• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK CIPTA DAN FOLKLOR. Pengertian hak cipta yang termuat dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK CIPTA DAN FOLKLOR. Pengertian hak cipta yang termuat dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

1

2.1 Hak Cipta

2.1.1 Pengertian dan Dasar Hukum Hak Cipta 2.1.1.1Pengertian Hak Cipta

Pengertian hak cipta yang termuat dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta menyatakan bahwa Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Untuk mendapatkan perlindungan melalui Hak Cipta, tidak ada keharusan untuk mendaftarkan. Pendaftaran hanya semata-mata untuk keperluan pembuktian belaka. Dengan demikian, begitu suatu ciptaan berwujud, maka secara otomatis Hak Cipta melekat pada ciptaan tersebut. Biasanya publikasi dilakukan dengan mencantumkan tanda Hak Cipta.

Perlindungan hukum terhadap pemegang Hak Cipta dimaksudkan sebagai upaya untuk mewujudkan iklim yang lebih baik bagi tumbuh dan berkembangnya semangat mencipta di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra.

Ada beberapa istilah yang sering digunakan dalam Hak Cipta, antara lain sebagai berikut.

- Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran,

(2)

imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.

- Ciptaan adalah hasil setiap karya Pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra.

- Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut.

- Pengumuman adalah pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran, atau penyebaran suatu Ciptaan dengan menggunakan alat apa pun, termasuk media internet, atau melakukan dengan cara apa pun sehingga suatu Ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain.

- Perbanyakan adalah penambahan jumlah sesuatu Ciptaan, baik secara keseluruhan maupun bagian yang sangat substansial dengan menggunakan bahan-bahan yang sama ataupun tidak sama, termasuk mengalihwujudkan secara permanen atau temporer.

- Lisensi adalah izin yang diberikan oleh Pemegang Hak Cipta atau Pemegang Hak Terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak Ciptaannya atau produk Hak Terkaitnya dengan persyaratan tertentu.

2.1.1.2Dasar Hukum Hak Cipta

Pada tahun 1987 Undang-Undang Hak Cipta (selanjutnya disebut UUHC) Indonesia direvisi dan skala perlindungannya diperluas. Salah satu alasannya adalah perlindungan atas para pencipta dianggap kurang memadai dibandingkan dengan yang diberikan oleh hukum hak cipta di luar negeri Indonesia.

(3)

Diantaranya perubahan mendasar yang terjadi didalamnya adalah masa berlaku perlindungan karya cipta diperpanjang menjadi selama hidup pencipta dan 50 tahun setelah meninggalnya pencipta. Pada tahun 1997 UUHC Indonesia direvisi lebih lanjut guna mengarahkan hukum Indonesia memenuhi kewajibannya pada TRIPs. Hak yang berkaitan dengan Hak Cipta secara khusus diakui dan dilindungi dalam bagian UU tersebut. Revisi tahu 1997 juga menambahkan konsep keaslian dalam definisi karya-karya kreatif pasal 1 ayat 2. Hal yang menarik disini adalah dipertahankannya sistem pendaftaran Hak Cipta secara sukarela.

Pada tahun 2002 UUHC telah diundangkan dengan mencabut dan menggantikan UUHC 1997 dengan UUHC Nomor 19 Tahun 2002 yang memuat perubahan-perubahan untuk disesuaikan dengan TRIPs dan penyempurnaan beberapa hal yang perlu untuk memberi perlindungan bagi karya-karya intelektual di bidang Hak Cipta, termasuk upaya untuk memajukan perkembangan karya intelektual yang berasal dari keanekaragaman seni dan budaya tradisional Indonesia.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dasar hukum UUHC diawali pada tahun 1982, Pemerintah Indonesia mencabut pengaturan tentang hak cipta berdasarkan Auteurswet 1912 Staatsblad Nomor 600 Tahun 1912 dan menetapkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, yang merupakan undang-undang hak cipta yang pertama di Indonesia. Undang-undang tersebut kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 dan terakhir diterbitkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

(4)

2.1.2 Lingkup Hak Cipta

a. Ciptaan yang dilindungi

Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta menetapkan secara rinci ciptaan yang dilindungi meliputi Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, terdiri atas : 1. buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil

karya tulis lainnya:

2. ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan sejenis lainnya;

3. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;

2. lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks;

3. drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim; 4. karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran,

kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase; 5. karya seni terapan;

6. karya arsitektur; 7. peta;

8. karya seni batik atau seni motif lain; 9. karya fotografi;

10. Potret;

11. karya sinematografi;

12. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi, aransemen, modifikasi dan karya lain dari hasil transformasi;

13. terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi, atau modihkasi ekspresi budaya tradisional;

14. kompilasi Ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan Program Komputer maupun media lainnya;

15. kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut merupakan karya yang asli

16. permainan video; dan 17. Program Komputer.

b. Ciptaan yang tidak diberi Hak Cipta

Sebagai pengecualian terhadap ketentuan di atas, tidak diberikan Hak Cipta untuk hal-hal berikut:

(5)

2. peraturan perundang-undangan;

3. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah; 4. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau

5. keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya. Hak Cipta juga merupakan alternatif yang dapat digunakan untuk melindungi pengetahuan tradisional yang terdapat dalam pelestarian dan pemanfaatan plasma nutfah. Di era perkembangan teknologi molekuler, issu lain yang berkaitan dengan penerapan Hak Cipta dalam hubungannya dengan plasma nutfah adalah adanya pro dan kontra tentang perlindungan sekuen DNA.

2.1.3 Sistem Perlindungan Hak Cipta

Perlindungan suatu ciptaan timbul secara otomatis sejak ciptaan itu diwujudkan dalam bentuk yang nyata. Pendaftaran ciptaan tidak merupakan suatu kewajiban untuk mendapatkan hak cipta. Namun demikian, pencipta maupun pemegang hak cipta yang mendaftarkan ciptaannya akan mendapat surat pendaftaran ciptaan yang dapat dijadikan sebagai alat bukti awal di pengadilan apabila timbul sengketa di kemudian hari terhadap ciptaan tersebut. Ciptaan dapat didaftarkan ke Kantor Hak Cipta, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen. HKI), Departemen Hukum dan HAM.

2.1.4 Jangka Waktu Perlindungan Hak Cipta

Jangka waktu perlindungan hak cipta sangat erat kaitannya dengan bentuk perlindungan. Bentuk perlindungan yang diberikan meliputi larangan bagi siapa saja untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan yang dilindungi tersebut kecuali dengan seijin Pemegang Hak Cipta.

(6)

Sebagai pengecualian, maka dengan menyebut atau mencantumkan sumbernya, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta atas:

1. penggunaan Ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta;

2. pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan pembelaan di dalam atau di luar Pengadilan;

3. pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan:

a. ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau

b. pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta. 4. perbanyakan suatu Ciptaan bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra

dalam huruf braille guna keperluan para tunanetra, kecuali jika Perbanyakan itu bersifat komersial;

5. perbanyakan suatu Ciptaan selain Program Komputer, secara terbatas dengan cara atau alat apa pun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, dan pusat dokumentasi yang non komersial semata-mata untuk keperluan aktivitasnya;

6. perubahan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis atas karya arsitektur, seperti Ciptaan bangunan;

(7)

7. pembuatan salinan cadangan suatu Program Komputer oleh pemilik Program Komputer yang dilakukan semata-mata untuk digunakan sendiri. Jangka waktu perlindungan Hak Cipta pada umumnya berlaku selama hidup Pencipta dan terus berlangsung hingga 70 (tujuh puluh) tahun setelah Pencipta meninggal dunia terhitung mulai tanggal 1 Januari tahun berikutnya. Dalam hal Ciptaan dimiliki oleh 2 (dua) orang atau lebih, pelindungan Hak Cipta berlaku selama hidup Pencipta yang meninggal dunia paling akhir dan berlangsung selama 70 (tujuh puluh) tahun sesudahnya, terhitung mulai tanggal 1 Januari tahun berikutnya. Pelindungan Hak Cipta atas Ciptaan yang dimiliki atau dipegang oleh badan hukum berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali dilakukan Pengumuman (Pasal 58 Undang – Undang nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta).

Pelindungan Hak Cipta atas Ciptaan: 1. karya fotograh;

2. Potret;

3. karya sinematografi; 4. permainan video; 5. Program Komputer; 6. perwajahan karya tulis;

7. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi, aransemen, modifikasi dan karya lain dari hasil transformasi;

8. terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi atau modifikasi ekspresi budaya tradisional;

(8)

9. kompilasi Ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan Program Komputer atau media lainnya; dan

10. kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut merupakan karya yang asli, berlaku selama 50 (1ima puluh) tahun sejak pertama kali dilakukan Pengumuman (Pasal 59 ayat (1) UUHC).

Pelindungan Hak Cipta atas Ciptaan berupa karya seni terapan berlaku selama 25 (dua puluh lima) tahun sejak pertama kali dilakukan Pengumuman (Pasal 59 ayat (2) UUHC). Hak Cipta atas ekspresi budaya tradisional yang dipegang oleh negara berlaku tanpa batas waktu (Pasal 60 ayat (1) UUHC). Hak Cipta atas Ciptaan yang Penciptanya tidak diketahui yang dipegang oleh negara berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak Ciptaan tersebut pertama kali dilakukan Pengumuman (Pasal 60 ayat (2) UUHC). Hak Cipta atas Ciptaan yang dilaksanakan oleh pihak yang melakukan Pengumuman berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak Ciptaan tersebut pertama kali dilakukan Pengumuman (Pasal 60 ayat (3) UUHC).

2.1.5 Peralihan Hak Cipta dan Lisiensi

Satu hal yang perlu diperhatikan dalam menerapkan Hak Cipta adalah apabila karya intelektual yang dihasilkan direncanakan pula untuk dilindungi dengan rezim HKI yang lain, misal Rahasia Dagang atau Paten. Publikasi yang “tidak tepat” dapat menggugurkan kemungkinan untuk di”Paten”kan atau di”Rahasia-Dagang”kan. Oleh karena itu, perlu pula dipertimbangkan apa yang bisa dipublikasikan dan apa yang masih harus disimpan.

(9)

Hak Cipta dapat dialihkan baik seluruhnya maupun sebagian karena: pewarisan; hibah; wasiat; perjanjian tertulis; atau sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Hak Cipta yang telah dihasilkan perlu dimanfaatkan oleh Pemegang Hak Cipta atau pihak lain berdasarkan perjanjian tertulis (lisensi) untuk kepentingan masyarakat. Menurut Pasal 80 ayat (1) UUHC, Pemegang Hak Cipta atas karya sinematografi dan program komputer berhak memberikan lisensi kepada pihak lain untuk kepentingan yang bersifat komersial. Atas lisensi yang diberikan, Pemegang Hak Cipta berhak mendapatkan royalti sesuai dengan kesepakatan (Pasal 80 ayat (3) sampai dengan ayat (5) UUHC).

2.1.6 Pelanggaran terhadap Hak Cipta dan Sanksi

Hak cipta dilanggar jika materi hak cipta tersebut digunakan tanpa ijin dari penciptanya yang mempunyai hak eksklusif atas ciptaannya. Namun, pencipta atau pemegang hak cipta harus membuktikan bahwa karyanya telah dijiplak atau karya lain tersebut berasal dari karyanya. Hak cipta juga dilanggar jika seluruh atau bagian substansial dari suatu ciptaan yang dilindungi hak cipta diperbanyak. Pelanggaran semacam ini dapat dikenaklan denda atau sanksi pidana secara khusus yang diatur oleh UUHC.

Menurut Pasal 112 sampai dengan Pasal 119 UUHC, bagi mereka yang dengan sengaja atau tanpa hak melanggar Hak Cipta orang lain dapat dikenakan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat milyar rupiah).

(10)

2.2 Folklor

2.2.1 Pengertian Folklor dan Dasar Hukum Folklor 2.2.1.1Pengertian Folklor

Folklor merupakan suatu istilah yang benyak berkenaan dengan bidang kebudayaan. Folklore folklore merupakan kata majemuk yang berasal dari dua kata yaitu folk dan lore. Folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, social dan dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok lainnya. Sehingga folk sinonim dengan kata kolektif yang memiliki ciri pengenal fisik atau system kebudayaan yang sama serta mempunyai kesadaran kepribadian sebadai kesatuan masyarakat.1

Istilah lore artinya adalah tradisi rakyat itu sendiri, yaitu sebagian kebudayaan yang diwariskan turun-temurun baik secara lisan maupun menggunakan gerak isyarat. Masyarakat lebih mengenal istilah kebudayaan sebagai pengganti kata lore, sehingga folklore secara singkat disebut juga kebudayaan rakyat.

Sebagai perbandingan, di bawah ini terdapat beberapa dafinisi atau pengertian folklore di bawah ini.

1. Jan Harold Brunvand (1968)

Folklore dapat didefinisikan sebagai berbagai materi kebudayaan yang disampaikan secara tradisional diantara anggota komunirtas tertentu dengan beragam versi, baik secara lisan maupun kegiatan yang telah menjadi kebiasaan. 2

1

James Danandjaya, 2002, Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lain Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, h, 1.

2

(11)

2. James Danandjaya (1984)

Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. 3 3. Kamal Puri (1998)

Folklor merupakan jalan menuju identitas budaya dan sosial masyarakat yang berupa standar-standar dan nilai-nilai. Biasanya folklore disampaikan secara lisan, melalui imitasi atau cara-cara lain. Bentuknya dapat berupa, antara lain bahasa, sastra, music, tari, permainan, mitos, ritual, kebiasaan, kerajinan tangan, arsitektur, dan kesenian lainnya. Folklore merupakan bentuk manifestasi tingkat tinggi karena sifatnya yang beragam dan bentuknya yang terus berkembang. Kadang-kadang folklore disebut juga budaya tradisional dan popular karena sangat berorientasi kepada kelompok dan berbasis tradisi. 4

4. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dalam penjelasannya terhadap Pasal 38 ayat (1) memberikan pengertian tentang Ekspresi Budaya Tradisional/Folklor mencakup salah satu atau kombinasi bentuk ekspresi sebagai berikut :

a. verbal tekstual, baik lisan maupun tulisan, yang berbentuk prosa maupun puisi, dalam berbagai tema dan kandungan isi pesan, yang dapat berupa karya sastra ataupun narasi informatif;

b. musik, mencakup antara lain, vokal, instrumental, atau kombinasinya; c. gerak, mencakup antara lain, tarian;

3

James Danandjaya, Op.Cit, h.2.

4

Kamal Puri, 1998, Copyright Protection of Folklore: A New Zealand Perspective. Copyright Bulletin, UNESCO, Vol. 22. No. 3.

(12)

d. teater, mencakup antara lain, pertunjukan wayang dan sandiwara rakyat; e. seni rupa, baik dalam bentuk dua dimensi maupun tiga dimensi yang terbuat dari berbagai macam bahan seperti kulit, kayu, bambu, logam, batu, keramik, kertas, tekstil, dan lain-1ain atau kombinasinya; dan f. upacara adat.

2.2.1.2Dasar Hukum Folklor

Pasal 38 ayat (1) Undang – Undang nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta mengatur bahwa Negara memegang hak cipta ekspresi budaya tradisional atau folklor yang menjadi milik bersama. Penjelasan ketentuan ini menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ekspresi budaya tradisional atau folklor mencakup salah satu atau kombinasi bentuk ekspresi sebagai berikut:

1. verbal tekstual, baik lisan maupun tulisan, yang berbentuk prosa maupun puisi, dalam berbagai tema dan kandungan isi pesan, yang dapat berupa karya sastra ataupun narasi informatif;

2. musik, mencakup antara lain, vokal, instrumental, atau kombinasinya; 3. gerak, mencakup antara lain, tarian;

4. teater, mencakup antara lain, pertunjukan wayang dan sandiwara rakyat; 5. seni rupa, baik dalam bentuk dua dimensi maupun tiga dimensi yang

terbuat dari berbagai macam bahan seperti kulit, kayu, bambu, logam, batu, keramik, kertas, tekstil, dan lain-1ain atau kombinasinya; dan

6. upacara adat.

Pasal 38 ayat (4) Undang – Undang nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta mengamatkan agar bentuk Peraturan Pemerintah untuk mengatur lebih lanjut Hak Cipta yang dipegang oleh Negara. Peraturan pemerintah dimaksud bertujuan untuk menentukan mekanisme yang digunakan untuk pengguanaan

(13)

kebudayaan tradisional secara komersial bagi orang asing, menentukan begaimana pembagian keuntungan yang seadil-adilnya, serta untuk menentukan pihak atau instansi yang menangani hal dimaksud. Akan tetapi hingga saat ini belum diatur peraturan pemerintah tentang folklor. Inilah yang menjadi kekurangan dalam pengaturan mengenai folklor di Indonesia. Adapun seiring dengan tuntutan Negara-negara berkembang melalui forum WIPO akan dibuat undang-undang bersifat sui generis mengenai folklor. 5

2.2.2 Jenis-Jenis Folklor

Sebelum menguraikan jenis-jenis folklor, di sini dikemukakan terlebih dahulu ciri-ciri pengenal folklor. James Danandjaya merumuskan ciri-ciri pengenal utama folklore sehingga dapat dibedakan dari kebudayaan yang lainnya. Menurutnya, ciri-ciri pengenal utama folklor dapat dirumuskan sebagai berikut.6

1. Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut (atau dengan suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat, dan alat pembantu pengingat) dari satu genenasi ke generasi berikutnya.

2. Folklor bersifat tradisional , yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar. Disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama (paling sedikit dua generasi).

3. Folklor ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda. Hal ini diakibatkan oleh cara penyebarannya dari mulut ke mulut (lisan),

5

Edi Sedyawan, 2003, Perlindungan atas Folklor Indonesia, Makalah disajikan pada seminar tentang Desain Industri, Jakarta.

6

(14)

biasanya bukan melalui cetakan atau rekaman, sehingga oleh proses lupa diri manusia atau proses interpolasi (interpolation), folklor dengan mudah dapat mengalami perubahan. Walaupun demikian perbedaannya hanya terletak pada bagian luarnya saja, sedangkan bentuk dasarnya dapat tetap bertahan.

4. Folklor bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui orang lagi.

5. Folklor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola. Cerita rakyat, misalnya, selalu mempergunakan kata-kata klise seperti “bulan empat belas hari” untuk menggambarkan kecantikan seorang gadis dan “seperti ular berbelit-belit” untuk menggambarkan kemarahan seseorang, atau ungkapan-ungkapan tradisional, ulangan-ulangan, dan kalimat-kalimat atau kata-kata pembukaan dan penutup yang baku, seperti kata “sahibul hikayat ... dan mereka pun hidup bahagia untuk seterusnya,” atau “Menurut empunya cerita... demikianlah konon” atau dalam dongeng Jawa banyak yang dimulai dengan kalimat Anuju sawijining dina (pada suatu hari), dan ditutup dengan kalimat: A lan B urip rukun bebarengan kayo mimi lan mintuna (A dan B hidup rukun bagaikan mimi jantan dan mimi betina). 6. Folklor mempunyai kegunaan (function) dalam kehidupan bersama suatu

kolektif. Cerita rakyat misalnya mempunyai kegunaan sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam.

(15)

7. folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum. Ciri pengenal ini terutama berlaku bagi folklor lisan dan sebagian lisan.

8. Folklor menjadi milik bersama (collective) dari kolektif tertentu. Hal ini sudah tentu diakibatkan karena penciptanya yang pertama sudah tidak diketahui lagi, sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya.

9. Folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga seringkali kelihatannya kasar, terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa banyak folklor merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur manifestasinya.

Berdasarkan ciri-ciri pengenal folklor tersebut di atas, Jan Harold Brunvand, seorang ahli folklor dari AS, menggolongkan ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan jenisnya yaitu: yang pertama adalah Folklor Lisan (Verbal Folklore). Folklor lisan adalah folklor yang bentuknya memang murni lisan. Bentuk-bentuk (genre) folklor yang termasuk ke dalam kelompok besar ini antara lain: (1) bahasa rakyat (folk speech) seperti logat, julukan, pangkat tradisional, dan titel kebangsawanan; (2) ungkapan tradisional, seperti peribahasa, pepatah, dan pemeo; (3) pertanyaan tradisional, seperti teka-teki; (4) puisi rakyat, seperti pantun, gurindam, dan syair; (5) cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda, dam dongeng; dan (6) nyanyian rakyat. Yang kedua adalah folklor sebagian lisan. Folklor sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Kepercayaan rakyat, misalnya. Bentuk-bentuk folklor

(16)

yang tergolong dalam kelompok besar ini, selain kepercayaan rakyat, adalah permainan rakyat, tari rakyat, adat-istiadat, upacara, pesta rakyat, dan lain-lain. 7

Kemudian yang ketiga adalah folklor bukan lisan. Folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Kelompok besar ini dapat dibagi menjadi dua subkelompok, yakni yang material dan yang bukan material. Bentuk-bentuk folklor yang tergolong yang material antara lain: arsitektur rakyat (bentuk rumah asli daerah, bentuk lumbung padi, dan sebagainya), kerajinan tangan rakyat; pakaian dan perhiasan tubuh adat, makanan dan minuman rakyat, dan obat-obatan tradisional. Sedangkan yang termasuk yang bukan material antara laim: gerak isyarat tradisional (gesture), bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat (kentongan tanda bahaya di Jawa atau bunyi gendang untuk mengirim berita seperti yang dilakukan di Afrika), dan musik rakyat.

2.2.3 Konsep kepemilikan Folklor

Sebagian besar dari folklor merupakan ciptaan yang diwariskan secara turun temurun dan seringkali dikumpulkan dan dipublikasikan oleh sejarawan atau peneliti dan pengamat lainnya. Namun demikian folklor tidak statis karena folklor mengembangkan dan menghasilkan karya cipta baru sebagai perbaikan atau penyesuaian terhadap berbagai perubahan keadaan. Folklor berkembang beradaptasi, dan berubah secara dinamis dengan waktu. Ide-ide baru digabungkan

7

(17)

dan proses-proses baru dikembangkan.8 Dapat pula dikemukakan bahwa folklor juga merupakan karya cipta yang dinamis. Artinya folklor dibuat dan diciptakan sebagai respon individu atau masyarakat dalam menjawab setiap tantangan sosial dan tantangan alam.9

Beberapa folklor terkodifikasi, sementara yang lainnya tidak terkodifikasi.10 Tidak semua folklor dihasilkan secara kolektif dan/atau antargenerasi. Oleh karena itu, definisi luas folklor tidak mungkin dibatasi menurut sistem atau kodifikasi, atau karya cipta asli dalam suatu kumpulan. Sekalipun pengamatan dilakukan di luar, suatu sistem tidak terdokumentasi, pemegang folklor mungkin mau tidak mau menerima bahwa folklor perlu menyesuaikan dengan suatu pengakuan atau sistem pengetahuan terdokumentasi sehingga menjadi layak untuk perlindungan hukum.11

Banyak karya-karya folklor diciptakan oleh masyarakat tradisional secara berkelompok-kelompok, berarti banyak orang yang memberi sumbangan terhadap produk akhir. Lagipula, karya-karya folklor juga dapat dikembangkan oleh orang yang berbeda selama jangka waktu yang panjang (barangkali selama beberapa abad). Bahkan lebih penting lagi, banyak masyarakat tradisional tidak mengenal konsep hak individu; harta berfungsi sosial dan bersifat milik umum. Dengan

8

Anil K. Gupta, 2001, “Rewarding Traditional Knowledge and Contemporary Grassroots Creativity : The Role of Intellectual Property,” Paper presented at the Second WIPO International Conference on Electronic Commerce and Intellectual Property, Geneva, h. 10.

9

Henry Soelistyo Budi, Op Cit, hal 2.

10

Contoh dari TK yang terkodifikasi misalnya : desain tekstil, sedangkan contoh dari TK yang tidak terkodifikasi misalnya : sistem pengobatan yang digunakan oleh suku bangsa tertentu.

11

(18)

demikian, para pencipta dalam masyarakat tradisional tidak berniat atau ingin mementingkan hak individu atau hak kepemilikan atas karya-karya mereka.12

WIPO mendefinisikan pemilik/pemegang folklor yaitu : semua orang yang menciptakan, mengembangkan, dan mempraktikkan folklor dalam aturan dan konsep tradisional. Masyarakat asli, penduduk, dan negara adalah pemilik folklor, tetapi tidak semua folklor tradisional adalah asli.13 Dengan demikian dalam perlindungan folklor ini yang dikedepankan adalah kepentingan komunal daripada kepentingan individu. Melindungi kepentingan komunal adalah cara-cara untuk memelihara kehidupan harmonis antara satu dengan yang lain sehingga suatu ciptaan yang dihasilkan oleh seorang anggota masyarakat tidak akan menimbulkan kendala bila anggota yang lainnya juga membuat suatu karya yang identik dengan karya sebelumnya.14

Sebagaimana diketahui bahwa folklor merupakan hasil kebudayaan tradisional rakyat Indonesia yang telah berlangsung secara turun menurun. Karena itu, folklor telah menjadi milik bersama seluruh masyarakat Indonesia. Berkenaan dengan hal tersebut, Undang – Undang nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta menetapkan bahwa hak cipta atas folklor yang ada di Indonesia, hak ciptanya dipegang oleh negara sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (1) Undang – Undang nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta. 15

12

Eddy Damian, Op Cit, h. 261; bandingkan dengan Achmad Zen Purba, Op Cit, h. 33, bahwa: Persyaratan untuk melindungi TK cenderung komunal dan juga diharapkan dalam waktu perlindungan yang tidak terbatas.

13

WIPO Report on Fact Finding Mission on Intellectual Property and Traditional Knowledge (1998-1999), Geneva, April 2001, h. 22

14

Insan Budi Maulana, 1997, Sukses Bisnis Melalui Merek, Paten dan Hak Cipta, Bandung : Citra Aditya Bakti, h. 162-163.

15

Marioris Jan Tobias, 1999, Copyright Protection of Indigeneous Expressions, Cantidig Tionggo Nibunggo Law Office, Filipina, h. 2.

(19)

2.2.4 Perlindungan Folklor Lingkup Nasional

Adanya perbedaan konsep kepemilikan dalam folklor memiliki konsekuensi perbedaan dengan sistem HKI pada umumnya. Hal terpenting yang harus diperhatikan bahwa folklor harus dijaga dan dipelihara oleh setiap generasi secara turun menurun, karena dengan memberikan perlindungan bagi folklor akan memberikan manfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.

Salah satu alasan kurang jelasnya tentang perlindungan yang rasional dari perbedaan arti diberikan terhadap konsep perlindungan. Beberapa pengertian konsep ini dalam konteks HKI bahwa perlindungan pada dasarnya berarti : pengecualian penggunaan tanpa izin oleh pihak ketiga. Penghargaan lainnya, bahwa perlindungan sebagai alat untuk memelihara folklor dari penggunaan yang mungkin mengikis folklor atau dampak negatif terhadap kehidupan atau tradisi dari komunitas yang mengembangkan dan menerapkan folklor. Perlindungan di sini memiliki banyak peranan positif dan mendukung folklor sebagai tradisi dan sumber mata pancaharian komunitas masyarakat bersangkutan.16

Secara keseluruhan, alasan utama memberikan perlindungan terhadap folklor, yaitu : a. pertimbangan keadilan; b. memelihara budaya dan praktik (gaya hidup) tradisional; c. mencegah perampasan oleh pihak-pihak yang tidak berwenang terhadap komponen-komponen folklor; dan d. mengembangkan penggunaan dan kepentingan folklor.

Berdasarkan hal tersebut maka dalam perlindungan terhadap folklor terdapat 4 prinsip yang dimiliki oleh komunitas masyarakat setempat, yaitu :

16

(20)

pengakuan, perlindungan, pembagian keuntungan, dan hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.17 Satu prinsip tambahan yang dapat diterapkan pada folklor berupa hak-hak moral, yakni prior informed concern (informasi terlebih dahulu).18

Pasal 38 UUHC memang seolah-olah negara melindungi folklor. Apabila Pasal 38 UUHC dicermati, maka akan tampak bahwa lembaga pelaksana yang berwenang untuk menetapkan suatu Ciptaan sebagai folklor tidak ada. Memang dalam pasal tersebut ada ketentuan yang menyatakan bahwa Negara memegang hak cipta atas folklor. Namun, ketentuan tersebut harus dipandang sebagai tahap lanjutan dalam skema perlindungan folklor. Tahap awalnya ialah menentukan suatu Ciptaan sebagai folklor.

Andaipun ketentuan Pasal 38 UUHC dimaksudkan untuk memberi kewenangan bagi Negara dalam menetapkan suatu Ciptaan sebagai folklor, permasalahan mengenai kejelasan lembaga pelaksana tetap saja ada. Hal tersebut terjadi, karena lembaga yang disebut hanya Negara. Negara adalah entitas yang abstrak. Untuk melaksanakan kewenangannya dalam arti yang kongkrit, maka Negara harus dijabarkan lebih lanjut dengan menyebut instansi pemerintah yang mengembang tanggungjawab tersebut. Dengan kondisi yang ada saat ini, maka menjadi tidak jelas, apakah hanya Ditjen HKI yang berwenang mengadministrasikan folklor, atau lembaga-lembaga lain juga berwenang. Hal ini sangat penting untuk diatasi mengingat perlindungan folklor dapat berkaitan

17

Afrillyanna Purba, dkk, 2005, TRIPs-WTO & Hukum HKI Indonesia : Kajian Perlindungan Hak Cipta Seni Batik Tradisional Indonesia, PT. Rineka Cipta, Jakarta, h. 43.

18

(21)

dengan instansi pemerintah seperti Departemen Hukum dan HAM, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Departemen Perindustrian, dan Pemerintah Daerah.

Permasalahan lain yang berkaitan dengan perlindungan folklor adalah dalam hal waktu dimulainya perlindungan dan aspek orisinalitas. Suatu Ciptaan mendapat perlindungan Hak Cipta setelah Ciptaan itu selesai dibuat, karena UUHC tidak melindungi gagasan atau ide. Apabila dikaitkan dengan keberadaan folklor, maka Ciptaan yang dapat dianggap sebagai folklor seharusnya telah berusia puluhan tahun; karena salah satu ciri pengenal folklor ialah penyebarannya telah dilakukan sedikitnya dalam dua generasi. Itu artinya ekspresi folklor yang diproduksi, ditampilkan, atau direkam lagi pada saat ini statusnya adalah karya reproduksi.

Sistim perlindungan folklor saat ini belum menggunakan sistem sui generis, tetapi masih memandang folklor sebagai Ciptaan yang dapat dilindungi dengan Hak Cipta. Mengingat Hak Cipta hanya diberikan pada kreasi yang bersifat asli, maka karya reproduksi tidak dapat memperoleh perlindungan Hak Cipta. Hal itu dikarenakan, karya reproduksi tidak mengandung unsur orisinalitas atau keaslian. Oleh karena itu, perlindungan terhadap karya reproduksi hanya dapat menggunakan Hak Terkait, yaitu hak eksklusif untuk para performers (pelaku) dan produser. Tetapi persoalannya, pembuat mebel ukir tidak dapat dianggap sebagai performer. Hal inilah yang perlu untuk dicermati secara lebih mendalam oleh para pembuat hukum di Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Karakterisasi dengan X-ray diffraction (XRD) menghasilkan mineral baru bassanit pada setiap mol aktivator asam sulfat yang digunakan, sedangkan jenis mineral pada lempung yang hanya

Tujuan Penelitian adalah mengetahui perbedaan tingkat penerimaan pajak Wajib Pajak Badan dan Orang Pribadi tahun 2013 di KPP Pratama Badung Selatan sebelum dan sesudah penerapan

Penelitian dari terapi perilaku, terapi wicara dan terapi okupasi memperlihatkan bahwa anak yang melakukan terapi pada pra intervensi dengan kurang baik ternyata masih

Larangan kawin yang sampai saat ini masih berlaku kental dalam masyarakat Candirejo ini di antaranya adalah larangan kawin karena ketidaklengkapan orangtua pada

Penuh rasa syukur penulis haturkan kepada Yesus Kristus atas berkat, bimbingan, kasihnya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan skripsi yang berjudul “EVALUASI

Relasi dan peran orang tua pada masa remaja sangat penting bagi perkembangandiri remaja, relasi yang baik antara orang tua dan remaja yang telah dibina sejak lahir akan

Berdasarkan distribusi konsumsi kalsium tersebut diketahui bahwa dari 14 responden (46,66%) yang mempunyai riwayat konsumsi kalsium sering pada kehamilannya, 11

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadiran Allah SWT, atas berkat dan rahmat-Nya penulisan Laporan Praktek Kerja Nyata ini dapat diselesaikan, dengan judul