• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tradisi Pernikahan Adat doc 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tradisi Pernikahan Adat doc 1"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Tradisi Pernikahan Adat Betawi

Posted on 8 September 2009 by Batavusqu

22

Selasa, 8 September 2009

Pernikahan ala betawi bagi kampung kukusan, kampung sawah,

kampung cipedak masih sering ditemukan walau dibeberapa kegiatan sudah

banyak yang diabaikan. Untuk itu mari para abang none yang tergabung dalam

Forkabi, Forkot, Betawi Rembug, Perbekut dan anggota komunitas muda

betawi lainnya untuk bersama menyimak saduran dari swaberita.com agar

budaya adat nikah ala betawi kembali ke hitahnya, semoga sekecil apapun yang

kita lakukan menjadi catatan tersendiri bagi penerus nanti.

24-04-08 : 12.53

Masyarakat Betawi memiliki sejarah panjang sebagaimana terbentuknya kota Jakarta sebagai tempat domisili asalnya. Sebagai sebuah kota dagang yang ramai, Sunda Kelapa, nama Jakarta tempo dulu, disinggahi oleh berbagai suku bangsa.

Penggalan budaya Arab, India, Cina, Sunda, Jawa, Eropa, Melayu dan

sebagainya seakan berbaur menjadi bagian dari karakteristik kebudayaan

Betawi yang kita kenal kini. Singkat kata, tradisi budaya Betawi laksana

‘campursari’ dari beragam budaya dan elemen etnik masa silam yang secara

utuh menjadi budaya Betawi kini.

(2)

Untuk adat prosesi pernikahan betawi, ada banyak serangkaian prosesi.

Didahului masa perkenalan melalui “Mak Comblang”. Dilanjutkan lamaran,

pingitan, upacara siraman. Prosesi potong cuntung atau ngerik bulu kalong

dengan uang logam yang diapit lalu digunting. Kemudian dilanjutkan dengan

malam pacar, malam dimana mempelai wanita memerahkan kuku kaki dan

tangannya dengan pacar. Puncak adat betawi adalah Akad nikah.

Tradisi Meriah

Meriah dan penuh warna-warni, demikian gambaran dari tradisi pernikahan adat Betawi. Diiringi suara petasan, rombongan keluarga mempelai pria berjalan memasuki depan rumah kediaman mempelai wanita sambil diiringi oleh ondel-ondel, tanjidor serta marawis (rombongan pemain rebana menggunakan bahasa arab). Mempelai pria berjalan sambil menuntun kambing yang merupakan ciri khas keluarga betawi dari Tanah Abang.

Sesampainya didepan rumah terlebih dulu diadakan prosesi “Buka Palang Pintu”, berupa berbalas pantun dan Adu Silat antara wakil dari keluarga pria dan wakil dari keluarga wanita. Prosesi tersebut dimaksudkan sebagai ujian bagi mempelai pria sebelum diterima sebagai calon suami yang akan menjadi pelindung bagi mempelai wanita sang pujaan hati. Uniknya, dalam setiap petarungan silat, pihak mempelai wanita pasti dikalahkan oleh jagoan calon pengantin pria.

Prosesi Akad Nikah

Pada saat akad nikah, rombongan mempelai pria memberikan hantaran berupa :

1. Sirih, gambir, pala, kapur dan pinang artinya segala pahit, getir, dan manisnya kehidupan rumah tangga harus dijalani bersama antara suami dan istri.

2. Maket Mesjid, maksudnya adalah agar mempelai wanita tidak lupa akan kewajibannya kepada agama dan harus menjalani shalat serta mengaji.

3. Kekudung, berupa barang kesukaan mempelai wanita misalnya salak condet, jamblang, dan sebagainya.

4. Mahar atau mas kawin dari pihak pria untuk diberikan kepada mempelai wanita.

5. Pesalinan berupa pakaian wanita seperti kebaya encim, kain batik, kosmetik, sepasang roti buaya. Buaya merupakan pasangan yang abadi dan tidak berpoligami serta selalu mencari makan bersama-sama.

6. Petise yang berisi sayur mayur atau bahan mentah untuk pesta, misal : wortel, kentang, bihun, buncis dan sebagainya.

(3)

yang sudah dihias dengan masing-masing seorang pengiring. Delman tersebut ditutupi dengan kain pelekat hitam sehingga tidak kelihatan dari luar. Akan tetapi, dengan kain pelekat hitam yang ditempelkan pada delman, maka orang-orang mengetahui bahwa ada pengantin yang akan pergi ke penghulu.

Pernikahan

Pada hari pesta pernikahan, baik pengantin pria maupun pengantin wanita, mengenakan pakaian kebesaran pengantin dan dihias. Dari gaya pakaian pengantin Betawi, ada dua budaya asing yang melekat dalam prosesi pernikahan. Pengantin pria dipengaruhi budaya Arab. Sedangkan busana pengantin wanita dipengaruhi adat Tionghoa. Demikian pula dengan musik yang meramaikan pesta pernikahan.

Adat Mayat Berjalan di Tanah Toraja, Makassar – Sulawesi

Selatan

Bagi temen-temen yang belum tau, Tanah Toraja (Tator) merupakan salah satu objek wisata andalan propinsi Sulawesi Selatan. Toraja mempunyai adat istiadat terkenal yaitu UPACARA KEMATIAN. Nah... yang akan saya bahas pada postingan kali ini yaitu tradisi mayat berjalan di Toraja. Tujuan saya memposting artikel ini yaitu untuk menyampaikan informasi yang benar mengenai tradisi mayat berjalan di Toraja karena saya sering mendengar cerita yang keliru tentang tradisi tersebut, dan tujuan lain saya tidak lain untuk memperkenalkan budaya Tanah Toraja kepada teman-teman yang belum tau sama sekali mengenai adat istiadat Toraja terutama teman-teman saya di prodi Bisnis Pariwisata-Universitas Brawijaya Malang.

Sejarah Mayat Berjalan :

Berikut merupakan artikel jadul yang di tulis berdasarkan pengalaman seseorang, dibuat pada 19 Februari 1972 yang di posting oleh torajacybernews.blogspot.com. Namun saya hanya mengambil beberapa paragraf dari artikel tersebut, bunyinya :

Konon menurut Tampubolon, sang majat berdjalan kaku dan agak tersentak-sentak. Dan dalam perdjalanan itu ia tidak bisa sendirian, harus ditemani oleh satu orang hidup jang mengawalnja, sampai ketudjuan achir jaitu rumahnja sendiri. Mengapa harus demikian?

(4)

menggotong terus-menerus djenazah sepandjang perdjalanan jang makan waktu berhari-hari), maka dengan satu ilmu gaib, mungkin sedjenis hipnotisme menurut istilah saman sekarang, majat diharuskan pulang berdjalan kaki dan baru berhenti bila ia sudah meletakkan badannja didalam rumahnja sendiri. Dan bajangkan sadja, majat itu tahu arah djalan, dan tahu jang mana rumahnja! Kendati demikian masih ada satu pantangan: majat jang berdjalan itu tidak boleh disentuh. Mungkin kalau disentuh mukdjizat jang menjunglapnja dengan serta merta hilang. Wallahu'alam.

Dari potongan artikel di atas dapat di ketahui bahwa mayat di beri semacam mantra atau hipnotis agar dapat pulang ke rumahnya tanpa menyusahkan orang lain. Dari desas desus yang beredar, masih ada masyarakat asli Toraja yang mempunyai kemampuan tersebut yang mampu

menghipnotis mayat agar dapat berjalan namun kemampuan tersebut di gunakan pada hewan yang sudah meninggal seperti ayam, kerbau, dll.

Sampai sekarang tradisi ini masih ada dan bertahan, namun ritualnya berbeda. Setiap tiga tahun sekali kuburan leluhur mereka sengaja digali dan dikeluarkan dari peti, untuk didandani dan diarak keliling kampung. Uniknya, jasad mayat ini masih tetap utuh walaupun tidak diberi balsam atau jenis pengawet lainnya. Menurut kepercayaan setempat, arwah para leluhur masih tersimpan dalam tubuh mayat tersebut. Mereka masih ‘’hidup” dan mengawasi keturunannya dari ‘tempat’ yang lain. Perhatikan gambar di bawah ini :

(5)

Petik Laut Muncar, Kabupaten

Banyuwangi

Posted on 10 Januari 2013 by Pusaka Jawatimuran

Upacara Tradisional Petik Laut Muncar.

Yang dimaksud dengan Petik Laut dapat dijelaskan menurut arti harfiah sebagai berikut “Petik” berarti ambil pungut atau peroleh. “Petik Laut” berarti memetik, mengambil, memungut atau memperoleh hasil laut berupa ikan yang mampu menghidupi nelayan Muncar dan sekitarnya. Maksud dan Tujuan.

Penyelenggaraan upacara Petik Laut Muncar dikandung maksud sebagai pengungkapan dari perasaan syukur, usaha dan mencoba kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dilakukan secara berkelompok khususnya bagi masyarakat nelayan di Muncar dan sekitarnya.

Pengungkapan perasaan tersebut diwujudkan dalam bentuk kegiatan tasyakuran sampai dengan tradisi masyarakat secara beramai-ramai melakukan upacara di tengan laut, sesuai dengan tradisi yang masih hidup dilingkungan masyarakat nelayan Muncar sebagai usaha mewarisi tradisi para leluhur yang sudah berlangsung sejak dalam kurun waktu yang lama.

Tujuan diselenggarakannya kegiatan Petik Laut Muncar ini antara lain dapat diungkapkan sebagai berikut :

Mensyukuri atas Rahmad Tuhan Yang Maha Esa yang telah dilimpahkan berupa hasil penangkapan ikan yang tidak kunjung henti-hentinya sepanjang massa.

Sebagai salah satu media permohonan kehadapan Tuhan Yang Esa, agar selalu memperoleh per-lindungan dan dijauhkan dari segala marabahaya, dianugerahi keselamatan dan hasil yang lebih melimpah lagi.

Sebagai salah satu upaya menanamkan perasaan cinta bahari bagi masyarakat nelayan Muncar, sehingga kehidupan laut yang telah mendatangkan manfaat bagi kehidupan laut dapat terpelihara secara lestari.

Awal Pelaksanaan Petik Laut Muncar.

Salah seorang sesepuh masyarakat nelayan Muncar menceritakan bahwa pada tahun 1901 telah bermukim di Muncar. Pada saat itu telah diselenggarakan Upacara Petik Laut, yang cara meracik sesajinya telah mengikuti cara yang di pergunakan oleh masyarakat nelayan sebelumnya.

(6)

Peserta dan Kelengkapan Upacara.

Pelaksanaan upacara Petik Laut Muncar diikuti oleh seluruh masyarakat nelayan Muncar, para pejabat dan undangan serta hadirin para pengunjung dari masyarakat disekitar Muncar ikut memeriahkan kegiatan Petik Laut Muncar tersebut.

Kelengkapan upacara yang dianggap penting adalah berbentuk sesaji berupa kue, masakan dan makanan yang berasal dari palawija yang bergantung dan bentuk lainnya, yang menonjol berupa : Nasi tumpeng, nasi gurih, nasi lawuh Ayam jantan hidup 2 ekor

Kinangan dan lain-lain.

Semua kelengkapan sesaji tersebut disusun sedemikian rupa dimasukkan ke dalam sebuah perahu kecil yang dihiasi berwarna-warni dan biasanya disebut “Gitik”, dan kemudian dilabuh atau dilarung di laut. Dan dalam pelarungan tersebut selalu diiringi dengan tarian Gandrung. Rangkaian Pelaksanaan Upacara.

Malam Tasakuran.

Malam menjelang pelaksanaan upacara Petik Laut, hampir seluruh masyarakat nelayan di Mun-car melakukan tirakatan sampai pagi dengan satu harapan semoga Tuhan Yang Maha Esa memberkahi dan senantiasa dalam pelaksanaan Petik Laut Muncar pada siang harinya selamat tidak ada halangan apapun.

Ider Bumi.

Pagi hari ± 06.00 WIB, sesaji yang telah siap di dalam “Gitik” dan ditempatkan di rumah

Pawang, diangkut menuju ke tempat upacara sambil terlebih dahulu diarak keliling dilingkungan perkampungan nelayan, diiringi oleh perangkat kesenian pengiring berupa Terbangan, Gandrung, bersama-sama dengan kegiatan kelompok masyarakat nelayan menuju ke tempat upacara

(7)

Upacara Pelepasan Sesaji.

Di tempat yang telah ditentukan biasanya mengambil tempat di TPI pada tanggal 15 Muharram, biasanya, dimulai pada pukul 09.00 WIB. Perahu yang membawa Gitik yang brisi sesaji di-tempatkan paling depan dan kemudian diikuti oleh iring-iringan perahu nelayan yang membawa ke tengah laut untuk dilarung.

Sebagai kelanjutan dari upacara tersebut kemudian rombongan berziarah ke Makam Sayid Yusuf. Upacara-upacara petik Laut di tempat Lain diantaranya adalah di Grajagan, Blimbingsari,

Lampon dan sebagainya.

Posted on 29 Oktober 2012 by Pusaka Jawatimuran

Rate This

Ini acara ritual tahunan. Namanya larung sesaji, dan Minggu siang itu (12/12/2011) digelar di Pantai Pasir Putih Malikan (Papuma). Ada

keriuhan, ditingkahi wangi asap dupa, kemenyan. Sepotong kepala kambing dil- etakkan di atas miniatur kapal dan diarak bersama-sama menuju samudera. Para pengaraknya memakai pakaian adat Jawa, dengan iringan reog Singo Budoyo. Mereka memasuki pekarangan vihara, dan berhenti di salah satu ceruk tempat sesaji.

Ini Vihara Dewi Sri Wulan. Warnya didominasi merah, dengan menara bundar berkisi-kisi emas menjulang tinggi. Dalam ceruk, seekor singa dan bangau berdiri. Vihara ini konon dulu hanya sebuah gubuk kecil. Seorang dermawan yang tak ingin dikenal membantu mempermegah vihara itu.

(8)

pula turis manca negara seperti Jerman, Iran, Israel dan Cina yang datang ke sini.

Di ceruk vihara itu, doa dilantunkan untuk sesaji, sebelum dibawa ke pantai. Di tengah pantai Papuma, sejumlah sesepuh dan pemimpin vihara mendorong ‘kapal’ sesaji itu ke tengah laut. Sesaji itu adalah perwujudan rasa syukur masyarakat nelayan di selatan Jember, atas

melimpahnya panen ikan tahun ini. Mereka berharap, panen ikan terjadi sepanjang tahun. Selamanya.

Larung sesaji juga lukisan harmoni masyarakat Jember selatan. Seniman, jag- awana, polisi, tokoh adat, tokoh agama, dan penjaga vihara, tumplek blek. Tahun lalu, barongsai menjadi seni tradisi yang dimainkan. Tahun ini, reog menjadi pilihan. Malam sebelumnya, wayang kulit sudah digelar, mendahului acara larung di siang itu.

Bagi sebagian kalangan, larung sesaji adalah perpaduan atau sinkretisme sejumlah elemen agama: Islam, kejawen, Konghucu. Acara ini sudah lima kali digelar selama lima tahun terakhir. Dalam perkembangannya semakin banyak masyarakat dan wisatawan yang tertarik pada upacara ini. Tentu saja, ini aset wisata budaya yang unik dan menarik. Tak hanya mempromosikan keindahan, tapi juga makna kedamaian sebuah perbedaan dalam masyarakat yang beragam. (*)

(9)

jawab Orang Tua, keluarga, kerabat, bahkan kesaksian dari anggota masyarakat di mana mereka berada, maka selayaknyalah jika upacara tersebut diadakan secara khusus dan meriah sesuai dengan tingkat kemampuan atau strata sosial dalam masyarakat. Upacara perkawinan banyak dipengaruhi oleh acara-acara sakral dengan tujuan agar perkawinan berjalan dengan lancar dan kedua mempelai didoakan ke hadirat Allah SWT, sukses dalam segala usaha dalam mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga yang langgeng menuju keluarga Sakinah, Mawaddah, Warohmah.

Tata cara upacara adat Bugis-Makassar dalam acara perkawinan sejatinya memiliki beberapa proses atau tahapan upacara adat, antara lain:

1. A’jangang-jangang (Ma’manu’-manu’).

2. A’suro (Massuro) atau melamar.

3. A’pa’nassar (Patenre ada’) atau menentukan hari.

4. A’panai Leko’ Lompo (erang-erang) atau sirih pinang.

5. A’barumbung (Mappesau) atau mandi uap, dilakukan selama 3 (tiga) hari.

6. Appassili bunting (Cemme mappepaccing) atau siraman dan A’bubbu’ ( mencukur rambut halus dari calon mempelai.

7. Akkorontigi (Mappacci) atau malam pacar.

8. Assimorong atau akad nikah.

9. Allekka’ bunting (Marolla) atau mundu mantu.

10. Appa’bajikang bunting atau menyatukan kedua mempelai.

Upacara tradisional tersebut di atas masih memiliki uraian-uraian yang lebih detail dari masing-masing tahapan atau proses. Pada kesempatan ini akan diuraikan tentang tata cara upacara adat:

1. Appassili bunting (Cemme mappepaccing) dan A’bubbu’. 2. A’korontigi (Mappacci).

3. Appanai’ Leko Lompo (Erang-erang) atau sirih pinang, dan Assimorong (Akad Nikah)

(10)

Kegiatan dalam tata cara atau prosesi upacara adat ini terdiri dari:

Appassili bunting.

Persiapan sebelum acara ini adalah calon mempelai dibuatkan tempat khusus berupa gubuk siraman yang telah ditata sedemikian rupa di depan rumah atau pada tempat yang telah disepakati bersama oleh anggota keluarga.

Gambar 1: Perangkat adat prosesi Siraman.

Acara dilakukan sekitar pukul 09.00 – 10.00 waktu setempat. Pelaksanaan acara pada jam tersebut memiliki niat atau maksud. Calon mempelai memakai busana yang baru/baik dan ditata sedemikian rupa.

Appassili atau Cemme Mappepaccing mengandung arti membersihkan dengan maksud agar calon mempelai senantiasa diberi perlindungan dan dijauhkan dari mara bahaya oleh Allah SWT.

Alat atau bahan yang digunakan dalam prosesi adat ini adalah:

 Pammaja besar/Gentong.

 Gayung/tatakan pammaja.

 Air, sebagai media yang suci dan mensucikan.

(11)

 Ja’jakkang, terdiri dari segantang (4 liter) beras diletakkan dalam sebuah bakul.

 Kanjoli’ (lilin), berupa lilin berwarna merah berjumlah tujuh atau sembilan batang.

 Kelapa tunas.

 Gula merah.

 Pa’dupang.

 Leko’ passili.

Prosesi Acara Appassili:

Sebelum dimandikan, calon mempelai terlebih dahulu memohon doa restu kepada kedua orang tua di dalam kamar atau di depan pelaminan. Kemudian calon mempelai akan diantarkan ke tempat siraman di bawah naungan payung berbentuk segi empat (Lellu) yang dipegang oleh 4 (empat) orang gadis bila calon mempelai wanita dan 4 (empat) orang laki-laki jika calon mempelai pria. Setelah tiba di tempat siraman, prosesi dimulai dengan diawali oleh Anrong Bunting, setelah selesai dilanjutkan oleh kedua orang tua serta orang-orang yang dituakan (To’malabbiritta) yang berjumlah tujuh atau sembilan pasang.

(12)

Gambar 3. Calon mempelai wanita menuju tempat siraman di bawah naunga Payung Lellu.

Tata cara pelaksanaan siraman adalah air dari pammaja/gentong yang telah dicampur dengan 7 (tujuh) macam bunga dituangkan ke atas bahu kanan kemudian ke bahu kiri calon mempelai dan terakhir di punggung, disertai dengan doa dari masing-masing figure yang diberi mandat untuk memandikan calon mempelai. Setelah keseluruhan selesai, acara siraman diakhiri oleh Ayahanda yang memandu calon mempelai mengambil air wudhu dan mengucapakan dua kalimat syahadat sebanyak tiga kali. Selanjutnya calon mempelai menuju ke kamar untuk berganti pakaian.

Gambar 4. Prosesi acara Appassili (siraman)

A’bubbu’ (Macceko).

Setelah berganti pakaian, calon mempelai selanjutnya didudukkan di depan pelaminan dengan berbusana Baju bodo, tope (sarung pengantin) atau lipa’ sabbe, serta assesories lainnya. Prosesi acara A’bubbu (macceko) dimulai dengan membersihkan rambut atau bulu-bulu halus yang terdapat di ubun-ubun atau alis.

Gambar 5: Prosesi acara A’bubbu’ (Macceko)

Appakanre bunting.

Appakanre bunting artinya menyuapi calon mempelai dengan makan berupa

kue-kue khas

(13)

ditempatkan

dalam suatu wadah besar yang disebut bosara lompo.

Gambar 6: Prosesi Acara Appakanre bunting

2. Akkorontigi (Mappacci).

Rumah calon mempelai telah ditata dan dihiasi sedemikian rupa dengan dekorasi khas daerah bugis makassar, yang terdiri dari:

a. Pelaminan (Lamming) b. Lila-lila

c. Meja Oshin lengkap dengan bosara. d. Perlengkapan Korontigi/Mappacci.

Gambar 7: Situasi ruangan tempat prosesi Akkorontigi/Mappacci

Acara Akkorontigi/Mappacci merupakan suatu rangkaian acara yang sakral yang dihadiri oleh seluruh sanak keluarga (famili) dan undangan.

Acara Akkorontigi memiliki hikmah yang mendalam, mempunyai nilai dan arti kesucian dan kebersihan lahir dan batin, dengan harapan agar calon mempelai senantiasa bersih dan suci dalam menghadapi hari esok yaitu hari pernikahannya.

Perlengkapannya:

(14)

 Bantal.

 Sarung sutera sebanyak 7 (tujuh) lembar yang diletakkan di atas bantal.

 Bombong Unti (Pucuk daun pisang).

 Leko Panasa (Daun nangka), daun nangka diletakkan di atas pucuk daun pisang secara bersusun terdiri dari 7 atau 9 lembar.

 Leko’ Korontigi (Daun Pacci), adalah semacam daun tumbuh-tumbuhan (daun pacar) yang ditumbuk halus.

 Benno’ (Bente), adalah butiran beras yang digoreng tanpa menggunakan minyak hingga mekar.

 Unti Te’ne (Pisang Raja).

 Ka’do’ Minnya’ (Nasi Ketan).

 Kanjoli/Tai Bani (Lilin berwarna merah).

Prosesi acara Akkorontigi/Mappacci:

Setelah para undangan lengkap dimana sanak keluarga atau para undangan yang telah dimandatkan untuk meletakkan pacci telah tiba, acara dimulai dengan pembacaan barzanji atau shalawat nabi, setelah petugas barzanji berdiri, maka prosesi peletakan pacci dimulai oleh Anrong bunting yang kemudian diikuti oleh sanak keluarga dan para undangan yang telah diberi tugas untuk meletakkan pacci. Satu persatu para handai taulan dan undangan dipanggil didampingi oleh gadis-gadis pembawa lilin yang menjemput mereka dan memandu menuju pelaminan. Acara Akkorontigi/Mappacci ini diakhiri dengan peletakan pacci oleh kedua orang tua tercinta dan ditutup dengan doa.

(15)

3. Appanai’ Leko Lompo (Erang-erang) atau sirih pinang, dan Assimorong

(Akad Nikah)

Kegiatan ini dilakukan di kediaman calon mempelai wanita, dimana rumah telah ditata dengan indahnya karena akan menerima tamu-tamu kehormatan dan melaksanakan prosesi acara yang sangat bersejarah yaitu pernikahan kedua calon mempelai.

Beberapa persiapan yang dilakukan oleh kedua belah pihak keluarga:

Keluarga Calon Mempelai Wanita (CPW).

1. Dua pasang sesepuh untuk menjemput CPP dan memegang Lola menuntun CPP memasuki rumah CPW.

2. Seorang ibu yang bertugas menaburkan Bente (benno) ke CPP saat memasuki gerbang kediaman CPW.

3. Penerima erang-erang atau seserahan.

4. Penerima tamu.

Keluarga Calon Mempelai Pria (CPP).

- Petugas pembawa leko’ lompo (seserahan/erang-erang), yang terdiri dari:

 Gadis-gadis berbaju bodo 12 orang yang bertugas membawa bosara atau keranjang yang berisikan kue-kue dan busana serta kelengkapan assesories CPW.

 Petugas pembawa panca terdiri dari 4 orang laki-laki. Panca berisikan 1 tandan kelapa, 1 tandan pisang raja, 1 tandan buah lontara, 1 buah labu kuning besar, 1 buah nangka, 7 batang tebu, jeruk seperlunya, buah nenas seperlunya, dan lain-lain.

- Perangkat adat, yang terdiri dari:

 Seorang laki-laki pembawa tombak.

 Anak-anak kecil pembawa ceret 3 orang.

(16)

 Remaja pria 4 orang untuk membawa Lellu (payung persegi empat).

 Seorang anak laki-laki bertugas sebagai passappi bunting.

- Calon mempelai Pria CPP telah siap di bawa Lellu sesepuh dari pihak CPW datang menjemput dengan mengapit CPP dan menggunakan Lola menuntun CPP menuju gerbang kediaman CPW. Saat tiba di gerbang halaman, CPP disiram dengan Bente/Benno oleh salah seorang sesepuh dari keluarga CPW. Kemudian dilanjutkan dengan dialog serah terima pengantin dan penyerahan seserahan leko lompo atau erang-erang. Setelah itu CPP beserta rombongan memasuki kediaman CPW untuk dinikahkan. Kemudian dilakukan pemeriksaan berkas oleh petugas KUA dan permohonan ijin CPW kepada kedua orang tua untuk dinikahkan, yang selanjutnya dilakukan dengan prosesi Ijab dan Qobul.

Setelah acara akad nikah dilaksanakan, mempelai pria menuju ke kamar mempelai wanita, dan berlangsung prosesi acara ketuk pintu, yang

dilanjutkan dengan appadongko nikkah/mappasikarawa, penyerahan mahar atau mas kawin dari mempelai pria kepada mempelai wanita. Setelah itu kedua mempelai menuju ke depan pelaminan untuk melakukan prosesi Appla’popporo atau sungkeman kepada kedua orang tua dan sanak keluarga lainnya, yang kemudian dilanjutkan dengan acara pemasangan cincin kawin, nasehat perkawinan, dan doa.

(17)

Gambar

Gambar 1: Perangkat adat prosesi Siraman.
Gambar 2: Calon mempelai wanita memohon doa restu pada kedua orang tua
Gambar 5: Prosesi acara A’bubbu’ (Macceko)
Gambar 6: Prosesi Acara Appakanre bunting
+4

Referensi

Dokumen terkait

2 textbox itu adalah penampung Email & Password yang akan di kirim ke server kita dan command buttonnya di gunakan untuk meng eksekusi code,setelah code di eksekusi program

Intervensi yang ditetapkan untuk mengatasi masalah keperawatan klien dengan harga diri rendah adalah dengan menerapkan strategi pelaksanaan (SP) dan terapi

Pada eksperimen ini dicari beberapa eksplorasi bentuk dari kombinasi pada teknik coiling dengan teknik lattice. Teknik lattice yaitu proses serut bambu untuk

Bahwa dari 20 perusahaan yang mengajukan izin, 13 (tiga belas) perusahaan diantaranya yang berafiliasi dengan Sinar Mas dan APRIL/RGE Group merupakan pihak yang memiliki inisiatif

Hasil penelitian menunjukkan bahwa upaya-upaya kepolisian Resort Dompu dalam menanggulangi tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh pelajar di Kabupaten Dompu

Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak yang mengatur perlindungan khusus terhadap anak, baik anak sebagai korban tindak pidana maupun anak sebagai

selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang yang telah memberikan saran dan kritik yang membangun sehingga dapat

Berdasarkan hasil kajian yang penulis lakukan, menjadi tanggung jawab besar guru PAI di sekolah dalam mencanangkan konsep nilai yang ada pada pendidikan multikultural