PERKEMBANGAN KURIKULUM DAN
LANDASAN FILOSOFIS PENDIDIKAN
IPS (ILMU PENGETAHUAN SOSIAL)
DI INDONESIA
Posted on
Juni 12, 2012
by
dianascyber
Standar
1. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan mata pelajaran yang bersumber dari kehidupan sosial
masyarakat yang diseleksi menggunakan konsep-konsep ilmu sosial yang digunakan untuk
kepentingan pembelajaran. Keadaan sosial masyarakat selalu mengalami perubahan dari waktu
ke waktu, dinamisasi kemajuan diberbagai bidang kehidupan harus dapat ditangkap dan
diperhatikan oleh lembaga pendidikan yang kemudian menjadi bahan materi pembelajaran,
sehingga bahan pelajaran secara formal dapat dituangkan dalam bentuk kurikulum.
Kurikulum IPS yang dikembangkan hendaknya memiliki landasan filosofis yang jelas, landasan
filosofis yang digunakan haruslah melihat kondisi nyata yang terjadi di masyarakat. Kondisi
masyarakat yang terjadi saat ini adalah masyarakat yang senantiasa mengalami
perubahan-perubahan yang disebabkan adanya interaksi sosial baik antar individu nmaupum kelompok.
Dalam mencermati perubahan tersebut, maka kurikulum harus memiliki landasan filosofis
humanistik, dimana Ilmu Pengetahuan Sosial menjunjung tinggi sifat-sifat dasar kemanusiaan.
Perkembangan istilah atau nama Social Studies pertama kali dimasukan secara resmi kedalam
kurikulum sekolah Rugby di Inggris pada tahun 1827, Dr. Thomas Arnold direktur sekolah
tersebut adalah orang pertama yang berjasa memasukan Social Studies kedalam kurikulum
sekolah. Latar belakang dimasukannya social
studies ke dalam kurikulum sekolah berangkat dari kondisi masyarakat Inggris yang pada waktu
itu tengah mengalami kekacauan akibat Revolusi Industri yang melanda Negara itu.
(
http://massofa.wordpress.com/2010/12/09/latar-belakang-lahirnya-ips-di-indonesia/(27
September 2011) diakses jam 20.28 wita.)
Indian bersatu sebagai penduduk baru di Amerika Serikat, serta menjadikan pluralistik – multi
etnik, sehingga semakin sulit pada awalnya membangun kebangsaan di Amerika Serikat dalam
kondisi multi etnik untuk menjadi suatu bangsa.
Para pakar kemasyarakatan dan pendidikan mencari pola baru untuk menjadikan sistem
pendidikan yang menghormati keberadaan multi – etnis di Amerika Serikat, salah satu cara yang
ditempuh adalah memasukan social studies kedalam kurikulum sekolah di Negara bagian
Wisconsin pada tahun 1892. Pada awal abad ke – 20 sebuah Komite Nasional dari The National
Education Association memberikan rekomendasi tentang perlunya social studies dimasukan ke
dalam kurikulum sekolah dasar dan sekolah menengah di Amerika Serikat, adapun komponen
formula awal social studies ketika awal kelahirannya di Amerika Serikat terdiri dari mata
pelajaran sejarah, geografi dan civics (kewarganegaraan).
Social studies dalam istilah Indonesia disebut Pendidikan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), dalam
proses eksistensinya terdapat dalam “The National Herbart Society papers of 1896 – 1897”
menegaskan, bahwa social studies sebagai delimiting the social sciences for pedagogical use
(upaya membatasi ilmu-ilmu sosial untuk kepentingan pedagogik / mendidik). Dengan hadirnya
social studies masuk pada kurikulum di sekolah, ada juga di beberapa negara bagian di Amerika
Serikat dan di Inggris untuk mengembangkan program pendidikan ilmu-ilmu sosial di tingkat
sekolah. Pengertian ini juga dipakai sebagai dasar dalam dokumen “Statement of the Chairman
of Commite on Social Studies” yang dikeluarkan oleh Comittee on Social Studies (CSS) tahun
1913.
Dalam dokumen tersebut dinyatakan bahwa social studies sebagai specific field to utilization of
social sciences data as a force in the improvement of human welfare (bidang khusus dalam
pemanfaatan data ilmu-ilmu sosial sebagai tenaga dalam memperbaiki kesejahteraan umat
manusia). Upaya untuk melestarikan program social studies dalam kurikulum sekolah, maka
beberapa pakar yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan ilmu-ilmu sosial di tingkat
sekolah mengembangkan social studies bisa diaplikasikan di tingkat sekolah dengan membentuk
organisasi profesi social studies, akhirnya pada tahun 1921 berdirilah “National Council for the
Social Studies “ atau disingkat ( NCSS ), sebuah organisasi professional yang secara khusus
membina dan mengembangkan social studies pada tingkat pendidikan dasar dan menengah,
serta kaitannya dengan disiplin ilmu – ilmu sosial dan disiplin ilmu pendidikan sebagai
program pendidikan syntectic. (http
://haslindafadillah,blogspot.com/2010/11/makalah-pendidikan-ips.html (27 Sept 2011) diakses jam 20.44.wita.)
1. Rumusan Masalah dan Tujuan Penulisan
Dengan latar belakang perkembangan kehadiran Social Studies diatas dan memandang perlunya
pendidikan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) bagi warga negara sebagai apresiasi dari Social
studies terus bertambah ke berbagai negara, terutama di Amerika Serikat, Inggris, dan berbagai
Negara Eropa, dan kemudian berkembang ke negara Australia dan Asia termasuk Indonesia,
maka muncul pertanyaan mendasar dalam tulisan ini diantaranya : (1) Bagaimana
tingkat jenjang persekolahan di Indonesia ?. Kedua permasalahan tersebut menjadi dasar
permasalahan dalam tulisan ini.
Tujuan penulisan ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Landasan Pendidikan IPS MIPS
505 Progam Studi Magister Pendidikan IPS Program Pascasarjana Universitas Lambung
Mangkurat Banjarmasin yang dibina oleh Bapak Dr. Herry Porda Nugroho Putro, M.pd. Selain
itu tujuan penulisan ini adalah untuk mengenal, memahami dan mendalami hakekat konsep,
pengertian, dasar filosofis dan proses belajar – mengajar IPS, sehingga akan bermanfaat ketika
diaplikasikan bertugas di lembaga pendidikan masing-masing.
1. Pembatasan Masalah Pembahasan
Tulisan ini lebih berorientasi pada pembahasan masalah perkembangan Social Studies di negara
asalnya hingga diadopsi ke Indonesia dan memaparkan landasan Filosofis Pendidikan IPS,
dimana kurikulum yang dikembangkan pemerintah Indonesia akan diaplikasikan pada semua
jenjang dari pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan lanjutan di tingkat atas. Di
luar peermasalahan tersebut diatas tidaklah menjadi bahasan utama, tetapi demi perbaikan
penulisan tidak menutup kontribusi, saran – saran dan pendapat, serta kritik konstruktif, agar
terdapat persepsi yang sama dalam memahami konsep perkembangan dan landasan filosofis
Pendidikan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) khususnya di Indonesia.
1. PERKEMBANGAN KURIKULUM DAN PENDIDIKAN IPS DI INDONESIA
1. Perkembangan Social Studies Hingga Pendidikan IPS di Indonesia
Setelah berdirinya National Council for the Social Studies (NCSS) pada tahun 1921 hanya
bertugas sebagai organisasi yang idealnya memaksimalkan hasil-hasil pendidikan bagi tujuan
kewarganegaraan yang sudah dicapai oleh CSS (Comitte on Social Studies ) tahun 1913
sebelumnya. Barulah pada tahun 1935 lahirlah kesepakatan yang dikeluarkan NCSS yang
menegaskan “ Social Sciences as the core of the curriculum “ atau kurikulum IPS bersumber dari
ilmu-ilmu sosial.
Perkembangan selanjutnya pengertian social studies yang berpengaruh pada abad ke-20 adalah
mengenai definisi social studies yang dikemukakan oleh Edgar Wesley (1937) yang menyatakan
“the social studies are the social sciences simplified for pedagogical purposes”. Definisi tersebut
menjadi popular saat itu yang kemudian dijadikan definisi resmi mengenai social studies oleh
“the united states of education’s standard terminology for curriculum and instruction” dengan
demikian NCSS perlu membuat pekerjaan rumah tentang definisi resmi pula yang
menghantarkan Social Studies sebagai kajian yang terintegrasi dan mencakup disiplin ilmu yang
semakin luas, khususnya dalam bidang pendidikan dikemudian hari.
kolonial Belanda. Keadaan kehidupan berbangsa saat itu masih dalam semangat juang
mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, dapat dikatakan bahwa pendidikan di awal
kemerdekaan haruslah membangun semangat kebangsaan dan semangat patriotisme.
Konsep pendidikan yang essensial saat itu untuk SR (Sekolah Rakyat) adalah membaca, menulis
dan berhitung. Mata pelajaran ilmu bumi diajarkan pada kelas 3, sejarah mulai diajarkan pada
kelas 4, ilmu alam baru diajarkan pada kelas 5 dan kelas 6. Mata pelajaran di SMP seperti
bahasa, ilmu pasti,pengetahuan alam, pengetahuan sosial, dan ekonomi. Siswa yang naik kelas
III dikelompokan, kelas III A (kelompok sosial dan ekonomi) dan kelas III B (Kelompok Ilmu
Pasti dan Pengetahuan Alam).
Tahun 1952 kurikulum di Indonesia diberi nama Rentjana Pelajaran Terurai 1952, kurikulum ini
penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya dan sudah mulai mengarah pada suatu sistem
pendidikan nasional. Kurikulum 1952 diarahkan pada setiap rencana pelajaran harus
memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.
Tahun 1964 pemerintah Orde Lama kembali menyempurnakan kurikulum pendidikan di
Indonesia. Kurikulum tersebut dinamakan Rentjana Pendidikan 1964, pokok – pokok pikiran
dalam kurikulum tersebut bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mendapatkan
pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang Sekolah Dasar, sehingga pembelajaran
dipusatkan pada program Pancawardhana, yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional,
artistik dan jasmani.
Kurikulum tahun 1968, merupakan kurikulum pembaharuan dari kurikulum tahun 1964, yakni
perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa
Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968 merupakan perwujudan
dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Kurikulum
1968 bertujuan bahwa pendidikan ditekankan pada upaya membentuk manusia Pancasila sejati,
kuat dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti,
dan keyakinan beragama.
Seiring dengan perkembangan masuknya istilah Social Studies ke dalam acuan kurikulum
pendidikan di Indonesia di awal tahun 1970 –an telah ditawarkan konsep istilah tersebut. Pada
pertemuan ilimiah dalam sebuah seminar Nasional Indonesia tentang
Civic Education
tahun
1972 di Tawangmangu Solo Jawa Tengah, dalam paparan seminar tersebut ditawarkanlah 3 (tiga)
istilah untuk dimasukan dalam pendidikan kewarganegaraan di Indonesia. Pertama; Istilah
Pengetahuan sosial; kedua, Studi Sosial (Social Studies) dan ketiga, Ilmu Pengetahuan Sosial.
A.1. Aplikasi Pendidikan IPS dalam Kurikulum 1975 di Indonesia
Kurikulum 1975 adalah kurikulum pertama di Indonesia yang dikembangkan berdasarkan proses
dan prosedur yang didasarkan pada teori pengembangan kurikulum. Meskipun demikian
Pada tahun 1972 – 1973 sudah pernah dilakukan uji coba pertama konsep IPS masuk
dipersekolahan Indonesia diterapkan pada kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan
(PPSP) IKIP Bandung. Kemudian secara resmi dalam kurikulum 1975 program pendidikan
tentang masalah sosial dipandang tidak cukup diajarkan melalui pelajaran sejarah dan geografi
saja, sehingga dilakukan reduksi mata pelajaran mulai tingkat Sekolah Dasar hingga Sekolah
Menengah Atas saat itu dimasukan mata pelajaran ilmu sosial serumpun atau sejenis digabung ke
dalam mata pelajaran IPS. Oleh karena itu pemberlakuan istilah IPS (social studies) dalam
kurikulum 1975 dapat dikatakan sebagai kelahiran IPS secara resmi di Indonesia.
Upaya memasukan materi ilmu-ilmu sosial dan humaniora ke dalam kurikulum sekolah di
Indonesia disajikan mata pelajaran dan bidang studi atau jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
secara resmi pada kurikulum 1975. Kurikulum tahun 1975 merupakan perwujudan dari
perubahan sosial pada pelaksanaan UUD 1945 secara mnurni dan konsekuen, bertujuan bahwa
pendidikan ditekankan pada upaya membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, sehat jasmani,
mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan
beragama.
Konsep Pendidikan IPS yang menginspirasi kurikulum 1975 yang menampilkan 4 (empat) profil,
pertama; Pendidikan Moral Pancasila (PMP) menggantikan Kewarganegaraan sebagai bentuk
pendidikan IPS khusus; Kedua, Pendidikan IPS terpadu untuk SD; Ketiga, Pendidikan IPS
terkonfederasi untuk SMP yang menempatkan IPS sebagai konsep Payung sejarah, geografi dan
ekonomi koperasi; dan keempat , Pendidikan IPS terpisah-pisah yang mencakup mata pelajaran
sejarah, ekonomi dan geografi untuk SMA, atau sejarah dan geografi untuk SPG, dan IPS
(ekonomi dan sejarah) untuk SMEA / SMK.
A.2. Aplikasi Pendidikan IPS kurulum 1984 di Indonesia
Konsep pendidikan IPS dalam pelaksanaan kurikulum 1984 yang secara konseptual merupakan
penyempurnaan dari kurikulum 1975, khususnya dalam aktualisasi materi, masuknya konsep
P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) sebagai materi pokok PMP (Pendidikan
Moral Pancasila). Pada kurikulum 1984, PPkn merupakan mata pelajaran sosial khusus yang
wajib diikuti semua siswa di SD, SMP dan SMU. Sedangkan mata pelajaran IPS diwujudkan
dalam (1) Pendidikan IPS terpadu di SD kelas I s.d. VI; (2) Pendidikan IPS terkonfederasi di
SLTP yang mencakup geografi, sejarah, dan ekonomi koperasi; (3) Pendidikan IPS terpisah di
SMU yang meliputi Sejarah Nasional dan Sejarah Umum di kelas I dan II; Ekonomi dan
Geografi di kelas I dan II; Sejarah Budaya di kelas III program IPS.
A.3. Definisi Social Studies dari NCSS tahun 1993
NCSS (National Council for the Social Studies) pada tahun 1993 merumuskan definisi Social
Studies sebagai berikut :
“Social studies is the integrated study of the social sciences and humanities to promote civis
competence. Within the school program, social studies provides coordinated, systematic study
drawing upon such disciplines as anthropology, archeology, economics, geography, history, law,
philosophy, political science, psychology, religion, and sociology, as well as appropriate content
from the humanities, mathematics, and natural sciences. The primary purpose of social studies is
to help young people make informed and reasoned decisions for the public good as citizens of a
culturally diverse, democratic society in an interdependent world.”
(
http://www.socialstudies.org/standards/execsummary.(30
September 2011) diakses jam 10.27
wita.). atau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia definisi tersebut diatas adalah sebagai berikut
:
“Studi sosial adalah studi terintegrasi dari ilmu-ilmu sosial dan humaniora untuk
mempromosikan kompetensi sipil. Dalam program sekolah, studi sosial menyediakan
terkoordinasi, studi sistematis menggambarkan atas disiplin ilmu seperti antropologi, arkeologi,
ekonomi, geografi, sejarah, hukum, filsafat, ilmu politik, psikologi, agama dan sosiologi, serta
konten yang sesuai dari humaniora, matematika , dan ilmu alam. Tujuan utama dari ilmu sosial
adalah untuk membantu kaum muda membuat informasi dan keputusan beralasan untuk
kepentingan publik sebagai warga masyarakat, budaya beragam demokrasi di dunia yang saling
bergantung.”
NCSS menekankan pentingnya pendidikan bagi siswa yang berkomitmen untuk ide-ide dan
nilai-nilai demokrasi, siswa akan terlibat dalam proses intelektual yang aktif pada kehidupan di
masyarakat. Siswa sebagai warga masyarakat untuk menggunakan kemampuan pengetahuan
mereka dalam memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan. NCSS memaparkan kurikulum
standar untuk studi sosial menyediakan kerangka kerja yang dimusyawarahkan secara
professional. NCSS pertamakali menerbitkan standar kurikulum nasional pada tahun 1994. Sejak
saat itu standar kurikulum banyak digunakan diberbagai negara sebagai kerangka kerja bagi guru
dan sekolah – sekolah untuk menyelaraskan kurikulum dan pembangunan dalam bidang
pendidikan.
A.4. Perkembangan kurikulum sejak 1994, 2004 dan 2006 di Indonesia
Para pakar pendidikan dan ahli ilmu-ilmu sosial di Indonesia mulai serius terhadap pendidikan
IPS sebagai program pendidikan di tingkat sekolah, sehingga upaya memasukan ilmu-ilmu
sosial ke dalam kurikulum sekolah agar lebih jelas lagi. Mengingat tidak semua disiplin
ilmu-ilmu sosial bisa masuk ke dalam kurikulum sekolah dan bisa diajarkan di tingkat sekolah, maka
penyajian ilmu sosial disatukan atau secara terintegrasi atau interdisipliner ke dalam kurikulum
Pendidikan IPS (social studies).
dengan yang lainnya, terutama jurusan IPS di SMA atau SMEA. Sementara pada tingkat
perguruan tinggi pendidikan ilmu-ilmu sosial disajikan secara terpisah atau fakultas, seperti
Fakultas Ekonomi, Fakultas Hukum, Fisip. Namun untuk Pendidikan IPS di FKIP / IKIP/STIKIP
yang mempersiapkan calon guru, maka akan diberikan secara interdisipliner dan juga disipliner.
Interdisipliner dimaksudkan adalah karena ilmu yang diperoleh calon guru tersebut nantinya
untuk program pembelajaran untuk usia anak sekolah, dan secara disipiliner adalah ditujukan
kepada calon guru tersebut sebagai guru nantinya yang menguasai ilmu yang diajarkan.
Kurikulum 1994 dilaksanakan secara bertahap mulai tahun ajaran 1994 -1995 merupakan
pembenahan atas pelaksanaaan kurikulum 1984 setelah memperhatikan tuntutan perkembangan
dan keadaan masyarakat saat itu, khususnya yang menyangkut perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi dan seni. Demikian juga kebutuhan pembangunan dan gencarnya arus globalisasi,
dan evaluasi pelaksanaan kurikulum 1984 itu sendiri. Upaya pembaharuan kurikulum pendidikan
nampak saat diadakan serangkaian Rapat Kerja Nasional Depdikbud tahun 1986 sampai dengan
1989.
Pembenahan kurikulum ini didorong oleh amanat GBHN 1988 intinya antara lain a) perlunya
diteruskan upaya peningkatan mutu pendidikan di berbagai jenis dan jenjang pendidikan; (b)
perlunya persiapan perluasan wajib belajar pendidikan dasar dari enam tahun menjadi sembilan
tahun dan (c) perlunya segera dilahirkan undang-undang yang mengatur tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Pada tahun 2004, pemerintah Indonesia melakukan perubahan kurikulum kembali yang dikenal
dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Namun pengembangan kurikulum IPS
diusulkan menjadi Pengetahuan Sosial untuk merespon secara positif berbagai perkembangan
informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pembaharuan kurikulum Pendidikan IPS Tahun 2004 berbasis kompetensi atau dikenal
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menghendaki pelaksanaan program Pendidikan IPS
yang powerful, hal tersebut dicirikan oleh pengembangan program Pendidikan IPS yang
bermakna, integratif, berbasis nilai, menantang dan menerapkan prinsip belajar aktif. Pendidikan
IPS bertujuan meningkatkan kecakapan hidup (life skills) siswa untuk menjadi kompetensi yang
dapat digunakan dalam kehidupan sosial bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pendidikan IPS menurut konsep Kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi (KBK) hakekatnya
Pendidikan IPS sebagai pendidikan kewarganegaraan, pendidikan ilmu-ilmu sosial , pendidikan
inquiri reflektif, pembelajaran terpadu, dan pendidikan partisipasi sosial. Dalam
pelaksanaannya, pembelajarannya, pengembangan sumber dan materinya, serta penilainnya
haruslah berbasis pada pendekatan konstruktivisme yang memusatkan siswa sebagai subjek yang
membangun dan mengembangkan pengetahuan dan kompetensinya secara mandiri.
Pelaksanaan Kurikulum 2006 atau dikenal dengan sebutan Kurikulum Tingkat Satuan
merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum disamping
Standar Kompetensi Lulusan (SKL).
Pelaksanaan Kurikulum 2006 atau yang dikenal dengan sebutan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) terdapat beberapa hal yang patut dicermati yaitu :
1. Keragaman Pelaksanaan
Pelaksanaan KTSP di sekolah-sekolah terdapat keragaman, khususnya keragaman dalam
pelaksanaan di setiap jenjang. Ada sekolah yang melaksanakan sekaligus semua jenjang yaitu di
SD langsung dilaksanakan dari kelas 1 sampai dengan kelas 6 ; di SMP dari kelas VII sampai
dengan kelas IX; dan di SMA dari kelas X sampai dengan kelas XII. Selain itu ada pula
sekolah-sekolah yang melaksanakan secara berjenjang perkelas, misalnya di SMP pada tahun 2006
dilaksanakan hanya di kelas VII dan di kelas VIII pada tahun 2007 sedangkan di kelas IX baru
akan dilaksanakan pada tahun 2008.
Begitu pula halnya di SMA, pelaksanaan di kelas X pada tahun 2006, kelas XI tahun 2007, dan
kelas XII baru tahun 2008. Keragaman pelaksanaan tersebut memiliki berbagai alasan. Sekolah
yang melaksanakan KTSP secara keseluruhan pada semua jenjang beralasan agar kurikulum
yang dilaksanakan di sekolah tersebut seragam dan merasa siap untuk melaksanakannya.
Sedangkan sekolah yang melaksanakan secara berjenjang dengan alasan mengkuti peraturan
sebagaimana diatur dalam Permendiknas no. 23 yang mengatakan pelaksanaan KTSP dilakukan
secara berjenjang dan membolehkan bagi sekolah yang siap untuk melaksanakan di seluruh
jenjang. Alasan lainnya adalah ketidaksiapan sekolah-sekolah tersebut untuk melaksanakan
KTSP secara menyeluruh pada semua jenjang.
b. Tugas guru mengajar
Guru yang mengajar IPS baik di SD, SMP dan SMA mengikuti pada pengorganisasian materi
kurikulum IPS. Pengorganisasian kurikulum IPS di SD lebih bersifat terpadu atau integrasi, jadi
pelaksanaan pengajaran IPS di SD dipegang oleh satu orang guru. Perubahan pengorganisasian
materi IPS pada KTSP ini adalah di SMP. IPS di SMP diorganisasikan menjadi IPS Terpadu,
sehingga berimplikasi pada tugas guru yang mengajar. Dalam hal ini bagaimana guru IPS di
SMP mengajar terjadi keragaman. Ada sekolah yang mengajarkan IPS di SMP dipegang oleh
satu orang.
Konsekuensinya, guru tersebut harus`mengajar sejarah, ekonomi, geografi dan sosiologi.
Pelaksanaan seperti itu beralasan bahwa mata pelajaran IPS merupakan mata pelajaran yang satu,
bukan mata pelajaran yang dipisah-pisahkan walaupun materinya bersumber dari sejarah,
ekonomi, geografi dan sosiologi. Selain itu ada pula SMP yang mengajarkan IPS, dipegang oleh
beberapa orang guru sesuai dengan disiplinnya, yaitu sejarah, ekonomi, geografi dan sosiologi.
Jadi pelaksanaan pengajaran IPS dibagi ke dalam empat bidang studi.
berkualitas, misalnya sejarah diajarkan oleh guru yang berlatar belakang pendidikan geografi
atau sebaliknya. Sedangkan pengajaran IPS di SMA dalam implementasi penugasan guru tidak
terjadi perubahan sebagaimana halnya di SMP, karena pengorganisasian materi IPS di SMA
Kajian Kebijakan Kurikulum MP IPS – 2007 sudah terpisah-pisah secara disiplin. Jadi ada guru
yang secara khusus`mengajar sejarah, ekonomi, geografi dan sosiologi.
1. LANDASAN FILOSOFIS PENDIDIKAN IPS DALAM KURIKULUM
PENDIDIKAN DI INDONESIA
Bangsa Indonesia dilihat dari latar belakang etnik atau kesukuan merupakan sebaran suku-suku
bangsa yang mendiami wilayah Indonesia dengan disatukan sebagai bangsa yang mempunyai
latar belakang keaneka ragaman bahasa daerah, budaya dan kearifan lokal yang dimiliki
masing-masing etnik. Secara keseluruhan bangsa Indonesia saat ini dikenal sebagai bangsa yang
majemuk atau heterogenitas multi etnik yang merupakan bagaian dari masyarakat yang
pluralistik.
Dengan kemajemukan masyarakat tersebut pendidikan dan pengajaran Ilmu Pengetahuan Sosial
(IPS) memiliki peran yang strategis baik ditinjau dari segi akademik maupun kepentingan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Dilihat dari sisi akademik pendidikan dan pengajaran IPS
dapat membekali anak didik atau siswa pada pemahaman konsep-konsep dasar ilmu –ilmu sosial
sebagai basis dari pendidikan dan pengajaran IPS di jenjang lembaga pendidikan atau
persekolahan.
Melalui pendidikan dan pengajaran IPS siswa diharapkan memiliki bakat dan minat terhadap
ilmu-ilmu sosial dan dapat memecahkan persoalan-persoalan yang riil ketika mereka tamat pada
jenjang persekolahan tertentu dan dapat hidup berinteraksi dalam lingkungan masyarakat sebagai
insan pembangunan bangsa yang memiliki moral, pekerti yang baik dan mandiri. Keberehasilan
pendidikan dan pengajaran IPS akan dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap
pembangunan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pendidikan dan pengajaran IPS di Indonesia sudah mendapatkan landasan hukum yang kuat
sebagaimana tertuang pada Bab III Pasal 2 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang menegaskan bahwa : ” Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermanfaat dalam rangka mencerdasakan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggungjawab”.
Untuk Pendidikan dan Pengajaran IPS pada satuan Pendidikan Dasar (SD/MI dan SMP/Mts)
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, termasuk didalamnya kelompok mata
pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, pengajaran pada satuan pendidikan IPS diberikan
secara terpadu. Pada tingkat SMA/MA pelajaran IPS bermuatan akademis dan masuk pada
kelompok mata pelajaran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
1. Kajian Teoritis Landasan Filosofis Kurikulum Pendidikan IPS
Pengembangan suatu kurikulum haruslah memiliki landasan filosofis, dimaksudkan agar
memiliki arah dan tujuan yang jelas dalam implimentasinya. Filsafat pendidikan mengandung
suatu nilai-nilai atau cita-cita masyarakat, berdasarkan cita-cita tersebut terdapat sebuah
landasan, yang tidak lain mau dibawa kemana arah pendidikan anak didik tersebut. Dengan kata
lain filsafat pendidikan merupakan pandangan hidup masyarakat.
Filsafat pendidikan menjadi landasan untuk merancang tujuan pendidikan, prinsif – prinsif
pembelajaran, serta perangkat pengalaman belajar yang bersifat mendidik. Filsafat pendidikan
dipengaruhi oleh dua hal pokok (1) Cita-cita masyarakat dan (2) kebutuhan peserta didik yang
hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai filsafat Pendidikan harus dilaksanakan dalam prilaku
kehidupan sehari-hari. Dari sekian banyak alternatif landasan utama dalam mengembangkan
kurikulum pendidikan salah satunya adalah Landasan Filosofis.
Secara teoritis terdapat beberapa pandangan filosofis kurikulum, Landasan Filosofis
sebagaimana dipaparkan dalam “Naskah Akademik Kajian Kebijakan Kurikulum Mata
Pelajaran IPS” Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum 2007, Depdiknas RI
dirincikan sebagai berikut :
(1) Esensialisme
Esensialisme; adalah aliran yang menggariskan bahwa kurikulum harus menekankan pada
penguasaan ilmu. Aliran ini berpandangan bahwa, pendidikan pada dasarnya adalah pendidikan
keilmuan. Kurikulum yang dikembangkan dalam aliran esensialisme adalah kurikulum disiplin
ilmu. Tujuan dari aliran esensialisme adalah menciptakan intelektualisme. Proses
belajar-mengajar yang dikembangkan adalah siswa harus memiliki kemampuan penguasaan disiplin
ilmu. Penerapan pembelajaran ini lebih banyak berperan pada guru jika dibandingkan dari siswa.
Sekolah yang baik dalam pandangan filsafat esensialisme adalah sekolah yang mampu
mengembangkan intelektualisme siswa. Implementasi mata pelajaran IPS menurut aliran
esensialisme akan lebih menekankan IPS pada aspek kognitif (pengetahuan) jika dibandingkan
dengan aspek afektif (sikap). Siswa belajar IPS akan lebih berorientasi pada pemahaman
konsep-konsep IPS daripada penerapan materi yang ada pada IPS bagi kehidupan sehari-hari.
(2) Perenialsme
menjadi sangat ideologis karena dengan pandangan-pandangan ini menjadikan siswa atau peserta
didik sebagai warga Negara yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diinginkan
oleh Negara. Pandangan perenialisme lebih menekankan pada Transfer Budaya (transfer of
culture), seperti dalam Implementasinya pada kurikulum IPS yang bertujuan pada
pengembangan dan pembangunan jati diri bangsa peserta didik dalam rangka menuju tercapainya
integrasi bangsa. Aliran ini juga dikenal menekankan pada kebenaran yang absolut, kebenaran
universal yang tidak terikat pada ruang dan waktu, aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu.
(3) Progresivisme
Progresivisme; adalah aliran ini memandang bahwa sekolah memiliki tujuan yakni kecerdasan
yang praktis dan membuat siswa lebih efektif dalam memecahkan berbagai masalah yang
disajikan oleh guru atau pendidik. Masalah tersebut biasanya ditemukan berdasarkan
pengalaman siswa. Pembelajaran yang harus dikembangkan oleh aliran Progresivisme adalah
memperhatikan kebutuhan individual yang dipengaruhi oleh latar belakang sosial-budaya dan
mendorong untuk berpartisipasi aktif sebagai warga Negara dewasa, terlibat dalam pengambilan
keputusan, dan memiliki kemampuan dalam memecahkan masalah pada kehidupan sehari-hari.
Implementasi IPS dalam pandangan aliran filsafat Progresivisme adalah bagaimana mata
pelajaran IPS mampu membekali kepada siswa agar dapat memecahkan
permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-harinya, misalnya kemiskinan,
pengangguran, kebodohan, ketertinggalan, kenakalan remaja atau narkoba dan lainnya.
(4) Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme; adalah aliran ini berpendapat bahwa sekolah harus diarahkan kepada
pencapaian tatanan demokrasi yang mendunia. Aliran filsafat ini menghendaki agar setiap
individu dan kelompok tanpa mengabaikan nilai-nilai masa lalu, mampu mengembangkan
pengetahuan, teori, atau pandangan tertentu yang paling relevan dengan kepentingan mereka
melalui pemberdayaan peserta didik dalam proses pembelajaran guna memproduksipengetahuan
baru. Dalam pandangan aliran filsafat ini lebih menekankan agar siswa dalam pembelajaran
mampu menemukan (inquiri), penemuan yang bersifat informasi baru bagi siswa berdasarkan
bacaan yang ia lakukan. Pembelajaran lebih ditekankan pada proses bukan hasilnya. Aktivitas
siswa menjadi perioritas utama dalam berlangsungnya pembelajaran.
Dalam implementasi pembelajaran IPS , misalnya siswa mempelajari fakta-fakta disekelilingnya,
berdasarkan fakta tersebut siswa menemukan definisi mengenai sesuatu, tanpa harus
didefinisikan terlebih dahulu oleh guru. Misalnya dalam pelajaran ekonomi diperkenalkan
adanya fakta orang yang mekakukan kegiatan jual – beli. Setelah melihat aktivitas
orang-orang tersebut akhirnya siswa menemukan definisi mengenai penjualan, pembelian, penawaran,
pasar, uang dan lainnya dalam aktivitas jual-beli. Dengan demikian guru tidak menjelaskan atau
membuat definisi, tetapi dari fakta-fakta tersebut siswalah yang aktif melihat fakta dan dapat
mendifinisikannya.
Perkembangan zaman menuntut perubahan sosial di semua lapisan masyarakat, kemajuan
informasi dan teknologi global merambah negara maju dan negara sedang berkembang termasuk
Indonesia saat ini. Untuk mengimbangi perkembangan dan kemajuan tersebut profil guru harus
mampu melakukan seleksi aneka kecenderungan siswa dalam mengarahkan proses belajar-
mengajar pendidikan IPS. Guru IPS harus pandai memanfaatkan sumber-sumber informasi dari
media massa modern dan peralatan teknologi pengajaran, tetapi tetap dalam koridor kurikulum
yang dipakai saat ini guru senantiasa mengikuti perkembangan dan perubahan – perubahan yang
terjadi.
Secara sadar atau tidak guru IPS ikut aktif dalam tatanan kerja masa transisi yang sedang populer
saat ini dalam kemajuan belajar melalui Informasi Teknologi, paling tidak guru IPS harus
dipertautkan kembali dalam keterlibatan filosofis atau filsafat yang berkembang khususnya
dalam bidang pendidikan. Ada dua aliran filsafat ekstreminitas ; pertama sikap reaksioner ;
adalah aliran yang paling hati-hati dan takut kepada pembaharuan; dan kedua sikap
Radikal ;adalah sikap paling keranjingan atau mendukung pembaharuan. Dengan dua sikap
ekstreminitas diatas, maka guru IPS dalam pendekatan pribadi dapat menempati salah satu empat
titik utama yang terletak diantara dua ekstreminitas tersebut.
N. Daldjoeni dalam buku beliau “Dasar-dasar Ilmu Pengetahuan Sosial” (1992 : 37 – 38)
merincikan Empat Titik Utama secara filosofis bagi kinerja guru IPS dalam melakukan seleksi
diantara dua ekstreminitas perkembangan dan perubahan zaman tersebut adalah sebagai berikut :
(1) Perenialisme; itu berdasarkan keyakinan adanya kebenaran yang sifatnya abadi dan mutlak.
Sehubungan dengan itu sekolah bertugas membantu para siswa menemukan
kebenaran-kebanaran itu. Faham ini berakar pada filsafat Thomas Aquino.
(2) Esensialisme; berisi faham bahwa ada hakekat-hakekat minimum tertentu yang harus
dipertahankan sekolah. Hakekat tersebut dapat berubah-ubah dalam rentangan zaman, tetapi
untuk masa tertentu hakekat itu merupakan endapan dari pengetahuan dan kebijaksanaan yang
berasal dari masa lampau. Inilah yang perelu diterimakan kepada generasi sekarang di sekolah.
(3) Progresivisme; beretalian dengan faham William James dan John Dewey tentang faham
‘pragmatisme’, dimana penyelelidikan sesuatu harus dilakukan secara ilmiah. Dalam hal itu
sekolah merupakan pendahulunya.
(4) Rekonstruksionisme; meskip ini mirip dengan Progresivisme, akan tetapi lebih maju lagi,
karena secara konkrit ini lebih mendekati tujuan yang diidamkan oleh progresivisme. Karena itu
sekolah diharapkan menjadi pelopor usaha pembaharuan masyarakat. Filsafat ini dari Theodore
Brameld.
1. PENUTUP
1. Kesimpulan
tersebut adalah orang pertama yang berjasa memasukan Social Studies kedalam kurikulum
sekolah. Pada awal abad ke – 20 sebuah Komite Nasional dari The National Education
Assciation memberikan rekomendasi tentang perlunya social studies dimasukan ke dalam
kurikulum sekolah dasar dan sekolah menengah di Amerika Serikat.
Tahun 1921 berdirilah “National Council for the Social Studies “ atau disingkat ( NCSS ),
sebuah organisasi professional yang secara khusus membina dan mengembangkan social studies
pada tingkat pendidikan dasar dan menengah, serta kaitannya dengan disiplin ilmu – ilmu
sosial dan disiplin ilmu pendidikan sebagai program pendidikan syntectic. Pada pertemuan
ilimiah dalam sebuah seminar Nasional Indonesia tentang
Civic Education
tahun 1972 di
Tawangmangu Solo Jawa Tengah, dalam paparan seminar tersebut ditawarkanlah 3 (tiga) istilah
untuk dimasukan dalam pendidikan kewarganegaraan di Indonesia. Pertama; Istilah Pengetahuan
sosial; kedua, Studi Sosial (Social Studies) dan ketiga , Ilmu Pengetahuan Sosial.
Pada tahun 1972 – 1973 sudah pernah dilakukan uji coba pertama konsep IPS masuk
dipersekolahan Indonesia diterapkan pada kurikulum proyek Perintis Sekolah Pembangunan
(PPSP) IKIP Bandung. Kemudian secara resmi dalam kurikulum 1975 program pendidikan
tentang masalah sosial dipandang tidak cukup diajarkan melalui pelajaran sejarah dan geografi
saja, sehingga dilakukan reeduksi mata pelajaran mulai tingkat Sekolah Dasar hingga Sekolah
Menengah Atas saat itu dimasukan mata pelajaran ilmu social serumpun atau sejenis digabung ke
dalam mata pelajaran IPS. Oleh karena itu perberlakuan istilah IPS (social studies) dalam
kurikulum 1975 dapat dikatakan sebagai kelahiran IPS secara resmi di Indonesia.
Tahun 1993 National Council for the Social Studies (NCSS) mengeluarkan definisi resmi yang
membawa social studies sebagai kajian yang terintegrasi dan mencakup ilmu yang semakin
luas. NCSS memaparkan kurikulum standar untuk studi sosial menyediakan kerangka kerja
yang dimusyawarahkan secara professional. NCSS pertamakali menerbitkan standar kurikulum
nasional pada tahun 1994. Sejak saat itu standar kurikulum banyak digunakan diberbagai negara
sebagai kerangka kerja bagi guru dan sekolah – sekolah untuk menyelaraskan kurikulum dan
pembangunan dalam bidang pendidikan.
Kurikulum 1994 dilaksanakan secara bertahap mulai tahun ajaran 1994 -1995 merupakan
pembenahan atas pelaksanaaan kurikulum 1984 setelah memperhatikan tuntutan perkembangan
dan keadaan masyarakat saat itu, khususnya yang menyangkut perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi dan seni. Pembenahan kurikulum ini didorong oleh amanat GBHN 1988 intinya
antara lain a) perlunya diteruskan upaya peningkatan mutu pendidikan di berbagai jenis dan
jenjang pendidikan; (b) perlunya persiapan perluasan wajib belajar pendidikan dasar dari enam
tahun menjadi sembilan tahun dan (c) perlunya segera dilahirkan undang-undang yang mengatur
tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pada tahun 2004, pemerintah Indonesia melakukan perubahan kurikulum kembali yang dikenal
dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Namun pengembangan kurikulum IPS
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menghendaki pelaksanaan program Pendidikan IPS
yang powerful, hal tersebut dicirikan oleh pengembangan program Pendidikan IPS yang
bermakna, integratif, berbasis nilai, menantang dan menerapkan prinsip belajar aktif. Pendidikan
IPS bertujuan meningkatkan kecakapan hidup (life skills) siswa untuk menjadi kompetensi yang
dapat digunakan dalam kehidupan sosial bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pelaksanaan Kurikulum 2006 atau dikenal dengan sebutan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) mengacu pada standar nasional pendidikan; standar isi, proses, kompetensi
lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaaan, pembiayaan dan penilaian
pendidikan. Salah satu dari delapan standar nasional pendidikan tersebut adalah Standar Isi (SI)
merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum disamping
Standar Kompetensi Lulusan (SKL).
Pengembangan suatu kurikulum haruslah memiliki landasan filosofis, dimaksudkan agar
memiliki arah dan tujuan yang jelas dalam implimentasinya. Filsafat pendidikan mengandung
suatu nilai-nilai atau cita-cita masyarakat, berdasarkan cita-cita tersebut terdapat sebuah
landasan, yang tidak lain mau dibawa kemana arah pendidikan anak didik tersebut. Dengan kata
lain filsafat pendidikan merupakan pandangan hidup masyarakat.
Secara teoritis terdapat beberapa pandangan filosofis kurikulum, Landasan Filosofis
sebagaimana dipaparkan dalam “Naskah Akademik Kajian Kebijakan Kurikulum Mata
Pelajaran IPS ” Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum Tahun 2007, Depdiknas
RI dirincikan sebagai berikut berikut : pertama; Esensialisme; adalah aliran yang menggariskan
bahwa kurikulum harus menekankan pada penguasaan ilmu Tujuan dari aliran esensialisme
adalah menciptakan intelektualisme Sekolah yang baik dalam pandangan filsafat esensialisme
adalah sekolah yang mampu mengembangkan intelektualisme siswa. kedua Perenialsme; adalah
aliran yang memandang , bahwa sasaran yang harus dicapai oleh pendidikan adalah kepemilikan
atas prinsip-prinsip tentang kenyataan, kebenaran dan nilai yang abadi, serta tidak terkait oleh
ruang dan waktu. Dalam pandangan aliran Perenialisme kurikulum akan menjadi sangat
ideologis karena dengan pandangan-pandangan ini menjadikan siswa atau peserta didik sebagai
warga Negara yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diinginkan oleh Negara.
Ketiga; Progresivisme; adalah aliran ini memandang bahwa sekolah memiliki tujuan yakni
kecerdasan yang praktis dan membuat siswa lebih efektif dalam memecahkan berbagai masalah
yang disajikan oleh guru atau pendidik. aliran Progresivisme adalah memperhatikan kebutuhan
individual yang dipengaruhi oleh latar belakang sosial-budaya dan mendorong untuk
berpartisipasi aktif sebagai warga Negara dewasa, terlibat dalam pengambilan keputusan, dan
memiliki kemampuan dalam memecahkan masalah pada kehidupan sehari-hari. Implementasi
IPS dalam pandangan aliran filsafat Progresivisme adalah bagaimana mata pelajaran IPS mampu
membekali kepada siswa agar dapat memecahkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi
dalam kehidupan sehari-harinya, misalnya kemiskinan, pengangguran, kebodohan,
ketertinggalan, kenakalan remaja atau narkoba dan lainnya.
pengetahuan, teori, atau pandangan tertentu yang paling relevan dengan kepentingan mereka
melalui pemberdayaan peserta didik dalam proses pembelajaran guna memproduksipengetahuan
baru. Dalam pandangan aliran filsafat ini lebih menekankan agar siswa dalam pembelajaran
mampu menemukan (inquiri), penemuan yang bersifat informasi baru bagi siswa berdasarkan
bacaan yang ia lakukan. Pembelajaran lebih ditekankan pada proses bukan hasilnya. Aktivitas
siswa menjadi perioritas utama dalam berlangsungnya pembelajaran.
1. Saran – Saran
Guru IPS harus berperan aktif dalam tatanan kerja dimana saat ini sedang dalam kemajuan
belajar melalui Informasi Teknologi, paling tidak guru IPS harus dipertautkan kembali dalam
keterlibatan filosofis atau filsafat yang berkembang khususnya dalam bidang pendidikan. Ada
dua aliran filsafat ekstreminitas ; pertama sikap reaksioner ; adalah aliran yang paling hati-hati
dan takut kepada pembaharuan; dan kedua sikap Radikal ;adalah sikap paling keranjingan atau
mendukung pembaharuan. Dengan dua sikap ekstreminitas diatas, maka guru IPS dalam
pendekatan pribadi dapat menempati salah satu titik utama yang terletak diantara dua
ekstreminitas tersebut.
Agar jangan sampai dinilai oleh siswa sebagai guru yang kolot dan ketinggalan, sebaiknya guru
atau pengajar harus banyak belajar seiring dengan kemajuan Informasi dan teknologi, karena
perkembangan informasi Global membuka seluas-luasnya pelajaran di dunia maya, internet dan
media massa, paling tidak guru mampu mengimbangi proses-belajar mengajar dengan
memanfaatkan peralatan teknologi sebagai alat pengajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Ansori
, A., 2011. 52 Kajian Kebijakan Kurikulum Ips. [Online]. Tersedia
:
http://www.slideshare.net/Dwijosusilo/52-kajian-kebijakan-kurikulum-ips
[24 September 2011.
Jam 18.04 WITA]
Ardhian, T., 2011. Landasan Kurikulum IPS. [Online]. Tersedia :
http://trioardhian.blogspot.com/2011/05/landasan-kurikulum-ips.html [30
sept 2011 diakses jam
16.50 wita]
Bambang A. Soekisno, R., 2007. Bagaimanakah Perjalanan Kurikulum Nasional (pada
Pendidikan Dasar dan Menengah) ?. [Online]. Tersedia :
http://rbaryans.wordpress.com/2007/05/16/bagaimanakah-perjalanan-kurikulum-nasional-pada-pendidikan-dasar-dan-menengah/
[30 Sept 2011 diakses jam 15.03 wita]
Daldjoeni, N., 1992. Dasar –dasar Ilmu Pengetahuan Sosial, Bandung : Penerbit Alumni
Depdiknas, 2007. Naskah Akdemik Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Ilmu
Gunawan, 2009. Filosofi Dasar dalam Pengembangan Kurikulum Sekolah. [Online]. Tersedia :
http://bloggersumut.net/pendidikan/filosofi-dasar-dalam-pengembangan-kurikulum-sekolah [30
Sept 2011 diakses jam 15.10 wita]
Haslinda, 2010. Makalah Pendidikan IPS. [Online]. Tersedia : (http
://haslindafadillah,blogspot.com/2010/11/makalah-pendidikan-ips.html [27 Sept 2011 diakses
jam 20.44.wita]
Liewie, 2009. Filosofi Pendidikan. [Online]. Tersedia :
http:
//id.shvoong.com/humanities/philosophy/1947159-filosofi-pendidikan/
[27 September 2011
diakses jam 16.40 Wita]
NCSS, 2000. National Standar for Social Studies Teachers :Executive Summary. [Online].
Tersedia :
http://www.socialstudies.org/standards/execsummary [30
Sept 2011 diakses jam 10.34
wita]
Rijono, 2008.
Kurikulum 2004 (KBK) & Kurikulum 2006 (KTSP) Memang Berbeda
Secara
Signifikan
. [Online]. Tersedia :
http://rijono.wordpress.com/2008/02/28/kurikulum-2004-kbk-kurikulum-2006-ktsp-memang-berbeda-secara-signifikan/
[30 Sept 2011 diakses jam 14.38
wita]
Sukadi, 2004. Pendidikan IPS yang Powerful dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi. Laporan
Penelitian.Singaraja: IKIP negeri Singaraja.
PARADIGMA PENDIDIKAN MASA DEPAN
PENDAHULUAN
Selama tiga dasawarsa terakhir, dunia pendidikan Indonesia secara kuantitatif telah berkembang sangat cepat. Pada tahun 1965 jumlah sekolah dasar (SD) sebanyak 53.233 dengan jumlah murid dan guru sebesar 11.577.943 dan 274.545 telah meningkat pesat menjadi 150.921 SD dan 25.667.578 murid serta 1.158.004 guru (Pusat Informatika, Balitbang Depdikbud, 1999). Jadi dalam waktu sekitar 30 tahun jumlah SD naik sekitar 300%. Sudah barang tentu perkembangan pendidikan tersebut patut disyukuri. Namun sayangnya, perkembangan pendidikan tersebut tidak diikuti dengan peningkatan kualitas pendidikan yang sepadan. Akibatnya, muncul berbagai ketimpangan pendidikan di tengah-tengah masyarakat, termasuk yang sangat menonjol adalah: a) ketimpangan antara kualitas output pendidikan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan, b) ketimpangan kualitas pendidikan antar desa dan kota, antar Jawa dan luar Jawa, antar pendudukkaya dan penduduk miskin. Di samping itu, di dunia pendidikan juga muncul dua problem yang lain yang tidak dapat dipisah dari problem pendidikan yang telah
Pertama, pendidikan cenderung menjadi sarana stratifikasi sosial. Kedua, pendidikan sistem persekolahan hanya mentransfer kepada peserta didik apa yang disebut thedead knowledge, yakni pengetahuan yang terlalu bersifat text-bookish sehingga bagaikan sudah diceraikan baik dari akar sumbernya maupun aplikasinya.
Berbagai upaya pembaharuan pendidikan telah dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi sejauh ini belum menampakkan hasilnya. Mengapa kebijakan pembaharuan pendidikan di tanah air kita dapat dikatakan senantiasa gagal menjawab problem masyarakat? Sesungguhnya kegagalan berbagai bentuk pembaharuan pendidikan di tanah air kita bukan semata-mata terletak pada bentuk pembaharuan pendidikannya sendiri yang bersifat erratic, tambal sulam, melainkan lebih mendasar lagi kegagalan tersebut dikarenakan ketergantungan penentu kebijakan pendidikan pada penjelasan paradigma peranan pendidikan dalam perubahan sosial yang sudah usang. Ketergantungan ini
menyebabkan adanya harapan-harapan yang tidak realistis dan tidak tepat terhadap efikasi pendidikan.
PerananPendidikan:MitosatauRealitas?
Pembangunan merupakan proses yang berkesinambungan yang mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk aspek sosial, ekonomi, politik dan kultural, dengan tujuan utama meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara keseluruhan. Dalam proses pembangunan tersebut peranan pendidikan amatlah strategis.
John C. Bock, dalam EducationandDevelopment:A ConflictMeaning (1992), mengidentifikasi peran pendidikan tersebut sebagai : a) memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural bangsa, b) mempersiapkan tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, dan mendorong perubahan sosial, dan c) untuk meratakan kesempatan dan pendapatan. Peran yang pertama merupakan fungsi politik pendidikan dan dua peran yang lain merupakan fungsi ekonomi.
Berkaitan dengan peranan pendidikan dalam pembangunan nasional muncul dua paradigma yang menjadi kiblat bagi pengambil kebijakan dalam pengembangan kebijakan pendidikan: Paradigma Fungsional dan paradigma Sosialisasi. Paradigma fungsional melihat bahwa keterbelakangan dan kemiskinan dikarenakan masyarakat tidak mempunyai cukup penduduk yang memiliki pengetahuan, kemampuan dan sikap modern. Menurut pengalaman masyarakat di Barat, lembaga pendidikan formal sistem persekolahan merupakan lembaga utama mengembangkan pengetahuan, melatih kemampuan dan keahlian, dan menanamkan sikap modern para individu yang diperlukan dalam proses
pembangunan. Bukti-bukti menunjukkan adanya kaitan yang erat antara pendidikan formal seseorang dan partisipasinya dalam pembangunan. Perkembangan lebih lanjut muncul, tesis Humanlnvestmen,
yang menyatakan bahwa investasi dalam diri manusia lebih menguntungkan, memiliki economic rateof
return yang lebih tinggi dibandingkan dengan investasi dalam bidang fisik.
Sejalan dengan paradigma Fungsional, paradigma Sosialisasi melihat peranan pendidikan dalam
pembangunan adalah: a) mengembangkan kompetensi individu, b) kompetensi yang lebih tinggi tersebut diperlukan untuk meningkatkan produktivitas, dan c) secara urnum, meningkatkan kemampuan warga masyarakat dan semakin banyaknya warga masyarakat yang memiliki kemampuan akan meningkatkan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, berdasarkan paradigma sosialisasi ini, pendidikan harus diperluas secara besar-besaran dan menyeluruh, kalau suatu bangsa menginginkan kemajuan.
serpihan-serpihan tersebut: nilai, indeks prestasi, ranking, rata-rata nilai, kepatuhan, ijazah.
Paradigma pendidikan lnput-Proses-Output, telah menjadikan sekolah bagaikan proses produksi. Murid diperlakukan bagaikan raw-input dalam suatu pabrik. Guru, kurikulum, dan fasilitas diperlakukan sebagai
instrumentalinput. Jika raw-input dan instrumental input baik, maka akan menghasilkan proses yang baik
dan akhirnya baik pula produkyang dihasilkan. Kelemahan paradigma pendidikan tersebut nampak jelas, yakni dunia pendidikan diperlakukan sebagai sistem yang bersifat mekanik yang perbaikannya bisa bersifat partial, bagian mana yang dianggap tidak baik. Sudah barang tentu asumsi tersebut jauh dari realitas dan salah. Implikasinya, sistem dan praktek pendidikan yang mendasarkan pada paradigma pendidikan yang keliru cenderung tidak akan sesuai dengan realitas. Paradigma pendidikan tersebut di atas tidak pernah melihat pendidikan sebagai suatu proses yang utuh dan bersifat organik yang merupakan bagian dari proses kehidupan masyarakat secara totalitas.
Kedua, para pengambil kebijakan pemerintah menjadikan pendidikan sebagai engine of growth, penggerak dan loko pembangunan. Sebagai penggerak pembangunan maka pendidikan harus mampu menghasilkan invention dan innovation, yang merupakan inti kekuatan pembangunan. Agar berhasil melaksanakan fungsinya, maka pendidikan harus diorganisir dalam suatu lembaga pendidikan formal sistem persekolahan, yang bersifat terpisah dan berada di atas dunia yang lain, khususnya dunia ekonomi. Bahkan pendidikan harus menjadi panutan dan penentu perkembangan dunia yang lain, khususnya, dan bukan sebaliknya perkembangan ekonomi menentukan perkembangan pendidikan. Dalam lembaga pendidikan formal inilah berbagai ide dan gagasan akan dikaji, berbagai teori akan dluji, berbagai teknik dan metode akan dikembangkan, dan tenaga kerja dengan berbagai jenis kemampuan akan dilatih.
Sesuai dengan peran pendidikan sebagai engineof growth, dan penentu bagi perkembangan
masyarakat, maka bentuk sistem pendidikan yang paling tepat adalah single track dan diorganisir secara terpusat sehingga mudah diarahkan untuk kepentingan pembangunan nasional. Lewat jalur tunggal inilah lembaga pendidikan akan mampu menghasilkan berbagai tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Agar proses pendidikan efisien dan etektif, pendidikan harus disusun dalam struktur yang bersifat rigid, manajemen (bersifat sentralistis, kurikulum penuh dengan pengetahuan dan teori-teori (textbookish).
Namun, pengalaman selama ini menunjukkan, pendidikan nasional sistem persekolahan tidak bisa berperan sebagai penggerak dan loko pembangunan, bahkan Gass (1984) lewat tulisannya berjudul
EducationversusQualifications menyatakan pendidikan telah menjadi penghambat pembangunan
ekonomi dan teknologi, dengan munculnya berbagai kesenjangan: kultural, sosial, dan khususnya kesenjangan vokasional dalam bentuk melimpahnya pengangguran terdidik.
Berbagai problem pendidikan yang muncul tersebut di atas bersumber pada kelemahan pendidikan nasional sistem persekolahan yang sangat mendasar, sehingga tidak mungkin disempurnakan hanya lewat pembaharuan yang bersifat tambal sulam (Erratic). Pembaharuan pendidikan nasional sistem persekolahan yang mendasar dan menyeluruh harus dimulai dari mencari penjelasan baru atas paradigma peran pendidikan dalam pembangunan.
Penjelasan paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan yang diikuti oleh para penentu kebijakan kita dewasa ini memiliki kelemahan, baik teoritis maupun metodologis. Pertama, tidak dapat diketemukan secara tepat dan pasti bagaimana proses pendidikan menyumbang pada peningkatan kemampuan individu. Memang secara mudah dapat dikatakan bahwa pendidikan formal akan mengembangkan kemampuan yang diperlukan untuk memasuki sistem teknologi produksi yang semakin kompleks. Tetapi, dalam kenyataannya, kemampuan teknologis yang diterima dari lembaga pendidikan formal tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada. Di samping itu, adanya perubahan di bidang teknologi yang cepat, justru melahirkan apa yang disebut dengan de-skilledprocess, yakni dunia industri memerlukan tenaga kerja dengan keahlian yang lebih sederhana dengan jumlah tenaga kerja yang lebih sedikit.
Bukannya pendidikan muncul terlebih dahulu, kemudian akan muncul pembangunan ekonomi, melainkan bisa sebaliknya, tuntutan perluasan pendidikan terjadi sebagai akibat adanya pembangunan ekonomi dan politik. Dengan kata lain, pendidikan sistem persekolahan bukannya engine of growth, melainkan gerbong dalam pembangunan. Perkemkembangan pendidikan tergantung pada pembangunan ekonomi. Sebagai bukti, karena hasil pembangunan ekonomi tidak bisa dibagi secara merata, maka konsekuensinya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan tidak juga bisa sama di antara berbagai kelompok masyarakat, sebagaimana terjadi dewasa ini.
Ketiga, paradigma fungsional dan sosialisasi juga memiliki asumsi bahwa pendapatan individu
mencerminkan produktivitas yang bersangkutan. Secara makro upah tenaga kerja erat kaitannya dengan produktivitas. Dalam realitas asumsi ini tidak pernah terbukti. Upah dan produktivitas tidak selalu sering. Implikasinya adalah bahwa kesimpulan kajian selama ini yang selalu menunjukkan bahwa economic rate
of returndan pendidikan di negara kita adalah sangat tinggi, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
investasi di bidang lain, adalah tidak tepat, sehingga perlu dikaji kembali.
Keempat, paradigma sosialisasi hanya berhasil menjelaskan bahwa pendidikan memiliki peran mengembangkan kompetensi individual, tetapi gagal menjelaskan bagaimana pendidikan dapat meningkatkan kompetensi yang lebih tinggi untuk meningkatkan produktivitas. Secara riil pendidikan formal berhasil meningkatkan pengetahuan dan kemampuan individual yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi modern. Semakin lama waktu bersekolah semakin tinggi pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Namun, Randal Collins, lewat karyanya TheCredential
Society:AnHistoricafSosiologyofEducationandStratification (1979) menentang tesis ini. Berbagai bukti
tidak mendukung tesis atas tuntutan pendidikan untuk memegang suatu pekerjaan-pekerjaan tersebut. Pekerja dengan pendidikan formal yang lebih tinggi tidak harus diartikan memiliki produktivitas lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja .yang memiliki pendidikan lebih rendah. Banyak keterampilan dan keahlian yang justru dapat banyak diperoleh sambil menjalankan pekerjaan di dunia kerja formal. Dengan kata lain, tempat bekerja bisa berfungsi sebagai lembaga pendidikan yang lebih canggih.
ParadigmaBaru:PendidikanSistemik-Organik
Pembaharuan pendidikan nasional persekolahan harus didasarkan pada paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan nasional yang tepat, sesuai dengan realitas masyarakat dan kultur bangsa sendiri.
Paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan tidak bersifat linier dan unidimensional, sebagaimana dijelaskan oleh paradigma Fungsional dan Sosialisasi di atas. Melainkan, peranan
pendidikan dalam pembangunan sangat kompleks dan bersifat interaksional dengan kekuatan-kekuatan pembangunan yang lain. Dalam konstelasi semacam ini, pendidikan tidak bisa lagi disebut sebagai
engineofgrowth, sebab kemampuan dan keberhasilan lembaga pendidikan formal sangat terkait dan
banyak ditentukan oleh kekuatan-kekuatan yang lain, terutama kekuatan ekonomi umumnya dan dunia kerja pada khususnya. Hal ini membawa konsekuensi bahwa lembaga pendidikan sendiri tidak bisa meramalkan jumlah dan kualifikasi tenaga kerja yang diperlukan oleh dunia kerja, sebab kebutuhan tenaga kerja baik jumlah dan kualifikasi yang diperlukan berubah dengan cepat sejalan kecepatan perubahan ekonomi dan masyarakat.
Paradigma peran pendidikan dalam pembangunan yang bersifat kompleks dan interaktif, melahirkan paradigma pendidikan Sistemik-Organik dengan mendasarkan pada dokrin ekspansionisme dan teleologi. Ekspansionisme merupakan doktrin yang menekankan bahwa segala obyek, peristiwa dan pengalaman merupakan bagian-bagian yang tidak terpisahkan dari suatu keseluruhan yang utuh. Suatu bagian hanya akan memiliki makna kalau dilihat dan dikaitkan dengan keutuhan totalitas, sebab keutuhan bukan sekedar kumpulan dari bagian-bagian. Keutuhan satu dengan yang lain berinteraksi dalam sistem terbuka, karena jawaban suatu problem muncul dalam suatu kesempatan berikutnya.
khusus dan mandiri, dan, 4) Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan.
Paradigma pendidikan Sistemik-Organik menuntut pendidikan bersifat doubletracks. Artinya, pendidikan sebagai suatu proses tidak bisa dilepaskan dari perkembangan dan dinamika masyarakatnya. Dunia pendidikan senantiasa mengkaitkan proses pendidikan dengan masyarakatnya pada umumnya, dan dunia kerja pada khususnya. Keterkaitan ini memiliki arti bahwa prestasi peserta didik tidak hanya ditentukan oleh apa yang mereka lakukan di lingkungan sekolah, melainkan prestasi perserta didik juga ditentukan oleh apa yang mereka kerjakan di dunia kerja dan di masyarakat pada umumnya. Dengan kata lain, pendidikan yang bersifat doubletracks menekankan bahwa untuk mengembangkan
pengetahuan umum dan spesifik harus melalui kombinasi yang strukturnya terpadu antara tempat kerja, pelatihan dan pendidikan formal sistem persekolahan.
Dengan doubletracks ini sistem pendidikan akan mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan dan fleksibilitas yang tinggi untuk menyesuaikan dengan tuntutan pembangunan yang senantiasa berubah dengan cepat.
Berbagai problem yang muncul di masyarakat, khususnya ketimpangan antara kualitas pendidikan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia kerja merupakan refleksi adanya kelemahan yang mendasar dalam dunia pendidikan kita. Setiap upaya untuk memperbaharui pendidikan akan sia-sia, kecuali menyentuh akar filosofis dan teori pendidikan. Yakni, pendidikan tidak bisa dilihat sebagai suatu dunia tersendiri, melainkan pendidikan harus dipandang dan diberlakukan sebagai bagian dari
masyarakatnya. Oleh karena itu, proses pendidikan harus memiliki keterkaitan dan kesepadanan secara mendasar serta berkesinambungan dengan proses yang berlangsung di dunia kerja.
Buku ini terdiri atas tiga bab. Bab I membahas pendidikan dari perspektif teori, dimulai dari pembahasan sistem pendidikan di dua negara: Jepang dan Amerika Serikat. Meskipun pendidikan Jepang pada awalnya merupakan "pinjaman" dari Amerika Serikat, tetapi pada bentuk akhir yang dipakai sampai saat ini ternyata berbeda. Perbandingan dua sistem pendidikan ini mewakili dua kutub: Pendidikan modern yang diwakili oleh pendidikan Amerika Serikat dan pendidikan yang konservatif yang diwakili oleh sistem pendidikan Jepang.
Tulisan kedua, membahas bagaimana kualitas pendidikan berkaitan erat dengan motivasi orang yang bekerja di dunia pendidikan. Motivasi, dari kacamata ekonomi hanya akan muncul apabila ada persaingan. Oleh karena itu, kebijakan pendidikan harus merangsang munculnya kompetisi di dunia pendidikan. Langkah strategis dalam mewujudkan kompetisi adalah kebijakan desentralisasi pendidikan. Desentralisasi, diduga akan erat berkaitan dengan keberhasilan peningkatan mutu sekolah. Sebab, desentralisasi akan menimbulkan dorongan dari sekolah sendiri untuk maju sebagai dampak dari kepercayaan yang mereka peroleh.
Sudah barang tentu, desentralisasi yang memberikan otonomi lebih luas bagi sekolah diharapkan akan merubah pula aktivitas pada level kelas. Artinya, proses belajar mengajar juga harus berubah; paradigma baru mengajar harus dilahirkan, sebagaimana di bahas pada sub bab 4. Perubahan pada level kelas bisa saja merupakan konsekuensi dari perubahan yang terjadi pada level sekolah. Sub bab 5, memmembahas bagaimana perubahan yang harus dikembangkan pada level sekolah.
Sudah barang tentu pendidikan dan pembinaan guru akan berbeda dengan dokter atau insinyur. Karena hakekat kerja dua bentuk profesi tersebut berbeda. Bab 2 diakhiri dengan bahasan tentang tantangan guru pada era globalisasi yang kita jelang. Berbagai perubahan akan terjadi baik teknologi, ekonomi, sosial, dan budaya. Guru tidak mungkin menisbikan adanya berbagai perubahan tersebut. Guru harus mengembangkan langkah-langkah proaktif untuk menghadapi berbagai perubahan.
Bab 3 menyajikan bahasan untuk mencari pendidikan yang berwajah Indonesia. Dimulai dari pembahasan tentang suatu pernyataan hipotetis bahwa berbagai persoalan di masyarakat seperti pengangguran, tidak dapat dilepaskan dari keberadaan sistem pendidikan yang tidak "pas" dengan budaya Indonesia. Untuk menemukan pendidikan yang berakar budaya bangsa perlu dilaksanakan penajaman penelitian pendidikan. Namun dalam mencari pendidikan yang berakar pada budaya bangsa tidak berarti bahwa pendidikan harus bersifat ekslusif. Hal ini bertentangan dengan realitas globalisasi. Oleh karena itu, pencarian pendidikan yang berakar pada budaya bangsa harus pula memahami globalisasi yang dapat dikaji berdasarakan perspektif kurikuler dan perspektif reformasi. Bagaimana tantangan pendidikan yang harus dihadapi dimasa depan dibahas pula pada bab ini. Tantangan yang mendasar adalah bagaimana dapat melakukan reformasi pendidikan yang pada akhirnya dapat mempengaruhi level kelas. Sejalan dengan upaya menemukan pendidikan yang berwajah Indonesia yang bermutu, kemampuan guru, kemauan guru dan kesejahteraan guru mutlak harus ditingkatkan. Upaya ini, jelas, bukan hal yang mudah tetapi sekaligus menantang. Sebab, guru di masa depan akan menghadapi persoalan-persoalan yang berbeda dengan di masa sekarang. Sosok guru di masa depan harus mulai dipikirkan. Pada prinsipnya tugas guru adalah mengimplementasikan kurikulum dalam level kelas. Kurikulum bagaikan paru-paru pendidikan, kalau baik paru-parunya baik pulalah tubuhnya. Dibahas pula tentang bagaimana seharusnya kurikulum dikembangkan. Dua landasan kurikulum adalah apa kata hasil-hasil penelitian tentang otak dan apa yang dibutuhkan oleh dunia kerja khususnya dan masyarakat pada umumnya. Selanjutnya, dibahas permasalahan ketimpangan dalam ruang-ruang kelas yang berujud prestasi siswa. Memang, ketimpangan pendidikan tidak bisa dilepaskan dari ketimpangan sosial ekonomi keluarga. Secara konkret pada level kelas harus dikembangkan kebijakan untuk
mengurangi ketimpangan tersebut. CooperativeLearningModel diharapkan akan dapat mempersempit ketimpangan prestasi siswa. Prestasi siswa memang tidak hanya ditentukan oleh kemampuan mengajar guru semata. Kultur sekolah oleh berbagai penelitian dipastikan ikut memegang peran penting. Oleh karena itu, dalam bab ini secara khusus dibahas masalah kultur sekolah dan bagaimana pembentukan serta peran kepala sekolah. Dan sudah barang tentu, kualitas pendidikan tidak hanya dapat diartikan pencapaian prestasi akademik semata, untuk itu perlu dibahas tentang prestasi atau hasil pendidikan yang utuh. Buku ini diakhiri dengan bahasan tentang bagaimana reformasi pendidikan harus
dilaksanakan.
1.4.ParadigmaBaruPengajaran
Selama masih ada kesenjangan antara hasil pendidikan dengan kebutuhan tenaga kerja, ada kesenjangan harapan akan prestasi yang ada, selama itu pula problema pendidikan senantiasa dibicarakan dan gaung tuntutan pembaharuan pendidikan akan terus bergema. Ada dua pendekatan yang dapat digunakan membedah problem kependidikan: macrocosmic dan microcosmic. Macrocosmic merupakan pendekatan yang bersifat makro, di mana proses pendidikan dianalisis dalam kerangka yang lebih luas. Dalam arti, proses pendidikan harus dianalisis dalam kaitannya dengan proses di bidang lain. Sebab proses pendidikan tidak bisa dipisahkan dari lingkungan, baik politik, ekonomi, agama, budaya, dan sebagainya. Oleh karenanya pendekatan ini menekankan bahwa usaha-usaha memecahkan problema di bidang pendidikan tidak ada artinya kalau tidak dikaitkan dengan perbaikan dan penyesuaian di bidang lain.
berhasil kalau ada perbaikan proses belajar mengajar atau perbaikan dalam bidang keguruan.
A.Paradigmailmukeguruan
Proses belajar mengajar di mana interaksi murid-guru dilaksanakan secara sadar untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditargetkan disebut sebagai ilmu keguruan. Ilmu ini bisa diklasifikasi sebagai bagian dari ilmu kependidikan. Ilmu keguruan memiliki paradigma yang berkaitan dengan pertanyaan apa dan siapa murid ?, apa dan siapa guru, apa fungsi guru? apa materi pengajaran itu?, ke mana anak akan dibawa?, apa indikator keberhasilan anak didik? bagaimana mengevaluasi keberhasilan tersebut?
Ilmu keguruan yang berkembang dan dipraktekkan di tanah air kita, memandang anak didik sebagai seorang individu yang belum dewasa, memiliki pengetahuan dan keterampilan. Jadi, dalam proses interaksi guru-murid, anak didik merupakan obyek. Sedangkan guru merupakan sumber ilmu dan keterampilan, dimana kehadirannya di muka kelas merupakan suatu kondisi mutlak yang harus ada agar proses belajar mengajar berlangsung. Karena guru memegang peran yang penting dalam proses interaksi tersebut, maka guru harus dihormati dan dipatuhi. Apa yang diajarkan guru sudah tercantum dalam kurikulum atau sudah dideskripsikan dalam buku yang sudah tersedia. Pengembangan
pembahasan materi sesuai dengan perkembangan lingkungan dan pembahasan teori dalam kaitan dengan realitas yang ada tidak begitu mendapatkan tekanan. Sebab pembahasan materi pelajaran terletak pada materi itu sendiri. Sebagai hasil proses belajar mengajar yang penting tidak saja anak didik memiliki kemampuan, pengetahuan, keterampilan, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana anak didik mendapatkan pengetahuan atau keterampilan tersebut.
Program-program pembaharuan pendidikan, misalnya pembaharuan kurikulum atau sekolah
pembangunan, yang merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan, merupakan program-program yang didesain dengan acuan paradigma di atas. Sejauh ini, belum ada program-program-program-program pembaharuan pendidikan yang berhasil dalam memecahkan problem pendidikan. Mengapa?
Jawaban atas pertanyaan mangapa ini bisa panjang. Misalnya, dari aspek perencanaan, hampir semua pembaharuan pendidikan tidak direncanakan secara mantap karena kurang didasarkan pada hasil penelitian yang solid. Aspek monitoring juga lemah, hal ini ditunjukkkan dengan adanya program pembaharuan pendidikan yang berlangsung cukup lama tidak pernah dievaluasi tahu-tahu program tersebut dihentikan. Di samping itu, dan ini yang lebih penting, adalah bahwa kegagalan program-program pembaharuan pendidikan di tanah air terletak pada paradigmanya sendiri. Artinya paradigma ilmu keguruan yang diterapkan di tanah air kita ini sudah tidak bisa digunakan untuk memecahkan problem kependidikan yang kita hadapi. Dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution, Thomas Kuhn mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan selalu mengalami perkembangan. Perkembangan ini dimulai dengan adanya "krisis", di mana kemapanan ilmu dipertanyakan. Yang kemudian diikuti dengan usaha untuk merubah secara mendasar ilmu pengetahuan tersebut dengan mempertanyakan dan mengembangkan paradigma baru. Dalam kaitan dengan pembahasan interaksi murid-guru, nampaknya krisis ilmu keguruan untuk memecahkan problema pendidikan dewasa ini patut dipertanyakan. Oleh karenanya, sudah saatnya diperlukan adanya keberanian dari para ahli, terutama mereka yang berkecimpung dalam keguruan, untuk mempertanyakan paradigma lama dan mengembangkan paradigma baru.
B.Paradigmabarupengajaran
Angin segar di bidang keguruan telah bertiup dari Cianjur. Di mana di kabupaten ini di sekolah-sekolah dasar sudah diterapkan metode mengajar cara belajar siswa aktif yang dikenal dengan CBSA, sebagai kebalikan dari cara mengajar DDCH (duduk, diam, catat, hafal) atau CMGA cara mengajar guru aktif). Kalau dikaji secara mendalam sesungguhnya CBSA mendasarkan pada paradigma baru. Murid dalam metode CBSA bukan dianggap obyek pendidikan, melainkan sebagai subyek pendidikan.
Sesungguhnya yang penting bukan saja pengetahuan atau keterampilan akan diperoleh, melainkan juga bagaimana cara memperoleh pengetahuan atau keterampilan tersebut. Guru bukan merupakan satu-satunya sumber pengetahuan. Malahan, guru hanya berfungsi sebagai fasilitator. Apa yang