pertama di

Indonesia tentang Hak Cipta.

Sejalan dengan perubahan berbagai undang-undang tersebut di atas, Indonesia

juga telah meratifikasi 5 konvensi internasional di bidang hak kekayaan intelektual,

(3)

1. Paris Convention for the Protection of Industrial Property dan Convention Establishing the World Intellectual Property Organization (Keputusan Presiden No. 15 tahun 1997 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden No.

24 Tahun 1979);

2. Patent Cooperation Treaty (PCT) and Regulation under the PCT

(Keputusan Presiden No. 16 Tahun 1997);

3. Trademark Law Treaty (Keputusan Preiden No. 17 Tahun 1997); 4. Berne Convention for the Protection of Literary and Artisctic Works

(Keputusan Presiden No. 18 Tahun 1997);

5. WIPO Copyright Treaty (Keputusan Presiden No. 19 Tahun 1997);

Secara institusional, pada saat ini telah ada Direktorat Jendral Hak Kekayaan

Intelektual yang tugas dan fungsi utamanya adalah menyelenggarakan administrasi

hak cipta paten, merek, desain industri, dan desain tata letak sirkuit terpadu.

Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (semula disebut Direktorat Jenderal

Hak Cipta, Paten dan Merek) dibentuk pada tahun 1998. Direktorat Jendral Hak

Kekayaan Intelektual yang baik sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat, baik

yang berasal dari dunia industri dan perdagangan, maupun dari institusi yang

bergerak di bidang penelitian dan pengembangan.2

Hak Kekayaan Intelektual merupakan hak yang diberikan kepada pencipta atas

hasil dari buah pikiran mereka. Hak eksklusif tersebut diberikan atas penggunaan dari

(4)

hasil buah pikiran si pencipta dalam kurun waktu tertentu. Hak Kekayaan Intelektual

(selanjutnya disebut HKI) adalah hak yang berasal dari hasil kegiatan kreatif suatu

kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam

berbagai macam bentuk, yang memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang

kehidupan manusia, dan juga mempunyai nilai ekonomis.

Hukum HKI dapat melindungi karya sastra dan karya artistik serta invensi dari

penggunaan atau peniruan yang dilakukan oleh pihak lain tanpa izin.3 Sebagaimana

diketahui bahwa menciptakan karya cipta bukan sesuatu yang mudah dilakukan

seseorang. Oleh karena itu, orang lain diwajibkan menghormatinya, keberadaan

pencipta diperlukan sebuah pengakuan baik oleh masyarakat maupun hukum.4

Adapun latar belakangnya menyangkut bidang ekonomi, karena suatu ciptaan yang

diperbanyak tanpa izin penciptanya kemudian dijual kepada masyarakat, maka akan

menguntungkan orang lain yang memperbanyak ciptaan tersebut.5 Karena pada

dasarnya HKI berhubungan dengan perlindungan penerapan ide dan informasi yang

memiliki nilai komersial. Pencipta mempunyai hak untuk mengontrol masyarakat

dalam mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, sedangkan negara

kepentingannya dapat menjaga kelancaran dan keamanan masyarakat di bidang

ciptaan.6

Bagi masyarakat Indonesia, kekayaan intelektual adalah warisan bersama yang

harus dilestarikan dan dikembangkan agar bermanfaat bagi generasi selanjutnya.

Khususnya masyarakat Indonesia yang komunal dan selalu mengusung nilai-nilai

3 Tim Lindsey dkk. 2002. Hak Kekayaan Intelektual. Bandung : PT. ALUMNI. Hlm. 2 4 Gatot Supramono. 2010. Hak Cipta dan Aspek-aspek Hukum. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Hlm.2 5 Ibid. Hlm. 3

(5)

kebersamaan serta tidak berorientasi kepada nilai materialisme, semata-mata

melainkan juga spiritualisme yang mewujud pada gagasan hidup bersama yang

damai. Hak seorang individu harus diletakkan dalam kerangka berpikir bahwa

individu adalah bagian tidak terpisahkan dari masyarakatnya7.

Pelaksanaan sistem hak kekayaan intelektual yang baik bukan saja memerlukan

peraturan perundang-undangan di bidang hak kekayaan intelektual yang tepat, tetapi

perlu pula didukung oleh administrasi, penegakan hukum serta program sosialisasi

yang optimal tentang hak kekayaan intelektual.

Justifikasi yang paling mendasar untuk HKI adalah bahwa seseorang yang telah

mengeluarkan usaha kedalam penciptaan memiliki sebuah hak alami untuk memiliki

dan mengontrol apa yang telah mereka ciptakan.

Selain karya sastra dan karya artistik, kebudayaan juga termasuk didalamnya,

baik kebudayaan lisan maupun tulisan. Banyak hal yang dapat dilindungi oleh HKI,

termasuk novel, karya seni, fotografi, lembaran musik, rekaman suara film, piranti

lunak, dan piranti keras komputer, situs internet, makhluk hidup hasil rekayasa

genetika, obat-obatan baru, rahasia dagang, penegetahuan teknik, karakter serta

merek.8

Indonesia adalah salah satu negara dengan kekayaan budaya yang cukup

banyak. Kekayaan dan keberagaman budaya Indonesia baik kebudayaan lisan

maupun tulisan. Keragaman budaya di Indonesia adalah sesuatu yang tidak dapat

dipungkiri keberadaannya. Berdasarkan konteks pemahaman masyarakat yang

majemuk, selain kebudayaan kelompok suku bangsa, masyarakat Indonesia juga

7Agus Sardjono, Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional, PT Alumni, Bandung, 2010, hal 16.

(6)

terdiri dari berbagai kebudayaan daerah bersifat kewilayahan yang merupakan

pertemuan dari berbagai kebudayaan kelompok suku bangsa yang ada didaerah

tersebut. Penduduk yang berjumlah ratusan juta orang yang tersebar dipulau- pulau

di Indonesia, dan juga mendiami dalam wilayah dengan kondisi geografis yang

bervariasi, mulai dari pegunungan, tepian hutan, pesisir, dataran rendah, pedesaan,

hingga perkotaan. Hal ini juga berkaitan dengan tingkat peradaban

kelompok-kelompok suku bangsa dan masyarakat di Indonesia yang berbeda. Keberagaman

tersebutlah yang kemudian menjadi alasan negara memberikan perlindungan.

Keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia tersebut muncul dari berbagai

macam kreasi intelektual yang berada dalam ruang lingkup seni, sastra dan ilmu

pengetahuan. Salah satu bentuk kebudayaan yang ada di Indonesia adalah seni

pertunjukan. Beberapa hasil kreasi intelektual ada yang secara umum dapat disebut

dengan pengetahuan tradisional (traditional knoweledge) pengetahuan tradisional ini diartikan sebagai pengetahuan yang dimiliki oleh suatu masyarakat secara turun

temurun, yang meliputi pengetahuan mereka tentang pengelolaan kekayaan hayati –

semisal untuk makanan dan obat-obatan ; lagu, cerita, legenda, serta kesenian dan

kebudayaan masyarakat lainnya. Disamping itu ada satu hal yang membedakan antara

pengetahuan tradisional dengan hasil karya intelektual yang lain bahwa satu

pengetahuan tradisional merupakan suatu bentuk karya intelektual yang tumbuh dan

(7)

pelestariannya dilakukan secara turun termurun dari satu generasi ke generasi

berikutnya. 9

Pengetahuan tradisional terdapat istilah lain yang disebut sebagai tradisi budaya

(folklor). Penyebutan terhadap folklor ini lebih dimaksudkan untuk penyempitan

ruang lingkup suatu pengetahuan tradisional ke dalam ruang lingkup seni, sastra dan

ilmu pengetahuan. Keberagaman folklor di Indonesia perlindungannya masih belum

bisa di aplikasikan secara maksimal, atau dengan kata lain belum ada pengaturan

yang cukup mengcover terhadap permasalahan permasalahan yang ada, khususnya

yang mengatur mengenai masalah folklor secara komperehenshif. Penerapan

perlindungan terhadap folklor tentu berangkat dari sebuah pemikiran bahwa hal

tersebut merupakan salah satu aset yang sangat berharga bagi suatu masyarakat adat,

bahkan sampai pada tingkat negara sekalipun. Oleh karena itu memang pendekatan

yang digunakan sebagai upaya untuk mengembangkan sekaligus mempertahankan

dan upaya pelestarian keberadaan folklor tersebut pada dasarnya dapat diberlakukan

dari beberapa aspek. Salah satu upaya yang digunakan dalam hal ini tentu yang paling

utama adalah pendekatan hukum yang didasarkan pada aspek kekayaan intelektual,

mengingat hal ini sudah menjadi satu konsensus.10

Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual atas pengetahuan tradisional yang

memuat folklor menjadi penting dilakukan karena di dasarkan pada tiga

pertimbangan , yaitu : (1) Nilai ekonomi, (2) pengembangan karakter bangsa yang

terdapat dalam pengetahuan tradisional (traditional knowledge) dan folklor, serta (3)

9 Arif Lutviansori. 2010 . Hak Cipta Dan Perlindungan Folklor Di Indonesia. Yogyakarta : Graha Ilmu. Hlm. 2

(8)

pemberlakuan sistem Hak Kekayaan Intelektual yang tidak dapat dihindari lagi.

Terkait dengan perlindungan folklor HKI, maka sistem HKI yang digunakan di

Indonesia sebagai instrumen perlindungan terhadap folklor adalah sistem Hak Cipta.

Hal ini sesuai dengan masuknya folklor dalam Undang Undang No 19 tahun 2002

tentang Hak Cipta.

Selain itu dasar hukum mengenai HKI di Indonesia diatur dengan

undang-undang Hak Cipta no.19 tahun 2002, undang-undang-undang-undang Hak Cipta ini melindungi antara

lain atas hak cipta program atau piranti lunak komputer, buku pedoman penggunaan

program atau piranti lunak komputer dan buku-buku (sejenis) lainnya. Negara

memberikan perlindungan terhadap folklor dalam pasal 10 UUHC tahun 2002.

Terkait dengan perlindungan folklor dari perspektif HKI, maka sistem HKI

yang digunakan di Indonesia sebagai instrumen perlindungan terhadap folklor ini

adalah Hak Cipta. Hal ini sesuai dengan dimasukkannya folklor dalam

Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Permasalahannya adalah

pemahaman Hak Cipta yang dikenal selama ini secara sederhana memang digunakan

dalam upaya perlindungan hukum terhadap karya intelektual yang bersifat

individualis. Hal inilah yang masih sulit diimplementasikan dalam upaya

perlindungan terhadap folklor. Ada beberapa karakteristik folklor yang tidak secara

lengkap dimiliki dalam rumusan Hak cipta, misalnya folklor merupakan ciptaan yang

tidak mempunyai batas waktu dan selalu turun temurun tanpa melalui mekanisme

hibah dan lain sebagainya.11 Terlebih terhadap folklor sebagian lisan, yang mana tidak

secara jelas tertulis dan diketahui darimana dan siapa yang menciptakannya, karena

(9)

hanya dengan turun temurun disebarkan dan dilestarikan, yang kemudian menjadi

kebudayaan. Salah satu aspek kajian budaya adalah yang pendekatannya dari arah

sejarah. Suatu kajian sejarah kesenian dapat pula mengambil satu diantara dua macam

corak, yaitu yang memusatkan perhatian pada perkembangan gaya seni secara

kronologis dengan analisis rinci atas segi-segi teknik, atau mengkaji perkembangan

seni dengan perhatian yang lebih rinci atas harapan-harapan dan

kewenangan-kewenangan dari masyarakat.12

Mempertimbangkan lingkup keseluruhan mulai dari bentuk seni prasejarah

yang direka secara hipotesis sampai perkembangan terkini, seni pertunjukan

Indonesia dapat dibuat tipologi berdasar tolok ukur berbeda. Pertama, didasarkan

pada jumlah unsur keindahan yang disajikan ; kedua, berdasarkan fungsi sosial ; dan

ketiga, apakah seni tersebut merupakan suatu dramatisasi atau bukan.13

Undang - Undang Dasar Indonesia memberi definisi kebudayaan nasional

sebagai hal yang timbul dari akal budi dan daya upaya seluruh rakyat Indonesia ; di

dalamnya mungkin terkandung keluhuran berbagai budaya daerah Indonesia, serta

pengaruh budaya asing sejauh dapat meningkatkan persatuan dan keramahan bangsa

Indonesia. Beberapa unsur dalam kehidupan nyata dapat dikenali sebagai hal yang

berkaitan dengan pembentukan budaya nasional.

Indonesia memiliki banyak tari yang tidak menampilkan tema cerita yang

dipentaskan hanya sebagai kenikmatan gerak semata. Sebagian dikenal sejak berabad

12 Edi Sedyawati. 2012. Budaya Indonesia : Kajian Arkeologi, Seni dan Sejarah. Jakarta : Rajawali Pers. Hlm. 133

(10)

– abad di antara rakyat kebanyakan ; yang lain berkembang di istana. Selebihnya

diciptakan sejak kemerdekaan, berdasar gerak tari. 14

Penelitian ini mengangkat satu objek tarian tradisional, yaitu Tari Bedhaya. Di

lingkungan istana, Tari Bedhaya dipahami sebagai jenis tari puteri Jawa yang

merefleksikan tingkat keteraturan, keselarasan, kehalusan budi, dan pengendalian diri

yang tinggi. istilah Bedhaya tidak semata-mata dipakai untuk menunjukkan

perbedaan bentuk, struktur, atau gaya suatu tari dengan tari yang lain, melainkan juga

dipakai untuk memberikan suatu komitmen terhadap kualitas estetik dan tingkat

kedalaman muatan filosofisnya. Masing-masing memiliki perbedaan tergantung pada

latar belakang budaya, tradisi, dan cara berfikir masyarakatnya tentang seni.15

Karya seni tradisional dilindungi dan dipegang oleh negara. Namun belum

adanya peraturan pemerintah yang khusus mengatur tentang seni tradisional tersebut

menyebabkan tidak jelasnya perlindungan hukum yang akan diberikan oleh negara

dan bagaimana mekanisme negara sebagai pemegang hak cipta atas karya seni

tradisional.

Persoalan inilah yang kemudian menarik untuk diteliti bagi perkembangan ilmu

hukum. Bagaimana kemudian negara memberikan perhatian dan perlindungan

terhadap objek kajian tersebut. Sehingga berangkat dari latar belakang permasalahan

tersebut, peneliti ingin melakukan penelitian yang menitikberatkan pada aspek

14 Ibid. Hlm. 75

(11)

normatif hukum dengan judul “PERLINDUNGAN HUKUM HAK CIPTA ATAS

TARI TRADISIONAL”.

C. Rumusan Masalah

Bagaimanakah Perlindungan Hukum Hak Cipta Atas Tari Tradisional?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukanya penelitian ini adalah untuk mengetahu Perlindungan

Hukum Hak Cipta Atas Tari Tradisional di indonesia.

E. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoritis

a. Dilakukannya penelitian ini diharapkan dapat mengetahui Perlindungan

Hukum Hak Cipta Atas Tari Tradisional.

b. Dilakukannya penelitian ini diharapkan akan menambah literatur ilmiah,

diskusi hukum seputar perkembangan hukum di Indonesia. 2. Kegunaan praktis

Dilakukannya penelitian ini diharapkan akan memberikan referensi atau

pengetahuan bagi pemerintah, akademisi, praktisi, dan masyarakat

mengenai Perlindungan Hukum Hak Cipta Atas Tari Tradisional yang

dilakukan oleh negara.

(12)

Secara substantif, pengertian HKI dapat dideskripsikan sebagai hak kekayaan

yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia. HKI dikategorikan

sebagai hak kekayaan mengingat HKI pada akhirnya menghasilkan karya-karya

intelektual berupa; pengetahuan, seni sastra, teknologi, di mana dalam

mewujudkannya membutuhkan pengorbanan tenaga, waktu, biaya dan pikiran.

Adanya pengorbanan tersebut menjadi memiliki nilai, apabila ditambah dengan

manfaat ekonomi yang dapat dinikmati, maka nilai ekonomi yang melekat

menumbuhkan konsepsi kekayaan (property) terhadap karya-karya intelektual tadi. 16 HKI adalah hak yang berasal dari hasil kegiatan kreatif suatu kemampuan daya

pikir manusia yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai macam

bentuk, yang memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang kehidupan manusia,

dan juga mempunyai nilai ekonomis. Sebagaimana diketahui bahwa menciptakan

karya cipta bukan sesuatu yang mudah dilakukan seseorang. Oleh karena itu, orang

lain diwajibkan menghormatinya, keberadaan pencipta diperlukan sebuah pengakuan

baik oleh masyarakat maupun hukum.17 Adapun latar belakangnya menyangkut

bidang ekonomi, karena suatu ciptaan yang diperbanyak tanpa izin penciptanya

kemudian dijual kepada masyarakat, maka akan menguntungkan orang lain yang

memperbanyak ciptaan tersebut.18

Landasan teori mengenai konsep dan sistem HKI baru dimulai pada abad ke 18

menganut dari John Locke (1632-1704) lahir pemikiran mengenai perlindungan HKI

yaitu mengenai teori hukum alam. Menurut John Locke, setiap orang secara alamiah

16 Budi Agus Riswandi dan M. Syamsudin, 2005. Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Hlm. 31

(13)

memiliki hak atas dirinya sendiri dan oleh karena itu hasil pekerjaannya karena telah

melakukan pengorbanan dalam bentuk menemukan, mengolah dan menambahkan

“kepribadian” ke dalam sesuatu. Oleh karena itu, Locke menekankan pentingnya

pemberian penghargaan kepada orang yang telah melakukan “pengorbanan” untuk

menemukan dan mengolah sesuatu yang berasal dari alam dalam bentuk hak milik19.

Artinya, bahwa pemberian pengakuan kekayaan intelektual seseorang itu penting jika

bagi pencipta memiliki hak moral untuk menikmati hasil kerjanya termasuk

keuntungan yang dihasilkan oleh keintelektualannya.

Pelaksanaan sistem hak kekayaan intelektual yang baik bukan saja memerlukan

peraturan perundang-undangan di bidang hak kekayaan intelektual yang tepat, tetapi

perlu pula didukung oleh administrasi, penegakan hukum serta program sosialisasi

yang optimal tentang hak kekayaan intelektual.

Hak Cipta adalah hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk

mengatur penggunaan hasil penuangan gagasan atau informasi tertentu. Pada

dasarnya, hak cipta merupakan “hak untuk menyalin suatu ciptaan”. Hak cipta dapat

juga memungkinkan pemegang hak tersebut untuk membatasi penggandaan tidak sah

atas suatu ciptaan. Hak cipta memiliki masa berlaku yang terbatas. Hak cipta berlaku

pada berbagai jenis karya seni atau karya cipta atau “ciptaan”. Ciptaan tersebut dapat

berupa puisi, drama, karya tulis, film, musik, rekaman suara, tarian, lukisan, siaran

radio, dll.

(14)

Indonesia baru memiliki undang-undang Hak Cipta Nasional pada Tahun 1982

menggantikan Auteurswet 1912.20 Lima tahun kemudian undang-undang hak cipta ini diubah menjadi Undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta. Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1987 kemudian diubah dan disempurnakan dalam perubahan kedua yakni dengan

dibentuknya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987, karena perlu disesuaikan dengan

beberapa ketentuan dalam TRIPs Agreement. Demi menyempurnakan undang-undang hak cipta, maka setelah Indonesia meratifikasi beberapa ketentuan internasional yang

berkaitan dengan Intellectual Property Rights melalui beberapa Keppres, yaitu;

- Keputusan Presiden No. 15 tahun 1997 tentang Perubahan atas

Keputusan Presiden No. 24 Tahun 1979;

- Keputusan Presiden No. 16 Tahun 1997;

- Keputusan Presiden No. 17 Tahun 1997;

- Keputusan Presiden No. 18 Tahun 1997;

- Keputusan Presiden No. 19 Tahun 1997.

Kemudian dibentuklah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak

Cipta. Dalam undang-undang tersebut, pengertian hak cipta adalah “hak eksklusif

bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak

(15)

ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi

pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku” (pasal 1 butir 1).

Undang-undang hak cipta ini tak lantas mengentaskan segala problematik yang ada

terkait masalah hak cipta. Diperlukan sosialisasi mengenai hak cipta kepada

masyarakat dan perlunya juga edukasi mengenai undang-undang Hak Cipta kepada

para aparatur penegak hukum guna meningkatkan pemahamannya terhadap hak cipta

itu sendiri, sehingga permasalahan dari segi oprasional dan instrumental dapat

dibenahi dengan baik.

Prinsip utama dalam HKI adalah bahwa hasil kreasi dari pekerjaan dengan

memakai kemampuan intelektualnya tersebut, maka pribadi yang menghasilkannya

mendapatkan kepemilikan berupa hak alamiah (natural). Pada tingkatan paling tinggi dari hubungan kepemilikan, hukum bertindak lebih jauh dan menjamin bagi setiap

manusia penguasaan dan penikmatan eksklusif atas benda atau ciptaannya tersebut

dengan bantuan negara. Jaminan terpeliharanya kepentingan perorangan dan

kepentingan masyarakat tercermin dalam sistem HKI. 21

Hak cipta telah diterapkan ke dalam buku-buku, tetapi sekarang hak cipta telah

meluas dan mencakup perlindungan atas karya sastra, drama, karya musik dan

artistik, termasuk rekaman suara, penyiaran suara film dan televisi dan program

komputer. Bagi negara-negara berkembang, fakta bahwa negara-negara maju

mengontrol hak cipta atas sebagian besar piranti lunak, produk-produk video dan

musik yang terkenal dengan apa yang dinamakan sebagai budaya global, tidak dapat

(16)

dihindarkan lagi telah mengakibatkan permasalahan di bidang pembajakan. Pembuat

undang-undang dan para hakim menemui kesulitan dalam mengikuti langkah

kemajuan teknologi yang mengakibatkan pengkopian menjadi lebih mudah dan lebih

cepat.22

2. Folklor

Kata folklor adalah pengindonesiaan kata Inggris folklore, kata yang majemuk yang berasal dari dua kata Folk adalah sinonim dengan kolektif, yang juga memiliki ciri-ciri pengenal fisik atau kebudayaan yang sama, serta mempunyai kesadaran

kepribadian sebagai kesatuan masyarakat. Lore adalah tradisi, yaitu sebagian kebudayaannya, yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan atau melalui

suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat

(mnemonic device). Definisi folklor secara keseluruhan : folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, diantara

kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam

bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu

pengingat (mnemonic device). 23

Folklor dilihat sebagai suatu ciptaan yang tidak diketahui penciptanya, karena

munculnya dalam masyarakat komunal yang secara riwayatnya tidak dapat diketahui

penciptanya secara jelas. Dari pengertian folk yang berbunyi : “sekelompok orang,

yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik maupun kebudayaan, sehingga dapat dibedakan

dari kelompok-kelompok lainnya,” maka obyek penelitian folklor di Indonesia

menjadi luas sekali.

22 Ibid. Tim Lindsey. Hlm. 6-7

(17)

Obyek penelitian folklor Indonesia adalah semua folklor yang ada di Indonesia,

baik yang di pusat maupun yang di daerah, baik yang di kota maupun yang di desa, di

kraton maupun di kampung, baik pribumi maupun keturunan asing (peranakan); baik

warga negara maupun asing, asalkan mereka sadar akan identitas kelompoknya, dan

mengembangkan kebudayaan mereka di bumi Indonesia.24

Suatu folklor tidak berhenti menjadi folklor apabila ia telah diterbitkan dalam

bentuk cetakan atau rekaman. Suatu folklor akan tetap memiliki identitas folklornya

selama kita mengetahui bahwa ia berasal dari peredaran lisan. Ketentuan ini berlaku

apabila suatu bentuk folklor, cerita rakyat misalnya, yang telah diterbitkan itu hanya

sekedar berupa transkripsi cerita rakyat yang diambil dari peredaran lisan. 25

Folklor telah diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002

pasal 10 ayat (2) yang menyatakan bahwa negara memegang hak cipta atas folklor

dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama seperti cerita, hikayat,

dongeng, legenda, lagu, kerajinan tangan, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya.

Sementara itu, dalam penjelasan Pasal 10 UUHC diungkapkan bahwa yang dimaksud

dengan folklor adalah sekumpulan ciptaan tradisional, baik yang dibuat oleh

kelompok maupun perorangan dalam masyarakat yang menunjukkan identitas sosial

dan budayanya berdasarkan standar dan nilai-nilai yang diucapkan atau diikitui secara

turun – temurun termasuk cerita rakyat, puisi, lagu-lagu rakyat, tari-tarian, permainan

tradisional, hasil seni berupa lukisan, gambar, ukir-ukiran, pahatan, mosaik,

perhiasan, krajinan tangan, pakaian, instrumen musik dan tenun tradisional.26

(18)

Folklor dilihat sebagai suatu ciptaan yang tidak diketahui penciptanya, karena

munculnya dalam masyarakat komunal yang secara riwayatnya tidak dapat diketahui

penciptanya secara jelas. Rumusan Pasal 11 UUHC juga mengatakan bahwa untuk

suatu ciptaan yang tidak diketahui penciptanya, hak ciptanya dipegang oleh

Negara27.Di bawah Undang Undang Hak Cipta tersebut sedang dirancang suatu

Peraturan Pemerintah (PP) tentang "Hak Cipta atas Folklor yang dipegang oleh Negara". Dalam hal itu yang dimaksud dengan folklor adalah segala ungkapan

budaya yang dimiliki secara bersama oleh suatu komuniti atau masyarakat tradisional.

Termasuk ke dalamnya adalah karya-karya kerajinan tangan. Dalam RPP tersebut

dimasukkan pokok mengenai perlindungan terhadap pemanfaatan oleh orang asing, di

mana pihak pemanfaat harus lebih dahulu mendapat izin dari instansi Pemerintah

yang diberi kewenangan untuk itu, serta apabila perbanyakan dilakukan untuk tujuan

komersialharus ada "keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi" dari karya

folklor tersebut. Akan tetapi sampai sejauh ini, peraturan ini masih dalam tahap

penyusunan yang diharapkan masih ada masukan dari pandangan pelaku usaha, baik

pada sisi pencipta, pedagang, maupun konsumen kepada pihak Kementerian Hukum

dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.28

Penerapan perlindungan terhadap folklor tentu berangkat dari sebuah pemikiran

bahwa hal tersebut merupakan salah satu aset yang sangat berharga bagi suatu

masyarakat adat, bahkan sampai pada tingkat negara sekalipun. 29

27 Lihat rumusan secara jelas dalam Pasal 11 UUHC

28Edy Sedyawati, KeIndonesiaan Dalam Budaya, Buku 2 Dialog Budaya : Nasional dan Etnik Peranan Industri Budaya dan Media Massa Warisan Budaya dan Pelestarian Dinamis, (Jakarta : Wedatama Widya Sastra, 2008), hal 269.

(19)

3. Tari Tradisional

Seni pertunjukan adalah karya seni yang melibatkan aksi individu atau

kelompok di tempat dan waktu tertentu, yang melibatkan beberapa unsur, yaitu,

waktu, ruang, tubuh seniman dan hubungan seniman dengan penonton. Beberapa

pertunjukan merupakan bagian tak terpisahkan dari tatacara atau upacara keagamaan,

seperti seni tari atau tarian tradisional. Tarian Tradisional Indonesia mencerminkan

kekayaan dan keanekaragaman suku bangsa dan budaya Indonesia. Setiap suku

bangsa di Indonesia memiliki berbagai tarian khasnya sendiri. Beberapa tarian

dirancang untuk mempertegas kedudukan tinggi seorang tokoh masyarakat dan

beberapa nomor seni secara khusus “dimiliki” oleh istana atau oleh masyarakat kelas

atas, seperti, Tari Bedhaya dan Serimpi dari Keraton Jawa. Ada beberapa tari yang merupakan sarana keterjalinan kebersatuan sosial dan tidak mengenal perbedaan

antara penari dan penonton : para pemuda dan pemudi menari bersama dalam arena

seperti pada Joget melayu dan tari Pajogeq (Sulawesi Selatan). 30 Kekayaan ragam serta kebhinekaan dan keluasan Indonesia menampilkan beragam jenis

seni-pertunjukan yang begitu banyak.

Keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia tersebut muncul dari berbagai

macam kreasi intelektual yang berada dalam ruang lingkup seni, sastra dan ilmu

pengetahuan. Salah satu bentuk kebudayaan yang ada di Indonesia adalah seni

pertunjukan. Beberapa hasil kreasi intelektual ada yang secara umum dapat disebut

dengan pengetahuan tradisional (traditional knoweledge) pengetahuan tradisional ini

(20)

diartikan sebagai pengetahuan yang dimiliki oleh suatu masyarakat secara turun

temurun, yang meliputi pengetahuan mereka tentang pengelolaan kekayaan hayati –

semisal untuk makanan dan obat-obatan ; lagu, cerita, legenda, serta kesenian dan

kebudayaan masyarakat lainnya.

Kebijakan Indonesia di bidang budaya mengutamakan pembentukan budaya

nasional, sambil secara terus menerus menekankan kebutuhan pelestarian budaya,

baik yang kasat mata maupun yang tidak. Seni tari, misalnya, memberi sebuah

keadaan ideal : penciptaan berkembang subur di dalam tradisi ; tradisi lama

dihormati, tetapi penciptaan dalam tradisi selalu mendapat pengakuan. 31

Secara tradisional, hak cipta telah diterapkan ke dalam buku-buku, tetapi

sekarang hak cipta telah meluas dan mencakup perlindungan atas karya sastra, drama,

karya musik dan artistik, termasuk rekaman suara, penyiaran suara film dan televisi

dan program komputer.

Tari tradisional adalah suatu tarian yang menggabungkan semua gerakan yang

mengandung makna tertentu. Pada tari tradisional mengandalkan ketepatan musik,

keluwesan gerak, kekompakan gerakan, dan pengaturan komposisi. Pada gerak tari

tradisional, biasanya pada setiap tarian mempunyai gerakan yang sama dan gerak

tradisional tidak bisa diubah seperti tari modern. Walaupun tari tradisional

mempunyai gerak yang sama, tetapi pada tiap - tiap tarian berubah susunan

gerakannya dan memiliki makna.

4. Tari Bedhaya

Dalam perspektif budaya Jawa, istilah Bedhaya menyiratkan makna yang

sangat penting.Makna penting itu bukan saja bagi kalangan ningrat Jawa, melainkan

(21)

juga bagi masyarakat petani Jawa. Di lingkungan istana, Tari Bedhaya dipahami

sebagai jenis tari puteri Jawa yang merefleksikan tingkat keteraturan, keselarasan,

kehalusan budi, dan pengendalian diri yang tinggi. Sementara di kalangan petani

Jawa, istilah tersebut dipakai untuk memberikan identifikasi terhadap bentuk atau

jenis tari yang dikualifikasikan sebagai tari alus. Oleh karena itu, tari Gambyong,

Bondhan, atau Golek oleh para petani ada kalanya disebut dengan istilah bedhaya.

Satu hal yang menarik adalah, baik di dalam lingkungan istana maupun di kalangan

petani, istilah Bedhaya tidak semata-mata dipakai untuk menunjukkan perbedaan

bentuk, struktur, atau gaya suatu tari dengan tari yang lain, melainkan juga dipakai

untuk memberikan suatu komitmen terhadap kualitas estetik dan tingkat kedalaman

muatan filosofisnya. Sudah barang tentu ini tidak harus diartikan bahwa dasar-dasar

estetika tari istana sama dengan dasar-dasar estetika tari rakyat. Masing-masing

memiliki perbedaan tergantung pada latar belakang budaya, tradisi, dan cara berfikir

masyarakatnya tentang seni.

Menurut sejarahnya, tari Bedhaya dalam pelembagaannya merupakan tari

klasik yang sangat tua usianya dan merupakan kesenian asli Jawa. Tari Bedhaya yang

tertua adalah Bedhaya Semang yang diciptakan oleh Hamengku Buwono I pada tahun

1759, dengan cerita perkawinan Sultan Agung dari Mataram dengan Ratu Kidul yang

berkuasa di samudera Indonesia. Pelembagaan tari Bedhaya Semang ini dianggap

sakral karena perkawinan tersebut dianggap sebagai hubungan suci. Karena

kesakralannya itulah, maka Bedhaya Semang menjadi pusaka kraton yang sangat

(22)

pertama, ditunjukkan dengan penggunaan penari putri yang pada umumnya

berjumlah sembilan dan mempergunakan rias busaa yang serba kembar. Kedua,

Bedhaya sebagai salah satu jenis tari Jawa, telah dijadikan sumber referensi dalam

penyusunan gerak tari putri di keraton Yogyakarta. Ketiga, tari Bedhaya memiliki

muatan makna simbolik dan filosofis yang tinggi dan dalam, sehingga menjadi

contoh yang paling tepat bagi cara penerapan konsep alus-kasar dalam tari Jawa

(Pudjasworo 1993:2).32 Tari Bedhaya menjadi sebuah tradisi yang berkembang di

kalangan Istana. Hal itu berkaitan erat dengan fungsi tari Bedhaya merupakan

lambang kebesaran keraton dan menjadi kelengkapan upacara penobatan Raja.

. Metode Penelitian 1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normative, yaitu pendekatan dari segi-segi hukum dan kaidah-kaidah hukum yang ada serta berlaku dalam masyarakat, yang merupakan usaha untuk

menemukan apakah hukumnya sesuai untuk diterapkan secara in-concreto

guna menyelesaikan suatu kasus atau perkara tertentu dan dimana peraturan

itu didapat.33

32 http://gateofjava.wordpress.com/2013/09/25/tari-bedhaya-keraton-yogyakarta/ diakses tanggal 31 Agustus 2014

(23)

Sasaran penelitian ini adalah norma maka beberapa pendekatan

masalah yang digunakan oleh peneliti yaitu meliputi:

a. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach)

Menurut Peter Mahmud dalam buku Penelitian Hukum, secara a contrario menjelaskan bahwa dalam pendekatan ini, peraturan perundang-undangan dijadikan referensi dalam memecahkan isu hukum

yang akan dibahas dengan memperhatikan hierarki serta asas-asas dalam

peraturan perundang-undangan.34 Pada penelitian ini terdapat beberapa

peraturan perundang-undangan yang telah mengalami beberapa kali

perubahan, seperti UU No. 6 Tahun 1982 yang mana telah diubah dengan

UU No. 19 Tahun 2002 sebagai undang-undang baru dalam ranah hak

cipta, dan oleh karenanya peneliti tidak akan mengkaji dengan

undang-undang yang lama, yang mana peneliti merujuk pada salah satu asas

perundang-undangan yakni lex posterior derogate legi priori, yang artinya peraturan perundang-undangan yang terkemudian menyisihkan

peraturan perundang-undangan terdahulu.35

b. Pendekatan Analisis (Analytical Approach)

Johnny Ibrahim dalam bukunya Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif menjelaskan pendekatan analisis yaitu:

(24)

Maksud utama analisis terhadap bahan hukum adalah mengetahui makna

yang dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam peraturan

perundang-undangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui penerapannya dalam

praktik dan putusan-putusan hukum. Hal yang dilakukan melalui dua

pemeriksaan yaitu pertama sang peneliti berusaha memperoleh makna baru yang terkandung dalam aturan hukum yang bersangkutan dan kedua menguji istilah-istilah hukum tersebut dalam praktik melalui analisis terhadap

putusan-putusan hukum.36

Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan pada dasarnya tugas analisis

hukum adalah menganalisis pengertian hukum , asas hukum, kaidah hukum,

sistem hukum, dan berbagai konsep yuridis.37 Peneliti akan menggunakan

pendekatan ini dalam rangka menganalisis makna dari istilah HKI, Hak Cipta,

Pencipta dan segala hal yang yang terdapat dalam Undang-Undang No. 19

Tahun 2002 tentang Hak Cipta .

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah kritis-analitis serta

logis-sistematis38 melalui inventarisasi hukum serta mengidentifikasi dan

menganalisis obyek penelitian dengan pengertian-pengertian pokok dalam

36 Johnny Ibrahim, 2008. Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia Publishing : Malang, Hlm. 310.

37 Ibid , halaman 311.

(25)

hukum. Tujuan pokoknya adalah untuk mengadakan identifikasi terhadap

pengertian pokok/dasar dalam hukum yaitu masyarakat hukum, subyek

hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum, dan obyek

hukum.39

3. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data

sekunder yang meliputi bahan hukum primer yang hanya terdiri dari peraturan

perundang-undangan, serta bahan hukum sekunder yang terdiri atas

buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum, kasus-kasus hukum, dan hasil-hasil

simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian.

4. Metode Pengumpulan Data

Peneliti akan menggunakan data sekunder dan metode yang digunakan

untuk proses pengumpulan data ialah dengan studi kepustakaan.

5. Metode Penyajian Data

Metode penyajian bahan hukum dalam penyusunan penelitian ini akan

disajikan dalam bentuk uraian secara sistematis, logis dan rasional, artinya

keseluruhan bahan hukum yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan

yang lainnya disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti, sehingga

(26)

merupakan suatu kesatuan yang utuh didasarkan pada norma hukum atau

kaidah-kaidah hukum serta doktrin hukum yang relevan dengan pokok

permasalahan.

6. Metode Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara normatif kualitatif, yaitu

pembahasan dan penjabaran data hasil penelitian yang disusun secara logis

dan sistematis berdasarkan pada norma hukum, kaidah-kaidah dan doktrin

hukum yang ada relevansinya dengan pokok permasalahan.40

Daftar Pustaka

Literatur

Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada

Budi Agus Riswandi, M.Syamsudin, 2005, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Danandjaja James. 2002. Folklor Indonesia, Jakarta : Grafiti.

(27)

Djumhana Muhammad. dan R. Djubaedillah, 2003, Hak Milik Intelektual Sejarah. Teori dan Prakteknya di Indonesia, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti

Endraswara Suwardi, 2013, FOLKLOR NUSANTARA Hakikat, Bentuk, dan Fungsi, OMBAK, Yogyakarta.

Hanitidjio R.Soemitro, 1988, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Jakarta : Ghalia Indonesia.

Ibrahim Johnny, 2008. Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Malang : Banyumedia Publishing

Lindsey Tim, 2002, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Bandung: PT Alumni

Lutviansori Arif. 2010 . Hak Cipta Dan Perlindungan Folklor Di Indonesia. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Mahmud Peter Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana

Muhammad, Abdulkadir. 2007. Kajian Hukum Ekonomi, Hak Kekayaan Intelektual. Bandung : Citra Aditya Bakti.

Noeng Muhadjir, 1996, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta : Rake Sarasin Ronny Hanitijo Soemitro, 1989. Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta :

Ghalia Indonesia

Sardjono Agus, 2010, Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional, Bandung : PT Alumni

Sedyawati Edy, 2002, INDONESIAN HERITAGE Seni Pertunjukan , Buku Antar Bangsa, Jakarta.

Sugono Bambang, 2012. Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Raja Grafindo Persada Supramono Gatot. 2010. Hak Cipta dan Aspek-aspek Hukum. Jakarta : PT. Rineka

Cipta

(28)

Undang-Undang

Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002.

Internet

Direktorat Jenderal Industri Kecil Menengah Departemen Perindustrian. Kebijakan Pemerintah Dalam Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Dan Liberalisasi

Perdagangan Jasa Profesi Di Bidang Hukum,

http://www.kemenperin.go.id/download/140/Kebijakan-Pemerintah-dalam- Perlindungan-Hak-Kekayaan-Intelektual-dan-Liberalisasi-Perdagangan-Profesi-di-Bidang-Hukum /. Diakses tanggal 30 Agustus 2014

Hartono,Kristianto. Tari Bedhaya Keraton Yogyakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Dua jenis saku, masing-masing dibuat pada jas dengan posisi yang berbeda. 1) Saku vest di sebelah dada kiri.  Tandai garis jahitan menggunakan pola.  Jahit sesuai jalur yang

Tujuan evaluasi ini adalah untuk mengevaluasi kesesuaian pada tingkat Usaha Pengelolaan Hutan (“UPH”) terhadap persyaratan-persyaratan Forest Stewardship Council (“FSC”)

Untuk mengubah paradigma masyarakat dan memunculkan kesukaan masyarakat luas terhadap musik keroncong, Waljinah yang juga tak hanya memiliki kemampuan asah vokal di jalur musik

Data yang perlu di analisis yaitu data berdasarkan hasil belajar siswa dan tingkat pemahan siswa untuk memahami suatu pembelajaran atau ketuntasan belajar

Hal ini berarti pembelajaran pada siklus II telah memenuhi indikator keberhasilan dengan nilai rata-rata daya serap klasikal minimal 65% dan ketuntasan belajar

Sementara Robbins (2001) seperti dikutip oleh Ardana (2008:12) mendefinisikan kepribadian itu sebagai total dari cara-cara di mana seseorang/ individu bereaksi dan

Pasien dengan PCV mungkin menunjukkan gejala yang bervariasi sehingga dapat menyulitkan penegakkan diagnose PCV.Pasien dapat memilikivVA yang baik dan tidak

17 Data primer atau data utama diperoleh dari hasil wawancara dengan para informan dan informan yang pernah mendapatkan kasus seperti yang dimaksud.Informan dalam